1
BAB I PENDAHULUAN I.
Latar Belakang
Delanggu merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Klaten yang sampai sekarang beras masih dianggap menjadi salah satu ciri khasnya. Ketika mendengar nama Delanggu, yaitu daerah di Klaten bagian Utara yang berbatasan dengan kabupaten Boyolali,1 maka sering dikaitkan dengan hasil beras. Sampai sekarang, beras dengan label Delanggu masih diminati. Ini berkaitan dengan varietas padi lokal Delanggu yang memiliki keunggulan rasa. Selain itu, Delanggu juga pernah mendapat julukan lumbung padi Klaten. Rasa beras Delanggu memiliki kekhasan, yaitu pulen, gurih dan beraroma wangi daripada beras yang lain. Varietas padi lokal Delanggu yang menjadi andalan dengan memiliki rasa enak, yaitu varietas Rojolele. Belum ditemukan data mengenai waktu varietas tersebut mulai ditanam di Delanggu. Namun yang pasti, varietas tersebut merupakan varietas lokal, artinya varietas Rojolele telah lama ditanam oleh masyarakat Delanggu jauh sebelum varietasvarietas unggul yang dihimbaukan oleh pemerintah Orde Baru,
Lihat pada lampiran halaman 159, mengenai posisi kecamatan Delanggu di kabupaten Klaten. 1
2
dengan kata lain, Rojolele merupakan salah satu varietas asli Indonesia. Pemberian
nama
Rojolele
oleh
masyarakat
Delanggu,
berkaitan dengan kualitas rasa dari varietas tersebut. Rasa nasi dari beras Rojolele jika dibandingkan dengan varietas-varietas bulu lain seperti Gadis, Sinta, Bengawan, dan Slogo, memiliki rasa lebih enak.2 Maka masyarakat Delanggu dan sekitarnya menyebut beras Rojolele adalah raja dari varietas-varietas lainnya. Selain itu bentuk fisik Rojolele memiliki dua bulu panjang yang mirip kumis lele,3 maka varietas lokal Delanggu tersebut disebut Rojolele. Selain dikenal karena varietas Rojolele, Delanggu juka dikenal sebagai lumbung padi Klaten. Sebutan sebagai lumbung padi Klaten berkaitan dengan hasil padinya yang lebih banyak dari distrik-distrik lain di Karesidenan Surakarta. Distrik Delanggu terdiri
dari
empat
onderdistrik,
yaitu
Delanggu,
Wonosari,
Kebongede, dan Ngreden.4 Pada 1922-1927, rata-rata hasil padi di distrik Delanggu terbanyak jika dibandingkan dengan distrik-
Wawancara dengan bapak Maryoto, Desa Sidomulyo, kecamatan Delanggu, pada 24 Agustus 2013; dan Wawancara dengan Ibu Kamiyem, Desa Krapyak, kecamatan Polanharjo, pada 24 Agustus 2013. 2
3
Ibid
Verbeek en Fennema, Geologische Beschrijving van Java en Madoera, Deel I., (Amsterdam: John. G. Stemler C2, 1896), hlm.13. 4
3
distrik lainnya di Karesidenan Surakarta, yaitu 33,73 pikul per hektar atau 20,38 kuintal per hektar.5 Hasil produksi padi yang banyak dapat dikaitkan dengan kondisi ekologi Delanggu. Tanah pertanian Delanggu termasuk tanah regosol kelabu yang mengandung abu dan pasir vulkanik intermedier.6 Produktivitasnya sedang sampai tinggi dan biasanya digunakan
untuk
pertanian
dan
perkebunan.
Unsur-unsur
vulkanik yang terdapat pada tanah pertanian Delanggu berasal dari Gunung Merapi. Delanggu terletak kurang lebih 25-28 kilometer dari puncak gunung Merapi. Jarak tersebut tidak terlalu jauh dari Delanggu untuk mendapatkan kiriman unsur-unsur vulkanik. Delanggu juga terletak kurang lebih lima kilometer dari mata air Cokro Tulung, yaitu salah satu mata air dari gunung Merapi yang menjadi Delanggu
salah yang
satu
sumber
mengalir
pengairan
melalui
sungai
untuk
persawahan
Pusur.7
Mata
air
merupakan sumber air yang kaya akan mineral air yang baik
Sajogo dan William L.Collier, Budidaya Padi di Jawa (Jakarta: Obor dan Gramedia, 1986), hlm. 181. Untuk membandingkan dengan distrik-distrik lainnya di Karesidenan Surakarta dapat dilihat pada lampiran halaman 158. 5
6
3.
