I.
PENDAHULUAN
1. Latar belakang Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group)
merupakan
salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali digunakan sebagai bahan penyedap masakan (bumbu masak), bahan industri makanan dan bahan baku obat-obatan (Sulistyaningsih et al., 2002; Darmawidah et al., 2003). Selain itu, usaha budidaya komoditas ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pengembangan usaha pemasaran hasil pertanian dan usaha industri penunjang lainnya. Dalam pengembangan budidaya bawang merah di Indonesia seringkali menghadapi sejumlah kendala terutama serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan budidaya bawang merah adalah adanya gangguan penyakit (Santoso et al., 2007), baik di lapangan, saat transportasi maupun di penyimpanan (Naqvi, 2004).
Penyakit pada bawang merah dapat
disebabkan oleh jamur, virus, atau bakteri patogenik (Shimeles, 2014). Selama ini penelitian penyakit bawang merah yang disebabkan oleh jamur dan virus telah banyak dilaporkan, akan tetapi informasi mengenai penyakit bakterial patogenik pada tanaman tersebut masih sangat terbatas. Menurut Bodnar (1998), bawang merah sangat rentan terhadap bakteri patogenik.
Bakteri patogenik yang menginfeksi bawang bombay
dapat menyerang dan menginfeksi bawang merah, termasuk spesies anggota genus Allium lainnya (Brewster, 2008). Sebagai contoh, bakteri Pectobacterium carotovorum subsp. carotovorum tercatat sebagai patogen penyebab penyakit busuk lunak pada bawang bombay di Australia tetapi
1
dapat menimbulkan penyakit yang sama pada bawang merah (Wright & Grant, 1998). Sementara di India, bawang merah merupakan salah satu inang dari bakteri Xanthomonas axonopodis pv. allii penyebab penyakit hawar daun pada bawang bombay (Bowen et al., 1996). Serangan bakteri patogenik diperkirakan dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga mencapai 40% terutama pada kondisi iklim yang mendukung (Zaid et al., 2012). Serangan patogen tersebut menyebabkan kerusakan, baik pada daun maupun umbi bahkan seringkali pada
keduanya
sehingga
menghambat
pertumbuhan
tanaman
dan
menurunkan produksi, berupa penurunan ukuran dan kualitas umbi di lapangan,
yang
berlanjut
dengan
terjadinya
pembusukan
umbi
di
penyimpanan (Schwartz & Mohan, 2008; Gugino et al., 2010). Di Indonesia, penyakit bawang merah yang disebabkan oleh bakteri patogenik tergolong penyakit baru. Bakteri penyebabnya menjadi penting dan sangat berbahaya bila telah berada dan tersebar di wilayah Indonesia terutama di daerah-daerah sentra produksi karena dapat menimbulkan kerusakan serius pada pertanaman di lapangan.
Hal ini disebabkan
beberapa bakteri patogenik dapat terbawa bersama benih, seperti Pantoea ananatis (Walcott et al. 2002). Bakteri patogenik yang terbawa benih dapat mengakibatkan terjadinya penyebaran melalui perpindahan benih terinfeksi ke daerah-daerah baru. Perdagangan komoditas bawang merah dalam bentuk benih (biji atau
umbi)
telah
meluas
dan
menyebar
antar
negara,
termasuk
Indonesia, sedangkan benih dapat menjadi media pembawa yang cocok bagi
perpindahan
bakteri
patogenik
sehingga
dapat
mengganggu
2
keberlangsungan usaha budidaya tanaman (Walcott et al., 2002; Anonim, 2003). Penanaman bawang bombay kultivar tahan, atau toleran seperti Cometa, Blanco Duro dan Redwing
untuk pengendalian penyakit
(Schwartz & Gent, 2005) pada areal yang lebih luas akan memberi tekanan seleksi terhadap patogen sehingga mempercepat terjadinya perubahan genetika patogen untuk membentuk strain-strain baru yang lebih virulen (Semangun, 1996). Hal tersebut menimbulkan kekuatiran bahwa beberapa strain bakteri patogenik yang bervirulen tinggi, terbawa bersama benih impor sehingga peluang masuk dan menyebarnya bakteri patogenik terutama di daerah-daerah sentra produksi di Indonesia semakin besar. Kebiasaan petani yang menggunakan umbi impor ini sebagai benih dan ditanam secara terus-menerus pada setiap musim tanam dalam jumlah yang besar dapat mendorong timbulnya ledakan (epidemik) penyakit di pertanaman bawang merah. Menurut Suhendar & Machmud (1999), bila bibit impor yang terinfeksi ditanam, mungkin tumbuh menjadi tanaman di lapangan tetapi dapat menyebabkan terjadinya epidemik penyakit.
