I. PENDAHULUAN
Penganekaragaman (diversifikasi) pangan sudah diusahakan sejak tahun 1960, namun sampai sekarang ketergantungan terhadap beras dan terigu belum dapat dihilangkan. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008 menunjukkan selama periode 2006-2008 pola konsumsi pangan sumber karbohidrat masih didominasi oleh beras dan terigu dengan nilai kontribusi konsumsi karbohidrat sebesar 64,1% (diatas angka anjuran sebesar 50%). Hal ini mendorong pencarian sumber pangan pengganti tepung terigu dan beras yang difokuskan pada sumberdaya lokal. Salah satu sumberdaya lokal yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung merupakan bahan pangan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia, dan merupakan pangan tradisional atau makanan pokok di beberapa daerah. Kandungan gizi jagung tidak kalah dengan beras atau terigu, bahkan jagung memiliki keunggulan karena merupakan pangan fungsional dengan kandungan serat pangan, unsur Fe dan beta-karoten (pro vitamin A) yang tinggi (Suarni, 2001). Selain itu, jagung merupakan pangan yang tergolong indeks glisemik sedang (Loehr and Schwartz, 2000), dan ketiadaan gluten menjadikan jagung cocok dikonsumsi oleh penderita gluten dan autis (Nirmala, 2008). Selain memiliki keunggulan nutrisi, tingkat produksi jagung juga cukup tinggi di Indonesia. Jagung varietas hibrida merupakan jenis jagung yang semakin banyak dibudidayakan di Indonesia. Penggunaan jagung hibrida merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Hernanda (2008) menyatakan bahwa pasar benih jagung
1
hibrida tahun
2010 diperkirakan
meningkat 10 % atau mencapai 2 juta ha. Hal ini mendukung peningkatan produksi jagung sebanyak 18 juta ton. Peningkatan benih hibrida ini diharapkan menyumbang tambahan produksi jagung nasional sebesar 20 % sehingga mendukung ketersediaan bahan baku produk pangan dari jagung. Varietas jagung hibrida yang ditanam cukup bervariasi. Beberapa varietas jagung hibrida yang banyak ditanam diantaranya BISI 16, NT 10, Prima, Nusantara 1, Pioneer 21, Pioneer 12, dan C-7 (Iriany dan Andi, 2007). Pemanfaatan jagung kuning hibrida untuk produk pangan saat ini masih sangat terbatas dibanding jagung lokal karena masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi jagung lokal dibanding jagung hibrida. Jagung hibrida mayoritas dimanfaatkan untuk produksi pakan ternak dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan untuk produk pangan seperti makanan ringan (Purwanto, 2010). Salah satu bentuk olahan jagung paling sederhana adalah pembuatan tepung jagung. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Damarjati et al., 2000). Pembuatan tepung jagung mendorong munculnya produk olahan jagung yang lebih beragam, praktis dan sesuai kebiasaan konsumsi masyarakat saat ini sehingga menunjang program diversifikasi konsumsi pangan. Karakterisasi sifat tepung sangat diperlukan untuk menyusun formulasi produk yang sesuai dengan mutu yang ditargetkan. Pada penelitian ini produk mi instan digunakan sebagai dasar karakterisasi tepung jagung karena survei konsumen menunjukkan bahwa penerimaan produk ini lebih tinggi daripada
2
produk pangan non beras lainnya (Hariyadi, 2010) dan untuk memberikan gambaran potensi penggunaan tepung jagung sehinggga dapat mengurangi ketergantungan terhadap terigu. Konsumsi tepung terigu di Indonesia diperkirakan 60 % diserap oleh industri mi instan dengan angka impor gandum mencapai 4,84 juta ton tiap tahun dan peningkatan sebesar 9 % per tahun (Wikipedia, 2008). Tepung non gandum yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku mi harus memiliki sifat seperti daya serap air yang tinggi, swelling volume dan kelarutan yang rendah, viskositas maksimum yang tinggi dan cepat mengalami retrogadasi (Tam et al., 2004; Tan et al., 2010), memiliki kapasitas emulsi yang baik, tepung yang stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki persen sineresis yang rendah (Chen, 2003). Mi yang dihasilkan dari tepung dengan karakter seperti disebutkan diatas memiliki cooking loss yang rendah, untaian mi yang kuat dan kompak, elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al., 2006). Menurut Moorty (2002), sifat tepung sangat dipengaruhi oleh varietas, cara menanam, iklim dan tingkat kematangan sehingga perbedaan varietas jagung hibrida akan berpengaruh pada sifat tepung yang dihasilkan. Seleksi varietas jagung kuning hibrida perlu dilakukan dengan cara karakterisasi untuk memperoleh sifat tepung jagung yang sesuai dengan produk mi instan dan lebih jauh dapat mengungkap sifat-sifat varietas jagung hibrida tersebut. Secara umum terdapat dua jenis metode penepungan yang sering diterapkan dalam produksi tepung serealia yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman (Suardi et al., 2002).
3
Metode basah lebih aplikatif di masyarakat sedangkan metode kering lebih sering digunakan dalam pembuatan tepung skala besar (Suprapto, 1998). Metode penggilingan yang berbeda diduga akan memberikan tingkat kerusakan pati dan komposisi kimia tepung yang berbeda. Menurut Usansa et al. (2009), selama proses perendaman memungkinkan terjadinya hidrolisis polimer penyusun bahan menjadi komponen yang lebih larut ke dalam media perendam sehingga dapat menyebabkan perubahan komponen kimia tepung. Selain itu pati dapat mengalami kerusakan mekanis selama penggilingan sebanyak 5-14 % (Dubat, 2004). Perubahan sifat tepung dapat disebabkan oleh kerusakan pati (Arora, 2003) dan perbedaan kompoisi kimia bahan (Lewis, 1987). Penentuan metode penggilingan yang tepat penting dilakukan untuk menghasilkan tepung yang memiliki sifat tertentu yang sesuai untuk produk mi instan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan varietas jagung kuning hibrida terbaik, menentukan jenis metode penggilingan yang tepat dan mengetahui interaksi kedua perlakuan tersebut serta menentukan kombinasi perlakuan terbaik untuk menghasilkan tepung jagung dengan sifat fisik, kimia, dan fungsional yang paling sesuai untuk produk mi instan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai karakteristik tepung jagung kuning hibrida dari beberapa varietas yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan mi instan untuk meningkatkan nilai ekonomis jagung kuning hibrida, dan membantu program
pemerintah
dalam
mewujudkan
ketahanan
pangan
pengembangan potensi sumber daya lokal seperti jagung kuning hibrida.
4
melalui
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jagung Hibrida Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman semusim dan termasuk ke dalam Divisi Tracheophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Monocotyledonae, Ordo Glumiflorae, Famili Graminae, Genus Zea, Spesies Zea mays. Faktor iklim yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman jagung hibrida sama dengan jagung pada umumnya yaitu suhu antara 21˚C – 30˚C, dengan ketinggian tempat mulai dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800m diatas permukaan laut, serta memerlukan intensitas penyinaran dan curah hujan yang cukup (Aak,2008). Dewasa ini jagung hibrida tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Berbagai macam tanah dapat diusahakan untuk pertanaman jagung hibrida bahkan pada lahan yang kurang subur sekalipun (Ali, 2009). Menurut Noble dan Andrizal (2003) terdapat dua golongan tanaman jagung yaitu jagung hibrida dan jagung komposit (bersari bebas). Jagung varietas hibrida
merupakan jenis jagung yang semakin banyak dibudidayakan di Indonesia. Penggunaan jagung hibrida merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produksi jagung nasional karena memiliki potensi hasil lebih tinggi dibanding jenis jagung bersari bebas sekitar 8-13,3 ton per ha. Varietas hibrida memberikan hasil
yang lebih tinggi dari bersari bebas karena memiliki gen-gen dominan yang favourable (baik) untuk berproduksi tinggi. Jagung hibrida dikembangkan berdasarkan gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan populasi atau generasi F1 sebagai tanaman produksi. Oleh karena itu, varietas hibrida selalu dibuat
5
diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Beberapa varietas jagung hibrida
yang banyak ditanam diantaranya BISI 16, NT 10, Prima, Nusantara 1, Pioneer 21, Pioneer 12, dan C-7 (Iriany dan Andi, 2007). Jagung hibrida memiliki beberapa keunggulan dibandingkan jagung bersari bebas seperti : lebih seragam dan mampu berproduksi 40-56% lebih tinggi, satu batang dapat menghasilkan dua tongkol (Dispertan, 2008), pertumbuhan cepat, tahan terhadap hama dan penyakit (Aak, 2008), menghasilkan biji yang lebih besar dan mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan (Suartha, 2008), warna biji kuning hingga oranye. Iriany dan Andi (2007) menyatakan bahwa jagung hibrida yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint), jagung gigi kuda (dent), setengah gigi kuda (semi dent) dan setengah mutiara (semi flint), seperti Prima (flint), P-21 (dent), P-12 (semi dent), C-7 (semi dent), Bisi 16 (semi flint), Pioneer-2 (semi flint), Hibrida C-1 (semi flint), dan lain-lain. Selain itu di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), dan jagung manis (sweet corn). Jagung mutiara lebih sulit dibuat tepung dibanding jenis jagung lainnya. Hal ini disebabkan jagung mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih sedikit dibandingkan dengan endosperma kerasnya. Tipe jagung berdasarkan endospermanya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Jenis-jenis jagung berdasarkan kandungan endosperma (Dickerson,2003).
6
Pengetahuan tentang anatomi biji jagung diperlukan dalam proses penyimpanan dan pengolahan jagung menjadi tepung secara tepat. Jagung terdiri dari empat bagian pokok, yaitu kulit (perikarp), tipcap, germ dan endosperma Kulit adalah bagian yang berfungsi sebagai pelindung endosperma dan bakal benih dari kerusakan fisik serta serangan serangga, menahan air dan mengurangi proses penguapan air dari biji secara berlebihan yang dapat mengurangi bobot biji selama penyimpanan, namun selama penepungan bagian kulit perlu diminimalkan karena mengandung serat yang tinggi. Bagian tipcap adalah bagian tempat menempelnya biji pada tongkol jagung. Bagian ini merupakan jalur makanan dan air untuk biji. Bagian germ (bakal benih) adalah bagian dari biji yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Bagian ini mengandung vitamin dan mineral serta lemak yang dibutuhkan biji untuk tumbuh. Bagian ini perlu diminimalkan agar dihasilkan tepung dengan persyaratan kadar abu dan lemak yang sesuai SNI. Bagian endosperma merupakan bagian terbesar dari biji (lebih dari 80%) yang merupakan sumber pati dan protein yang dipertahankan selama pembuatan tepung. Anatomi biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Anatomi biji jagung (WSI, 1998)
7
Bagian endosperma adalah bagian yang mengandung pati, yang berfungsi sebagai cadangan energi. Sel endosperma memiliki lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Dalam endosperma terdapat granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian besar adalah zein (Johnson 1991). Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras (horny endosperma) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat. Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras (Watson 2003). Produk-produk pangan berbasis jagung umumnya dikembangkan sebagai kudapan ringan sehingga belum mampu dikategorikan sebagai bahan pangan alternatif padahal secara umum komposisi kimia biji jagung sebanding dengan beras dan gandum. Kandungan karbohidrat jagung relatif tidak berbeda jauh dari beras dan gandum sehingga nilai energinya (kalori) juga hampir sama (Tabel 1). Tabel 1. Perbandingan komposisi jagung, gandum, dan beras sosoh. Jumlah Komposisi kimia Jagung Kuninga Gandumb Beras Sosohc Kalori (kal) 300,7 340 330 Protein (g) 7,9 12,69 6,3 Lemak (g) 3,4 2,09 0,5 Karbohidrat (g) 63,6 75,36 76,8 Kalsium (mg) 148 34 68 Besi (mg) 2,1 5,3 Vitamin A (SI) 440 0 Air (%) 24 10,42 9,76 Sumber : a = Ristek (2006) b = Frederick (2007) c = Koswara (2009)
8
Selain keunggulan nutrisi jagung juga memiliki keunggulan lainnya yaitu memiliki kandungan indeks glisemik sedang, mengandung beta karoten sebagai pewarna alami dan dapat dijadikan bahan baku makanan yang cocok bagi penderita alergen gluten dan penderita autis. Menurut Loehr and Schwartz (2009) jagung merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki IG (Indeks Glisemik) sedang yaitu sebesar 59. Makanan dengan indeks glisemik tinggi akan menyebabkan terjadinya loncatan kandungan gula darah yang tinggi secara tibatiba. Kadar gula darah menjadi tidak stabil, tubuh tiba-tiba merasa kenyang namun juga segera cepat menjadi lapar kembali. Perputaran siklus ”lapar-cepat kenyang-cepat lapar kembali” cenderung menyebabkan seseorang makan sebelum waktunya dan dengan jumlah tidak terkontrol dengan baik sehingga berpotensi menimbulkan problem makan yang berlebihan (Thompson et al., 2006). Pangan dengan indeks glisemik sedang juga membantu mengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes. Keunggulan jagung dibanding jenis serealia lainnya adalah warna kuning pada jagung. Warna kuning pada jagung dikarenakan kandungan karotenoid. Jagung kuning mengandung karotenoid berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22% diantaranya beta-karoten dan 51% xantofil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin (Koswara, 2000). Beta-karoten memberikan nilai tambah pada jagung yaitu memiliki aktivitas provitamin A yang dapat memberikan perlindungan terhadap kebutaan khususnya disebabkan oleh katarak dengan menjadi filter terhadap sinar UV. Sedangkan xanthofil memiliki fungsi meregulasi perekembangan sel dan melindungi sel normal dari sel mutan pemicu penyebab kanker, menangkal radikal bebas yang dapat merusak jaringan tubuh, sistem
9
imunitas tubuh terhadap serangan infeksi dengan meningkatkan komunikasi antar sel, dan mencegah penyakit jantung (Abdelmadjid, 2008). Jagung tidak mengandung gluten sehingga cocok dibuat produk untuk dikonsumsi oleh penderita alergi gluten dan penderita autis. Menurut Nirmala (2008) adanya kandungan protein gandum (termasuk gluten) dalam jumlah sedikit saja di dalam makanan, secara langsung akan menyebabkan timbulnya gangguan pada mereka yang sensitif, seperti gatal-gatal pada kulit, eksim, gangguan pencernaan (kram perut, mual dan muntah) serta gangguan pernapasan. Reaksi alergen ini melibatkan antibodi IgE yang terdapat di dalam darah. Antibodi IgE bereaksi terhadap protein gluten yang dianggap sebagai alergen (bahan penyebab alergi). Bahan makanan yang mengandung gluten dicurigai dapat mempengaruhi kesehatan usus pada penderita autis. Bagi penderita autis, gluten dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna protein jenis ini. Akibatnya protein yang tidak tercerna ini akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid. Opioid bersifat layaknya obat-obat seperti opium yang bekerja seperti toksin yang dapat mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas serta gangguan perilaku (Nirmala, 2008).
B. Pengolahan Jagung menjadi Tepung Menurut Asmarajati (1999), penepungan adalah suatu proses penghancuran bahan pangan yang didahului suatu proses pengeringan menjadi butiran-butiran yang sangat halus, kering dan tahan lama, serta fleksibel dalam penggunaannya.
10
Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperma, lembaga dan tip cap. Pengolahan biji jagung menjadi tepung telah lama dikenal masyarakat, namun diperlukan sentuhan teknologi untuk meningkatkan mutu tepung jagung yang dihasilkan. Menurut SNI 01-3727-1993, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Pelepasan kulit luar biji yang cukup sulit dapat diatasi dengan menggunakan mesin penyosoh jagung. Proses pembuatan tepung jagung adalah biji jagung disortasi kemudian disosoh. Proses sortasi untuk menggolongkan bahan atas tingkat kebagusan dan keseragaman serta untuk memisahkan bahan dari benda asing. Sedang penyosohan bertujuan untuk melepaskan kulit, germ dan tip cap sehingga yang tersisa hanya endosperma saja. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga harus dipisahkan karena dapat menyebabkan tekstur tepung menjadi kasar dan tidak sesuai SNI 01-3727-1993 sedangkan germ merupakan bagian yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga perlu dipisahkan karena dapat menyebabkan tengik. Tip cap juga perlu dipisahkan karena menyebabkan tepung menjadi kasar dan dan terdapat butir-butir hitam pada tepung. Jagung sosoh lalu dibuat tepung dengan melakukan penggilingan. Penggilingan merupakan proses pengecilan ukuran dengan gaya mekanis menjadi beberapa fraksi ukuran yang lebih kecil. Alat penggilingan yang digunakan untuk membuat tepung dari serealia terdiri dari alat penghancur dan penggilas (grinder dan ultra fine grinder). Hasil penggilingan kemudian diayak untuk memisahkan bagian kulit dan serat-seratnya. Hasil gilingan diayak dengan pengayak bertingkat untuk mendapat berbagai tingkat hasil giling (Rosmisari, 2006).
11
Secara umum terdapat dua jenis metode penggilingan yang sering diterapkan dalam produksi tepung serealia yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman (Suardi et al., 2002). Metode basah lebih aplikatif di masyarakat sedangkan metode kering lebih sering digunakan dalam pembuatan tepung skala besar (Suprapto, 1998). Efisiensi penggunaan energi pada penggilingan kering lebih rendah dibanding dengan penggilingan basah. Metode basah dapat memperkecil kerugian akibat oksidasi bahan olah dan menghasilkan tektur yang lebih halus (Haros et al., 2003). Disisi lain metode basah membutuhkan modal yang lebih besar dan memerlukan pengeringan secepatnya untuk menghindari kerusakan mikrobiologis sedangkan metode kering tidak menghasilkan limbah dan tepung dapat langsung digunakan.
C. Sifat Kimia, Fisik dan Fungsional Tepung Sifat kimia, fisik dan fungsional memiliki hubungan yang saling terkait (Lewis, 1987). Berikut analisis sifat fisikokimia dan fungsional tepung yang disesuaikan untuk produk mi instan. 1.
Sifat kimia Sifat kimia pada bahan pangan menunjukkan perubahan komposisi kimia
yang terkandung setelah mengalami proses pengolahan maupun penyimpanan (Wikipedia, 2009). Komposisi kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari varietas, cara menanam, iklim dan tingkat kematangan (Jugenheimer, 1976), sehingga perlu dilakukan seleksi untuk memperoleh varietas jagung dengan
12
komposisi kimia yang tepat untuk dibuat mi instan. Sifat kimia tepung meliputi kadar air, abu, protein total, lemak, pati, dan amilosa. Pengujian karakteristik kimia juga bertujuan untuk memperoleh tepung sesuai standar mutu yang teregulasi. Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 013727 (1993) disajikan pada Tabel 2. Khusus untuk kadar pati jumlah minimum menurut SII (Standar Industri Indonesia) adalah 75 %. Tabel 2. Syarat mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia. Kriteria uji Satuan Persyaratan Bau Normal Rasa Normal Warna Normal Benda asing Tidak boleh Serangga Tidak boleh Pati lain selain jagung Tidak boleh Kehalusan Lolos 80 mesh % Minimum 70 Lolos 60 mesh % Maksimum 99 Air % (b/b) Maksimum 10 Abu % (b/b) Maksimum 1,50 Silikat % (b/b) Maksimum 0,10 Serat kasar % (b/b) Maksimum 1,50 Derajat asam mL N NaOH/100 g Maksimum 4 Timbal mg/kg Maksimum 1 Tembaga mg/kg Maksimum 10 Seng mg/kg Maksimum 40 Raksa mg/kg Maksimum 0,05 Cemaran arsen mg/kg Maksimum 0,50 Angka lempeng total koloni/g Maksimum 5 x 106 APM/g Maksimum 10 E. coli Kapang koloni/g Maksimum 104 Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1993) 2.
Sifat fisik Sifat fisik merupakan atribut fisik yang tampak dan dapat diukur dari bahan
pangan (Wikipedia, 2009). Sifat fisik tepung meliputi rendemen, starch damage, densitas kamba, derajat putih, dan nilai pH.
13
a. Rendemen Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh terhadap berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan dari bahan dasar awalnya. b. Starch Damage Starch damage terjadi terutama diakibatkan oleh gaya mekanis yang diperoleh dalam proses penepungan. Selama proses penepungan, 5-12 % pati mengalami kerusakan. Granula pati yang lebih besar biasanya mengalami kerusakan yang lebih besar. Terdapat dua jenis starch damage, yakni cracks dan breaks (Dubois 1949 dalam Dubat, 2004). Kedua tipe jenis starch damage dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tipe starch damaged (Dubois 1949 dalam Dubat 2004) Starch damage dapat berpengaruh positif maupun negatif. Adanya starch damage menyebabkan daya serap air menjadi lebih tinggi menjadi 2-4 kali berat semula. Pati dikatakan 100% mengalami kerusakan bila menyerap air sebanyak jumlah pati pada suhu 30˚C. Sedangkan pati alami (native starch) hanya mampu menyerap 0,4 kali berat mula-mula. Hal ini penting secara ekonomi, karena air merupakan salah satu ingridien yang murah untuk meningkatkan rendemen pada produk seperti roti dan mi basah (Dubat, 2004).
