I. PENDAHULUAN
Sejak berfiasil mencapai swasembada beras tahun 1984, produksi beras di Indonesia dapat terus ditingkatkan pada tahun-tahun berikutnya. Namun dalam beberapa tahun temkhir ini Iaju perhrmbuhan produksi beras mengalami pelandaian (Msnwan, 1994). Terjadinya konversi lahan sawah untuk keperluan non pertanian, hambatan cuaca,
serangan hama dan penyakit, serta kelangkaan tenaga k e j a produksi merupakan beberapa
faktor penyebab pelandaian tersebut. Kendati demikian, komitmen pemerintah untuk meningkatkan produksi betas tarnpak tetap tinggi. Berbagai upaya pencarian sumber pertumbuhan baru terus menerus dilakukan, baik meldui intensifikasi, ekstensifikasi maupun diversifikasi, sehingga bukan mustahil bahwa dalam tahun-tahun mendatang produksi beras ini akan meningkat kembdi. Hardjoamidjojo (1994) telah mtmperkirakan bahwa Indonesia masih akan mampu melestarikan swasembada beras ini pada masa yang akan datang.
Pada era pasar global mendatang, beras domestik illi harus bersaing dengan beras
dari negara lain dalam merebut pasar. Dari persaingan ini perlu diantisipasi kemungkinan adanya beras domestik yang tersingkir dari pasaran atau merosot nilainya, sebab mutu maupun harga beras domestik umumnya masih kalah unggul daripada beras internasional. Baharsyah (1994) memberikan contoh, bahwa h-
per kg beras di pasar intemasiond
adalah sekitar Rp. 600,-, tetapi ini berlaku untuk beras dengan mutu yang setara dengan beras kepala Cianjur, yang di ddam negeri berharga lebih dari Rp. 1.000,- per kg. Di sisi lain, cukup
banyak beras yang ada di Indonesia saat ini mengalami
penurunan mutu sebagai akibat kurang sernpumanya penggilingan, dan perlakuan pasca-panen yang kurang tepat. Data resmi tentang besarnya beras turun mum setiap tahun memang belum ditemukan, tetapi banyaknya keluhan tentang mutu beras bagian
pegawai negeri merupakan contoh yang dapat dipakai sebagai indikator adanya beras turun mutu tersebut. Penurunan mutu ini jelas menurunkan nilai tambah beras. Oleh karena itu diperlukan antisipasi agar beras turun mutu dapat ditingkatkan kembali nilai tambahnya. Alternatif yang dapat ditempuh unttlk mewujudkan maksud di atas addah pengembangan agroindustri yang menggunakan bents d a g a i bahan baku. Salah satu wntoh agroindustri tersebut adalah industri pembuatan bihun. Industri ini telah lama dikenal dan produknya pun e l a h diterima oleh masjrarakat. Namun demikian, dalam perkembangannya bihun mengalami penurunan popularitas, terutama sejak dikenal dan dikembangkannya teknologi mi instan di Indonesia. Keunggulan mi instan atas bihun nampaknya terletak pada sifat pralctis dan siap hidangnya. Sementara dari aspek kebiasaan makan. bihun semestinya lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia daripada mi istan, mengingat mi instan terbuat dari terigu, sedangkan bihun dari beras. Meskipun memitiki kelanahan seperti di atas, secara makro konsumsi mi instan di Indonesia mengalami peningkatan terus menerus. Dataconsult (1995) mengungkapkan bahwa perkembangan konsumsi mi instan dari 1993 hingga 1995
meningkat di atas 25% per tahun, yalcni dari 2.246,9 juta bungkus atau setara 168.516 ton menjadi 3.544,s juta bungkus (= 265.838 tonj. Selanjumya diperkimhn bahwa hinga tahun 2000 mendatang, konsumsi mi instan ini terus meningkat dengan laju di atas 15% per tahun. Menilik keunggulan dan kelemallan bihun dan mi instan serta memperhatikan situasi pasar di atas, maka pengolahan beras menjadi mi beras instan tampaknya merupakan satu alternatif yang cukup prospektif sebagai langkah antisipatif terfiadap penurunan nilai tarnbah beras. Oleh sebab itu teknologi pengolahannya perlu segera dipersiapkan
