TESIS
HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN MICROVESSEL DENSITY PADAUNDIFFERENTIATEDCARCINOMANASOPHAR YNXDI RSUP SANGLAH DENPASAR
MADE DWI HARTAYATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN MICROVESSEL DENSITY PADA UNDIFFERENTIATED CARCINOMA NASOPHARYNX DI RSUP SANGLAH DENPASAR
MADE DWI HARTAYATI 1014098103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN MICROVESSEL DENSITY PADA UNDIFFERENTIATED CARCINOMA NASOPHARYNX DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tesisuntuk Memperoleh Gelar Magister pada ProgramMagister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
MADE DWI HARTAYATI 1014098103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 OKTOBER 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.dr.I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA(K) dr. Moestikaningsih, Sp.PA(K) NIP 196502011996012001
NIP 194508020969022001
Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-1 Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
DR. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA (K) NIP 196502011996012001
iii
Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis Ini Telah Diuji Pada13 Oktober 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
Ketua
: DR. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA (K)
Anggota
:
1. dr. Moestikaningsih, Sp.PA (K) 2. dr. AAAN. Susraini, Sp.PA (K) 3. dr. Luh Putu Iin Indrayani, Sp.PA (K) 4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD
Surat Pernyataan Bebas Plagiat
iv
Nama
: dr. Made Dwi Hartayati
NIM
: 1014098103
Program Studi
: Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)
Judul
: Hubungan positif ekspresi cyclooxygenase-2 dengan microvessel density pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Denpasar, Oktober 2015 Yang membuat pernyataan,
(dr. Made Dwi Hartayati)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua berkat, rahmat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.Penulis sangat menyadari bahwa penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan banyak pihak. Pada Kesempatan ini, perkenankanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan kepada Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, Sp.PA (K) selaku pembimbing I dan Ketua Program Studi Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana periode 2014-2018 yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan bimbingan, masukan dan pengarahan dan koreksi selama menjalani pendidikan spesialisasi maupun dalam penyelesaian tesis ini, dr.Moestikaningsih, Sp.PA (K) selaku pembimbing II dan Ketua Program Studi Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Periode 2009-2014 yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan petunjuk, nasehat serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi maupun dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan kepada dr. AAAN. Susraini, Sp.PA (K) sebagai Kepala Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar Periode 2014-2018 sekaligus tim penguji yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan bimbingan, masukan dan pengarahan selama
vi
menjalani pendidikan spesialisasi maupun dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan kepada dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, Sp.PA(K) selaku Kepala Instalasi Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Sanglah Denpasar sekaligus tim penguji yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat selama menjalani pendidikan spesialisasi dan memberikan fasilitas dan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD selaku tim penguji yang telah banyak sekali membantu penulis dengan memberikan bimbingan, dorongan, semangat, masukan, saran dan koreksi dari awal pendidikan hingga selesainya tesis ini. Selain itu penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes yang memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
vii