14
Selain itu starch damage dapat meningkatkan mobilitas adonan (lembut dan fleksibel) dan kohesivitas serta meningkatkan kapasitas menahan gas pada pembuatan roti. Disisi lain, daya serap yang terlalu tinggi dapat menyebabkan adonan menjadi lengket sehingga sulit untuk dicetak. Selain itu, starch damage juga memungkinkan beberapa enzim spesifik (salah satunya adalah β-amilase) lebih leluasa bekerja dan meningkatkan nilai ketercernaan pati. Starch damage menunjukkan beberapa sifat fisik yang mirip dengan pati pregelatinisasi (Tabel 3). Tabel 3. Karakteristik pati alami, starch damage, dan pregelatinisasi. Karakteristik Pati alami Pati rusak Pati pregelatinisasi Ketercernaan oleh amilase Alpha lambat cepat cepat Beta tidak ada cepat cepat Sifat birefringence positif tidak ada, tidak ada sebagian Pola X-Ray tipe A tidak ada, tidak ada sebagian DSC ada tidak ada, tidak ada sebagian Viskositas pasta Dingin rendah sedang tinggi Panas tinggi sedang rendah Kapasitas penyerapan 0,5 3-4 20 Kelarutan rendah tinggi tinggi Komponen yang leaching tidak ada amilopektin amilosa Ketidak sempurnaan bentuk tidak ada ada tidak ada Sumber : Aurora (2003). Menurut Aurora (2003), jumlah starch damage dapat meningkat sejalan dengan meningkatnya kekerasan biji, menurunnya laju pemasukan bahan, meningkatnya kecepatan roll mesin penggiling, tingkat penggilingan dan lama penggilingan. Morrison and Tester (1994), perbedaan lama penggilingan menggunakan ball-milling dapat menyebabkan perubahan sifat
15
fisik dan fungsional tepung gandum yang dihasilkan seperti warna, swelling volume, dan sifat gelatinisasi tepung. Willm (1977) dalam Dubat(2004), industri penepungan dapat mengatur tingkat starch damage, baik dengan cara meningkatkan maupun menurunkannya (Tabel 4). Tabel 4. Beberapa cara mengatur starch damage dalam industri penepungan. Meningkatkan Starch Damage Menurunkan Starch Damage Merapatkan roll dengan kuat Mencegah kerapatan roll berlebihan Meningkatkan kekompakan layer Mengurangi kekompakan layer Menurunkan efisiensi flake Memilih flakes disrupter yang efisien disrupter Menutup flour sieves di depan Jika memungkinkan tingkatkan kadar mesin penepungan abu menggunakan grooved rolls Sumber : Willm (1977) dalam Dubat (2004) c. Densitas kamba Densitas kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu bahan terhadap volumenya. Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan khusus biji-bijian atau tepung-tepungan yang penting terutama dalam pengemasan dan penyimpanan. Bahan dengan densitas kamba yang kecil akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan dengan densitas kamba yang besar untuk berat yang sama sehingga tidak efisien dari segi tempat penyimpanan dan kemasan (Ade et al., 2009). Densitas kamba mempengaruhi jumlah bahan yang bisa dikonsumsi dan biaya produksi bahan tersebut. Densitas kamba makanan berbentuk bubuk berkisar 0,30-0,80 g/mL (Wiranatakusumah, 1992). d. Derajat putih (L) Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena pada produk pangan warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya. Warna tepung dapat diamati
16
secara kuantitatif dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuran yaitu L, a dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L mendekati 0. Nilai a merupakan pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai b merupakan pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999). Warna tepung yang diperdagangkan bervariasi mulai dari putih sampai putih keabu-abuan atau agak coklat dan kuning. Menurut syarat mutu SNI tidak ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, warna sesuai bahan baku jagung (putih, kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi bahan aslinya. Umumnya konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih (L) yang tinggi. e. Nilai pH Nilai pH berpengaruh terhadap pembentukan gel yang optimum. Pembentukan gel pati yang optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno, 2008). Pada pembuatan mi, faktor utama pembentukan gel adalah gelatinisasi pati bukan dari pembentukan gluten seperti yang terdapat dalam tepung terigu. Gel pati yang diharapkan pada pembuatan mi adalah gel yang memiliki viskositas yang cenderung tinggi dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan (Tam et al., 2004). f. SEM (Scanning Electron Microscope). Bentuk ganula pati merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung mempunyai ukuran yang cukup besar dan tidak homogen yaitu untuk yang kecil 1-7 μm dan bentuk yang besar 15-20 μm. Granula besar berbentuk
17
oval polihedral dengan diameter 6-30 μm (Suarni et al., 2008). Umumnya granula yang berukuran lebih besar lebih tahan terhadap perlakuan hidrotermal sehingga memiliki suhu awal gelatinisasi lebih tinggi dibanding granula yang berukuran kecil (Singh et al., 2005 dalam Suarni et al., 2008). Adanya perlakuan fisik, kimia dan mekanis memungkinkan perubahan bentuk ganula yang secara mikroskopis dapat diamati dengan SEM. 3.
Sifat fungsional Sifat fungsional merupakan sifat fisikokimia yang mempengaruhi perilaku
komponen tersebut dalam makanan selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi (Metirukmi, 1992). Sifat fungsional yang diamati pada penelitian ini meliputi kapasitas penyerapan air, swelling volume, kelarutan, kapasitas emulsi dan sifat amilogafi. a. Kapasitas penyerapan air (KPA) Kapasitas penyerapan air digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan tepung untuk menyerap air dan ditentukan dengan cara sentrifugasi. Kapasitas penyerapan air berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air. Menurut Elliason (2004), granula pati dapat basah dan secara spontan terdispersi dalam air. Air yang terserap disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang terikat secara fisik maupun intermolekuler pada bagian amorphous. Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai kondisi optimum. Dengan demikian kemampuan hidrasi yang rendah kurang cocok untuk produk olahan yang
18
membutuhkan tingkat gelatinisasi yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga mempengaruhi kemudahan dalam menghomogenkan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tingkat homogenitas adonan akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Adonan yang homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai tidak terdapatnya spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang telah dikukus (Tam et al., 2004). b. Swelling volume dan kelarutan Kelarutan merupakan berat tepung terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah supernatan. Swelling volume merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air (Balagopalan et al., 1988 dalam Baah, 2009). Kedua parameter tersebut merupakan petunjuk besarnya interaksi antara pati dalam bidang amorphous dan bidang kristalin (Baah, 2009). Kelarutan dan swelling volume merupakan dua hal yang berkaitan dan terjadi pada saat gelatinisasi. Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam Ratyanake et al. (2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang
berlebih,
struktur
kristalinnya
menjadi
“terganggu”
sehingga
menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan swelling. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan (Baah, 2009).
19
Mi dengan tingkat swelling volume yang tinggi akan memiliki penampakan mi yang mengembang cukup tinggi setelah direbus atau memiliki diameter mi yang cukup besar. Diharapkan tepung yang digunakan dalam membuat mi memiliki swelling volume dan kelarutan yang rendah (Tam et al., 2004; Tan et al., 2010). c. Kapasitas emulsi Kapasitas emulsi merupakan kemampuan larutan atau suspensi untuk mengemulsikan lemak. Untuk membentuk emulsi yang stabil maka molekul protein lebih awal harus menjangkau permukaan air, lemak, kemudian membentang sehingga kelompok hidrofobik dapat berhubungan dengan fase lemak. Sisi protein penstabil yang disajikan ke fase air harus bersifat hidrofilik dan memiliki asam amino polar yang bermuatan (Bian et al., 2003). Adanya emulsifier yang terkandung pada tepung dapat berpengaruh pada tektur produk yang dihasilkan. Emulsifier berfungsi mengontrol kohesivitas, kelengketan dan kekentalan tepung. Emulsifier juga berinteraksi dengan pati dan digunakan untuk mencegah leaching pati dari mi selama pemanasan (Numfor et al., 1996). d. Sifat amilografi Pada pembuatan mi non terigu, pati merupakan komponen penting yang menentukan sifat reologi mi yang dihasilkan. Pati berperan membentuk pasta pati yang elastis dan mudah dibentuk yaitu dengan memanfaatkan prinsip gelatinisasi pati menggantikan fungsi protein pada terigu (Morrison, 1990; Purwani et al., 2006). Pengamatan viskositas dan amilogafi. karakteristik pati selama gelatinisasi dapat secara akurat diamati dengan uji
20
Karakteristik pati selama gelatinisasi tersebut berpengaruh terhadap kualitas mi yang dihasilkan (Vongsawasdi, 2009). Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Pada uji ini, terdapat beberapa parameter yang diamati yaitu suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, viskositas maksimum, breakdown viscosity dan setback viscosity (Gambar 4).
Gambar
4.
Kurva kekentalan (BU) (Techawipharat, 2007).
hasil
pengukuran
brabender
Menurut Leach (1965) dalam Goldsworth (1999), yang dimaksud dengan suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini disebabkan karena terjadinya penyerapan air dan pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik di dalam granula pati (Winarno, 2008). Suhu puncak gelatinisasi dikenal sebagai suhu pada saat tercapainya viskositas maksimum yaitu suhu ketika granula pati mencapai suspensi pasta pengembangan maksimum hingga selanjutnya pecah. Pada suhu inilah pati
21
akan mencapai viskositas maksimum (Baah, 2009). Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringence-nya dan granula tidak memiliki kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat birefringence adalah amilopektin. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat di bawah mikroskop terlihat kristal gelap terang (Suarni et al., 2008). Viskositas maksimum merupakan viskositas pasta yang dihasilkan selama pemanasan (Baah, 2009). Peningkatan viskositas pasta disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Winarno, 2008). Viskositas maksimum merupakan titik maksimal viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Pada titik ini granula pati mengembang maksimal, makin tinggi pembengkakan granula maka makin tinggi pula viskositas maksimumnya.Viskositas maksimum juga menggambarkan fragilitas dari granula pati yang mengembang, yaitu mulai saat pertama kali mengembang sampai granula tersebut pecah selama pengadukan yang terus menerus secara mekanik oleh alat Brabender (Baah, 2009). Setelah mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan dalam Brabender dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi granula pati menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk polimer, agregat serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Penurunan tersebut terjadi pada pemanasan suhu suspensi 95˚C yang dipertahankan selama 10 menit. Nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas
22
maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95˚C selama 10 menit disebut dengan breakdown viscosity. Menurut Beta dan Corke (2001) dan Panikulata (2008), breakdown viscosity berhubungan dengan kestabilan pasta pati selama proses pemanasan. Breakdown viscosity merupakan ukuran kemudahan pati yang dimasak untuk mengalami disintegrasi. Besarnya breakdown viscosity menunjukkan bahwa granula-granula tepung yang telah membengkak secara keseluruhan bersifat rapuh dan tidak tahan terhadap proses pemanasan. Semakin rendah breakdown viscosity maka pati semakin stabil pada kondisi panas dan diberikan gaya mekanis (shear). Nilai kenaikan viskositas ketika pasta pati didinginkan disebut setback viscosity. Nilai setback viscosity diperoleh dengan menghitung selisih antara viskositas pasta pati pada suhu 50˚C dengan viskositas maksimum yang telah dicapai pada saat pemanasan. Kenaikan viskositas pati yang terjadi disebabkan oleh retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen intermolekuler (Swinkels 1985 dalam Baah, 2009). Beta dan Corke (2001) menyatakan bahwa setback viscosity merupakan ukuran dari rekristalisasi pati tergelatinisasi selama pendinginan. Laju kristalisasi tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan keberadaan dari bahan organik dan inorganik (Fennema, 1996). Menurut Chen (2003), terdapat empat jenis kurva amilogram yaitu tipe A, B, C dan D. Setiap tipe amilogram menggambarkan sifat amilografi yang khas. Gambar beberapa tipe amilogram dapat dilihat pada Gambar 5.
23
Gambar 5. Beberapa tipe amilogram pengukuran brabender (Chen, 2003). Pada amilogram tipe A, pati memiliki viskositas maksimum sama tingginya dengan tipe B namun memiliki nilai breakdown viscosity yang lebih tinggi dibanding tipe B artinya tipe A lebih mudah rusak dan menghasilkan viskositas yang lebih rendah selama pemasakan daripada tipe B. Pati dengan amilogram tipe C, tidak memperlihatkan viskositas maksimum tetapi viskositasnya cenderung dapat dipertahankan bahkan dapat meningkat jika dipertahankan pada suhu tinggi serta memiliki swelling volume dan kelarutan yang terbatas. Tepung dengan tipe C mempunyai kecenderungan retrogradasi yang tinggi. Sedangkan tipe D sama dengan tipe C tapi diperlukan 2 atau 3 kali jumlah pati tipe C untuk mencapai viskositas yang sama. Tepung yang sesuai untuk aplikasi ke produk mi adalah tepung yang memiliki profil gelatinisasi tipe C.
24
III. METODE PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Laboratorium Ilmu Tanah UNSOED, Laboratorium Sistem Produksi TP UGM, Laboratorium Genetika Fakultas Peternakan dan Laboratorium Seafast Center IPB. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai pada 6 Januari 2010 hingga 6 Mei 2010.
B. 1.
Bahan dan Alat
Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung adalah biji jagung
kuning hibrida bebagai varietas yang didapat dari petani dari daerah yang berbeda. Varietas C-7, P-21, dan P-12 didapat dari petani di Sumbang, Kembaran, Padamara, Karang Kobar, sedangkan Varietas Bisi 16 didapat dari petani di daerah Padamara, Sumbang. Jagung kuning varietas Prima, Nusantara dan NT 10 didapat dari petani di daerah Karangreja, Karangduren, Bobotsari dan Karanganyar. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah akuades, HCl, petroleum benzene, glukosa anhidrat, H2SO4 pa, NaOH pa, K2SO4, etanol 95%, pereaksi Nelson, pereaksi Arsenomolybdat, larutan iod, amilosa murni, asam asetat, platinum/ karbon, kertas saring, kertas saring “Whatman”, air dan aquades.
25
2.
Alat Peralatan yang digunakan dalam pembuatan dan pengemasan tepung jagung
kuning hibrida adalah timbangan digital, ayakan 80 mesh, disc mill ”JM” FFC-23, polisher ”Ichi” N50, tampah, loyang, alumunium foil, cabinet dryer, sealer, sendok, gelas ukur, baskom dan gunting. Peralatan yang diperlukan untuk analisis meliputi oven, cawan porselen, penjepit, timbangan analitik, desikator, blender, tabung reaksi, rak tabung sentrifus, vorteks, hot plate, beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pipet volumetric, pipet tetes, waterbath, pendingin balik, erlenmeyer, centrifuge, labu Kjeldahl, soxhlet, buret, termometer, spektrofotometer uv mini 1240 ”Shimadzu”, tanur Thermolyne, pH meter, chromameter C-300, brabender viscoamylograph ”Duisburg OHG D-4100”, JEOL JFC 110E dan SEM JEOL JSM 5200.
C.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan percobaan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor yang akan dicoba dalam penelitian ini adalah: 1. Varietas jagung kuning hibrida (V) terdiri dari 7 taraf, yaitu: V1
: C-7
V5
: P-21
V2
: Prima
V6
: Bisi 16
V3
: Nusantara 1
V7
: P-12
V4
: NT 10
26
2. Metode penggilingan (M) terdiri dari dua taraf, yaitu: M1
: Metode kering
M2
: Metode basah Faktor-faktor di atas disusun secara faktorial sehingga diperoleh 14
kombinasi perlakuan sebagai berikut: V1M1
V1M2
V2M1
V2M2
V3M1
V3M2
V4M1
V4M2
V5M1
V5M2
V6M1
V6M2
V7M1
V7M2
Setiap perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali sehingga diperoleh 28 unit percobaan.
D. 1.
Variabel dan Pengukuran
Variabel Variabel yang diamati meliputi sifat kimia, fisik dan fungsional tepung yang
dihasilkan. Variabel kimia yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein total, kadar amilosa, dan kadar pati. Variabel fisik meliputi rendemen tepung, starch damage, derajat putih, pengukuran pH, densitas kamba dan SEM (Scanning Electron Microscope). Variabel fungsional yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi
27
kapasitas penyerapan air, kelarutan, swelling volume, kapasitas emulsi dan sifat amilografi. 2.
Pengukuran
a.
Kadar air (Sudarmadji et al., 1997) Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang telah diketahui beratnya,
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam tergantung bahannya. Selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang, selanjutnya dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang beberapa kali sampai tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg). Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut. Kadar air (%bb) =
bc x 100 % (b a)
Keterangan: a = berat cawan (g) b = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g) c = berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah. b.
Kadar Abu (Sudarmadji et al., 1997)
Sampel sebanyak 2 g ditimbang dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 5000C selama 4 jam sehingga diperoleh abu dengan warna keputih-putihan. Cawan berisi abu kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut. Kadar abu (%bb) =
ab x 100 % c
28
Kadar abu (%bk) =
ab x 100 % c(1 ka)
Keterangan: a = berat cawan dan abu (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah. c.
Kadar lemak dengan metode Soxhlet (AOAC, 1975 dalam Sudarmadji et al., 1997)
Labu penampung dan alat ekstraksi soxhlet dibersihkan dan dikeringkan. Ditimbang sebanyak 2 g (X) sampel, dibungkus dengan kertas saring Whatman 41 kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 14 jam, kemudian ditimbang (Y). sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas penangas air dan dihubungkan dengan pendingin tegak. Dimasukkan ethil eter melalui lubang pendingin sampai setengah dari alat soxhlet (seluruh sampel tercelup). Sampel diekstraksi selama 16 jam sampai ethil eter yang ada menjadi jernih. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, selama 1 jam kemudian ditimbang (Z). Kadar lemak (%bb)
Y Z 100% X
Kadar lemak (%bk)
Y Z 100% X (1 ka)
d.
Kadar protein total (AOAC dalam Sudarmadji et al., 1997)
1) Destruksi : Sampel ditimbang sebanyak 2 g (Z) dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl yang telah bersih dan kering. Kemudian didestruksi dalam almari asam mulai dengan api kecil dan sewaktu-waktu digojog sampai
29
berwarna hijau jernih kemudian diangin-anginkan sampai suhu kamar. 2) Distilasi : Hasil destruksi setelah dingin diencerkan dengan 100 mL akuades kemudian dituangkan ke dalam labu godog dan dicuci lagi dengan air sehingga isi labu godok menjadi 300mL. Selanjutnya abu godok tersebut dipasang pada alat penyuling. Disiapkan labu penampung (beaker glass) yang telah diisi dengan H2SO4 0,3N dan beberapa tetes indikator. Labu penampung tersebut dipasang pada alat penyuling sedemikian rupa sehingga ujung alat penyuling tercelup pada larutan penampung. Ditambahkan 60 mL NaOH 33% ke dalam labu godog lalu api dinyalakan. Penyulingan diakhiri jika cairan dalam labu penampung sudah mencapai 175 mL. Setelah selesai didistilasi, alat penyuling dibilas dengan air dan air bilasan ini dimasukkan ke dalam labu penampung. Volume cairan tersebut diukur dengan gelas ukur. 3) Titrasi : Hasil distilasi diambil 10 mL dengan pipet seukuran 10 mL dan dituangkan ke erlemenyer. Kemudian dititrasi sampai terjadi perubahan warna ungu menjadi kehijau-hijauan. Catat volume NaOH 0,3 N yang digunakan untuk titrasi (X), ulangi pekerjaan titrasi sampai 3 kali. 4) Blanko : Blanko
dibuat
dengan
prosedur
seperti
diatas
namun
tidak
menggunakan sampel bahan. Dicatat volume NaOH 0,3 N yang digunakan untuk titrasi blanko (Y).
30
(Y X ) N 0,014 6,25 100% Z (Y X ) N 0,014 6,25 Kadar protein total (%bk) 100% Z (1 ka) Kadar protein total (%bb)
e.
Kadar pati (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji et al., 1997)
1) Penyiapan kurva standar Disiapkan larutan glukosa standar (10 mg glukosa anhidrat/100mL). Larutan glukosa standar dibuat 6 kali pengenceran sehingga diperoleh larutan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10 mg/100 mL. Disiapkan 6 tabung reaksi yang bersih masing-masing diisi dengan 1 mL larutan glukosa tersebut diatas. Satu tabung reaksi diisi dengan akuades sebagai blanko. Ditambahkan ke dalam masin-masing tabung di atas 1 mL pereaksi Nelson dan dipanaskan pada penangas air selama 20 menit. Semua tabung diambil dan segera didinginkan besama-sama dalam gelas piala yang berisi air dingin sehingga suhu tabung mencapai 25˚C. Setelah dingin diambahkan 1 mL pereaksi Arsenomolybdat, dikocok sampai semua endapan Cu2O yang ada larut kembali. Setelah itu ditambahkan 7 mL akuades, dikocok sampai homogen, kemudian ditera Optical Density (OD) masing-masing larutan tersebut pada panjang gelombang 540 nm. Dibuat kurva standar yang menunjukkan hubungan glukosa dan OD. 2) Penetapan kadar pati Sampel ditimbang sebanyak 2-5 g, dilarutkan dalam 50 mL air suling pada gelas piala 250 mL kemudian diaduk selama satu jam dengan pengaduk magnetik. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci
31
dengan air suling samapai volume filtrat 250 mL. Pati terdapat sebagai residu pada kertas saring dihilangkan lemaknya dengan dicuci 5 kali dengan 10 mL ether, kemudian dicuci lagi dengan 150 mL etanol 10 % untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu dipindahkan secara kuantitatif dengan kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan pencucian 200 mL air suling dan ditambahkan 20 mL HCL 25 %, ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan diatas penangas air mendidih selama 2,5 jam. Setelah dingin dinetralkan dengan larutan NaOH 45 %, kemudian diencerkan sampai 500 mL, selanjutnya disaring. Larutan kemudian ditentukan kadar gulanya yang dinyatakan sebagai glukosa dari filtrat yang diperoleh dengan cara spektrofotometri (Metode Nelson-Somogyi). Berat pati merupakan berat glukosa dikalikan 0,9. a FP 0,9 100% b a FP Kadar pati (%bk) 0,9 100% b(1 ka)
Kadar pati (%bb)
Keterangan : a = konsentrasi glukosa anhidrat dari kurva standar (g) b = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah
f.
Kadar amilosa (IRRI, 1971 dalam Apriyantono et al., 1989)
1) Pembuatan kurva standar Sejumlah 40 mg amilosa murni ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung reaksi. dan ditambahkan 1 mL etanol 95 % dan 9 mL NaOH 1 N. Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama lebih kurang 10 menit
32
sampai semua bahan membentuk gel dan didinginkan. Seluruh campuran dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL, ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades. Masing-masing 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan diatas dipipet masing-masing ke dalam labu takar 100 mL. Masingmasing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mL, lalu ditambahkan masing-masing 2 mL larutan iod. Masing –masing campuran dalam labu takar ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dibiarkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat dengan sumbu x adalah konsentrasi amilosa dan y adalah absorbans. 2) Penetapan sampel Sejumlah 100 mg tepung (sampel sebagian besar terdiri dari pati, jika banyak mengandung komponen lainnya, ekstrak dulu patinya
baru
dianalisis kadar amilosanya) dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1N. Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama lebih kurang 10 menit sampai semua bahan membentuk gel dan didinginkan. Seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL, dikocok dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Sejumlah 5 mL larutan tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, ditambahkan 1 mL asam asetat 1N dan 2 mL larutan iod, kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan air, kocok dan diamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan dengan spektrofotometer pada panjang
33
gelombang 625 nm. Kadar amilosa dalam sampel dihitung. Kadar amilosa (%bb)
a FP 0,9 100% b
Kadar amilosa (%bk)
a FP 0,9 100% b(1 ka)
Keterangan : a = konsentrasi amilosa dari kurva standar (g) b = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah. FP = faktor pengenceran g.
Rendemen tepung
Rendemen adalah perbandingan berat kering tepung yang dihasilkan dengan berat kering bahan awal. Rendemen (%)
b 100% a
Keterangan : a = berat biji jagung utuh (g) b = berat tepung (g) h.
