I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya burung puyuh (Coturnix coturnix) betina dengan tujuan utama menghasilkan telur konsumsi dan atau pemeliharaan burung puyuh induk untuk menghasilkan bibit puyuh. Jenis burung ini sudah mulai bertelur pada umur 45 hari dan akan terus berproduksi selama 18 bulan (Wuryadi, 2011). Burung puyuh yang sudah rendah produktivitasnya akan diafkir untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Perkembangan peternakan puyuh di Indonesia melaju cukup pesat. Hal ini dibuktikan dengan data jumlah populasi ternak puyuh secara nasional yang semakin meningkat sebagaimana tercatat pada Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), yaitu pada Tahun 2011 memiliki populasi 7.356.648 ekor dan Tahun 2012 jumlahnya mencapai 7.840.880 ekor, sehingga terdapat peningkatan jumlah sebesar 6,58 persen pada kurun waktu tersebut. Populasi ternak puyuh Tahun 2010─2012 (per provinsi) dapat dilihat pada Lampiran 1. Jika dibandingkan dengan komoditas peternakan yang lain, terdapat beberapa faktor keunggulan dalam hal beternak puyuh seperti yang dinyatakan di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 05/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Pedoman Budidaya Burung Puyuh yang Baik, antara lain yaitu: (1) pada usia 41 hari burung puyuh betina sudah dapat menghasilkan telur, (2) dalam satu tahun bisa dihasilkan 250 sampai 300 butir telur dengan berat rata-rata 10 gram/butir, (3) tidak memerlukan lahan/ruang yang luas, (4) lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan (penyakit dan suhu), (5) tidak memerlukan investasi yang besar,
1
2
(6) dapat dikembangkan dengan investasi awal dan skala usaha beragam, (7) telur dan burung puyuh afkir memiliki nilai tukar yang tinggi dan mudah dipasarkan, (8) telur dan daging burung puyuh bergizi tinggi, (9) nilai unsur hara kotoran burung puyuh sebagai pupuk lebih tinggi dibandingkan kotoran ternak lainnya, (10) perputaran modal cepat, (11) lebih toleran terhadap pakan dengan serat kasar tinggi di bandingkan dengan ayam ras. Beberapa faktor tersebut di atas kiranya yang telah mempengaruhi banyak orang menjadi tertarik dan kemudian menekuni kegiatan beternak puyuh sebagai suatu kegiatan produksi dan ekonomi yang memberikan harapan, sehingga populasi ternak tersebut dari waktu ke waktu tercatat cenderung mengalami peningkatan. Semakin bertambah banyaknya jumlah ternak puyuh yang diusahakan oleh peternak dapat dijadikan indikasi bahwa jenis peternakan ini memiliki prospek yang baik untuk terus berkembang. Seiring dengan berkembang pesatnya peternakan puyuh sudah tentu akan diikuti dengan semakin banyak produk limbah yang dihasilkannya.
Limbah
peternakan puyuh yang utama dapat berupa ekskreta ternak puyuh, bangkai ternak yang mati, dan air buangan dari sisa proses produksi. Burung puyuh berada dalam satu kelompok ternak unggas (poultry) dengan ayam petelur dan ayam pedaging (Yuwanto, 2004). Dari aspek biologisnya pada kelompok hewan ini terdapat beberapa kesamaan baik pola hidup maupun cara budidayanya sebagai komoditas usaha di bidang peternakan, demikian juga halnya dalam permasalahan dampak limbahnya terhadap lingkungan.
3
Rachmawati (2000), menyatakan bahwa dampak dari usaha peternakan ayam terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran ayam. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia (NH3) yang tinggi, gas hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida (CH3─SH), karbon disulfida (C2S), dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran ternak yang masih basah. Keadaan tersebut di atas, besar kemungkinannya juga terjadi pada peternakan puyuh. Penanganan ekskreta ternak puyuh yang hanya dikumpulkan atau ditimbun saja di ruang terbuka, disertai dengan jumlahnya yang semakin banyak, sudah tentu akan merupakan limbah yang berpotensi besar terhadap pencemaran lingkungan. Bau tidak sedap yang dihasilkan dari proses penguraian bahan organik limbah akan dapat meresahkan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi usaha peternakan, dan berbagai macam gas yang dihasilkannya tersebut dimungkinkan juga dapat mengancam kesehatan peternak maupun ternak yang sedang dibudidayakan. 1.2 Permasalahan Penelitian Sehubungan dengan upaya pencegahan pencemaran lingkungan oleh keberadaan ekskreta peternakan puyuh, yang diharapkan pada kegiatannya tersebut juga dapat berfungsi sebagai suatu kegiatan usaha yang secara ekonomi menguntungkan dan berwawasan lingkungan, maka metode pengelolaannya harus dilakukan dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Untuk hal tersebut,
penerapan teknologi fermentasi terhadap ekskreta peternakan puyuh yang
4
menggunakan inokulum Effective Microorganism-4 (EM4) dengan tujuan untuk dijadikan bahan pakan sumber protein alternatif adalah merupakan hal yang menarik untuk dipelajari, karena teknologi ini diyakini mampu meminimalkan keberadaan limbah dan menghasilkan produk dengan kandungan protein kasar dan tingkat kecernaan protein yang lebih baik daripada yang terdapat pada bahan awalnya sehingga memiliki potensi kemanfaatan ekonomi yang mampu mendukung pembangunan berkelanjutan. 1.3 Rumusan Permasalahan Sebagai kajian pengaruh perlakuan yang diterapkan pada proses fermentasi substrat yang berbasis bahan ekskreta puyuh terhadap kandungan protein kasar substrat dan tingkat kecernaan protein tersebut secara in vitro sebagai bahan pakan ternak unggas, beberapa hal dituangkan dalam rumusan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana pengaruh pemberian tingkat dosis starter EM4 dan interval waktu pembalikan substrat dalam kombinasi yang berbeda pada proses fermentasi substrat yang berbasis bahan ekskreta puyuh terhadap kandungan protein kasar substrat?
