HUMANISME ISLAM: Potret Romantis dan Responnya terhadap Modernisme* Oleh: Sokhi Huda
Eksistensi umat Islam teruji untuk menghidupkan kembali Tuhannya yang turut dimatikan oleh Modernisme, agar semua manusia dapat menikmati humanitasnya. (Sokhi Huda) A. Pendahuluan Humanisme merupakan salah satu karakter renaissance Eropa sejak abad ke-15 dan ke-161 sebagai fenomena global sejarah. Ia, sebagai embrio abad modern, merupakan respon terhadap abad pertengahan yang ketika itu alam pikiran manusia dikungkung oleh gereja (agama/Tuhan)2. Dalam kediriannya, humanisme memiliki konsep sendiri, yaitu penemuan manusia dan dunia. Sebagai sebuah konsep yang mandiri, ia berada dalam sistem abstraksi tentang hal-hal yang berkenaan dengan kedirian manusia, sehingga abstraksi hunamisme tidak semata-mata dimiliki oleh Renaissance Eropa, akan tetapi juga peradaban-peradaban lain yang memenuhi kriteria abstraksi tersebut. Atas dasar itu, pemakalah mencoba untuk menggunakan abstraksi tersebut sebagai media untuk melihat sajian humanisme Islam dalam khazanah historisnya. Sedangkan fokus yang hendak penulis bidik adalah "potret romantis humanisme Islam dan responnya terhadap modernisme". Paparan di atas memproduk keniscayaan beberapa permasalahan; yaitu: (1) Apa dan bagaimana humanisme itu, dan apa hubungannya dengan modernisme?; (2) Apa dan
*
Makalah dipresentasikan pada seminar kelas mata kuliah Filsafat Islam, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada Kamis; 3 Juni 1999, dalam bimbingan DR. A. Khozin Afanndi, MA. 1 Satu karakter lainnya, selain humanisme, adalah individualisme. Dengan kedua karakter itu, Renaissance, sebagaimana dikembangkan oleh J. Barckhardt (1860), memiliki konsep sejarah yang menunjuk periode yang bersifat individualisme, kebangkitan budaya antik dan penemuan manusia dan dunia. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Hingga James (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), 109, 110.
2
bagaimana humanisme Islam itu?; (3) bagaimana potret romantis humanisme Islam?; dan (4) bagaimana respon romantisisme Islam terhadap modernisme?. Penulis mencoba untuk "membedah pintu" sejumlah permasalahan di atas dengan pendekatan historis komparatif3. Pada level konsep, dikonfirmasi antara humanisme modern (Eropa) dan humanisme Islam. Pada potret romantis, ditampilkan wajah humanisme Islam yang dimiliki oleh sejarahnya. Kemudian pada respon romantisisme Islam, didemonstrasikan sikap intelektual beberapa pemikir Islam terhadap modernisme, atau para orientalis yang dengan sikap objektifnya menyajikan --dari hasil galiannya-fakta historis yang terpendam.