Starch damage (AAC Method 76-31, 2008)
Sebanyak 100 mg tepung dimasukkan ke dalam tabung gelas sentrifus, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40 ˚C selama 5 menit untuk mendapatkan bahan dalam keadaan seimbang. Larutan α-amilase fungi (50 U/mL) ditempatkan pada gelas beaker kecil dan dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40 ˚C selama 5 menit untuk mendapatkan bahan dalam keadaan seimbang. Ditambahkan 1,0 mL larutan α-amilase fungi (50 U/mL) pada setiap tabung kemudian di vorteks selama 5 detik dan diinkubasi pada suhu 40 ˚C selama tepat 10 menit (penghitungan waktu dari saat penambahan enzim). Sejumlah 8,0 mL
34
larutan asam sulfat (0,2 % v/v) ditambahkan pada setiap tabung tepat setelah 10 menit penambahan enzim kemudian di vorteks selama 5 detik. Hal ini bertujuan untuk inaktivasi enzim. Tabung kemudian disentrifus pada kecepatan 3000 rpm atau dengan disaring menggunakan kertas whatman No 1. Sebanyak 0,1 mL filtrat dipindahkan secara akurat ke dalam dua tabung tes, lalu ditambahkan 0,1 mL amiloglukosidase (2U) pada tiap tabung dan divorteks serta diinkubasi selama 10 menit dalam inkubator pada suhu 40 ˚C. Ditambahkan 4,0 mL GOPOD reagen pada tiap tabung (termasuk standar glukosa dan blanko) dan diinkubasi pada suhu 40 ˚C selama 20 menit. Absorbansi setiap larutan diukur pada panjang gelombang 510 nm terhadap blanko. Blanko dibuat dengan menambahkan 0,2 mL buffer asetat dengan 4,0 mL reagen glukosa oksidase/ peroksidase sedangkan standar glukosa dibuat dengan melarutkan 0,1 mL glukosa standar (150 μg/0,1 mL) dengan 0,1 mL buffer asetat dan 4,0 mL reagen glukosa oksidase/ peroksidase. Starch damage (% bk) = ∆E x F x 90 x
1 x 100 x 162 1000 W (1-ka) 180 = ∆E x F x 8,1 W (1-ka)
Keterangan : ∆E = Absrobansi sampel terhadap reagen blanko F = 150 (μg glukosa) Absorbansi standar glukosa 90 = koreksi volume (1,0 mL diambil dari 9,0 mL) 1 = konversi dari μg ke mg 1000 100 = persen starch damage per berat sampel W W = berat sampel (mg) 162 180
= konstanta perbandingan glukosa bebas dan anhidroglukosa
35
i.
Derajat putih (Soekarto, 1990)
Derajat putih (L) tepung diukur dengan menggunakan chromameter dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Metode pengukuran dengan chromameter adalah metode penyinaran dengan sensor sinar yang dikenakan pada sampel, yang secara otomatis nilai derajat putih akan ditampilkan dalam layar monitor. Area pengukuran pada chromameter berdiameter 8 mm dan digunakan 0˚sudut pandangan. Alat chromameter ini dikalibrasi menggunakan kontrol atau standar warna yaitu barium sulfat. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam kotak pengukur untuk mengetahui derajat putihnya, tiap sampel diukur 3 kali pengulangan. Alat chromameter menggunakan sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan 3 parameter L, a, b, masing-masing dengan kisaran 0 sampai 100. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (light) dengan rentang nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatk putih, abu-abu, dan hitam Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau, dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai 100 untuk warna merah, dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru, kuning, dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru.
j.
Pengukuran pH (derajat keasaman) (Onwuka and Ogbogu, 2007)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter digital yang terlebih dahulu telah dikalibrasi dengan pH buffer 4 (buffer asetat) dan pH 7 (buffer fosfat). Sebanyak 1 g tepung didispersikan dalam akuades hingga 10 mL
36
dan dikocok dengan magnetic stirrer hingga basah sempurna, kemudian didiamkan selama 30 menit hingga mengendap. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam supernatan sehingga terbaca nilai pH yang terukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades. k.
Densitas kamba (Sathe and Salunkhe, 1981)
Densitas kamba diukur dengan menggunakan gelas ukur. Sampel yang akan diukur, ditimbang sebanyak 10 g. Kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 mL dan dibaca volumenya. Densitas kamba dihitung sebagai perbandingan berat sampel dengan volume contoh yang terbaca pada gelas ukur. Kemudian dilakukan ulangan sebanyak 4 kali. Densitas kamba (g/mL) berat sampel (g) volume (mL) l.
Kapasitas penyerapan air secara gavimetri (Kadan et al., 2003)
Tabung sentrifus diisi 2 g sampel tepung yang ditimbang berat tabung dan sampel (a), kemudian ditambahkan 9 mL akuades dan divorteks. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit, didekantasi dan ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan air (%bk)
b a 100% ms (1 ka)
Keterangan : a = berat sampel kering + berat tabung sentrifuse (g) b = berat sampel yang telah dibasahi + berat tabung sentrifuse (g) ms = berat sampel (g) m.
Kelarutan dan Swelling volume (Collado and Corke 1998 dengan modifikasi)
Swelling volume ditentukan dengan menimbang sebanyak 0,35 g tepung
yang kemudian ditambahkan air sebanyak 12,5 mL dalam tabung sentrifuse.
37
Selanjutnya larutan divorteks lalu dipanaskan dalam waterbath yang bersuhu 92,5˚C dan setiap 5 menit sekali divorteks selama 10 menit. Selanjutnya larutan didinginkan pada air es selama 1 menit dan pada suhu 25˚C selama 15 menit. Kemudian larutan disentrifus dengan kecepatan 3600 rpm selama 15 menit. Gel yang terbentuk diukur volumenya dan dinyatakan sebagai swelling volume dalam satuan mL/g (bk). Kelarutan diperoleh dengan cara menuangkan supernatan yang dihasilkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan pada suhu 110˚C selama semalam. Kelarutan dihitung dengan rumus sebagai berikut : w1 100% wdm w2 Swelling volume (ml/g bk) 100% wdm
Kelarutan (%bk)
wdm w1 w2 ws ka
= ws (1-ka) = berat supernatan (g) = volume gel yang terbentuk (mL) = berat sampel (g) = kadar air (desimal) tepung dalam berat basah.
n.
Kapasitas emulsi (Beuchat 1990 dalam Babiker et al., 2007 dengan modifikasi)
Sejumlah ± 1 g sampel diblender dengan 50 mL akuades selama 30 detik pada kecepatan maksimum. Minyak ditambahkan ke dalam blender sebanyak 0,1 mL dengan menggunakan pipet tetes ukuran 1 mL dan diblender kembali. Kemudian dilanjutkan penambahan minyak sebanyak 0,1 mL hingga emulsi tidak stabil. Batas akhir penambahan minyak ketika minyak terpisah dari sitem emulsi. Jumlah minyak yang ditambahkan merupakan nilai kapasitas emulsi mL/g (bk). Kapasitas emulsi (mL/g bk)
a 100% b(1 ka)
38
a = volume total minyak yang ditambahkan (mL) b = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) tepung dalam berat basah o.
Sifat amilografi (metode AACC 22-12 dalam Hung and Morita, 2005)
Sebanyak 450 mL akuades diukur dengan menggunakan gelas ukur. Sampel sebanyak 45 g dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dilarutkan dengan sebagian akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan ke dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas gelas piala kemudian dimasukkan ke dalam bowl amilograph. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograph. Suhu awal diatur dengan termoregulator pada suhu 300C kemudian diswitch pengatur suhu berada dibawah suhu 970C dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl berputar pada kecepatan 75 rpm dengan kenaikan suhu 1,50C per menit. Mesin amilograph dimatikan setelah pasta mencapai suhu 950C selama 10 menit kemudian dinyalakan kipas angin untuk menurunkan suhunya sampai suhu 600C dengan laju penurunan suhu 1,50C per menit, setelah itu mesin dinyalakan kembali. Pada saat mencapai suhu 500C selama 10 menit mesin dimatikan kembali. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis oleh komputer menggunakan program amilografi. Hasil grafik perubahan viskositas dapat langsung dicetak dengan printer.
39
Time (minute) Keterangan :
= perubahan viskositas sampel = profil suhu gelatinisasi
Gambar 6. Grafik perubahan viskositas (amilogram) pada tepung beras. Perhitungan analisis amilograph dilakukan dengan rumus : Suhu awal gelatinisasi
= suhu pada saat kurva mulai naik
Suhu puncak gelatinisasi
= suhu saat viskositas maksimum dicapai (kurva mencapai puncak)
Perhitungan suhu gelatinisasi
= suhu awal +[waktu (menit) x 1,5 0C/mnt]
sebelum mencapai suhu holding 95˚C Viskositas maksimum (peak viscosity)
= viskositas pasta pada puncak gelatinisasi
Breakdown viscosity
= viskositas maksimum – viskositas pada
dinyatakan dalam Brabender Unit (BU)
suhu 950C setelah 10 menit Setback viscosity
= viskositas pada suhu 500C – viskositas pada suhu 950C setelah 10 menit
Stabilitas selama pemanasan
= viskositas pada suhu 950C – viskositas setelah holding 950C
40
Stabilitas selama pendinginan
= viskositas pada suhu 500C – viskositas suhu setelah holding 500C selama 10 menit
p.
Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) (Chen et al., 2003)
Sampel yang akan dianalisis harus bersih dan tidak ada kontaminasi, karena kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisis. Sampel sebelumnya dikeringkan dengan freeze dryer sehingga didapat tepung dengan kadar air kurang dari 5%. Sampel kering diletakkan diatas stap yang sudah ditempeli dengan carbon double tape. Carbon double tape berfungsi untuk merekatkan sampel pada stap dan memudahkan alat membedakan pantulan sampel dan karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating dengan emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat. Selain berfungsi agar sampel bersifat konduktif terhadap elektron (baik mengantar elektron, karena sampel biologis tidak baik dalam mengantar elektron), coating juga berguna untuk mengurangi sampel menerima elektrostatik dan meningkatkan sejumlah secondary electron. Coating dilakukan selama 4 menit sehingga didapatkan ketebalan 300Å dengan platinum dan karbon. Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisis SEM dilakukan pada dua perbesaran X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada permukaan tepung. Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification (perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang ditetapkan pada gambar yaitu 10 μm dan 5 μm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.
41
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varian (uji F). Apabila ada pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Penentuan kombinasi perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Indeks Efektivitas.
F. Pelaksanaan Penelitian
1. Penelitian pendahuluan
a. Penentuan tingkat penyosohan Varietas yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah P-12. Tingkat penyosohan yang dicoba yaitu 1, 3, 5 dan 7 kali. Selanjutnya jagung yang telah disosoh dilakukan penggilingan sebanyak 3 kali dengan metode kering, pengayakan (80 mesh) dan pengemasan. Penggilingan sebanyak 3 kali adalah tingkat penggilingan kering tepung beras yang banyak diterapkan di masyarakat. Pengamatan terhadap tepung yang dihasilkan meliputi kadar serat, derajat putih, tekstur dan rendemen (Lampiran 1a). Tepung jagung sosoh 1kali memberikan nilai rendemen paling rendah, hal ini disebabkan masih banyak lembaga yang terikut sehingga tepung yang dihasilkan mengandung lemak yang tinggi sehingga sulit untuk diayak. Rendemen tepung paling tinggi didapat pada penyosohan 5 kali. Penyosohan sebanyak 5 kali menghasilkan kadar serat dan lemak yang rendah sehingga mempermudah pengayakan. Hal ini akan menghasilkan rendemen tepung yang lebih tinggi.
42
Sedangkan dilihat dari derajat putih didapat makin tinggi tingkat penyosohan, derajat putih (L) juga makin tinggi hal ini disebabkan jumlah tipcap dan lembaga makin sedikit yang terikut serta butir tepung yang dihasilkan makin halus. Apabila pemisahan tip cap tidak sempurna dapat membuat tepung menjadi kasar dan terdapat butir-butir hitam pada tepung (Lestari, 2009). Kadar serat tepung yang sudah sesuai SNI 01-3727-1993 yaitu tepung dari penyosohan 5 dan 7 kali, hal ini mungkin karena kulit sudah terbuang optimal pada penyosohan 5 dan 7 kali. Kadar serat yang tinggi dapat menyebabkan tepung yang dihasilkan terasa kasar pada lidah jika dikonsumsi. Penyosohan berlebihan menyebabkan terkikisnya bagian endosperma sehingga terjadi kehilangan pati dan rendemen menjadi lebih rendah (Mudjisihono, 1991). Berdasarkan pertimbangan rendemen, waktu, energi dan biaya produksi sehingga dipilih 5 kali penyosohan untuk tahap selanjutnya. b. Penentuan tingkat penggilingan optimal pada metode kering Penggilingan metode kering dengan 3 kali penggilingan menghasilkan tepung dengan rendemen rendah yaitu 26,53% sehingga masih diperlukan usaha meningkatkan rendemen dengan menambah tingkat penggilingan. Tingkat penggilingan yang dicoba yaitu 3, 5, 7 dan 9 kali. Pengamatan terhadap tepung yang dihasilkan meliputi derajat putih dan rendemen (Lampiran 1b). Rendemen tepung meningkat dengan makin tingginya tingkat penggilingan disebabkan makin banyak endosperma keras (horny endosperm) yang dapat dihancurkan.
Makin
tinggi
tingkat
penggilingan
pada
metode
kering
menyebabkan makin rendah nilai derajat putih (L). Hal itu menunjukkan warna tepung menjadi kuning kusam. Makin tinggi nilai a (+) menunjukkan intensitas
43
warna merah meningkat pada tepung sehingga menyebabkan warna makin kusam. Warna kusam yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh reaksi maillard yang intensitasnya meningkat sejalan dengan bertambahnya tingkat penggilingan (Frederick, 2007). Semakin tinggi tingkat penggilingan menyebabkan tepung menjadi panas dan kering. Sedang makin tinggi nilai b (+) menunjukkan warna kuning makin meningkat dengan meningkatnya tingkat penggilingan disebabkan xantofil yang ada dibagian horny endosperm ikut terbawa menjadi tepung bersama dengan hancurnya horny endosperm. Menurut Koswara (2000), pigmen xantofil dan beta karoten banyak terkonsentrasi di dalam horny endosperm. c. Penentuan lama perendaman optimal pada metode basah Pada metode basah, sebelum tahap penggilingan dilakukan perendaman. Waktu perendaman optimal ditentukan guna mendapatkan waktu perendaman paling efektif. Lama perendaman yang dicoba yaitu 3, 6, 9 dan 12 jam. Perendaman 15 jam dihentikan karena sudah berbau asam. Bau asam tersebut menunjukkan sudah terjadi fermentasi spontan yang akan mengubah sifat alami dari pati. Fermentasi spontan menyebakan penurunan viskositas maksimum dan nilai setback pati serta meningkatkan viskositas breakdown (Setiawan, 2008) yang tidak sesuai untuk pembuatan mi. Setelah direndam kemudian digiling 1 kali lalu dikeringkan menggunakan cabinet dryer selama 2,5 jam pada suhu 50˚C untuk mengeringkan tepung kemudian diayak dengan ukuran 80 mesh. Pengeringan menggunakan suhu cukup pati. Proses
rendah
50˚C
bertujuan mencegah gelatinisasi
pengeringan bertujuan
untuk
memudahkan
pengayakan dan
mencegah kerusakan mikrobiologis pada tepung yang masih basah.
44
Pengamatan terhadap tepung yang dihasilkan yaitu derajat putih dan rendemen (Lampiran 1c). Makin lama perendaman menyebabkan intensitas warna kuning tepung sedikit menurun, terlihat nilai b sedikit menurun sejalan dengan makin lama perendaman. Hal ini disebabkan selama perendaman, jagung terpapar oleh cahaya matahari sehingga terjadi degradasi beta-karoten. Ramachandran (2010) menyatakan bahwa sinar matahari (UV) menyebabkan degradasi karotenoid sehingga warna kuning pada bahan menurun. Kandungan karotenoid pada biji jagung kuning berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22% diantaranya adalah beta-karoten dan 51% xantofil. Beta-karoten dan xantofil ini bersifat lebih tidak stabil dan lebih mudah terdegradasi oleh sinar UV dibanding jenis karoten yang lain (Siems et al., 1999 dalam Ramachandran 2010). Sedang nilai a (-) makin rendah menunjukkan intensitas warna hijau makin menurun. Waktu perendaman hingga 9 jam menghasilkan peningkatan rendemen tepung, namun menurun pada lama perendaman 12 jam. Peningkatan rendemen disebabkan makin banyak endosperma keras (horny endosperma) menjadi lunak sehingga mudah dihancurkan menjadi tepung. Pada perendaman 12 jam, pati dan komponen lain yang larut selama perendaman lebih banyak dibanding perendaman 9 jam. Dengan mempertimbangkan nilai derajat putih (L), rendemen dan efisiensi waktu maka dipilih lama perendaman yaitu 9 jam. d. Penentuan tingkat penggilingan pada metode basah. Rendemen tepung metode basah dengan lama perendaman 9 jam masih mungkin untuk ditingkatkan sehingga perlu dicoba beberapa tingkat penggilingan yaitu 1, 2, dan 3 kali. Dari segi warna tidak terdapat perubahan yang signifikan
45
namun terjadi sedikit penurunan nilai derajat putih (L). Sedangkan rendemen sedikit meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat penggilingan (Lampiran 1d). Dengan mempertimbangan nilai derajat putih (L), rendemen dan efisiensi energi maka dipilih tingkat penggilingan yaitu 2 kali. 2. Penelitian lanjutan
Penelitian lanjutan dilaksanakan melalui dua tahap yaitu tahap pembuatan tepung jagung dengan metode basah dan kering pada berbagai varietas jagung kuning hibrida. Proses metode kering meliputi sortasi jagung kering pipil, penyosohan sebanyak 5 kali, penggilingan sebanyak 5 kali dan pengayakan 80 mesh. Sedangkan metode basah meliputi sortasi jagung kering pipil, penyosohan sebanyak 5 kali, perendaman dengan perbandingan bahan:air (1:2 b/v) selama 9 jam, ditiriskan, penggilingan sebanyak 2 kali, pengeringan dengan cabinet dryer selama 2,5 jam pada suhu 50˚C, pengayakan 80 mesh, pengemasan dengan plastik polipropilen kemudian disimpan dalam toples yang diberi silika gel (Lampiran 3 dan 4).
46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam pengaruh varietas jagung hibrida (V) dan jenis metode penggilingan (M) serta interaksinya (V x M) disajikan dalam Tabel 5, sedangkan nilai rata-rata pengaruh perlakuan terhadap variabel kimia, fisik dan fungsional disajikan dalam Lampiran 9, 10 dan 11. Penentuan perlakuan terbaik dengan metode Indeks Efektivitas dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 5. Hasil analisis ragam pengaruh varietas jagung hibrida dan metode penggilingan terhadap variabel kimia, fisik dan fungsional tepung jagung hibrida. No
Perlakuan
Variabel
V M VxM A. Variabel kimia 1 Kadar air ** ** * 2 Kadar abu ** ** tn 3 Kadar lemak ** ** tn 4 Kadar protein total ** ** tn 5 Kadar amilosa ** ** tn 6 Kadar pati ** ** ** B. Variabel fisik 1 Rendemen ** ** tn 2 ** ** ** Starch damage 3 Densitas kamba ** ** tn 4 pH ** ** tn 5 Derajat putih (L) tn ** tn C. Variabel fungsional 1 Kapasitas penyerapan air ** ** tn 2 ** ** tn Swelling volume 3 Kelarutan ** ** tn 4 Kapasitas emulsi ** ** tn Keterangan: V = varietas jagung hibrida; M = metode penggilingan; Vx M = interaksi antara jenis varietas jagung hibrida dan metode penggilingan; tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%; (*) = berpengaruh nyata pada taraf 5%; (**) = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%.
47
A. Variabel Kimia 1.
Kadar air
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung varietas Prima dan P-12 mempunyai rata-rata kadar air lebih rendah jika dibandingkan tepung jagung dari varietas lain yaitu 6,91% dan 6,99% bb, sedangkan tepung jagung varietas Bisi 16 memiliki rata-rata kadar air yang lebih tinggi yaitu 9,48% bb (Gambar 7). Hal ini disebabkan perbedaan kadar air pada jagung pipil kering yang digunakan. Jagung pipil kering varietas Prima dan P-12 mempunyai kadar air yang lebih rendah (8,39% dan 8,41% bb) daripada jagung pipil kering varietas Nusantara 1, NT 10, P-21, C-7 dan Bisi 16, masing-masing sebesar 9,56% bb; 10,64% bb; 8,84% bb; 10,10% bb dan 11,18% bb. Hal ini serupa dengan penelitian Kaur et al. (2006) yang menyatakan bahwa perbedaan kadar air pada tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar air bahan mentah. 10
9,48a
Kadar air (%bb)
9,25ab 9
8,68bc 8,18cd
7,86d
8
6,99e
6,91e
7 6 5 C-7
Prima
Nusantara
NT 10 Varietas
P-21
Bisi 16
P-12
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 7. Kadar air tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar air lebih rendah
48
jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 7,48% bb (Gambar 8). Hal ini disebabkan pada metode penggilingan basah terjadi kehilangan komponen dengan gugus hidroksil yang mampu mengikat air seperti karbohidrat, serat, protein dan garam selama perendaman. Menurut Winarno (2008), molekul air terikat dengan molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen. Molekul air membentuk hidrat dengan molekul lain sepeti karbohidrat, protein dan garam. Selain itu pada metode penggilingan basah dilakukan pengeringan sehingga kadar air menjadi lebih rendah. Menurut Taib (2000), pengeringan adalah proses penurunan kadar air hingga batas tertentu. Selama pengeringan terjadi pemindahan panas dari udara ke bahan dan sebaliknya terjadi pemindahan air dari bahan ke ke udara melalui fase uap.
Kadar air (% bb)
9,5 9
8,90a
8,5 8 7,48b
7,5 7 6,5 Metode kering
Metode basah Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 8. Kadar air tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air tepung jagung. Nilai rata-rata kadar air terendah dihasilkan dari kombinasi V2M2 yaitu 5,54% bb, sedangkan nilai rata-rata kadar air tertinggi dihasilkan dari kombinasi V6M1 yaitu 9,75% bb (Gambar 9). Hal ini disebabkan kadar air biji pipil kering
varietas
Prima paling rendah dan dibuat tepung dengan
menggunakan metode basah sehingga menghasilkan kadar air terendah.
49
12
kadar air (%bk)
10
10,38ab
10,59a 9,79abc 9,29bcd
10,17ab 9,02cd
8,65de 7,68ef
8
10,8a 10,15ab 8,22de
7,79ef
6,82fg
5,87g
6 4
M1 M2
2 0 V1
V2
V3
V4 varietas
V5
V6
V7
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 9. Kadar air tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. Menurut Earle (1969), tepung yang baik memiliki kadar air tidak lebih dari 14%. Kadar air tepung lebih dari 14% lebih mudah mengalami kerusakan mikrobiologis sehingga umur simpan lebih pendek. Berdasarkan SNI 01-3727 kadar air tepung jagung maksimum adalah 10% bb. Jika dibandingkan dengan SNI tepung jagung, maka kadar air tepung dari seluruh kombinasi telah memenuhi standar mutu tepung jagung dengan kadar air kurang dari 10% bb, sehingga telah memenuhi syarat untuk disimpan pada suhu ruang.
2.