Klaten Dalam Angka 1987, (Klaten: BPS Klaten, 1987), hlm.
Geografi budaya Daerah Jawa Tengah. (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976/1977), hlm.91. 7
4
untuk
pertanian.
Jarak
yang
dekat
dengan
mata
air
menguntungkan bagi persawahan Delanggu karena mineralmineral air dari mata air belum banyak hilang di jalan. Selain sungai Pusur, kecamatan Delanggu juga dilalui sungai Jebol, yang juga memenuhi kebutuhan air di sawah-sawah Delanggu. Kondisi ekologi Delanggu yang lengkap, mulai dari tanah yang subur serta pengairan yang kaya akan mineral air,
mempengaruhi baiknya
produksi padi di Delanggu. Lahan pertanian yang luas di Delanggu juga didukung dengan adanya tenaga kerja pertanian yang banyak. Lebih dari setengah
jumlah
penduduk
Delanggu
bermata
pencaharian
sebagai petani. Selain sebagai petani, masyarakat Delanggu juga bermata pencaharian sebagai pedagang,8 buruh perkebunan dan juga buruh pabrik. Keterlibatan
masyarakat
Delanggu
sebagai
buruh
perkebunan dapat dianalisis dengan adanya perkebunan tebu. Pada 1871, luas perkebunan tebu Delanggu mencapai 404 bau dengan hasil produksinya 16.183 pikul.9 Meskipun memiliki
Keberadaan pasar di kelurahan Sabrang, distrik Delanggu, menunjukkan adanya keterlibatan masyarakat Delanggu dalam kegiatan jual beli. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada pedagang-pedagang yang berasal dari distrik Delanggu. Lihat lampiran peta pada halaman 160. 8
Suhartono, Perbanditan di Jawa 1850-1942, (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1993), hlm. 98. 9
5
perkebunan tebu, pada akhir abad 19, Delanggu belum memiliki pabrik gula, baru pada 1917, Delanggu memiliki pabrik Gula.10 Sebelum ada pabrik Gula, adanya perkebunan tebu di Delanggu untuk memenuhi kebutuhan tebu di wilayah lain di Klaten. Selain Delanggu yang ditanami tanaman ekspor, beberapa kecamatan lain di Klaten juga mendukung ekspor, misalnya saja kecamatan Wedi, Kecamatan Gondangwinangun, dan kecamatan Ceper. Kecamatan Wedi merupakan wilayah penghasil tembakau utama di Klaten pada masa kolonial Belanda. Pada 1858, tembakau dari Klaten diekspor ke pasar internasional untuk pertamakalinya oleh pemerintah kolonial Belanda.11 Ditutupnya pabrik gula di Delanggu diakibatkan adanya penurunan pasaran gula di Eropa pada 1930-an. Pabrik Gula Delanggu yang didirikan pada 1917, akhirnya pada 1933 ditutup karena bangkrut. Kemudian pabrik gula itu dialihfungsikan menjadi pabrik karung goni. Perubahan tersebut mengakibatkan
Sarjana Sigit Wahyudi, Ketika Sarbupri Mengguncang Pabrik Karung Delanggu 1948, Sebuah Studi Awal dari Pemberontakan PKI Madiun, (Semarang: Aini, 2001), hlm. 118. 10
Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2006), hlm. 89. 11
6
tanaman tebu digantikan dengan tanaman serat rosella sebagai bahan baku pembuatan karung goni.12 Pada masa pendudukan Jepang, perkebunan di Klaten mengalami
perubahan
orientasi.
Beberapa
lahan
untuk
penanaman tanaman-tanaman komersial dengan tujuan ekspor, dikurangi
untuk dijadikan lahan pertanian padi. Tujuannya
untuk menopang kebutuhan makanan tentara dalam perang. Petani diharuskan menyerahkan sejumlah padi untuk mencukupi kebutuhan pangan tentara. Aturan penyerahan hasil panen padi disesuaikan dengan kepemilikan tanah. Pemilik sawah 0,5 sampai 5 hektar harus menyerahkan 40% dari hasil panen; pemilik sawah 5 sampai 10 hektar harus menyerahkan 50% dari hasil panen; pemilik tanah 10 sampai 20 hektar harus menyerajkan 60% dari hasil panen; dan pemilik sawah lebih dari 20 hektar harus menyerahkan 65% dari hasil panen.13 Namun kenyataannya di Kabupaten Klaten, petani diperintahkan untuk menyerahkan 50% hasil
panen
kepada
pemerintah
Jepang.14
Sementara
itu
kepemilikan tanah oleh petani di Klaten rata-rata di bawah satu hektar. Dengan demikian tentu aturan tersebut memberatkan 12
Sarjana Sigit. Op.cit, hlm. 118.
