HUKUM DAN PUTUSAN ADAT DALAM PRAKTIK PERADILAN NEGARA1 Lilik Mulyadi2
A. Peradilan Adat Antara “Ada” dan “Tiada” Pada asasnya, terminologi hukum adat3 berasal dari kata adatrecht dipergunakan Snouck Hurgronye dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van Vollenhoven. Kemudian, terminologi hukum adat Zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) dengan terminologi godsdientige wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipergunakan terminologi godsdientige wetten en oude herkomsten dan berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo Nomor 487 terakhir dipergunakan terminologi adatrecht. Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, “hukum Indonesia asli”, dan lain sebagainya. Selain itu, terminologi hukum adat beserta masyarakat adatnya mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim diungkapkan dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya dalam masyarakat Aceh4 dikenal dengan ungkapan “matee anek mepat jerat matee adat phat tamita” yang diartikan kalau anak mati masih dapat dilihat pusaranya, akan tetapi kalau adat dihilangkan/mati, maka 1
Disampaikan dalam dialog Nasional dengan tema, “Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat Dalam Sistem Peradilan Nasional”, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, pada hari: Kamis, 10 Oktober 2013 yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dan Mahkamah Agung RI 2 Wakil Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara, Doktor cumlaude Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Lektor pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya (Jakarta), Universitas 17 Agustus 1945 (Jakarta) dan Universitas Merdeka (Malang) 3 Berdasarkan kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional pada tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum Adat diartikan sebagai, “hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.” 4 Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya di Banda Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010, hlm. 5
1
akan sulit dicari. Ungkapan lainnya, berupa “murip i kanung edet, mate i kanung bumi” yang berarti bahwa keharusan mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi. Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations”. Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan. Ruang lingkup dan dimensi hukum adat sebagaimana konteks di atas teramat luas dimana diatur dalam instrumen hukum, baik instrumen Nasional dan Internasional. Selain itu, dikaji dari dimensi substansinya hukum adat dapat terbagi menjadi hukum perdata adat, hukum tata negara adat, hukum pidana adat (delichtentrecht) dan lain sebagainya. Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum adat pidana5 cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana/perdata adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tidak tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat 5 Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan, Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010, hlm. 2 dan Laporan Penelitian yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Peradilan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2010, hlm. 4 serta hasil penelitian dari para respondent pada 5 (lima) Pengadilan Tinggi dalam 4 (empat) lingkungan peradilan menentukan istilah Hukum Pidana Adat untuk PT Banda Aceh sebanyak 68%, PT Mataram (90%), PT Medan (72%), PT Denpasar (55%), PT Banjarmasin (80%), Delik Adat untuk PT Banda Aceh (24%), PT Mataram (0%), PT Medan (20%), PT Denpasar (10%), PT Banjarmasin (16%), Hukum Adat Pidana untuk PT Banda Aceh (4%), PT Mataram dan PT Medan (0%), PT Denpasar (3%), PT Banjarmasin (8%) dan Hukum Pelanggaran Adat untuk PT Banda Aceh (20%), PT Mataram (10%), PT Medan (4%), PT Denpasar (31%) dan PT Banjarmasin (16%).
2
bersangkutan. Untuk sumber tertulis misalnya dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di Palembang, Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama, Kitab Manawa Dharma Sastra, Awig-Awig di Bali dan semua peraturan-peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya dan sebagainya. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi6 bersifat parsial ternyata eksistensi hukum pidana/perdata adat beserta peradilan adat7 tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Ada 5 (lima) argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa diasumsikan eksistensinya demikian. Pertama, dikaji dari dimensi asas legalitas formal dan asas legalitas materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan: “Tiada suatu peristiwa dapat
dipidana
selain
dari
kekuatan
ketentuan
undang-undang
pidana
yang
mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). Apabila dipadankan asas legalitas formal dan materiil hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diimplementasikan secara integral. Pada asas legalitas dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat.
6 M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Springfield, Illionis, USA, 1978, hlm. 78 dikutif dari: Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 3 menyebutkan tiga tahap kebijakan yaitu kebijakan pada tahap formulasi (proses legislasi), tahap aplikasi (proses peradilan/judisial) dan tahap eksekusi (proses administrasi). 7 Peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia, lazim dikenal dengan terminologi “sidang adat”, “para-para adat”, “pokara adat”, atau “rapat adat”, serta ungkapan beragam sesuai kekhasan bahasa lokal setempat. Teknis yuridis istilah peradilan adat terdapat dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan menyebutkan, “ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati”, dan UU Nomor 1/drt/1951 Tentang Tindakan—Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Penjelasan Pasal 67 ayat (1) angka 4 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan menyebutkan, “ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati”.
3
Barda Nawawi Arief menyebutkan adanya perumusan asas legalitas formal dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum positif. Dengan perkataan lain, adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di masyarakat, sering “ditidurkan atau dimatikan”. Semasa zaman penjajahan, ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda pada saat itu. Namun, akan dirasakan lain apabila kebijakan itu juga diteruskan seusai kemerdekaan. Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis/hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian akademik di perguruan tinggi. Selanjutnya, berarti tidak pernah berkembang dengan baik “tradisi yurisprudensi” maupun “tradisi akademik/keilmuan” mengenai hukum pidana tidak tertulis itu. Kalau toh ada, hanya dalam ruang yang sangat terbatas dan (sekali lagi) “tidak utuh” atau “tidak lengkap”.8 Konklusi dasar dari apa yang diterangkan di atas menyebutkan asas legalitas sebagaimana ketentuan Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan, namun penggunaan harus dengan bijaksana dan hati-hati, karena kalau kurang bijaksana dan kurang hati-hati, justru dapat menjadi “bumerang”. Sungguh sangat tragis dan menyayat hati apabila dengan dalih Pasal 1 KUHP, nilai-nilai hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak dapat tersalur dengan baik atau bahkan ditolak sama sekali. Dikatakan tragis dan menyayat hati karena berarti nilai-nilai hukum adat/hukum yang hidup di dalam masyarakat telah dibunuh/dimatikan oleh bangsanya sendiri lewat senjata/peluru/pisau yang diperoleh dari bekas penjajah (yaitu lewat Pasal 1 KUHP/WvS).9 Kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana eksistensinya Pengadilan Adat mulai tidak diakui dan dihapuskan yang berlanjut setelah dikodefikasikan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksistensi Pengadilan Adat. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU drt 1 Tahun 1951 disebutkan bahwa, “Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentuan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan...segala Pengadilan Adat (Inheemse 8 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 25 9 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 298
4
rechtspraak in rechtstreekbestuurd gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat”. Kemudian,
penjelasan
otentik
pasal
tersebut
menyebutkan
dasar
pertimbangan
penghapusan peradilan adat karena peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat. Akan tetapi, penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, hakikatnya tidak menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk lain yaitu peradilan desa (dorpjustitie). Aspek dan dimensi ini bertitik tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1 Tahun 1951 yang menegaskan bahwa, “Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie”. Konklusi dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat menentukan peradilan adat yang dihapuskan berdasarkan undang-undang darurat adalah peradilan adat dalam arti inheemsche rechtspraak, sedangkan kewenangan peradilan adat yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan masyarakat hukum adat yaitu peradilan desa (dorpjustitie) tetap dilanjutkan. Padahal sebelumnya, pada zaman Hindia Belanda Peradilan Adat dikenal dalam dua bentuk yaitu Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat (Inheemsche rechtspraak) dan Peradilan Desa (Dorpjustitie). Kemudian dimensi ini berlanjut pada zaman pendudukan Jepang peradilan adat tetap diakui dan berlangsung, walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942 (dirubah dengan UU Nomor 34 Tahun 1942), telah menyederhanakan sistem peradilan dimana perbedaan peradilan gubernemen dan peradilan untuk orang pribumi telah dihapuskan. Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa di Sumatra peradilan adat dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan berdasarkan Pasal 1 undangundang tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah (Sjihososjiki-rei) yang dimuat dalam Tomi-seirei-otsu No. 40 tanggal 1 Desember 1943.10 Ketiga, Dikaji dari perspektif yuridis, teoretis, sosiologis dan filosofis implisit dan eksplisit eksistensi Peradilan Adat harus diakui. Aspek dan dimensi ini ini bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD NKRI 1945, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001, UU Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan 10
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011, hlm. 13-42
5
Presiden Nomor 7 Tahun 2005.11 Konklusi dasar dari ketentuan tersebut hakikatnya diatur, diakui dan dihormatinya eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Kemudian, adanya penghormatan terhadap identitas budaya, keragaman budaya bangsa dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia sehingga selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berikutnya, diakuinya eksistensi tentang badan-badan peradilan sebagai bagian kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, dimensi ketentuan tersebut dikaji dari perspektif yuridis, berarti secara konstitusional politik hukum mengakui hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat in casu peradilan adat. Perspektif filosofis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia oleh negara termasuk juga hak dalam hal melaksanakan peradilan yang kemudian harus dijabarkan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman Indonesia. Perspektif sosiologis, peradilan adat sebagai bagian hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat dalam kenyataannya masih hidup dalam masyarakat. Fakta sosiologis ternyata relatif tidak mendapat pengakuan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman. Perspektif teoretis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat hendaknya harus ditindaklanjuti oleh negara dengan peraturan perundang-undangan bersifat nasional. Konsekuensi logis dimensi ini berarti pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam UUD NKRI 1945, seharusnya eksistensi peradilan adat juga imperatif diakui dalam undang-undang. Tetapi realitanya, ternyata sampai kini belum ada undang-undang berlaku secara nasional yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat.