3. Dr. dr Gede Indraguna Pinatih, MSC, SpGK selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan Combined Degree. 4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian Ilmu Patologi Anatomi dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. 5. dr. Ni Wayan Winarti, Sp.PA, sebagai Kepala Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar periode 2009-2014 yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 6. Seluruh staf dosen/pengajar di Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan seluruh dosen Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree, yang telah membimbing, memberikan masukan, nasehat, petunjuk dan bekal pendidikan dari awal pendidikan hingga terselesaikannya tesis ini. 7. dr. Kadek Pramesti Dewi, Sp.PA yang telah banyak memberikan masukan dan saran serta dorongan semangat selama penulis menyelesaikan tesis ini. 8. Drs. I Ketut Tunas, Msi, yang telah membantu dan memberi masukan saran dalam pengolahan data dan statistik dari awal hingga akhir penulisan tesis ini. 9. Seluruh rekan-rekan sejawat residen dan senior residen Patologi Anatomi Universitas Udayana atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya selama ini serta
viii
kepada seluruh staf karyawan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila selama menjalankan pendidikan spesialisasi dan selama proses penyelesaian tesis ini penulis banyak membuat kesalahan yang membuat pembimbing, tim penguji dan seluruh staf dosen merasa tidak nyaman. Rasa syukur, terima kasih yang sebesar-besarnya dan sujud penulis persembahkan kepada orangtua tercinta, Drs. I Nengah Musta (Alm) dan Ni Wayan Sukardi, BA yang dari lahir hingga sekarang selalu merawat, memberikan doa, perhatian, kasih sayang, bekal pendidikan serta semangat dan dukungan yang luar biasa kepada penulis. Terima kasih pula atas doa dan dukungannya kepada kakak Gede Adi Hartana, SE. Akhirnya, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada suami tercinta dr. I Komang Budi Lastiawan, Sp.An dan anak-anakku tercinta Gede Danendra Nayottama, Made Astaka Widyadana, Nyoman Aldea Listiaputri atas doa, cinta kasih, semangat, dukungan, perhatian dan pengertiannya kepada penulis setiap saat. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih atas doa dan dukungannya kepada seluruh keluarga besar penulis dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Denpasar, Oktober 2015 Penulis
ix
ABSTRAK HUBUNGAN POSITIF EKSPRESI CYCLOOXYGENASE-2 DENGAN MICROVESSEL DENSITY PADA UNDIFFERENTIATED CARCINOMA NASOPHARYNX DI RSUP SANGLAH DENPASAR Tumor memerlukan pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis untuk dapat tumbuh dan bermetastasis. Angiogenesis dapat dinilai dengan menghitung microvessel density (MVD). Salah satu cara untuk menentukan microvessel adalah dengan pengecatan imunohistokimia CD31. Cyclooxygenase-2 (COX-2) adalah faktor potensial penting pada angiogenesis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan ekspresi COX-2 dengan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode analitik potong lintang. Sampel penelitian adalah sediaan blok parafin penderita undifferentiated carcinoma nasopharynx yang diperiksa secara histopatologi pada Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah Mada/RSUP dr.Sardjito, Yogyakarta dari 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Agustus 2014. Diagnosis ulang sediaan histopatologi dilakukan dengan pengecatan rutin H&E untuk mendapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga tercapai jumlah 31 sampel.Selanjutnya dilakukan pulasan imunohistokimia COX-2 dan CD 31 untuk menentukan microvessel pada seluruh sampel.Kemudian hasil dianalisis dengan uji Pearson. Ekspresi COX-2 positif ditemukan pada 24 (77,42%) subyek dan dijumpai negatif pada 7 (22,59%). Ditemukan 22 (70,97%) kasus undifferentiated carcinoma nasopharynx dengan MVD tinggi dan 9 (29,03%) dengan MVD rendah. Ditemukan adanya korelasi positif ekspresi COX-2 dengan MVD (r = 0,868; p = 0,001). Pada penelitian ini, ditemukan adanya hubungan positif antara ekspresi COX2 dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx. Kata kunci :undifferentiated carcinoma nasopharynx, Cyclooxygenase-2, Microvessel density.
