HUBUNGAN TINGKAT SIRKULASI OKSIGEN DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KEJADIAN TB PARU PADA KELOMPOK USIA PRODUKTIF DI PUSKESMAS PONDOK PUCUNG TAHUN 2013
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: Nama: Muhammad Aandi Ihram NIM 109101000087
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M/1434 H
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087 Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 xix + 101 halaman, 18 tabel, 2 bagan,5 lampiran ABSTRAK Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countris terhadap TB Paru, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Pada tahun 2012 Puskesmas Pondok Pucung mempunyai kasus TB Paru terbanyak di wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar 769 penderita. Tujuan penelitian ini diketahuinya hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu dengan kejadian TB paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain Cross sectional study, jumlah sampel 65 responden dan teknik pengambilan sampel adalah Simple random sampling. Data diperoleh dari data rekam medis puskesmas pada bulan April-Juni 2013, data kuesioner (data responden), pengukuran IMT (timbangan & Microtoice), pengukuran ventilasi dengan meteran dan suhu dengan Thermohygrometer. Analisis uji statistik menggunakan uji Chisquare dengan derajat kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil penelitian dari 65 responden di Puskesmas Pondok Pucung diperoleh 23 orang (35,4%) yang mengalami kejadian TB. Faktor yang memiliki hubungan secara statistik terhadap kejadian TB paru adalah variabel status gizi (p= 0,001), kepadatan hunian (p= 0,001) dan ventilasi rumah (p= 0,014). Sedangkan faktor lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah jenis kelamin (0,602), pendidikan (0,116), pengetahuan (0,729) dan suhu ruangan (0,417). Disarankan perlu dilakukan upaya peningkatan penjaringan terhadap penderita tuberkulosis paru, peningkatan perbaikan kondisi lingkungan rumah dengan lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat pada saat membangun rumah dan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Kata Kunci: Kejadian TB Paru, Tingkat Sirkulasi Oksigen, Karakteristik Individu. Daftar Bacaan: 1988-2013
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087 Association Oxygen Circulation Level and Individual Characteristics with Lung Tuberculosis in Productive Age Period at Puskesmas Pondok Pucung 2013 xix + 101 pages, 18 tables, 2 chart , 5 attachments
ABSTRACT Pulmonary tuberculosis caused by mycobacterium tuberculosis. WHO in Annual Report on Global TB Control 2003 states that there are 22 countries categorial as high burden countries of Lung Tuberculosis included Indonesian. Indonesia is the country with the highest tuberculosis patients 5th in the world after India, China, South Africa and Nigeria. In 2012 the Puskesmas Pondok Pucung has the highest Pulmonary TB cases in the province of South Tangerang taker 769 patients. The purpose of this research knowing association oxygen circulation level and individual characteristics with lung Tuberculosis in productive age period at Puskesmas Pondok Pucung. The time study was conducted in May-August 2013. This type of research is a observational study with cross-sectional design, the number of samples of 65 respondents and the sampling technique was simple random sampling. Data obtained from the data clinic medical record in April-June 2013, questionnaires (data respondents), IMT measurements with (weigher and microtoice), ventilation measurements with meteran and temperature with thermohygrometer. Statistical analysis using Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05. The results, from 65 respondents at Puskesmas Pondok Pucung obtained 23 peoples (35.4%) having lung tuberculosis incidence. Factors that have statistical association for lung Tuberculosis incidence is variable nutrition status (p= 0,001), density residents (p= 0,001), and house ventilation (p= 0,014). While other factors not have statistical association is gender (0,602), education (0,116), knowladge (0,729), and temperatue room (0,417). Purposed to promoting for health housing, incidence lung tuberculosis, case finding of lung tuberculosis, improving house environmental health with house owners who will renovate their houses are recommended to build a basic of house will sanitation aspects and follow the healthy life behaviour. Keywords: Lung Tuberculosis, Oxygen Circulation levels, Individual characteristics. Refferece : 1988-2013
iii
iv
v
CURICULUM VITAE
PERSONAL IDENTITY Full Name
:
MUHAMMAD AANDI IHRAM
Place / Date of Birth
:
KURUNGAN JIWA, 23 NOVEMBER 1991
Sex
:
MALE
Religion
:
MOSLEM
JL. PURI INTAN NO.52 KELURAHAN PISANGAN-CIPUTAT:
Address
TANGERANG SELATAN / JL. SEI SAHANG RT/RW 59/14 NO. 5281 KELURAHAN LOROK PAKJO - KOTA PALEMBANG
Citizenship
:
INDONESIAN
Phone Number
:
Mobile : +6281927792154
Email Address
:
[email protected]
Home :
FORMAL EDUCATION (starting from the most recent) Year In
Out
Name of Institution
Location
ISLAMIC STATE UNIVERSITY 2009
2013
SYARIF HIDAYATULLAH
Faculty/Majoring
Result
PUBLIC HEALTH / BANTEN
JAKARTA
ENVIRONMENTAL HEALTH
ISLAMIC SENIOR HIGH 2006
2009
SCHOOL PRIMARY 3
PALEMBANG
IPA
Graduated
PALEMBANG
-
Graduated
MUARA ENIM
-
Graduated
PALEMBANG ISLAMIC JUNIOR HIGH 2003
2006
SCHOOL PRIMARY 2 PALEMBANG
1997
2003
ELEMENTARY SCHOOL PRIMARY 200 BARU LUBAI
vi
ORGANIZATION EXPERIENCES Year
Organization / Events
2012
Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Geothermal Garut
2012
Participant in environment health safety field study at PT. Petrocina Bojonegoro
2011
Committee of learning practice field in eastern Pamulang clinic
2011
Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Balikpapan
2011
Mahesa Institude and ABLE “ English Course”
2011
Committee of seminar earth day at Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta
2011-2012
Member Of Environmental health student association Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta
2010-2012
Member Of Environmental Health Student Association Indonesia
2010
Committee Of Ceremonial 5th Anniversary Of Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta
2009
Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty (AS-SHOF)
2009
Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty Sum-Sel (SJD-SS)
Work experience Position
Year
Organizer / Institution
HEALTH, SAFETY AND ENVIRONMENTHAL (HSE) OFFICER
2012
PT. PROTON PT. YAMA ENGINEERING AND ISLAMIC
COMMITTEE OF CORPORATE SOCIAL
2012
RESPONSIBILITY (CSR)
STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JOB PRACTICE IN ENVIRONMENT AND HUMANITY PROGRAM
vii
2013
ACT (AKSI CEPAT TANGGAP)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada seluruh umatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menuju jalan yang terang penuh Cahaya Ilahi. Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013” dengan baik dan penuh perjuangan. Skripsi ini disusun dan disajikan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusuna skripsi ini, penulis banyak mendapatkan saran, bimbingan serta bantuan baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya saat ini yang selalu senantiasa mengiringi kehidupan saya. 2. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberikan semangat, doa, dan motifasi yang tiada henti serta mencurahkan seluruh kasih sayangnya.
viii
3. Kakak-kakakku (Yuni Zawyah, Yudar Yanti, Rahma Piroza, Muhammad Ahsanal Arsyi, Raden Kusumajaya, Dian, dan Khoiruddin) yang telah memberikan semangat, doa dan motifasi yang tiada henti untuk saya. 4. Bidadari-bidadari kecilku tersayang (Raden Fahza Fauziah dan Syifa Haura Firoza) yang selalu memberi senyuman dan semangat yang luar biasa. 5. Bapak Prof. Dr. Dr. Hc. MK. Tadjudin, Spd. And. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan
Ilmu
Kesehatan
Universitas
Islam
Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 6. Ibu Febrianti, SP. Msi. Selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembimbing sekaligus pembina peminatan kesehatan lingkungan yang telah memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan laporan skripsi ini. 8. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan laporan skripsi ini. 9. Bapak Ahmad Ghozali selaku TU Program Studi Kesehatan Masyarakat yang selalu sabar dan membantu dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan. 10. Ibu Umi Lutfi selaku pemegang program TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung yang begitu luar biasa membantu baik dilapangan ataupun memberikan masukan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
ix
11. Sahabat-sahabat terbaikku (Nur Najmi Laila, Kiki Chairani, Tika Widya Sari dan Muhammad fil socrates) yang selalu membantu, memotivasi dan pemberi inspirasi dalam penyelesaian Skripsi ini. 12. Teman-teman seperjuangan mahasiswa yang tergabung dalam beasiswa Santri Jadi Dokter Sumatera-Selatan khususnya angkatan 2009 semangat dan sukses untuk kita semua. Amin 13. Teman-teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat angkatan 2009, Khususnya Peminatan Kesehatan Lingkungan (Udin, Rudi, Yudi, Ersa, Morris, Agung, Maya, Nisa, Reni, Yeni, Risma, Tari, Nita, Ratna, Cita, Dila, Ami, Imah, Zia, Rahmayuni) semangat dan sukses untuk kita semua. Amin. 14. Serta segenap pihak yang telah membantu dalam penyusun dalam menyelesaikan laporan magang ini. Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin. Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dalam untuk skripsi ini demi kemajuan dimasa yang akan datang. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ciputat,
September 2013
Penulis
x
DAFTAR ISI Hal LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................
i
ABSTRAK...............................................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP................................................................................................
v
KATA PENGANTAR............................................................................................
vii
DAFTAR ISI...........................................................................................................
ix
DAFTAR GRAFIK................................................................................................
xi
DAFTAR BAGAN..................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………...
xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang...................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah…………………………………………………..
7
1.3
Pertanyaan Penelitian……………………………………………….
7
1.4
Tujuan Penelitian...............................................................................
8
1.4.1 Tujuan Umum........................................................................
8
1.4.2 Tujuan Khusus.......................................................................
8
Manfaat Penelitian ............................................................................
9
1.3.1 Bagi Masyarakat....................................................................
9
1.3.2 Bagi Instanasi Terkait............................................................
9
1.3.3 Bagi Peneliti..........................................................................
9
Ruang Lingkup...................................................................................
10
1.5
1.4
xi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Tuberkulosis.......................................................................
11
2.1.1
Definisi Penyakit Tuberkulosis..........................................
11
2.1.2
Bakteri Tuberkulosis Paru..................................................
11
2.1.3
Cara Penularan Penyakit TB Paru………………………...
11
2.1.4
Gejala dan Tanda………………………………..…….......
13
2.1.5
Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru………………........
15
2.1.6
Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru……………….….
17
2.1.7
Klasifikasi Penyakit……………………….……………...
17
2.1.8
Tipe Penderita………………………………….…………
18
2.1.9
Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru………………..
19
2.1.10
Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru……………………..
21
2.1.11
Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru………………..
23
2.1.12
Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru………………..
24
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit TB 2.1.13
28 Paru ...................................................................................
2.1.14
Rumah Sehat dan Persyaratannya.......................................
44
2.1.15
Landasan Teori...................................................................
50
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS 3.1
Kerangka Konsep...............................................................................
51
3.2
Definisi Operasional........................................................................
52
3.3
Hipotesis……………………………………………………………
55
xii
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Desain Penelitian...............................................................................
56
4.2
Lokasi dan Waktu…………………………………………………..
56
4.3
Populasi dan Sampel..........................................................................
56
4.3.1 Populasi..................................................................................
56
4.3.2 Sampel....................................................................................
56
4.3.3 Perhitungan Sampel………………………………………...
58
Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data……………………...
60
4.4.1 Pengumpulan Data.................................................................
60
4.4.2 Instrument Penelitian…………………….............................
60
4.4.3 Pengolahan Data……………………………………………
62
4.4.4 Analisis Data………………………………………………..
63
4.4
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1
Gambaran Umum Wilayah Penelitian...............................................
64
5.2
Analisi Univariat...............................................................................
64
5.2.1 Gambaran Kejadian TB Paru................................................
64
5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin......................................................
65
5.2.3 Gambaran Pendidikan...........................................................
66
5.2.4 Gambaran Status Gizi...........................................................
67
5.2.5 Gambaran Pengetahuan........................................................
67
5.2.6 Gambaran Kepadatan Hunian...............................................
68
5.2.7 Gambaran Ventilasi Rumah..................................................
69
5.2.8 Gambaran Suhu...................................................................
70
Analisis Bivariat..............................................................................
70
5.3
xiii
5.3.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan kejadian TB Paru..........
70
5.3.2 Hubungan Pendidikan dengan Kejadian TB Paru...............
72
5.3.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian TB Paru...............
73
5.3.4 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru............
74
5.3.5 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru..
75
5.3.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru.....
76
5.3.7 Hubungan Suhu dengan Kejadian TB Paru..........................
77
BAB VI PEMBAHASAN 6.1
Keterbatasan Penelitian....................................................................
79
6.2
Gambaran Kejadian TB Paru...........................................................
80
6.3
Karakterisitik Individu.....................................................................
81
6.3.1 Jenis Kelamin.......................................................................
81
6.3.2 Pendidikan............................................................................
83
6.3.3 Status Gizi............................................................................
85
6.3.4 Pengetahuan.........................................................................
87
Tingkat Sirkulasi Oksigen................................................................
90
6.4.1 Kepadatan Hunian................................................................
90
6.4.2 Venitilasi Rumah..................................................................
93
6.4.3 Suhu Ruangan.......................................................................
96
6.4
BAB VII KESIMPULAN 7.1
Kesimpulan.......................................................................................
99
7.2
Saran..............................................................................................
101
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv
xv
DAFTAR TABEL Nomor Tabel
Hal
2.1
Jenis, Sifat dan Dosis OAT.....................................................
25
2.2
Kategori Ambang Batas Index Massa Tubuh untuk
34
Indonesia…………………………………………………. 4.1
Perhitungan Sampel..............................................................
59
5.1
Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia
65
Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.2
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
65
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.3
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan
66
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.4
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status Gizi
67
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.5
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pengetahuan
68
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.6
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kepadatan
68
Hunian di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.7
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Ventilasi
69
Rumah di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.8
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Suhu di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
xvi
70
5.9
Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian
71
TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.10
Analisis Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian TB
72
Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.11
Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian TB
73
Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.12
Analisis Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian TB
74
Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.13
Analisis Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan
75
Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.14
Analisis Hubungan antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian
76
TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013 5.15
Analisis Hubungan antara Suhu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
xvii
77
DAFTAR GRAFIK Nomor Grafik 1.1
Hal Jumlah Kasus TB Paru di Wilayah Tangerang Selatan 2012
xviii
6
DAFTAR BAGAN Nomor Bagan
Hal
2.1
Kerangka Teori Penelitian.......................................................
50
3.1
Kerangka Konsep Penelitian...................................................
51
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menurut sistem kesehatan nasional adalah tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk yang ditandai dengan bertempat tinggal di lingkungan bersih dan berprilaku sehat. Pada masyarakat mampu untuk untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan kesehatan dilakukan melalui upaya pelayanan kesehatan yang diarahkan pada program-program seperti ditegaskan dalam undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992 Bab V pasal 10 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal diselenggarakan melalui pendekatan, pemeliharaan dan peningkatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan (PP RI, 2000). Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah, bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal, hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya
1
2
dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Hal ini dikarenakan penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakit di hampir seluruh Puskesmas di Indonesia. Keadaan tersebut mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan (Prabu, 2008). Penyakit tuberkulosis paru atau yang lebih popular dengan nama TBC yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu penyakit menular yang menyebabkan kematian. Satu orang penderita TB paru dengan status Basil Tahan Asam (BTA) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain dalam 1 tahun. TB paru akan menular ketika orang tersebut batuk, bersin, berbicara atau meludah (droplet nuclei) (Depkes RI, 2008). Pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah kebawah, jumlah kasus TB paru semakin meningkat. Sehingga pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB paru sebagai kedaruratan dunia (global emergency). WHO memperkirakan jumlah paling besar dari kasus TB paru ditahun 2005 ada di wilayah Asia Tenggara, yaitu 34% dari insiden kasus global atau sekitar 8,8 juta penderita dan 1,6 diantaranya mengalami kematian dimana hampir 80% kematian terjadi pada kelompok usia produktif. Sehingga penyakit ini memberikan dampak yang serius terhadap perkembangan ekonomi negara tersebut (WHO, 2002). World Health Organization (WHO) memperkirakan 9 (Sembilan) juta orang penduduk dunia setiap tahunnya menderita TBC. Diperkirakan 95% penderita TBC berada dinegara berkembang . selain itu ditemukan 8 juta kasus baru TBC setiap tahunnya (Depkes RI, 2007).