11
Pasal 18B ayat (2) berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”, Pasal 28I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, Pasal 24 ayat (3) berbunyi, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”, ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip, antara lain: 1. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 2. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam.” Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (RP JPN 2005-2025), yakni: 1. Arah pembangunan hukum harus memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku; dan 2. Pengakuan terhadap hak-hak adat dan ulayat atas sumber daya alam”. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2004-2009 (RP JMN 2004-2009), yakni: 1. Penghormatan dan penguatan kearifan lokal dan hukum adat dalam rangka mewujudkan tertib perundangundangan; dan 2. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah termasuk lembaga masyarakat adat”.
6
Keempat, dalam tataran kebijakan legislasi yang bersifat lokal eksistensi Peradilan Adat tetap diakui. Pada masa kini, justru peradilan adat diakui dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan untuk daerah Aceh Nangroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Adat Gampong atau Peradilan Damai.12 Ketentuan Pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman di Provisi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, berikutnya ayat (2) berbunyi, “Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu”. Kemudian, dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Daerah Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua disebutkan bahwa, “penyelenggaraan peradilan adat diurus oleh hakim adat”. Kelima, Akan tetapi walaupun kebijakan formulatif secara nasional tidak mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dan faktual kebijakan aplikatif melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat/obat adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan 12
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 di Aceh penjabarannya dibuat ketentuan perundanganundangan dalam bentuk Qanun yang berhubungan dengan hukum adat seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kemudian selain dibuat Qanun Aceh (Qanun tingkat Propinsi) terdapat juga Qanu-Qanun tingkat Kabupaten/Kota antara lain di dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh, pengadilan adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan Damai juga diimplementasikan dalam Keputusan Bersama seperti di Kabupaten Aceh Tengah adanya Keputusan Bersama antara Bupati, Ketua DPRK dan Ketua MAA Kabupaten Aceh Tengah No. 373 Tahun 2008, No 320/DPRK/2008, No.Pol B/810/2008 Res Aceh Tengah dan No. 110/MAA/V/2008 yang kemudian juga ditindaklanjuti Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), nomor 189/677/2011, 1054/MAA/XII/2011, dan B/121/I/2012, aparatur gampong (desa) wajib menyelesaikan setiap kasus tindak pidana ringan (tipiring) yang terjadi di gampong, melalui peradilan adat gampong. Hakikatnya peradilan adat Gampong berwenang mengadili perkara-perkara Batas Tanah, Pelanggaran ketentuan adat dalam bersawah dan pertanian lainnya, Kekerasan dalam rumah tangga yang bukan kategori penganiayaan berat, Perselisihan antar dan dalam keluarga, Pembagian harta warisan, Wasiat, Fitnah, Perkelahian, Pertunangan dan perkawinan, Pencurian, Ternak (ternak makan tanaman dan pelepasan ternak di jalan sehingga dapat mengganggu kelancaran lalu lintas), Kecelakaan lalu lintas (kecelakaan ringan), dan Ketidakseragaman turun ke sawah. Kemudian perkara di luar kewenangan peradilan adat Gampong adalah Pembunuhan, Perzinahan, Pemerkosaan, Narkoba, Ganja dan sejenisnya, Pencurian (berat, kerbau, kendaraan bermotor, dan lain-lain), Subversif, Penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Presiden dan Gubernur), Kecelakaan lalu lintas yang berat (kematian), Penculikan, Khalwat, dan Perampokan bersenjata.
7
Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard). Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat/obat adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan “sanksi adat/obat adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
B. Putusan Adat Dalam Praktik Peradilan Negara 1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili perkara hubungan kelamin di luar perkawinan. Pada tingkat pengadilan negeri hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar hukum yang hidup di wilayah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berdasarkan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang unsur-unsurnya: Unsur pertama suatu perbuatan yang melanggar hukum yang hidup. Unsur Kedua perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingannya dalam KUH Pidana. Unsur Ketiga perbuatan pelanggaran tersebut masih tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang yang bersangkutan. Adapun ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan oleh seorang laki-laki (penduduk Banggai) dengan seorang perempuan dewasa yang mengakibatkan hamilnya 8
siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dan melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai delik oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil. Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan dimana untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana maka hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 maka putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat. Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex yuris (Mahkamah Agung RI) langsung menetapkan hukuman bagi terdakwa melalui sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim bukan merupakan hukuman pengganti. Terhadap putusan konteks di atas maka H.R. Otje Salman Soemadiningrat13 menyebutkan sampai sekarang pun masih banyak hakim yang mendasarkan putusannya pada hukum pidana adat atau mengggap hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat). Dan diantara keduanya saling berkaitan satu sama lain. Sehubungan dengan hal tersebut, tidak ada perbedaan prinsip prosedur penyelesaian perkara-perkara pelanggaran adat. Jika terjadi pelanggaran para fungsionaris hukum (penguasa/kepala adat) berwenang mengambil tindakan konkret, baik atas inisiatif sendiri atau berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan.
13
H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 157-159
9
Hal ini semata-mata dilakuka untuk menetapkan hukum (verklaring van recht) berupa sanksi adat (adatreactie) yang dianggap dapat membetulkan hukum adat yang dilanggar tersebut. Sanksi adat ini dapat dilakukan oleh si pelanggar dengan cara membayar ganti rugi, kepada pihak yang terkena akibat pelanggaran tersebut (rechtsherstel), atau membayar uang adat kepada pihak yang terkena dan/atau masyarakat. Terakhir, bahwa setiap hukum adat selalu berkaitan atau mengandung unsur budaya dan keyakinan (magis religius) yang hidup dalam masyakarat. Begitu pula dalam hal berhubungan kelamin, sesuatu yang karena sifatnya dianggap sakral dan tabu (Pemali: Jawa) dilakukan oleh orang kecuali bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri atau dalam sebuah ikatan rumah tangga. Dalam perspektif yang demikian, berarti setiap hukum yang hidup dengan tidak mengandung unsur magis religius atau tidak berhubungan dengan unsur budaya dan keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat, bukanlah hukum adat.
2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 jo Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987. Kasus
posisi
Putusan
Pengadilan
Negeri
Kendari
Nomor
17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 bahwa seorang terdakwa telah melakukan perbuatan susila di desa Parauna, Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari. Akibat perbuatan tersebut maka Kepala Adat Tolake menangani peristiwa secara adat. Kemudian kepala adat menyatakan pelaku telah melanggar norma adat kesusilaan sehingga Kepala Adat Tolake menetapkan suatu reaksi adat berupa sanksi adat “Prohala” yaitu pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Perbuatan tersebut telah dilaksanakan oleh pelaku. Akan tetapi masalah tersebut diusut lagi oleh Kepolisian dan selajutnya diserahkan kepada pihak Kejaksaan. Kemudian oleh pihak kejaksaan perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan negeri Kendari dimana terdakwa didakwa dengan dakwaan telah melanggar tindak pidana berupa dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana dan dakwaan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951. Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 pada dasarnya menyatakan bahwa terdakwa terbukti sah dan 10
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adat “memperkosa” sebagaimana dalam dakwaan subsidair lagi dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:
Bahwa hakim Pengadilan Negeri Kendari menolak pledooi terdakwa yang mengemukakan bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi adat “Prohala” oleh kepala adat dan pemuka adat sehingga dengan diadilinya lagi terdakwa berdasarkan KUH Pidana di Pengadilan Negeri berarti terdakwa telah diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem).
Bahwa penolakan tersebut didasarkan bahwa menurut ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan badan peradilan negara sebagai satu-satunya badan yustisi yang berwenang mengadili perkara tindak pidana adalah Pengadilan Negeri.
Bahwa hakim menilai unsur dakwaan dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana tidak terbukti dan yang terbukti adalah dakwaan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUH Pidana maka perbuatan itu dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip perbuatan pidana itu. Kemudian
atas
Putusan
Pengadilan
Negeri
Kendari
Nomor
17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 itu terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Atas permohonan banding tersebut maka Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987 pada dasarnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri dengan sekedar memperbaiki kualifikasi dimana terdakwa dijatuhkan hukuman karena bersalah melakukan “perbuatan pidana adat Siri” dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:
Perbuatan terdakwa menurut hukum adat yang masih hidup di dalam masyarakat Tolaki adalah merupakan perbuatan yang sangat tercela yang menimbulkan “Siri” dan harus dikenakan sanksi adat yakni keluarga yang dipermalukan (Tomasiri) dapat mengakibatkan korban jiwa (Siri Ripoamateng/Siri dipomate).