2.
Bagaimana pengaruh pemberian tingkat dosis starter EM4 dan interval waktu pembalikan substrat dalam kombinasi yang berbeda pada proses fermentasi substrat yang berbasis bahan ekskreta puyuh terhadap tingkat kecernaan protein substrat secara in vitro sebagai bahan pakan ternak unggas?
3.
Bagaimana potensi kemanfaatan ekonomi dari pengelolaan ekskreta peternakan puyuh dengan teknologi fermentasi untuk bahan pakan sumber
5
protein alternatif dengan penggunaan asumsi yang diterapkan sebagai suatu kegiatan usaha yang mampu mendukung pembangunan berkelanjutan? 1.4 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengelolaan limbah peternakan dengan teknologi fermentasi yang memanfaatkan berbagai inokulum sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian terhadap fermentasi ekskreta peternakan puyuh yang menggunakan inokulum EM4 dengan tujuan untuk dijadikan bahan pakan masih sedikit. Penelitian terhadap pengelolaan ekskreta peternakan puyuh dengan teknologi fermentasi untuk bahan pakan sumber protein alternatif yang menerapkan perlakuan kombinasi tingkat dosis starter EM4 (4 ml; 8 ml; 12 ml) dengan interval waktu pembalikan substrat (12 jam; 24 jam; 36 jam) pada proses fermentasi 1 kg ekskreta ternak puyuh giling dicampur dengan 1 kg dedak padi dan 600 ml air yang berlangsung selama 4 x 24 jam, merupakan penelitian yang pada beberapa hal tertentu mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Lahay dan Rinduwati (2007). Pemakaian dosis starter EM4 yang diterapkan oleh peneliti sebelumnya dijadikan referensi dalam penentuan dosis bahan tersebut pada penelitian ini. Pada penelitian sebelumnya telah digunakan pemakaian dosis starter EM4 sebanyak 1 ml; 2 ml; 3 ml; 4 ml; 5 ml, dan hasil penelitiannya dinyatakan bahwa kandungan nutrisi bokashi broiler dan puyuh meningkat seiring dengan tingkat pemakaian dosis larutan EM4.
Dari hasil penelitian tersebut terlihat adanya
kecenderungan meningkatnya persentase protein kasar bokashi yang masih
6
memungkinkan untuk diuji lanjut dengan pemakaian dosis starter EM4 yang lebih banyak, sehingga pada penelitian ini diterapkan dosisnya: 4 ml; 8 ml; 12 ml. Adapun penerapan interval waktu pembalikan substrat yang dilakukan setiap 12 jam; 24 jam; 36 jam sebagai metode aerasi pada proses fermentasi dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: (1) untuk organisme aerob, faktor yang membatasi pertumbuhan biasanya adalah oksigen (Pratiwi, 2008); (2) tujuan dari aerasi adalah memberi oksigen yang cukup kepada mikroorganisme agar aktivitas metabolisme tercapai (Riadi, 2007); (3) pada beberapa spesies bakteri, populasi (panen sel terbanyak yang dapat diperoleh) tercapai dalam waktu 24 jam (Pelczar dan Chan, 2010); (4) kerentanan mikroorganisme yang tinggi yaitu pada fase pertumbuhan eksponensial (Kusnadi et al., 2003). Berdasarkan hal-hal tersebut diperkirakan pembalikan substrat pada setiap 24 jam merupakan perlakuan yang akan memberikan pengaruh terbaik, dan sesuai kaidah perancangan himpunan perlakuan sebagaimana pernyataan Hanafiah (2012), yang menyatakan bahwa perlakuan yang diperkirakan akan berpengaruh paling baik harus diletakkan diantara minimal dua perlakuan lain yang bertaraf lebih rendah dan lebih tinggi, dengan demikian perancangan waktu pembalikan substrat diterapkan dengan interval 12 jam, 24 jam, dan 36 jam. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini antara lain yaitu untuk: 1.
Mempelajari pengaruh pemberian tingkat dosis starter EM4 dan interval waktu pembalikan substrat dalam kombinasi yang berbeda pada proses
7
fermentasi substrat yang berbasis bahan ekskreta puyuh terhadap kandungan protein kasar substrat 2.
Mempelajari pengaruh penggunaan tingkat dosis starter EM4 dan interval waktu pembalikan substrat dalam kombinasi yang berbeda pada proses fermentasi substrat yang berbasis bahan ekskreta puyuh terhadap tingkat kecernaan protein substrat secara in vitro sebagai bahan pakan ternak unggas
3.
Mengetahui potensi kemanfaatan ekonomi dari pengelolaan ekskreta peternakan puyuh dengan teknologi fermentasi untuk bahan pakan sumber protein alternatif dengan penggunaan asumsi yang diterapkan sebagai suatu kegiatan usaha yang mampu mendukung pembangunan berkelanjutan (sustainable development) 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu dapat
memberikan kontribusi sebagai: 1.
Sumbangan pemikiran berkenaan dengan upaya pencegahan penurunan kualitas lingkungan di lokasi peternakan puyuh
2.
Informasi yang dapat digunakan untuk keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang penyediaan bahan pakan sumber protein alternatif
3.
Referensi pada pengelolaan limbah peternakan puyuh yang berwawasan lingkungan