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol Studi tentang perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 85. 13
14
Ibid.
7
petani, karena penyerahan hasil panen yang besar berarti pengurangan pendapatan dari lahan pertanian yang sempit tersebut. Gambaran di atas merupakan contoh pertanian beras masa pendudukan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pertanian padi tetap berlanjut, karena beras memang menjadi makanan sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, ternyata kebijakan mengenai pertanian pada masa presiden Soekarno belum mampu meningkatkan produksi pertanian, khususnya beras. Kemudian
ketika
pemerintahan
digantikan
Presiden
Soeharto, peningkatan produksi beras menjadi salah satu tujuan utama dengan program revolusi hijau. Program yang dilakukan pemerintah Orde Baru pada 1968 sebagai upaya sistematis untuk meningkatkan pertanian
produksi
bertujuan
pertanian.15
untuk
Peningkatan
memenuhi
produksi
kebutuhan
pangan
masyarakat Indonesia, yang mana pada akhir-akhir pemerintahan presiden Soekarno, pangan merupakan barang yang mahal. Program ini kemudian memunculkan varietas-varietas baru yang memaksa petani untuk mengubah pola tanam padi ke arah
Yety Rochwulaningsih, Haryono Rinardi, dan Singgih Tri Sulistiyono, Potret Buram Pedesaan dan Agraria di Indonesia: Tinjauan Sosiologi Kesejarahan, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Press, 2008), hlm.84. 15
8
yang dianggap lebih modern demi meningkatnya hasil beras. Varietas-varietas baru yang pada awalnya ditanam di Indonesia adalah IR 5, IR 8 C4, PI-1 dan PI-2. Kebijakan ini disokong dengan sarana
produksi
yang
baik
seperti
pengairan,
pupuk
dan
pestisida.16 Dalam waktu yang relative singkat, revolusi hijau mampu membawa Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984. Keberhasilan
swasembada
beras
tidak
bertahan
lama.
Penggunaan asupan kimiawi yang tidak terkendali serta pola penanaman
yang
monokultur
menyebabkan
kerusakan
dan
pencemaran lingkungan, susutnya predator hama dan pemiskinan keragaman hayati, terutama semakin berkurangnya keragaman bibit lokal.17 Selain itu penanaman padi varietas baru tersebut memerlukan pemupukan yang semakin hari semakin meningkat, sehingga membuat tanah menjadi jenuh. Hasil pertanian yang dengan cepat meningkat tersebut dengan cepat menurun pula, karena adanya kerusakan kesuburan tanah. Cara-cara bertanam tradisional
dengan
menggunakan
pola-pola
tradisional
yang
dilakukan petani melalui “perjanjian” dengan alam digantikan dengan pola-pola tanam yang semua serba bahan kimia dan
Khudori, Ironi Negeri Beras, (Yogyakarta: Insis Press. 2008), hlm. 10. 16
17
Ibid, hlm. 11.
9
instan. Serangan hama juga menjadi masalah serius, karena program peningkatan produksi beras menjadikan jenis tanaman homogen, ini kemudian yang mengakibatkan rantai kehidupan hama tidak putus, sehingga hama tanaman semakin meningkat. Tentu petani yang kemudian terkena dampaknya. Mulai
sekitar
pertengahan
1970,
produksi
pertanian
Delanggu, terutama beras telah mengalami perubahan. Varietasvarietas baru menggantikan varietas lokal. Dampak yang lebih terasa adalah mengenai kesuburan tanah, kecamatan Delanggu yang semula terkenal surplus beras, pada tahun 2012 menjadi kecamatan yang defisit dan memerlukan bantuan pemerintah untuk menopang kebutuhan pangan bagi sebagian warga yang kurang mampu.18 Ini tentu bertolak belakang dengan identitas Delanggu sebagai daerah penghasil beras enak. Kondisi tanah yang semakin jenuh serta serangan hama yang akhir-akhir ini menyerang persawahan Delanggu, membuat daerah tersebut gagal panen. Daerah yang semula surplus beras dan menjadi lumbung beras Klaten, saat ini mendatangkan beras dari wilayah lain di sekitarnya, seperti Sragen dan Boyolali.
