I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang menyatakan bahwa ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional, agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi dan saling memperkuat untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi. Selain itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, menyebutkan bahwa sasaran Pembangunan Nasional adalah “Terlaksananya pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan (Perpres RI No. 7 tahun 2005).” Menurut Tambunan, dikutip oleh Wanty (2006), mengatakan bahwa pentingnya Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia juga terkait dengan posisinya yang strategik dalam berbagai aspek. Ada empat alasan yang menjelaskan posisi strategik UKM di Indonesia. Pertama, aspek permodalan. UKM tidak memerlukan modal yang besar sebagaimana perusahaan besar, sehingga pembentukan usaha ini tidak sesulit perusahaan besar; Kedua, aspek tenaga kerja. Tenaga kerja yang diperlukan oleh Industri Kecil (IK) tidak menuntut pendidikan formal/tinggi tertentu. Sebagian besar tenaga kerja yang diperlukan oleh IK didasarkan atas pengalaman (learning by doing) yang terkait dengan faktor historis (path dependence). Hal ini sering ditemui pada industri kerajinan ukir batik; Ketiga, aspek lokasi. Sebagian besar IK berlokasi di pedesaan dan tidak memerlukan infrastruktur sebagaimana perusahaan besar; Keempat, aspek ketahanan. Peranan IK ini telah terbukti bahwa IK memiliki ketahanan yang kuat (strong survival) ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi. Dalam perekonomian Indonesia, UKM menduduki posisi strategik. Hal ini dikarenakan perannya
2
sebagai sarana dalam pertumbuhan, sekaligus pemerataan dan pula sebagai tujuan utama pembangunan. Sejauh ini, industri batik di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Dari aspek ekonomi, nilai transaksi perdagangan batik pada tahun 2006 pencapai Rp 2,9 triliun, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 3,9 triliun. Sementara, nilai ekspor pada tahun 2006 sebesar US$ 14,3 juta dan pada tahun 2010, mencapai US$ 22,3 juta, dengan peningkatan 56 persen. Jumlah konsumen batik tercatat 72,86 juta orang. Uraian ini disampaikan oleh Presiden RI pada acara World Batik Summit pada tanggal 28 September hingga
2
Oktober
2011,
di
Jakarta
Convention
Center
(sumber
: http://www.kompas.com, 2012). Namun, Industri hulu yang menjadi pendukung utama pengembangan industri batik tradisional Indonesia dilaporkan lemah. Kondisi ini mengancam bisnis batik asli dari beberapa sentra batik dalam negeri. Lebih jauh lagi, berdasarkan data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin) mengenai kinerja industr di Indonesia, per tahun 2010 Industri Batik mampu menyerap 17.082 tenaga kerja dengan 326 unit usaha yang tersebar di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Kinerja industri batik Tahun 2010 Jenis Industri
Unit Usaha
Tenaga Kerja (Orang)
Batik
326
17.082
Nilai Produksi (Ribuan Rp)
Nilai Output (Ribuan Rp)
Biaya Input (Ribuan Rp)
838.329.8 88
935.096.286
565.156.11 8
Nilai Tambah Bruto (Ribuan Rp) 369.940.168
Sumber : Kemenperin, http://www.kemenperin.go.id, 2012 (Diolah kembali) Kemenperin, dalam rekapitulasi kinerja industri di Indonesia, mencatat selama tahun 2006 hingga tahun 2010 jumlah unit usaha Industri Batik mengalami trend kenaikan 2,79%. Adapun nilai produksi Batik mengalami trend kenaikan 17,63%. Pada periode tersebut, besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap mengalami trend kenaikan 8,98% (Tabel 2). Kondisi tersebut
3
