1 I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung
lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan dan bereproduksi, sehingga Burung Walet sering disebut dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung ini yaitu kemampuannya dalam menghasilkan sarang yang bernilai jual tinggi. Indonesia merupakan penyedia sarang Burung Walet dunia. Ekspor sarang Burung Walet dilakukan ke berbagai negara di Asia dan Eropa, serta Australia dan Amerika Serikat.
Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di
Indonesia, salah satunya adalah Collocalia fuciphaga, spesies ini merupakan Burung Walet yang mampu menghasilkan sarang berwarna putih dan paling disukai konsumen. Burung Walet (Collocalia fuciphaga) tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Salah satu daerah penyebaran burung ini yaitu daerah Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Timur mamiliki ekologi yang mendukung untuk perkembangbiakan Burung Walet. Tiga kecamatan yang telah membudidayakan sarang Burung Walet yaitu Kecamatan Way Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai. Tiga kecamatan ini dikelilingi oleh lingkungan fisik yang bervariasi seperti Hutan Lindung, Daerah Aliran Sungai (DAS), persawahan, pertanian tanaman palawija, perkebunan dan garis Pantai Laut Jawa.
2 Produksi sarang Burung Walet dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor kondisi lingkungannya. Lingkungan Burung Walet terdiri dari habitat mikro dan habitat makro.
Habitat mikro Burung Walet adalah
lingkungan di dalam gedung yang dapat dikondisikan sesuai kebutuhan seperti temperatur, kelembaban dan intensitas cahaya. Habitat makro adalah lingkungan walet di luar gedung tempat hidup dan mencari makan seperti ketinggian wilayah, suhu dan kelembaban udara, serta sumber air dan vegetasi sebagai penyedia pakan. Habitat makro tidak dapat dengan mudah dikondisikan layaknya habitat mikro, sehingga pembangunan gedung walet harus berada di daerah yang tepat. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui habitat mikro dan habitat makro untuk mendukung perkembangan budidaya Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur.
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang dapat diambil
adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana bentuk habitat makro dan mikro Burung Walet (Collocalia fuciphaga) di Kabupaten Lampung Timur. 2) Berapa besar produksi sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga) di Kabupaten Lampung Timur.
1.3
Maksud dan Tujuan
1) Mempelajari dan mengetahui habitat mikro dan makro Burung Walet (Collocalia fuciphaga) di Kabupaten Lampung Timur.
3 2) Mengetahui dan mendapatkan produksi sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga) di Kabupaten Lampung Timur.
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat berguna dalam menambah khasanah ilmu
pengetahuan dan dapat memberikan informasi mengenai habitat Burung Walet (Collocalia fucipgaha) untuk keperluan pengembangan budidaya Burung Walet.
1.5
Kerangka Pemikiran Habitat merupakan suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu
spesies atau komunitas dapat hidup dan berkembang biak secara normal. Habitat terdiri dari habitat makro dan habitat mikro. Habitat makro bersifat global dengan kondisi lingkungan yang bersifat umum dan luas, sebaliknya habitat mikro merupakan habitat lokal dengan kondisi lingkungan yang bersifat setempat (Hamidun dan Baderan, 2014).
Seperti organisme lain, Burung Walet juga
menempati habitat makro dan mikro sebagai tempat hidupnya. Habitat makro dan habitat mikro pada budidaya sarang Burung Walet sangat berpengaruh terhadap produktivitas sarang, karena Burung Walet merupakan burung liar yang melangsungkan kehidupannya sesuai kondisi alaminya. Produksi sarang Burung Walet dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu musim, pakan, gangguan hama dan cara panen. Gangguan hama dan cara panen mempengaruhi produksi sarang secara kualitas, sedangkan produksi secara kuantitas dipengaruhi oleh musim dan pakan.