3
Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8% dari total pasien TB di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Tuberkulosis merupakan kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2010 prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar 289 per 100.000 penduduk Data Riskesdas tahun 2010, tingkat kejadian penyakit tuberkulosis yang berusia >15 tahun di Provinsi Banten sebesar 7.536 orang (4,2%). Data dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan (2012) Proporsi BTA positif diantara suspek (5-15%) di Tangerang Selatan tahun 2011 sebesar 10%, sedangkan triwulan 1 tahun 2012 sebesar 12% (Kemenkes RI, 2012). Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008). Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia dengan mengkonsumsi oksigen yang cukup akan membuat organ tubuh berfungsi secara optimal. Dalam
4
keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi berkurang. Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta terjadi peningkatan polutan di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan serta kualitas oksigen di udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur dengan zat-zat polutan atau mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan berbahaya bagi masyarakat. Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya penyakit TB paru, karena penyakit TB paru ditularkan melalui udara .Faktor yang berperan terhadap tingkat sirkulasi oksigen didalam rumah adalah kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen dalam udara yang telah bercampur dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat menyebabkan penyakit TBC. Karena kuman TBC media penularannya melalui transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen (Farochi, 2012). Menurut Ahmadi (2005) Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status gizi,) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi alamiah, suhu dan kelembaban). Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peningkatan kasus tuberculosis dapat dipengaruhi oleh faktor demografi (kepadatan penduduk dan faktor sosial ekonomi), faktor kualitas lingkungan fisik perumahan, faktor
5
kependudukan (karakteristik Individu, perilaku, kemiskinan) dan faktor karakteristik bakteri. Resiko terjadinya penularan tuberculosis TB paru dipengaruhi oleh keadaan rumah yang padat huni sebesar 3,2 kali dibandingkan dengan yang tidak padat penghuni, risiko tersebut sama besarnya dengan ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat (Karminingsih, 2002). Penelitian kasus kontak yang dilakukan Chandra Wibowo dkk (2004) di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Manado, terdapatnya dalam sputum sumber kontak BTA (+) secara bermakna akan meningkatkan resiko terjadinya TB Paru 36,5 kali lebih besar. Dalam penelitian tersebut terdapat faktor resiko yang paling berperan terhadap kejadian TB Paru pada kasus kontak adalah usia, jenis kelamin, status gizi, status ekonomi, kondisi sanitasi rumah, perilaku, dan pekerjaan. Begitu juga dengan kondisi sirkulasi didalam rumah beberapa faktor yang mempengaruhi adalah terdiri dari kepadatan hunian, ventilasi dan suhu. Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan Tahun 2012 didapatkan kasus TB parusebanyak 3.545 jiwa. Berikut grafik jumlah kasus TB paru pada 25 puskesmas perawatan Dinas Tangerang Selatan tahun 2012 (Dinkes Tangsel, 2012).
6
Grafik 1.1 Jumlah Kasus TB Parudi Wilayah Tangerang Selatan 2012 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Sumber : Dinkes Tangerang Selatan 2012
Berdasarkan grafik di atas diperoleh Puskesmas Pondok Pucung mempunyai kasus TB Paru terbanyak di Wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar 769 penderita. Berdasarkan data di atas peneliti memilih Puskesmas Pondok Pucung sebagai tempat penelitian. Selain dari data tersebut, data laporan bulanan yang dimiliki oleh Puskesmas Pondok Pucung mengenai kasus TB Parudari bulan Januari-Desember 2012 terjadi peningkatan setiap bulannya, peningkatan yang signifikan terjadi di 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Oktober sebanyak 121 penderita, november 90 penderita, dan desember 110 penderita. Berdasarkan uraian dan tren perkembangan penyakit TB ParudiWilayah Pondok Pucung Tangerang Selatan maka peneliti tertarik ingin melihat hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karkteristik individu dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan 2013.
7
1.2. Rumusan Masalah Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta terjadi peningkatan polutan di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan serta kualitas oksigen di udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur dengan zat-zat polutan atau mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan berbahaya bagi masyarakat. Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya penyakit TB paru, karena penyakit TB paru ditularkan melalui udara. Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan tahun 2012, Puskesmas Pondok Pucung
Tangerang
Selatan
memiliki
kasus
terbesar
pada
kasus
TB
Parudibandingkan dengan Puskesmas Perawatan lainnya di Wilayah Tangerang Selatan tahun 2012 yaitu sebesar 796 penderita. Faktor yang berperan dalam penentuan tingkat sirkulasi oksigen didalam rumah adalah kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang apabila dalam udara tersebut telah kurang dan bercampur dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat menyebabkan penyakit TBC karena kuman TBC media penularannya melalui transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen.
8
1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013? 2. Bagaimana gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013? 3. Apakah ada hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013? 4. Apakah ada hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 ?
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, status gizi dan pengetahuan) pada penduduk di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.
9
2. Mengetahui gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu)
dengan kejadian TB Paru pada
kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013. 3. Mengetahui hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan dan pengetahuan) dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013. 4. Mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu)
dengan kejadian TB Paru pada
kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Masyarakat Memberikan informasi tentang
lingkungan fisik rumah dan
karakteristik individu yang mempengaruhi kejadian TB Paru sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan kasus TB Paru di Wilayah Pd. Pucung. 1.5.2. Bagi Instansi terkait Memberikan masukan bagi Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatandalam perencanaan peningkatan penyuluhan, konseling tentang TB Paru sebagai upaya pencegahan resiko terjadinya penyakit. 1.5.3. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat berguna bagi peneliti dan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar dan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lain.
10
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
ini
dilakukan
oleh
mahasiswa
Peminatan
Kesehatan
Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan tahun 2013. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross sectional study. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni tahun 2013.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Tuberkulosis 2.1.1. Defenisi Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis dan ditularkan melalui udara pada saat pasien TB batuk atau bersin (PPTI, 2010). 2.1.2. Bakteri Tuberkulosis Paru (TB Paru) Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran 1-4 micron dan tebal 0,3-0,6 micron. Sifat khusus bakteri ini tahan terhadap asam, oleh karena itu sering disebut Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, bakteri ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008). 2.1.3. Cara Penularan Penyakit TB Paru Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang
11
12
mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008). Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Penularan umum nya terjadi di dalam ruangan, dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Penilaian risiko TB setiap tahunnya ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. Jika ARTI sebesar 1%, berarti terdapat 10 orang diantara 1000 orang yang terinfeksi setiap taunnya. Nilai ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3% (Depkes RI, 2007).
13
2.1.4. Tanda dan Gejala Penyakit TB Paru Menurut Achmadi (2004) secara umum komposisi dari sampah di setiap kota bahkan negara hampir sama, yaitu : TB paru sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang aimtomatik. Gambaran klinis TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu : gejala respiratorik dan gejala sistemik. 1. Gejala respiratorik, meliputi : a. Batuk Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Batuk bisa berlangsung terus menerus selama ≥ 3 minggu. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan. Hal ini sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak ataupun sputum. b. Batuk darah Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
14
c. Dahak Dahak awalnya bersifat nukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen (mengandung lendir dan nanah) sehingga warnanya kuning atau kuning hijau sampai purulen (hanya nanah saja) dan kemudian berubah menjadi kental dan berbau busuk karena adanya infeksi anaerob. d. Sesak napas Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain. e. Nyeri dada Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.Gejala ini timbul apabila system persarafan di pleura terkena. 2. Gejala sistemik, meliputi : a. Demam Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza.Biasanya disertai keringat dingin meskipun tanpa kegiatan.Hilang timbul dan makin lama makin panjang seranganya sedang masa bebas serangan makin pendek.
15
b. Keringat dingin dimalam hari Bukanlah gejala pasti untuk penyakit tuberkulosis paru dan umumnya baru timbul bila proses telah lanjut. Keringat dingin ini terjadi meskipun tanpa kegiatan. c. Anoreksia dan penurunan berat badan Keduanya merupakan manifestasi dari keracunan sistemik yang timbul karena produk bakteri atau adanya jaringan yang rusak. (toksemia), yang biasanya timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila fase progresif. d. Malaise (rasa lesu) Hal ini bersifat berkepanjangan/kronik, disertai rasa tidak fit, tidak enak badan, lemah, lesu pegal-pegal dan mudah lelah. 2.1.5. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru Diagnosis TB paru dilakukan dengan wawancara keluahan pasien, pemeriksaan pada pasien (anamnesis), pemeriksaan dahak mikroskopis di laboratorium, pemeriksaan rontgen dada. 1. Diagnosis TB paru pada orang dewasa (Depkes RI, 2008) Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukan
mikroskopis.
Hasil
BTA
pada
pemeriksaan
pemeriksaan dinyatakan
dahak positif
secara apabila
setidaknya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
16
2. Diagnosis TB paru pada anak (Depkes RI, 2008) Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis apabila : a. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB paru BTA positif. b. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari). c. Terjadi gejala umum TBC Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru. Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: -
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis „TB paru BTA positif.
-
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
-
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan
17
pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). 2.1.6. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala samaharus diperiksa dahaknya (Depkes RI, 2008). 2.1.7. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis dibagi berdasarkan organ tubuh yang terkena yaitu : 1. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, (tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam : a. Tuberkulosis paru BTA (+) -
Sekuarang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
-
Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulsis aktif.
18
b. Tuberkulosis paru BTA (-) Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan yang luas, dan atau keadaan umum penderita buruk. 2. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : (Depkes RI, 2008) a. TBC ekstra paru ringan b. TBC ekstra paru berat 2.1.8. Tipe Penderita Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : (Amin, 2006) 1. Kasus baru Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT (obat anti tuberkulosis) atau sudah perrnah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2. Kambuh (relaps) Kambuh (relaps) adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB paru dan telah dinyatakan sembuh atau
19
pengobatan lengakap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3. Pindahan Pindahan adalah penderita TB paru yang sedang mendapatkan pengobatan dari tempat lain, kemudian pindah berobat ke tempat tertentu. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (Form TB 09). 4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out) Adalah penderita TB paru yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+) setelah putus berobat 2 bulan atau lebih. 5. Gagal a. Adalah penderita BTA (+) yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. b. Adalah penderita BTA (-) rontgen positif yang menjadi BTA(+) pada akhir bulan ke-2 pengobatan. 6. Lain-lain Semua penderitang lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik (penderita yang masih BTA (+) setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori 2. 2.1.9. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari
interaksi
antara
kuman
(agent)
Mycobacterium
20
tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu
mencakup
distribusi
dari
penyakit,
perkembangan
dan
penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular. Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet. Kerentanan
penderita
tuberkulosis
paru
meliputi
risiko
memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumbersumber kuman penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan social ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai. Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi di mungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya (Ruswanto, 2010). Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada penyakit ini, yaitu; a. Penyebaran atau penularan dari kuman tuberkulosis.
21
b. Perkembangan dari kuman tuberkulosis paru yang mampu menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman tuberkulosis. c. Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai penderita sembuh atau meninggal karena penyakit ini. 2.1.10.
Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru 1. Infeksi Primer Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan, kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui inti droplet. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis, droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan didalam paru, saluran linfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai komplek
primer.
Waktu
antara
terjadinya
infeksi
sampai
pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon
daya
tahan
tubuh
tersebut
dapat
menghentikan
22
perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persistent atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis paru. Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan selama 6 bulan.12 2. Tuberkulosis Paru Pasca Primer ( Post Primary Tuberculosis Paru) : Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. 3. Komplikasi pada penderita tuberkulosis paru Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut : a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. b. Kolaps dari lobus akibat retraksibronchial. c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
23
d. Pneumothorak (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolap spontan karena kerusakan jaringan. e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya. f. Insufisiensi
Kardio
Pulmoner
(Cardio
Pulmonary
Insufficiency). 2.1.11.
Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu
menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat. Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah : (Depkes RI, 2002) 1. Penderita tidak menularkan kepada orang lain: a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu. b. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan. c. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah. d. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari. e. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati.
24
2. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru: a. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makanmakanan yang bergizi. b. Tidur dan istirahat yang cukup c. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol. d. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya. e. Imunisasi BCG pada bayi. f. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu. g. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular. 2.1.12.
Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru
1. Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kumanterhadap OAT (Depkes RI, 2006).
25
Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT Jenis OAT
Sifat
Isoniazid (H)
Bakterisid
Rifampicn (R)
Bakterisid
Pyrazinamide (Z)
Bakterisid
Streptomycin (S)
Bakterisid
Ethambutol (E)
Bakteriostatik
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3x Semingu 5 10 (4-6) (8-12) 10 10 (8-12) (8-12) 25 35 (20-30) (30-40) 15 15 (12-18) (12-18) 15 30 (15-20) (20-35)
2. Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut : a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan.
Jangan
gunakan
OAT
tunggal
(monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
26
Tahap awal (intensif) -
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
-
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
-
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan -
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
-
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
3. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia a. Paduan
OAT
yang
digunakan
oleh
Program
Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis diIndonesia: -
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
-
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
-
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT),
27
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. c. Paket Kombipak. Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB : 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. 3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat
kepatuhan pasien.
menjadi
sederhana
dan
meningkatkan
28
2.1.13.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu
penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi (Epidemiologi Triangle), hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya. Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut : 1. Agent Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari family
Mycobacteriaceae
dan
termasuk
dalam
ordo
29
Actinomycetalis.
Mycobacterium
tuberculosis
menyebabkan
sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2-0,8 mikron. Kuman ini melayang diudara dan disebut droplet nuclei. Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari
sampai
bertahun-tahun
lamanya.
Tetapi
kuman
tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti, 2000). Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam. Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur
30
dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C. 2. Host Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik; gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, ras dan gaya hidup. Menurut Luciana (2011) TB paru berisiko pada seseorang dengan karakteristik tertentu, seperti umur, jenis kelamin, status gizi, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan kontak dengan penderita. a. Umur Umur berperan dalam kejadian TB. Resiko untuk mendapatkan penyakit TB tinggi di umur awal seseorang dengan puncak pada kelompok usia dewasa dan menurun kembali ketika usia tua. Di Indonesia 75% penderita TB paru adalah kelompok usia 15-50 tahun. Kelompok usia 15-50 tahun masuk dalam penduduk usia produktif, dimana seseorang yang termasuk dalam usia produktif banyak melakukan kegiatan
31
seperti bekerja, belajar, ataupun kegiatan lainnya. Seseorang yang melakukan banyak aktivitas akan sering berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Interaksi tersebut dapat memungkinkan terjadinya penularan TB paru. Penderita TB paru BTA (+) dengan mudah dapat menularkan kuman TB kepada lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan orang lain terinfeksi kuman TB (Depkes RI, 2002). b. Jenis kelamin Penderita TB di afrika mayoritas menyerang laki-laki. Dari hasil laporan WHO di Amerika Serikat tahun 1993-1998 diketahui bahwa penderita TB lebih banyak diderita oleh lakilaki dibandingkan perempuan (Supriyano, 2003). Penderita TB yang mayoritas terjadi pada pria dapat dipengaruhi oleh pola aktivitas di luar rumah dan kebiasaan merokok berkaitan dengan peningkatan kejadian TB, sedangkan aktivitas di luar rumah yang tinggi dapat menyebabkan seseorang tertular kuman TB oleh penderita TB paru BTA (+). Akan tetapi angka kematian akibat tuberkulosis pada kelompok umur 15-50 tahun di Negara maju lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan lakilaki. c. Pendidikan Pendidikan
adalah
usaha
yang
sengaja
(terencana,
terkontrol, dengan sadar dan dengan cara yang sistematis) diberikan pada anak didik oleh pendidik agar individunya yang
32
potensial itu lebih berkembang terarah kepada tujuan tertentu. Dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat diketahui bentuk pendidikan yang diberikan, sasaran pendidikan, sifat pelaksaan pendidikan, tujuan pendidikan. Proses pendidikan berlangsung dalam suatu lingkungan atau tempat pendidkan berlangsung. Pendidikan dapat berlangsung di keluarga, sekolah, dan masyarakat. System pendidikan sekolah yang diterapkan di Indonesia adalah pendidikan sekolah dasar (SD), sekolah menegah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), perguruan tinggi (Nasution, 2004). Pendidkan seseorang mempengaruhi pengetahuan dan pandangan seseorang. Kelompok masyarakat dengan tingkat pendidkan rendah umumnya adalah kelompok masyarakat dengan status ekonomi rendah. Kelompok masyarakat tersebut sulit untuk menyerap informasi, tidak terkecuali informasi mengenai kesehatan. Selain itu kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah juga tidak mampu mencukupi gizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Supriyadi, 2003; Abebe et al, 2010). d. Status Gizi Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Boddy Mass Index (BMI) merupakan indikator untuk memantau status gizi pada kelompok umur >18 tahun. Status gizi seseorang akan mempegaruhi risiko tertular TB. Seseorang dengan status gizi buruk, bahkan
33
mengalami malnturisi, menyebabkan penurunan fungsi paru, perubahan analisis gas dalam darah, dan produktivitas kerja. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik. Selain itu, status gizi buruk juga mempengaruhi daya tahan tubuh dimana penurunan daya tahan tubuh berkaitan erat dengan peningkatan infeksi kuman TB (Fatimah, 2008). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Buku Praktis Ahli Gizi, 2003).Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut : IMT =
Berat badan (kg) tinggi badan m x tinggi badan (m)
34
Tabel 2.2 Klasifikasi Index Masa Tubuh (IMT) Dewasa Menurut Kemenkes RI Kategori Kurus
IMT
Kekurangan berat Badan Kekurangan berat badan tingkat ringan
< 17,0 17,0 - 18,5 >18,5 - 25,0
Kelebihan Berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
>25,0 - 27,0 >27,0
Normal Gemuk
Sumber : Kemenkes RI, 2003
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Teten Zalmi di Puskesmas Padang Pasir tahun 2008 menyebutkan bahwa proporsi responden dengan keadaan status gizi kurang pada kelompok kasus adalah 96,8%, sedangkan pada kelompok kontrol 28,1% (Teten Zalmi, 2008). Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elvina Karyadi (2002) dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengidap TB Paru sebagian besar menderita gizi kurang (IMT<18, 5kg/m2). e. Pengetahuan Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dari perilaku. Faktor predisposisi adalah faktor yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku (Green, 2005 dalam Astrine 2012). Pengetahuan tentang tuberkulosis merupakan dasar tindakan pencegahan menghalangi
dan
pengobatan.
tindakan
Ketidaktahuan
pencegahan
TB
masyarakat
paru.