Pertengahan 2012, bantuan beras untuk warga miskin (Raskin) yang disalurkan di Delanggu akhir-akhir ini berkualitas buruk. Sehingga petani menolak dan mengembalikan beras raskin tersebut kepada Bulog. Dalam “Raskin Buruk: Warga Kembalikan Raskin ke Bulog Klaten”, Solopos. Jumat, 29 Juni 2012. 18
10
Inilah yang kemudian dianggap menarik untuk melakukan penelitian mengenai beras Delanggu, dimana ketika pemerintah Orde
Baru
melaksanakan
revolusi
hijau
belum
mampu
menanggung konsekuensinya. Program intensifikasi pertanian yang dijalankan dengan tujuan peningkatan produksi beras, ternyata juga berpengaruh pada produksi beras ditahun-tahun berikutnya.
Bahkan
Rojolele
yang
merupakan
beras
lokal
Delanggu, kemudian sulit ditemui di sawah-sawah Delanggu.
II.
Permasalahan
Kajian ini bermula dari pemikiran mengenai kesenangan masyarakat Klaten dan sekitarnya dalam mengkonsumsi beras Rojolele dengan label Delanggu, meskipun sebenarnya saat ini perlu dipertanyakan asal beras tersebut. Pokok permasalahan yang
ingin
dikaji
dalam
penelitian
ini
adalah
kebijakan
peningkatan produksi beras oleh pemerintah Orde Baru yang mempengaruhi produksi padi di Delanggu antara tahun 19681984. Pemerintah menjalankan program intensifikasi pertanian dengan tujuan meningkatkan produksi beras dan mencapai swasembada beras. Pembahasan akan difokuskan pada strategi pemerintah untuk peningkatan produksi beras yang dimulai pada 1968, pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto hingga tercapainya swasembada beras pada 1984. Beberapa strategi
11
pemerintah tersebut mempengaruhi pertanian di Delanggu. Dari uraian di atas, memunculkan beberapa pertanyaan, yang di antaranya sebagai berikut: Bagaimana strategi pemerintah Orde Baru meningkatkan produksi beras di Delanggu secara khusus dan kabupaten Klaten secara umum, selama 1968-1984?
Sejauh mana revolusi hijau
berpengaruh pada produksi pertanian beras di Delanggu selama kurun waktu 1968 – 1984? Bagaimana dampak kebijakan pemeritah Orde Baru selama 1968-1984, terhadap petani dan pertanian di Delanggu?
III. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menjelaskan mengenai cara pemerintah Orde Baru dalam meningkatkan produksi beras di Delanggu secara khusus dan kabupaten Klaten secara umum, selama 1968-1984.
2.
Untuk mengetahui Sejauh mana
revolusi hijau
berpengaruh pada produksi beras di Delanggu selama kurun waktu 1968 – 1984.
12
3.
Mengetahui dampak kebijakan pemeritah Orde Baru selama 1968-1984, terhadap petani dan pertanian di Delanggu.
IV. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara
praktis
adalah
untuk
memberikan
pengetahuan bagi segenap akademis, sejarawan, dan masyarakat luas mengenai produksi beras di Delanggu pada masa pemerintahan Orde Baru, 1968-1984, 2. Memberikan kontribusi literatur kesejarahan dengan kajian sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan beras Delanggu dari 1968 sampai Swasembada beras (1984).
V. Tinjauan Pustaka Buku-buku
yang
membahas
mengenai
tema-tema
kesejarahan untuk wilayah Delanggu sangat terbatas, apalagi yang secara khusus membahas Delanggu. Sarjaan Sigit menguraikan Delanggu pada 1948, dalam bukunya yang berjudul Ketika Sarbupri Menggoncang Pabrik Karung Delanggu 1948, Sebuah Studi Awal dari Pemberontakan PKI Madiun. Sarjana menguraikan
13
mengenai awal berdirinya pabrik Karung Goni yang ternyata perubahan
dari
pabrik
Gula.
Buku
ini
berisi
seputar
pemberontakan dari para buruh pabrik termasuk juga petanipetani yang bekerja kepada pabrik tersebut. Dari buku ini memberikan
tambahan
informasi
mengenai
latar
belakang
berdirinya pabrik karung goni serta memberi informasi mengenai kondisi masyarakat khususnya petani dan buruh pabrik karung Goni. Sarjana Sigit dalam buku ini hanya fokus pada pemogokan buruh
dan
petani
di
Delanggu
pada
1948.
Sarjana
Sigit
menjadikan petinggi-petinggi di pabrik karung goni sebagai penyebab pemberontakan karena petani dan buruh diperlakukan tidak adil. Ketidakadilan yang dimaksud Sarjana Sigit salah satunya mengenai perbedaan terlalu jauh dalam hal upah antara pegawai-pegawai administrasi pabrik dengan buruh pabrik dan buruh
perkebunan
dimanfaatkan
oleh
rosela.