Delik adat yang dilanggar oleh terdakwa adalah delik adat Siri Ripoamateng/Siri dipomate adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan dan merendahkan martabat keluarga perempuan.
11
Bahwa perbuatan pidana adat yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada bandingannya di dalam KUH Pidana dan oleh karena itu menurut hakim banding terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951. Atas Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT
Sultra tanggal 11 Nopember 1987 tersebut maka terdakwa menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 pada pokoknya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini berpendirian yudex factie dinilai telah salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada hakikatnya pendirian Mahkamah Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Bahwa terdakwa yang oleh Kepala Adar harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci karena telah melakukan pelanggaran adat itu adalah merupakan suatu hukuman adat (sanksi adat). Hukuman mana telah dijalani terdakwa.
Bahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum pada kejaksaan negeri Kendari tidak dapat diterima dan membebankan biaya perkara kepada negara. Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa
Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat/obat adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan “sanksi adat/obat adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
12
3. Putusan
Negeri
Denpasar
Nomor
104/PN.Dps/Pid/1980,
Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.B/1985/PN.Dps, Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Nomor 24/Pid./S/1992/PN.KLK. dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 25/Pid.B/1986/PN.Dps Hakikatnya, putusan konteks di atas melanggar ketentuan Delik Adat “Lokika Sanggraha” merupakan delik adat bersifat spesifik dan hanya terdapat di Bali, dan juga dikenakan bagi mereka yang tunduk pada hukum Adat Bali, sehingga dengan demikian, jikalau salah satu fihak saja tunduk kepada hukum adat Bali, maka di sini eksistensi Delik Adat Lokika Sanggraha tidak nampak di dalamnya. Dikaji dari perspektif teknis yuridis putusan-putusan tersebut mempergunakan terminologi “Logika Sanggraha”.14 Akan tetapi sebenarnya terminologi ini relatif kurang begitu tepat, karena yang benar adalah “Lokika Sanggraha”. Berdasarkan ketentuan Pasal 359 Kitab Adiagama, maka “Lokika Sanggraha” berasal dari bahasa sansekerta, yakni Lokika berasal dari kata “laukika” berarti orang umum, orang banyak. Sedangkan Sanggraha berasal dari kata “Samgraha” yang berarti pegang (dalam arti luas), sentuh, hubungan. Kemudian dalam Kamus Jawa-Indonesia, dijelaskan bahwa pengertian Lokika (I) adalah masyarakat, penduduk, dunia, adat (tata) cara, tuduhan dan dakwaan. Maka kalau dipergunakan istilah “Logika Sanggraha” dimana Logika berasal dari Logic, Logis (bahasa latin) sedangkan Sanggraha dari bahasa Samskerta, maka menurut persepsi saya dapat dikategorisasikan ke dalam gejala bahasa “salah kaprah”. Dimensi “Lokika Sanggraha” merupakan Delik Adat diatur dalam ketentuan Pasal 359 Kitab Adiagama, perumusan Delik Adat Lokika Sanggraha adalah: Malih lokika sanggraha, loewir ipoen, djadma mededemenan, sane mowani neherang deen ipoen, djening djirih patjang kesisipang, awanan ipoen ngererehang daja, saoebajan iloeh kesanggoepin ; wastoeraoeh ring papadoewantoengkas paksana, sane loeh ngakoe kasanggama, sane mowani nglisang mapaksa ngoetjapang dewek ipoen kaparikosa antoek iloeh, jan aspoenika patoet tetes terangang pisan, jan djati imowani menemenin wenang ipoen sisipang danda oetama sahasa 24.000, poenika mawasta Lokia Sanggraha, oetjaping sastra. Sedangkan terjemahan bebasnya : Lagi Lokika Sanggraha yaitu : orang bersanggama, yang peria tidak berlanjut sukanya, karena takut akan dipersalahkan, makanya mencari daya upaya, janji si wanita disanggupi, akhirnya sampai di pengadilan, berbeda pengakuannya si wanita mengaku disenggama, si peria seketika menyatakan malah dirinya yang 14
Lilik Mulyadi, Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali, Majalah Varia Peradilan, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Jakarta, Oktober, 1987, hlm. 164
13
diperkosa oleh si wanita. Kalau demikian harus diusut agar jelas, kalau benar si peria yang berbuat, patut ia dihukum denda ; 24.000,- itu yang disebut Lokika Sanggraha sesuai bunyi sastra. Dari ketentuan Pasal 359 Kitab Adiagama dan hasil Rumusan Seminar “Delik Adat Lokika Sanggraha” yang diadakan FH Unud tanggal 19 oktober 1985, maka pengertian secara umum delik Adat Lokika Sanggraha adalah hubungan percintaan antara pria dan wanita yang kedua-duanya sama-sama tidak berstatus kawin yang telah melakukan persetubuhan dengan janji kawin, akan tetapi janji tersebut tidak ditepati oleh satu fihak. Inti/hakikat yang tercermin melalui perumusan tersebut, ternyata delik adat Lokika Sanggraha merupakan delik formal karena unsur kehamilan bukanlah merupakan unsur esensial untuk adanya Delik Adat ini dimana yang penting adalah unsur “janji” tidak ditepati oleh si pria. Sedangkan munculnya pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha di pengadilan dikarenakan adanya pengaduan dari pihak wanita dimana si pria mengingkari janjinya. Dengan demikian Delik Adat ini merupakan delik aduan (Kracht-Delicten). Pada dasarnya, delik adat Lokika Sanggraha banyak terjadi dalam praktik peradilan di Bali. Kalau dikaji lebih detail, bagi masyarakat Bali Delik Adat Lokika Sanggraha merupakan perbuatan pidana yang mengganggu perasaan hukum dan perasaan keadilan dalam masyarakat adat yakni mengganggu keseimbangan kosmos baik alam lahir dan alam gaib. Apabila kalau dikorelatifkan ke dalam KUHP ternyata perbuatan tersebut tidak diatur di dalamnya. Dalam ketentuan Pasal 10 KUHP maka jenis pemidanaan berupa “pemulihan kewajiban adat” tidak dikenal di dalamnya. Kalau seorang pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha telah dijatuhi pidana penjara, ternyata bagi masyarakat adat kuranglah sempurna tanpa diikuti “pemulihan kewajiban adat” guna mengembalikan keadaan kosmos yang terganggu. Sehingga bagi masyarakat adat Bali menghendaki penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya diikuti pula penyelesaian bersifat immateriil serta berorientasi bersifat keagamaan. Penjatuhan pidana dalam hukum adat Bali bertujuan mengembalikan keseimbangan alam kosmos yakni alam lahir (“sekala”) dengan alam gaib (“niskala”) yang telah terganggu, oleh karena itu aspek agama Hindu berupa tata upacara keagamaan merupakan hal fundamental di dalamnya. Sebagai misal dapat disebut bahwa suatu Delik Adat Lokika Sanggraha yang dilakukan di sebuah tempat suci (Pura), kemudian oleh hakim pelakunya dijatuhi putusan sesuai Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart. Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adiagama yakni selama 3 (tiga) bulan penjara. Akan tetapi hal ini tidaklah cukup. Menurut Agama 14
Hindu maka pura merupakan tempat suci dan keramat, sehingga untuk itu pelakunya selain dijatuhkan putusan penjara tersebut haruslah pula dibebankan kewajiban untuk mengadakan upacara keagamaan di tempat tersebut sehingga alam kosmos yang terganggu (“sebel”), jadi pulih kembali. Penyelesaian demikian itu menurut pandangan masyarakat Adat Bali erat sekali hubungan dengan konsepsi Agama Hindu itu sendiri yakni berupa Tri Hita Karana atau Tiga Hal yang menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita Karana itu mempunyai dimensi berupa Parhyangan (keselarasan hubungan Pencipta dengan manusia sebagai mahluk ciptaannya), Pawongan (keselarasan hubungan manusia yang satu dengan yang lain) dan Pelemahan (keselarasan hubungan antara manusia dengan alam sekelilingnya). Hal-hal inilah yang melandasi mengapa penyelesaian Delik Adat Lokika Sanggraha bagi masyarakat Adat Bali di samping diinginkan berupa pidana penjara juga ditambah kewajiban adat di dalamnya.
4. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992 Kemudian terhadap pelanggaran adat dalam praktik peradilan juga dikenal dalam ruang lingkup dimensi hukum perdata. Misalnya, pada pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 199215. Pada tingkat Pengadilan Negeri (Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu No. 11/Pdt/G/1988/PN. Kef tanggal 13 Februari 1989) kasus posisi globalnya Edmundus, seorang pria menjalin cinta dengan Matilda, seorang gadis dari kecamatan Biboki-Timor Timur. Kemudian, akibat janji-janji Edmundus akan mengawininya maka Matilda bersedia digauli Edmundus, sehingga hamil. Matilda meminta Edmundus untuk meminangnya, akan tetapi tidak dilakukan. Kemudian Matilda memberitahukan kehamilannya pada orang tuanya. Orang tua gadis Matilda menghubungi orang tua Edmundus untuk menyelesaikan secara musyawarah, dengan ikut hadirnya pula Kepala Desa dan Kepala Kecamatan setempat. Orang tua Edmundus menerima baik saran dari keluarga Matilda tersebut. Namun pada hari yang sudah ditentukan, keluarga Edmundus ternyata tidak hadir. Karena merasa malu dan tidak ada tanggapan positif dari keluarga Edmundus untuk menyelesaikan masalah kehamilan Matilda maka Matilda beserta orang tua dan seluruh keluarga Matilda mengajukan gugatan kepada Edmundus beserta orang tua dan seluruh keluarganya di Pengadilan Kefamenanu.