Epidemi penyakit dapat terjadi bila terdapat patogen yang
virulen, inang dalam keadaan rentan dan kondisi lingkungan yang mendukung, dan terjadi secara berulang (Keane & Kerr 1997). Dengan demikian, bila benih impor yang terinfeksi patogen ditanam, maka dapat berpotensi menimbulkan epidemi penyakit (Suhendar & Machmud, 1999) karena patogen dapat saja terbawa atau menginfeksi umbi sehingga menjadi sumber inokulum bagi penularan penyakit terutama bila benih
3
ditanam atau dipindahkan dari suatu area ke area lain (Haryati & Machmud, 1993). Identifikasi secara cepat dan tepat terhadap suatu strain bakteri patogenik penting dilakukan sebelum suatu tindakan pencegahan dan pengendalian diberikan agar dapat membantu menyelamatkan suatu areal pertanaman bawang merah, sekaligus mengantisipasi infeksi berikutnya terhadap tanaman di sekitarnya. Pengetahuan yang memadai mengenai strain bakteri patogenik dan teknik identifikasi secara akurat sangat dibutuhkan karena bila keliru dalam menentukan macam penyakit dan patogennya akan menyebabkan tidak tepatnya penentuan keputusan pengendaliannya (Streets, 1972).
Oleh karena itu, bila identitas strain
bakteri patogenik telah dikenal maka dapat dilakukan usaha pengendalian yang tepat untuk strain yang bersangkutan. Identifikasi bakteri patogenik dapat dilakukan dengan pendekatan konvensional
(karakterisasi
fenotipik)
dan
molekular
(genotipik).
Pengujian fenotipik biasanya dilakukan dengan mengamati gejala dan tanda penyakit, dilanjutkan dengan uji mikrobiologis, yakni mengisolasi dan mengidentifikasi patogen menggunakan media selektif (metode kultur). Metode lainnya yang masih sering digunakan adalah uji penentuan fisiologis dan biokimiawi serta uji postulat Koch (Schaad et al., 2001a). Pengujian ini diharapkan dapat memberi gambaran berupa karakter morfologis koloni, patogenik
dan sel, serta fisiologis dan biokimiawi bakteri
sedangkan uji genotipik (molekular) menggunakan gen 16S
rRNA untuk dianalisis dengan teknik PCR dan sequencing.
Menurut
4
Widjojoatmodjo et al. (1994), gen 16S rRNA terdapat pada semua organisme prokaryotik dan merupakan marker molekular yang baik. DNA kromosom bakteri sampel diisolasi dan diamplifikasi secara in vitro dengan metode PCR.
Penentuan urutan nukleotida fragmen 16S rRNA
dilakukan dengan metode sequencing. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan database Genbank untuk mengetahui kekerabatan antara strain bakteri yang diidentifikasi dengan data strain bakteri acuan yang tersimpan pada GenBank tersebut (Baere et al., 2004).
Pendekatan
molekular ini dilakukan untuk mendukung identifikasi bakteri patogenik pada uji fenotipik sebagai pembuktian kebenaran patogennya. Saat ini belum banyak informasi mengenai data keberadaan bakteri patogenik pada bawang merah di Indonesia.
Bakteri patogenik yang
diketahui berasosiasi dengan bawang merah di Indonesia baru sebatas X. axonopodis pv. allii penyebab penyakit hawar daun (Habazar et al., 2008), sedangkan bakteri lainnya belum pernah dilaporkan secara ilmiah. Demikian pula informasi mengenai derajat virulensinya belum diketahui secara jelas.
Hal ini menjadi penting karena bakteri patogenik yang
bervirulen tinggi memberikan indikasi kemampuan merusak tanaman yang sangat parah. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan identifikasi agar diperoleh kepastian mengenai identitas taksonomi bakteri patogenik lainnya, sebaran penyakit, dan tingkat virulensinya. Selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran dalam membantu menyusun teknik pencegahan penyebaran dan pengendalian yang tepat sesuai dengan strain bakteri patogeniknya.