Dengan
pengetahuan yang meningkat, masyarakat akan semakin
35
mengerti tentang tindakan pencegahan sehingga tingkat kejadian TB paru dapat diminimalisasikan. Pengetahuan akan menimbulkan kesadaran seseorang dan akhirnya akan menyebabkan orang tersebut berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan dibagi kedalam 6 tingkat (Notoatmodjo, 2005), yaitu : a. Tahu : sebagai recall memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. b. Memahami : memahami objek bukan sekedar tahu, bukan hanya sekedar menyebutkan, tapi orang tersebt harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui. c. Aplikasi : apabila orang yang sudah memahami objek yang
dimaksud
dapat
menggunakan
atau
mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi lain. d. Analisis : kemampuan menjabarkan dan memisahkan lalu mencari hubungan antar komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. e. Sintesis
:
kemampuan
untuk
merangkum
atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.
36
f. Edukasi : kemampuan untuk memberikan justifikasi atau penilaian terhadap objek tertentu. Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis (Kemenkes RI, 2011). f. Pekerjaan Jenis pekerjaan yang dimaksud disini adalah untuk mengetahui tinggi rendahnya mobilitas seseorang, sehingga mempengaruhi dia untuk terpapar kuman TBC. Semakin tinggi mobilitas seseorang, semakin banyak orang yang kontak dengan dia. Bila diantaranya ada yang menderita TBC dan kebetulan kontak yang dilakukan cukup sering dan lama, maka risiko penularan akan semakin tinggi. Selain itu pekerjaan juga menunjukan aktifitas yang dilakukan seseorang, apakah mempengaruhi daya tahannya atau tidak. Pekerjaan juga bisa menggambarkan pendapatan yang dihasilkan sehingga bisa dilihat keadaan sosial ekonominya.
37
g. Kontak dengan Penderita Kontak dengan sumber penular merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru. Kontak erat adalah tinggal bersama dalam rumah yang sama atau frekuensi sering bertemu antara kontak dengan sumber penular (WHO, 2006). Faktor risiko tersebut semakin besar bila kondisi lingkungan perumahan jelek seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media transisi kuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu penderita TBC dapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan rumah, masyarakat di sekitarnya dan lingkungan tempat bekerja, makin meningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberi kemungkinan infeksi lebih besar pada kontak (Akbar, 2010). Berdasarkan penelitian Mahpudin dan Mahkota (2007) didapatkan hasil bahwa ada hubungan bermakna antara kontak dengan penderita yang tinggal serumah dengan kejadian TB paru. Temuan ini sesuai dengan penelitin sebelumnya dimana kontak dengan penderita TB paru yang tinggal serumah berisiko 41,8 kali dari pada yang tidak kontak. Kontak serumah merupakan ancaman yang sangat serius bagi anggota keluarga lainnya untuk menderita penyakit TB, karena itu merupakan sumber penularan intensif yang berada disekitar kehidupan sehari-hari anggota keluarga lainnya (Ernawati, 2011).
38
3. Environment Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari; Keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-lain), kelembaban udara, temperatur atau suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi; sosial, budaya (adat, kebiasaan turun-temurun), ekonomi (kebijakkan mikro dan lokal) dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru saling berkaitan satu sama lainnya. Tingkat sirkulasi oksigenmerupakan faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi untuk terjadinya penyakit TB paru.
Sirkulasi
Oksigen
adalah
proses perputaranoksigen yang diperlukan oleh unsur tertentu untuk mengatur sistem yang ada pada unsur tersebut .Oksigen (O2) atau zat asam sangat diperlukan makhluk hidup. Oksigen adalah unsur kimia yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, tidak terbakar tapi dapat membantu pembakaran (Oksidator).Oksigen merupakan unsur paling melimpah ketiga di alam semesta berdasarkan massa dan unsur paling melimpah di kerak Bumi. Gas oksigen diatomik mengisi 20,9% volume atmosfer bumi. Manusia
39
membutuhkan asupan oksigen secara terus-menerus untuk proses respirasi sel, dan membuang kelebihan karbondioksida sebagai limbah beracun produk dari proses tersebut (Farochi, 2012). Menurut teori Maslow oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia atau kebutuhan fisiologis dimana kebutuhan fisiologis sangat mendasar, paling kuat dan paling jelas diantara sekian kebutuhan lain untuk mempetahankan hidup. Manusia akan menekan kebutuhannya sedemikian rupa agar kebutuhan fisiologis (dasar) nya tercukupi. Dengan mengkonsumsi oksigen yang cukup akan membuat organ tubuh berfungsi secara optimal (Noverima, 2012). Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi berkurang atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah berkurang (Farochi, 2012). Udara disekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah kurang dan bercampur dengan partikel atau gas berbahaya dan bercampur dengan bakteri patogen yang apabila terhirup dapat berbahaya bagi kesehatan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang media penularannya melalui transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen.
40
Adapun faktor yang berperan dalam penentuan tingkat sirkulasi oksigen di dalam rumah yaitu : a. Kepadatan Hunian Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya (Ruswanto, 2010). Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Dalam hubungan dengan penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan Cross infection (infeksi silang). Adanya penderita TB paru dalam rumah dengan kepadatan cukup tinggi,
41
maka penularan penyakit melalui udara ataupun“droplet” akan lebih cepat terjadi (Rianda, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanropie dkk (1991) bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti tidak sebandingnya luas lantai kamar, jenis lantai, penghuni rumah yang menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, di mana bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi seperti TB Paru, maka akan mudah menular kepada anggota keluarga lain (Suyono, 2005). b. Ventilasi Rumah Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen,
42
karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60% (Depkes RI, 2001 ). Ventilasi mempengaruhi proses difusi udara, dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dengan kuman lain sehingga kuman-kuman tersebut dapat terbawa keluar dan mati terkena siar matahari dan sinar ultraviolet. Ventilasi merupakan tempat untuk memasukkan cahaya ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan bahan seperti kaca, hal ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.
829/MenKes/SK/VII/1999 bahwa ventilasi yang baik adalah 10% dari lantai rumah. Adrial (2006) yang menyebutkan bahawa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi kurang dari 10% luas lantai dapat berisiko 4,55 kali untuk
43
terjadi TB paru dengan BTA positif (+) dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10% dari luas lantai rumah. Kualitas udara di dalah rumah berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan penghuninya. Bertambahnya jumlah penduduk dalam pemukiman dalam perkotaan, menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit untuk membuat ventilasi. Perjalanan kuman TB paru setelah dibatukkan aka terhirup oleh orang sekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang baik akan menjamin pertukaran udara dan konsentrasi droplet dapat dikurangi. Konsentrasi droplet pervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru. (Depkes, 2002). c. Suhu Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi: 1). Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 – 34 ºC. 2). Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20-25 ºC. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan.
44
Oksigen merupakan merupakan salah satu gas yang terlarut. Kadar oksigen yang terlarut tergantung pada suhu dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil.Peningkatan temperatur sebesar 1 oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan temperatur menggambarkan bahwa semakin tinggi temperatur, kelarutan oksigen semakin berkurang (Boyd, 1988). Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapatsuatu suhu optimum
saat
mereka
tumbuh
pesat.
Mycobacterium
tuberculosismerupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan tetapiakan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 º C (Depkes RI, 2006). 2.1.14.
Rumah Sehat dan Persyaratannya Pengertian rumah sehat menurut Permenkes No 829/1999 adalah kondisifisik, kimia, biologi di dalam rumah, lingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukinan adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatan perumahan
45
yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan pemukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Keman, 2005). Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
(Kepmenkes)
No.
829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai be rikut : 1. Lokasi a. Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya. b. Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang. c. Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. 2. Kualitas udara Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut : a. Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi. b. Debu dengan diameter kurang dari 10 µg maksimum 150 µg/m3. c. Gas SO2 maksimum 0,10 ppm. d. Debu maksimum 350 mm3/m2 per hari.
46
3. Kebisingan dan getaran a. Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A b. Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik . 4. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman a. Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg b. Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg c. Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg d. Kandungan Benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg 5. Prasarana dan sarana lingkungan a. Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan. b. Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit. c. Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata. d. Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan. e. Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan. f. Pengelolaan
pembuangan
memenuhi syarat kesehatan.
sampah
rumah
tangga
harus
47
g. Memiliki
akses
terhadap
sarana
pelayanan
kesehatan,
komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya. h. Pengaturan
instalasi
listrik
harus
menjamin
keamanan
penghuninya. i. Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi
kontaminasi
makanan
yang
dapat
menimbulkan
keracunan. 6. Vektor penyakit a. Indeks lalat harus memenuhi syarat. b. Indeks jentik nyamuk dibawah 5%. 7. Penghijauan Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan kelestarian alam. Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut : 1. Bahan bangunan a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, an tara lain : debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan. b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.
48
2. Komponen dan penataan ruangan a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan. b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan. c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir. e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. 4. Kualitas udara a. Suhu udara nyaman antara 18 – 30 oC. b. Kelembaban udara 40 – 70 %. c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam. d. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/penghuni. e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam. f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3. 5. Ventilasi Luas Lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.
49
6. Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalamrumah. 7. Penyediaan air a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/ orang/hari. b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002. 8. Sarana penyimpanan makanan Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman. 9. Pembuangan Limbah a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah. b. Limbah padat harus
dikelola dengan baik agar tidak
menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah. 10. Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur.
50
2.1.15.
Landasan Teori Mengacu
dari
tinjauan
teori
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kejadian penyakit TB paru Host, Agent, dan Lingkungan merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam Bagan “Segitiga Epidemiologi TBC.” Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Host: -
Jenis Kelamin Pendidikan Status Gizi Pengetahuan tentang TB Paru
Agent:
Environment :
Mycobacterium tuberculosis
-
Kepadatan hunian Ventilasi Suhu
Kejadian TB Paru
Sumber : Teori Jhon Gordon, Ahmadi 2010
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian TB Paru Variabel independen adalah tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suuhu) serta karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, pendidikan, dan pengetahuan tentang TB Paru). Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen
Variabel Dependen
Jenis Kelamin Pendidkan Status gizi
Kejadian TB Paru
Pengetahuan Kepadatan hunian Ventilasi rumah
Suhu
51
52
No.
Variabel
Definisi Operasional
1.
Kejadian TB Paru
Pasien yang tercatat di data rekam medis berusia 15-64 tahun (Depkes, 2010) pada bulan april-juni 2013
2
Jenis kelamin
3
Pendidikan
Status gender yng dibawa sejak lahir (laki-laki atau perempuan) Pendidikan terakhir responden sesuai dengan ijazah yang diterima
Alat ukur
Cara ukur
Variabel Dependen Data rekam Pengecekan medis data rekam medis
Variabel Independen kuesioner Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Hasil Ukur
Nominal
0. Ya 1. Tidak
Nominal
0. Laki-laki 1. Perempuan
Nominal
0. Rendah (tidak sekolah, SD & SMP) 1. Tinggi (SMA & Perguruan tinggi
Ordinal
(BPS, 2012) 4
Status Gizi
Keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh (Gibson, 1991)
Timbangan digital, Microtoise
Pengukuran IMT : BB(kg)/(TB( cm)/100)2
Ordinal 0. Kurus jika IMT < 18,5 1. Normal jika IMT 18,525 2. Gemuk jika IMT >25 (Kemenkes RI, 2003)
53
Variabel 5
6
7
Pengetahuan
Kepadatan hunian
Ventilasi rumah
Devinisi Alat ukur Operasional Tinggi rendahnya Kuesioner skor total dijawab responden terhadap pertanyaanpertanyaan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan TB Paru. Perbandingan jumlah Kuesioner orang yang menetap dalam rumah dengan luas lantai dalam meter persegi, Persyaratan minimal 10 meter persegi per orang (Kepmenkes, No 829/1999) Lubang tempat Meteran keluar masuknya udara ke dalam rumah, Ventilasi yang memenuhi syarat jika perbandingan luas ventilasi dan luas ruangan minimal 10% dari luas lantai rumah (Kepmenkes No 829/1999)
Cara Ukur Wawancara
Hasil Ukur 0.
1.
Wawancara & Pengukuran
Skala Ukur
Rendah (tingkat pengetahuan dikatakan rendah bila skor < mean Tinggi (tingkat pengetahuan dikatakan tinggi bila skor ≥ mean
0. tidak memenuhi syarat apabila < 10m2/orang 1. Memenuhi syarat apabila > 102/orang
Ordinal
(Kepmenkes, 1999)
Pengukuran
0. Tidak memenuhi syarat Ordinal jika < 10% 1. Memenuhi syarat ≥ 10% (Kepmenkes, 1999)
54
8
Suhu ruangan
Ukuran suhu dalam Thermorumah saat hygrometer pengukuran dengan tingkat kenyamanan berkisar antara 18-30 celcius (Kepmenkes No 829/1999)
Pengukuran
0. Tidak memenuhi syarat Ordinal bila <18oC atau >30oC 1. Memenuhi syarat o o apabila 18 C -30 C (Kepmenkes, 1999)
55
3.3 Hipotesis A. Ada hubungan antara karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, status gizi dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013. B. Ada hubungan antara tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu) pada kelompok usia produktif dengan kejadian di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional yaitu metoda studi analitik dengan menggunakan desain cross sectional study (potong lintang) yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dan efek dengan pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010). 4.2 Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian ini di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok pucung, Kota Tangerang Selatan, sedangkan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2013. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian Populasi pada penelitian ini semua orang tercatat sebagai pasien di Puskesmas Pondok Pucung kota Tangerang Selatan yang berkunjung pada bulan april-juni 2013 4.3.2 Sampel Penelitian Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan simple random sampling atau pengambilan sampel secara acak sederhana yaitu 56
57
pengambilan sampel dilakukan dengan mengundi anggota populasi sehingga setiap responden mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi menjadi sampel (Notoatmojo, 2010). Peneliti membuat sampling frame dengan melihat data rekam medis kunjungan pasien yang ada di Puskesmas Pondok Pucung pada bulan april-juni 2013. Dari data tersebut diperoleh 351 pasien yang menjadi sampling frame yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai populasi penelitian. Pada tahap berikutnya ditetapkan responden yang akan dijadikan sampel penelitian dengan mengambil responden yang ada didalam sampling frame kemudian dilakukan pengambilan secara acak sesuai dengan jumlah sampel yang dibutuhkan yaitu 65 reponden. Dalam menetapkan subjek penelitian sebagai sampel, peniliti menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi, Adapun kriteria dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut : 1.
Kriteria Inklusi a. Usia 15-64 tahun b. Pengunjung Puskesmas Pondok Pucung yang tercatat dalam data rekam medis pada bulan april-juni 2013 c. Bertempat tinggal di wilayah Pondok. Pucung kota Tangerang Selatan d. Bersedia diwawancara
58
2.