15
Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IX, No. 95, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Agustus, 1993, hlm. 5-31
15
Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu No. 11/Pdt/G/1988/PN. Kef tanggal 13 Februari 1989 memutuskan bahwa Tergugat VII (Edmundus) telah melanggar Hukum Adat “Pualeu Manleu” dan “Tam-noni”16 dan Tergugat I-VI sebagai orang tua Tergugat VII ikut bersama-sama bertanggung jawab terhadap perbuatan melanggar Hukum Adat yang dilakukan Tergugat VII, kemudian seluruh Tergugat (Tergugat I-Tergugat VII) secara tanggung renteng membayar sanksi adat berupa 10 ekor sapi dan uang Rp. 1.000.000,00 dan tuntutan adat berupa 5 ekor sapi dan uang Rp. 1.000.000,00. Akan tetapi, Putusan Pengadilan Negeri ini kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi NTT dan Tim-Tim di Kota Kupang (Putusan PT NTT dan TIM-TIM Nomor 76/Pdt/1989/PT. K, tanggal 27 Juli 1989) dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena perbuatan para Tergugat bukan merupakan pelanggaran adat “Pualeu Manleu” dan “Tam-noni” melainkan pelanggaran adat “Tatam Fani Benas”, yaitu lakilaki yang tidak bersedia bertanggung jawab atas kehamilan si gadis dalam perbuatannya. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut dilakukan upaya hukum kasasi oleh Para Penggugat. Kemudian Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992, membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi karena dipandang yudex facti telah salah menerapkan hukum, dikarenakan:
Sebagai ganjaran (sanksi adat/obat adat) atas perbuatan pria yang telah merenggut perawan si gadis sebelum pernikahan tiba, dan kemudian meninggalkan si gadis tanpa alasan, maka akan dikenakan “sanksi adat” yang bersifat pemulihan keseimbangan, yang merupakan rehabilitasi nama baik si wanita (Pualeu Manleu). Sedangkan “Tatam fani benas” pihak pelaku kejahatan adat (pria) wajib menyerahkan ganti rugi kepada orang tua si gadis, hal ini tidak dapat dipertukarkan dengan tuntutan adat Pualeu Manleu.
Hakikat dan abstrak hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992 ditentukan dalam menghadapi kasus gugatan perdata yang fundamentum petendi dan petitumnya berdasarkan pada pelanggaran Hukum Adat dan penegakan “sanksi adat/obat adat”, bila dalam persidangan Penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya, maka hakim dalam memutus perkara tersebut harus 16
Hukum Adat Pualeu Manleu di Timor Timur, merupakan adat dimana ditentukan besarnya “belis” (sanksi adat/obat adat) yang harus dibayar oleh keluarga pria kepada keluarga wanita. Hukum Adat Tam-noni adalah merupakan adat yang menentukan besarnya “belis” yang harus dibayar oleh seorang pria yang telah kawin bila ingin keluar dari lingkungan keluarga si perempuan (istrinya) maka suami ini harus membayar “belis” berupa seorang anak hasil perkawinannya dan lima ekor sapi dan sejumlah uang.
16
menerapkan Hukum Adat yang masih berlaku di daerah bersangkutan setelah mendengar Tetua Adat stempat. Selain itu, pelanggaran kasus pelanggaran Hukum Adat, di samping melalui gugatan perdata, dapat pula ditempuh melalui tuntutan pidana sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Nomor 1/drt/1951.
5. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 198917 Posisi
global
kasus
ini
(Putusan
Pengadilan
Negeri
Mataram
No.
073/PN.MTR/PDT/1983 tanggal 1 Maret 1984) maka Masudiati (Penggugat) mengajukan gugatan kepada I Gusti Lanang Rajeg (Tergugat). Antara Penggugat dan Tergugat telah hidup bersama sebagai suami istri, dimulai dengan saling mengenal yang kemudian berlanjut menjadi masa pertunangan. Dalam masa pertunangan, Tergugat menyatakan keinginannya untuk mengambil Tergugat sebagai istri dengan bersumpah, menyerahkan kartu taspen dan karpeg serta sebuah sepeda motor honda yang masih baru kepada Penggugat, dan disamping itu Tergugat berjanji kepada Penggugat bahwa setelah Penggugat dibawa kawin lari oleh Tergugat maka dalam tempo 4 (empat) bulan Tergugat akan menikahinya baik nikah secara agama maupun secara adat. Atas janji-janji tersebut maka Penggugat percaya serta menyetujui keinginan Tergugat untuk hidup bersama dan selanjutnya Penggugat dibawa kawin lari oleh Tergugat dari Praya ke Cakranegara dan sejak saat itu Tergugat dan Penggugat hidup bersama di rumah Tergugat sementara menunggu pernikahan atau pengesahan perkawinan sebagaimana janji Tergugat. Akan tetapi, dengan pelbagai alasan, Tergugat tidak bersedia menikahi Penggugat, walaupun Pamong Desa telah terlibat dalam hal ini. Selama hidup bersama tersebut, penghidupan keluarga ditanggung sendiri oleh Penggugat dan setelah Penggugat tidak sanggup lagi untuk membiayai penghidupan Penggugat dan Tergugat serta keluarga Tergugat maka Tergugat dengan cara halus membujuk Penggugat supaya pulang kembali ke Praya. Akan tetapi, setelah Penggugat pulang ke Praya, dan Pengugat mendesak Tergugat agar menikahinya, ternyata Tergugat menjawab bahwa: “kalau Tergugat nikah dengan Penggugat maka ia dibuang oleh keluarganya sehingga Tergugat tidak bisa menikah dengan Penggugat”. Oleh karena pernyataan Tergugat tersebut maka Penggugat memutuskan hubungan/isteri antara Penggugat dan Tergugat tanpa nikah tersebut dari pada menanggung 17
Mahkamah Agung RI, Penemuan Masalah Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum Reader III Jilid I, Tim Pengkajian Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 647-656
17
malu karena masyarakat telah mengetahui bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat adalah perkawinan yang tidak sah karena tidak nikah. Selain itu, selama menjalani hidup bersama tersebut, uang yang dikeluarkan Penggugat untuk membiayai Penggugat dan Tergugat dalam penghidupannya serta biaya orang tua dan anak Tergugat keseluruhannya berjumlah Rp. 1.465.160, (satu juta empat ratus enam puluh lima ribu seratus enam puluh rupiah) dan ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 073/PN.MTR/PDT/1983 tanggal 1 Maret 1984 maka gugatan Penggugat dikabulkan sebagian oleh karena Tergugat telah melakukan tidak menepati janji untuk menikahi Penggugat dan menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebagai pemulihan nama baik Penggugat sejumlah Rp. 2.5000.000, (dua juta lima ratus ribu rupiah). Atas putusan ini, maka Tergugat melakukan upaya hukum banding. Kemudian, Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat melalui Putusan Nomor: 65/PDT/1984/PT.NTB tanggal 26 Juli 1984 membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram dengan dasar pertimbangan, “bahwa tindakan Penggugat Terbanding mengambil keputusan untuk hidup bersama dengan Tergugat Pembanding serta tinggal di rumah Tergugat Pembanding dengan resiko tidak jadi nikah adalah tanggungan Penggugat Terbanding sendiri serta tidak dapat dibebankan kepada Tergugat Pembanding.” Putusan Pengadilan Tinggi ini kemudian dilakukan upaya hukum kasasi. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1989 kemudian membatalkan putusan yudex facti karena salah menerapkan hukum dengan alasan sebagai berikut:
Bahwa dari keterangan saksi I Drs. Nanang Muhamad sebagai atasan tergugat asal, ternyata tergugat asal telah mengakui bahwa dia berjanji untuk mengawini penggugat asal, tetapi karena dinilai tidak baik untuk dijadikan istri tergugat asal dan lagi pula tidak mendapat persetujuan dari keluarganya, maka tergugat asal tidak jadi mengawini penggugat asal; Bahwa dari surat bukti yang diajukan penggugat asal sebagai petunjuk terbukti tergugat asal telah selalu menyebut penggugat asal sebagai isterinya, sehingga dapat disimpulkan tergugat asal berkeinginan untuk mengawininya; Bahwa dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan perbuatan tergugat asal tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat asal, maka tergugat asal wajib memberi ganti kerugian seperti apa yang tertera dalam amar putusan nanti; Bahwa mengenai tuntutan ganti rugi yang diajukan penggugat asal terhadap semua biaya yang telah dikeluarkan selama hidup bersama itu, oleh karena tidak diperjanjikan sebelumnya, maka tuntutan tersebut harus ditolak. 18
Atas dasar pertimbangan tersebut maka kemudian Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara dan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, dan menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum serta menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebagai pemulihan nama baik Penggugat sebesar Rp. 2.500.000, (dua juta lima ratus ribu rupiah). Abstrak hukum dan perspektif Mahkamah Agung dalam mengadili perkara ini berdimensi bahwa perkawinan yang dilakukan melalui hukum adat secara kawin lari (merarik/ngerorod), kemudian tidak menepati janji untuk melangsungkan perkawinan padahal dalam perkara ini janji untuk melaksanakan perkawinan diikuti hidup bersama selama 2 (dua) tahun, yang menurut hukum di Indonesia dilarang, kemudian dilanjutkan dengan pertunangan, maka Mahkamah Agung RI bersifat progresif karena pihak wanita sesuai dengan bukti-bukti cukup mempunyai alasan untuk mempercayai pihak pria meskipun lembaga hidup bersama belum diakui di Indonesia. Di satu sisi, Hakim dalam putusan-putusannya wajib menjaga agar lembaga hidup bersama jangan dianggap sebagai suatu hubungan yang sah seperti di negara barat. Di sisi lainnya, Hakim wajib menjaga agar pihak yang berada dalam posisi lemah, harus dapat dilindungi oleh tindakan yang bersifat “melecehkan”, “tidak mau bertanggung jawab” dari pihak lainnya.
6. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 778 K/Pdt/1989 tanggal 9 Januari 199318 Posisi global kasus ini (Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 56/Pdt/G/1987/PN.YK tanggal 12 September 1987) maka Para Penggugat merupakan ahli waris dari Ny. Irodinomo menggugat Hadiutomo al. Poniman (Tergugat) tentang hak milik sebidang tanah di Jalan RE Martadinata, Kelurahan Kuncen, Kecamatan Wirobrajan, Yogyakarta. Semasa Ny. Irodinomo masih hidup telah memberi izin kepada seseorang bernama Ny. Asir untuk ikut berdiam di atas sebagian dari tanah miliknya (ngindung) karena dilandasi iba dan belas kasihan dengan cara membangun rumah bambu dan tanpa sepengetahuannya Ny. Asir juga mengajak Poniman (Tergugat) untuk ikut berdiam di rumah tersebut. Ny. Irodinomo dan Ny. Asir wafat. Kemudian sepeninggalan Ny. Irodinomo maka ahli warisnya (Soegiman Cs) mengetahui bahwa rumah yang berdiri di atas “sebagian” dari milik ibunya, ternyata telah dihuni oleh Poniman dan di samping 18
Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IX, No. 98, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), November, 1993, hlm. 35-46
19
sebagai rumah kediaman, juga dipergunakan untuk tempat usaha berupa bengkel sepeda motor. Melihat kenyataan demikian, maka Soegiman Cs melalui musyawarah minta kepada Poniman, agar ia menyerahkan kembali tanah yang didudukinya. Poniman menolak dan bahkan mengirim “uang sewa tanah” melalui pos wesel kepada Soegiman Cs. Uang sewa yang dikirim oleh Poniman tersebut, telah ditolak oleh Soegiman Cs. Karena musyawarah desa tidak berhasil maka Soegiman Cs (anak-anak Ny. Irodinomo) melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta yang pada pokoknya menyatakan bahwa hubungan hukum “indung” (pinjam pakai tanah sengketa) antara Ny. Irodinomo (Pemilik) dan Ny. Asir (Pengindung) telah berakhir/putus semenjak mereka berdua telah meninggal dunia. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 56/Pdt/G/1987/PN.YK tanggal 12 September 1987 mengabulkan gugatan Penggugat dengan ratio decidendi bahwa lembaga Adat Ngindung, menurut Hukum Adat, berlakunya hanya kepada para pihak yang mengadakan hubungan hukum saja. Dalam hal ini antara Ny. Irodinomo dan Ny. Asir. Oleh karena itu, dengan meninggalnya Ny. Asir (sebagai Pengindung), maka status ngindung yang melekat pada dirinya itu, tidak dapat diwariskan kepada ahli warisnya kalau Pengindung itu mempunyai anak kandung. Apalagi dalam kasus ini, hubungan antara Tergugat dengan Ny Asir almarhum ternyata tidak ada hubungan waris, sehingga dengan meninggalnya Ny. Asir, maka hubungan ngindung yang telah terjadi semasa hidupnya, menjadi putus dan berakhir. Oleh karenanya, sejak saat itu penghunian oleh Tergugat Poniman di atas tanah sengketa menjadi penghuni tanpa didukung oleh titel yang sah. Tergugat menolak putusan Hakim Pertama tersebut dan melakukan upaya hukum banding. Kemudian, Putusan Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 85/Pdt/1988/PT.Y tanggal 3 November 1988, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta. Hakim banding pada Pengadilan Tinggi DIY berpendapat dan mempertimbangkan bahwa mengenai masalah kepemilikan tanah, tidak dapat dibuktikan hanya dengan bukti berupa pembayaran pajak atau Surat Pembayaran Pajak Tanah (IPEDA) saja. Dalam kasus ini, Penggugat hanya mengajukan bukti IPEDA atas nama Ny. Irodinomo untuk membuktikan bahwa tanah sengketa adalah hak miliknya, sehingga bukti demikian kurung cukup untuk membuktikan pemilikan tanah sengketa. Kemudian Pengadilan Tinggi membatalkan putusan hakim pertama dan selanjutnya mengadili sendiri, yang amarnya bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima.
20
Kemudian Putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI dan diputus dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 778 K/Pdt/1989 tanggal 9 Januari 1993 berpendapat putusan yudex facti (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan. Selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri perkara dengan didasari pertimbangan yuridis yang inti sarinya adalah sebagai berikut:
Bahwa bukti yang diajukan oleh Penggugat dalam persidangan, untuk membuktikan pemilikan tanah, bukan hanya bukti surat, namun juga bukti para saksi Dari bukti-bukti tersebut, ternyata tanah milik Ny. Irodinomo almarhum. Hubungan hukum atas tanah sengketa adalah berstatus hubungan ngindung, Ny. Asir almarhum ngindung kepada orang tua para Penggugat di atas tanah tersebut. Tuntutan ganti rugi atas penempatan tanah sengketa tanpa titel yang sah oleh Tergugat Asal sebesar Rp. 30.000,- perbulan adalah tuntutan yang pantas dan patut untuk dikabulkan Akhirnya Mahkamah Agung RI memberi putusan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan mengadili sendiri perkara ini, yang amarnya mengabulkan gugatan penggugat.
Abstrak hukum dan ratio decidendi putusan Mahkamah Agung RI menentukan bahwa “pemilik tanah yang mengizinkan sebagian tanahnya didiami/dihuni oleh seseorang tanpa dipungut bayaran uang, yang dasarnya hanya berupa rasa kasihan dan kekeluargaan saja”, maka menurut Hukum Adat, hal ini telah terjadi hubungan hukum/Lembaga Adat yang disebut “Ngindung”. Lembaga Adat “Ngindung” ini merupakan hubungan hukum yang langsung antara pemilik tanah dengan penghuni-penumpang (Pengindung). Hak Pengindung ini tidak dapat diwariskan (dilanjutkan) oleh orang lain.
7. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1387 K/Pdt/1998 tanggal 31 Maret 199819 Kasus global posisi: dua suku (suku Mbay dan suku Dhawe) sejak dahulu menghuni hamparan hutan seluas 36.000 M2 dikawasan kecamatan Aesesa, Kabupaten Daerah Tk II Ngada, Bajana. Kemudian, seorang warga dibantu warga suku Mbay membuka sebagian hutan untuk kebun, yang setelah pendudukan Jepang menjadi perkebunan kapas. Setelah Jepang menyerah, kebun kembali dikerjakan oleh pembuka hutan semula yaitu Amir Mandar beserta keluarganya dari suku Mbay. 19
Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XIV, No. 167, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Agustus, 1999, hlm. 32-44
21
Pada tahun 1962, Kepala Suku Dhawe, Rapu Rae menyerahkan tanah adat kepada Bupati Ngada. Pada tanggal 14 Mei 1987 dibuat Surat Penyerahan dari suku Dhawe kepada Bupati Kepala daerah Tk II Ngada. Penyerahan tanah Adat dilakukan dengan memotong kerbau disaksikan kepada Adat setempat, Kepala Desa Dhawe, Kades Mbay. Pada waktu Amir Mandar dari suku Mbay akan mengerjakan kebunnya, Pejabat Pemda Tk II Ngada melarang dengan alasan milik Pemda, berdasarkan Surat Penyerahan pada tanggal 14 Mei 1987. Dari dimensi demikian, maka suku Mbay lalu mengajukan gugatan. Abstrak hukum dan ratio decidendi putusan Mahkamah Agung RI menentukan bahwa:
Tanah atau kawasan hukum yang terletak di Kabupaten Dati II Ngada yang terletak dalam wilayah suku Mbay adalah tanah persekutuan hukum adat (rechtsgemeenschap) merupakan tanah ulayat yang menurut hukum adat suku Mbay disebut tanah bebas ; Bila seorang warga suku Mbay dengan izin dan bantuan suku Mbay membuka hutan dan menggarap tanah bebas tersebut sebagai kebun, maka tanah kebun ini menurut hukum adat suku Mbay disebut tanah tidak bebas atau terang yaitu bidang tanah yang telah menjadi hak milik seorang warga suku yang bersangkutan ; Bidang tanah tidak bebas dari suku Mbay yang telah menjadi milik perorangan warga suku Mbay yang bersangkutan tidak dapat diserahkan oelh suku Dhawe kepada Pemba sebagai tanah negara tanpa izin dari pemilik tanah yang bersangkutan.