Kesenjangan
kelompok-kelompok
tersebut sosialis,
kemudian dengan
memaparkan tujuan kesejahteraan bagi buruh, supaya mau turut serta
dalam
pemogokan.
Sarjana
Sigit
menguraikan secara
kronologis mengenai pemogokkan, mulai dari alasan terjadinya pemogokkan sampai kondisi Delanggu setelah pemogokkan. Sementara itu, penelitian tesis ini meskipun sama-sama menguraikan tentang Delanggu, tetapi tema pembahasan berbeda.
14
Penelitian tesis ini menguraikan mengenai strategi pemerintah dalam meningkatkan produksi beras yang kemudian membawa pengaruh terhadap produksi beras di Delanggu. Dimana oleh petani-petani Delanggu, kebijakan pemerintah tersebut secara perlahan dijalankan, meskipun pada awalnya ditolak. Pada puncakknya kebijakan
penerimaan pemerintah
petani-petani
Orde
Baru
Delanggu
tersebut
terhadap
terjadi
pada
pertengahan tahun 1970, dimana sebagian persawahan kabupaten Klaten diserang hama wereng coklat. Sebagai akibatnya Rojolele yang dikenal sebagai padi varietas lokal Delanggu, kemudian secara perlahan keberadaannya digantikan padi varietas unggul baru. Selain
buku
Karya
Sarjana
Sigit,
terdapat
penelitian
mengenai irigasi di Klaten, dengan judul The Irrigation System of Kabupaten Klaten, Notes on Water Usage and Formation of Irrigation Societies.19
Laporan
tersebut
ditulis
berdasarkan
penelitian
German Technical Coorporation Project “tani Makmur”. Pada laporan penelitian tersebut berisi mengenai perbaikan sarana irigasi bagi prtanian di kabupaten Klaten, serta organisasiorganisasi yang mengurusi pengairan Klaten. Dari hasil penelitian tersebut
diperoleh
data
mengenai
biaya
perbaikan
serta
The Irrigation System of Kabupaten Klaten, Notes on Water Usage and Formation of Irrigation Societies, (Klaten: German Technical Coorporation Project “Tani Makmur”, April 1972). 19
15
pembangunan sarana irigasi di kabupaten Klaten dari 1969-1972. Selain itu juga memaparkan data mengenai luas penggunaan tanah di tiap kecamatan di kabupaten Klaten, yaitu penggunaan tanah untuk perkampungan, persawahan, dan tegalan. Proyek penelitian “Tani Makmur” tersebut merupakan proyek penelitian pengairan. Beberapa Data mengenai pembangunan sarana irigasi di Klaten serta ada yang mengenai Delanggu yang ada pada laporan ini, membantu penelitian saya karena ketika mengusut langsung di lapangan ternyata data-data mengenai sekitar tahun 1968-1984 di Klaten telah dimusnahkan. Sementara itu penelitian tesis ini selain menguraikan mengenai pertanian padi di Delanggu pada masa Orde Baru, juga menguraikan juga kondisi geografi Delanggu yang berkaitan dengan pengairan. Selain perbaikan serta pembangunan sarana irigasi, di Delanggu juga terdapat mata air yang menjadi sumber irigasi persawahan. Adanya mata air yang mengalir ke persawahan Delanggu mencukupi kebutuhan air di persawahan Delanggu, tidak seperti beberapa kecamatan di kabupaten Klaten bagian selatan. Buku
yang
lain
berjudul
Struktur Pemilikan Tanah di
Indonesia, Studi Kasus Daerah Surakarta-Jateng,20 yang ditulis
Werner Röll, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia, Studi Kasus Daerah Surakarta-Jateng, (Jakarta: CV Rajawali, 1983). 20
16
oleh Werner Röll. Buku ini memberi gambaran mengenai tanah pertanian di wilayah Surakarta, tetapi kebanyakan data-data yang ditampilkan
adalah
mengenai
wilayah
Klaten.
Werner
Röll
menjelaskan mengenai susunan penduduk, struktur ekonomi dan sosial, perkembangan kepemilikan tanah, pembagian tanah untuk pertanian serta dilengkapi dengan data-data statistik. Buku ini menambah kekayaan data mengenai Klaten dan Delanggu yang tidak didapat selama pencarian di lapangan. Sementara itu penelitian tesis ini menguraikan mengenai produksi beras masa Orde Baru 1868-1984. Produksi padi di Delanggu dipengaruhi juga dengan kondisi tanah yang ada. Adanya mata air serta materi-materi vulkanik dari gunung merapi mempengaruhi
baik
buruknya
produksi
padi.