x
ABSTRACT POSITIVE CORRELATION BETWEEN EXPRESSION CYCLOOXYGENASE-2 AND MICROVESSEL DENSITY IN UNDIFFERENTIATED CARCINOMA NASOPHARYNX AT RSUP SANGLAH DENPASAR Tumors require new blood vessel formation or angiogenesis in order to grow and metastasize. Angiogenesis can be assessed by counting the microvessel density (MVD). One way to determine microvessel is the CD31 immunohistochemical staining. Cyclooxygenase-2 (COX-2) is a potentially important factor in angiogenesis.The aim of this study was to prove the correlation between expression COX-2 and MVD in undifferentiated carcinoma nasophrynx at RSUP Sanglah Denpasar. This study used cross-sectional analytic method . The sample were paraffin block preparation of patients with undifferentiated carcinoma of the nasopharynx were examined by histopathology in Pathology Anatomy Departement, Medical Faculty Udayana University/RSUP Sanglah Denpasar and Laboratory of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine, University of Gadjah Mada/DR.Sardjito Hospital, Yogyakarta from January 1, 2014 to August 31, 2014. Histopathological diagnosis performed on preparations with routine H & E staining to obtain samples that met the inclusion and exclusion criteria in order to reach the number of 31 samples. Subsequently immunohistochemical staining was performed for COX-2 and CD 31 to determined microvessel on the entire sample. Then the results were analyzed by Pearson test. COX-2 positive expression were found in 24 (77.42%) subjects were found negative in 7 (22.59%). Twenty two cases (70.97%) cases of undifferentiated carcinoma of the nasopharynx with high MVD and 9 (29.03%) with low MVD. There was positive correlation expression of COX - 2 with MVD ( r = 0.868 ; p = 0.001 ) . In this study , found a positive correlation between the expression of COX- 2 and MVD in undifferentiated carcinoma nasopharynx Keywords: undifferentiated carcinoma nasopharynx, cylooxygenase-2, microvessel density
xi
DAFTAR ISI halaman SAMPUL DALAM ..................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................
iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..........................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................
vi
ABSTRAK...............................................................................................
x
ABSTRACT ............................................................................................
xi
DAFTAR ISI ..........................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xvii DAFTAR SINGKATAN ......................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xxiii BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................
6
1.3.1 Tujuan Umum ...........................................................
6
1.3.2 Tujuan Khusus ..........................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................
6
xii
1.4.1 Manfaat Akademik ...................................................
6
1.4.2 Manfaat Praktis .........................................................
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................
7
2.1 Anatomi Nasofaring ..........................................................
7
2.1.1 Anatomi ....................................................................
7
2.1.2 Sistem Aliran Darah dan Sistem Saraf .......................
9
2.1.3 Sistem Limfatik ........................................................
11
2.2 Undifferentiated Nasopharynx Carcinoma .........................
12
2.2.1 Epidemiologi ............................................................
12
2.2.2 Etiologi .....................................................................
13
2.2.3 Klasifikasi .................................................................
17
2.2.4 Gambaran Klinis ........................................................
18
2.2.5 Gambaran Morfologi .................................................
20
2.2.5.1 Makroskopis...................................................
20
2.2.5.2 Mikroskopis ...................................................
20
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang .............................................
22
2.2.6.1 Pemeriksaan klinis .........................................
22
2.2.6.2 Radiologi .......................................................
22
2.2.6.3 Serologi..........................................................
23
2.2.6.4 Pemeriksaan patologi .....................................
24
2.2.7 Penatalaksanaan .........................................................
24
2.2.7.1 Radioterapi .....................................................
24
2.2.7.2 Kemoterapi ....................................................
25
xiii
2.2.7.3 Operasi ...........................................................
25
2.2.7.4 Imunoterapi ....................................................
26
2.2.8 Prognosis ...................................................................
26
2.3 Cyclooxygenase-2................................................................
27
2.3.1 Biologi cyclooxygenase .............................................
27
2.3.2 Cyclooxygenase, prostaglandin, karsinoma ................
29
2.3.3 Peranan Cox-2 pada karsinoma nasofaring .................
30
2.3.4 Peranan Cox-2 pada angiogenesis ..............................
31
2.3.5 Ekspresi Cox-2 pada karsinoma nasofaring ................
33
2.4 Imunohistokimia ..................................................................
35
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .........................................................................................
39
3.1 Kerangka Berpikir .............................................................
39
3.2 Konsep Penelitian ..............................................................
42
3.3 Hipotesis Penelitian ...........................................................
43
BAB IV METODE PENELITIAN ..........................................................
44
4.1 Rancangan Penelitian ........................................................
44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................