Kasus konteks di atas merupakan kasus tanah dengan hak ulayat (beschikkingsrecht) berhadapan dengan hak perorangan (inlands bezitrecht), sehingga kasus ini memberikan deskripsi bahwa hukum adat beserta peradilan adat masih tetap diakui dihadapan hukum formal (nasional).
C. Menggagas Konsep Ideal Peradilan Adat Masa Mendatang 1. Peradilan Adat Bersifat Mandiri Konsep peradilan adat bersifat mandiri bukanlah keniscayaan. Dikaji dari perspektif yuridis, filosofis, sosiologis dan teoretis aspek dan dimensi ini bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD NKRI 1945, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001, UU Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2005.20 Konklusi dasar dari ketentuan tersebut hakikatnya diatur, 20
Pasal 18B ayat (2) berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
22
diakui dan dihormatinya eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Kemudian, adanya penghormatan terhadap identitas budaya, keragaman budaya bangsa dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia sehingga selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berikutnya, diakuinya eksistensi tentang badan-badan peradilan sebagai bagian kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, dimensi ketentuan tersebut dikaji dari perspektif yuridis, berarti secara konstitusional politik hukum mengakui hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat in casu peradilan adat. Perspektif filosofis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia oleh negara termasuk juga hak dalam hal melaksanakan peradilan yang kemudian harus dijabarkan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman Indonesia. Perspektif sosiologis, peradilan adat sebagai bagian hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat dalam kenyataannya masih hidup dalam masyarakat dimana fakta sosiologis ternyata relatif tidak mendapat pengakuan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman. Perspektif teoretis, adanya penghormatan, pengakuan dan eksistensi hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat hendaknya harus ditindaklanjuti oleh negara dengan peraturan perundang-undangan bersifat nasional. Konsekuensi logis dimensi ini berarti pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam UUD NKRI 1945, seharusnya eksistensi peradilan adat juga imperatif diakui dalam undang-undang. Tetapi realitanya, ternyata sampai kini belum ada undang-undang berlaku secara nasional yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat. Dari perspektif historis sebenarnya peradilan adat pernah diakui eksistensinya. Pada zaman Hindia Belanda, peradilan adat dikenal dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, Peradilan Pribumi (Inheemshe rechtspraak). Peradilan ini dilaksanakan oleh Hakim Eropa dan juga Hakim Indonesia, tidak atas nama Raja/Ratu, tidak berdasarkan tata hukum Eropa, undang”, Pasal 28I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, Pasal 24 ayat (3) berbunyi, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”, ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip, antara lain: 1. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 2. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam.” Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (RP JPN 2005-2025), yakni: 1. Arah pembangunan hukum harus memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku; dan 2. Pengakuan terhadap hak-hak adat dan ulayat atas sumber daya alam”. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2004-2009 (RP JMN 2004-2009), yakni: 1. Penghormatan dan penguatan kearifan lokal dan hukum adat dalam rangka mewujudkan tertib perundangundangan; dan 2. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah termasuk lembaga masyarakat adat”.
23
melainkan dengan tata hukum adat yang ditetapkan Residen dengan persetujuan Direktur Kehakiman di Batavia. Eksistensi peradilan ini berdasarkan ketentuan Pasal 74 RR/Pasal 130 IS yang menentukan, “dimana saja penduduk asli tidak dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, diseluruh Indonesia diberikan peradilan atas nama Raja. Dimana penduduk dibiarkan mempunyai peradilan sendiri disitu terdapat peradilan asli (Inheemshe rechtspraak). Kedua, Peradilan Desa (dorpjustitie). Peradilan ini dilaksanakan oleh Hakim Desa atau Hakim Adat baik untuk lingkungan peradilan gubernemen (gouvernements-rechtspraak),
peradilan pribumi/peradilan adat,
maupun peradilan
swapraja (zelfbestuur rechtspraak) di luar Jawa dan madura, yang berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat dan urusan desa. Walaupun sesungguhnya peradilan desa sudah lama berlaku dalam kehidupan masyakarat di pedesaan, namun Pemerintah Hindia Belanda baru mengakui sejak tahun 1945, ketika disisipkannya Pasal 3a RO dengan Stb 1935 Nomor 102. Dalam zaman pendudukan Jepang peradilan adat tetap diakui dan berlangsung, walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942 (dirubah dengan UU Nomor 34 Tahun 1942), telah menyederhanakan sistem peradilan dimana perbedaan peradilan gubernemen dan peradilan untuk orang pribumi telah dihapuskan. Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa di Sumatra peradilan adat dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan berdasarkan Pasal 1 undang-undang tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah (Sjihososjikirei) yang dimuat dalam Tomi-seirei-otsu No. 40 tanggal 1 Desember 1943.21 Pada masa selanjutnya, era UU drt 1 Tahun 1951, eksistensi peradilan adat mulai tidak diakui dan dihapus. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU drt 1 Tahun 1951 menyebutkan bahwa, “Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman
dihapuskan...segala
Pengadilan
Adat
(Inheemse
rechtspraak
in
rechtstreekbestuurd gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat”. Kemudian, penjelasan otentik pasal tersebut menyebutkan dasar pertimbangan penghapusan peradilan adat karena peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat. Akan tetapi, penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, hakikatnya tidak menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk lain yaitu peradilan desa (dorpjustitie). Aspek dan dimensi ini bertitik tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1
21
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan ...., Loc. Cit.
24
Tahun 1951 yang menegaskan bahwa, “Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie”. Konklusi dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat menentukan peradilan adat yang dihapuskan berdasarkan undang-undang darurat adalah peradilan adat dalam arti inheemsche rechtspraak, sedangkan kewenangan peradilan adat yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan masyarakat hukum adat yaitu peradilan desa (dorpjustitie) tetap dilanjutkan. Perkembangan berikutnya, lewat perjalanan panjang undang-undang kekuasaan kehakiman (UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun 1999, UU Nomor 4 Tahun 2004 dan UU Nomor 48 Tahun 2009), tetap juga tidak mengakui eksistensi peradilan adat. Dalam undang-undang tersebut ditentukan peradilan negara sebagai satu-satunya lembaga peradilan di wilayah Indonesia, sehingga peradilan adat jelas tidak diakui eksistensinya.22 Pada masa kini, justru peradilan adat diakui dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan untuk daerah Aceh Nanggroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Adat Gampong atau Peradilan Damai. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman di Provisi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, kemudian ayat (2) berbunyi, “Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu”. Kemudian, dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Daerah Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua disebutkan bahwa, “penyelenggaraan peradilan adat diurus oleh hakim adat”. Kemudian Pasal 51 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 selengkapnya menyebutkan bahwa: 22 Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970. Akan tetapi dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 ditentukan, “Semua peradilan diseluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.” Kemudian, penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa, “ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase”. Terminologi “perkara” dalam penjelasan tersebut dapat dimaknai perkara perdata maupun perkara pidana, sehingga dimensi ini masih memberi peluang untuk diakuinya praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan seperti dilakukan melalui peradilan adat. Tegasnya, implisit UU Nomor 4 Tahun 2004 masih memberi peluang dilakukan praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui dimensi peradilan adat. Akan tetapi, peluang diterapkannya peradilan adat ditutup kembali dengan keluarnya UU 48 Tahun 2009 implisit tidak mengakui dan pengakuan terhadap peradilan adat yang dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) hanya menyatakan “cukup jelas”.
