2000
80
+ pupuk
20
- pupuk
40
+ pupuk
60
0
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Monokultur Budidaya pagar Pola tanam
+ pupuk
100
1600
- pupuk
120
1800
+ pupuk
140
B.
- pupuk
A. Drainase tanah, mm tahun-1
160
- pupuk
Ketika hutan alami dibuka menjadi lahan pertanian, baik melalui kegiatan tebang bakar ataupun penggunaan alat-alat berat, sebagian besar cadangan hara pada lahan tersebut menjadi hilang. Seiring dengan itu, sifat-sifat tanah yang lain juga berubah. Siklus hara yang semula tertutup menjadi terbuka, mencerminkan semakin meningkatnya ketidakseimbangan antara unsur hara yang diambil dengan yang dikembalikan ke dalam tanah. Sebagai contoh, tanah menjadi putih dan keras setelah 3-5 tahun hutan dibuka untuk lahan pertanian, dan akhirnya hanya untuk ubikayu (Foto 3). Hal ini terjadi karena sebagian besar biomas hasil tanaman semusim diangkut ke luar petak, sebagai hasil panen dan sisa panen digunakan untuk pakan ternak. Dengan demikian kandungan bahan organik tanah yang berfungsi sebagai penyangga hara dan air semakin rendah. Kondisi permukaan tanah di lahan pertanian yang lebih terbuka dibandingkan
Limpasan permukaan, mm tahun-1
alami memiliki siklus hara tertutup, dalam arti unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetasi hutan diambil dari tanah, dan sebagian besar unsur hara tersebut dikembalikan lagi ke dalam tanah melalui daun, ranting atau cabang yang gugur. Dalam sistem tersebut, jumlah kehilangan hara melalui pencucian dan erosi sangatlah kecil, sebagian besar cadangan hara tersimpan dalam vegetasi di atas tanah.
Monokultur Budidaya pagar Pola tanam
Gambar 9. Pengaruh perlakukan pemupukan N terhadap: (A) limpasan permukaan dan (B) drainase tanah pada pola tanam monokultur dan budidaya pagar.
(air yang keluar dari daerah perakaran) semakin berkurang bila dibandingkan dengan sistem monokultur (Gambar 9B). Jadi, pemakaian air oleh tanaman pagar secara tidak langsung dapat menurunkan pencucian N, dan memberikan waktu dan peluang kepada akar untuk menjalankan fungsi sebagai jaring penyelamat hara dengan mengambil N dari lapisan di bawah perakaran.
Hubungan tanah dingin dan usaha pemupukan pada sistem bera
Foto 3. Pertumbuhan ubikayu yang tertekan pada tanah kurang subur, permukaan tanah menjadi lebih terbuka, bahaya erosi selalu mengancam. (Foto: Kurniatun Hairiah) Foto 4. Pengelolaan tanah-tanah yang tererosi sangatlah sulit. Petani mencoba mereklamasi lahan yang tererosi dengan menanam nanas. (Foto: Kurniatun Hairiah)
4
Petani menyatakan kesuburan tanah dengan menggunakan istilah ‘dingin’ (subur) dan ‘panas’ (tidak subur). Sedangkan peneliti di bidang ilmu tanah menghubungkan kesuburan tanah dengan berbagai sifat tanah yang dapat diukur, namun tidak satupun sifat yang diukur dapat menggambarkan istilah sederhana tadi dengan tepat. Kemungkinan pendekatan yang paling tepat adalah dengan menghitung kejenuhan bahan organik tanah, yaitu nisbah antara kandungan total bahan organik tanah (Corg) pada kondisi sekarang dengan kandungan bahan organik dalam tanah yang bertekstur sama di bawah tegakan hutan (Cref) pada iklim yang sama. Nilai nisbah (Corg/Cref) yang diperoleh berkisar antara 0 – 1. Semakin rendah (mendekati nol) nilai nisbah Corg/Cref suatu tanah maka tanah tersebut semakin ‘panas’. Bila nilai Corg/Cref mendekati nilai 1, maka tanah tersebut diklasifikasikan ‘dingin’. Tanah pada lahan hutan yang baru saja dibuka mempunyai nilai nisbah 1. Sedangkan tanah hutan mempunyai nilai ≥1, dikategorikan ‘lebih dingin dari pada yang dingin’.