Kadar abu
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar abu tepung jagung. Varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar abu lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,50% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12 memiliki ratarata kadar abu yang lebih tinggi yaitu 1,04% bk (Gambar 10). Perbedaan varietas menyebabkan kadar abu jagung pipil berbeda sehingga dihasilkan tepung jagung dengan kadar abu yang berbeda antar varietas. Hal tersebut juga disebabkan penambahan pupuk dan perbedaan kondisi tanah tempat tumbuh (Wagiono, 1987).
50
Kadar abu (%bk)
1,2 1
1,04a 0,93ab
0,88abc 0,78bcd
0,8
0,71cd
0,65de
0,6
0,50e
0,4 0,2 0 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 10. Kadar abu tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar abu tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar abu lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 0,62% bk (Gambar 11). Hal ini disebabkan pada proses perendaman dengan metode basah, sebagian mineral larut ke dalam media perendam. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Chen et al. (1999), bahwa penggilingan basah dengan melibatkan air menyebabkan larutnya sebagian mineral, vitamin larut air, albumin dan gula ke dalam air perendam.
Kadar abu(%bk)
1
0,95a
0,8
0,62b 0,6 0,4 0,2 0 Metode kering
Metode basah Metode Penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 11. Kadar abu tepung jagung dari metode penggilingan basah dan kering. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu tepung jagung. Nilai rata-rata kadar abu (%bb) dari kombinasi V1M1,
51
V1M2, V2M1, V2M2, V3M1, V3M2, V4M1, V4M2, V5M1, V5M2, V6M1, V6M2, V7M1, dan V7M2 berturut-berturut yaitu 1,01%; 0,69%; 0,86%; 0,60%; 0,76%; 0,54%; 0,74%; 0,44%; 1,01%; 0,62%; 0,60%; 0,30%; 1,11%; dan 0,82%. Kadar abu semua kombinasi telah sesuai dengan SNI 01-3727 (1993), yaitu kurang dari 1,5% bb. Kombinasi V7M1 memiliki rata-rata kadar abu paling tinggi dibanding kombinasi lainnya yaitu 1,20% bk (Gambar 12). Jika kadar abu di atas 1,5% bb dikhawatirkan telah terjadi kontaminasi logam selama proses penepungan dan jika kadar abu kurang dari 1,5% bb menunjukkan kandungan mineral yang cukup rendah dalam tepung jagung yang dihasilkan. 1,4
kadar abu (%bk)
1,2
1,11ab 0,93bc
1
0,8
1,20a
1,11ab
0,87bcd 0,84cde
0,82cde
0,75cdef 0,64def
0,6
0,67cdef 0,67cdef 0,58efg
M1
0,49fg 0,33g
0,4
M2
0,2 0
V1
V2
V3
V4 varietas
V5
V6
V7
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 12. Kadar abu tepung jagungdari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. 3.
Kadar lemak
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar lemak lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,73% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12
52
memiliki rata-rata kadar lemak yang lebih tinggi yaitu 3,61% bk (Gambar 13). Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak yang lebih rendah (4,15% bk) daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT 10, P21, C-7 dan P-12, masing-masing sebesar 6,45% bk; 5,84% bk; 4,26% bk; 6,73% bk; 6,50% bk dan 7,04% bk. Perbedaan kadar lemak pada tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar lemak jagung pipil kering masing-masing varietas. Kaur et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaan kadar lemak pada tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar lemak bahan mentah.
Kadar lemak (%bk)
4
3,61a 3,17c
3,33b
3,05d
3
2,31e 1,70f
2
0,73g
1 0 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 13. Kadar lemak tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar lemak lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 2,40%bk (Gambar 14). Hal ini disebabkan selama proses perendaman terjadi aktivasi enzim lipase yang menghidrolisis sebagian lemak menghasilkan asam lemak dan gliserol. Gliserol lebih mudah larut kedalam larutan perendam sehingga kadar lemaknya menurun. Menurut Chen et al. (1999) bahwa penggilingan basah pada beras menghasilkan tepung dengan jumlah lemak yang lebih sedikit.
53
Kadar lemak (%bk)
3
2,72a
2,5
2,40b
2 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 14. Kadar lemak tepung jagung dari metode penggilingan basah dan kering. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak tepung jagung. Nilai rata-rata kadar lemak relatif rendah pada semua kombinasi. Nilai rata-rata kadar lemak kombinasi V6M2 paling rendah dibanding kadar lemak kombinasi lainnya (Gambar 15). Kadar lemak yang rendah pada tepung jagung disebabkan adanya proses pemisahan lembaga pada saat jagung diproses menjadi tepung. Kandungan lemak jagung pada bagian lembaga yaitu 34,50% sedangkan endospermanya hanya 0,85 % (Inglett, 1970). 4
kadar lemak (%bk)
3,5 3
3,39cd 2,99e
3,72a
3,42bc 3,23d
3,26d 2,85f
2,5
3,51b
2,52g 2,11h
2
1,89i 1,52j
M1
1,5
0,87k
1
M2
0,59l
0,5 0
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 15. Kadar lemak tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
54
Kadar lemak tidak termasuk ke dalam syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI. Kadar lemak semua kombinasi lebih tinggi jika dibanding kadar lemak terigu tipe hard dan medium flour (1,3%bk) yang umum digunakan untuk membuat mi, kecuali kombinasi V6M1 dan V6M2. Tepung jagung diharapkan mengandung kadar lemak yang rendah. Dekie (1988) menyebutkan bahwa kadar lemak yang tinggi mempengaruhi kualitas bahan selama penyimpanan karena menyebabkan bahan lebih mudah tengik. Selain itu kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu pengikatan air oleh granula. Jika pengikatan air oleh granula pati terhambat dapat mengakibatkan gelatinisasi yang diharapkan tidak tercapai dan tidak merata. Hal ini dapat menyebabkan tekstur mi yang dihasilkan mudah patah dan kasar karena terbentuk matriks pati yang tidak sempurna saat gelatinisasi.
4.
Kadar protein total
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar protein total tepung jagung. Tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar protein total lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 5,62% bk (Gambar 16). Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kadar protein total yang lebih rendah (8,57% bk) daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21, C-7 dan P-12, masing-masing sebesar 10,25% bk; 9,57% bk; 10,56% bk; 10,45% bk; 10,89% bk dan 10,74% bk. Perbedaan kadar protein total pada tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar protein total jagung pipil kering masing-masing varietas. Kaur et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaan kadar protein pada tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar protein bahan mentah.
55
Kadar protein total (%bk)
9
8,77a
8,54a
8,55a
8,78a
8,57a
7,87b
8 7
5,62c
6 5 4 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 16. Kadar protein total tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein total tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar protein lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 7,95% bk (Gambar 17). Hal ini disebabkan pada proses perendaman pada metode basah, terjadi proses aktivasi enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi komponen sederhana seperti peptida dan asam amino yang lebih larut (Triantarati 1989 dalam Pangkey 1991). Menurut Anglemei and Montglomery (1976), kadar protein turun karena lepasnya ikatan struktur protein selama perendaman sehingga
Kadar protein total (%bk)
komponen protein larut dalam air. 8,3
8,25a
8,2 8,1 8
7,95b
7,9 7,8 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 17. Kadar protein total tepung jagung dari metode penggilingan basah dan kering.
56
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein total tepung jagung. Kombinasi V6M1 dan V6M2 memiliki rata-rata kadar protein total paling rendah dibanding kombinasi lainnya yaitu 5,76% dan 5,48% bk (Gambar 18). Hal ini terutama disebabkan kadar protein total jagung pipil varietas Bisi 16 paling rendah dibanding yang lain. Protein terbanyak pada jagung adalah zein dan glutelin. Walaupun kadar protein sebagian besar kombinasi tepung jagung tergolong sedang, tetapi jagung tidak memiliki protein gluten yang merupakan protein utama pada terigu. Oleh karena itu, protein jagung tidak
kadar protein total (%bk)
berkontribusi secara signifikan terhadap karakteristik produk mi yang dihasilkan. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8,89a 8,64ab 8,67ab 8,65ab 8,83ab 8,45bc 8,47bc 8,24cd 8,05d 7,69e
8,89a
5,76f
8,67ab
5,48f
M1 M2 V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 18. Kadar protein total tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. 5.
Kadar amilosa
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara seperti lipid dan protein (Pomeranz, 1976). Amilosa mempunyai struktur lurus yang dominan dengan ikatan alfa-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai titik percabangan dengan ikatan cabang alfa(1-6)-D-glukosa. Dibanding sumber pati lain, jagung mempunyai beragam jenis
57
pati, mulai dari amilopektin rendah sampai tinggi. Jagung dapat digolongkan menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya, yaitu jenis normal mengandung 7476% amilopektin, jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomize mengandung 20% amilopektin, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati (Suarni et al., 2008). Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar amilosa tepung jagung. Tepung jagung varietas Prima mempunyai rata-rata kadar amilosa lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 23,43% bk, sedangkan tepung dari varietas C-7 memiliki rata-rata kadar amilosa yang lebih tinggi yaitu 33,94% bk (Gambar 19). Perbedaan kandungan amilosa antar varietas disebabkan faktor genotip, varietas, kondisi lingkungan dan praktek kultur (Kaur et al., 2006). Hal ini serupa dengan penelitian Sandhu and Singh (2006), perbedaan varietas jagung
Kadar amilosa (%bk)
menghasilkan pati dengan kandungan amilosa yang berbeda-beda. 35 33 31 29 27 25 23 21 19 17 15
33,94a
25,66c
31,26b
30,96b
P-21
Bisi 16
31,86b
25,16c
23,43d
C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 19. Kadar amilosa tepung jagung dari beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar amilosa tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar amilosa
58
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 28% bk (Gambar 20). Hal ini disebabkan selama proses perendaman pada matode basah terjadi proses aktivasi enzim amilase yang dapat menghidrolisis amilosa menjadi dekstrin yang bersifat lebih larut (Usansa et al., 2009). Menurut Winarno (1988), enzim yang terdapat pada tanaman yang dapat menghidrolisis pati adalah betaamilase, alfa-amilase dan fosforilase. Enzim beta-amilase dapat memecah pati menjadi fraksi-fraksi kecil yakni pemecahan amilosa menjadi maltosa, maltotriosa dan sedikit glukosa serta alfa limit dekstrin. Sedangkan enzim alfa amilase dapat menghidrolisis pati menjadi fraksi-fraksi molekul yang terdiri dari enam sampai
Kadar amilosa (%bk)
tujuh unit glukosa. 30
29,79a
29,5 29 28,5
28b 28 27,5 27 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 20. Kadar amilosa tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah. Kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan suatu hal yang diharapkan dalan pembuatan mi non terigu karena memiliki daya ikat yang lebih kuat, cooking loss dan swelling yang rendah (Kim et al., 1996). Namun bila kandungan amilosa terlalu tinggi dapat menyebabkan mi menjadi terlalu keras dan sulit untuk dicetak. Sebaliknya jika kandungan amilosa terlalu rendah menyebabkan adonan mi bersifat terlalu lengket sehingga sulit dicetak, memiliki viskositas yang tidak stabil dan sulit mengalami retrogradasi guna mempertahankan
59
struktur mi (Tam et al., 2004). Menurut Guo et al. (2003) pada umumnya mi di Asia dibuat dari tepung dengan kandungan amilosa 1-29% bk namun kandungan amilosa optimum yang memberikan kualitas mi terbaik adalah 21-24% bk. Kandungan amilosa seluruh kombinasi berada diatas kisaran yang diungkapkan Guo et al. (2003) kecuali kombinasi V2M2 (Gambar 21). 40
kadar amilosa (%bk)
35
35,05a 32,83b
32,74b 32,18bc 31,68bc 30,97bc 30,35c 30,23c
30
24,29ef 22,57f
25
26,62d 25,97de 24,69de 24,36ef
20 15
M1
10
M2
5 0
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 21. Kadar amilosa tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. 6.
Kadar pati
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar pati tepung jagung. Perbedaan varietas berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan pati. Tepung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar pati lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 82,32% bk, sedangkan tepung dari varietas C-7 memiliki rata-rata kadar pati yang lebih tinggi yaitu 88,66% bk (Gambar 22). Menurut Hoseney (1998), perbedaan jumlah pati disebabkan oleh perbedaan varietas, faktor genetik dan tingkat usia tanaman.
60
kadar pati (%bk)
90 89 88 87 86 85 84 83 82 81 80 79
88,66a 86,05b 85,24c
84,68d 83,78e
82,99f
C-7
Prima
82,32g
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 22. Kadar pati tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar pati tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar pati lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 83,05% bk (Gambar 23). Hal ini disebabkan proses perendaman pada matode basah terjadi proses aktivasi enzim amilase yang dapat menghidrolisis amilosa menjadi dekstrin yang bersifat lebih larut (Usansa et al., 2009) sehingga terjadi penurunan kadar pati tepung jagung.
Kadar pati (%bk)
87
86,58a
86 85 84
83,05b 83 82 81 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 23. Kadar pati tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
61
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar pati tepung jagung. Nilai rata-rata kadar pati (%bb) dari kombinasi V1M1, V1M2, V2M1, V2M2, V3M1, V3M2, V4M1, V4M2, V5M1, V5M2, V6M1, V6M2, V7M1, dan V7M2 berturut-berturut yaitu 82,10; 79,58; 80,03; 77,73; 77,27; 75,98; 77,02; 75,10; 80,63; 78,49; 75,92; 74,03; 81,09;dan 78,85. Kadar pati semua kombinasi telah sesuai dengan SII yaitu lebih dari 75% bb kecuali kombinasi V6M2. Nilai rata-rata kadar pati terendah dihasilkan dari kombinasi V3M2 dan V6M2 yaitu 81,25 dan 81,26% bk, sedangkan nilai rata-rata kadar pati tertinggi dihasilkan dari interaksi perlakuan tepung jagung yang terbuat dari kombinasi V1M1 yaitu 90,78% bk (Gambar 24). Hal ini disebabkan varietas Bisi 16 dan Nusantara 1 memiliki kadar pati yang rendah dan dibuat tepung menggunakan metode basah sehingga menghasilkan kadar pati tepung jagung yang terendah. 92
90,78a
kadar pati (%bk)
90 88 86
84,71ef
84
85,15e 83,39g
82,39h
82
87,81b
87,27bc
86,97cd 86,53d
82,41h
84,28f
83,21g
M1 M2
81,25i
81,26i
80 78 76 V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 24. Kadar pati tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
62
Kadar pati semua kombinasi tergolong tinggi, hal ini disebabkan penyosohan yang optimum sehingga komponen endosperma saja yang terikut. Endosperma tersusun atas 80% pati dan dibantu proses penggilingan dan pengayakan sehingga diperoleh terutama bagian pati (Rosmisari, 2006). Pada pembuatan mi non terigu, pati merupakan komponen penting menentukan sifat reologi mi yang dihasilkan. Kandungan pati yang tinggi sangat diharapkan. Pati berperan membentuk pasta pati yang elastis dan mudah dibentuk, dengan memanfaatkan prinsip gelatinisasi pati menggantikan fungsi protein gluten. Pasta dianggap sebagai bahan komposit yang terdiri dari granula pati yang mengembang yang terdispersi dalam matriks polimer (Tan et al., 2010).
B. Variabel Fisik 1.
Rendemen
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendemen tepung jagung. Rendemen tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata rendemen lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 48,98% bb sedangkan tepung jagung varietas C-7 memiliki rata-rata rendemen yang lebih rendah yaitu 34,20% bb (Gambar 25). Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai berat 100 butir biji yang labih tinggi (33,66 g per 100 butir biji) daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21, P-12 dan C-7, masingmasing sebesar 30,00g; 27,93g; 28,80g; 30,46g; 29,26g dan 23,50g per 100 butir biji. Semakin tinggi berat tiap 100 butir biji maka total padatan juga makin tinggi (Bolade, 2009). Perbedaan rendemen tepung jagung dikarenakan total padatan
63
dari masing-masing varietas jagung kuning hibrida berbeda-beda. Tingginya kadar senyawa-senyawa dalam sel juga bersifat genetis (Jugenheimer, 1976). Menurut Master (1979) dan Bolade (2009), dengan makin tingginya total padatan pada bahan maka rendemen juga akan makin tinggi.
Rendemen (%bb)
60
48,98a
50 40
44,33b
41,59b
40,48b
Prima
Nusantara 1
41,31b
40,14b
34,20c
30 20 10 0 C-7
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 25. Rendemen tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rendemen tepung jagung. Tepung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata rendemen lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 47,97% bb (Gambar 26). Pada penggilingan basah terdapat proses perendaman yang menyebabkan berkurangnya kekerasan biji (Haros et al., 2003) sehingga jumlah biji yang keras lebih sedikit akibatnya rendemen tepung metode kering lebih tinggi. Meyer (1973) dalam Pengkey (1991) menyebutkan bila cairan antar sel berupa air atau suatu larutan berkonsentrasi lebih rendah dari konsentrasi disekitarnya maka larutan disekitar sel akan masuk ke dalam sel hingga terjadi keseimbangan dan biji mengembang sehingga biji mejadi lunak. Hal ini memudahkan proses penghancuran biji sehingga dihasilkan tepung yang lebih banyak.
64
Rendemen (%bb)
60
4 7 ,9 7 a
50
3 5 ,1 8 b
40 30 20 10 0
M e to d e k e rin g M e to d e b a s a h M e to d e p e n g g ilin g a n
Keterangan :
Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 26. Rendemen tepung dari metode penggilingan kering dan basah. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen tepung jagung. Nilai rata-rata rendemen tepung jagung paling tinggi terdapat pada
kombinasi V6M2 yaitu 55,62% bb (Gambar 27). Hal ini menunjukkan kombinasi V6M2 memberikan nilai efisiensi proses penepungan paling tinggi sehingga diharapkan memberikan nilai tambah produk paling tinggi secara ekonomi. 60
55,62a 49,57bc
Rendemen (%bb)
50
46,15bc
47,59bc
50,33b
47,68bc 42,34cd
40 30
38,83de 33,62ef 29,56f
38,32de 34,80ef
34,93ef
32,70ef
M1 M2
20 10 0 V1
V2
V3
V4 Varietas
V5
V6
V7
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 27. Rendemen tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. 2. Starch damage
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap starch damage tepung jagung. Tepung jagung varietas Nusantara 1 mempunyai rata-rata kadar starch damage lebih tinggi jika
65
dibandingkan tepung jagung dari varietas lain yaitu 6,65% bk, sedangkan tepung jagung varietas Bisi 16 memiliki rata-rata kadar starch damage yang lebih rendah yaitu 4,20% bk (Gambar 28). Hal ini disebabkan perbedaan proporsi horny endosperm pada biji jagung. Terlihat dari nilai presentase berat biji setelah direndam selama 9 jam yang berbeda-beda, makin tinggi jumlah air yang terserap menandakan proporsi horny endosperm yang lebih sedikit sehingga makin tinggi laju difusi air ke dalam biji (Haros et al., 2003). Jagung pipil kering varietas Nusantara 1 (V3) mempunyai presentase berat biji setelah direndam selama 9 jam yang lebih rendah (115%) daripada jagung pipil kering varietas P-12, NT 10, P21, C-7, Prima dan Bisi 16, masing-masing sebesar 125%, 127%, 130%, 134%, 133% dan 136%. Bila proprorsi horny endosperm lebih sedikit maka resistensi terhadap penggilingan rendah sehingga terbentuk starch damage lebih sedikit selama penggilingan. Robuti et al. (2000) dalam Haros et al. (2003) menyatakan bahwa pati dari bagian horny endosperm lebih cenderung rusak selama penggilingan karena susunan sel yang kecil dan rapat serta sifat adhesi yang lebih kuat diantara matriks protein dan granula pati.
Starch damage (%bk)
7
6,65a
5,51b
5,49b 5,20c 5
4,77d
4,80d 4,20e
3 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 28. Starch damage tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
66
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar starch damage tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata starch damage lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 4,14% bk (Gambar 29). Hal ini dikerenakan pada metode penggilingan basah terdapat proses perendaman dimana terjadi difusi air perendam kedalam biji. Menurut Meyer (1973) dalam Pangkey (1991), apabila cairan antar sel berupa air atau larutan berkonsentasi lebih rendah dari konsentrasi sekitarnya maka larutan disekitar sel akan masuk ke dalam sel sampai terjadi keseimbangan yang baik. Air yang terserap selama perendaman akan menurunkan sifat adhesi horny endosperm diantara matriks protein dan pati sehingga biji menjadi lebih lunak. Air yang terserap juga berfungsi sebagai lubrican sehingga menurunkan gaya mekanis yang ditimbulkan dan memberikan efek dingin saat penggilingan (Suksomboon et al., 2005). Penurunan gaya mekanis dan suhu penggilingan menyebabkan kerusakan pati akibat perlakuan termomekanis menurun. Sebaliknya pada penggilingan kering, biji masih dalam keaadaan utuh dan keras sehingga meningkatkan resistensi selama penggilingan akibatnya dihasilkan starch damage yang lebih besar (Bolade, 2009). Starch damage (%bk)
8
6,5
6,33a
5
4,14b
3,5
2 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 29. Starch damage tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
67
Nilai rata-rata interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan memberikan pengaruh yang nyata terhadap starch damage tepung jagung. Nilai rata-rata jumlah starch damage tertinggi dihasilkan dari kombinasi V3M1 yaitu 8,49 % bk (Gambar 30). Hal ini disebabkan proporsi horny endosperm yang lebih besar pada varietas Nusantara 1 dan pembuatan tepung menggunakan metode kering sehingga menghasilkan resistensi yang tinggi saat penggilingan akibatnya jumlah starch damage lebih tinggi. 9
8,49a
starch damage (%bk)
8 6,54b
7 6
5,79d
5,86d 4,8e
5 4
3,76h
4,44f
3,75h
6,6b
6,23c 4,79e
4,43f
4,16g 3,61h
M1 M2
3 2 1 0 V1
V2
V3
V4 varietas
V5
V6
V7
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 30. Starch damage tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. 3. Densitas kamba
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung jagung varietas Bisi 16 (V6) mempunyai rata-rata densitas kamba lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,598 g/mL (Gambar 31). Hal ini disebabkan kandungan lemak dan pati lebih rendah (82,32% bk dan 0,73% bk) daripada kandungan lemak dan pati tepung jagung berturut-turut dari varietas C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21, dan P-12 masing-masing sebesar 88,66 dan
68
3,17% bk; 83,68 dan 3,05% bk; 82,99 dan 2,31%bk; 83,79 dan 1,70% bk; 85,24 dan 3,33% bk; 86,05 dan 3,61% bk. Menurut Bhatacharya and Prakash (1994), kadar lemak dan pati yang tinggi pada tepung menyebabkan densitas kamba menjadi meningkat. Hal ini disebabkan lemak dan pati memiliki berat molekul yang tinggi sehingga akan menghasilkan densitas kamba yang tinggi.