Kriteria Eksklusi a. Usia <15 tahun atau >64 tahun b. Pengunjung Puskesmas Pondok Pucung yang tidak tercatat dalam data rekam medis pada bulan april-juni 2013 c. Bertempat tinggal di luar wilayah Pondok Pucung kota Tangerang Selatan d. Tidak bersedia diwawancara
4.3.3
Perhitungan Sampel Perhitungan penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan rumus
uji hipotesis beda 2 proporsi. rumus sebagai berikut:
n Z 1-α/2
= Jumlah sampel =nilai Z dari pada derajat kemaknaan (CI) 95% dengan α = 0,05 yaitu sebesar 1,96
Z 1-β/2
= nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β = 80% yaitu 0,84
P1
= Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P2
= Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P
= Rata-rata P1 dan P2 (P1+P2)/2
59
Adapun nilai P1, P2, yang didapatkan dari penelitian terdahulu, berkaitan dengan variable yang ingin diteliti dengan kejadian TB Paru yaitu : Tabel 4.1 Perhitungan Sampel NO 1 2 3 4 5
Variabel Status gizi Pengetahuan Kepadatan hunian Ventilasi Suhu
P1 0,74 0,70 0,63
P2 0,26 0,30 0,36
n 16 24 42
Ket Setiawan, 2010 Ruswanto, 2010 Niko, 2011
0,68 0.32
0,31 0.67
22 25
Niko, 2011 Ruswanto, 2010
Dari tabel 4.1 diambil P1 dan P2 dari n terbesar yaitu P1=0,63 dan P2=0,36 dan kemudian dimasukan kedalam rumus. Berdasarkan perhitungan sampel diatas maka didapatkan jumlah sampel sebesar 42 responden (P1 = Proporsi kepadatan hunian yang memenuhi syarat dengan kejadian TB Paru, P2 = Proporsi kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian TB Paru). Dari hasil tersebut kemudian dilakukan perhitungan sampel minimal dengan menggunakan perbandingan dari hasil penelitian Fatimah 2008 yaitu hasil dari responden yang tidak menderita TB Paru 65,2 % n = 42 / Persentase yang tidak menderita TB Paru n = 42 / 0,652 n = 64 responden Berdasarkan perhitungan sampel diatas diperoleh jumlah sampel minimal sebesar 65 responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode simple random sampling.
60
4.4 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisa Data 4.4.1 Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara langsung, observasi dan pengukuran kepada responden dengan menggunakan alat ukur. Data mengenai identitas, alamat, umur, jenis kelamin, status gizi, pendidikan, pengetahuan dan kondisi kepadatan hunian dilakukan dengan wawancara langsung kepada responden.Sedangkan data mengenai luas ruangan, ventilasi rumah dan suhu dilakukan dengan cara observasi dan pengukuran dirumah responden. b. Data Sekunder Data sekunder yaitu pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari instansi kesehatan yang bersangkutan di dinas kesehatan Tangerang Selatan dan Puskesmas Pondok Pucung. Data yang di ambil meliputi data jumlah kasus TB Paru yang ada di masing-masing Puskesmas di Kota Tangerang Selatan dan data rekam medis kunjungan pasien yang ada di Puskesmas Pondok Pucung pada bulan april-juni tahun 2013. 4.4.2 Instrumen Penelitian Alat pengumpulan data menggunaan instrumen sebagai berikut : 1. Kuisioner Kuisioner adalah alat pengumpul data yang berisi daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada responden dan sudah tersusun dengan baik, sehingga
61
responden tinggal memberikan tanda-tanda yang ada pada petunjuk pengisian kuisioner. 2. Alat Pengukuran Peralatan yang digunakan untuk mengukur kepadatan penghuni, ventilasi, suhu, dan status gizi yaitu timbangan digital, microtoise, thermo-hygrometer dan meteran. Adapun cara pengukuran sebagai berikut: -
Status gizi Mengukur berat badan menggunakan timbangan digital, tinggi badan menggunakan microtoise lalu dilakuan perhitungan menggunakan indikator IMT (Indeks Masa Tubuh)
-
Kepadatan hunian Pengukuran luas ruangan yang tersedia dengan penghuni atau anggota keluarga yang berada dalam rumah tersebut dengan menggunakan meteran.
- Ventilasi Luas ventilasi meliputi luas lubang angin yang dapat masuk kedalam rumah dibagi dengan luas lantai dikalikan 100%, diukur pada tempat dimana
responden
menghabiskan
sebagian
waktunya
dengan
menggunakan meteran. - Suhu Suhu dalam ruangan diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian
besar
waktunya
di
rumah
Thermohygrometer dalam satuan derajat celcius.
dengan
menggunakan
62
4.4.3 Pengolahan Data Pengolahan data pada penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut : 1. Editing, yaitu peniliti memeriksa data yang terkumpul tentang hasil isian kuesioner apakah jawaban yang ada sudah terisi lengkap, jelas terbaca, relevan dengan pertanyaan, dan konsisten. 2. Coding, yaitu pemberian kode-kode tertentu untuk memudahkan dalam tahap pengolahan data yaitu dengan cara memberikan kode angka pada data yang berbentuk huruf. Pada variabel independen yaitu jenis kelamin, peniliti memberikan kode angka 0 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan. Variable pendidikan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu 0 rendah jika (tidak sekolah, SD, SMP) dan 1 tinggi jika (SMA dan Perguruan tinggi). Variabel status gizi di kategorikan menjadi 3 kategori yaitu 0 untuk sataus gizi kurus (IMT <18,5) 1 untuk normal(IMT 18,5-25,0), 2 untuk gemuk(IMT >25). Variabel pengetahuan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu 0 jika pengetahuan rendah, 1 jika pengetahuan tinggi. Variabel kepadatan hunian dikategorikan menjadi dua kategori yaitu 0 jika tidak memenuhi syarat (<10m2/orang), 1 jika memenuhi syarat (>10m2/orang). Variabel ventilasi rumahdikategorikan menjadi dua kategori yaitu 0 tidak memenuhi syarat (<10%), 1 jika memenuhi syarat (≥10%). Variabel suhudikategorikan menjadi dua kategori yaitu 0 tidak memenuhi syarat (<18°C atau >30°C), 1 jika memenuhi syarat (18°C-30°C). 3. Entry, yaitu Memasukkan data yang telah diedit dan dicoding dengan menggunakan fasilitas komputer. Kemudian melakukan transformasi data
63
sesuai dengan definisi operasional yang telah ditetapkan. Transformasi data yang dilakukan adalah mengelompokkan data variabel jenis kelamin, pendidikan, status gizi, pengetahuan, kepadatan hunian, ventilasi rumah, dan suhu selanjutnya memberi value label untuk masing-masing variabel yang sudah dikategorikan. 4. Tabulating, yaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dandisusun dalam bentuk tabel agar dapat dibaca dengan mudah. 4.4.4 Analisa Data 1.
Analisis Univariat Analisis Univariat dimaksudkan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dari tiap variabel.
2.
Analisis Bivariat Analisisbivariat untuk mengetahui hubunagn antara variabel independen dan variabel dependen yang telah dianalisis. Analisis uji bivariat menggunakan uji statisticChi Square (x2) dengan derajat kepercayaan 95% (α=0,05) untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Jika P value < 0,05 maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara variable independen terhadap variabel dependen.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian Puskesmas Pondok
Pucung terletak di kelurahan Pondok Pucung kecamatan
Pondok Aren Kota tangerang Selatan. Luas wilayah 245 Ha2 dengan jumlah penduduk sebanyak 30683 jiwa yang terdiri dari 13122 KK, 95 RT dan 16 RW. Alamat Puskesmas Pondok Pucung di Jl. Santunan Jaya RT01/03 Kelurahan Pondok Pucung, Kec. Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Propinsi Banten. Dibangun di atas tanah seluas 1000 m2 dengan luas bangunan 600 m2. Adapun letak Puskesmas Pondok Pucung berada dengan batas-batas sebagai berikut: -
Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat
-
Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Jombang, Kec.Ciputat
-
Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Parigi, Kec Pondok Aren.
-
Utara : Berbatasan dengan kelurahan Pondok Jaya.
5.2 Analisis Univariat 5.2.1
Gambaran Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Distribusi frekuensi kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013, disajikan dalam bentuk tabel 5.1 berikut ini :
64
65
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Ya
23
35,4
Tidak
42
64,6
Total
65
100,0
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa lebih banyak responden yang tidak mengalami kejadian TB Paru sebesar 64,6%.
5.2.2
Gambaran Jenis Kelamin pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Analisis univariat distribusi frekuensi jenis kelamin pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 diperoleh hasil yang disajikan pada tabel 5.2 berikut ini : Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Jenis Kelamin
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Laki-laki
26
40,0
Perempuan
39
60,0
Total
65
100,0
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa responden yang ikut dalam penelitian ini lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 60%.
66
5.2.3
Gambaran Pendidikan pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Analisis univariat distribusi frekuensi pendidikan pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 diperoleh hasil yang disajikan pada tabel 5.3 berikut ini : Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Pendidikan
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Rendah
39
60,0
Tinggi
26
40,0
Total
65
100,0
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak 60%.
5.2.4
Gambaran Status Gizi pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Analisis univariat distribusi frekuensi status gizi pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 diperoleh hasil yang disajikan pada tabel 5.4 berikut ini :
67
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status Gizi di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Satus Gizi
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Kurus
25
38,5
Normal
36
55,4
Gemuk
4
6,2
Total
65
100,0
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dari ketiga kategori status gizi responden, yang memiliki status gizi normal lebih banyak 55,4%.
5.2.5
Gambaran Pengetahuan Mengenai TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh p value sebesar 0,031 artinya distribusi pengetahuan berbentuk tidak normal. Analisis univariat distribusi frekuensi Pengetahuan pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 diperoleh hasil yang disajikan pada tabel 5.5 berikut ini : Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pengetahuan di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Pengetahuan tentang TB Paru
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Rendah
26
40,0
Tinggi
39
60,0
Total
65
100,0
68
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa lebih banyak responden yang memiliki pengetahuan tinggi yaitu sebesar 60%.
5.2.6
Gambaran Kondisi Kepadatan Hunian Rumah pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Analisis univariat distribusi frekuensi kepadatan hunian pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 diperoleh hasil yang disajikan pada tabel 5.6 berikut ini : Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kondisi Kepadatan Hunian Rumah di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kepadatan Hunian
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat
25
38,5
Memenuhi Syarat
40
61,5
Total
65
100,0
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa kondisi kepadatan hunian rumah responden yang memenuhi syarat lebih tinggi 61,5%.
5.2.7
Gambaran Kondisi Ventilasi Rumah pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Analisis univariat distribusi frekuensi ventilasi rumah pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 diperoleh hasil yang disajikan pada tabel 5.7 berikut ini :
69
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kondisi Ventilasi Rumah di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Ventilasi Rumah
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat
23
35,4
Memenuhi Syarat
42
64,6
Total
65
100,0
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa kondisi ventilasi rumah responden yang rumah memenuhi syarat lebih tinggi 64,6%.
5.2.8
Gambaran Keadaan Suhu Ruangan Rumah pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Analisis univariat distribusi frekuensi suhu pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 diperoleh hasil yang disajikan pada tabel 5.8 berikut ini :
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Keadaan Suhu Ruangan Rumah di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Suhu Ruangan
Jumlah Sampel (n)
Persentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat
21
32,3
Memenuhi Syarat
44
67,7
Total
65
100,0
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa keadaan suhu ruangan rumah responden yang memenuhi syarat lebih tinggi 67,7%.
70
5.3 Analisis Bivariat 5.3.1
Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menggunakan uji Chi-Square disajikan pada tabel 5.9 berikut ini : Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru Jenis Kelamin
Ya
Total
Tidak
P
N
%
N
%
N
%
Laki-laki
8
30,8
18
69,2
26
100,0
Perempuan
15
38,5
24
61,5
39
100,0
Total
23
35,4
42
64,6
65
100,0
value
0,602
Berdasarkan tabel 5.9 hasil analisis antara jenis kelamin dengan dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 dapat diketahui bahwa dari 26 responden yang berjenis kelamin lakilaki, terdapat 8 responden (30,8%) yang menderita TB Paru. Sedangkan dari 39 responden yang berjenis kelamin perempuan, terdapat 15 reponden (38,5%) yang menderita TB Paru. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,602, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru.
71
5.3.2
Analisis Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian TB Paru Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan pendidkan dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menggunakan uji Chi-Square disajikan pada tabel 5.10 berikut ini : Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru Pendidikan
Ya
Total
Tidak
N
%
N
%
N
%
Rendah
17
43,6
22
56,4
39
100,0
Tinggi
6
23,1
20
76,9
26
100,0
Total
23
35,4
42
64,6
65
100,0
P value
0,116
Berdasarkan tabel 5.10 hasil analisis antara pendidikan dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 39 responden yang ber pendidikan rendah , terdapat 17 responden (43,6%) yang menderita TB Paru. Sedangkan dari 26 responden yang ber pendidikan tinggi, terdapat6 reponden (23.1%) yang menderita TB Paru. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,116, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB Paru.
72
5.3.3
Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian TB Paru Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menggunakan uji Chi-Square disajikan pada tabel 5.11 berikut ini : Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru Status Gizi
Ya
Total
Tidak
N
%
N
%
N
%
Kurus
16
64,0
9
36,0
25
100,0
Normal
17
19,4
29
80,6
36
100,0
Gemuk
0
0,00
4
100
4
100,0
Total
23
35,4
42
64,6
65
100,0
P value
0,001
Berdasarkan tabel 5.11 hasil analisis antara status gizi dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 25 responden yang ber status gizi kurus, terdapat 16 responden (64,0%) yang menderita TB Paru. Diatara 36 responden yang ber status gizi normal, terdapat17 reponden (19,4%) yang menderita TB Paru. Sedangkan dari 4 responden yang ber status gizi gemuk tidak terdapat responden yang menderita TB Paru. Dari hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p value sebesar 0,001, artinya pada α = 5% menunjukkan ada hubungan antara status gizi dengan kejadian TB Paru.
73
5.3.4
Analisis Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menggunakan uji Chi-Square disajikan pada tabel 5.12 berikut ini : Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru Pengetahuan
Ya
Total
Tidak
N
%
N
%
N
%
Rendah
10
38,5
16
61,5
26
100,0
Tinggi
13
33,3
26
66,7
39
100,0
Total
57
35,4
63
64,6
65
100,0
P value
0,792
Berdasarkan tabel 5.12 hasil analisis antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 26 responden yang ber pengetahuan rendah , terdapat 10 responden (38,5%) yang menderita TB Paru. Sedangkan dari 39 responden yang ber pengetahuan tinggi, terdapat13 reponden (33.3%) yang menderita TB Paru. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,792, artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru.
74
5.3.5
Analisis Hubungan antara Kondisi Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB Paru Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menggunakan uji Chi-Square disajikan pada tabel 5.13 berikut ini : Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Kondisi Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru Kepadatan Hunian
Ya
Total
Tidak
N
%
N
%
N
%
Tidak Memenuhi Syarat
15
60,0
10
40,0
25
100,0
Memenuhi Syarat
8
20,0
32
80,0
40
100,0
Total
57
35,4
63
64,6
65
100,0
P value
0,001
Berdasarkan tabel 5.13 hasil analisis antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 dapat diketahui bahwa dari 25 responden yang kepadatan hunian tidak memenuhi syarat, terdapat 15 responden (60,0%) yang menderita TB Paru. Sedangkan dari 40 responden yang kepadatan hunian memenuhi syarat, terdapat8 reponden (20,0%) yang menderita TB Paru.
75
Dari hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p value sebesar 0,001, artinya pada α = 5%
menunjukkan ada hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian TB Paru. 5.3.6
Analisis Hubungan antara Kondisi Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menggunakan uji Chi-Square disajikan pada tabel 5.14 berikut ini : Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru Ventilasi Rumah
Ya
Total
Tidak
N
%
N
%
N
%
Tidak Memenuhi Syarat
13
56,5
10
43,5
23
100,0
Memenuhi Syarat
10
23,8
32
76,2
42
100,0
Total
23
35,4
42
64,6
65
100,0
P value
0,014
Berdasarkan tabel 5.14 hasil analisis antara ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 dapat diketahui bahwa dari 23 responden yang ventilasi rumah tidak memenuhi syarat, terdapat 13 responden (56,5%) yang menderita TB Paru. Sedangkan dari 42 responden yang ventilasi rumah memenuhi syarat, terdapat 10 reponden (23,8%) yang menderita TB Paru.
76
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,014, artinya pada α = 5% menunjukkan ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru. 5.3.7
Analisis Hubungan antara Keadaan Suhu Ruangan Rumah dengan Kejadian TB Paru Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara suhu dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 menggunakan uji Chi-Square disajikan pada tabel 5.15 berikut ini : Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Keadaan Suhu Ruangan Rumah dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013 Kejadian TB Paru Suhu
Ya
Total
Tidak
P value
N
%
N
%
N
%
Tidak Memenuhi Syarat
9
42,9
12
57,1
21
100,0
Memenuhi Syarat
14
31,8
30
68,2
44
100,0
Total
23
35,4
42
64,6
65
100,0
0,417
Berdasarkan tabel 5.15 hasil analisis antara suhu dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan tahun 2013 dapat diketahui bahwa dari 21 responden yang suhu tidak memenuhi syarat, terdapat 9 responden (42,9%) yang menderita TB Paru. Sedangkan dari 44 responden yang suhu memenuhi syarat, terdapat 14 reponden (31,8%) yang menderita TB Paru.