B. Abstraksi Konseptual-Filosofis tentang Manusia Dalam pandangan "filsafat manusia", sebagaimana kajian Drijarkara, manusia adalah pertama: makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri. Dia bersatu dan berjarak terhadap diri sendiri. Kebersatuan itu merupakan persona/pribadi, dan keberjarakannya dinyatakan dengan melakukan dan mengolah, mengangkat dan merendahkan diri sendiri. Kedua: manusia adalah makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan, akan tetapi juga berjarak terhadap alam. Kebersatuan itu menjadikan manusia sebagai bagian dari sistem alam, dan keberjarakannya dinyatakan dengan kemampuan memandang, mengolah, dan mengubah alam. Ketiga: manusia adalah makhluk yang terlibat dalam situasi. Situasi itu berubah dan mengubah manusia. Dengan ini ia menyejarah. Meskipun demikian, manusia tetap dia sendiri.4 Oleh karena itulah, manusia tidak saja ada, tetapi juga berada dalam dinamika persona, memiliki dinamika sebagai realitas alam, dan menyejarah dengan kediriannya. Filafat modern memandang manusia sebagai: (1) homo ludens (makhluk yang bermain), sebagaimana
2
Ibid., 109. Pendekatan historis-komparatif adalah penelitian sejarah untuk membandingkan gejala-gejala yang sejenis, baik berdasarkan perbedaan waktu terjadinya maupun perbedaan tempat terjadinya. Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), 78, 81-82. 4 N. Drijarkara, S.J., Filsafat Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 7. 3
3 dikaji secara khusus oleh Johan Huizinga, ahli sejarah terkenal Belanda5, di samping sebagai (2) homo faber (makhluk tukang yang menggunakan alat-alat dan bahkan memproduksi alat-alatnya sendiri) dan (3) homo sapiens (makhluk arif yang memiliki akal budi dan dengan demikian mengungguli semua makhluk hidup yang lain. Secara khusus sebagai homo ludens, manusia ingin menyelidiki perkaitan antara permainan dan kebudayaan, dengan mempergunakan pengetahuannya.6 Sebagai perbandingan, al-Ghazali, seorang aktor filsafat abad pertengahan, memandang manusia sebagai substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subjek yang mengetahui. Manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu al-nafs (jiwa). Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat, dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al-ma'qulat) berasal dari `alam al-malakut atau `alam al-'amar.7 Apabila dikategorisasi, maka dapat dinyatakan bahwa pandangan pertama dan kedua berorientasi vertikal (ketuhanan), sedangkan pandangan ketiga berorientasi horisontal (dinamika sejarah manusia sendiri).
C. Konfirmasi Konsep: Humanisme Modern dan Humanisme Islam Sebelum dibuka konfirmasi, terlebih dulu dihadirkan telaah peristilahan secara umum dan sejarah filsafat, sebagai pintu masuk. Humanisme (Inggris: humanism) mempunyai beberapa arti: (1) menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi; (2) menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir; (3) mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti tanpa 5
Kajian Huizinga dituangkan dalam "Homo Ludens: Proeve eener bepaling van het spel-element der cultuur (1983), yang mendapat pengakuan internasional. Kajiannya tentang permainan dimulai dari (1) makna dan (2) fungsi permainan, (3) permainan dan perlombaan, (4) permainan dan kebudayaan, lalu klimaksnya (5) kritik atas kebudayaan modern. Periksa K. Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 1-12. 6 Ibid., 1. Selanjutnya, liku-liku semantis "permainan" divonis dengan pokok-pokok penjelasan bahwa permainan itu; (1) terjadi spontan; (2) seolah-olah keluar dari kehidupan biasa/sebenarnya; (3) mempunyai batasbatas waktu dan ruang; (4) menciptakan orde/keteraturan; dan (5) mempunyai aturan. 7 Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut al-Ghazali (Raja Grafindo Persada, 1996), 69-70. Pada periode klasik dan pertengahan, orientasi para filosof adalah esensi manusia yang dirumuskan melalui refleksi yang sangat spekulatif. Sedangkan para filosof periode modern berorientasi kepada eksistensinya dalam sejarah.