33
Produksi Jagung, ton ha-1
4 3 2 1 0 5
Produksi Jagung, ton ha -1
5
Musim Tanam 1
Musim T anam 2 Tanpa pupuk
4
N
Musim Tanam 3
4 3 2 1 0
-- Mengapa petani masih gigit jari?
N+P 2 1
30
20
10
0 0 panas
0.5
1
1.5 dingin
Corg/C ref
2
0 panas
0.5
1
1.5
2
dingin Corg/Cref
Gambar 10. Estimasi produksi biji jagung selama 3 musim tanam (MT). MT 1 dan 3 adalah pada musim penghujan (Desember-Maret) dari dua tahun simulasi , sedang MT 2 adalah pada kondisi kering (April-Juni). Setelah tanah diberakan (ditumbuhi petaian) yang merupakan titik awal simulasi, tanah mendapat perlakuan dengan atau tanpa pupuk N dan/atau P.
Berdasarkan kejenuhan bahan organik tanah (Corg/Cref) ini, kita dapat melakukan simulasi model misalnya respon tanaman jagung terhadap pemupukan N dan P setelah lahan diberakan selama 2 tahun. Pada simulasi ini lahan bera ditumbuhi oleh petaian (Peltophorum), dengan perlakuan pemupukan: tanpa pupuk, +N, +P dan +N+P. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa produksi jagung setelah 2 tahun pemberaan sangat berkaitan dengan ‘dinginnya’ tanah pada awal pemberaan. Pemberaan selama 2 tahun ini tidak akan mempunyai pengaruh apapun pada tanah yang sudah terlanjur ‘panas’, dengan Corg/ Cref kurang dari 0.5 (Gambar 10). Hal ini sebagian dikarenakan pohon petaian tidak dapat tumbuh dengan baik sehingga tidak dapat memperbaiki kesuburan tanah. Tanah dengan nisbah Corg/Cref sebesar 0.8 masih dapat menghasilkan produksi jagung yang cukup tinggi, meskipun tanpa pemupukan. Produksi jagung di musim tanam ketiga
34
Usaha Menaklukkan Tanah Masam
P
3
0 Biomassa Peltophorum, ton ha-1
Produksi Jagung, ton ha-1
5
Rendahnya produksi pertanian di suatu daerah (misalnya Pakuan Ratu, di Foto 2. Sengon, pohon yang cepat tumbuh, tetapi tidak Lampung Utara) disebabkan tahan terhadap kekeringan di tanah masam. oleh beberapa faktor (Foto: Kurniatun Hairiah) pembatas. Tanah di Pakuan Ratu pada umumnya didominasi oleh Ultisols, yang dicirikan oleh kandungan bahan organik yang rendah, jerapan P yang tinggi, kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah, serta keracunan Al di lapisan bawah. Tanah-tanah ini mempunyai kapasitas menahan air yang rendah. Tanaman yang tumbuh di tanah seperti ini, biasanya sistim perakarannya terhambat dan sangat peka terhadap kekeringan, walaupun curah hujan rata-rata pada daerah tersebut cukup tinggi yaitu sekitar 2.5 m per tahun, atau dua kali lebih banyak dari kebutuhan tanaman. Musim kering yang tidak teratur selama musim tanam dapat menyebabkan kegagalan produksi, dan tahuntahun dengan musim kemarau yang panjang dapat mematikan pohon yang peka terhadap kekeringan seperti yang terjadi pada tahun 1997. Petani transmigran dari Jawa sekarang ini mulai tertarik menanam pohon kayu-kayuan yang cepat tumbuh, seperti sengon (Paraserianthes falcataria) dan akasia (Acasia mangium). Berdasarkan pengalaman dari Jawa, mereka menanam sengon secara besar-besaran, walaupun pertumbuhan pohon tersebut sangat tertekan (apalagi bila ditanam di tanah miskin pada lahan berlereng). Foto 2 menunjukkan bahwa banyak sengon yang mati akibat kemarau panjang. Pertumbuhan sengon yang terhambat pada musim kemarau tersebut mungkin disebabkan oleh dangkalnya sistem perakaran. Pertumbuhan akar yang terhambat di tanah masam biasanya disebabkan karena keracunan Al, tetapi mungkin juga disebabkan sifat kimia atau sifat fisik tanah lainnya (misalnya pemadatan tanah atau aerasi terhambat). Pada saat lahan masih tertutup hutan alami, faktor pembatas seperti disebutkan di atas tidak nampak, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah kondisi lahan tersebut sangat sesuai untuk lahan pertanian. Sistem hutan
3