77
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar 0,0417, artinya pada α = 5% menunjukkan tidak ada hubungan antara suhu dengan kejadian TB Paru.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian 1. Rancangan Penelitian Rancangan dari penelititan ini adalah Cross sectional (potong lintang) dimana pada penelitian ini tidak dapat ditentukan arah hubungan sebab akibat antara variabel independen dengan variabel dependen, kondisi ini disebabkan karena variabel independen dan variabel dependen di ukur secara bersamaan sehingga tidak dapat ditentukan urutan waktu variabel mana yang terjadi terlebih dahulu. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah responden yang menderita TB Paru melakukan perubahan terhadap faktor risiko utama seperti memperbaiki sistem ventilasi rumah, perpindahan tempat tinggal, pengurangan atau pertambahan jumlah penghuni rumah, dan keadaan status gizi sebelum responden sakit tidak diketahui sehingga pada saat penelitian dilakukan berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. 2. Bias Dalam penelitian ini ada beberapa jenis bias yang mungkin dapat terjadi. Bias yang mungkin terjadi adalah bias informasi. Bias informasi yang dapat terjadi bisa dilihat dari aspek responden, pewawancara, instrumen penelitian dan pengumpulan data. Bias pada responden terjadi karena responden tidak memahami pertanyaan pewawancara atau lupa terutama untuk pertanyaan yang digali secara retrosfektif
78
79
berdasarkan ingatan, terjadi bias ini bisa pada kelompok terpajan maupun pada kelompok tidak terpajan. Bias karena pewawancara disebabkan karena adanya kecenderungan dari pewawancara untuk mengarahkan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan. Hal ini dipengaruhi karena keyakinan pewawancara terhadap suatu faktor risiko yang sedang dibuktikan oleh peneliti. Bias ini juga bisa disebabkan karena pewawancara adalah petugas puskesmas, ada kemungkinan yang diwawancara tidak menjawab dengan sebenarnya. Bias instrumen bisa terjadi karena ada beberapa responden kurang mengerti atau paham maksud dari kuesioner dan alat ukur yang digunakan untuk mengukur kondisi fisik rumah. Bias seleksi mungkin terjadi pada saat penetuan sampel penelitian. Penentuan sampel dalam penelitian ditetapkan berdasarkan data rekam medis puskesmas dimana penetapan sampel dilakukan secara acak sederhana, kemungkinan pada saat pengambilan sampel terjadi bias seleksi. Bias ini juga mungkin terjadi karena fisik rumah yang ditempati responden telah direnovasi atau telah pindah rumah selama kurun penelitian ini.
6.2 Gambaran Kejadian TB Paru Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosi). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacteriumtuberculosis dan 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).Tuberkulosis paru (TB paru)
80
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis dan ditularkan melalui udara pada saat pasien TB batuk atau bersin (Depkes RI, 2006). Pada penelitian ini, hasil uji univariat menunjukkan bahwa sebanyak 35,4% dari responden mengalami kejadian TB paru yaitu sebesar 23 orang dari 65 orang responden. Penelitian ini dilakukan pada responden yang berusia produktif yaitu usia 15-64 tahun yang tercatat pada data rekam medis Puskesmas Pondok Pucung pada bulan april- juni 2013. Temuan ini sejalan dengan beberapa penelitian seperti penelitian yang dilakukan oleh Musadad (2006) yang menemukan sekitar 90,2% penderita TB paru terjadi pada kelompok usia produktif. Selanjutnya penelitian Sutiningsih (2012) menyebutkan bahwa proporsi responden pada usia produktif cenderung lebih banyak 76,7% terhadap kejadian TB paru. Serta penelitian Putranto Perdana (2008) di Jakarta Timur yang menyatakan bahwa usia produktif berisiko besar terhadap penularan penyakit TB Paru daripada pada usia yang tidak produktif. Umur produktif sangat berbahaya terhadap tingkat penularan karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yang tinggi dan memungkinkan untuk menular ke orang lain serta lingkungan sekitar tempat tinggal.
6.3 Karakteristik Individu 6.3.1
Jenis Kelamin Dari hasil penelitian variabel jenis kelamin diperoleh proporsi kejadian TB Paru tinggi pada jenis kelamin perempuan (38,5%) dibandingkan pada jenis kelamin laki-laki (30,8%). Hal ini disebabkan karena responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak jumlah nya (60%) dibandingkan dengan
81
responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak (40%). Dalam pengambilan sampel penelitian ini diambil secara acak sehingga jumlah responden perempuan yang menjadi responden sedikit lebih banyak dibandingkan responden laki-laki. Dari hasil uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru (p value = 0.602). Menurut peneliti, tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru dikarenakan proporsi antara responden laki-laki dan perempuan yang ikut dalam penelitian ini lebih didominasi oleh perempuan. Berdasarkan hal tersebut sehingga jumlah responden perempuan menjadi lebih banyak yang mengalami kejadian TB Paru dibandingkan laki-laki. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan retnaningsih dkk (2010) yang menyebutkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru dimana proporsi responden perempuan lebih banyak yaitu 58 responden dibandingkan laki-laki yang hanya 42 responden dengan angka kejadian TB Paru pada perempuan 81% lebih tinggi dibanding pada laki laki yang hanya 78,6%. Selain itu peneliti berpendapat bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak yang mengalami kejadian TB Paru dibandingkan laki-laki dikarenakan di puskesmas pondok pucung jumlah kunjungan pasien per april-juni lebih banyak di dominasi oleh perempuan dibandingkan laki-laki hal tersebut dikarenakan laki-laki malas untuk pergi ke puskesmas kalau belum benar-benar sakit parah dengan alasan masalah pekerjaan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh zuliana (2009) bahwa perempuan 80% lebih patuh untuk pergi ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 20%. Ini dapat diasumsikan
82
bahwa perempuan dengan mobilitas yang rendah memiliki banyak waktu untuk memperhatikan kesehatannya sehingga lebih disiplin untuk melakukan pemeriksaan/pengobatan ke pelayanan kesehatan di bandingkan dengan laki-laki yang lebih banyak mobilitas diluar. 6.3.2
Pendidikan Dari hasil penelitian variabel pendidikan diperoleh proporsi kejadian TB Paru tinggi pada responden yang berpendidikan rendah yaitu (43,6%) dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi sebanyak (23,1%). Dari hasil uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB Paru (p value = 0,116). Walaupun secara statistik pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian TB paru tetapi secara gambaran responden yang memiliki pendidikan rendah angka kejadian TB paru lebih tinggi dibandingkan responden yang ber pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan TB paru menyerang sebagian besar kelompok ekonomi rendah dan berpendidikan rendah (Depkes RI, 2000). Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan, penyakit TB paru dan penularan TB paru sehingga dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan lebih mudah memahami tentang penyakit TB paru dan mencoba untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi jenis pekerjaannya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sutiningsih (2012) yang menyatakan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko 0,579 kali lebih besar untuk
83
terjadinya TB paru dibandingkan tingkat pendidikan tinggi. Penelitian ini juga diperkuat oleh data RISKESDAS (2007) dimana TB Paru empat kali lebih sering menyerang pasien dengan tingkat pendidikan rendah dibandingkan pendidikan tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Notoatmojo (1993) dalam Bagoes (2006) yang menyatakan bahwa pendidikan pada individu atau kelompok bertujuan untuk mencari peningkatan kemampuan yang diharapkan. Seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan dalam satu bidang akan mempunyai pengetahuan dan ketrampilan tertentu pula. Pendapat Kasno Diharjo (1998) dalam Bagoes (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku positif adalah tingkat pendidikan. Sedangkan menurut Green (1991), menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan perilaku kesehatan individu dan kelompok adalah faktor pendidikan. Firman Allah swt. yang berhubungan dengan Pendidikan, sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S.Al-Kahf ayat 66 sebagai berikut :
ُه ِبِّل ْل َق ُهر ْلشدًا
و ٰى َق ْل َق َّت ِب ُه َق َق َق ٰى َق ْل ُه َق ِبِّل َق ِب ِب َّت َق َقا َق ُه ُه َق
“Musa berkata kepada Khidir “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” Dari ayat diatas dapat diambil beberapa pokok pemikiran; Pada arti kata “mengajarkan” dalam hal ini menerangkan bahwa peran seorang guru adalah
84
fasilitator, tutor atau pendamping.Peran tersebut dilakukan agar anak didiknya sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Negara dan agamanya.Selanjutnya arti kata “ilmu yang telah diajarkan” dari apa yang telah dia ketahui dan dia pelajari maka dia akan mengetahui berbagai macam hal dan dapat mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah. Dan kesemua hal tersebut dapat diwujudkan dengan menempuh pendidikan secara formal sesuai dengan tingkatan-tingkatannya. 6.3.3
Status Gizi Status gizi dalam penelitian ini adalah Keadaan derajat kesehatan responden dengan pengukuran berat badan (Kilogram) dibagi dengan tinggi badan (meter) atau Indek Masa Tubuh (IMT). Berdasarkan hasil penelitian variabel status gizi diperoleh proporsi kejadian TB Paru tinggi pada responden yang ber status gizi kurus yaitu (64%) dibandingkan dengan responden yang berstatus gizi normal yaitu (19,4%). Dari hasil uji statistik menunjukan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian TB Paru (p value = 0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan peneltian yang dilakukan Ruswanto (2010) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian TB Paru dimana penduduk yang berstatus gizi buruk mempunyai risiko 14,654 kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang status gizi baik terhadap kejadian TB paru. Penelitian ini ditunjang oleh Warta Gerdunas Januari 2003 (dalam Unita 2004) bahwa gizi kurang dan makanan yang tidak adequate memperlemah sistem kekebalan yang akan meningkatkan infeksi dan dapat
85
terjadi infeksi dan terjadi reaktifasi yang akan berkembang menjadi TBC aktif. Hasil penelitian Elvina (2002) dari pusat gizi regional universitas Indonesia menyebutkan bahwa jumlah penderita TB Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa (18 tahun ke atas) merupakan masalah penting,karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri
terhadap
infeksi menjadi menurun (Rusnoto, dkk, 2006). Untuk memperbaiki status gizi masyarakat diperlukan upaya yang terpadu dari berbagai pihak antara lain dari kesehatan dan pemerintah setempat. Pihak puskesmas harus selalu memberikan penyuluhan terhadap masyarakat pentingnya tubuh mendapatkan asupan gizi yang baik serta memberikan makanan tambahan kepada para penderita TB Paru. Peningkatan gizi masyarakat tidak terlepas dari pendapatan masyarakat, oleh karena itu pemerintah setempat harus mengupayakan lapangan kerja bagi masyarakat yang tidak bekerja. Diharapkan dengan pendapatan masyarakat yang cukup mereka akan mampu membeli makanan yang cukup bergizi.
86
Firman Allah swt. memerintahkan kita untuk menkonsumsi makanan yanghalal juga baik (Halalan Thoyyiban), sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S.Al-Maidah ayat 88 sebagai berikut :
َق ْل ُه ْل ِب ِب ُه ْل ِب ُه َق
َق ِبِّل ً ۚ َق ا َّت ُه ا َّت ااَق ا َّت ِب
ً ااُه َق َق َق ُه ُه ا ِب َّت َقر َق َق ُه ُه َّت
“dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang telah dirizkikan kepada mu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepadaNya” Dalam tafsir Syaikh Nashir as-Sa‟dy (2005) makanan yang halal adalah yang diproses maupun diperoleh atau sumber nya dengan cara yang halal, yaitu tidak dari hasil curian, korupsi dan mendzlimi orang lain atau apabila hewan potong harus menyebut asma Allah swt. saat dilakukan pemotongan. Selain itu makanan juga harus baik, yaitu cukup bergizi, makanan yang lengkap dan seimbang porsi dengan kebutuhan aktivitas bekerja, tidak mengandung zat-zat membahayakan, alami dan tidak berlebihan. 6.3.4
Pengetahuan Pengetahuan
merupakan
salah
satu
faktor
yang
diduga
dapat
mempengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak atau melakukan suatu hal. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu hasil dari tahu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyakit TB Paru mulai dari pengertian, penyebab, gejala, penularan dan pencegahan penyakit TBC. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi lebih banyak
87
(60%) dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan rendah (40%). Berdasarkan hasil tabulasi silang antara pengetahuan dengan kejadian TB paru dapat diketahui bahwa kejadian TB paru lebih banyak dialami oleh responden yang memiliki pengetahuan rendah yaitu sebesar 38,3%. Sementara itu kejadian TB paru hanya dialami oleh 33,3% responden yang memiliki pengetahuan tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan p value sebesar 0,792 yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB paru. Ada beberapa asumsi yang menyebabkan variabel pengetahuan pada penelitian ini tidak berhubungan dengan kejadian TB Paru, antara lain; pertama, dapat dilihat pada beberapa jawaban responden yang masih kurang tepat pada pertanyaan pengetahuan tentang TB, terutama pada pertanyaan penyebab TB paru dan syarat ventilasi rumah yang baik sehingga berpengaruh pada pengetahuan responden secara kumulatif, selain itu angka kejadian TB paru di puskesmas pondok pucung tidak jauh berbeda antara responden yang berpengetahuan tinggi dan responden yang berpengetahuan rendah dikarenakan responden yang mengalami TB paru sudah sering mendapatkan penyuluhan terkait masalah penyakit TB paru sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden. Tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB paru sejalan
dengan
teori
Notoatmodjo
(2003)
dalam
Aini
(2009)
yang
mendefinisikan bahwa perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berfikir, sikap,
88
motivasi, dan reaksi sehingga setiap tindakan manusia baik yang positif maupun negatif didasarkan oleh salah satu faktor tersebut. Responden yang mengalami kejadian TB paru dengan pengetahuan tinggi tertutupi oleh gejala kejiwaaan yang lain seperti keinginan, kehendak, emosi, sikap, motivasi, dan reaksi. Hal ini didukung oleh pendapat Green (1991) dalam Aini (2009) yang mengatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku. Meskipun pada penelitian ini tingkat pengetahuan responden tidak memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru, tetapi pengetahuan tetap memiliki peran dalam penularan TB Paru. Penelitian Rajagukguk (2008) dalam Manullang (2011) di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir menjelaskan bahwa semakin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit TB Paru untuk dirinya, keluarga dan masyarakat di sekitarnya, maka semakin besar bahaya sipenderita sebagai sumber penularan penyakit, baik di rumah maupun di tempat pekerjaannya, untuk keluarga dan orang-orang sekitarnya. Demikian juga dengan penelitian Tobing (2009) di Kabupaten Tapanuli Utara yang menyatakan bahwa potensi penularan TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan rendah. Allah SWT. berfirman Q.S. Az-Zumar: 9 :
ا ا َّت ِبي َق يَق ْل َق ُه َق َق ا َّت ِبي َق َق يَق ْل َق ُه َق ۗ ِبإ َّت َق يَق َق َق َّت ُه ُه ُه ْلاا َق ْل َق ِب
َق ْل يَق ْلس َق ِب
“Apakah sama; antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui ? Sesungguhnya tiada lain yang bisa mengambil pelajaran (mereka yang mau beri’tibar) hanyalah orang-orang yang mempunyai pikiran/akal“
89
Ayat diatas menunjukan atas kesempurnaan manusia apabila mempunyai ilmu pengetahuan. Kedudukan orang berilmu akan mendapatkan pahala yang besar, dan Allah akan meninggikan derajat nya, baik disisi Allah maupun dihadapan manusia. Perkataan tersebut dinyatakan dengan susunan pertanyaan (istifham) untuk menunjukan bahwa orang-orang yang mencapai derajat tertinggi adalah orang yang mempunyai ilmu, sedang yang lain jatuh kedalam jurang keburukan (orang yang tidak berilmu). Hadits Nabi pun mengatkan “Barang siapa yang menginginkan dunia, hendaklah ia berilmu, barang siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia berilmu, dan barang siapa menginginkan kedua-duanya sekaligus, ia pun harus berilmu”.
6.4 Tingkat Sirkulasi Oksigen 6.3.1
Kepadatan Hunian Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga satu rumah tinggal (Lubis,1989). Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuinya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubel (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga lain.