Densitas kamba (g/ml)
0,67
0,649a 0,64
0,635abc
0,637ab 0,630bc
0,628bc 0,616c 0,61
0,598d 0,58 C-7
Prima
Nusantara 1
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95%. Gambar 31. Densitas kamba tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata densitas kamba lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 0,58 g/mL bk (Gambar 32). Hal ini disebabkan selama perendaman terjadi degradasi molekul polimer penyusun bahan seperti karbohidrat, protein dan lemak oleh enzim menjadi molekul yang sederhana dengan berat molekul lebih rendah sehingga densitas kamba menurun (Fagbemi et al.,2006). Selain itu, tepung yang dihasilkan dari metode penggilingan basah memiliki kadar air yang lebih rendah daripada metode kering yaitu 7,48% bb.Berdasarkan penelitian Siebenmorgan et al. (1996), peningkatan kadar air pada beras menyebabkan peningkatan nilai densitas kamba.
69
Densitas kamba (g/ml)
0,7
0,675a
0,66 0,62 0,581b 0,58 0,54 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 32. Densitas kamba tepung dari metode penggilingan kering dan basah. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Nilai rata-rata densitas kamba kombinasi V2M1 dan V7M1 paling tinggi dibanding kandungan lemak kombinasi yang lain yaitu 0,69% bk (Gambar 33). Produk tepung diharapkan memiliki densitas kamba yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi biaya pengiriman, pengemasan dan gudang yang digunakan untuk menyimpan. Tepung dengan densitas kamba yang tinggi juga dapat mengurangi kelengketan pada pasta yang dihasilkan (Udensi and Okoronkwo, 2006) sehingga mempermudah dalam pencetakan mi.
densitas kamba (g/ml)
0,8 0,7 0,6
0,68ab
0,69a
0,59de
0,58e
0,67abc 0,58e
0,66bc
0,68abc
0,57e
0,58e
0,65c
0,69a 0,61d
0,54f
0,5 0,4
M1
0,3
M2
0,2 0,1 0
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 33. Densitas kamba tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
70
4. pH
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung jagung varietas C-7 dan Nusantara 1 mempunyai rata-rata pH lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 5,4 (Gambar 34). Perbedaan pH disebabkan perbedaan jumlah asam organik antar varietas (Jugenheimer, 1976). Menurut Fennema (1996), sejumlah kecil asam organik terdapat pada tanaman sebagai hasil metabolisme lanjut (dalam siklus TCA atau glikosilat) yang terakumulasi dalam vakuola tanaman. Akumulasi asam organik ini akan memberikan keasaman dan mempengaruhi nilai pH tepung. 6,2
6,05a 5,98a
6
5,95a 5,75b
pH
5,8
5,6c 5,6
5,43d
5,40d 5,4 5,2 5 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 34. pH tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pH tepung jagung. Tepung yang dihasilkan dari metode basah (M2) mempunyai rata-rata pH lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 5,89 (Gambar 35). Hal ini disebabkan selama perendaman, asam-asam organik larut ke dalam media perendam akibatnya jumlah asam organik bahan menjadi menurun dan pH tepung
71
meningkat. Menurut Wikipedia (2008) dan Bolade (2009), sebagian besar asam organik yang disimpan dalam tanaman bersifat polar sehingga larut dalam air. 6
5,89a
5,9
pH
5,8 5,7 5,6
5,58b
5,5 5,4 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 35. pH tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah. Pada pembuatan mi, pH tepung dapat berpengaruh terhadap proses gelatinisasi yaitu pada karakter pembentukan gel yang optimum. Nilai pH yang tinggi dapat menyebabkan perubahan sifat fungsional pati dalam tepung jagung, yaitu pembentukan gel yang makin cepat tercapai namun viskositasnya cepat pula turun dan bila pemanasan dilanjutkan viskositas akan turun lagi. Pada pH 4-7 kecepatan pembentukan gel lebih lambat daripada pH 10, tetapi jika pemanasan dilanjutkan, viskositas tidak berubah (Winarno, 2008). Gel pati yang diharapkan pada pembuatan mi adalah gel yang memiliki viskositas yang cenderung tinggi dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan (Tam et al., 2004). Menurut Hoseney (1998), pada pH sekitar 5 hingga 7 pati jagung normal memiliki viskositas relatif tinggi dan dapat dipertahankan. Nilai pH dari semua kombinasi tepung jagung berada dalam kisaran yang diungkapkan Hoseney (Gambar 36).
72
6,4
6,15a
6,2 6
5,9b
pH
5,4
5,8bcd
5,75bcd
5,8 5,6
6,2a
6,15a
5,85bc
5,75bcd
5,65cde
5,6def
5,55ef 5,45f 5,25g
5,25g
M1
5,2 5
M2
4,8 4,6
V1
V2
V3
V4 varietas
V5
V6
V7
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 36. pH tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
5.
Derajat putih (L)
Warna membuat produk pangan menjadi menarik. Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena bagi produk pangan, warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya. Warna tepung secara signifikan akan mempengaruhi warna mi instan yang dihasilkan (Oti and Okobundu, 2007) sehingga perlu dilakukan penilaian warna tepung secara objektif. Perbedaan varietas memberikan pengaruh yang tidak nyata pada derajat putih (L) tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah dan jenis pigmen yang terkandung relatif sama antar varietas (Mukprasirt and Sajjanantakul, 2004). Jenis pigmen pada jagung kuning hibrida adalah karotenoid. Kandungan karotenoid pada jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg dengan kisaran 1236 mg/kg sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2,8 mg/kg (Watson, 2003).
73
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap derajat putih tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata derajat putih (lightness) lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 80,42 % (Gambar 37). Berdasarkan hasil analisis ragam 5% pada notasi a dan b didapat pengaruh metode penggilingan sangat nyata terhadap kedua notasi tersebut. Tepung jagung yang dihasilkan dengan metode penggilingan kering menghasilkan nilai rata-rata a lebih tinggi yaitu 4,1%, disebabkan dihasilkan panas yang lebih besar saat penggilingan akibat gaya mekanis. Nilai a lebih tinggi menunjukkan intensitas warna merah meningkat pada tepung menyebabkan warna makin kusam. Menurut Mc. Donough et al. (2004), perlakuan panas yang tinggi dapat meningkatkan warna coklat/ kusam pada biji-bijian akibat reaksi maillard. Reaksi maillard yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil dari gula pereduksi, yang nantinya membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno, 2008). Intensitas reaksi maillard lebih rendah pada metode basah karena gula dan protein larut selama perendaman sehingga menurunkan kemungkinan terjadinya reaksi maillard. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata a yang negatif yaitu -1,07% yang menunjukkan warna kromatik hijau pada tepung yang dihasilkan. Pada metode kering nilai rata-rata b (+) lebih rendah yaitu 7,74% disebabkan karena terjadi degradasi pigmen karoten oleh panas selama penggilingan sehingga warna kuning menurun. Menurut Ramchandran (2010) betakaroten dapat terdegradasi oleh panas sehingga warna kuning memudar. Sedangkan pada metode basah dihasilkan nilai rata-rata b yang lebih tinggi yaitu 28,5% karena efek dari air yang terserap selama perendaman berfungsi
74
berfungsi sebagai pendingin dan lubrican sehingga degradasi betakaroten lebih rendah. Gabungan nilai a yang tinggi dan nilai b yang rendah menghasilkan tepung dengan warna kusam (merah) sedikit kuning sehingga menghasilkan tingkat kecerahan yang rendah pada metode kering sedangkan pada metode basah dihasilkan nilai a rendah dan b tinggi menunjukkan warna kuning cerah.
Derajat putih (%)
90
80,42a
80 70 60
55,35b
50 40 30 20 10 0 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 37. Derajat putih tepung dari metode penggilingan kering dan basah. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih tepung jagung. Nilai rata-rata derajat putih (L) kombinasi V1M1, V2M1, V3M1, V4M1, V5M1, V6M1 dan V7M1 relatif lebih rendah dibanding derajat putih kombinasi V1M2, V2M2, V3M2, V4M2, V5M2, V6M2 dan V7M2 (Gambar 38). Menurut syarat mutu SNI tidak ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, secara umum sesuai spesifikasi bahan aslinya. Umumnya konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih (L) yang tinggi. Penggunaan tepung jagung sebagai bahan baku mi instan akan memberikan warna kuning alami sehingga tidak memerlukam tambahan pewarna sintetis seperti tartrazine yellow. Pewarna ini ditambahkan sebanyak 5 g ke dalam basis 22 kg tepung terigu pada pembuatan mi instan (Astawan, 2001).
75
90
80,36b
80,28b
80,46b
80,57b
80,49b
80,42b
80,38b
80 70
derajat putih(%)
60
54,19b
54,39a
55,38a
55,9a
56,2a
55,93a
55,46a
50 40
M1
30
M2
20 10 0
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 38. Derajat putih (L) tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
6. SEM (Scanning Electron Microscope)
Analisa
mikrostruktur
menggunakan
SEM
(Scanning
Electron
Microscope) dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk granula jagung secara umum dan perubahan morfologi granula akibat perbedaan proses penggilingan. Seperti disajikan pada Gambar 39.
Gambar 39. Hasil pengamatan SEM tepung jagung hibrida P-12 dengan pemberian tekanan manual 20kV X 11000 (X2000) : a) metode kering, b) metode basah. BK = breaks (starch damage dalam bentuk serpihan). Bentuk granula secara umum adalah polihedral dengan ukuran medium (10-25 μm) (Gambar 39b). Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi, interaksi amilosa-lipid, kelarutan
dan
swelling volume
serta
kemudahan didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula menyebabkan
76
granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak, lebih sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim (Lindeboom et al., 2004). Ukuran partikel tepung jagung metode kering lebih besar daripada
metode basah. Partikel tepung metode kering memiliki ukuran partikel sekitar 20-40 μm sedangkan pada metode basah ukuran partikel tepung sekitar 10-25 μm. Pada metode kering, partikel tepung berupa bentuk agregat granula pati dan matriks protein sehingga berukuran relatif lebih besar. Menurut Suarni (2008), ukuran partikel yang
lebih kecil akan memberikan tekstur produk yang lebih halus dan lembut. Permukaan partikel tepung dari metode kering terlihat kasar sedangkan tepung dari metode basah lebih halus, dikarenakan pada metode kering lebih banyak terbentuk starch damage daripada metode basah. Berdasarkan Gambar 39a didapat informasi jenis starch damage pada metode kering adalah bentuk break (serpihan), terlihat disekitar agregat granula terdapat serpihan-serpihan granula pati. Menurut Chiang dan Yeh (2002), selama perendaman terjadi leaching matriks protein dan komponen lainnya dari granula pati menyebabkan struktur partikel pada metode basah lebih halus dan sedikit kerusakan pati.
C. Variabel Fungsional
1.
Kapasitas penyerapan air (KPA)
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung. Tepung jagung varietas Prima mempunyai kapasitas penyerapan air lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 268,52% bk (Gambar 40).
77
Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Prima mempunyai kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33,94% bk; 25,66% bk; 25,16% bk; 31,26% bk; 30,96% bk dan 31,86% bk. 280
268,52a
266,25ab
KPA (%bk)
262,50ab 260
253,13bc 249,18cd 244,49d
243,45d 240
220 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 40. KPA tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Menurut Ermayani (2004) kapasitas penyerapan air tergantung pada kadar amilosa dan derajat kristalinitas. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi cenderung memiliki kapasitas penyerapan air yang rendah (Grenus et al. 1993; Kibar et al., 2009). Hal ini didukung oleh pendapat Laga (2006), menyatakan bahwa rantai lurus (linier) amilosa menyebabkan molekul ini cenderung membentuk susunan paralel yang rapat satu sama lain melalui ikatam hidrogen antar atom oksigen pada masing-masing rantainya. Kadar amilosa yang tinggi menyebabkan afinitas amilosa terhadap air menurun. Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kapasitas penyerapan air. Tepung yang dihasilkan dari metode kering mempunyai rata-rata kapasitas penyerapan air lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode basah yaitu 274,46% bk
78
(Gambar 41). Hal ini disebabkan pada metode penggilingan kering, kerusakan pati akibat gaya mekanis lebih tinggi. Hal ini terlihat dari data starch damage yang menunjukkan nilai lebih besar pada metode kering yaitu 6,33% bk. Adanya perlakuan termomekanis dapat menyebabkan granula rusak, kerusakan tersebut menyebabkan pecahnya ikatan intermolekular pada daerah kristalin dan fragmentasi amilopektin dengan berat molekul tinggi menjadi amilopektin dengan berat molekul rendah (Morrison and Tester, 1990). Menurut Suksomboon et al. (2005), makin tinggi jumlah starch damage menandakan makin banyak daerah kristalin yang berubah menjadi daerah amorph sehingga menurunkan kekuatan asosiasi granula. Kekuatan asosiasi yang menurun menyebabkan peningkatan permeabilitas granula pati sehingga lebih mudah dimasuki air. 280
274,46a
KPA (%bk)
270 260 250
236,25b
240 230 220 210 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 41. KPA tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung. Nilai rata-rata kapasitas penyerapan air kombinasi V2M1 dan V3M1 paling tinggi dibanding kombinasi lainnya yaitu 287,05% dan 284,1% bk (Gambar 42). Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila
79
jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak mencapai kondisi optimum (Asfiyah, 1997). Tepung dengan kapasitas penyerapan air yang tinggi akan menghasilkan mi dengan tekstur yang lembut dan untaian mi yang lebih mudah dipotong sehingga mengurangi energi pemotongan (Ekhtamasut, 2006). 350 300
KPA (%bk)
250
287,05a 284,82a 282,22ab 268,58abcd 274,02abc 263,04bcde 261,52 cdef 249,98defg 247,67efgh 232,24ghi 225,38i 225,93i 242,78fghi 229,78hi
200
M1
150
M2
100 50 0 V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 42. KPA dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. Kapasitas penyerapan air juga mempengaruhi kemudahan dalam penghomogenan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tepung dengan daya serap air yang tinggi cenderung lebih cepat dihomogenkan. Adonan homogen ini akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Tepung yang homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai tidak terdapatnya spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan yang telah dikukus (Tam et al., 2004).
2.
Kelarutan dan Swelling volume
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap sifat swelling volume tepung jagung. Tepung Jagung varietas Prima mempunyai rata-rata swelling volume lebih tinggi jika
80
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 11,63 mL/g bk (Gambar 43). Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Prima mempunyai kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33.94% bk; 25,66% bk; 25,16% bk; 31,26% bk; 30,96% bk dan 31,86% bk.
Swelling volume (ml/g bk)
14
11,63a
12 10
10,98b 9,89d
9,88d
9,41e
10,76c 9,31e
8 6 4 2 0 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 43. Swelling tepung jagung dari beberapa varietas jagung kuning hibrida. Tingkat swelling volume dipengaruhi oleh kandungan amilosa dalam pati. Semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin rendah tingkat swelling volume. Hal ini disebabkan oleh molekul-molekul amilosa yang linier sehingga memperkuat jaringan internalnya (Leach, 1965 dalam Goldworth, 1999). Sifat swelling pati sangat tergantung pada kekuatan inter dan intra molekuler dari granula pati. Menurut Leach (1965) dalam Goldworth (1999), daya ikat tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (1) perbandingan amilosa dan amilopektin, (2) bobot molekul amilosa dan amilopektin, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat percabangan dan (5) panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang dapat berperan dalam kumpulan ikatan. Namun pada varietas Bisi 16 memiliki nilai swelling volume yang tinggi meskipun kandungan amilosanya tinggi
81
(30,96% bk) yaitu 10,76 mL/g bk, hal ini disebabkan varietas Bisi 16 memiliki kandungan lemak yang lebih rendah dibanding varietas lain yaitu 0,73% bk. Sifat swelling juga dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam tepung. Menurut Sung and Stone (2004), ketika kandungan lemak dalam pati dikurangi, maka akan terjadi swelling semakin cepat. Inglett (1970) menyatakan bahwa keberadaan lemak mampu mencegah terjadinya swelling secara berlebihan. Menurut Moorthy (2002), swelling volume juga tergantung oleh perbedaan varietas, faktor lingkungan, dan usia tanaman itu sendiri. Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kelarutan tepung jagung. Tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kelarutan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 13,37% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12 memiliki rata-rata kelarutan yang lebih rendah yaitu 7,35% bk (Gambar 44). Hal ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak dan protein total yang lebih rendah (0,73% bk dan 5,62% bk) daripada varietas lain. Jagung varietas C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21 dan P-12 mempunyai kadar lemak dan protein total masing-masing sebesar 3,17% bk dan 8,77% bk; 3,05% bk dan 8,54% bk; 2,31% bk dan 7,87% bk; 1,70% bk dan 8,54% bk; 3,33% bk dan 8,57% bk; 3,61% bk dan 8,78% bk. Keberadaan lemak dan protein yang memungkinkan terbentuknya kompleks inklusi amilosa-lemak dan kompleks amilosa-protein. Kompleks inklusi amilosa-lemak bersifat tidak larut sehingga menurunkan kelarutan sedangkan kompleks amilosa-protein menghambat leaching amilosa ke dalam larutan disekitarnya (Kibar et al., 2009).
82
14
12,37a
Kelarutan (%bk)
12
11,07b
10
8,37cd
11,00b
8,97c 8,15d 7,35e
8 6 4 2 0 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 44. Kelarutan tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida. Analisis ragam menunjukkan bahwa metode penggiligan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap sifat kelarutan dan swelling volume tepung jagung. Tepung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kelarutan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 10,08% bk (Gambar 45). Selama proses penggilingan memungkinkan terjadinya kerusakan pada pati. Penggilingan kering menghasilkan jumlah starch damage lebih tinggi dibanding penggilingan basah yaitu 6,33% bk. Jumlah starch damage yang lebih besar menyebabkan granula lebih permeabel sehingga penetrasi air ke dalam granula lebih mudah, namun disisi lain lebih banyak bagian larut yang keluar dari granula pati yang ditunjukkan dengan meningkatnya kekeruhan supernatan (Suksomboon et al., 2005). Tepung yang dibuat dengan metode kering mempunyai komposisi kimia yang tidak banyak berubah dari bahan mentahnya yaitu
masih
mengandung
komponen-komponen
yang
larut
air
seperti
monosakarida dan oligosakarida sehingga meningkatkan nilai kelarutannya (Wadhacharat et al., 2006).
83
10,2
10,08a
Kelarutan (%bk)
10 9,8 9,6 9,4
9,14b
9,2 9 8,8 8,6 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 45. Kelarutan tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah. Tepung yang dihasilkan dari metode kering mempunyai rata-rata swelling volume lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode basah yaitu 10,46 mL/gr bk (Gambar 46). Hal ini disebabkan pada metode kering dihasilkan kerusakan pati lebih besar daripada metode basah yaitu 6,33% bk. Makin tinggi starch damage menyebabkan banyak daerah kristalin berubah menjadi daerah amorph sehingga menurunkan kekuatan asosiasi granula. Kekuatan asosiasi yang menurun menyebabkan peningkatan swelling granula (Suksomboon et al., 2005). Swelling volume (ml/g bk)
10,5
10,46a
10,4 10,3 10,2
10,07b
10,1 10 9,9 9,8 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 46. Swelling volume tepung dari metode penggilingan kering dan basah. Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan tepung jagung. Nilai rata-rata kelarutan kombinasi V3M1 dan
84
V6M1 paling tinggi dibanding kombinasi lainnya yaitu 12,45% dan 12,88% bk (Gambar 47). Semakin tinggi kelarutan tepung, semakin mudah tepung larut dalam air dan menyebabkan nilai cooking loss serta kelengketan mi meningkat (Tan et al., 2010) dan terjadi penurunan hardness mi (Ghasemi et al., 2008). Menurut Tam et al. (2004), kelarutan berpengaruh terhadap mudahnya amilosa terlepas dari untaian mi saat pemasakan mi atau apabila mi disajikan dalam makanan yang berkuah. Winarno (2008), menyebutkan bahwa molekul pati khususnya amilosa dapat terdispersi ke dalam air panas, meningkatkan granulagranula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan disekitarnya. 14
12,45a
kelarutan (%bk)
12 10
8,58efg 8,16fgh
9,29ef 8,65efg
12,88a 11,85ab
11,32bc 10,68cd
9,69de 8,49fg 7,81gh
8
7,58gh 7,12h
6
M1
4
M2
2 0 V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 47. Kelarutan tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. Swelling volume yang tinggi menandakan pati mudah mengembang dalam air. Menurut Schoch and Maywald (1968) dalam Shimelis et al. (2006), tingkatan swelling volume terbagi atas 4 taraf yaitu tinggi (lebih dari 30 mL/g bk), sedang (20-30 mL/g bk), rendah (10-20 mL/g bk),dan sangat rendah (kurang dari 10 mL/g bk). Tepung jagung seluruh kombinasi memiliki swelling volume rendah, kecuali kombinasi V1M1, V1M2, V3M2, V5M2, V7M1, V7M2 yang
85
memiliki swelling volume sangat rendah (Gambar 48). Swelling volume dapat mempengaruhi
penampakan mi setelah direbus. Mi dengan tingkat swelling
volume yang tinggi akan memiliki penampakan mi yang mengembang cukup tinggi setelah direbus atau memiliki diameter mi yang cukup besar dan mudah hancur. Diharapkan tepung yang digunakan dalam membuat mi memiliki swelling volume dan kelarutan yang rendah (Tam et al., 2004; Tan et al., 2010).
swelling volume (ml/gr bk)
14 11,82a 11,45b
12 10
9,56g
10,05f 9,71g
9,25h
11,11c 10,85d
10,22f 9,57g
10,94cd 10,57e
9,53g 9,09h
8
M1 6
M2 4 2 0 V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 48. Swelling volume tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan. 3.
Kapasitas emulsi
Produk pasta memerlukan emulsifier sebab dalam formula adonan pasta biasanya ditambahkan sejumlah lemak yang berfungsi mengurangi kegetasan tepung, meningkatkan kelembutan dan flavor mi serta sebagai sumber gizi. Adanya protein yang terkandung pada tepung dapat berfungsi sebagai emulsifier dan berpengaruh pada tekstur produk yang dihasilkan. Emulsifier berfungsi mengkomplekskan tepung, mencegah penggumpalan, mengontrol kohesivitas, kelengketan dan kekentalan adonan, serta memberikan ekstensibilitas mi yang tinggi (Tjahjaningsih et al.,1999).Emulsifier juga berinteraksi dengan amilosa dan
86
digunakan untuk mencegah leaching amilosa selama perebusan (Numfor, 1996). Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas emulsi tepung jagung. Tepung jagung varietas Bisi 16 (V6) mempunyai rata-rata kapasitas emulsi lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,18 mL/g bk (Gambar 49). Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kandungan protein total yang lebih rendah (5,62% bk) daripada jagung varietas C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21 dan P-12, masing-masing sebesar 8,77% bk; 8,53% bk; 7,87% bk; 8,55% bk; 8,57% bk dan 8,78% bk. Protein merupakan surface active, karena bersifat amphifilik, membentuk ”kulit” yang menyelimuti droplet minyak, memperkecil tegangan permukaan dan membentuk emulsi minyak dalam air yang sangat stabil (Philips, 1981). Pada konsentrasi protein yang rendah terjadi penurunan kapasitas emulsi karena kekurangan protein untuk membentuk permukaan pembatas minyak dan air sehingga menghasilkan emulsi yang tidak stabil (Adebowale, 2008).