45
4.3 Ruang Lingkup Penelitian .................................................
45
4.4 Penentuan Sumber Data .....................................................
45
4.4.1 Populasi ....................................................................
45
4.4.2 Sampel Penelitian .....................................................
46
4.4.3 Kriteria Inklusi ..........................................................
46
xiv
4.4.4 Kriteria Eksklusi .......................................................
46
4.4.5 Besar Sampel ............................................................
47
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel .....................................
48
4.5 Variabel Penelitian ............................................................
48
4.5.1 Klasifikasi Variabel ..................................................
48
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ...................................
48
4.6 Bahan Penelitian ................................................................
49
4.7 Instrumen Penelitian ..........................................................
50
4.8 Prosedur Penelitian ............................................................
50
4.8.1 Cara Pengumpulan Data ............................................
50
4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan ....................................
51
4.8.3 Alur Penelitian ..........................................................
56
4.9 Analisis Data .....................................................................
57
BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................
58
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..........................................
58
5.2 Ekspresi COX-2 dan MVD .................................................
59
5.3 Uji Normalitas antara COX-2 dengan MVD .......................
61
BAB VI PEMBAHASAN HASIL ............................................................
66
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..........................................
66
6.2 Hubungan antara COX-2 dengan MVD ..............................
67
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................
71
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
72
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
80
xv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Formula Digby ................................................................................. 19 Tabel 5.1 Distribusi Sampel berdasarkan jenis kelamin ..................................... 58 Tabel 5.2 Distribusi Sampel berdasarkan umur .................................................. 59 Tabel 5.3 Distribusi Sampel berdasarkan persentase sel dan ekspresi COX-2 .... 59 Tabel 5.4 Interpretasi Ekspresi COX-2 .............................................................. 60 Tabel 5.5 Microvessel Density sesuai dengan Ekspresi CD 31........................... 60 Tabel 5.6 Hubungan antara COX-2 dan MVD ................................................... 62
xvi
DAFTAR GAMBAR halaman 2.1
Anatomi nasofaring .......................................................................
9
2.2
Pendarahan nasofaring ..................................................................
10
2.3
Persarafan nasofaring .....................................................................
11
2.4
Pathogenesis karsinoma nasofaring ...............................................
17
2.5
Undifferentiated Carcinoma “Regaud type” ..................................
21
2.6
Undifferentiated Carcinoma “Schmincke type”..............................
22
2.7
Terapi karsinoma nasofaring ..........................................................
24
2.8
Metabolisme asam arakidonat melalui kerja COX-2 .......................
28
2.9
Peranan Cox-2 pada perkembangan karsinoma...............................
30
2.10 Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 .....................................
36
2.11 Hasil pewarnaan imunohistokimia CD 31 ......................................
38
3.1
Bagan konsep penelitian.................................................................
42
4.1
Rancangan penelitian .....................................................................
44
4.2
Bagan alur penelitian .....................................................................
56
5.1
ROC dari ekspresi CD 31 ...............................................................
61
5.2
Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 pada undifferentiated nasopharynx carcinoma terpulas pada <10% sel ganas dengan intensitas kuat ................................................................................
5.3
62
Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 pada undifferentiated nasopharynx carcinoma terpulas pada 10-50% sel ganas dengan intensitas kuat ................................................................................
xvii
63
5.4
Hasil pewarnaan imunohistokimia COX-2 pada undifferentiated nasopharynx carcinoma terpulas pada >50% sel ganas dengan intensitas kuat ................................................................................
63
5.5
Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD tinggi .........
64
5.6
Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD rendah ........
64
5.7
Hasil pewarnaan imunohistokimia MVD pada intraitumoral ..........