90
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki kondisi kepadatan hunian memenuhi syarat lebih banyak (61,5%) dibandingkan dengan responden yang memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (38,5%). Berdasarkan hasil tabulasi silang antara kepadatan hunian dengan kejadian TB paru dapat diketahui bahwa kejadian TB paru lebih banyak dialami oleh responden yang memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 60%. Sementara itu kejadian TB paru hanya dialami oleh 20% responden yang memiliki kepadatan hunian memenuhi syarat. Hasil uji statistik menunjukkan P value sebesar 0,001 yang artinya ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Niko (2011) di kota solok yang menyimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara kepadata hunian dengan kejadian TB paru, diman risiko untuk terkena TB paru 5,95 kali lebih tinggi pada responden yang tinggal pada kepadatan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Adrial (2005) di batam yang mendapatkan bahwa orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat mempunyai 4,55 kali lebih besar untuk terkena TB paru bandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan. Adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB paru karena kepadatan hunian merupakan pencetus awal pada proses penularan penyakit. Semakin padat tingkat hunian, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah
91
dan cepat terjadi. Oleh karena itu, kepadatan hunian dalam rumah merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/ luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10m2 per orang. Kepadatan hunian ditentukan berdasarkan jumlah penghuni rumah per luas lantai ruangan merupakan faktor yang penting. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni akan menyebabkan overcrowded yang dapat menyebabkan tidak terpenuhinya konsumsi oksigen yang dibutuhkan anggota keluarga sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi kepada anggota keluarga lain (Depkes, 2002). Menurut Putra Prabu dalam buku Kesehatatan Lingkungan Soemirat, 2000 luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuniny agar tidak menyebabkan overload. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang, untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang Allah swt. berfirman Q.S. Al-A‟raaf : 31 :
َق َق ُه ْلس ِب ُه ا ۚ ِبإ َّت ُه َق يُه ِب ُّب ا ْل ُه ْلس ِب ِب َق “dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan.”
92
Dalam Al-Qur‟an dan Tafsirannya (2011), pada kosakata Al-Mufsiriin yaitu berasal dari kata asrafa-yusrifu yang dapat di artikan dengan melampaui batas atau berlebih-lebihan. Seseorang yang mengerjakan sesuatu atau menggunakan sesuatu dengan sikap yang tidak wajar dan melebihi batas yang normal, dapat dikatakan ia telah bersikap isra’f, demikian Allah swt. membolehkan manusia untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ukurannya dan kemudian diikuti dengan celaan terhadap orang yang melakukan sesuatu secara berlebihan. Hal ini tentu disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang, karena kadar tertentu. Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa kata tersebut (isra’f) mengajarkan sikap proporsional dalam semua aspek perbuatan. 6.3.2
Ventilasi Rumah Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban, keringat manusia juga mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi, khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun dari keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup dimana banyak terdapat manusia didalamnya lebih tinggi kelembabannya dibanding di luar ruangan. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga mengencerkan konsentrasi kuman TBC dan kuman lain, dimana kuman tersebut akan terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Oleh karena itu apabila konstruksi rumah menggunakan genteng kaca, maka hali ini merupakan kombinasi yang baik (Whardana, 2006).
93
Ventilasi rumah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas ventilasi yang meliputi luas lubang angin yang dapat masuk kedalam rumah dibagi dengan luas lantai yang dikelompokan atas dua kategorik yaitu tidak memenuhi syarat dan memenuhi syarat. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki ventilasi rumah memenuhi syarat lebih banyak (64,6%) dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi rumah tidak memenuhi syarat (35,4%). Berdasarkan hasil tabulasi silang antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dapat diketahui bahwa kejadian TB paru lebih banyak dialami oleh responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 56,5%. Sementara itu kejadian TB paru hanya dialami oleh 23,8% responden yang memiliki ventilasi rumah memenuhi syarat. Hasil uji statistik menunjukkan p value sebesar 0,014 yang artinya ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Darwel (2012) di sumatera yang menyatakan adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru, penelitian ini mendapatkan risiko untuk terkena TB Paru 1.314 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Sejalam dengan Adrial (2005) menyatakan bahwa luas yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko untuk terkena TB Paru sebesar 4.55 kali dibandingkan dengan luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Silviana (2006) orang
94
dengan ventilasi rumah yang kurang atau sama dengan 10% berisiko 18.11 kali lebih besar untuk menderita TB Paru dibandingkan orang dengan ventilasi rumah lebih dari 10% luas lantai. Penelitian Budiyanti (2003) juga menyatakan adanya hubungan antara ventilasi kamar tidur dengan kejadian TB Paru dimana disimpulkan bahwa orang yang tinggal dengan ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko terkena TB Paru sebesar 2.58 kali dibandingkan dengan yang memenuhi syarat. Adanya hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan TB Paru karena ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban sehingga bisa mengencerkan konsentrasi kuman TBC dan kuman lain yang akan terbawa keluar dan mati terkena sinar matahari (Whardana, 2006)). Perjalanan Kuman TB paru setelah dikeluarkan penderita melalui batuk akan terhirup oleh orang disekitarnya dan sampai ke paru-paru. Dengan adanya ventilasi yang baik maka akan menjamin terjadinya pertukaran udara sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi sehingga dapat mengurangi kemungkinan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru (Depkes, 2002). Ventilasi yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian udara dalam kamar sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Kamar dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman selalu dalam konsentrasi tinggi sehingga memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain. Ventilasi rumah yang tidak cukup menyebabkan aliran udara tidak terjaga sehingga kelembaban udara didalam ruangan naik dan kondisi ini menjadi media
95
yang baik bagi perkembangan kuman patogen. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 10% dari luas lantai (Simbolon, 2007). 6.3.3
Suhu Suhu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah temperatur dalam ruangan tempat responden sering menghabiskan waktunya, yang diukur secara langsung menggunakan alat pengukur suhu dengan pengukuran sewaktu. Suhu dikelompokan atas dua kategorik yaitu tidak memenuhi syarat dan memenuhi syarat. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang suhu ruangan memenuhi syarat lebih banyak (67,7%) dibandingkan dengan responden yang suhu ruangan nya tidak memenuhi syarat (32,3%). Berdasarkan hasil tabulasi silang antara keadaan suhu ruangan rumah dengan kejadian TB paru dapat diketahui bahwa kejadian TB paru lebih banyak dialami oleh responden yang suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 42,9%. Sementara itu kejadian TB paru hanya dialami oleh 31,8% responden yang memiliki suhu ruangan yang memenuhi syarat. Hasil uji statistik menunjukkan p value sebesar 0,417 yang artinya tidak ada hubungan antara suhu dengan kejadian TB paru. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Fatimah (2008) yang menyatakan suhu mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian TB paru dimana seseorang yang tinggal di dalam rumah dengan suhu udara tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,674 kali lebih besar untuk menderitaTB Paru dibanding seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu memenuhi syarat.
96
Serta penelitian yag dilakukan Ruswanto (2010) menunjukkan bahwa suhu ruangan dalam rumah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru dan berisiko 2,93 kali lebih besar pada suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat dibandingkan rumah dengan suhu ruangan memenuhi syarat. Meskipun pada penelitian ini suhu tidak memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru, suhu tetap memiliki peran dalam penularan TB Paru. Menurut Gould dan Brooker (2003), bakteri Mycobacterium tuberculosa memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi pada rentang suhu ini terdapat suatu suhu optimum yang memungkinkan mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40º C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 – 37 º C. Menurut peneliti, tidak adanya hubungan suhu dengan kejadian TB Paru dikarenakan terjadi homogenitas atau proporsi kejadian TB paru antara suhu memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat memiliki sebaran yang hampir sama. Selain itu peneliti berpendapat bahwa jumlah responden yang memiliki suhu memenuhi syarat lebih banyak dibandingkan yang tidak memenuhi syarat dikarenakan pada saat melakukan pengukuran kondisi cuaca dilapangan sedang musim hujan sehingga mempengaruhi kecepatan angin yang dapat berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Asumsi lain dari peneliti tidak adanya hubungan dari variabel suhu dikarenakan pengkuruan dilakukan tanpa berpatokan dengan waktu dan hanya dilakukan satu kali pengukuran sehingga hasil pengukuran yang
97
didapat bisa jadi tidak valid atau homogen. Sedangkan menurut teori pengukuran yang baik tidak hanya dilakukan hanya satu kali pengukuran atau sewaktu, karena suhu di pagi hari berbeda dengan suhu pada siang hari dan juga pada malam hari. Menurut Subaid (2002) Faktor meteorologis yang memegang peran dalam proses peningkatan atau penurunan suhu adalah faktor angin (kecepatan dan arah), turbulensi, stabilitas atmosfer dan inversi. Selain itu ada pula faktorfaktor meteorologi sekunder yang mempengaruhinya, antara lain hujan, kabut dan radiasi surya. Maka, dapat disimpulkan bahwa faktor iklim dan meteorology mempengaruhi konsentrasi suhu pada suatu lingkungan tertentu.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Gambaran kejadian TB paru di Puskesmas Pondok Pucung-Tagerang Selatan tahun 2013, didapatkan dari 65 responden penelitian yang mengalami kejadian TB paru sebanyak 23 orang (35,4%) sedangkan 42 orang (64,6%) tidak mengalami kejadian TB Paru. 2. Gambaran karakteristik individu (Jenis kelamin, pendidikan, status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung adalah sebagai berikut : a. Responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak 39 orang (60%) dari pada laki-laki yang hanya 26 orang (40%). b. Responden yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak 39 orang (60%) dari pada pendidikan tinggi yang hanya 26 orang (40%). c. Status Gizi responden yang memiliki status gizi kurus 25 orang (38,5%), status gizi normal 36 orang (55,4%) dan status gizi gemuk 4 orang (6,2%). d. Responden yang memiliki pengetahuan tinggi lebih banyak 39 orang (60%) dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak 26 orang (40%).
98
99
3. Gambaran tingkat sirkulasi oksigen (Kepadatan hunian, ventilasi rumah, dan suhu) pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan tahun 2013 adalah sebagai berikut : a. Responden yang kepadatan hunian memenuhi syarat lebih tinggi 40 orang (61,5%) dibandingkan responden dengan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat 25 orang (38,5%). b. Responden yang ventilasi rumah memenuhi syarat lebih tinggi 42 orang (64,6%) dibandingkan responden dengan ventilasi rumah tidak memenuhi syarat 23 orang (35,4%). c. Responden yang suhu ruangan memenuhi syarat lebih tinggi 44 orang (67,7%) dibandingkan responden dengan suhu ruangan tidak memenuhi syarat 21 orang (32,3%). 4. Berdasarkan hasil uji statistik bivariat hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu dengan kejadian TB paru pada pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan tahun 2013 adalahsebagai berikut : a. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB parudengan nilai p value 0,602. b. Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB paru dengan nilai p value 0,116. c. Ada hubungan antara status gizi dengn kejadian TB paru dengan nilai p value 0,001. d. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB paru dengan nilai p value 0,792
100
e. Ada hubungan antara kondisi kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai p value 0,001 f. Ada hubungan antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai p value 0,014 g. Tidak ada hubungan antara keadaan suhu ruangan rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai p value 0,417
7.2 Saran 1. Bagi pengambil kebijakan a. Perlu ditingkatkan upaya penjaringan terhadap penderita tuberkulosis paru baik secara aktif di lapangan maupun pasif di tempat pelayanan kesehatan dengan melibatkan langsung para kader dan ahli kesehatan setempat. b. Membuat program-program yang berbasis kesehatan masyarakat seperti; diadakan perlombaan RW/RT sehat, program rumah sehat, program penyehatan lingkungan secara rutin minimal setiap 1 bulan sekali, program penyuluhan tentang makanan sehat serta memberikan makanan tambahan kepada pasien TB. c. Menetapkan kebijakan sanitasi rumah menjadi persyaratan dalam IMB kepada masyarakat sesuai dengan standar baku yang ada. d. Melatih para kader terkait informasi tentang TB dengan komunikasi aktif kader terhadap masyarakat seperti; penyuluhan tetang pencegahan penyakit TB, penemuan kasus TB, serta pengawasan dalam minum obat pasien TB. 2. Bagi masyarakat
101
a. Saat merenovasi atau membangun rumah untuk lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat sepertiventilasi, pencahayaan, kebiasaan membuka jendela dan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat untuk menghindari penularan penyakit tuberkulosis paru dengan memperhatikan asupan makanan yang bergizi. b. Memisahkan tempat tidur dan alat makan bagi anggota keluarga yang menderita TB Paru . c. Melakukan pengawasan minum obat secara partisifatif bagi anggota keluarga atau tetangga terdekat. 3. Bagi peneliti selanjutnya a. agar dapat meneliti faktor-faktor atau variabel lain seperti perilaku, kontak penderita, kepatuhan berobat,dll yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis Paru di pondok pucung. Dengan menggunkan disain penelitan yang lebih akurat seperti; case control dan kohort.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. (2010). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Gramedia, Jakarta Adrial, (2005). Hubungan faktor lingkungan rumah terhadap kejadian Tuberkulosi Paru
BTA Positif di kota batam propinsi kepulauan riau thun2005. Tesis.
Depok : FKM UI. Aditia. (2010). Sanitasi Perumahan dan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan (Online).http://www.scribd.com/doc/22075956/SanitasiPerumahanpemukimn diakses tanggal 1 Maret 2013. Akbar. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tbc-Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bolangitang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2010. Peminatan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Gorontalo Aini. (2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecenderungan Perilaku Makan Menyimpang pada Mahasiswi Penghuni Asrama Putri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009. (Skripsi). FKIK UIN SYAHID, Jakarta. Ayunah, yuyun. (2008). Hubungan antara Faktor-faktor Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di Kecamatan
Cilandak
Jakarta Selatan tahun 2008. Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Bagoes Widjanarko (2006). Pengaruh Karakteristik, Pengetahuan Dan Sikap Petugas Pemegang Program Tuberkulosis Paru Puskesmas Terhadap Penemuan Suspek TB Paru Di Kabupaten Blora. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 2006;1:1. Boyd, C.E. (1988). Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA.
Chandra W., Maria CH Winarti., H Mewengkang. (2004). Kasus Kontak Tuberkulosis paru di klinik paru Rumah Sakit Umum Pusat Manado. Majalah Kedokteran Indonesia Darwel, (2012). faktor-faktor yang berkolerasi terhadap hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di sumatera (analisis data riskesdas 2010) Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta Departemen Kesehatan RI. (2000). Visi Misi Indonesia Sehat 2010. Jakarta Departemen Kesehatan RI, Ditjen P2MPL. (2002). Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan TBC, Edisi 2, Cetakan ke-2, Depkes RI, Jakarta Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan TBC, Edisi 2, Cetakan pertama. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf. 31 Januari 2013 Departemen
Kesehatan
RI.
(2009).
Profil
Kesehatan
Indonesia
2008.
http://www.depkes.go.id/download/publikasi/Profil_Kesehatan_Indonesia_20 08.pdf 31 Januari 2013 Departemen Pekerjaan Umum, Pedoman Teknik Pembangunan perumahan Sederhana Tidak Bersusun, SK menteri Pekerjaan Umum No 20/kep/1986. Jakarta.1986. ______, 2000. Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992, Tentang Kesehatan, Jakarta. Elvina K. (2002). Pusat Kajian Gizi Regional. Universitas Indonesia Ernawati, Dwi. (2011). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru BTA (+) di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember tahun 2011. Skripsi FKM UI, Depok
Farochi. (2012). Kebutuhan Oksigen Manusia. Jurnal Kedokteran (online). http://www.fakultaskedokteran.com/jurnal/jurnal-kebutuhan-oksigenmanusia/ diakses tanggal 2 Maret 2013
Fatimah, Siti. (2008). Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimun, Gandrungmangu, Bantasari) Tahun 2008. Program Pascasarjana Universitas Diponegor Semarang. Junediyono. (2003). Faktor Risiko Timbulnua Penyakit TB Paru di Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Tahun 2002.
Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan Kerangka kerja penanggulangan TBC di Indonesia 2006-2010 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Karminignsih. (2002). Hubungan kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB
Paru BTA (+) di Kecamatan Koja Kodya Jakarta utara tahun 2002.
Universitas Indonesia Jakarta Keman, Soedjajadi. (2005). Kesehatan Perumahan Dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No. 1, 34 Juli 2005 : 29 -42. Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Airlangga Manullang, S. (2011). Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Tentang
Faktor
Tuberkulosis Paru
Lingkungan di
Fisik
Wilayah
Rumah Kerja
Terhadap Puskesmas
Kejadian Sukarame
Kecamatan
Kualuh Hulu Kabupaten
Labuhanbatu
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29778
Utara.
/7/.pdf
[online].
[diakses
6
agustus 2013]. Musadad (2006). Environmental Factor Relation of House with Infection of TB Paru
through Housing Contact. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol.5 No 3,
Desember 2006 : 486-496 Nasution, Siti Khadijah. (2004). Meningkatkan Sataus Kesehatan Melalui Pendidikan Kesehatan dan Penerapan Pola Hidup Sehat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera
Utara.