tanah varitas lokal juga menguras hara tanah. Kacang tanah verietas lokal tersebut berproduksi tinggi, namun sisa panen yang ditinggalkan sangat rendah atau bahkan semua sisa panen dimanfaatkan untuk pakan ternak. Guna menanggulangi pengurasan hara tersebut, petani melakukan rotasi tanaman yaitu menanam jenis tanaman lain pada musim berikutnya (sistim tumpanggilir). Beberapa petani juga melakukan tumpangsari di lahan mereka. Keputusan petani memilih tumpangsari, sebagian karena alasan ekonomi. Misalnya, total pendapatan dari hasill tumpangsari jagung dan padi lebih besar daripada hasil jagung atau padi monokultur. • Pemilihan jenis tanaman. Bila tanah telah tidak mampu menopang pertumbuhan tanaman pokok misalnya padi, kacang-kacangan, tidak ada pilihan lain bagi petani selain kembali menanam ubikayu. Petani juga mengusahakan pepohonan pada lahan pekarangan (Foto 1), karena mereka memahami keuntungan yang diperoleh dari menanam pepohonan dan ketoleranan pohon yang cukup tinggi untuk tumbuh pada tanah masam. Pola tanamnya bermacam-macam, misalnya barisan pohon sebagai pembatas petak lahan terutama pada lahan yang berlereng. Petani juga mulai mengusahakan pepohonan yang mempunyai potensi ekonomi tinggi, misalnya karet, kelapa sawit, dan berbagai jenis kayu-kayuan, namun mereka harus menunggu lama untuk menuai hasilnya. Dengan demikian untuk bertahan hidup pada tanah masam, petani membutuhkan kedua jenis tanaman tersebut baik semusim maupun tahunan.
sangat tergantung kepada tingkat kesuburan tanah awal (sebelum pemberaan). Jika nisbah Corg/Cref > 0.8 maka respon tanaman jagung terhadap pemupukan akan rendah. Sedangkan pada tanah dengan nisbah Corg/Cref < 0.8, respon tanaman jagung akan positif terhadap pemupukan N. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa selama masa bera tidak ada masukan N secara langsung, N hanya didapatkan dari bahan organik tanah. Respon tanaman jagung terhadap pemupukan P juga sangat kecil, meskipun konsentrasi awal P-Bray tanah cukup rendah. Dalam model ini, bahan organik tanah memberi masukan N dan P, tetapi nampaknya unsur N merupakan faktor pembatas utama sehingga tanaman menunjukkan respon yang lebih besar terhadap penambahan N. Produksi jagung di musim tanam kedua lebih rendah dibandingkan dengan musim tanam kesatu dan ketiga, karena masalah kekurangan air. Pemberian pupuk pada musim tanam kedua ini tidak akan memperbaiki produksi jagung, kecuali pada tingkat nisbah Corg/Cref < 0.5 (pada kondisi tanah ‘panas’). Hal inipun belum tentu menguntungkan karena tingkat produksi jagung yang diperoleh sangat rendah. Secara keseluruhan contoh ini memperlihatkan bagaimana kita dapat menterjemahkan sifat ‘dinginnya’ tanah ke dalam model dan membuat suatu prediksi yang masuk akal mengenai respon tanaman terhadap kandungan bahan organik, pemupukan, dan perbedaan musim dan tahun.
-- "menentang" atau "bersahabat" dengan alam
-- Ringkasan: interaksi pohon-tanah-tanaman pangan
Ada dua strategi dasar pengelolaan kesuburan tanah masam, yaitu menentang atau bersahabat dengan alam. Strategi menentang alam adalah suatu upaya keras menentang kendala dan berusaha mengendalikan proses degradasi alam bila menanam tanaman semusim atau pepohonan secara monokultur. Sedangkan strategi bersahabat dengan alam adalah menerima apa adanya, dengan membiarkan vegetasi berkembang bertahap secara alami membentuk sistem agroforest dan mengambil manfaat sebanyak mungkin dari komponen yang menyusun sistem tersebut. Pemilihan strategi ini sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi setempat, serta keluaran yang diharapkan, sehingga sistem pengelolaan lahan mungkin saja berbeda dari suatu desa ke desa lainnya.