4 acuan pada konsep-konsep adikodrati.8 Penekanan pandangan tersebut adalah pada posisi elit "individu" dan "rasional" manusia. Keduanya digunakan sebagai referensi untuk kepentingan pengabdian terhadap kreatifitas dan moralitas yang sekular dan bahkan ateis. Dalam sejarah filsafat, istilah humanisme digunakan dalam setidaknya empat hal. Pertama: doktrin Pitagoras mengangkat manusia sebagai ukuran, yang kontras terhadap ragam bentuk absolutisme, khususnya yang bersifat epistemologis. Kedua: dalam Renaissance istilah itu menunjukkan gerak balik kepada sumber-sumber Yunani, dan kritik individual serta interpretasi individual, yang kontras terhadap tradisi skolatisisme dan otoritas religius. Ketiga: pada abad kemudian, istilah itu sering dipakai dalam kontras terhadap teisme, yang menempatkan dalam manusia sumber kebaikan dan keatifitas. Keempat: F.C.S. Schiller dan William James, untuk mengangkat humanisme sebagai pandangan yang bertolak belakang terhadap absolutisme filosofis. Ini kontras terhadap pandangan Pitagoras. Alasannya adalah, humanisme menurut kedua tokoh itu dipandang melawan hal-hal absolut-metafisi dan bukan yang epistemologis, yakni melawan dunia tertutup idealisme absolut. Oleh karena itu, penekanannya pada alam atau dunia yang terbuka, pluralisme, dan kebebasan manusia.9
1. Humanisme Modern (Eropa) Humanisme muncul dalam setting gerakan Renaissance yang terjadi di Eropa (Italia dan Perancis), untuk menghidupkan kembali kemajuan kemanusiaan (alam pikiran) yang pernah terjadi pada abad klasik, menentang kungkungan gereja. Istilah Renaissance digunakan para sejarahwan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Bukti yang mewarnai kebangkitan itu adalah munculnya karya seni dan sastra, kemudian penelitian empiris yang melahirkan sains. Jules Michelet, sejarahwan Prancis, adalah orang pertama yang menyatakan bahwa Renaissance adalah
8 9
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 259. Ibid., 295-296.
5
periode penemuan manusia dan dunia, lebih dari sekadar kebangkitan peradaban yang merupakan permulaan kebangkitan dunia modern.10 Atas dasar paparan di atas, periode Renaissance dapat disebut juga sebagai zaman Humanisme. Maksud ungkapan ini adalah bahwa manusia diangkat dari abad pertengahan. Pada abad pertengahan itu manusia dipandang kurang dihargai sebagai manusia. Gereja menertapkan bahwa kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja, bukan menurut ukuran yang dibuat manusia. Humanisme menghendaki manusia sebagai ukuran kebenaran. Karena menusia mempunyai kemampuan berfikir, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan dunia. Sehingga, ciri utama Renaissance atau Humanisme adalah individualisme, lepas dari agama, empirisme, dan rasionalisme. Pada giliran berikutnya, modernisme benar-benar tegak dengan rasionalisme. Di tangan Descartes, disebut sebagai bapak filsafat modern, rasionalisme memperoleh figurnya yang kokoh. Slogan populernya adalah cogito ergo sum (aku berpikir, jadi aku ada). Di tangan Hobbes, rasionalisme berkembang menjadi ateisme dan materialisme.11 Di tangan Cartesian, rasionalisme berwajah dualistik, yang berpuncak substansi bahwa realitas dunia ini, tak ubahnya ibarat sebuah mesin raksasa tanpa unsur spiritual yang namanya Tuhan.12 Bahkan lebih ekstrem lagi, rasionalisme di tangan Nietzsche, ateismenihilisme, lewat retorika agitatifnya dalam salah satu bukunya: "...Kemanakah Tuhan larinya? Aku akan jelaskan pada kalian. Kita telah membunuhnya. Kita semua adalah pembunuh.. Belumkah kita sadar dengan para penggali pusara yang sedang menguburkan Tuhan? .…. Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati.13
10
Tafsir, Filsafat..., 109-110. Ibid., 115. 12 Syamsul Arifin, et.al., Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPRESS, 1996), 25. 13 Ahmad Syafii Maarif, Al-Qur'an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), 39. 11
6
2. Humanisme Islam Dalam pandangan penulis, humanisme Islam itu bermula dari diterimanya wahyu pertama "Iqra'” oleh Nabi Muhammad14. Ini penulis konfirmasikan dengan hipotesis Hasan yang mengemukakan bahwa sejak abad ke-7 "Renaissance Islam" (era of the promotion of knowledge, and the cultivation of scientific spirit) telah dikibarkan, kala Eropa masih terselubungi oleh abad kegelapan (Dark Age).