11
februari
2013.
http://respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3761/1/fkmsiti%20khadijah.pdf Niko, Rianda. (2011). Hubungan Perilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah dengan Kejadian Tb Paru di Kota Solok Tahun 2011. Skripsi FKM Universitas Andalas Noverima, Utami. (2012). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Maslow. http://utaminoverima.wordpress.com/2012/11/28/konsep-kebutuhan-dasarmanusia-menurut-maslow-henderson/ diakses tanggal 2 Maret 2013 Notoatmodjo. (2002). Metodelogi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Citra. Jakarta Prabu, Putra. (2008). Penyakit Berbasis Lingkungan. http://putraprabu.wordpress.com/2008/10/10/penyakit-berbasislingkungan/, diakses tanggal 25 Desember 2012 Perdana P (2008). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru selama Pengobatan di Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. [Skripsi Tidak diterbitkan]. Jakarta: UI Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 565/Menkes/Per/Iii/2011 Tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014
Rikha, Nurul. (2012). Hubungan Antara Karakteristik Individu, Praktik Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Tuberculosis di Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun
2012,
Halaman
435
-
445
Online
Di
Http://Ejournals1.Undip.Ac.Id/Index.Php/Jkm Retnaningsih (2010).
Model Prediksi Faktor Risiko TB Paru Kontak Serumah
untuk Perencanaan Program di Kabupaten OKU Provinsi Sumatera Selatan tahun 2010.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian
dalam negeri. Jakar. Ruswanto, Bambang. (2010). Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru ditinjau dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Tesis Pascasarjana Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro Semarang Setiawan, Dwi. (2010). Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan Respons Terhadap Praktik Pengobatan Strategi DOTS dengan Penyakit Tb Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Tahun 2010. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 1 / April 2012, Program Magister Kesehatan Lingkungan UNDIP Simbolon (2007). Faktor risiko tuerkulosis paru dikabupaten rejang lebong. Jurnal Kesehatan Masyarakat nasional. Vol 2 No.3 Desember 2007). Slamet, Juli Soemirat. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Silviana, Ike (2006). Hubungan lingkungan fisik dalam rumah dengan kejadian TB Paru
dikabupaten muaro jambi tahun 2005. Tesis. Depok : FKM UI.
Supriyono, Didik. (2003). Lingkungan Fisik Rumah Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Penyakit TB Paru BTA Positif di Kecamatan Ciampea Kabpaten Bogor Tahun 2002. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Soemirat. (2000). Epidemiologi Lingkungan. Gajah Mada Universitas. Press, Yogyakarta
Sutiningsih, (2012). Dan
Hubungan Antara Karakteristik Individu, Praktik Hygiene
Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Tuberculosis Di Kecamatan
Semarang
Utara
Tahun
2011.
JURNAL
KESEHATAN
MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 435 445 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm Suyono. (2005). Pokok Bahan Modul Perumahan dan pemukiman Sehat, Pusdiknakes Subaid M S. (2002). Pengaruh Suhu Udara, Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin Terhadap Fluktuasi Konsentrasi Gas-gas NO2, O3 dan SO2 di Area PLTP Gunung Salak Sukabumi. Skripsi. FMIPA IPB. Bogor. Teten, Zalmi. (2008). Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis paru diwilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir. Tobing, T. L. (2009). Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru pada Keluarga diKabupaten Tapanuli Utara. [online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6656/1/09E01348.pdf. [diakses 6 agustus 2013]. Wardhana Isha, (2006). “Hubungan antara faktor fisik rumah, karakteristik individu dan
faktor lainnya terhadap kejadian TB Paru diwilayah kerja puskesmas
sukaratu kabupaten tasik Malaya: Pascasarjana FKM UI) Zuliana (2009). Pengaruh Karakteristik Individu, faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru dala Pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan tahun 2009.
FKM Universitas Sumatera Utara.
LAMPIRAN I
KUESIONER PENELITIAN Saya Muhammad Aandi Ihram, Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, ingin menyampaikan bahwa saya akan melaksanakan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013” yang merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Semua jawaban ibu/bapak akan dijamin kerahasiannya. Atas perhatian dan kerjasama bapak/ibu saya ucapkan terima kasih.
Responden
(____________________)
KUESIONER HUBUNGAN TINGKAT SIRKULASI OKSIGEN DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KEJADIAN TB PARU PADA KELOMPOK USIA PRODUKTIF DI PUSKESMAS PONDOK PUCUNG TAHUN 2013
Tanggal wawancara : ……………………………….. Nomor Responden : ..................................................
A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Responden : ...................................................................... 2. Alamat
: ...................................................................... Kelurahan : .................... RT ....... RW....... Kecamatan : Pondok Pucung
3. Jenis Kelamin
:
0. Laki-laki 1. Perempuan
4. Umur responden : .............................Tahun 5. Pendidikan responden
6. Status Gizi
: 1. Tidak pernah sekolah 2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan tinggi
: BB = ........kg TB =........cm IMT =..........
B. PENGETAHUAN 1. Apakah saudara/saudari tahu penyakit Tuberkulosis Paru ? a. Tahu b. Ragu-ragu c. Tidak tahu 2. Menurut saudara/saudari apa yang dimaksud dengan Tuberkulosis Paru ? a. Penyakit batuk berdahak bercampur darah. b. Penyakit batuk-batuk akibat merokok. c. Batuk dengan gatal ditenggorokan d. Tidak tahu 3. Menurut saudara/saudari apa penyebab penyakit Tuberkulosis Paru ? a. Kuman atau bakteri b. Debu, asap dan udara kotor c. Guna-guna d. Tidak tahu 4. Menurut saudara/saudari penularan Tuberkulosis Paru melalui ? a. Udara b. Pakaian c. Makanan/minuman d. Tidak tahu 5. Menurut saudara/saudari penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular apabila ? a. Tidur sekamar dengan penderita Tuberkulosis Paru
b. Tidak tidur sekamar dengan penderita Tuberkulosis Paru c. Tidur beramai-ramai. d. Tidak tahu 6. Menurut saudara/saudari penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular kepada anggota keluarga lain karena ? a. Terhirup percikan ludah atau dahak penderita Tuberkulosis b. Bicara berhadap-hadapan dengan penderita Tuberkulosis. c. Sudah ada dari masih dikandungan d. Tidak tahu 7. Menurut saudara/saudari bagaimana tanda-tanda / gejala penyakit Tuberkulosis Paru ? a. Batuk berdahak lebih dari 3 (tiga) minggu ,bercampur darah, sesak napas, rasa nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan turun, berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam lebih dari sebulan. b. Batuk yang disertai demam. c. Batuk dengan gatal di tenggorokan. d. Tidak tahu 8. Menurut
saudara/saudari
bagaimana
cara
pencegahan
penyakit
Tuberkulosis Paru ? a. Menutup
mulut/hidung
saat
batuk/bersin
dan
tidak
meludah
disembarang tempat. b. Tidak menutup mulut/hidung saat batuk/bersin dan meludah
disembarang tempat. c. Tidak tahu 9. Menurut saudara/saudari penyakit Tuberkulosis dapat disembuhkan melalui ? a. Pengobatan teratur disertai dengan perbaikan lingkungan dan perubahan perilaku. b. Berobat kalau ada waktu. c. Dibiarkan saja. d. Tidak tahu
10. Menurut saudara/saudari apakah dalam minum obat TB Paru perlu diawasi dan dikontrol terus oleh saudara atau salah seorang yang mempunyai hubungan kerabat dan bertempat tinggal sama dengan bapak/ibu ? a. Perlu, karena minum obat perlu dikontrol terutama oleh saudara terdekat agar obat bisa diminum teratur b. Tidak perlu perlu, karena obat bisa kita minum sendiri dan tidak akan lupa c. Tidak tahu 11. Menurut saudara/saudari luas kamar tidur 10 m2 cukup untuk berapa orang? a. 2 orang dewasa b. 3 orang dewasa c. 4 orang dewasa d. Tidak tahu
12. Menurut saudara/saudari apakah fungsi ventilasi ? a. Tempat keluar masuknya udara sehingga ruangan tidak pengap dan sirkulasi udara lancar b. Agar tidak bau c. Sebagai hiasan d. Tidak tahu 13. Menurut saudara/saudari bagaiman ventilasi yang baik ? a. 10% dari luas lantai b. Harus ada disetiap ruangan c. Hanya diruang kamar dan depan saja d. Tidak tahu 14. Menurut saudara/saudari udara yang masuk ke ruangan rumah haruslah ? a. Harus bersih tidak dicemari oleh asap dari pembakaran sampah atau pabrik, dari kanlpot kendaraan dan debu b. Yang penting tidak bau dan tidak pengap c. Yang penting udara bisa masuk d. Tidak tahu 15. Menurut saudara/saudari apakah manfaat sinar matahari terhadap ruangan rumah ? a. Mematikan bakteri dan mikroorganisme yang terdapat dilingkungan rumah b. Untuk penerangan c. Tidak ada manfaatnya
d. Tidak tahu C. OBSERVASI DAN PENGUKURAN KONDISI RUMAH
1. Kepadatan penghuni dalam rumah ? (peneliti menghitung luas rumah dan membaginya dengan jumlah penghuni yang tinggal di dalam rumah) - Luas rumah :………… m2 - Jumlah penghuni : …………orang Jadi ukuran kepadatan dalam ruangan = ………. m2 / orang 0. tidak memenuhi syarat apabila < 10m2/orang 1. Memenuhi syarat apabila > 102/orang 2. Luas ventilasi dalam ruangan ? (luas lubang angin dan luas jendela dibagi dengan luas lantai) - Luas ventilasi :……….. m2 - Luas lantai : ………... m2 Jadi ukuran ventilasi tetap dalam ruangan = ………% 0. tidak memenuhi syarat apabila < 10% 1. Memenuhi syarat apabila ≥ 10% 3. Suhu udara ruangan dalam rumah ? (peneliti mengukur dengan alat thermohygrometer) = …………. °C 0. tidak memenuhi syarat apabila < 8°C atau >30°C 1. Memenuhi syarat apabila 18°C - 30°C
LAMPIRAN 2 HASIL SPSS ANALISIS UNIVARIAT 1. Kejadian TB Paru Statistics kjdiantbparu N
Valid
65
Missing
0
Mean
.65
Median
1.00
Std. Deviation
.482
Minimum
0
Maximum
1
kjdiantbparu Cumulative Frequency Valid
Percent
Percent
ya
23
35.4
35.4
35.4
tidak
42
64.6
64.6
100.0
Total
65
100.0
100.0
2. Jenis kelamin Statistics jeniskelamin N
Valid Percent
Valid Missing
Mean
65 0 .60
Median
1.00
Std. Deviation
.494
Minimum
0
Maximum
1
jeniskelamin Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
laki-laki
26
40.0
40.0
40.0
perempuan
39
60.0
60.0
100.0
Total
65
100.0
100.0
3. Pendidikan Statistics pendidikanres N
Valid
65
Missing
0
Mean
.40
Median
.00
Std. Deviation
.494
Minimum
0
Maximum
1
pendidikanres Cumulative Frequency Valid
Percent
Percent
rendah
39
60.0
60.0
60.0
tinggi
26
40.0
40.0
100.0
Total
65
100.0
100.0
4. Status Gizi Statistics statusgizires N
Valid Percent
Valid Missing
Mean
65 0 .68
Median
1.00
Std. Deviation
.589
Minimum
0
Maximum
2
statusgizires Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
kurus
25
38.5
38.5
38.5
normal
36
55.4
55.4
93.8
gemuk
4
6.2
6.2
100.0
65
100.0
100.0
Total
5. Pengetahuan Statistics katpengetahuan N
Valid
65
Missing
0
Mean
.60
Median
1.00
Std. Deviation
.494
Minimum
0
Maximum
1
katpengetahuan Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
rendah
26
40.0
40.0
40.0
tinggi
39
60.0
60.0
100.0
Total
65
100.0
100.0
Descriptives Statistic pengetahuanres
Mean
Std. Error
7.77
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
6.81
Upper Bound
8.73
5% Trimmed Mean
7.82
Median
7.00
Variance
.482
15.118
Std. Deviation
3.888
Minimum
0
Maximum
14
Range
14
Interquartile Range
6
Skewness Kurtosis
-.070
.297
-1.070
.586
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic pengetahuanres
.116
a. Lilliefors Significance Correction
df
Shapiro-Wilk
Sig. 65
.031
Statistic .953
df
Sig. 65
.014
6. Kepadatan Hunian Statistics kpdtanhunian N
Valid
65
Missing Mean
0 .62
Median
1.00
Std. Deviation
.490
Minimum
0
Maximum
1
kpdtanhunian Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tidak memenuhi syarat
25
38.5
38.5
38.5
memenuhi syarat
40
61.5
61.5
100.0
Total
65
100.0
100.0
7. Ventilasi Rumah Statistics ventilasirumah N
Valid Missing
Mean
65 0 .65
Median
1.00
Std. Deviation
.482
Minimum
0
Maximum
1
ventilasirumah Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tdk memenuhi syarat
23
35.4
35.4
35.4
memenuhi syarat
42
64.6
64.6
100.0
Total
65
100.0
100.0
8. Suhu Statistics suhuruangan N
Valid
65
Missing
0
Mean
.68
Median
1.00
Std. Deviation
.471
Minimum
0
Maximum
1
suhuruangan Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tdk memenuhi syarat
21
32.3
32.3
32.3
memenuhi syarat
44
67.7
67.7
100.0
Total
65
100.0
100.0
ANALISIS BIVARIAT 1. Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru jeniskelamin * kjdiantbparu Crosstabulation kjdiantbparu ya jeniskelamin
laki-laki
Count % within jeniskelamin
perempuan
Count % within jeniskelamin
Total
Count % within jeniskelamin
tidak
Total
8
18
26
30.8%
69.2%
100.0%
15
24
39
38.5%
61.5%
100.0%
23
42
65
35.4%
64.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.525
.137
1
.711
.407
1
.523
.404 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.602
Linear-by-Linear Association
.398
b
N of Valid Cases
1
.357
.528
65
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.20. b. Computed only for a 2x2 table
2. Pendidikan dengan Kejadian TB Paru pndidikanres * kjdiantbparu Crosstabulation kjdiantbparu ya pndidikanres
rendah
Count % within pndidikanres
tinggi
Total
22
39
43.6%
56.4%
100.0%
6
20
26
23.1%
76.9%
100.0%
23
42
65
35.4%
64.6%
100.0%
Count % within pndidikanres
Total
17
Count % within pndidikanres
tidak
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.090
2.044
1
.153
2.960
1
.085
2.871 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.116 2.827
1
.093
65
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.20. b. Computed only for a 2x2 table
.075
3. Status Gizi dengan Kejadian TB Paru statusgizires * kjdiantbparu Crosstabulation kjdiantbparu ya statusgizires
kurus
Count % within statusgizires
normal
Count % within statusgizires
gemuk
Count % within statusgizires
Total
Count % within statusgizires
tidak
Total
16
9
25
64.0%
36.0%
100.0%
7
29
36
19.4%
80.6%
100.0%
0
4
4
.0%
100.0%
100.0%
23
42
65
35.4%
64.6%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
2
.001
Likelihood Ratio
16.335
2
.000
Linear-by-Linear Association
14.235
1
.000
Pearson Chi-Square
15.145
N of Valid Cases
65
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.42.
4. Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru katpengetahuan * kjdiantbparu Crosstabulation kjdiantbparu ya katpengetahuan
rendah
Count % within katpengetahuan
tinggi
Count % within katpengetahuan
Total
Count % within katpengetahuan
tidak
Total
10
16
26
38.5%
61.5%
100.0%
13
26
39
33.3%
66.7%
100.0%
23
42
65
35.4%
64.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.672
.025
1
.874
.179
1
.672
.179 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.792
Linear-by-Linear Association
.177
b
N of Valid Cases
1
.435
.674
65
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.20. b. Computed only for a 2x2 table
5. Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru kpdtanhunian * kjdiantbparu Crosstabulation kjdiantbparu ya kpdtanhunian
tidak memenuhi syarat
Count % within kpdtanhunian
memenuhi syarat
Count % within kpdtanhunian
Total
Count % within kpdtanhunian
tidak
Total
15
10
25
60.0%
40.0%
100.0%
8
32
40
20.0%
80.0%
100.0%
23
42
65
35.4%
64.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.001
9.088
1
.003
10.791
1
.001
10.766 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.001 10.600
1
.001
65
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.85. b. Computed only for a 2x2 table
.001
6. Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru ventilasirumah * kjdiantbparu Crosstabulation kjdiantbparu ya ventilasirumah
tdk memenuhi syarat
tidak
Count % within ventilasirumah
memenuhi syarat
13
10
23
56.5%
43.5%
100.0%
10
32
42
23.8%
76.2%
100.0%
23
42
65
35.4%
64.6%
100.0%
Count % within ventilasirumah
Total
Count % within ventilasirumah
Total
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.008
5.598
1
.018
6.876
1
.009
6.956 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.014
Linear-by-Linear Association
6.849
b
N of Valid Cases
1
.009
.009
65
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.14. b. Computed only for a 2x2 table
7. Suhu Ruangan dengan Kejadian TB Paru suhuruangan * kjdiantbparu Crosstabulation kjdiantbparu ya suhuruangan
tdk memenuhi syarat
Count % within suhuruangan
memenuhi syarat
Count % within suhuruangan
Total
Count % within suhuruangan
tidak
Total
9
12
21
42.9%
57.1%
100.0%
14
30
44
31.8%
68.2%
100.0%
23
42
65
35.4%
64.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.384
.352
1
.553
.748
1
.387
.758 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.417 .746
1
.388
65
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.43. b. Computed only for a 2x2 table
.275
LAMPIRAN 3
LAMPIRAN 4
SAMPLE FRAME DATA REKAM MEDIS BULAN APRIL-JUNI PUSKESMAS PONDOK PUCUNG TANGERANG SELATAN TAHUN 2013 NO 1
NAMA ASTARIYAH
UMUR 30
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
2
GUSMAWATI
33
P
TIDAK
3
YULIANTI
35
P
TIDAK
4
PUJI
24
P
TIDAK
5
LILI
33
P
TIDAK
6
EKO
42
P
TIDAK
7
AMANAH
42
P
YA
8
SATIK
55
P
TIDAK
9
KANI
42
P
TIDAK
10
SITI
30
P
YA
11
DEBI
16
L
TIDAK
12
MAMET
43
L
TIDAK
13
PURNAWATI
38
P
TIDAK
14
HARANU
23
L
TIDAK
15
LAMINAH
46
P
YA
16
SOLIYAH
56
P
TIDAK
17
AHMAD AKBAR
25
L
TIDAK
18
NAMA
46
P
TIDAK
19
SUTITI
37
P
YA
20
NYAI
57
P
TIDAK
21
ITI
52
P
TIDAK
22
PRAPTI
54
P
TIDAK
23
YUI
50
P
TIDAK
24
MISNI
54
P
TIDAK
25
NURHASANAH
51
P
TIDAK
26
ATIKAH
32
P
TIDAK
27
GUSMAWATI
33
P
YA
28
TIKA
24
P
TIDAK
29
IRA
21
P
TIDAK
30
NANI
27
P
TIDAK
31
RASUHAINI
44
P
TIDAK
32
SITI PUDJATI
52
P
TIDAK
33
WIDIANA
40
P
TIDAK
34
IKA
25
P
TIDAK
35
ELIYAH
40
P
YA
NO 36
NAMA
UMUR 61
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU YA
LANAH
37
JUBAEDAH
33
P
YA
38
SARNIH
44
P
TIDAK
39
SUKARNA
54
P
YA
40
ROMELIH
43
P
TIDAK
41
IRWANSYAH
27
L
YA
42
SUNARSIH
23
P
TIDAK
43
BAYU SAPUTRA
19
L
TIDAK
44
TONIKA
21
P
TIDAK
45
TARMEZI
57
L
TIDAK
46
MARYATI
43
P
TIDAK
47
MAWARNI
44
P
YA
48
DEDE
59
P
TIDAK
49
SITI NURHASANAH
52
P
TIDAK
50
ERNA
42
P
TIDAK
51
SITI MULYASARI
24
P
TIDAK
52
HINDUN
40
P
TIDAK
53
ROHMAWAN
31
L
YA
54
FIKA
17
P
YA
55
LAMINAH
46
P
YA
56
RIRI
19
P
YA
57
ARUM
17
P
YA
58
KEVIN
60
L
TIDAK
59
MANSUR
30
L
TIDAK
60
MINAH
39
P
TIDAK
61
HANUNU
23
P
TIDAK
62
WARDI
31
L
TIDAK
63
LIA ALIKA
36
P
TIDAK
64
WINDIANA
15
P
TIDAK
65
FADIL
23
L
YA
66
KANUNG
60
P
TIDAK
67
DWU NUR
17
P
TIDAK
68
MARDIAH
45
P
YA
69
SITI
26
P
TIDAK
70
NURIYAH
32
P
TIDAK
71
JAMAL
37
L
TIDAK
72
HADI
32
L
YA
NO 73
NAMA
UMUR 42
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
MUHYATI
74
ASHOBIRIN
36
L
TIDAK
75
ALI
30
L
YA
76
ISTANTO
28
L
YA
77
ANITA
40
P
TIDAK
78
TEGUH
18
L
TIDAK
79
TARAI
32
P
TIDAK
80
SARINAH
35
P
YA
81
YULIANTI
35
P
TIDAK
82
ROSIDAH
37
P
YA
83
YULI
28
P
TIDAK
84
NURMALA
45
P
TIDAK
85
TATI
27
P
YA
86
SAIFUL AMIR
15
L
TIDAK
87
NURHANG
40
P
TIDAK
88
KOMANYATI
36
P
TIDAK
89
MARYATUN
36
P
YA
90
ASIANYAH
30
P
TIDAK
91
NURLELA
29
P
YA
92
YORONAH
43
P
YA
93
RAMENAH
55
P
TIDAK
94
ROZAH
40
P
TIDAK
95
ROMELAH
55
P
YA
96
SARIAH
52
P
TIDAK
97
NURHALIMAH
32
P
TIDAK
98
SAWIYAH
56
P
TIDAK
99
YULI
39
P
TIDAK
100
YENI
23
P
TIDAK
101
SULAIMAN
46
L
TIDAK
102
HUSIN
48
L
TIDAK
103
LESTARI
23
P
TIDAK
104
NURTINAH
52
P
TIDAK
105
MARDIANTI
21
P
TIDAK
106
ZAINAL
60
L
TIDAK
107
RODIAH
50
P
YA
108
SUSILAWATI
23
P
YA
109
NENDA
23
P
TIDAK
NO 110
NAMA
UMUR 27
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
ERNI
111
JONASIAH
40
P
TIDAK
112
MUNASIYATI
36
P
TIDAK
113
SUNARTO
58
L
TIDAK
114
NURHADI
40
L
TIDAK
115
SUKINI
38
P
TIDAK
116
RISMAN
40
P
YA
117
MEGAWATI
21
P
TIDAK
118
SAODAH
43
P
YA
119
NURYANAH
42
P
TIDAK
120
AAS
19
P
TIDAK
121
ERWIN
34
L
YA
122
AISAH
24
P
TIDAK
123
MAULANA
20
L
TIDAK
124
YUYUN
36
P
TIDAK
125
NINING
27
P
TIDAK
126
RAHMAWATI
35
P
YA
127
JAMALUDIN
37
L
YA
128
SARAH
54
P
TIDAK
129
MAMI
45
P
TIDAK
130
YANTO
26
L
TIDAK
131
SARTINEM
35
P
TIDAK
132
SRI MULYANI
23
P
TIDAK
133
ASIH
29
P
TIDAK
134
SUKOSMO
36
L
TIDAK
135
PUJIANTO
36
L
TIDAK
136
NENENG
21
P
TIDAK
137
YONASIAH
40
P
YA
138
ONI
44
P
TIDAK
139
KAMID
62
L
TIDAK
140
DEDE
59
P
TIDAK
141
NURMAH
31
P
YA
142
JAKA SURYA
17
L
TIDAK
143
HARIYANTO
43
L
TIDAK
144
ENDANG
58
P
YA
145
NARTI
43
P
TIDAK
146
ASNAH
41
P
TIDAK
NO 147
NAMA
UMUR 18
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
ENDAH
148
ACIH
35
P
TIDAK
149
MARTOYO
42
L
TIDAK
150
ARIFIN
28
L
TIDAK
151
BAYINAH
41
P
YA
152
DEDO
57
P
TIDAK
153
IYUL
53
P
TIDAK
154
AWALUDIN
26
L
TIDAK
155
SOFI
27
P
TIDAK
156
YANTI
27
P
TIDAK
157
GABRIEL
23
P
TIDAK
158
NIZMA
47
P
TIDAK
159
MANAH
50
P
YA
160
DARLIS
26
L
TIDAK
161
GUMAWATI
32
P
TIDAK
162
YUNI
19
P
TIDAK
163
SAROPAH
30
P
TIDAK
164
AKSAL
17
L
TIDAK
165
RIZKI
17
P
TIDAK
166
HUSIN
48
L
TIDAK
167
SUHARNI
37
P
YA
168
RIANI
18
P
TIDAK
169
SITI ULWIYAH
49
P
TIDAK
170
YANI
26
P
TIDAK
171
ASEP
55
L
YA
172
ENTIN
28
P
TIDAK
173
KHODIJAH
41
P
TIDAK
174
MUNIRAH
42
P
TIDAK
175
ATIN
35
P
TIDAK
176
DESI
16
P
TIDAK
177
MURWATI
35
P
TIDAK
178
SARIPAH
39
P
YA
179
NURHADI
25
L
TIDAK
180
MAMAN
47
L
YA
181
NIAH
62
P
TIDAK
182
RISMAN
40
L
TIDAK
183
QODRATULLAH
27
L
TIDAK
NO 184
NAMA MAULIDAYAH
UMUR 15
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
185
KAMSIYAH
29
P
TIDAK
186
NURAINI
20
P
TIDAK
187
YULIANTI
35
P
TIDAK
188
DADANG
29
L
YA
189
TUNJIAH
47
P
YA
190
NASRUL
24
L
TIDAK
191
RIKI
22
P
TIDAK
192
JOKO
56
L
TIDAK
193
SHELLA
42
P
TIDAK
194
MURNI
39
P
TIDAK
195
MARWAN
24
L
TIDAK
196
LELA
22
P
TIDAK
197
EMI
19
P
TIDAK
198
MAAH
49
P
YA
199
JUJU
18
P
TIDAK
200
JULEHA
49
P
YA
201
LATIFAH
36
P
TIDAK
202
ROHAYA
40
P
TIDAK
203
NUR SYAMSURI
52
L
TIDAK
204
HARYADI
37
L
TIDAK
205
IRWANSYAH
24
L
YA
206
SARASWATI
18
P
TIDAK
207
ADINDA
19
P
TIDAK
208
RAHMAT
24
L
TIDAK
209
SUHARNI
29
P
TIDAK
210
ASWINI
47
P
TIDAK
211
IWAN
30
L
TIDAK
212
FIRDAUS
30
L
TIDAK
213
LEBAR
33
L
TIDAK
214
FAJRI
18
L
TIDAK
215
PUJIANTI
30
P
TIDAK
216
KUDRIAH
42
P
YA
217
JANASIAH
50
P
YA
218
WIWIN
15
P
TIDAK
219
SYARIFUDIN
34
L
TIDAK
220
HARUN
57
L
TIDAK
NO 221
NAMA DEDE
UMUR 23
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
222
ASEP
55
L
TIDAK
223
MULYA
52
L
TIDAK
224
ITA
19
P
TIDAK
225
RIKA
20
P
TIDAK
226
AWIYAH
31
P
TIDAK
227
AHMAD KENIN
60
L
YA
228
MINAH
39
P
YA
229
ENOK
32
P
TIDAK
230
INDRA
30
L
TIDAK
231
ISMAIL
40
L
TIDAK
232
SRI APRIYANI
26
P
TIDAK
233
HADI
61
L
YA
234
WINARNI
15
P
TIDAK
235
MARSANAH
41
P
YA
236
NIZMA
47
P
TIDAK
237
ROZAH
40
P
TIDAK
238
GUSMAWATI
33
P
TIDAK
239
ZAINUDDIN
18
L
TIDAK
240
ALIKA
18
P
TIDAK
241
ALI
50
L
YA
242
TONIKA
21
P
TIDAK
243
BADRIAH
17
P
YA
244
MARSELINA
25
P
YA
245
PANDAMUAN
29
L
TIDAK
246
SUTARNO
39
L
TIDAK
247
EDI
31
P
TIDAK
248
FRANCO
31
L
TIDAK
249
SUSILO
37
L
TIDAK
250
OMIH
42
P
TIDAK
251
MASYANTI
37
P
TIDAK
252
ERNIATI
40
P
TIDAK
253
NURHAINI
28
P
TIDAK
254
RAHMA
27
P
TIDAK
255
ELVIA
35
P
TIDAK
256
SARIPAH
35
P
TIDAK
257
SANTIASIH
37
P
TIDAK
NO 258
NAMA
UMUR 36
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
NIA
259
NURDIN
21
L
TIDAK
260
DAROH
50
P
TIDAK
261
ADITYA
34
L
TIDAK
262
CICIH
33
P
TIDAK
263
YAYAT
23
L
TIDAK
264
MIRA
29
P
TIDAK
265
SOMIH
37
P
TIDAK
266
EBET
37
P
TIDAK
267
WATI
23
P
YA
268
SAIDUN
49
P
YA
269
KAMIL
28
L
TIDAK
270
ASEHU
35
L
TIDAK
271
KODAN
40
L
TIDAK
272
INNAH
40
P
YA
273
SELLY
22
P
YA
274
LINDA
17
P
TIDAK
275
YUNIDAH
29
P
TIDAK
276
ISAH
44
P
YA
277
FARRAZ
45
P
TIDAK
278
HARINA
36
P
YA
279
ROMI PERMADI
34
L
TIDAK
280
ENI
20
P
TIDAK
281
NIRI
56
P
TIDAK
282
JAYA
52
L
TIDAK
283
UMI
43
P
YA
284
RATNA
30
P
TIDAK
285
NIA
22
P
TIDAK
286
YADI
33
L
YA
287
LAMINAH
46
P
YA
288
SUNANDAR
27
L
TIDAK
289
EDISON
26
L
YA
290
SITI AISYAH
34
P
YA
291
SATI
60
P
TIDAK
292
AYU
26
P
TIDAK
293
LISNA
26
P
TIDAK
294
NALURI
42
P
YA
NO 295
NAMA JORASIAH
UMUR 50
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
296
NAWIYAH
39
P
YA
297
RINI
26
P
TIDAK
298
FANDI
51
L
TIDAK
299
AMANAH
42
P
TIDAK
300
MARYAMIH
44
P
YA
301
NARYATI
18
P
TIDAK
302
HERLINAH
36
P
YA
303
SRI
19
P
TIDAK
304
SAPIIH
32
P
TIDAK
305
MULYATI
30
P
YA
306
KOYOM
50
P
TIDAK
307
SANDI
34
P
TIDAK
308
DANISIH
39
P
TIDAK
309
YUSUF
30
L
YA
310
RAMLAN
45
L
TIDAK
311
HELMI
27
P
TIDAK
312
SISKA
37
P
TIDAK
313
DINA
22
P
TIDAK
314
IRA
21
P
TIDAK
315
RINA
37
P
TIDAK
316
ROHANI
60
P
YA
317
NAWI
52
P
YA
318
YORDAN
42
L
TIDAK
319
DORI
60
P
TIDAK
320
ROSDIANA
49
P
TIDAK
321
DEWI S
33
P
TIDAK
322
AYU NILAWATI
26
P
TIDAK
323
AAN
40
L
TIDAK
324
USUP
49
L
TIDAK
325
YANI
27
P
TIDAK
326
MAIMUNAH
16
P
TIDAK
327
JAMRONI
35
L
TIDAK
328
FENTI
23
P
TIDAK
329
MULYADI
24
L
TIDAK
330
DWI SULRIANA
19
P
TIDAK
331
LIA ALIA
36
P
TIDAK
NO 332
NAMA
UMUR 17
JENIS KELAMIN P
STATUS TB PARU TIDAK
ALFIAH
333
ROFIQOH
33
P
TIDAK
334
FITRI
22
P
YA
335
SUKIRNO
47
L
TIDAK
336
YANTO
31
L
YA
337
RODIYAH
29
P
YA
338
SAEFUL
19
L
TIDAK
339
KARYATI
20
P
YA
340
ABDUL KHODIR
24
L
TIDAK
341
MARIAH
32
P
TIDAK
342
SUGINEM
33
P
YA
343
LILIS
30
P
TIDAK
344
SUDARMA
25
L
TIDAK
345
DIDI
38
P
TIDAK
346
SUSANTI
25
P
TIDAK
347
RIKA
36
P
YA
348
SULIMIN
45
L
TIDAK
349
SAODAH
43
P
TIDAK
350
EEL LESTARI
21
P
TIDAK
351
NANANG
57
L
TIDAK
LAMPIRAN 5
DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PRIMER
Foto pada saat proses wawancara
Foto pada saat pengukuran
Foto Kondisi Rumah Responden