menyebabkan kecenderungan tingginya persaingan bisnis di berbagai bidang industri, khususnya industri Batik. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan daya saing perusahaan dalam bentuk efektifitas dan efisiensi produktivitas telah menjadi suatu hal terpenting dimana mutu produk dan pelayanan juga merupakan faktor utama yang
mempengaruhi
kepuasan
pelanggan
guna
kelangsungan
hidup
perusahaan. Peningkatan efisiensi, salah satunya dapat dilakukan dengan integrasi kegiatan rantai pasok perusahaan, agar tidak terjadi kesulitan dalam proses perencanaan operasional rantai pasok. Konsep manajemen rantai pasok (MRP) mampu mengintegrasikan pengelolaan berbagai fungsi manajemen dalam suatu hubungan antarorganisasi membentuk satu sistem yang terpadu dan saling mendukung
(Mutakin, 2010). Dalam mekanisme rantai pasok
Batik Banten yang sudah berjalan, proses input pengolahan bahan baku dimulai dari pembuatan batik di pusat industri Batik Banten. Tabel 2. Perkembangan kinerja industri batik Indonesia Indikator Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
Tahun 2010
Trend
Jumlah Unit Usaha 298 308 235 339 326 2,79% (Unit) Nilai Produksi 394.641.105 509.194.105 699.661.151 572.380.745 838.329.888 17,63% (Ribuan Rp.) Jumlah Tenaga Kerja 12.047 13.060 12.988 15.346 17.082 8,98% (Orang)
Sumber : Kemenperin, http://www.kemenperin.go.id, 2012 MRP merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien. Produk yang dihasilkan dapat di distribusikan dengan kuantitas, tempat dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya, serta memuaskan konsumen. MRP bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, meminimalisasi biaya transportasi, distribusi sampai inventori bahan baku, bahan dalam proses serta barang jadi. Ada beberapa pemain utama yang memiliki kepentingan dalam MRP, yaitu
4
supplier, manufacturer, distributor, retailer dan customer (Indrajit dan Djokoranoto dalam Amalia 2012). Pemasok-pemasok yang dipilih perusahaan yang tidak dikelola dengan baik memungkinkan para pemasok terlambat dalam pengadaan bahan baku bagi perusahaan, karena dapat menurunkan kinerja para pemasok dan tidak terjadinya transparansi harga tawar menawar antara pemasok dengan perusahaan. Penerapan MRP yang mengikuti konsep MRP yang benar dapat memberikan dampak peningkatan keunggulan kompetitif terhadap produk maupun pada sistem rantai pasok yang dibangun perusahaan itu sendiri (Mutakin, 2010). Sejauh ini, perkembangan Industri Batik Banten sejak berdirinya pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup baik. Namun demikian, pengelolaan Industri Batik Banten saat ini masih terbatas. Masih kurangnya peran pemerintah dan pihak terkait membuat pengelolaan ini mengarah kepada berjalan apa adanya. Pada satu kesempatan awal bulan Februari 2012 dalam wawancara yang dilakukan peneliti terhadap pemilik Batik Banten, Komisaris PT Batik Banten Mukarnas sebagai produsen Batik Banten, Bapak Uke Kurniawan, mengemukakan "Harapan saya, pemerintah dan perguruan tinggi membina, serta pihak-pihak pelaku usaha pariwisata turut mengembangkan usahanya agar terus berkembang, karena ini adalah warisan budaya dan identitas Banten". Berdasarkan uraian dan kondisi telah dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis Manajemen Rantai Pasokan (MRP) untuk Batik Banten, sehingga kinerja rantai pasok pada Batik Banten diharapkan akan meningkat dan dapat meningkatkan produktivitas serta daya saing Batik Banten melalui skema upaya pembentukan kelembagaan rantai pasok produk yang kohesif dan efektif. Sistem pengukuran kinerja (performance measurement system) diperlukan sebagai pendekatan dalam rangka mengoptimalisasi jaringan rantai pasok. Pengukuran kinerja bertujuan untuk mendukung perancangan tujuan, evaluasi kinerja, dan menentukan langkah-langkah kedepan baik pada level strategi, taktik dan operasional (Van der Vorst dalam Setiawan 2009). Untuk