15
Kemudian, hal itu penulis
hubungkan dengan setting historis kaitannya dengan Eropa, sebagaimana dijelaskan oleh Neill bahwa kebudayaan Kristen di Eropa di antara 600-1000 M. sedang mengalami masa surut yang rendah. Sementara Lebon mengatakan bahwa "orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad".16 Berdasarkan data-data tersebut dapat dilihat bahwa nilai "Iqra'" tidak saja diserap oleh masyarakat Arab sendiri, akan tetapi juga memberi kontribusi riil terhadap peradaban Eropa, dalam rangka menumbuhkan spirit sains (kebangkitan intelektual). Kemudian, humanisme Islam yang bernilai kontributif itu dikembangkan oleh Dinasti Abbasiyah, melalui gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia dan India, yang dipelopori oleh al-Ma'mun (813-833)17, Khalifah yang berisme Mu'tazilah dan menjadikannya sebagai doktrin resmi khilafah18. Sehingga pada masa ini ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang sangat pesat, seperti: tafsir, fikih, hadith, nahwu, teologi, astronomi, optika, matematika, astronomi, aljabar kimia, fisika, filsafat, kedokteran, geografi dan sejarah. Cristopher Dawson menyebut periode kemajuan Islam (masa Dinasti Abbasiyah) bersamaan masanya dengan abad kegelapan di Eropa.
14
Faruqi, Isma`il Ragi. The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company, 1986), 124. Wahyu pertama itu diterima Nabi pada bulan Juni 610 (abad ke-7). Peristiwa penting pada tahun itu, adalah Khadijah, Ali, dan Abu Bakr masuk Islam, atas kewahyuan tersebut. 15 Masudul Hasan, History of Islam: Classical Period 571 - 1258 C.E. (Delhi, India: Adam Publishing, 1995), 16. 16 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I (Jakarta: UI-Press, 1985), 74. 17 Syed Mahmudunnasir, Islam: It's Concept and History (New Delhi, India: Kitab Bhavan, t.t.), 202. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 52-53. 18
H. Laoust dalam H.A.R. Gibb, at.al., The Encyclopaedia of Islam, Vol.1 (Leiden: E.J. Brill; London: Luzac & Co., 1960), 272.
7
Penyelidikan Rom Landau mengakui, bahwa dari periode Islam klasik orang Barat belajar berpikir objektif, dan belajar berdada lapang saat terpasungnya pikiran dan tidak adanya toleransi terhadap kaum minoritas, sebagai bimbingan bagi renaissance Eropa yang kemudian membawa pada kemajuan dan peradaban Barat sekarang. Jacques C. Rislar menegaskan ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam mempengaruhi kebudayaan Barat.19 Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat bahwa dalam Islam terkandung nilainilai humanisme. Apabila ini dibandingkan dengan hegemoni gereja (Kristen) pada abad pertengahan Eropa yang menyebabkan "Dark Age", maka tampak ada kontradiksi di antara keduanya. Justru persoalan yang menarik adalah; ideologi apa yang ditawarkan Islam, sehingga ada "gayung bersambut" antara spirit ketuhanan (orientasi vertikal) dengan spirit kemanusiaan (orientasi horisontal)? Ternyata sejarah telah mencatat bahwa spirit "iqra'" telah berhasil sebagai instrumen untuk memajukan dan mengembangkan kemanusiaan manusia. Dalam alQur'an terdapat banyak ayat yang seirama dengan "iqra'". Nabi sendiri telah mentransformasikan spirit keilmuan melalui hadith-hadithnya, termasuk perintah (petunjuk) mencari ilmu, meskipun di negeri Cina. Bahkan Tuhan tidak setengahsetengah memberikan kepercayaan kepada manusia, yang dinyatakanNya bahwa manusia adalah khalifahnya di bumi.20 Tugas sebagai khalifah ini dalam konsep Faruqi termasuk dalam sistem tauhid sebagai pandangan dunia, yang berunsurkan (1) dualitas, (2) ideasionalitas, (3) teologi, (4) kapasitas manusia sebagai khalifah, dan (4) responsibilitas dan hukum. Kemudian al-Qardawi merekonstruksi bahwa kemanusiaan itu merupakan salah satu karakter ideologi dalam sistem Islam.21
19
Nasution, Islam Ditinjau..., 75. al-Baqarah (2): 30. 21 Yusuf al-Qardhawi, Karakteristik Islam: Kajian Analitik (Surabaya: Risalah Gusti, 1996). Dalam tulisannya tentang karakteristik kemanusiaan, termuat di dalamnya konsep tentang iqra' dan kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan. Secara lengkap karakteristik Islam meliputi dimensi-dimensi: (1) Ketuhanan, (2) kemanusiaan, (3) universal, (4) moderat, (5) kontekstual, (6) jelas. 20
8
3. Konfirmasi Konsep Dengan memperhatikan muatan masing-masing konsep maupun realitasnya, titik konfirmasinya adalah persoalan: siapa manusia itu; bukan kebenaran itu ditentukan oleh siapa? Humanisme modern memandang manusia memiliki kemampuan berfikir, dan dengan itu manusia mampu mengatur dunianya. Sedangkan humanisme Islam memandang bahwa manusia diberi potensi dan kepercayaan untuk menjadi wakil Tuhan untuk membangun dunia.