Dari literatur yang ada, sejauh ini belum ditemukan adanya laporan tentang mi beras instan, tetapi telah dilaporkan adanya penggunaan istitah mi beras. Winarno (1986) rnenyebutkan bahwa mi beras adalah jenis mi yang dibuat dari campuran tepung terigu dan beras. Produk yang sering juga disebut sebagai mi Cina ini diolah dengan rnelewatkan adonan melalui sheding mIIo sampai membentuk lembaram yang homogen dan halus, kemudian dibelah dengan cuning d I e r menjadi strip benang yang tipis, dan dipotong menurut panjang yang dikehendaki. Badasarkan alur proses di atas, dapat diduga bahwa proporsi terigu febih besar daripada beras dalam pembuatan mi beras ini. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya tahap gelatinisasi sebelum tahap sheeting. Komposisi ini tentunya kurang sesuai dengan upay a menggunakan beras sebagai bahan utama. Penyiapan teknologi mi beras instan yang berorientasi pada beras sebagai bahan utama harus melibatkan proses gelatinisasi sebagian pati beras. Hal ini mengingat pa& pembuatan mi dari serealia tanpa gluten memerlukan sejumlah pati yang tergelatinisasi untuk mengganti peran gluten sebagai bahan pengikat (Juliano dan Sabra, 1985). Industri mi instan selama ini juga biasa menggunakan sejenis pati sebagai bahan aditif dalam proses produksinya. Pati tersebut adalah pati terfosforilasi (pkospko-
starch atau cmss-linkcd starch). Produk ini betfhngsi sebagai textnre & ~ C T
bagi mi
instan dan biasa dibuat dari pati kentang, serta termasuk dalam kelompok pati termocii fi kasi (modcreedstarch). Indonesia banyak mengimpor pati termodifikasi ini untuk kepeduan industti pangan maupun non pangan. Pada tahun 1992, tingkat impomya mencapai 21.029 ton dengan nilai sebesar 14.029.549 dolar AS (Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. 1997). Kebutuhan ini tents meningkat sehingga pada tahun 1996 telah mencapai
48.273 ton dengan nilai irnpor 37.631.145dolar AS.
Pati terfosforilasi merupakan jenis pati termodifikasi yang berperan cukup besar dalam industri pangan. Selain sebagai texfure modJ7er dalam mi instan, pati terfosforilasi juga sangat diperlukan dalam pembuatan bumbu salad (snlad dressing) yaitu untuk menghasilkan sifat kekentalan yang tahan terhadap penambahan asam maupun kocokan tinggi (high shew) pada proses homogenisasi (Rutenberg dan Solarek, 1984). Pati terfosforilasi juga ditambahkan dalam produk pangan dalam kaleng, seperti sup. bubur. saus dan sebagainya. Viskositasnya yang bersifat tahan panas mengakibatkan produk tidak mengalami pembahan viskositas ketika disterilisasi. Selain itu, pati terfosforilasi juga digunakan sebagai bahan pengisi kue pie (piefilling) maupun puding (Rutenberg dan Solarek, 1984). Memperhatikan masalah dan keunggulan pati terfosforilasi di atas, beras juga berpeluang untuk dikembangkan menjadi produk serupa. Perkembangan teknologi ini selain akan meningkatkan nilai tambah beras, juga berpeluang menekan nitai impor pati terfosforilasi. Sebagai bahan yang kaya akan pat. (77
- 8PA)
(Juliana, 1993). beras mungkin
dapat diolah menjadi tepung beras terfosforilasi. Produk ini mungkin akan memiliki sifat yang sedikit berbeda dengan pati beras terfosforilasi. Meskipun demikian, pernbuatan tepung terfosforilasi mempunyai keuntungan lain dari segi proses, yaitu tidak adanya proses ekstraksi pati. Pembuatan tepung beras terfosforilasi, khususnya dazi beras asal Indonesia, sejauh ini merupakan hal yang baru, sehingga evaluasi sifat h n g s i o d dan pengaruh aplikasinya
pada mi instan perlu dilakukan. Selanjutnya dengan memperhatikan peluang pengembangan mi beras instan, maka dilakukan suatu penelitian yang mengkaji proses modifikasi sifat fhngsional tepung b a a s d m aplikasinya dalam pembuatan mi beras instan.
B. Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan uraian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan : 1.
Mempelajari pengaruh proses modifikasi fosforilasi terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung beras serta sifat proteinnya.
2.
Menyusun formula untuk pembuatan mi beras insian.
3.
Mempelajari pengaruh penambahan tepung beras terfodorilasi terhadap mutu mi
beras instan.
C . Hipotesis Proses modifikasi fosforilasi pada tepung beras akan mengubab sifat fisik, kimia,
dan fungsionalnya. Tepung hems dapat dipakai sebagai baham dalam pembuatan mi beras instan. Penggunaan tepung beras terfosfonlasi sebagai bahan aditif dalam pembuatan mi beras instan akan memperbaiki mutu mi beras instan tersebut.