5
itu, penelitian mengenai model pengukuran kinerja MRP industri Batik Banten perlu dilakukan. Salah satu model pengukuran kinerja MRP adalah SCOR (Supply Chain Operations Reference) yang dikembangkan oleh Supply Chain Council. SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengombinasikan unsurunsur seperti teknik bisnis, benchmarking, dan praktek terbaik (best practice) untuk diterapkan dalam rantai pasokan yang diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkatkan kinerja rantai pasokan perusahaan tertentu (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Salah satu aliran rantai pasok yang harus dikelola adalah aliran barang dari hulu ke hilir (Pujawan dalam Amalia 2012). Pada lingkungan bisnis Batik Banten tentunya telah berlaku mekanisme rantai pasok pada aliran hilir walaupun masih sederhana. Selama ini belum ada sistem Supply Chain yang kohesif untuk produk Batik Banten (sektor hilir). Hal mendasar yang perlu dianalisis untuk dapat mewujudkan rantai pasok kohesif adalah kesediaan dari masing-masing pihak untuk bekerjasama dengan baik berdasarkan peubah Supply
Chain
Orientation
yang
terdiri
atas
trust,
commitment,
interdependence, organizational compatibility, vision, key processes, leader dan top management support (Mentzer, et al 2001). Lebih jauh lagi, strategi Supply Chain Orientation harus terstruktur disesuaikan oleh tiap organisasi anggota rantai pasok yang menjadi fokus dalam organisasi tersebut mencakup Desain Organisasi, Sumber Daya Manusia, Teknologi Informasi, dan Kinerja Organisasi (Esper, et al 2010). MRP yang berjalan efektif pada akhirnya aktifitasnya akan sesuai dengan filosofi manajemen (Mentzer, et al 2001). Aktifitas-aktifitas diantara para anggota yang dimaksud mencakup perilaku yang terintegrasi, berbagi informasi, berbagi resiko dan penghargaan, kerjasama, tujuan dan fokus yang sama terhadap pelanggan, integrasi proses dan mitra hubungan jangka panjang. Berdasarkan uraian-uraian diatas, penelitian ini setidaknya mencoba untuk dapat menggambarkan mekanisme rantai pasok Batik Banten, menganalisis bobot kinerja rantai pasok pada Pusat Industri Batik Banten dan
6
mencoba memberikan solusi alternatif manajemen rantai pasok produk Batik Banten yang efektif. 1.2 Perumusan Masalah Evaluasi terhadap rantai pasokan penting bagi perusahaan karena menghabiskan sebagian besar uang perusahaan (Heizer and Render, 2008). Dalam kepentingan ini, perusahaan memerlukan metrik (standar) untuk mengevaluasi kinerja rantai pasok. Hanya dengan metrik yang efektif, perusahaan dapat menentukan seberapa baik kinerja rantai pasokan dan seberapa baik aset-asetnya. Melalui solusi alternatif MRP, Industri Batik Banten diharapkan dapat memiliki daya saing dalam rangka efisiensi. Sistem atau kelembagaan rantai pasok pada akhirnya perlu dibangun untuk mencapai satu (1), atau lebih tujuan yang menguntungkan semua pihak yang ada di dalam dan diluar kelembagaan tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana struktur rantai pasok pada Industri Batik Banten ? 2. Bagaimana bobot pengukuran kinerja rantai pasok pada Pusat Industri Batik Banten ? 3. Bagaimana solusi skema pembentukan rantai pasok produk Batik Banten yang dapat di aplikasikan pada Industri Batik Banten yang efektif ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi struktur anggota rantai pasok Batik Banten pada Industri Batik Banten. 2. Menentukan bobot kinerja rantai pasok pada Pusat Industri Batik Banten. 3. Merancang solusi skema pembentukan manajemen rantai pasok produk Batik Banten yang efektif pada Industri Batik Banten.