Bila semua aspek interaksi dikombinasikan, maka dapat diperoleh gambaran sederhana tentang pengaruh tanaman pagar petaian terhadap produksi jagung pada sistem budi daya pagar (Tabel 4).
2
Dengan menggunakan model simulasi, dapat dipelajari bahwa pengaruh budidaya pagar sangat ditentukan oleh sifat dari masing-masing tanaman pagar. Kenyataan bahwa petaian tidak memiliki bintil akar yang dapat menambat N dari udara, menjelaskan ketergantungan sistem budidaya pagar tersebut terhadap pemupukan N. Tetapi apakah mungkin ‘jaring penyelamat hara’ dapat diperoleh dalam sistem tersebut bila tanaman pagar (legum) menyebabkan kelebihan N tersedia dalam tanah? Apa yang akan terjadi bila dua jenis tanaman (yang memiliki dan tidak memiliki bintil akar) dikombinasikan? Hal ini telah dicoba pada kebun percobaan
35
Tabel 4. Evaluasi dampak interaksi pohon dan tanaman pangan dalam sistem budidaya pagar dibandingkan dengan sistem monokultur. Dampak pada
Indikator
Peningkatan produktivitas lahan
Produksi pada MT1 Produksi pada MT2 Bahan OrganikTanah Serapan N Pencucian N Jaring penyelamat hara Limpasan permukaan Drainase
Kesuburan tanah Siklus unsur hara
Sistem penyangga air *)
Pengujian simulasi terhadap inovasi tanaman pagar petaian*) Tanpa pupuk N Dengan pupuk N 0 + +++ +++ + + +++ ++ ++ +++ +++ + +
Dampak agak positif (+), cukup positif (++), sangat positif (+++), dan dampak agak negatif (-)
BMSF dengan mengkombinasikan gamal (berbintil akar) dengan petaian (tidak berbintil akar), hasil yang diperoleh membenarkan bahwa peran gamal sebagai jaring penyelamat hara lebih kecil dari pada petaian. Namun pengaruh negatif dari perakaran gamal yang lebih dangkal daripada petaian juga harus tetap diperhitungkan. Di masa mendatang, model ini diharapkan bisa dipergunakan oleh tenaga penyuluh dengan bantuan peneliti, untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang mungkin muncul di lapangan. Dengan demikian penyuluh dapat memberikan jawaban yang cepat, dan bahkan dapat memberikan saran-saran kepada petani dalam memperkecil pengaruh negatif pohon dalam sistem agroforestri.
Pertanian di Tanah Masam -- Bagaimana upaya petani untuk bertahan hidup pada tanah yang tidak subur? Hidup ini terlalu sulit bagi petani, jika mereka hanya mengandalkan pendapatan dari hasil pertanian di tanah yang tidak subur. Oleh karena itu, petani berjuang keras untuk menanggulangi permasalahan pertanian guna mempertahankan produksi atau mungkin hanya menerima apa adanya dengan memilih jenis tanaman semusim atau pepohonan yang sesuai dengan kondisi setempat. Sebagai contoh, usaha keras petani di Pakuan Ratu, Lampung, dalam meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah masam antara lain adalah:
• Pemberaan. Biasanya petani memberakan lahan atau membiarkan
•
Pengelolaan Pohon -- Kelolanya baik, manfaatnya laik
•
Telah diuraikan sebelumnya bahwa interaksi pohon-tanah-tanaman tergantung pada pertumbuhan dan bentuk spesifik dari pohon, baik pada bagian tajuk maupun akar tanaman. Sangatlah menarik untuk mengkaji seberapa besar aspek-aspek tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya pengelolaan tajuk tanaman.
•
Ada 2 pertanyaan yang berhubungan dengan pengelolaan tajuk pohon yang mempengaruhi sebaran akar tanaman, yaitu: a) Kapan dan pada ketinggian berapa pohon dipangkas?