65
xviii
DAFTAR SINGKATAN
AA
= Asam Arakhidonat
ACIF
= Anticomplement and Immunoflorecent
AJCC
= Americant Joint Committee on Cancer
BCl2
= B Cell Lymphoma-2
BFGF
= Basic Fibroblast Growth Factor
CD31
= Cluster of Differentiation 31
COX
= Cyclooxygenase
COX-1
= Cyclooxygenase-1
COX-2
= Cyclooxygenase-2
COX-3
= Cyclooxygenase-3
CT
= Computerized Tomography
DNA
= Deoxyribonucleic Acid
EBNA
= EBV- determined Nuclear Antigen
EGFR
= Epithelial Growth Factor Receptor
FITC
= Fluorescein Isothiocyanate
HE
= Hematoxillin Eosin
HLA
= Human Leukocyte Antigens
IARC
= International Agency for Research on Cancer
KNF
= Karsinoma Nasofaring
LMP
= Latent Membran Protein
xix
MAPK
= Mitogen Activated Protein Kinase
MEP
= Major Excreted Protein
MMP
= Matrix Metalloprotein
MGG
= May-Grunwald Giemsa
MRI
= Magnetic Resonance Imaging
mRNA
= messenger Ribonucleic Acid
MVD
= Microvessel Density
PCR
= Polimerase Chain Reaction
PG
= Prostaglandin
PGD2
= Prostaglandin D2
PGE2
= Prostaglandin E2
PGF2α
= Prostaglandin F2α
PGG2
= Prostaglandin G2
PGH2
= Prostaglandin H2
PGHS
= Prostaglandin H2 Synthesa
PGI2
= Prostaglandin I2
ROC
= Receiver Operating Curve
RNA
= Ribonucleic Acid
TXA2
= Tromboxan
UICC
= Union International Centre Cancer
VCA
= Viral Capsid Antigen
xx
VEB
= Virus Epstein Barr
VEGF
= Vascular Endothelial Growth Factor
WHO
= World Health Organization
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Penilaian ekspresi COX-2 dan CD 31 ............................................ 80 Lampiran 2. Keterangan kelaikan etik .............................................................. 82 Lampiran 3. Surat ijin ....................................................................................... 83 Lampiran 4. Data subyek penelitian .................................................................. 84 Lampiran 5. Uji Normalitas data umur, COX-2 dan CD 31 ............................... 85 Lampiran 6. Analisis deskriptif Jenis kelamin dan umur .................................... 85 Lampiran 7. Uji korelasi Pearson antara COX-2 dan CD 31 .............................. 86 Lampiran 8. Kurva ROC Data CD 31 ................................................................ 86
xxii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada karsinoma nasofaring sampai saat ini masih tetap merupakan masalah besar. Hal ini disebabkan oleh karena gejala penyakit yang tidak khas dan letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa.Hampir seluruh penderita datang dengan stadium lanjut, bahkan sering datang dengan keadaan umum yang jelek. Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi World Health Organization (WHO) tahun 2005 adalah keratinizing squamous cell carcinoma, nonkeratinizing carcinoma dibagi menjadi 2 yaitu differentiated carcinoma nasopharynx dan undifferentiated carcinoma nasopharynx, dan basaloid squamous carcinoma. Tipe histologi undifferentiated carcinoma nasopharynx merupakan tipe yang paling sering diantara tipe yang lain dari karsinoma nasofaring yaitu 92% (Chan et al., 2005). Karsinoma
nasofaring adalah tumor ganas yang sering terdapat di Asia
Tenggara termasuk Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insiden antara 10 – 53 kasus per 100.000 penduduk (Tse et al., 2006). Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas pada kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia yaitu sekitar 60% dan menduduki urutan ke-5 dari seluruh
1
2
keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, kelenjar getah bening, dan kulit (Chou et al., 2008). Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali karsinoma nasofaring menempati peringkat kelima dari seluruh karsinoma pada lakilaki dan perempuan dengan jumlah 70 kasus, pada laki-laki menempati peringkat pertama dengan jumlah 47 kasus dari seluruh karsinoma (Anonim, 2010). Angka prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal dari Cina sekitar 40%. Tingkat ketahanan hidup lima tahun penderita karsinoma nasofaring di Indonesia hanya sekitar 6,4 % dan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun penderita yang diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV (Chou et al., 2010). Karsinoma nasofaring mempunyai perangai berbeda dibandingkan dengan keganasan pada daerah lain di kepala dan leher, karena sifatnya yang sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis sering ditemukan pada stadium yang lanjut (Brennan, 2006). Diagnosis pasti karsinoma nasofaring memerlukan biopsi lesi.Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah genetik, faktor lingkungan dan Virus Ebstein Barr (VEB).Hampir semua karsinoma nasofaring mengandung VEB. Pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, VEB menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rossenmuller’s di Waldeyer;s ring. Infeksi VEB dapat terjadi sebelum neoplasma dan berkembang menjadi
keganasan
(Mantovani
et
al.,
2008).Pemeriksaan
serologi
dan
3
imunohistokimia belum rutin dilakukan (Cho, 2007).Hal ini menyebabkan penatalaksanaan karsinoma nasofaring menjadi sulit dan belum memberi hasil yang memuaskan (Garden, 2010).Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi.Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi (Feng et al., 2010). Salah satu prognosis buruk pada undifferentiated carcinoma nasopharynx adalah dijumpainya banyak pembuluh darah kecil (Roezin, 2005). Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang terjadi secara normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk proliferasi sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat.Angiogenesis juga berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk kedalam pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian berproliferasi pada tempat yang lain atau metastasis (Nishida et al., 2006). Pendekatan secara patologis untuk memperkirakan adanya suatu angiogenesis adalah dengan perkiraan secara mikroskopik densitas pembuluh darah (microvessel density/MVD) dari jaringan
tumor
melalui
pemeriksaan
immunohistokimia
(Choi
et
al.,
2005).Cyclooxygenase-2 (COX-2) merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis
tumor.Cyclooygenase-2
secara
konsisten
terekspresi
dalam
4
pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah disekitar tumor (Choi et al., 2005). Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim penting pada jalur biositetik prostaglandin, tromboxan dan prostasiklin dari asam arakhidonat.Ekspresi seluler COX-2 meningkat normal pada stadium awal karsinogenesis dan selama perkembangan serta pertumbuhan invasif tumor (Xu et al., 2006).Cyclooxygenase-2 terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya terbukti sebagai penyebab karsinogenesis. Prostaglandin dan enzim COX-2 merupakan mediator inflamasi yang terlibat dalam proses angiogenesis. Inflamasi merupakan respon fisiologis tubuh terhadap iritasi maupun stimuli yang mengubah homeostasis jaringan. Inflamasi akut dapat mengalami pemulihan sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak mampu mengeliminasi akan berlanjut menjadi inflamasi kronis. Inflamasi kronis menyebabkan kematian sel dan tubuh mengkompensasi dengan peningkatan pembelahan sel. Bila diakselerasi dapat memudahkan terjadinya kesalahan pembentukan Deoxyribonucleic acid (DNA) dan mutasi (mutagen).Reaksi inflamasi dapat meningkatkan pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan.Secara umum sitokin ikut berperan pada regulasi protein dan meregulasi COX-2 yang merupakan enzim untuk sintesis prostaglandin (Soo, 2005). Induksi COX-2 atau ekspresi berlebihan berhubungan dengan peningkatan produksi prostaglandin-E2 (PGE2).Prostaglandin E2 menunjukkan adanya hubungan antara perkembangan tumor dan biosintesis prostaglandin.Prostaglandin E2 juga penting pada invasi tumor. Prostaglandin E2 dapat meningkatkan kadarVascular
5
Endothelial Growth Factor (VEGF). Vascular Endothelial Growth Factor memproduksi
matrix
metalloprotein
(MMP)
untuk
angiogenesis.