25
(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa peradilan adat dan perkara pidana diantara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. (2) Peradilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat adat yang bersangkutan. (3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. (4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara keberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksa sebagaimana dimaksud pad ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan. (5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. (6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap. (7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilian adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan. Hakikat fundamendal dari dimensi di atas bahwa peradilan adat diakui dalam ruang lingkup bersifat lokal, akan tetapi di sisi nasional, ternyata peradilan adat relatif kurang mendapatkan pengakuan. Selain itu, dimensi tersebut mensiratkan bahwa kekurangsinkronan antara politik hukum dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD NKRI 1945) yang seharusnya dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan, akan tetapi kenyataan sampai sekarang belum dijabarkan (ius constitutum) lebih lanjut oleh Negara. Dikaji dari perspektif masa mendatang (ius constituendum) peradilan adat realitanya masih berkisar dalam tataran konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disusun oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada RUU Perlindungan Masyarakat Adat yang disusun oleh DPD pada tahun 2009 dalam Pasal 7 diatur tentang Lembaga Adat, sedangkan dalam ketentuan Pasal 8 diatur tentang Peradilan Adat. 26
Pada ketentuan Pasal 7 selengkapnya berbunyi: (1) Lembaga adat mempunyai kewenangan untuk mengatur, mengurus, dan mengadili anggota masyarakat adat. (2) Dalam melaksanakan tugasnya lembaga adat mempunyai kewenangan untuk mewakili anggota masyarakat adatnya baik secara kolektif maupun individu dalam setiap perbuatan hukum dan peristiwa hukum yang terjadi. (3) Tata cara pemilihan, struktur dan tata kerja dari lembaga adat sesuai dengan pranata adat yang berlaku pada masing-masing masyarakat adat. Ketentuan Pasal 8 berbunyi: (1) Peradilan adat merupakan bagian dari lembaga adat. (2) Peradilan adat mempunyai kewenangan untuk mengadili semua perkara yang terjadi yang dilakukan oleh anggota masyarakat adat dan diwilayah adat yang bersangkutan. (3) Keputusan dari peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mengikat dan final. (4) Dalam hal suatu perkara terjadi dalam suatu wilayah adat dari suatu masyarakat adat dimana salah satu pihak bukan merupakan anggota masyarakat adat yang bersangkutan, maka penyelesaian perkara dimaksud dilakukan melalui lembaga peradilan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kemudian pada RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang disiapkan DPR tahun 2012 dalam Bab III Paragraf 5 tentang Hak Untuk Menjalankan Hukum dan Peradilan Adat Pasal 18 disebutkan bahwa: (1) Masyarakat hukum adat berhak untuk menyelenggarakan sistem peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak adat dan pelanggaran atas hukum adat. (2) Pengaturan lebih lanjut mengenai hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Konsep RUU tentang Perlindungan Masyarakat Adat yang diajukan DPD maupun RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang diajukan oleh DPR hakikatnya tetap menjungjung tinggi akan eksistensi untuk diberlakukannya Peradilan Adat bagi masyarakat Indonesia. Apabila dideskripsikan konteks menggagas model ideal Peradilan Adat bersifat mandiri ini maka dapat dilihat dalam bentuk Bagan 1 berikut ini.
27
Bagan 1 Peradilan Adat Bersifat Mandiri LINGKUNGAN PERADILAN
Peradilan Umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Adat
Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi Agama
Mahkamah Militer Tinggi
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Adat
Mahkamah Agung
Pada hakekatnya, pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bersifat ingin lebih mendudukan posisi hukum adat, institusi adat dan fungsionaris hukum adat secara sosiologis, filosofis, teoretis dan normatif sejajar (selevel) dengan sistem hukum nasional. Tepatnya, kearifan lokal hukum adat sejajar dengan hukum formal in caqu masuk dalam lembaga kekuasaan kehakiman. Prakteknya, kearifan lokal hukum adat dalam perkara pidana banyak dilakukan di luar sistem peradilan pidana yang diselesaikan lembaga pengadilan adat. Dalam perspektif internasional, dimensi ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Declaration on The Rights of Indigenous People (Deklarasi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Sipil), yang disahkan pada tanggal 7 September 2007 menentukan bahwa, “Masyarakat adat berhak untuk mempertahankan dan memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya mereka, sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka juga memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari Negara”. Berikutnya, dalam Pasal 34 ditentukan pula, “masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi,
28
prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional”. Akan tetapi, walaupun demikian konsep ideal pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bukan berarti tidak mempunyai kelemahan, kendala dan menimbulkan pertanyaan serta implikasi yang berkorelasi dengan dasar hukum dan kewenangan pelaksanaan Peradilan Adat, prinsip atau asas Peradilan Adat, fungsionaris Peradilan Adat, proses atau mekanisme Peradilan Adat dan akhirnya administrasi untuk Peradilan Adat. Dikaji dari perspektif normatif, emperis dan teoretis maka eksistensi institusi peradilan adat menimbulkan pertanyaan dan beberapa keraguan. Lebih lanjut dimensi demikian dielaborasi sebagaimana tercermin dalam pandangan Siclair Dinnen berikut ini, yaitu:23 (a) Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan adat dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana kerangka berfikir dari mereka kerap kali tidak melihat kepada perkembangan kondisi yang ada pada masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini mempengaruhi putusan yang dibuat seperti mendiskriminasi perempuan dan anak-anak (khususnya dalam masyarakat patrilineal); (b) Dugaan bahwa dalam peradilan adat pun budaya nepotisme dan korupsi rentan terjadi; (c) Kekuatan memaksa dari putusan peradilan adat kerap kali diragukan; (d) Prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun sangat berbeda (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif ataupun negatif) ; dan (e) Bahwa institusi peradilan adat hanya akan efektif dan mengikat dalam masyarakat tradisional yang homogeen akan tetapi akan sangat berbeda jika diterapkan dalam lingkup urban-area. Terlepas, dari adanya kelemahan, kendala, pertanyaan dan kelebihan dimensi konteks di atas maka pemilihan atau pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri hakekatnya merupakan suatu pilihan terhadap bagaimana dinamika politik hukum kedepan terhadap eksistensi mengenai cara memandang Peradilan Adat di satu sisi dengan hukum formal di sisi lainnya.
2. Peradilan Adat Dalam Kamar Peradilan Umum Dalam konteks ini, peradilan adat dimasukkan dalam kamar peradilan umum. Hakikatnya peradilan adat disini bersifat “quasi” atau “callaborative approach”. Artinya, 23
Sinclair Dinnen, Interfaces Between Formal and Informal Justice System To Strengthen Access to Justice By Disadvantaged System, Makalah disampaikan dalam Practice In Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Langka, 19-21 November 2003, hlm. 2-4
29
dalam lingkungan peradilan umum, nantinya akan ada 2 (dua) kamar, yaitu kamar Pengadilan Negeri dan Kamar Pengadilan Adat. Khusus untuk Pengadilan Adat dalam kamar Peradilan Umum ini, hakim yang akan mengadili perkara adat bersifat campuran antara Hakim Karier dengan Hakim Ad Hoc. Akan tetapi, bedanya Hakim Ad Hoc di sini tidaklah bersifat permanen seperti yang dikenal seperti sekarang, melainkan temporer. Tegasnya, Hakim Ad Hoc akan bersidang sepanjang ada perkara adat dan bila telah selesai menangani perkara adat maka Hakim Ad Hoc tersebut berstatus kembali seperti semula. Peradilan adat bersifat “quasi” atau “callaborative approach” dirasakan efektif, efisien dan sesuai dengan kondisi faktual zaman. Pada model ini, maka terhadap upaya hukum ada dua kemungkinan pilihan yang dapat dilakukan. Pertama, dilakukan upaya hukum banding pada Pengadilan Tinggi Adat sebagai Pengadilan Tingkat Banding Adat. Pada Pengadilan Tinggi Adat juga diadili oleh Hakim campuran antara Hakim Karier dengan Hakim Ad Hoc. Begitu pula upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI, sehingga konsekuensi logisnya maka peradilan kasasi harus ada juga Kamar Kasasi Adat. Kemungkinan lainnya dapat pula pada tingkat kasasi diadili oleh Hakim Agung dalam Kamar Pidana/Pidana Khusus dan Kamar Perdata/Perdata Khusus tergantung jenis perkara yang masuk. Konsekuensi logis dimensi ini, maka selanjutnya diperlukan penambahan pengetahuan, penguasaan hukum adat dan pengalaman terhadap Hakim Karier pada Kamar Pengadilan Adat, Pengadilan Tinggi Adat dan Hakim Agung pada Kamar Pidana/Pidana Khusus dan Kamar Perdata/Perdata Khusus. Apabila dimensi demikian yang dipilih maka bentuk Peradilan Adat dalam Kamar Peradilan Umum dapat dilihat sebagaimana Bagan 2 berikut ini.
30
Bagan 2 Peradilan Adat Dalam Kamar Peradilan Umum LINGKUNGAN PERADILAN
Peradilan Umum
Pengadilan Negeri
Pengadilan Adat
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Pengadilan Tinggi Agama
Mahkamah Militer Tinggi
Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi
Mahkamah Agung
Kedua, agar lebih efisien, ramping, efektif dan dengan perspektif bahwa perkara adat berdimensi khusus maka dapat pula dibuka kemungkinan bahwa perkara adat tidak boleh dilakukan upaya hukum banding, sehingga tidak diperlukan adanya Pengadilan Tinggi Adat. Terhadap perkara adat baik perkara pidana adat maupun perkara perdata adat yang telah diputus oleh Pengadilan Adat Dalam kamar Peradilan Umum, upaya hukumnya hanya dapat dilakukan upaya hukumnya langsung kasasi ke Mahkamah Agung RI. Apabila model ini yang hendak dipilih maka bentuk Peradilan Adat dalam Kamar Peradilan Umum dapat dilihat sebagaimana Bagan 3 berikut ini.