36
Foto 1. Kebun campuran milik petani di Lampung. Kebun ini terdiri dari pohon kelapa, cacao, gamal sebagai pelindung, ubikayu, dan cabe. (Foto: Meine Van Noordwijk)
•
semak belukar tumbuh di lahan mereka, setelah diusahakan beberapa musim. Menurut mereka, tanaman akan tumbuh lebih baik pada lahan yang sebelumnya diberakan. Pemupukan, dilakukan jika pupuk tersedia dan harganya terjangkau. Pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk inorganik (urea, ZA, TSP, dan KCL) atau pupuk organik (berupa pupuk hijauan, pupuk kandang, dan sebagainya). Penggunaan pestisida dan herbisida, untuk membasmi hama, penyakit, dan gulma yang mengganggu di lahan pertanian. Pembuatan guludan untuk mencegah erosi, terutama pada lahan berlereng. Pengaturan sistem tanam. Pengalaman petani menunjukkan bahwa pengusahaan satu jenis tanaman semusim saja selama tiga tahun berturut-turut menyebabkan tanah menjadi miskin. Oleh karena itu, tanaman pangan yang banyak menguras hara tanah, seperti ubikayu, ketela rambat. Beberapa petani mengatakan bahwa menanam kacang
1
Coba dan Buktikan Sendiri .......................................................... 40 Daftar Pustaka ............................................................................. 41
b) Bagaimanakah teknik menanam pohon yang tepat untuk mendapatkan perkembangan akar yang dalam?
-- Tinggi pangkasan Jawaban pertanyaan ini perlu dikaitkan dengan fungsi pohon yang kita harapkan sebagai jaring penyelamat hara, namun tidak menimbulkan persaingan akan air dan hara dengan akar tanaman semusim. Oleh karena itu, akar pohon harus menyebar secara horizontal, tetapi di bawah zone akar tanaman pangan.
Foto 20. Pemangkasan tanaman pagar: daun dan cabang kecil
dikembalikan ke tanah, cabang yang besar untuk kayu bakar. Percobaan yang dilakukan (Foto: Kurniatun Hairiah) di Proyek BMSF, Pakuan Ratu, Lampung menunjukkan bahwa semakin sering tajuk dipangkas (Foto 20), walaupun memperlambat efek naungan pohon pada tanaman pangan, terbukti merangsang pertumbuhan akar yang semakin menyebar di lapisan atas tanah (Gambar 11 dan Foto 21). Tinggi pangkasan yang rendah (mendekati permukaan tanah) mengakibatkan tanaman membentuk lebih banyak akar halus pada lapisan 0-10 cm. Semakin banyak akar pohon yang terbentuk pada lapisan atas, semakin besar pula kemungkinan terjadinya kompetisi akan hara dan air antara akar pohon dan akar tanaman semusim. Di samping itu, tanaman yang berperakaran Foto 21. Sebaran akar petaian setelah 6 bulan batangnya dipangkas dangkal biasanya kurang setinggi 50cm (kiri) dan 75cm (kanan). (foto: Kurniatun Hairiah)
37
Peltophorum
Daftar Isi
Tinggi pangkasan:
Pertanian di Tanah Masam ........................................................... 1 -- Bagaimana upaya petani untuk hidup pada tanah yang tidak subur? ................ 1 -- "menentang" atau "bersahabat" dengan alam ....................................................... 2
Usaha untuk menaklukkan tanah masam ..................................... 3 -- Mengapa petani masih gigit jari? ............................................................................. 3 -- Pupuk untuk pemecahan masalah kesuburan tanah ............................................ 7 -- Tanah dingin: pemahaman petani terhadap kesuburan tanah ............................ 9 -- Bagaimana meningkatkan kandungan bahan organik tanah? ........................... 10 Gambar 11. Sebaran akar petaian (Peltophorum) dan kaliandra (Calliandra) pada kedalaman 10 cm setelah 6 bulan dipangkas pada berbagai ketinggian. (Hairiah et al., 1992)
tahan terhadap kekeringan. jaring penyelamat hara.
Sehingga terjadi kegagalan fungsi sebagai
Adanya pemangkasan tajuk petaian (Peltophorum) dan kaliandra (Calliandra), menyebabkan berkurangnya aktivitas akar. Jika pertumbuhan tajuk telah dimulai kembali, maka pertumbuhan akar-akar baru juga akan mengikuti. Dengan demikian, jika pemangkasan terlalu dini dilakukan, atau pada saat pohon masih muda, pertumbuhan akar hanya terbatas pada lapisan atas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemangkasan pertama sebaiknya dilakukan bila pohon telah cukup dewasa (sekitar 2 tahun), dimana akar pohon telah tumbuh cukup dalam. Hasil percobaan ini memberikan pelajaran bahwa untuk mendapatkan jaring penyelamat hara dari akar pohon, memang kita harus menerima adanya efek naungan pohon. Sebagai jalan tengahnya, jarak tanam pohon sebaiknya diperlebar.