5
2. Tujuan penelitian Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui dan mengkaji daerah sebaran penyakit bawang merah yang disebabkan oleh bakteri patogenik di beberapa sentra produksi di Indonesia b. Mengkaji dan mempelajari derajat (tingkat) virulensi isolat bakteri patogenik dominan yang berasal dari daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia c. Mengkarakterisasi
dan
mengidentifikasi
isolat
patogen
yang
berasosiasi dengan bawang merah sakit berdasarkan analisis genotipik (molekular) dan fenotipik (konvensional)
3. Manfaat penelitian Hasil penelitian yang diperoleh, diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dasar tentang keberadaan bakteri yang bersifat patogen pada bawang merah di Indonesia terutama tentang sebaran penyakit, virulensi patogen, karakteristik bakteri patogenik berdasarkan analisis genotipik dan fenotipiknya.
Selain itu, hasilnya dapat berguna
data base penelitian bawang merah
di Indonesia.
sebagai
Informasi ini
dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk membantu memperoleh metode pengendalian penyakit yang tepat.
4. Kebaruan penelitian Di Indonesia, informasi mengenai keberadaan penyakit bawang merah yang disebabkan oleh bakteri patogenik masih sangat terbatas. Penyakit bakterial pada bawang merah
kurang mendapat perhatian
6
karena
dianggap
menimbulkan penyakit
bukan
kerugian
sebagai
signifikan
penyakit sehingga
penting tindakan
yang
dapat
pengendalian
belum dilakukan secara intensif. Selain itu, keterbatasan
pengetahuan dan pemahaman mengenai dekrispsi gejala dan tanda penyakit bakterial patogenik terutama di lapangan menyebabkan penyakit sulit dikenali. Meskipun identifikasi penyakit bakterial dapat dilakukan secara visual di lapangan akan tetapi bentuk gejala awal yang muncul seringkali bersifat spesifik untuk strain bakteri tertentu sehingga sulit memastikan secara tepat strain bakterinya. Hal ini disebabkan banyak gejala penyakit tanaman yang sama seringkali disebabkan oleh patogen yang berbeda. Oleh karena itu, agar memperoleh hasil identifikasi yang akurat
perlu
dilakukan
pembuktian
penyebab
penyakit
dengan
menggunakan teknik postulat Koch untuk mengkonfirmasi bahwa patogen yang diuji merupakan bakteri penyebab penyakit pada tanaman bawang merah.
Selanjutnya
identifikasi
dilakukan
dengan
pendekatan
konvensional (fenotipik) melalui uji fisiologis dan biokimiawi, serta pendekatan molekular (genotipik) menggunakan gen 16S rRNA untuk dianalisis dengan metode PCR dan sequencing. Identifikasi terhadap keberadaan bakteri patogenik baru secara dini, dapat menghindarkan serangan penyakit dalam proses produksi bawang merah, sekaligus mengantisipasi infeksi berikutnya pada tanaman disekitarnya.
Hal
ini
karena
bakteri
patogenik
mungkin
mampu
menyerang dan menyebar secara cepat yang dapat membahayakan pertanaman bawang merah lainnya. Dengan demikian, bila strain bakteri patogenik telah dikenal maka dapat membantu usaha pengendalian yang
7
tepat untuk spesies yang bersangkutan.
Untuk mendukung kegiatan
budidaya tanaman bawang merah maka
informasi mengenai
gejala
penyakit, intensitas serangan, keberadaan patogen dalam tanah, daerah sebaran penyakit, virulensi patogen, serta strain bakteri patogeniknya secara genotipik dan fenotipik, sangat diperlukan agar dapat diketahui guna membantu mengatasi kendala produksi akibat serangan bakteri patogenik sehingga dapat diprediksi upaya pengendalian yang tepat dan kehilangan hasil dapat ditekan. Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa kebaruan (novelty) pada penelitian ini, antara lain : 1. Data strain-strain bakteri patogenik penyebab penyakit pada tanaman bawang merah di Indonesia belum tersedia.
Oleh karena itu perlu
diketahui keberadaan bakteri patogenik di beberapa sentra produksi bawang merah di Indonesia. 2. Karakterisasi bakteri patogenik secara genotipik dan fenotipik pada bawang merah belum pernah dilakukan
8