31
Bagan 3 Peradilan Adat Dalam Kamar Peradilan Umum Tanpa Adanya Pengadilan Tinggi Adat
LINGKUNGAN PERADILAN
Peradilan Umum
Pengadilan Negeri
Pengadilan Adat
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Pengadilan Tinggi Agama
Mahkamah Militer Tinggi
Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi
Mahkamah Agung
Pada hakikatnya, pemilihan model peradilan adat dalam kamar peradilan umum sebagaimana Bagan 2 dan Bagan 3, mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada Bagan 2 dengan dimungkinkan dapat dilakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Adat, maka selintas lebih mengakomodasikan dimensi hak asasi manusia karena pelaku tindak pidana atau penggugat/tergugat dalam perkara perdata adat, tetap diakomodir haknya dalam segala bentuk peradilan. Tetapi kekurangannya, akan berakibatkan kepada sarana, prasarana dan dimensi keuangan negara untuk membentuk Pengadilan Tinggi Adat. Akan tetapi apabila Bagan 3 yang dipilih maka selintas adanya batasan terhadap upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pelaku atau penggugat/tergugat dalam perkara perdata adat, sehingga akan berdimensi pembatasan terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi kelebihannya, dapat dihematnya keuangan negara karena tidak diperlukan adanya sarana, prasarana dan Sumber Daya Manusia untuk membangun Pengadilan Tinggi Adat. Selain itu, dengan dilakukan upaya hukum langsung ke Mahkamah Agung RI, maka
32
menempatkan perkara adat merupakan perkara khusus yang penanganannya harus didahulukan, bersifat spesifik, serius dan eklusif. Selain dimensi di atas, maka implikasi adanya Peradilan Adat Dalam Kamar Peradilan Umum, akan berakibat perlunya pemikiran lebih mendalam terhadap jenis-jenis perkara apa saja yang dapat ditangani dan merupakan yurisdiksi Pengadilan Negeri dan oleh Pengadilan Adat. Dalam konteks ini memang diperlukan adanya pemikiran lebih mendalam diperlukan agar nantinya tidak muncul dan menambah persoalan baru ketika model peradilan tersebut telah berjalan.
3. Peradilan Umum Mengadili Perkara Adat Dengan Mengakomodir Nilai-Nilai Adat Pada model ini,
Peradilan Umum Mengadili Perkara Adat Dengan
Mengakomodir Nilai-Nilai Adat adalah model umum yang telah dijalankan seperti sekarang ini di Indonesia. Selain kasus-kasus yang telah diterangkan dan dibahas di atas, maka model ini juga banyak dilakukan di beberapa daerah. Misalnya, untuk daerah Sumatera Barat yang paling kental adalah dalam bidang hukum perdata dimana hukum yang diterapkan adalah hukum adat Sumatera Barat dan daerah Bali dalam bagian tertentu untuk hukum pidananya. Dari dimensi ini, dapat dikatakan bahwa ada percampuran antara ketentuan hukum nasional dengan hukum adat. Tepatnya lagi, hukum nasional beserta proseduralnya mengakomodir nilai-nilai hukum adat ketika hakim menjatuhkan putusan. Aspek dan dimensi ini terlihat misalnya pada Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn. Srln dan Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn. Srln sebagai berikut:24 Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif Pengadilan Negeri Sorolangun Jambi menjatuhkan vonis kepada Tumenggung Celitai dan Mata Gunung selama tiga bulan dua puluh hari karena melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP dan Pasal 170 KUHP. Jika dilihat sepintas tidak ada yang istimewa dalam putusan tersebut, tetapi hal ini membawa akibat bagi eksistensi hukum adat ditengah-tengah hukum positif kita. Hal ini ditengarai bahwa putusan itu terkait dengan penyelesaian adat dimana keputusannya, para pihak yang bertikai dihukum membayar denda adat berupa kain yang dianggap sebagai penggantian kerugian rokhani. Dengan perhitungan satu orang tewas dihitung 500 kain. Kelompok Tumenggung Celitai membayar 1000 kain kepada Madjid, sedangkan pihak Madjid membayar 500 kain kepada kelompok Celitai. 24
Mahmud Sembayang, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat, (Jakarta, Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009), melalui http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel_kirim.php?aid+33984 yang diakses pada tanggal 4 Oktober 2013
33
Dimensi putusan tersebut bersifat menarik oleh karena perkara diselesaikan secara adat terlebih dahulu dan berakhir melalui putusan pengadilan. Pada hakikatnya, putusan hakim telah mempertimbangkan penyelesaian perkara adat yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana. Begitu pula halnya dalam perkara perdata dimana hakim menjatuhkan putusan dengan titik tolak kepada dimensi hukum adat setempat. Misalnya, Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Basung No. 17/PDT/G/2009/PN.LB.BS tanggal 21 Juni 2010 yang pokok amar sebagai berikut:
Menyatakan Penggugat ARPENDI RANGKAYO MULIA adalah Mamak Kepala Waris dalam Kaum DT. BAGINDO SATI Pasukuan Melayu di Jorong Aur dan Jorong Jalikur, Kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam yang berasal dari satu Keturunan yaitu Nenek UPIK (Almarhumah) Suku Melayu. Menyatakan Penggugat ARPENDI RANGKAYO MULIA dengan RUNUN DT. BAGINDO SATI, MAMAD DT. BAGINDO SATI dan MAHYUDIN DT. BAGINDO SATI adalah sekaum, sepenghulu, serandji, seharta sepusaka, sehina semalu, segolok segadai dan sesasok sejurami. Menyatakan pengangkatan ALBAR, SE., sebagai Penghulu Kaum DT. BAGINDO SATI Pasukuan Melayu di Jorong Aur dan Jorong Jalikur, Kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam yang berasal dari satu keturunan yaitu Nenek UPIK (Almarhumah) Suku Melayu adalah sah menurut hukum Menyatakan seluruh Tanah Objek Perkara adalah sah milik Kaum Penggugat.
Selain itu, dalam RUU KUHP Tahun 2012 jelas mengakomodir tentang nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) berdampingan dengan prosedural dan ketentuan hukum nasional. Ketentuan Pasal 2 RUU KUHP menentukan bahwa: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian Penjelasan Pasal 2 RUU KUHP tersebut menyebutkan, bahwa: Ayat (1) Hukum yang hidup maksudnya hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia. Bentuk hukum yang hidup dalam masyarakat hukum Indonesia antara lain dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang 34
mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini.Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Ayat (2) Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiIl). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai sumber hukum nasional, hak asasi manusia, prinsipprinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Dari keseluruhan konteks di atas, maka jelaslah sudah bahwasanya masa kini (ius constitutum) memang lazim peradilan umum mengadili perkara adat dengan mengakomodir nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat.
D. Konklusi Hakikatnya, Peradilan Adat di Indonesia dimensinya antara “ada” dan “tiada”. Dimensi ini dapat dilihat dari asas legalitas, perspektif normatif UU drt 1 Tahun 1951, kebijakan legislasi bersifat sektoral dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Dalam praktek peradilan Negara, banyak putusan telah dijatuhkan oleh lembaga peradilan terhadap perkara pidana dan perkara perdata adat. Untuk masa mendatang (ius constituendum), dalam menggagas konsep ideal Peradilan Adat berorientasi kepada 3 (tiga) model Peradilan Adat. Pertama, Peradilan Adat Bersifat Mandiri. Kedua, Peradilan Adat Dalam Kamar Peradilan Umum. Ketiga, Peradilan Umum Mengadili Perkara Adat Dengan Mengakomodir Nilai-Nilai Adat. Pemilihan terhadap alternatif ketiga model dalam menggagas konsep ideal Peradilan Adat masa mendatang tersebut merupakan suatu pilihan bagaimana dinamika politik hukum kedepan terhadap eksistensi mengenai cara memandang Peradilan Adat di satu sisi dengan hukum formal di sisi lainnya. Tegasnya, apakah Peradilan Adat akan dipilih selevel dengan Hukum Formal (Hukum Nasional) sehingga bersifat mandiri; merupakan bagian dari Hukum Formal (Hukum Nasional) sehingga masuk dalam kamar Peradilan Umum, ataukah nilai-nilai adat diakomodir dalam Hukum Nasional sehingga Hukum Nasional lebih tinggi dari Hukum Adat seperti dinamika seperti sekarang ini.
Jakarta, 7 Oktober 2013 35
Daftar Referensi
Barda
Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994 Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
----------------------,
H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung, 2002 Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan, Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010 ------------------, Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali, Majalah Varia Peradilan, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Jakarta, Oktober, 1987 Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IX, No. 95, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Agustus, 1993 Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IX, No. 98, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), November, 1993 Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XIV, No. 167, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Agustus, 1999 Mahkamah Agung RI, Penemuan Masalah Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum Reader III Jilid I, Tim Pengkajian Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1991 Mahmud Sembayang, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat, (Jakarta, Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009), melalui http://www.prakarsarakyat.org/artikel_kirim.php?aid+33984 yang diakses pada tanggal 4 Oktober 2013 M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Springfield, Illionis, USA, 1978 Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya di Banda Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010 Sinclair Dinnen, Interfaces Between Formal and Informal Justice System To Strengthen Access to Justice By Disadvantaged System, Makalah disampaikan dalam
36
Practice In Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Langka, 19-21 November 2003 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979
37