Kapasitas emulsi (ml/g bk)
0,6 0,5
0,507a
0,489a 0,380b
0,4
0,362b
0,352b
0,385b
0,3
0,179c
0,2 0,1 0 C-7
Prima
Nusantara
NT 10
P-21
Bisi 16
P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 49. Kapasitas emulsi tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
87
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas emulsi tepung jagung. Tepung dari metode kering mempunyai rata-rata kapasitas emulsi lebih tinggi dari tepung dengan metode basah yaitu 0,406 mL/g bk (Gambar 50). Hal ini disebabkan gaya mekanis yang dihasilkan lebih tinggi selama penggilingan kering. Gaya mekanis memungkinkan pemecahan molekul menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga meningkatkan luas permukaan. Gaya mekanis yang besar juga menghasilkan panas tinggi yang menyebabkan protein terdenaturasi. Menurut Xu and Kim (2008), peningkatan luas permukaan mempermudah difusi protein ke dalam larutan sehingga mempermudah pembentukan lapisan pembatas air-minyak. Sedangkan pemekaran molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida (Winarno, 2008). Cramp (2007), menyatakan bahwa denaturasi protein juga dapat meningkatkan kapasitas emulsi. Pemekaran protein pada permukaan air-minyak penting untuk meningkatkan kapasitas emulsi melalui peningkatan hidrofobisitas permukaan sehingga makin banyak terbentuk pembatas antara permukaan minyak-air. Selain itu jumlah protein pada metode kering lebih tinggi dari metode basah yaitu 8,25% bk, sehingga kapasitas emulsi tepung dengan metode kering lebih tinggi. Kapasitas emulsi (ml/g bk)
0,42 0,41
0,406a
0,4 0,39 0,38 0,37 0,36
0,352b
0,35 0,34 0,33 0,32 Metode kering
Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 50. Kapasitas emulsi tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
88
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas emulsi tepung jagung. Nilai rata-rata kapasitas emulsi kombinasi V6M1 dan V6M2 paling rendah dibanding kombinasi lainnya yaitu 0,187 mL/g bk dan 0,172 mL/g bk (Gambar 51). Hal ini terutama disebabkan kandungan protein Bisi 16 paling rendah dibanding varietas yang lain. Seluruh kombinasi memiliki kapasitas emulsi yang jauh lebih rendah dibanding isolat protein kedelai. Kapasitas isolat protein kedelai yaitu 100 mL/g pada pH 8 (Abou-Arab dan Al-khatani, 1993). Isolat protein kedelai umumnya dapat digunakan sebagai sumber emulsifier dan protein. Rendahnya kapasitas emulsi tepung jagung disebabkan terutama oleh pH tepung yang cukup rendah yaitu 5-6. Menurut Wu (2001), sifat kohesivitas dan kestabilan lapisan protein zein meningkat ketika pH isolat protein zein mendekati titik isoelektrik sekitar 78,5 sehingga kapasitas emulsi dapat mencapai titik maksimal mendekati kapasitas emulsi isolat protein kedelai.
kapasitas emulsi (ml/g bk)
0,6 0,5
0,552a
0,546a
0,463b 0,432bc 0,399cd 0,381de 0,372de 0,361de 0,343e 0,332e
0,4
0,404cd 0,367de
0,3
M1 M2
0,187f 0,172f
0,2 0,1 0 V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
varietas
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21, V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 51. Kapasitas emulsi tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
89
4. Sifat amilografi
Kriteria penentuan kondisi terbaik tepung jagung yang akan diaplikasikan ke dalam produk mi adalah memiliki nilai viskositas maksimum yang tinggi, viskositas breakdown yang rendah, dan setback yang tinggi, serta swelling volume dan kelarutan yang terbatas (Collado et al 2001; Sung and Stone 2004; Purwani et al 2006). Menurut Chen (2003) tepung yang sesuai untuk aplikasi ke produk mi adalah tepung yang memiliki profil gelatinisasi tipe C.
Profil gelatinisasi tepung jagung dari seluruh perlakuan menunjukkan profil gelatinisasi dari tipe B dengan penurunan viskositas berkisar ±5-20%, sehingga belum sesuai untuk diaplikasikan ke dalam produk mi. Masih diperlukan modifikasi pati untuk mengubah tipe B menjadi tipe C. Menurut Sasaki (2005), tipe amilogram pada tepung dapat diubah dengan modifikasi pati baik secara fisik maupun kimia. Tipe B amilogram tepung jagung yang dihasilkan dapat diubah menjadi tipe C dengan melakukan modifikasi fisik seperti HMT (Heat Moisture Treatment) atau OPT (Osmotic Pressure Treatment) (Pukkahuta et al., 2008) dan modifikasi kimia mengunakan agensia crosslinking sodium tripolifosfat (Aziz et al., 2004) atau kombinasi fisik-kimia seperti DH (Dry Heating) dengan penambahan gum ionik (Lim et al., 2002) sehingga dapat dihasilkan sedikit mungkin atau bahkan tidak ada breakdown viscosity. Sifat amilografi dan gambar amilogram tepung jagung kuning hibrida dengan metode penggilingan yang berbeda masing-masing dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 52.
90
Tabel 6. Sifat amilografi tepung jagung hibrida Suhu awal Suhu Viscosity Tipe gelatinisasi puncak Peak Breakdown Set Varietas gelatinisasi1 (˚C) gelatinisasi (BU) (BU) back (˚C) (BU) C-7 metode kering 72,45 93,00 785 85 930 B metode basah 73,50 94,00 775 35 945 B Prima metode kering 71,25 82,5 790 190 725 B metode basah 73,50 87,75 770 140 745 B Nusantara 1 metode kering 70,50 87,75 800 155 775 B metode basah 72,75 90,00 780 105 775 B NT 10 metode kering 69,75 85,50 815 185 740 B metode basah 72,45 88,50 795 125 760 B P-21 metode kering 73,50 91,50 770 95 805 B metode basah 76,50 93,00 740 50 830 B Bisi 16 metode kering 67,50 87,00 850 160 750 B metode basah 72,00 89,25 810 115 765 B P-12 metode kering 73,00 91,50 770 95 805 B metode basah 76,50 93,75 720 45 825 B 1 Keterangan : = Tipe gelatinisasi menurut Schoch and Maywald (1963) dalam Chen (2003). varietas C-7
2100
100
viskositas (BU)
1500
70 60
1200
50 900
40 30
600
20 10
300 0 0
20
40
60
waktu (menit)
metode kering
metode basah
91
80
0 100 suhu
su h u (o C )
90 80
1800
varietas P-12
1600 1400
suhu (oC)
viskositas (BU)
1200
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 100
1000 800 600 400 200 0 0
20
40
60
80
waktu (menit) metode kering
metode basah
suhu
varietas P-21 1600 viskositas (BU)
1400
s u h u (o C )
1200
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 100
1000 800 600 400 200 0 0
20
40 60 waktu (menit)
metode kering
80
metode basah
suhu
varietas NT 10 1600
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 100
1200
s u h u (o C )
viskositas (BU)
1400
1000 800 600 400 200 0 0
20
40
60
80
waktu (menit) metode kering
metode basah
92
suhu
varietas Bisi 16
1600
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 100
1200
s uhu (oC)
viskositas (BU)
1400
1000 800 600 400 200 0 0
20
40 60 waktu (menit)
metode kering
80
metode basah
suhu
varietas Nusantara I
1600 1200
suhu (oC)
viskositas (BU)
1400
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 100
1000 800 600 400 200 0 0
20
40 60 waktu (menit)
metode kering
80
metode basah
suhu
varietas Prima 100 90 80
1600
1200
70 60 50 40 30 20 10 0 100
suhu (oC)
viskositas (BU)
1400
1000 800 600 400 200 0 0
20
40
60
waktu (menit)
metode kering
metode basah
80
suhu
Gambar 52. Amilogram tepung jagung hibrida dari beberapa varietas dengan metode penggilingan yang berbeda.
93
a. Suhu awal gelatinisasi
Tepung jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10 dan Bisi 16 masing-masing memiliki rata-rata suhu awal gelatinisasi 74,75˚C; 75˚C; 72,975˚C; 72,375˚C; 71,625˚C; 71,1˚C dan 69,75˚C (Tabel 12). Suhu awal gelatinisasi varietas Bisi 16 relatif lebih rendah dibanding varietas lainnya hal ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar lemak dan protein total yang lebih rendah (0,73% bk dan 5,62% bk) daripada varietas lain. Tepung jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima, Nusantara 1, dan NT 10 mempunyai kadar lemak dan protein masing-masing sebesar 3,61% bk dan 8,78% bk; 3,33% bk dan 8,57% bk; 3,17% bk dan 8,77%; 3,05% bk dan 8,54% bk; 2,31% bk dan 7,87% bk; 1,70% bk dan 8,54% bk. Suhu awal gelatinisasi merupakan suatu fenomena fisik pati yang kompleks, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keberadaaan protein (Quin et al., 1980) dan lemak (Kibar et al., 2009). Menurut Quinn et al. (1980), selama pemanasan, protein akan terdenaturasi di sekitar suhu gelatinisasi sehingga proses migrasi air ke dalam granula pati terhalang. Hal ini mengakibatkan suhu gelatinisasi meningkat. Hal yang sama terjadi pada pengaruh lemak. Kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi pati, sebab lemak mampu membentuk kompleks inklusi dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Oleh karena itu diperlukan energi yang lebih besar untuk melepaskan amilosa sehingga suhu awal meningkat (Kibar et al., 2009).
94
Tepung jagung yang dihasilkan dari metode kering dan metode basah memiliki suhu awal gelatinisasi 71,13˚C dan 73,89˚C (Tabel 12). Tepung jagung yang dibuat dengan metode kering menghasilkan suhu awal gelatinisasi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung jagung metode basah. Hal ini disebabkan kerusakan pati pada metode kering lebih besar sehingga meningkatkan daerah amorph yang lebih mudah dimasuki air dan mengembang akibatnya diperlukan energi yang lebih rendah (Sanni et al., 2006). Suhu awal gelatinisasi penting untuk menentukan optimasi energi yang diperlukan sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Suhu awal gelatinisasi juga diperlukan untuk optimasi tahapan steam blanching pada pembuatan mi sebelum adonan mi dicetak dengan ekstruder. Suhu awal gelatinisasi mengandung arti bahwa tepung akan mulai tergelatinisasi pada suhu tersebut sehingga terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak ketika keluar dari ekstruder (Tan et al., 2010). Jika suhu yang digunakan dibawah suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan mi yang kurang elastis dan menghasilkan untaian mi dengan tekstur yang kasar, terlihat spot-spot putih atau kuning pada untaian mi serta mudah patah ketika dicetak karena belum mengalami gelatinisasi (Tam et al., 2004). Sebaliknya jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi maksimum maka akan terjadi proses peleburan granula pati (Wirakartakusumah, 1981), dan sulit untuk dicetak dengan ekstruder.
95
b. Suhu puncak gelatinisasi
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara1, Bisi 16, NT 10, dan Prima masing-masing memiliki rata-rata suhu puncak gelatinisasi 93,50˚C; 92,625˚C; 92,25˚C; 88,875˚C; 88,125˚C; 87˚C dan 85,125˚C (Tabel 12). Suhu awal gelatinisasi varietas Prima relatif lebih rendah dibanding varietas lainnya hal ini disebabkan tepung jagung varietas Prima mempunyai kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada tepung varietas lain. Tepung jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, memiliki kadar amilosa sebesar 33,94% bk; 31,86% bk; 31,26% bk; 25,66% bk; 30,96% bk; 25,16% bk. Tepung Bisi 16 meskipun memiliki kadar amilosa yang relatif lebih tinggi dibanding P-21 namun memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih rendah. Hal ini disebabkan tepung Bisi 16 memiliki kandungan lemak yang relatif rendah. Suhu puncak gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Menurut Colado and Corke (1997) peningkatan kadar amilosa akan meningkatkan suhu puncak gelatinisasi. Amilosa mampu mengadakan ikatan dengan sesama amilosa maupun dengan amilopektin membentuk konfigurasi yang sulit dirusak karena terdapat banyak ikatan didalam granula sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar (Jane et al., 1999 dalam Baah 2009). Hal ini mengakibatkan suhu puncak lebih tinggi. Suhu puncak gelatinisasi tepung juga dipengaruhi oleh keberadaan lemak. Keberadaan lemak menyebabkan suhu puncak meningkat, sebab komplek amilosa-lemak cenderung mencegah terjadinya pengembangan granula pati secara berlebihan (Baah, 2009).
96
Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode kering dan metode basah memiliki rata-rata suhu puncak gelatinisasi 88,39˚C dan 90,89˚C (Tabel 12). Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode kering menghasilkan suhu puncak gelatinisasi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung jagung metode basah. Hal ini disebabkan kerusakan pati pada metode kering menghasilkan pati dengan intergritas yang rendah sehingga diperlukan energi yang lebih rendah untuk penetrasi air untuk menghasilkan granula dengan pengembangan optimal. Menurut Tan et al. (2010), pada proses pembuatan mi parameter ini dicapai saat tahapan hot water blanching setelah mi dicetak dari ekstruder. Optimasi suhu hot water blanching diperlukan untuik menghasilkan mi dengan tekstur halus dan tidak mudah patah. Pada pembuatan mi tahapan ini dilakukan dengan merebus mi pada suhu 100 ˚C selama 3 menit. c. Viskositas maksimum
Tepung jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10 dan Bisi 16 masing-masing memiliki rata-rata viskositas maksimum 745BU, 755BU, 780BU, 780BU, 790BU, 805BU dan 830BU (Tabel 12). Viskositas maksimum varietas Bisi 16 relatif lebih tinggi dibanding varietas lainnya. Hal ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak yang lebih rendah (0,73% bk) daripada jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima, Nusantara 1 dan NT 10 masing-masing sebesar 3,61%bk; 3,33%bk; 3,17%bk; 3,05%bk;
2,31%bk
dan
1,70%bk.
Pengembangan
granula
terutama
dipengaruhi oleh keberadaan lemak dalam bahan yang mampu menghalangi
97
pengembangan granula dengan membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak sehingga dihasilkan viskositas maksimum yang rendah (Baah, 2009). Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode kering dan metode basah memiliki viskositas maksimum 797,14 BU dan 770 BU (Tabel 12). Tepung jagung yang dihasilkan dengan metode kering menghasilkan viskositas maksimum gelatinisasi yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung jagung metode basah. Pada metode basah terdapat proses perendaman sehingga daerah kristalinitas lebih besar dibanding metode kering. Hal ini disebabkan selama perendaman terjadi hidrolisis oleh αamilase. Hidrolisis enzimatis terjadi terutama pada bagian amorphous granula sehingga presentase kristalinitas dapat meningkat (Ikegwu et al., 2009). Selain itu, perbedaan jumlah starch damage juga menyebabkan perubahan daerah kristalinitas. Menurut Morrison and Tester (1999), peningkatan jumlah starch damage menyebabkan berkurangnya daerah kristalinitas. Pada metode kering jumlah starch damage lebih besar sehingga daerah kristalinitas lebih sedikit. Viskositas maksimum menurun dengan meningkatnya kristalinitas granula karena peningkatan asosiasi sehingga menghambat pengembangan maksimum pada granula (Aticokudomchai et al., 2001). Oleh karena itu tepung yang dihasilkan dari metode kering memiliki viskositas maksimum lebih tinggi. Viskositas maksimum dinyatakan dalam satuan Brabender Unit (BU). Menurut Vongsawasdi (2009), semakin tinggi viskositas maksimum akan menghasilkan persen elongasi mi yang makin tinggi artinya tidak cepat patah atau putus dan berkolerasi positif dengan kelembutan mi yang dihasilkan.
98
d. Breakdown viscosity
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara1, Bisi 16, NT 10, dan
Prima masing-masing memiliki rata-rata breakdown viscosity 60BU,
70BU, 72,5BU, 130 BU, 137,5BU, 155BU dan 165BU (Tabel 12). Breakdown viscosity varietas Prima relatif lebih tinggi dibanding varietas lainnya, hal ini disebabkan tepung jagung varietas Prima mempunyai kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33.94% bk; 31,86% bk; 31,26% bk; 25,66% bk; 30,96% bk, 25,16% bk. Menurut Jane (1999) dalam Baah (2009), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan. Tepung jagung yang dibuat dengan metode kering dan metode basah memiliki breakdown viscosity 137,86 dan 87,86 BU (Tabel 12). Tepung jagung dengan perlakuan metode kering menghasilkan breakdown viscosity yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung jagung metode basah. Hal ini disebabkan karena metode kering menghasilkan pati yang rusak dalam jumlah lebih besar sehingga lebih rapuh selama pemanasan dan pengadukan. Menurut Suksomboon et al.(2005), pati dengan jumlah starch damage lebih besar memiliki integritas granula yang rendah sehingga cepat hancur dan patah selama pemasakan karena dan tidak tahan pemanasan dan pengadukan.
99
Menurut Beta dan Corke (2001) dan Vongsawasdi (2009), secara umum semakin rendah breakdown viscosity maka dihasilkan mi dengan cooking loss yang rendah dan persen elongasi yang tinggi. Aplikasinya pada produk mi, semakin rendah breakdown viscosity maka dihasilkan mi dengan tekstur yang tidak mudah patah-patah atau hancur selama pemasakan mi (Panikulata, 2008). e. Setback viscosity
Setback viscosity adalah parameter yang dipakai untuk melihat kecenderungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi, sedangkan sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati (Winarno, 2008). Menurut Munarso (1998), pada produk mi tidak dikehendaki terjadinya sineresis dan menghendaki adanya retrogradasi untuk mempertahankan bentuk mi. Semakin positif nilai setback viscosity, proses retrogradasi semakin kuat dan bila nilainya semakin negatif yang terjadi adalah proses sineresis. Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara 1, Bisi 16, NT 10, dan Prima masing-masing memiliki rata-rata setback viscosity 937,5BU, 815BU, 817,5BU, 775BU, 757,5BU, 750BU dan 735BU (Tabel 12). Setback viscosity varietas Prima relatif lebih rendah dibanding varietas lainnya hal ini disebabkan tepung jagung varietas Prima mempunyai kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33,94% bk; 31,86% bk;
100
31,26% bk; 25,66% bk; 30,96% bk dan 25,16% bk. Nilai setback dipengaruhi oleh jumlah amilosa pada bahan. Bila jumlah amilosa rendah maka nilai setback akan menurun. Hal ini disebabkan ketika pasta mendingin molekulmolekul amilosa akan bersatu kembali (Winarno, 2008). Adanya rantai cabang (amilopektin) dapat menghalangi penggabungan kembali molekulnya. Tepung jagung yang dibuat dengan metode kering dan metode basah masing-masing memiliki rata-rata setback viscosity 790 BU dan 806,43 BU (Tabel 12). Tepung jagung dengan perlakuan metode kering menghasilkan setback viscosity yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung jagung metode basah. Hal ini disebabkan degradasi amilopektin dengan berat molekul dan derajat polimerisasi yang tinggi pada metode kering cenderung menghalangi pengikatan kembali amilosa selama pendinginan. Fragmentasi amilopektin dengan berat molekul tinggi akan menghasilkan fragmen amilopektin dengan 1,6-anhidro-β-D-glukopiranosa dengan berat molekul yang lebih rendah dan bersifat amorph (Einde 2004; Suksomboon et al., 2005). Menurut French (1972) dalam Fen (2007), amilopektin tersusun atas dua jenis yaitu amilopektin dengan berat molekul rendah (DP 10-16) dan dengan berat molekul tinggi (DP 40-45). Amilopektin dengan berat molekul tinggi cenderung membentuk model cluster yang linier sehingga bersifat kristalin. Sedangkan amilopektin dengan berat molekul rendah cenderung tidak membentuk cluster, memiliki percabangan yang lebih banyak dan bersifat amorf. Makin banyak jumlah amilopektin dengan berat molekul lebih rendah yang terbentuk sehingga menghalangi penggabungan amilosa.
101
Gambar
53. Mekanisme fragmentasi amilopektin akibat termomekanis pada suasana kering (Einde, 2004).
perlakuan
Semakin tinggi dan positif nilai setback viscosity menggambarkan sifat kohesif dan hardness yang tinggi pada mi, kelengketan dan cooking loss yang rendah yang diinginkan pada produk mi (Beta and Corke, 2001).
D. Pembahasan Umum
Jagung hibrida merupakan salah satu jenis jagung yang semakin banyak dibudidayakan di Indonesia. Selain memiliki kandungan nutrisi yang tidak kalah dengan beras atau terigu, jagung hibrida mengandung pangan fungsional seperti serat pangan, unsur Fe dan beta-karoten serta memiliki produktivitas yang tinggi, namun saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas untuk produk pangan. Pembuatan tepung jagung memungkinkan munculnya produk olahan jagung yang lebih beragam, praktis dan sesuai kebiasaan konsumsi konsumen seperti produk mi instan. Varietas jagung hibrida sangat bervariasi sehingga diperlukan seleksi varietas jagung yang terbaik. Selain itu, metode penggilingan yang tepat perlu diteliti untuk menghasilkan tepung jagung sesuai karakter produk mi instan. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melakukan karakterisasi tepung.