Selain
itu,
perbandingan luas tanah yang digunakan untuk pertanian dengan yang digunakan sebagai perkampungan juga mampu member gambara banyaknya hasil produksi padi. Meskipun tidak secara angka, tetapi paling tidak dengan persawahan yang lebih luas dari perkampungan maka kebutuhan pangan masyarakan Delanggu dapat terpenuhi, serta terjadi surplus padi. Setelah meninjau kekurangan serta kelebihan dari beberapa pustaka di atas, maka posisi penelitian saya adalah melengkapi sekaligus memberi perspektif yang lebih luas dari kajian yang sudah ada. Penelitian ini mengungkap bagaimana produksi beras
17
di Delanggu pada Orde Baru, 1968-1984, tentu di dalamnya juga membahas mengenai masyarakat, khususnya petani.
VI. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah seperangkat prinsip dan aturan sistematis yang dibentuk untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan menyajikan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.21 Langkah pertama adalah heuristic, yaitu kegiatan mengumpulkan jejak-jejak masa lampau yang dikenal dengan sumber sejarah. Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang
terkumpul
tersebut,
kemudian
para
sejarawan
akan
menemukan fakta sejarah. Berkaitan dengan sumber untuk penelitian mengenai Produksi Beras di Delanggu pada masa Orde Baru
1968-1984,
didapat
peta-peta
mengenai
pembagian
penggunaan tanah di desa-desa di kecamatan Delanggu dari Dinas Pekerjaan Umum sub Bidang Pengairan di kabupaten Klaten; data-data produksi beras dan padi dari koran-koran dan majalah sejaman 1968 sampai 1984; di Balai Penelitian dan Sertifikasi Benih Jawa Tengah diperoleh informasi mengenai padi Varietas Rojolele; di Arsip Nasional di peroleh peta kartografi mengenai
Gilbert J. Garaghan S, A Guide to Historical Method, (New York: Fordham University Press, 1957), hlm. 33 21
18
Delanggu, data mengenai harga beras per kecamatan seluruh Indonesia, serta informasi mengenai Delanggu dari Encyclopedie van Nederlandsch Indie; data-data produksi beras dari BPS Klaten dan Semarang; serta beberapa foto mengenai Delanggu dari situs http://www.kitlv.nl. dilakukan
Selain
wawancara,
sumber-sumber
karena
tertulis
merupakan
di
kajian
atas
sejarah
kontemporer. Tahapan yang kedua adalah Verifikasi (kritik Sumber), yaitu merupakan kegiatan untuk menentukan sumber yang digunakan benar-benar otentik dan kredibel. Kritik sumber yang sudah dilakukan adalah mengkritik sumber-sumber tertulis seperti dokumen-dokumen dari Arsip Nasional, data-data dari korankoran sejaman mengenai produksi padi, pengairan, pengolahan tanah, mengkritisi sumber dari BPS, serta mengkritisi hasil wawancara.
Dari
beberapa
narasumber
dikritisi
dengan
membandingkan pernyataan dari narasumber tersebut dengan didukung data-data tertulis. Tetapi ketika data tertulis mengenai alasan petani Delanggu saat ini mulai enggan menanam Rojolele sebagai
varietas
lokal
Delanggu,
tidak
ditemukan
maka
menggunakan data wawancara. Data-data tertulis dan data wawancara posisinya adalah saling melengkapi. Setelah mengkritisi sumber-sumber yang ditemukan, tahapan yang
ketiga
adalah
Interprestasi.
Menurut
Kuntowijoyo,
19
Interpretasi merupakan suatu penafsiran. Interprestasi ini sering dikaitkan
dengan
kesubyektifitasan
suatu
karya
sejarah.22
Keterbatasan arsip, majalah-majalah, buku-buku pendukung dan sumber pendukung lainnya, untuk merangkai suatu peristiwa tentu banyak kekosongan, maka diperlukan pengisian dari imajenasi penulis. Imajenasi penulis inilah yang mengandung subjektifitas. Tahapan terakhir adalah Penyajian (penulisan), yaitu memberikan laporan hasil penelitian sejarah dalam bentuk tulisan.
VII.