-- Teknik menanam Akar tumbuh lebih dalam bila ditanam langsung dari biji! Pernyataan ini umum kita jumpai. Kenyataannya di lapangan, petani juga suka menanam dari stek batang atau menggunakan bibit putaran karena lebih cepat.
38
Menuju Fase Peralihan “Pohon-Tanaman Semusim” dan “Agroforest” .................................................................................. 12 -- Tidak semua jenis pohon sama pengaruhnya! .................................................... 12 -- Sistem AGROFORESTRI sederhana atau kompleks? ..................................... 14
Mengapa Budidaya Pagar Tidak Selalu Dapat Memenuhi Harapan Petani? ........................................................................... 17 -- Interaksi pohon-tanah-tanaman ............................................................................ 18 -- Akar pohon sebagai jaring penyelamat hara ........................................................ 22
WANuLCAS (Model Penggunaan Air, Hara dan Cahaya pada sistem Agroforestri) ..................................................................... 26 -- Dapatkah kita memperkirakan keseimbangan antara interaksi yang menguntungkan dan yang merugikan? ................................................................ -- Contoh simulasi WaNuLCAS sebagai alat diagnosa ......................................... -- Keluaran simulasi ..................................................................................................... Pendugaan produksi jagung .................................................................................... Pendugaan neraca karbon (C) ................................................................................ Pendugaan neraca N .............................................................................................. Pendugaan neraca air: limpasan permukaan dan drainasi ...................................... Hubungan tanah dingin dan usaha pemupukan pada sistem bera ........................... -- Ringkasan: interaksi pohon-tanah-tanaman pangan ..........................................
26 27 29 29 30 31 32 33 35
Pengelolaan Pohon ...................................................................... 36 -- Kelolanya baik, manfaatnya laik ............................................................................ 36 -- Tinggi pangkasan ..................................................................................................... 37 -- Teknik menanam ..................................................................................................... 38
Berikut ini disajikan hasil percobaan dari Proyek BMSFdi Pakuan Ratu, Lampung. Jenis pohon yang ditanam adalah gamal (Gliricidia) dan petaian (Peltophorum). Teknik penyediaan bibit gamal, menggunakan a) biji yang ditanam langsung di lapangan, serta b) menanam stek batang sepanjang 50 cm. Sedangkan teknik penyediaan bibit petaian menggunakan a) biji ditanam langsung di lapangan, dan b) menanam bibit cabutan. Perkembangan tajuk dan akar pohon diamati pada dua tahun pertama. Hasil pengamatan pada periode pertama (15 bulan) menunjukkan bahwa penanaman pohon langsung dari biji menghasilkan panjang akar total lebih tinggi dibandingkan penanaman dengan bibit cabutan atau stek (Gambar 12). Namun pada periode pengamatan berikutnya, perbedaan kedua teknik penanaman tersebut secara bertahap mengecil. log Lrv -1.2 0 - 10
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
Kedalaman, cm
10 - 20
20 - 30
30 - 40
G-biji G-stek P-biji P-cabutan
40 - 50
50 - 60
0 - 10
10 - 20
Kedalaman, cm
lapangan yang kadang-kadang kurang bersahabat. Bantuan dari Rahayu Subekti dalam analisis statistik data lapangan telah mempermudah penulis untuk memberikan contoh-contoh studi kasus yang berguna untuk memperjelas teori yang ada. Design dan tata letak brosur ini diperindah oleh Tikah Atikah dan Dwiati Novita Rini dari ICRAF Bogor. Brosur ini tidak akan pernah terbit tanpa ada bantuan finansial dari Departement For International Development (DFID), R66523 Forestry Research Program, UK.