D. Respons Romantisisme Islam terhadap Modernisme Pada abad modern global (abad ke-16 dan ke-17) yang ditandai dengan naiknya grafik kemajuan ilmu pengetahuan, Islam justru dapat dikata sedang tidak aktif dalam kompetisi dunia. Diakui atau tidak, pada ke-17, ke-18, dan ke-19, umat Islam berposisi aktif hanya sebagai konsumen ilmu-ilmu pengetahuan Barat. Mulai abad ke-19, setelah melalui abad ke-13 sampai ke-18 (abad pertengahan), ada tanda-tanda munculnya gerakan modernisme Islam. Muatan utamanya adalah pemberdayaan diri umat Islam sendiri. Ada tiga format gerakan yang digunakannya, yaitu gerakan politik, moral, dan intelektual. Meskipun demikian, untuk ukuran persaingan dengan Eropa (Barat), Islam masih lemah. Sehingga, dalam usaha kebangkitan, masih membekas tajam dalam kenangan tentang kemajuan Islam pada periode klasik. Mulai awal paruh kedua abad 13 melalui gugurnya Dinasti Abbasiyah oleh Pasukan Ghulagu Khan, dan tumbangnya Dinasti Umayyah Spanyol oleh tentara Seville, kemajuan ilmu pengetahuan berpindah ke Barat, apalagi Barat mengembangkannya secara elaboratif. Romantisisme itu dapat jadi terefleksi dengan memperbanyak kajian-kajian keluhuran Islam daripada memproduk instrumen-instrumen baru untuk mampu mandiri, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Atau, karena merasa bahwa ketertinggalannya cukup jauh, sehingga terpaksa menikmati suasana romantis. Suasana ini ditandai oleh banyaknya reproduksi daripada produksi. Menyeiringi romantisisme itu, terdapat upaya-upaya untuk merespon modernisme lewat ide-ide berani. Pada level konstruksi ilmu pengetahuan, dapat diagenda lima pokok sumbangan, yaitu: pertama: pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, Syed Husain Nasr, sarjana satu-satunya yang
9
menyajikan perspektif sufi secara terbuka atas krisis epistemologi dalam peradaban Barat, lewat karyanya "Encounter of Man and Nature". Kedua: Syed Muhammad Nuqaib alAttas dan Ismail Raji al-Faruqi memusatkan perhatian di sekitar masalah "islamisasi" ilmu pengetahuan. Dalam tulisannya "The De-Westernisation of Knowladge", al-Attas mengajukan kritik jitu terhadap epistemologi Barat. Dia mengatakan bahwa skeptisisme yang tidak mengenal batas-batas etik dan nilai dari sistem ilmu pengetahuan Barat adalah merupakan antitesis terhadap epistemologi Islam. Sementara al-Faruqi menawarkan suatu rencana sistematis yang menyeluruh untuk merumuskan kembali epistemologi Islam kontemporer dalam karya "Islamisation of Knowledge: General Principles and Workplan". Asumsi yang mendasarinya adalah, bahwa penyakit umat hanya dapat diobati dengan injeksi epistemologi.22 Ketiga: Fazlurrahman dengan metode pemahaman (tafsir) al-Qur'an. Keempat: Arkoun melalui "kritik epistemologi terhadap bangunan keilmun Agama".23 Kelima: Hassan Hanafi dengan keberaniannya membalik prinsip dalam tafsir "al-`Ibrah bi `Umum al-Lafz la bi Khusus al-Sabab"24 menjadi "al-`Ibrah bi `Umum alSabab la bi Khusus al-Lafz". Karya-karya mereka mewakili kesadaran untuk menghidupkan Tuhannya yang oleh modernisme dinyatakan telah dibunuhnya dan bahkan telah mati.