Landasan Konseptual
Penelitian ini pada dasarnya menitikberatkan pada usaha pemerintah Orde Baru untuk meningkatkan produksi beras yang membawa
pengaruh
bagi
penanaman
padi
di
Delanggu,
khususnya Rojolele yang merupakan varietas lokal Delanggu. Delanggu merupakan kecamatan di Klaten yang memilki tanah pertanian subur, dan merupakan wilayah yang mendapat julukan lumbung padi Klaten. Adanya varietas lokal yang dikenal memiliki rasa enak, serta tanah pertanian yang cocok untuk pertanian, menjadikan Delanggu seolah menjadi jaminan kualitas beras.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang. 2001), hlm. 102. 22
(Yogyakarta:
20
Pertanian di Delanggu tidak terlepas dari peran petani. Petani yang dimaksud adalah petani pemilik tanah dan buruh tani. Kepemilikan tanah di Delanggu tidaklah besar, rata-rata 0,5 hektar. Menurut Kuntowijoyo, sebagian besar petani di Indonesia disebut peasant.23 Di Delanggu juga lebih tepat di sebut peasant, karena kepemilikan sawah oleh petani bisa dibilang kecil. Jadi biasanya hasil pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga baru kemudian sisanya dijual. Fondasi utama politik pembangunan Orde Baru adalah antitesis dari visi pembangunan Orde Lama yang orientasinya pembangunan sosialis, sementara itu pemerintah Orde Baru lebih memprioritaskan perhatian pada persoalan-persoalan ekonomi melalui pendekatan yang lebih pragmatis.24
Pragmatis ekonomi
yang dimaksud dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Pertama, membuka
diri
keberlangsungan
terhadap
investasi
perekonomian
asing
nasional;
sebagai Kedua,
prasarat menjamin
kembali kerjasama dengan Negara-negara Barat, baik kerjasama bilateral maupun unilateral yang sempat terhenti pada masa demokrasi terpimpin.; dan ketiga, membuat kebijakan stabilitas Kuntowijoyo, Pengantar Bentang, 1995), hlm.150. 23
Ilmu
Sejarah,
(Yogyakarta:
Widigdo Sukarman (disertasi), Liberalisasi: Ekonomi-Politik Perbankkan Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana UGM, 2003), hlm. 116. 24
21
dan rekonstruksi untuk pemulihan perekonomian dan pijakan awal bagi pembangunan berkelanjutan seperti diwujudkan dalam bentuk
Repelita
yang
berbasiskan
pembangunan
sector
pertanian.25 Kebijakan stanilitas yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan hasil pertanian khususnya beras, membawa pengaruh bagi kehidupan petani Delanggu. Salah satunya petani tidak lagi memiliki kebebasan menanam varietas padi sesuai keinginannya,
karena
adanya
himbauan
pemerintah
untuk
menanam varietas padi unggul baru. Peningkatan Produksi padi yang menjadi tujuan pemerintah adalah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, supaya ketika rakyat Indonesia sejahtera dengan tercukupi kebutuhan pangan maka rakyat akan suka rela menjalankan kebijakan-kebijakan yang direncanakan pemerintah. Namun, ketika rakyat kekurangan pangan,
maka
pemerintah.
cenderung
Karena
itulah
akan
menjadi
peningkatan
kontra
produksi
dengan pertanian
menjadi sasaran utama pemerintah Orde Baru. Beras menjadi penting bagi pemerintah Orde Baru untuk menjalankan kebijakan guna mewujudkan ambisi Swasembada beras bagi Indonesia. Menurut Sumitro Djojohadikusumo bahwa tujuan pokok untuk kebijaksanaan harus lebih mengutamakan politik 25
pembangunan Ibid., hlm. 117.
yang
mana
pemerintah
secara
aktif
22
menentukan dan mempengaruhi produksi dan penanaman.26 Sumitro juga mengatakan bahwa pembangunan tersebut lebih aktif
untuk
modernisasi
di
lapangan
produksi
agrarian.
Pemerintah orde baru juga mengutamakan produksi pada sektor agrarian, khususnya beras. Produksi beras selain menunjukkan kegiatan ekonomi juga menunjukkan kondisi sosial masyarakat pertanian. Masuknya tekhnologi-tekhnologi pertanian yang terjadi sejak dimulainya revolusi hijau, seperti masuknya bibit unggul baru, penggunaan pupuk kimia buatan, penggunaan obat pemberantas hama, perbaikan irigasi, penggunaan peralatan baru, serta metodemetode pengolahan sawah; mempengaruhi kerja petani, terutama buruh tani. Oleh karena itu untuk mempertajam analisis pada penelitian “Produksi Beras di Delanggu pada masa Orde Baru 1968-1984, digunakan pendekatan dengan kerangka ekonomi dan sosial. Pada awal kebijakan penanaman padi dijalankan di sawahsawah dengan mengejar kuatitas dengan menggunakan bibit unggul baru yang unggul dalam kuantitas, mampu menggeser beras kualitas lokal yang selama ini telah ditanam masyarakat. Sehingga tentu ada perubahan cara tanam dari masyarakat Hendra Esmara (Edit.) Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan Kumpulan Esei untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm. 22. 26
23
dengan
adanya
kebijakan
pemerintah
tersebut.