20 - 30
30 - 40
40 - 50
50 - 60
Gambar 12. Pengaruh teknik penanaman gamal (G) dan petaian (P) terhadap panjang akar total (Lrv) pada berbagai kedalaman tanah, pada 2 periode pegamatan (gambar atas = tanaman berumur 15 bulan; dan gambar bawah = tanaman berumur 21 bulan)
Penanaman langsung dengan biji, sebenarnya lebih murah dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak. Namum pertumbuhan pohon yang ditanam dengan teknik ini sangat lambat pada awalnya, sehingga memerlukan tenaga ekstra untuk penanggulangan gulma di sekeliling pohon. Bila penyediaan stek memungkinkan, maka teknik penanaman stek lebih menguntungkan karena pohon tumbuh dengan cepat menutupi permukaan tanah. Jadi kedua teknik penanaman sama-sama memiliki keuntungan dan kerugian. Petani dapat mencoba sendiri berbagai teknik penanaman yang lain pada berbagai pohon yang diinginkan, dengan mengamati pertumbuhan pohon di atas dan di bawah tanah.
39
Coba Dan Buktikan Sendiri Telah dijelaskan betapa kompleksnya interaksi pohon – tanah –tanaman semusim dalam sistem agroforestri, sehingga kurang tepat bila peneliti/ penyuluh megeluarkan rekomendasi yang ‘baku’: ” Kerjakan ini! Jangan kerjakan itu”. Sistem pengelolaan berdasarkan rekomendasi baku sering mengalami kegagalan karena tidak sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kebiasaan setempat. Dan perlu dicatat bahwa “Tidak ada sistem pertanian yang selalu ideal”. Namun bila petani memahami prinsip dasar interaksi pohon – tanah–tanaman semusim, mereka dapat mengembangkan dan memperbaiki teknik pengelolaan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya sendiri. Peneliti/penyuluh hanya membantu menyediakan alat bantu berupa jawaban dari pertanyaan -pertanyaan seperti : Mengapa tanah “dingin” atau “panas”?, atau Apakah akar pohon dalam atau dangkal?, atau Haruskah dan sampai berapa lamakah petani harus menunggu sampai suatu pohon dapat berproduksi, atau perlukah petani menanam tanaman pangan untuk kebutuhan jangka pandek? Apakah masih ada lahan “tidur” yang memungkinkan untuk diberakan secara alami menuju ke sistem agroforest kompleks? Atau akan dikelola lebih intensif dengan masukan tinggi dan tentu saja dengan harapan akan berhasil. Penyuluh tidak dituntut untuk dapat menjawab semua pertanyaan tersebut bagi petani, namun setidaknya memberi kesempatan untuk berpikir …….
Kata Pengantar Konsep pengelolaan tanah masam secara biologi di daerah tropika basah memang menarik untuk didengar dan dipelajari. Strategi dan goalnya mudah dikatakan, namun pelaksanaannya pada level petani tidaklah mudah. Penguasaan pengetahuan dasar tentang sistem ini dan pemahaman kondisi setempat sangat diperlukan untuk membantu pelaksanaannya di lapangan. Sebagai contoh petani yang berasal dari daerah subur tidak dapat secara langsung mentransfer pengetahuan yang dimiliki sebelumnya kepada daerah-daerah baru yang berbeda kondisinya (bahkan mungkin kurang subur). Mereka harus belajar keras dalam memahami dan menanggulangi masalah yang dihadapi di tempat baru, bila tidak….mungkin mereka harus pindah ke tempat lain. Pada sisi lain peneliti dapat belajar dan menggali banyak pengetahuan dari petani lokal tentang konsep dan istilah yang mereka pergunakan di lapangan, dan mencoba menghubungkannya dengan pengetahuan ilmiah yang dimilikinya. Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat membantu petani dalam memecahkan masalah yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Brosur ini memberikan informasi tentang ringkasan hasil penelitian selama 15 tahun pada Proyek ‘Biological Management of Soil Fertility’ (BMSF) di daerah Pakuan Ratu- Lampung, yang diharapkan dapat dipakai sebagai contoh dan dapat membantu petugas lapangan dan pengambil kebijakan dalam memahami masalah-masalah yang dihadapi di lapangan. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh jalan pemecahannya yang sesuai dengan kondisi setempat. Selama beberapa tahun berkecimpung dengan pengelolaan tanah masam, kami memperoleh banyak keuntungan berupa pengalaman penelitian dan pengembangan teknologi yang juga berguna bagi perbaikan materi pengajaran di Universitas. Masukan dari banyak kolega yang mungkin terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu disini, produk ini merupakan ucapan terimakasih kami. Tak lupa kami mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh assisten lapang Proyek BMSF untuk periode tahun 1984-2000 atas kerja kerasnya dalam memperoleh data lapangan yang berkualitas, dan atas kesetiannya dalam mempertahankan kelancaran tugas penelitian pada kondisi