102
Variabel kimia yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein total, kadar amilosa, dan kadar pati. Variabel fisik meliputi rendemen, starch damage, derajat putih, pH, densitas kamba dan SEM (Scanning Electron Microscope). Sedangkan variabel fungsional yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi kapasitas penyerapan air, kelarutan dan swelling volume, kapasitas emulsi dan sifat amilogafi. Perlakuan varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap semua variabel kecuali derajat putih (L). Sementara perlakuan metode penggilingan memberikan pengaruh sangat nyata pada semua variabel. Ada interaksi antara varietas jagung kuning hibrida dan metode penggilingan terhadap kadar air, pati, dan starch damage. Tepung jagung yang dihasilkan memiliki pola gelatinisasi tipe B. Tipe amilogram pada tepung dapat diubah dengan modifikasi pati baik secara fisik maupun kimia (Sasaki, 1999). Tipe B amilogram tepung jagung yang dihasilkan dapat diubah menjadi tipe C dengan melakukan modifikasi fisik HMT (Heat Moisture Treatment) atau OPT (Osmotic Pressure Treatment) dan modifikasi kimia menggunakan agensia crosslinking sodium tripolifosfat sehingga dapat dihasilkan sedikit mungkin atau bahkan tidak ada breakdown viscosity. Tepung yang dihasilkan dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3727 (1993) dan SII, maka kombinasi perlakuan telah memenuhi standar SNI, sedangkan kadar pati hanya varietas Bisi 16 yang belum memenuhi standar SII. Tepung yang ideal menurut SNI 01-3727 (1993) adalah memiliki bau, rasa dan warna normal, kadar air maksimum 10%,
103
kadar abu maksimum 1,5% (b/b), serat kasar 1,50% (b/b) sedangkan kadar pati menurut SII (Standar Industri Indonesia) tidak boleh kurang dari 75%. Pada penelitian kadar serat kasar tidak dianalisis karena pada penelitian pendahuluan didapat kadar serat kasar pada semua varietas tidak berbeda jauh dan telah memenuhi standar SNI. Perbandingan hasil penelitian dengan syarat mutu tempe berdasarkan SNI dapat dilihat Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan hasil penelitian dengan SNI. Perbandingan Kriteria SNI C-7 Prima Nusantara NT 10 uji 1 Air % maks. 8,68 6,91 8,18 9,24 (b/b) 10% Abu % maks. 1,022 0,843 0,774 0,716 (b/b) 1,50% Pati* min. 80,959 78,830 76,199 76,036 % (b/b) 75% Bau normal normal normal normal normal Rasa normal normal normal normal normal Warna normal normal normal normal normal Keterangan : *= menurut SII (Standar Industri Indonesia)
P-21
Bisi 16
7,86
9,48
6,99
0,963
0,552
1,115
78,540
74,516
80,032
normal normal normal
normal normal normal
normal normal normal
Berdasarkan syarat mutu SNI 01-3727 (1993), dari hasil penelitian yang telah dilakukan varietas jagung hibrida layak untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan berbagai produk pangan termasuk mi instan. Secara umum kandungan nutrisi tepung jagung dari metode kering lebih unggul dari metode basah, namun lebih rendah dari sifat fisik dan fungsional.
104
P-12
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Varietas P-12 merupakan varietas terbaik berdasarkan Indeks Efektivitas ditinjau dari sifat fisik dan fungsionalnya meliputi densitas kamba 0,65 g/mL; rendemen 45,18% bk; derajat putih (L) 68,29%; kapasitas penyerapan air 244,49% bk; swelling volume 9,31 mL/g bk; kelarutan 7,35% bk; kapasitas emulsi 0,51 mL/g bk; suhu awal gelatinisasi 74,75˚C; suhu viskositas maksimum 92,63˚C;
viskositas maksimum 745 BU; breakdown visc. 70 BU dan setback visc. 815 BU. 2. Metode penggilingan basah menghasilkan tepung dengan sifat fisik dan fungsional yang lebih baik daripada metode kering, namun memiliki komposisi kimia yang lebih rendah. 3. Ada interaksi antara varietas jagung kuning hibrida dan metode penggilingan terhadap kadar air, pati, dan starch damage. 4. Kombinasi perlakuan dengan hasil terbaik berdasarkan Indeks Efektivitas ditinjau dari sifat fisik dan fungsional adalah tepung jagung varietas C-7 dengan metode basah (V1M2) meliputi kadar air 7,96% bb; kadar abu 0,75% bk; kadar lemak 2,99% bk; kadar protein total 8,65% bk; kadar amilosa 32,83% bk; kadar pati 86,53% bk; densitas kamba 0,64 g/mL; rendemen 43,19% bk; pH 5,55; derajat putih (L) 80,36%; kapasitas penyerapan air 225% bk; swelling volume 9,25 mL/g bk; kelarutan 8,16% bk; kapasitas emulsi 0,43 mL/g bk; suhu awal gelatinisasi 73,50˚C; suhu viskositas maksimum 94,00˚C; viskositas maksimum 775 BU; breakdown visc. 35 BU dan setback visc. 945 BU.
105
B. Saran
1. Perlu pengembangan alternatif prosedur perendaman yang lebih cepat untuk meningkatkan efisiensi produksi tepung jagung metode basah. 2. Perlu dilakukan modifikasi kimia seperti ikatan silang (cross-linking), modifikasi fisik seperti HMT (Heat Moisture Treatment) atau OPT (Osmotic Pressure Treatment) dan kombinasi kimia-fisik seperti DT (Drying Heating) dengan penambahan gum ionik untuk meningkatkan ketahanan pati terhadap pemanasan dan gaya mekanis (shear) saat pemasakan. 3. Perlu penelitian lebih lanjut aplikasi tepung jagung hibrida varietas terbaik untuk memproduksi mi instan menuju tahap industrialisasi dalam rangka diversifikasi pangan lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap beras dan impor terigu.
106
DAFTAR PUSTAKA
Aak. 2008. Seri Jagung Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius, Jakarta. Abdelmadjid, F. Effect of Small Antioxidant Moleculles on the Viability of Oxidative Stress Defective Yeast. Thesis. Mediteranian Agronomic Institute of Chania, Yunani. Adebowale, O.K. 2008. Emulsifying properties of mucuna flour and protein isolates. Journal of Food Technology. 6(2):66-79. Ade, B. I. O., B. A. Akinwande, I. F. Bolarinwa and A.O. Adebiyi. 2009. Evaluation of tigernut (Cyperus esculentus)-wheat composite flour and bread. African Journal of Food Science. (2):087-091. Ali, M. 2009. JHS siapkan benih jagung untuk NTT. http:// tv.pos-kupang.com. Diakses tanggal 15 Juni 2009. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarwati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. 196-211. Asfiyah, H. 1997. Pengaruh Kondisi Perendaman Daging Buah Sukun (Artocarpus altilis) terhadap Mutu Tepung yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta. Asmarajati, T. 1999. Pengaruh Blanching dan Suplementasi Bekatul Terhadap Kualitas Cookies. Skripsi. Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto. Astawan, M. 2001. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Arora, S. 2003. The Effect of Enzymes and Starch Damage on Wheat Flour Tortilla Quality. Thesis. Texas A&M University, USA. Atichokudomchai, N., S. Shobsngob, P. Chinacoti and S. Varavinit. 2001. A study of some physicochemical properties of high-crystalline tapioca starch. Starch/starke. (53):577-581. Baah, D. F. 2009. Characterization of Water Yam (Dioscorea atalata) for Existing and Potensial Food Products. Thesis. Faculty of Biosciences Kwame Nkrumah University, Nigeria. Babiker, E.E., B.A. Hassan, M.M. Elitayeb, G.A. Osman, M.N. Hassan and K.A. Hassan. 2007. Solubility and functional properties of boiled and fried Sudanese tree locust flour as a function of NaCl concentration. Medwell Journal. 5(3):210-214.
107
Badan Standarisasi Nasional. 1993. Standar Nasional Indonesia. SNI 0-3727 1993. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Beta, T. and H. Corke. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch properties. J Cereal Chemistry. (78):417-420. Bhattachrya, S. and M. Prakash. 1994. Extrusion blends of rice and chicken pea flours: A response surface analysis. J. Food Enginering. 21:315-330. Bian, Y., D.J. Myers, K. Dias, M.A. Lihono, S. Wu, and P.A. Murphy. 2003. Functional properties of soy protein fraction produced using a pilot plantscale process. J. Am. Chem. Soc. 80:45-549. Bolade, K.M. 2009. Effect of flour production method on yield, physicochemical properties of maize flour and rheological characteristics of maize-based non-fremented food dumpling. African Journal of Food Science. Vol. 3(10):288-298. Chen, Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Aplication in Noodle Product. Ph.D Thesis. Wageningen University, The Netherlands. Chen, J. J., C.Y. Lii, and S. Lu. 1999. Effect of milling n physicochemical characteristics of waxy rice in Taiwan. Cereal Chemistry. 76:796-799. Chen, J. J., C.Y. Lii, and S. Lu. 2003. Physicochemical and morphological analyses on damaged rice starches. Journal of Food and Drug Analysis. 4:283-289. Chiang, P.Y. and A.I. Yeh. 2002. Effect of soaking on wet milling rice. J. Cereal Science. 35:85-94. Cramp, L.G. 2007. Modification and Molecular Interactions of Soy Protein Isolate. Thesis. Faculty of North Caroline State University, Raleigh. Collado, L.S., and H. Corke. 1998. Heat moisture treatment effect on sweet potato starch differing in amylose content. J. Food Chemistry. (65)339-346. Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates and H. Corke. 2001. Bihon type noodle from heat moisture treated sweet potato starch. J. Food Sci. 66:604-609. Dubat, A. 2004. The Importance and Impact of Starch Damage and Evolution of Measuring Methods. Sdmatic, New York. Dinas
Pertanian. 2008. Panen perdana jagung hibrida. http://harianjoglosemar.com. Diakses tanggal 10 November 2009.
108
Damardjati, D.S., S. Widowati, J. Wargiono, dan S. Purba. 2000. Potensi dan Pendayagunaan Sumber Daya Bahan Pangan Lokal Serealia, Umbiumbian, dan Kacang-kacangan untuk Penganekaragaman Pangan. Makalah pada Lokakarya Pengembangan Pangan Alternatif. Jakarta, 24 Oktober 2000. 24 hal. Einde, R.V.D. 2004. Molecullar Modification of Starch during Thermomechanical Treatment. Ph.D Thesis. Wageningen University, The Netherlands. Ekthamasut, K. Effect of tomato seed meal on wheat pasting properties and alkaline noodle qualities. AU J.T. 9(3):147-152. Elliasson, A.C. 2004. Starch in Food. Structure, Function and Application. Woodhead Publishing Limited. CRC Press, New York. Fagbemi, T.N., A.A. Oshodi and K.O. Ipin. 2006. Effect of processing on the functional properties of full fat and defatted fluted pumpkin (Telfairia occidentalus) seed flour. Journal of Food Technology. 4(1):70-79 Frederick, E. J. 2007. Effect of Sorgum Flour Composition and Particle Size on Quality of Gluten-free Bread. Thesis. Kansas State University, Manhattan. Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., New York. Grenus, K.M., F. Hscih, and H.E. Huff. 1993. Extrusion and extrudate properties of rice flour. J. Food Enginering. 18:229-245. Guo, G., D.S. Jackson, R.A, Graybosch, and A.M. Parkhurst. 2003. Asian salted noodle quality impact of amylose content adjustment using waxy wheat flour. J. Cereal Chemistry. (80):437-445. Hariyadi, P. 2010. Ada jagung dalam mi. Http://www.Tempo.com/ seri teknologi. Diakses tanggal 2 April 2010. Haros, M., O. E. Perez, and C. M. Rosell. 2003. Effect of steeping corn with lactic acid on starch properties. Cereal Chemistry. 81(1):10-14. Hernanda, A.R. 2008. Pasar benih jagung hibrida naik 10 http://www.perumperhutani.com. Diakses tanggal 3 November 2009.
%.
Hoover, R.,dan W.S. Ratnayake. 2002. Starch characteristics of Black Bean, Chick pea, Lentil, Navy bean and Pinto bean cultivars grown in Canada. Food Chemistry. (78) 489 – 498. Hoseney, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology. American Association of Cereal Chemist Inc., USA.
109
Hung, P.V. and N. Morita. 2005. Physicochemical properties and enzymatic digestibility of starch from edible canna (Canna edulis) gown in Vietnam. Carbohydrate Polymers, 61:314-321. Hutching, J.B. 1999. Food Color and Apearance. Aspen publisher Inc., Maryland. Ikegwu, O.J., P.E. Okechukwu and E.O. Ekumankare. 2010. Physicochemical and pasting characteristic of flour and starch from Achi brachtegia. Medwell Journal. (8):58-66. Inglett, G.E. 1970. Corn:Culture, Processing, Products. Westport, Connecticut: The Avi Publishing Company Inc. Iriany, R.N dan T. M. Andi. 2007. Jagung Hibrida Unggul Baru. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29 (4): 26-39. Johnson, L.A. 1991. Corn: Production, Processing, and utilization. Di dalam : Handbook of Cereal Science of technology. Karel K and Josep GP, editor. Marcell Decker Inc., New York. Jugenheimer R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John Wiley and Sons, New York. Kadan, R.S., R.J. Bryant, and A.B. Pepperman. 2003. Functional properties of extruded rice flours. J. Food Science. 68:1669-1672. Kaur, A., N. Singh, R. Ezekiel and S.H. Guraya. 2006. Physicochemical, thermal and pasting properties of flour from different potato cultivars grown at different location. J. Food Chemistry. 101:643-641. Keputusan Menteri Pertanian. 2006. Pelepasan galur murni jagung hibrida SX 44 sebagai varietas unggul dengan nama NT 10. Http://www.deptan.go.id. Diakses tanggal 15 Juni 2009. Kibar, A.A., Gonenç, and F. Us. 2009. Gelatinization of waxy, normal, and high amylose corn starches. Journal of Food Technology. 4(3):02-10. Koswara. 2000. Komposisi kimia jagung. Http://www.ebookpangan.com. Diakses tanggal 2 Mei 2010. Kulp K., and G. P. Joseph. 2000. Hand Book of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker Inc., New York. Laga, A. 2006. Pengembangan Pati Termodifikasi dari Substrat Tapioka dengan Optimalisasi Pemotongan Rantai Cabang Menggunakan Enzim Pullunase. Prosiding Seminar Nasional PATPI, 2-3 Agustus 2006.
110
Lewis, M.J. 1987. Physical Properties of Food and Food Processing Systems. Hartnolls Limited, Bodman Cornwall, Great Britain. Lim, S.T., H.J. Han, H.S. Lim, and J.N. BeMiller. 2002. Modification of starch by dry heating with ionic gum. Cereal Chemistry. 79(5):601-606. Lindeboom, N., P.R. Chang and R.T. Tyler. 2004. Analytical, biochemical, and physicochemical aspect of starch granule size with emphasis on small granula starches : A Review. Starch/starke. 56:89-99. Master, K. 1979. Spray Drying Handbook. John wiley and Sons, New York. Metirukmi, D. 1992. Peranan kedelai dan hasil olahanya dalam penanggulangan masalah gizi ganda. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengembangan Teknologi Pangan dan Gizi Menyongsong Pelita VI, Bogor, 19 Desember 1992. Moorty, N.S. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber starches : A Review. Starch/starke. 54:559-592. Morrison, W.R. and R. F. Tester. 1994. Properties of damaged starch ganules. IV. Composition of ball-milled wheat starches and of fractions. J. Cereal Science. 20:69-77. Mukparsirt, A. and K. Sajjanantakul. 2004. Physico-chemical properties of flour and starch from jackfruit seeds (Artocarpus heterophyllus Lam.) compared with modified starches. International Journal of Food Science. and Technology. 39:271-276. Munarso, S.J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya dalam Pembuatan Mi Beras Instan. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Nirmala. 2008. Fakta di balik mitos gluten. http://cybermed.cbn.net.id. Diakses Tanggal 11 Juni 2009. Nobel, P., dan Andrizal. 2003. Pedoman Penanganan Pasca Pasca Panen Jagung. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Numfor, A.F., M.W. Walter, and J.S. Schwartz. 1996. Effect of emulsifier on the physical properties of native and fermented Starches. J. Agriculture Food Chemistry. (44):2595-2599. Onwuka, G.I. and N.J. Ogbagu. 2007. Effect of fermentation on the quality and physical properties of cassava based fufu product made from two cassava varieties NR8212 and Nwangbisi. Medwell Journal. (3):261-264.
111
Oti, E. And E.N.T Akobundu. 2007. Physical, functional and amylograph pasting properties of cocoya-soybean-crayfish flour blends. Nigerian food Journal. 25(1):161-169. Pangkey, A. S. Pengaruh Lama Perendaman Kacang Gude (Cajanus cajan Mill sp.) dari Beberapa Varietas terhadap Rendemen dan Komposisi Kimia Tepung yang Dihasilan. Skripsi. Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto. Philips, C. M. 1981. Protein conformation at liquid interfaces and its role in stabilizing emulsions and foams. J. Food Technology. Vol 32. Pukkahuta, C., S. Bussawan, S. Sujin, and S. Saiyavit. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic pressure and heat-moisture treated corn starch. J. Carbohydrate Polymer. 72:527-536. Purwani, E.Y., Widaningrum, R. Thahir and Muslich. 2006. Effect of heat moisture of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journal of Agricultural Science. 7(1):8-14. Purwanto, S. 2010. Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung. Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta. Ramachandran, A. 2010. Carotenoid Accumulation During Grain Development in Durum Wheat (Triticum turgidum L. Var Durum). Thesis. College of Graduate Studies and Research, University of Saskatchhewan, Saskatoon. Ratnayake, W.S., R. Hoover dan W. Tom. 2002. Pea starch: composistion, structure and properties – review. Starch/Starke. 54: 217 – 234.
Riset dan Teknologi. 2006. Komposisi kimia jagung. Http:// www.ristek.go.id . Diakses tanggal 12 Sptember 2009. Rosmisari, A. 2006. Review: Tepung jagung komposit, pembuatan dan pengolahannya. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen Pengembangan Pertanian. BPPPT, Bogor. Sasaki, T. 2005. Effect of wheat starch characteristics on the gelatinization, retrogradation, and gelation properties. JARQ 39(4):253-260. Sathe, S.K. dan K. Salunkhe. 1981. Isolation, partial characterization and modification of The Geat Nothern Bean (Phaseolis vulgaris L.) starch. Food Science. 46(2):617-621. Setiawan, I. 2009. Pengaruh fermentasi sponan terhadap sifat fisikokimia pati jagung. Indonesian Journal of Agricultural Science. 8(1):8-12.
112
Shimelis, E., M. Meaza, and S. Rakhsit. 2006. Physicochemical properties, pasting behavior and functional characteristics of flours and starches from improved bean (Phaseolus vulgaris L.) varieties grown in east Africa. CIGR Ejournal,. Vol. VIII. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. PT Penerbit IPB, Bogor. Suardi, Suarni dan A. Prabowo. 2002. Teknologi Sederhana Prosesing Sorgum sebagai Bahan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Hlm. 112-116. Suarni. 2001. Tepung Komposit Sorgum, Jagung, dan Beras untuk Pembuatan Kue Basah (cake). Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. Vol 6. hlm 55-60. Suarni, M. Aqil, and I.U. Firmansyah. 2008. Starch characterization of several maize varieties for industrial use in Indonesia. Paper of the Asian Regional Maize Workshop (ARMW), Makassar. Suartha, I.G.D. 2008. Wujudkan ketahanan pangan melalui budidaya jagung hibrida. http://www. Tanindo.com. Diakses tanggal 10 November 2009. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. 172 hal. Suksomboon, A., O. Naivikul and B. R. Hamaker. 2005. Comparison of chemical, physicochemical properties and starch molecullar structures in dry- and wet-milled rice flour, pp. 247-252. In Proceeding of Starch Updated 2005 The 3rd Conference on Starch Technology. National Center of Genetic Engineer and Biotechnology, Bangkok. Sung, C.W. and M. Stone. 2004. Characterization of legume starches and their noodle quality. Journal of Marine Science and Technology. 12(1):25-52. Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya, Jakarta. Suprapto dan H.A.R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung. Edisi Revisi, Cetakan ke14. Penebar Swadaya, Jakarta. Suwarno. 2008. Potensi jagung hibrida. Http:// binatanimakmur.com. Diakses tanggal 29 Juni 2009. Tam, L.M., H. Corke, W.T. Tan, J. Li, and L.S. Collado. 2004. Production of bihon-type noodle from maize starch differing in amylosa content. J Cereal Chemistry. 81(4):475-480.
113
Tan, H., Z. Li, and B. Tan. 2010. Starch noodles: History, classification, materials, processing, structure, nutrition, quality evaluating and improving. Food Research International. 42:551-576. Techawipharat, J. 2007. Effect of Hydrocolloids on Physicals and Rheological Properties of Rice Starch. Thesis. Faculty of Graduate Studies Mahidol University, Bangkok. Thompson, A.W., M. Blades, dan J. Suthering. 2006. The G.I. Diet Cook Book. Http:www.indomemo.com. Diakses tanggal 2 Februari 2010. Udensi, E.A. and K.A. Okoronkwo. 2006. effect of fermentation and germination on the physicochemical properties of Mucuna cochinchinensis protein isolate. African Journal of Biotecnology. 5(10):896-900. Usansa, U., N. Sompong, C. Wanapu, N. Boonkerd and N. Teaumroong. 2009. The influence of steeping duration and temperature on the α- and βamylase activities of six Thai rice malt cultivars (Oryza sativa L. Indica). J. Inst. of Brewing 115(2):140-147. Vongsawasdi, P., M. Noppharat, N. Hiranyaprateep and N.Tirapong. 2009. Relationships between rheological properties of rice flour and quality of vermicelli. J. Food Agroindustri. 2(02):102-109. Wadcharat, C., T. Masubon and O. Naivikul. 2006. Characterization of pregelatinized and heat moisture treated rice flours. Kasetsart J. 40(Suppl):144-153. Watson. 2003. Corn: Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul Minnesota. USA. Wikipedia. 2008. Mi instan. http://id.wikipedia.org/wiki/mi instan. Diakses tanggal 1 Desember 2009. . 2009. Physical properties. http://id.wikipedia.org/wiki/physical properties. Diakses tanggal 1 Desember 2008. Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. WSI. 1997. Westfalia Separator Industry. Starch from Corn Separation Technology for Cereals. http://www.westfaliaseparator. com/downloads/pdf/9997-0681(20 Juni 2010).
Wu, V. Y. 2001. Emulsfying capacity and emulsion stability of corn gluten meal. J. Science Food Agriculture. 81:1223-1227. Xu, J., and S. Kim. 2008. Aggregate formation of zein and its structure inversion in aqueous ethanol. Journal of Cereal Science 47:1-5.
114
Lampiran 1. Hasil pengamatan penelitian pendahuluan tepung jagung hibrida P-12 a. Sifat kimia dan fisik tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat penyosohan.