Gangguan hama yang dapat
menurunkan kualitas sarang Burung Walet yaitu tikus dan kecoa. Gangguan hama tidak hanya menurunkan kualitas sarang yang diproduksi, melainkan juga
4 dapat mengganggu kenyamanan Burung Walet di dalam gedung (Wibowo, 1995). Kualitas sarang juga dipengaruhi oleh cara panen. Terdapat tiga pola pada pemanenan sarang Burung Walet, diantaranya pola panen rampasan, buang telur dan penetasan. Pola panen rampasan dilakukan sebelum burung bertelur atau setelah burung bertelur satu butir, pola panen buang telur dilakukan setelah burung bertelur dua butir, sedangkan pola panen tetasan dilakukan setelah anak walet menetas dan meninggalkan sarangnya. Kualitas sarang terbaik diperoleh dari pemanenan yang menerapkan pola panen buang telur karena sarang yang dihasilkan dengan pola panen ini memiliki kebersihan dan bentuk sarang yang sempurna (Nazaruddin dan Widodo, 2008). Habitat makro sangat berpengaruh pada ketersediaan pakan, mengingat bagi Burung Walet merupakan daerah jelajah dalam mencari pakan. Pakan Burung Walet berupa serangga yang berukuran kecil dan terbang di sekitar area jelajah Burung Walet. Dalam sehari, seekor Burung Walet memangsa sekitar 20.000 ekor serangga yang terdiri dari 100-1.200 jenis serangga. Jenis-jenis serangga yang menjadi makanan Burung Walet diantaranya adalah berasal dari ordo Hymenoptera, Ephemenoptera, Homoptera, Diptera, serta serangga lainnya seperti Isoptera, Odonata, Psocoptera, Tysanoptera, dan Coleoptera (Adiwibawa, 2000). Empat ordo serangga yang menjadi pakan Burung Walet dengan urutan dominasi serangga pakan adalah Hymenoptera sebanyak 40,8%, Ephemenoptera 26,4%, Homoptera sebanyak 15,4%, dan Diptera sebanyak 7,7%, sedangkan 9,7% merupakan serangga lain yang tidak teridentifikasi (Langham dkk., 1980 dalam Nazaruddin dan Widodo, 2008). Jenis serangga yang dapat dimakan dan disukai oleh Burung Walet yaitu serangga yang dapat terbang, berukuran kecil berkisar antara 2-8 mm, serta
5 memiliki tubuh dan kulit yang lunak. Jenis serangga pada ordo Hymenoptera yang dapat dimakan oleh Burung Walet contohnya seperti lebah kayu, lebah bunga dan lalat gergaji yang hidup disekitar lahan yang bervegetasi (Borror et.al 1992).
Pada ordo Ephemenoptera jenis yang disukai contohnya seperti lalat
sehari (dayfly) yang hidup dan berkembang di daerah perairan. Serangga dari ordo Homoptera yang disukai Burung Walet contohnya seperti lalat putih dan wereng yang hidup di area vegetasi dan serangga yang berasal dari ordo Diptera yang disukai walet contohnya seperti nyamuk dan lalat buah (Adiwibawa, 2000). Karakteristik habitat makro pada Burung Walet meliputi curah hujan, temperatur dan kelembaban udara serta jenis, luas dan jarak lokasi sumber pakan. Curah hujan, temperatur dan kelembaban udara berpengaruh pada pertumbuhan serangga. Kisaran suhu udara untuk perkembangbiakan serangga yaitu 15º-40ºC, dan kisaran kelembaban 62-66% (Jumar, 2000). Pada musim berbiak sepasang Burung Walet dapat menyelesaikan pembuatan sarangnya dalam waktu 40 hari, namun diluar musim berbiak butuh waktu 60-80 hari. Musim berbiak Burung Walet yaitu pada saat musim hujan dimulai, hal ini berkaitan dengan ketersediaan pakan yang melimpah untuk memberi pakan anak Burung Walet yang baru menetas (Wibowo, 1995). Keterkaitan antara musim biak dan ketersediaan pakan menunjukkan bahwa pentingnya faktor pakan bagi produktivitas Burung Walet. Jenis dan luas lokasi sumber pakan berpengaruh pada besarnya populasi serangga.
Lokasi sumber pakan yang paling cocok untuk spesies Collocalia
fuciphaga adalah campuran antara sawah dan tegalan (50%), lahan basah (20%), dan daerah berhutan (30%) yang terletak hingga 1.500 m di atas permukaan laut (dpl) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Jarak dari gedung walet ke lokasi sumber pakan berpengaruh pada daerah jangkauan Burung Walet. Kemampuan
6 Burung Walet dalam menjelajahi home range yaitu pada radius 25-40 km (Mardiastuti dkk., 1998). Habitat mikro Burung Walet yaitu lingkungan di dalam gua atau gedung walet.
Habitat mikro Burung Walet disesuaikan agar Burung Walet dapat
membuat sarang dengan nyaman karena Burung Walet adalah burung yang sangat peka terhadap perubahan suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengurangi produktivitas sarang dan menggangu kenyamanan Burung Walet (Ibrahim dkk., 2009). Habitat mikro yang paling sesuai yaitu gedung yang memiliki temperatur berkisar 27-29ºC, kelembaban berkisar antara 70-95% (Sofwan dan Winarso, 2005) dan intensitas cahaya di dalam gedung pada siang hari kurang dari 10 lux (Adiwibawa, 2000). Pentingnya mengetahui habitat makro dan habitat mikro yang sesuai sebelum mendirikan gedung walet adalah salah satu kunci keberhasilan budidaya Burung Walet agar modal usaha yang digunakan untuk mendirikan gedung dapat termanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai informasi mengenai habitat Burung Walet yang digunakan untuk keperluan pengembangan budidaya Burung Walet.
1.6
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama 30 hari pada bulan April s.d. Mei
2016. Tempat penelitian di Kecamatan Way Jepara, Bandar Sribhawono, dan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.