40
Daftar Pustaka Alamat yang dapat dihubungi Dr. Kurniatun Hairiah d/a Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia Telp. +62 341 564355 atau 553623; fax: 341 564333 Email:
[email protected] Dr. Meine van Noordwijk ICRAF SE Asia Jl Situ Gede, Sindang Barang, PO Box 161, Bogor 16001, Indonesia Telp. +62 251 625415; fax: 62 251 625416 Email:
[email protected] Dr. Georg Cadisch/ Prof. Dr. Ken Giller Dept. of Biology, Imperial College at Wye, University of London Wye, Ashford, Kent TN25 5 AH, United Kingdom Fax. 001 44 1233-813140 atau 813320 Email:
[email protected]
ISBN 000 000 000 International Centre for Research in Agroforestry Southeast Asia Regional Research Programme Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680 PO Box 161, Bogor 16001, Indonesia Tel: +62 251 625415; fax: +62 251 625416; email:
[email protected]
Hairiah, K., Van Noordwijk, M., Santoso, B. and Syekhfani, MS., 1992. Biomass production and root distribution of eight trees and their potential for hedgerow intercropping on an ultisol in Lampung. AGRIVITA 15: 54-68. Hairiah K, Van Noordwijk M and Cadisch G, 2000. Carbon and Nitrogen balance of three cropping systems in N. Lampung. Neth.J. Agric. Sci. 48(2000): 3-17. Michon G and de Foresta H, 1995. The Indonesian agro-forest model: forest resource management and biodiversity conservation. in Halladay P. and D.A. Gilmour eds.: Conserving Biodiversity outside protected areas. The role of traditional agro-ecosystems. IUCN: 90-106. Rowe E, Hairiah K, Giller K E, Van Noordwijk M and Cadisch G, 1999. Testing the "safety-net" role of hedgerow tree roots by 15N placement at different soil depths. Agroforestry Systems. Agroforestry Systems 43(1-3):81-93. Kluwer Academic Publisher and ICRAF. Suprayogo D, Hairiah K, Van Noordwijk M, Giller K and Cadisch G, 1999. The effectiveness of hedgerow cropping system in reducing mineral N-leaching in Ultisol. In: C Ginting, A Gafur, FX Susilo, AK Salam, A Karyanto, S D Utomo, M Kamal, J Lumbanraja and Z Abidin (eds.). Proc. Int. Seminar Toward Sustainable Agriculture in the Humid Tropics Facing 21st Century UNILA, Lampung. p. 96 - 106. Van der Heide, J., Setijono, S., Syekhfani, MS., Flach E.N., Hairiah, K., Ismunandar, S., Sitompul, S.M. and Van Noordwijk, M., 1992. Can low external input cropping systems on acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Backgrounds of the UniBraw/IB Nitrogen management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan, Kotabumi, N. Lampung, S. Sumatera, Indonesia). AGRIVITA 15: 1-10 Van Noordwijk M, Hairiah K, Lusiana B and Cadisch G, 1998. Tree-soil-crop interactions in sequential and simultaneous agroforestry systems. In: Bergstrom L and Kirchmann H (eds.). Carbon and nutrient dynamics in natural and agricultural tropical ecosystems. CAB International, Wallingford, UK. pp 173-191. Van Noordwijk M and Lusiana B, 1999. WANULCAS 1.2. Backgrounds of a model of water, nutrient and light capture in agroforestry systems. ICRAF SE. Asia, Bogor.
Foto cover depan: Kebun campuran di daerah Lampung, terdiri dari pohon buah-buahan (seperti durian, rambutan) yang ditumpang-sarikan dengan lada. Dadap atau gamal sering dipakai untuk pohon ajir, pupuk hijau bahkan kadang-kadang sebagai pakan ternak. (oleh: Kurniatun Hairiah) belakang: Akar pohon yang mati menguntungkan tanaman tanaman yang tumbuh berikutnya. Akar ubi kayu tumbuh mengikuti saluran bekas akar peohonan yang telah mati. (oleh: Meine van Noordwijk) Disain: Tikah Atikah dan Dwiati N. Rini, ICRAF SE Asia Dicetak: Desember 2000
41