Tingkat Penyosohan 1 kali 3 kali 5 kali 2,52 1,71 1,42 60,11 61,25 63,86 3,25 3,18 2,45 7,22 7,37 7,31 83 72 65 17,65 22,18 26,53
Variabel pengamatan tepung Kadar serat tepung (%b/b) Derajat putih tepung (%)
L a b
Rendemen jagung sosoh (%) Rendeman tepung terhadap biji jagung utuh (%b/b) Tekstur (sensoris)
agak halus
halus
halus
7 kali 1,02 63,97 2,41 7,82 53 23,12 halus
b. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat penggilingan metode kering. Tingkat penggilingan Variabel yang diamati 3 kali 5 kali 7 kali 9 kali L 63,86 58,21 53,4 49,91 Derajat putih a 2,45 3,89 6,11 6,52 tepung b 7,31 7,91 9,09 11,13 Rendeman tepung 26,53 33,62 34,88 35,14 terhadap biji jagung utuh (%b/b) c. Rendemen dan derajat putih tepung perendaman pada metode basah. Variabel yang diamati 3 jam L 77,29 Derajat a -0,71 putih tepung b 31,95 Rendemen terhadap biji 35,09 jagung utuh (%b/b)
jagung varietas P-12 pada berbagai lama Lama perendaman 6 jam 9 jam 77,89 79,65 -0,65 -0,59 31,03 30,71 40,15 44,23
115
12 jam 79,1 -0,46 29,56 41,51
d. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat penggilingan pada metode basah. Tingkat penggilingan variabel yang diamati 1 kali 2 kali 3 kali L 79,65 79,0 78,2 Derajat a -0,59 -0,63 -0,62 putih tepung b 30,71 32,3 32,11 Rendemen tepung (% b/b) 45 46,7 47,0
e.Sifat fisikokimia biji jagung kuning hibrida dari berbagai varietas. Varietas Jagung Kuning Hibrida Variabel C-7 Prima Nusantara 1 NT 10 P-21 Kadar air (% b/b) 10,10 8,32 9,56 10,64 8,84 Kadar protein total (% bk) 10,89 10,25 9,57 10,56 10,45 Kadar lemak (% bk) 6,50 6,45 5,84 4,26 6,73 Presentase berat biji setelah 134 133 115 127 130 direndam selama 9 jam dengan berat biji pipil kering (%) Bobot 100 biji (g) 23,50 30,00 27,93 28,80 30,46
116
Bisi 16 11,18 8,57 4,15 136
P-12 8,58 10,74 7,04 125
33,66
29,26
Lampiran 2. Denah percobaan Denah percobaan dengan 2 kali ulangan.
V2M2
V1M2
V3M2
V3M2
V2M1
V2M2
V1M2
V3M1
V4M2
V2M1
V5M2
V1M1
V4M1
V5M1
V1M1
V7M2
V3M1
V6M2
V5M2
V7M1
V6M2
V4M1
V7M2
V7M1
V6M1
V5M2
V7M1
V4M2
Blok I
Blok II
117
Lampiran 3. Proses pembuatan tepung jagung metode kering Jagung pipil kering
Disosoh 5 kali
Dedak jagung
Jagung sosoh
Digiling 5 kali
Diayak 80 mesh
Tepung jagung
Dikemas dengan plastik PP hitam
Tepung jagung siap pakai
118
Menir
Lampiran 4. Proses pembuatan tepung jagung metode basah Jagung pipil kering
Disosoh 5 kali
Dedak jagung
Jagung sosoh
Direndam selama 9 jam
Ditiriskan
Air sisa perendaman
Digiling 2 kali
Dikeringkan dengan cabinet dryer selama 2,5 jam pada suhu 50˚C
Diayak 80 mesh
Tepung jagung
Dikemas dengan plastik PP hitam
Tepung jagung siap pakai
119
Menir
Lampiran 5. Jagung hibrida pipil kering dari beberapa varietas
120
Lampiran 6. Jagung hibrida 5 kali sosoh dari beberapa varietas
121
Lampiran 7. Tepung jagung berbagai varietas dengan metode kering
122
Lampiran 8. Tepung jagung berbagai varietas dengan metode basah
123
Lampiran 9. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel kimia tepung jagung hibrida dari berbagai varietas Data V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 F hit V F tab 5% F tab 1% M1 M2 F hit M F tab 5% F tab 1% V1M1 V1M2 V2M1 V2M2 V3M1 V3M2 V4M1 V4M2 V5M1 V5M2 V6M1 V6M2 V7M1 V7M2 F hit VXM F tab 5% F tab 1%
Kadar air (% bk) 9.5203 bc 7.448 e 8.9275 cd 10.1923 ab 8.5370 d 10.4763 a 7.5245 e 25.68 ** 2,92 4,62 9.7838 a 8.1084 b 87.33 ** 4.67 9.07 10.3850 ab 8.6555 de 9.0185 cd 5.8710 g 10.1765 ab 7.6785 ef 10.5900 a 9.7945 abc 9.2870 bcd 7.7870 ef 10.8050 a 10.1475 ab 8.2245 de 6.8245 fg 3.53 * 2,92 4,62
Kadar pati (%bk) 88.65700 a 84.68152 d 82.98865 f 83.78655 e 85.24343 c 82.32035 g 86.04728 b 180.63 ** 2,92 4,62 86.58616 a 83.04949 b 875.45 ** 4.67 9.07 90.78200 a 86.53200 d 86.97050 cd 82.39255 h 84.71775 ef 81.25955 i 85.15585 e 82.41725 h 87.27200 bc 83.21485 g 83.38970 g 81.25100 i 87.81530 b 84.27925 f 7.43 ** 2,92 4,62
Kadar lemak (%bk) 3.16665 c 3.05588 d 2.31293 e 1.70383 f 3.33250 b 0.73263 g 3.61493 a 1197.52 ** 2,92 4,62 2.71857 a 2.40124 b 196.10 ** 4.67 9.07 3.33910 cd 2.99420 e 3.26285 d 2.84890 f 2.51740 g 2.10845 h 1.88690 i 1.52075 j 3.42940 bc 3.23560 d 0.87540 k 0.58985 l 3.7189 a 3.51090 b 2.28 tn 2,92 4,62
Kadar amilosa (%bk) 33.94135 a 23.43500 d 25.65718 c 25.16240 c 31.26358 b 30.95775 b 31.85703 b 79.14 ** 2,92 4,62 29.79082 a 28.00183 b 27.04 ** 4.67 9.07 35.05350 a 32.82920 b 24.29555 ef 22.57445 f 26.61935 d 24.69500 de 25.96730 de 24.35750 ef 32.17720 bc 30.34995 c 31.68270 bc 30.23280 c 32.74015 b 30.97390 bc 0.07 tn 2,92 4,62
Kadar protein total (%bk) 8.77463 a 8.53775 a 7.87598 b 8.54648 a 8.57180 a 5.61803 c 8.78105 a 195.81 ** 2,92 4,62 8.25054 a 7.95109 b 23.81 ** 4.67 9.07 8.89950 a 8.64975 ab 8.83040 ab 8.24510 cd 8.05295 d 7.69900 e 8.64250 ab 8.45045 bc 8.67405 ab 8.46955 bc 5.75900 f 5.47705 f 8.89540 a 8.66670 ab 0.71 tn 2,92 4,62
Kadar abu (%bk) 0.93345 ab 0.78518 bcd 0.71085 cd 0.65163 de 0.88680 abc 0.50045 e 1.03765 a 9.93 ** 2,92 4,62 0.95391 a 0.61924 b 58.26 ** 4.67 9.07 1.11270 ab 0.75420 cdef 0.93420 bc 0.63615 def 0.83605 cde 0.58565 efg 0.81695 cde 0.48630 fg 1.10745 ab 0.66615 cdef 0.66600 cdef 0.33490 g 1.20400 a 0.87130 bcd 0.25 tn 2,92 4,62
Keterangan: V= Varietas jagung hibrida, M= Metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen. 124
Lampiran 10. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel fisik tepung jagung hibrida dari berbagai varietas Data V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 F hit V F tab 5% F tab 1% M1 M2 F hit M F tab 5% F tab 1% V1M1 V1M2 V2M1 V2M2 V3M1 V3M2 V4M1 V4M2 V5M1 V5M2 V6M1 V6M2 V7M1 V7M2 F hit VXM F tab 5% F tab 1%
pH 5.40 d 5.60 c 5.43 d 5.98 a 5.95 a 6.05 a 5.75 b 39.51 ** 2.92 4.62 5.58 b 5.89 a 95.33 ** 4.67 9.07 5.25 g 5.55 ef 5.45 f 5.75 bcd 5.25 g 5.60 def 5.80 bcd 6.15 a 5.75 bcd 6.15 a 5.90 b 6.20 a 5.65 cde 5.85 bc 0.54 tn 2.92 4.62
Densitas kamba (g/mL) 0,63485 abc 0,63753 ab 0,62865 bc 0,61643 c 0,63001 bc 0,59880 d 0,64941 a 4.39 * 2. 92 4.62 0.67528 a 0.58063 b 30.04 ** 4.67 9.07 0,68071 ab 0,58900 de 0,69100 a 0,58405 e 0,6756 abc 0,58165 e 0,66102 bc 0,57185 e 0,67732 abc 0,58270 e 0,65234 c 0,54525 f 0,68892 a 0,60990 d 0.89 tn 2.92 4.62
Rendemen (%bb) 34.19798 c 41.59590 b 40.47765 b 40.14375 b 44.32623 b 48.98173 a 41.30913 b 11.68 ** 2.92 4.62 35.18300 b 47.96910 a 55.51 ** 4.67 9.07 29.56385 f 38.83210 de 33.61905 ef 49.57275 bc 34.80305 ef 46.15225 bc 32.69765 ef 47.58985 bc 38.31965 de 50.33280 b 42.34280 cd 55.62065 a 34.93495 ef 47.68330 bc 0.66 tn 2.92 4.62
Starch damage (%bk) 4.77470 d 4.80563 d 6.64745 a 5.49023 b 5.20018 c 4.20513 e 5.51308 b 313.71 ** 2.92 4.62 6.32912 a 4.13841 b 4396.56 ** 4.67 9.07 5.78630 d 3.76310 h 5.85830 d 3.75295 h 8.49385 a 4.80105 e 6.53830 b 4.44215 f 6.23515 c 4.16520 g 4.79565 e 3.61460 h 6.59630 b 4.42985 f 72.75 ** 2.92 4.62
L (%) 67.27918 67.3375 67.92415 68.23585 67.97335 68.17418 68.28918 0.83 ns 2.92 4.62 55.35191 b 80.42334 a 5207.39 ** 4.67 9.07 54.195 b 80.36335 a 54.39335 b 80.28165 a 55.385 b 80.4633 a 55.90335 b 80.56835 a 55.45835 b 80.48835 a 55.93 b 80.41835 a 56.19835 b 80.38 a 0.63 tn 2,92 4.62
Derajat putih a (%) 1.35248 1.25668 1.81835 1.26083 1.84165 1.565 1.50165 0.34 ns 2.92 4.62 4.10191 a -1.07430 b 268.58 ** 4.67 9.07 3.6083 -0.90335 3.8367 -1.32335 4.42335 -0.78665 4.315 -1.79335 4.48665 -0.80335 4.39835 -1.26835 3.645 -0.6417 0.56 tn 2,92 4.62
b (%) 18.86253 18.43665 16.24668 16.54500 17.97503 19.75418 18.92750 2.83 ns 2.92 4.62 7.74071 b 28.47287 a 3540.57 ** 4.67 9.07 7.58670 30.13835 8.32830 28.54500 7.26500 25.22835 7.27000 25.82000 7.71335 28.23670 7.92165 31.58670 8.10000 29.75500 2.00 tn 2,92 4.62
Keterangan: V= Varietas jagung hibrida, M= Metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen. 125
Lampiran 11. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel fungsional tepung jagung hibrida dari berbagai varietas Data V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 F hit V F tab 5% F tab 1% M1 M2 F hit M F tab 5% F tab 1% V1M1 V1M2 V2M1 V2M2 V3M1 V3M2 V4M1 V4M2 V5M1 V5M2 V6M1 V6M2 V7M1 V7M2 F hit VXM F tab 5% F tab 1%
KPA (%bk) 243.44850 d 268.51775 a 266.24700 ab 262.49825 ab 249.18225 cd 253.12925 bc 244.48725 d 5.96 ** 2.92 4.62 274.46493 a 236.25229 b 141.43 ** 4.67 9.07 261.517 cdef 225.38 i 287.054 a 249.9815 defg 284.821 a 247.673 efgh 282.2195 ab 242.777 fghi 268.579 abcd 229.7855 hi 274.019 abc 232.2395 ghi 263.045 bcde 225.9295 i 0.05 tn 2.92 4.62
Swelling volume (mL/g bk) 9.40703 e 11.63438 a 9.88257 d 10.98175 b 9.89685 d 10.75683 c 9.30993 e 359.41 ** 2.92 4.62 10.46237 a 10.07172 b 126.27 ** 4.67 9.07 9.5595 g 9.25455 h 11.8194 a 11.44935 b 10.0554 f 9.70975 g 11.10905 c 10.85445 d 10.22405 f 9.56965 g 10.94 cd 10.57365 e 9.5292 g 9.09065 h 1.98 tn 2.92 4.62
Kelarutan (% bk) 8.36990 cd 8.97155 c 11.07343 b 11.00415 b 8.14980 d 12.36778 a 7.35240 e 57.06 ** 2.92 4.62 10.08583 a 9.13960 b 25.71 ** 4.67 9.07 8.5838 efg 8.156 fgh 9.2892 ef 8.6539 efg 12.451 a 9.69585 de 11.3245 bc 10.6838 cd 8.487 fg 7.8126 gh 12.88215 a 11.8534 ab 7.58315gh 7.12165h 2.77 tn 2.92 4.62
Kapasitas emulsi (mL/g bk) 0.48905 a 0.38005 b 0.35208 b 0.36208 b 0.38533 b 0.17983 c 0.50753 a 100.15 ** 2.92 4.62 0.40595 a 0.35289 b 42.70 ** 4.67 9.07 0.54585 a 0.43225 bc 0.39885 cd 0.36125 de 0.37235 de 0.33180 e 0.38130 de 0.34285 e 0.40380 cd 0.36685 de 0.18725 f 0.17240 f 0.55225 a 0.46280 b 2.64 tn 2.92 4.62
Keterangan: V= varietas jagung hibrida, M= metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen. 126
Lampiran 12. Penentuan varietas terbaik dengan metode Indeks Efektivitas Variabel fisik dan fungsional Derajat putih (L) Viskositas maks. Breakdown visc Swelling power Kelarutan Setback visc Rendemen KPA Kapasitas emulsi Densitas kamba Suhu awal gelatinisasi Suhu puncak gelatinisasi Jumlah
V1 BV 1 1 0,9 0,9 0,9 0,9 0,8 0,8 0,8 0,7 0,6 0,6 9,9
BN 0,10 0,10 0,09 0,09 0,09 0,09 0,08 0,08 0,08 0,07 0,06 0,06 1,00
V2 NE 0,00 0,41 1,00 0,96 0,80 1,00 0,00 0,00 0,94 0,71 0,39 0,00
NP 0,00 0,04 0,09 0,09 0,07 0,09 0,00 0,00 0,08 0,05 0,02 0,00 0,53
NE 0,06 0,41 0,00 0,00 0,68 0,00 0,43 1,00 0,61 0,77 0,50 1,00
V3 NP 0,01 0,04 0,00 0,00 0,06 0,00 0,03 0,08 0,05 0,05 0,03 0,06 0,42
NE 0,64 0,53 0,33 0,75 0,26 0,20 0,39 0,91 0,53 0,59 0,64 0,55
NP 0,06 0,05 0,03 0,07 0,02 0,02 0,03 0,07 0,04 0,04 0,04 0,03 0,52
Perlakuan V4 NE 0,95 0,71 0,10 0,28 0,27 0,07 0,40 0,76 0,56 0,35 0,74 0,78
V5 NP 0,10 0,07 0,01 0,03 0,02 0,01 0,03 0,06 0,04 0,02 0,05 0,05 0,49
NE 0,69 0,12 0,88 0,75 0,84 0,41 0,62 0,23 0,63 0,62 0,00 0,15
V6 NP 0,07 0,01 0,08 0,07 0,08 0,04 0,05 0,02 0,05 0,04 0,00 0,01 0,51
NE 0,89 1,00 0,26 0,38 0,00 0,11 1,00 0,39 0,00 0,00 1,00 0,64
V7 NP 0,09 0,10 0,02 0,03 0,00 0,01 0,08 0,03 0,00 0,00 0,06 0,04 0,47
NE 1,00 0,00 0,90 1,00 1,00 0,40 0,42 0,04 1,00 1,00 0,05 0,10
Lampiran 13. Penentuan metode penggilingan terbaik dengan metode Indeks Efektivitas. Variabel fisik dan fungsional Derajat putih (L) Viskositas maksimum Breakdown viscosity Swelling power Kelarutan Setback viscosity Rendemen KPA Kapasitas emulsi Densitas kamba Suhu awal gelatinisasi Suhu puncak gelatinisasi Jumlah
Perlakuan M1 BV 1 1 0,9 0,9 0,9 0,9 0,8 0,8 0,8 0,7 0,6 0,6
BN 0,10 0,10 0,09 0,09 0,09 0,09 0,08 0,08 0,08 0,07 0,06 0,06 1,00
M2 NE 0,00 1,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
NP 0,00 0,10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,08 0,08 0,07 0,06 0,06 0,45
NE 1,00 0,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
NP 0,10 0,00 0,09 0,09 0,09 0,09 0,08 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,55*
Keterangan: BV= bobot variabel, BN= bobot nilai, NE= nilai efektivitas, NP= nilai produk, V= varietas jagung hibrida (V1= C-7, V2= Prima, V3= Nusantara 1, V4 = NT 10, V5= P-21, V6= Bisi 16, V7= P-12), M = metode penggilingan (M1= metode kering, M2 = metode basah) *= Perlakuan terbaik berdasarkan variabel fisik dan fungsional.
127
NP 0,10 0,00 0,08 0,09 0,09 0,04 0,03 0,00 0,08 0,07 0,00 0,01 0,60*
Lampiran 14. Penentuan kombinasi terbaik dengan metode Indeks Efektivitas Variabel fisik dan fungsional Derajat putih (L) Viskositas maks. Breakdown visc Swelling power Kelarutan Setback visc Rendemen KPA Kapasitas emulsi Densitas kamba Suhu awal gelatinisasi Suhu puncak gelatinisasi Jumlah
Variabel fisik dan fungsional Derajat putih (L) Viskositas maks. Breakdown visc Swelling power Kelarutan Setback visc Rendemen KPA Kapasitas emulsi Densitas kamba Suhu awal gelatinisasi Suhu puncak gelatinisasi Jumlah
VIM2
V2M1
Perlakuan V2M2 NE NP 0,99 0,10 0,38 0,04 0,32 0,03 0,14 0,01 0,73 0,07 0,09 0,01 0,71 0,06 0,40 0,03 0,50 0,04 0,13 0,01
BV 1 1 0,9 0,9 0,9 0,9 0,8 0,8 0,8 0,7
V1M1 BN NE 0,10 0,00 0,10 0,50 0,09 0,68 0,09 0,83 0,09 0,75 0,09 0,93 0,08 0,00 0,08 0,59 0,08 0,98 0,07 1,00
NP 0,00 0,05 0,06 0,08 0,07 0,08 0,00 0,05 0,08 0,07
NE 0,99 0,42 1,00 0,94 0,82 1,00 0,35 0,00 0,68 0,27
NP 0,10 0,04 0,09 0,09 0,07 0,09 0,03 0,00 0,06 0,02
NE 0,01 0,54 0,00 0,00 0,62 0,00 0,13 1,00 0,60 0,99
NP 0,00 0,05 0,00 0,00 0,06 0,00 0,01 0,08 0,05 0,07
0,6
0,06
0,45
0,03
0,33
0,02
0,58
0,04
0,33
0,6 9,9
0,06 1,00
0,09
0,01 0,57
0,00
0,00 0,61*
1,00
0,06 0,42
0,54
V3M1 NE NP 0,05 0,00 0,62 0,06 0,23 0,02 0,65 0,06 0,07 0,01 0,23 0,02 0,19 0,02 0,96 0,08 0,53 0,04 0,92 0,07
NE 1,00 0,46 0,55 0,77 0,55 0,23 0,61 0,36 0,42 0,15
V3M2 NP 0,10 0,05 0,05 0,07 0,05 0,02 0,05 0,03 0,03 0,01
NE 0,06 0,73 0,03 0,26 0,27 0,07 0,12 0,92 0,55 0,86
V4M1 NP 0,01 0,07 0,00 0,02 0,02 0,01 0,01 0,07 0,04 0,06
0,02
0,67
0,04
0,42
0,03
0,75
0,05
0,03 0,45
0,54
0,03 0,45
0,35
0,02 0,51
0,74
0,04 0,42
Perlakuan BV 1 1 0,9 0,9 0,9 0,9 0,8 0,8 0,8 0,7
V4M2 BN 0,10 0,10 0,09 0,09 0,09 0,09 0,08 0,08 0,08 0,07
NE 1,00 0,58 0,42 0,35 0,38 0,16 0,69 0,28 0,45 0,19
NP 0,10 0,06 0,04 0,03 0,03 0,01 0,06 0,02 0,04 0,01
NE 0,05 0,38 0,61 0,58 0,76 0,36 0,31 0,70 0,61 0,93
V5M1 NP 0,00 0,04 0,06 0,05 0,07 0,03 0,02 0,06 0,05 0,07
NE 1,00 0,15 0,90 0,82 0,88 0,48 0,75 0,07 0,51 0,17
V5M2 NP 0,10 0,02 0,08 0,07 0,08 0,04 0,06 0,01 0,04 0,01
V6M1 NE 0,07 1,00 0,19 0,32 0,00 0,11 0,50 0,79 0,04 0,79
NP 0,01 0,10 0,02 0,03 0,00 0,01 0,04 0,06 0,00 0,06
V6M2 NE NP 0,99 0,10 0,69 0,07 0,48 0,04 0,46 0,04 0,18 0,02 0,18 0,02 1,00 0,08 0,11 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00
V7M1 NE NP 0,08 0,01 0,38 0,04 0,61 0,06 0,84 0,08 0,92 0,08 0,36 0,03 0,18 0,01 0,61 0,05 1,00 0,08 0,96 0,07
V7M2 NE NP 0,99 0,10 0,00 0,00 0,94 0,09 1,00 0,09 1,00 0,09 0,45 0,04 0,65 0,05 0,01 0,00 0,76 0,06 0,32 0,02
0,6
0,06
0,45
0,03
0,33
0,02
0,00
0,00
1,00
0,06
0,50
0,03
0,39
0,02
0,00
0,00
0,6
0,06 1,00
0,48
0,03 0,46
0,22
0,01 0,49
0,01
0,01 0,52
0,61
0,04 0,43
0,09
0,01 0,41
0,09
0,01 0,54
0,02
0,00 0,55
Keterangan: BV= bobot variabel, BN= bobot nilai, NE= nilai efektivitas, NP= nilai produk, V= varietas jagung hibrida, M= metode penggilingan, *= kombinasi perlakuan terbaik berdasarkan variabel fisik dan fungsional.
128
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Riyan Anggriawan, dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 26 November 1988 sebagai anak dari pasangan Bapak Priyono dan Ibu Sri Hastuti. Saat ini penulis bertempat tinggal di Jl. Brobahan PR No 12 Rt 04/04, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas (53114) dengan nomor telepon 085729222048 dan alamat email
[email protected]. Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri 1 Kranji lulus tahun 2000, kemudian melanjutkan ke jenjang tingkat menengah pertama di SMP Negeri 6 Purwokerto lulus tahun 2003. Jenjang pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 2 Purwokerto dan melalui jalur PMDK dan diterima di Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Pertanian Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Selama kuliah penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian (HIMATETA) menjabat sebagai staf bidang keilmuan masa kepengurusan 2007 s/d 2008, staf BSO peduli pangan masa kepengurusan 2008 s/d 2009 dan aktif juga di Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI).
129
130