F. Kesimpulan Humanisme Islam merupakan gerakan intelektual yang bermaksud membuka kran untuk mencapai kemajuan dan perkembangan bagi kehidupan manusia sendiri. Gerakan ini pertama kali dipacu oleh wahyu Tuhan kepada Nabi berupa "iqra'”, kemudian dipertajam dalam realitas oleh Nabi sendiri dan kemudian semakin dikembangkan oleh Dinasti Abbasiyah.
22
Zainuddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumukan Parameter-Parameter Sains Islam, terj. A.E. Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), 42-43. 23 M. Amin Abdullah, "Arkoun dan Kritik Nalar Islam", dalam Johan Hendrik Meuleman, Ed. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun (Yogyakarta, LKiS, 1996), 3,5. 24 `Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad `Abduh fi Tafsir al-Qur'an al-Karim (Kairo, Mesir: Nashr al-Rasail al-Jami'ah, tt), 36-37.
10
Humanisme Islam berspirit ketuhanan. Ini kontras dengan humanisme modern yang justru ide dasarnya mendobrak peran agama. Hancurnya Dinasti Islam, menyebabkan Islam memasuki wilayah kenangan di saat khazanahnya menetas dengan glamor di tangan para penjarahnya. Meskipun demikian, ada pernik-pernik usaha dari para intelektual muslim untuk merekonstruksi bangunan epistemologi ilmu-ilmu keislaman sendiri maupun merespon terhadap bangunan epistemologi keilmuan modern. Menyeiringi kepedulian ini, umat Islam tertantang oleh tugasnya sebagai khalifah Tuhan di bumi, dan bahkan menghidupkan kembali Tuhannya sendiri setelah turut dimatikan oleh modernisme.
11
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. "Arkoun dan Kritik Nalar Islam" dalam Johan Hendrik Meuleman, Ed. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun. Yogyakarta, LKiS, 1996. Arifin, Syamsul et.al., Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS, 1996. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Faruqi, Isma`il Ragi. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company, 1986. Hasan, Masudul. History of Islam: Classical Period 571 - 1258 C.E. Delhi, India: Adam Publishing, 1995. Laoust, H. dalam H.A.R. Gibb, at.al., The Encyclopaedia of Islam, Vol.1. Leiden: E.J. Brill; London: Luzac & Co., 1960. Maarif, Ahmad Syafii. Al-Qur'an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah. Bandung: Penerbit Pustaka, 1985. Mahmud, Abdullah. Manhaj al-Imam Muhammad `Abduh fi Tafsir al-Qur'an al-Karim. Kairo, Mesir: Nashr al-Rasa- il al-Jami'ah, tt. Mahmudunnasir, Syed. Islam: It's Concept and History. New Delhi, India: Kitab Bhavan, t.t. Nasution, Muhammad Yasir. Manusia Menurut Al-Ghazali. Raja Grafindo Persada, 1996. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I. Jakarta: UI-Press, 1985. Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam: Kajian Analitik. Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Sardar, Zainuddin. Jihad Intelektual: Merumukan Parameter-Parameter Sains Islam, terj. A.E. Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Hingga James. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.