Selain
itu
penggunaan pupuk buatan serta obat-obat pemberantas hama, menambah pengeluaran petani dalam pengerjaan pertanian. Perubahan tersebut mempengaruhi pola hidup petani pemilik sawah maupun buruh tani. Produksi
adalah
kegiatan
untuk
menciptakan
atau
menambah guna atas suatu benda.27 Produksi dalam bidang pertanian menghasilkan hasil-hasil pertanian misalnya padi, palawija, sayur-sayuran dan sebagainya. Untuk menghasilkan hasil
pertanian,
ada
beberapa
faktor
produksi
yang
mempengaruhi, diantaranya lahan atau sawah, benih, tenaga kerja, tekhnologi, dan hama atau penyakit.28 Ketika membicarakan mengenai pertanian padi, maka tidak bisa dilepaskan dengan kondisi ekologi suatu wilayah. Karena kondisi ekologi itu yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya produksi beras. Kondisi ekologi atau lingkungan yang baik dengan terpenuhinya air dan unsur hara dalam tanah maka akan baik pula hasil produksi padi. Namun sebaliknya, jika air dan unsur hara dalam tanah tidak tercukupi, maka hasil pertanian padi juga Ace Partadiredja, Pengantar Ekonomi edisi ke-4, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi (BPFE), 1985), hlm. 21. 27
Noer Suetrisno, “Anatomi, Persoalan, dan system Pangan, antisipasi Terhadap PJPT II,” dalam Prisma No. 5 tahun XXII, 1993, hlm. 5. 28
24
akan sedikit. Intensifikasi pertanian yang terdiri dari penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk kimia buatan, penggunaan obat pemberantas
hama,
irigasi
serta
pengenalan
metode-metode
pengolahan tanah, menjadikan peningkatan produksi beras. Perubahan
pola
bertani
mempengaruhi
kehidupan
petani.
Penggunaan bahan-bahan kimia buatan seperti pupuk dan obat pemberantas hama, dalam jangka panjang ternyata mempunyai andil dalam ketidakseimbangan ekologi. Selain membawa keuntungan seperti meningkatnya produksi padi,
kesejahteraan
petani,
pembangunan-pembangunan
pedesaan, dan mengurangi kelaparan, ternyata revolusi hijau juga membawa
kerugian
bagi
ekologi.
Penggunaan
tekhnologi-
tekhnologi baru selama revolusi hijau juga memberi dampak terhadap kondisi ekologi, meliputi: bidang-bidang erosi, polusi akibat penggunaan pupuk dosis tinggi dan bahan kimia lainnya, serta tanaman renta terhadap serangan hama dan penyakit akibat homogenitas.29 Salah satu kelemahan yang bisa dibilang sulit untuk diperbaiki kembali, yaitu rusaknya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk dan pestisida besar-besaran selama revolusi hijau berlangsung.
Syamsuddin Abbas, Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung, (Jakarta: Januari 1999), hlm. 62/63. 29
25
VIII.Sistematika Penulisan Bab I. Berisi Pendahuluan yang meliputi latar belakang, permasalahan,
tujuan
penelitian,
manfaat
penelitian,
kajian
pustaka, metode penulisan, landasan konseptual, dan sistematika pembahasan. Bab II Kondisi Umum Delanggu yang berisi mengenai latar belakang sejarah serta kondisi alam Delanggu pada masa Pemerintahan Orde Baru. Bab III, produksi beras Delanggu 1968-1984: Penanaman padi varietas unggul baru menggantikan padi lokal di persawahan Delanggu. Dalam bab III ini diuraikan mengenai Usaha Pemerintah Orde
Baru
penanaman
untuk bibit
meningkatkan
unggul,
produksi
penggunaan
pupuk
beras
melalui
non
organik,
penggunaan obat pemberantas hama serta perbaikan sarana irigasi. Selain itu juga menjelaskan mengenai pencapaian progam yang dijalankan pemerintah. Bab IV berisi pengaruh usaha peningkatan produksi beras terhadap padi lokal di Delanggu, yaitu masuknya tekhnologitekhnologi baru; hilangnya Rojolele sebagai varietas lokal; dan ketidak seimbangan ekologi. Bab V, Kesimpulan