Matrix
Metalloprotein
memecah
memulai
ekstraseluler
suatu
proses
matrix.Hal
ini
merangsang migrasi sel endotel.Sel endotel mulai membelah begitu mereka bermigrasi ke jaringan sekitarnya.Kemudian tersusun menjadi pembuluh darah baru dan kemudian berkembang menjadi pembuluh darah matur (Nishida et al., 2006). Penelitian Hasibuan (2014) menemukan adanya korelasi positif sedang antara ekspresi COX-2 dan MVD pada karsinoma nasofaring dengan koefisien relasi 0,559 dengan tingkat kemaknaan (p=0,005) antara tingkat ekspresi COX-2 dengan gambaran angiogenesis. Sedangkan pada penelitian Tan dan Putti (2005) menyatakan microvessel density berkisar antara 1-59 (rata-rata 24,2), namun tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna MVD pada kelompok COX-2 positif dengan COX2 negatif (p=0,774). Dengan memperhatikan latar belakang maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara ekspresi COX-2 dengan angiogenesis, yang dinilai melalui MVD padaundifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar yang nantinya diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu faktor prediktif.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka disusun rumusan masalah penelitian adalah:
apakah
terdapat
hubungan
positif
ekspresi
COX-2dengan
padaundifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar?
MVD
6
1.3.Tujuan Penelitian Untuk membuktikan adanya hubungan positif antara ekspresi COX-2 dengan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat akademik 1.
Memberikan informasi data epidemiologi tentang ekspresi COX-2dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau tambahan pengetahuan dalam pemanfaatan COX-2 sebagai faktor prediktif undifferentiated carcinoma nasopharynx.
1.4.2. Manfaat praktis Memberikan
informasi
kepada
klinisi
bahwa
hasil
pemeriksaan
imunohistokimia COX-2 dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengobatanundifferentiated
carsinoma
nasopharynxdengan
COX-2
inhibitor.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan lubang sempit yang terletak pada belakang rongga hidung.Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang belakang.Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba Eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan belakang terdapat ruangan berbentuk koana yang disebut dengan torus tubarius (Roezin, 2007).
2.1.1 Anatomi Fossa rossenmuller terletak pada bagian atas dan samping dari torus tubarius merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring (Lu, 2006). Fossa rossenmuler mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa rossenmulerterdapat
foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan
sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke sinus
kavernosus
melalui
karotis
yang
7
berjalan
naik
(Roezin,
2007).
8
Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen, yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior; 2) kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis; dan 3) kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral.Lokasi fossa rossenmuler yang demikian itu dan dengan sifat KNF yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Lu, 2006). Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara atap nasofaring dan dinding lateral (Gambar 2.1). Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisa submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa (Roezin, 2007).
9
Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (Nancy, 2005) 2.1.2 Sistem Aliran Darah dan Sistem Saraf Pembuluh darah arteri utama yang mensuplai daerah nasofaring adalah arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina (Gambar 2.2).Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Nancy, 2005)
10
Gambar 2.2 Pendarahan Nasofaring (Nancy, 2005).
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot konstriktor faringeus media.Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus (Gambar 2.3).Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Nancy, 2005).
11
Gambar 2.3. Persarafan Nasofaring (Nancy, 2005) 2.1.3 Sistem Limfatik Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas.Kelompok pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai
12
jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir yaitu saraf IX,X,XI,XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan kelenjar limfe bilateral (Roezin, 2007).
2.2 Undifferentiated carcinoma nasopharynx. 2.2.1 Epidemiologi Angka kejadian karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak geografisnya (Korcum
et al., 2006). Berdasarkan data International Agency for
Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal dari Cina sekitar 40% . Di Indonesia angka kejadian karsinoma nasofaring cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 1000 penduduk dan memberikan hasil yang beragam, dengan laki-laki lebih banyak menderita KNF daripada perempuan dengan 2,5:1. Kelompok umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur
41-50 tahun
(Giordano et al., 2008). Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali, karsinoma nasofaring menempati peringkat kelima dari seluruh karsinoma pada lakilaki dan perempuan dengan jumlah 70 kasus, pada laki-laki menempati peringkat pertama dengan jumlah 47 kasus dari seluruh karsinoma. Umur rata-rata penderita KNF yaitu 45-55 tahun. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1. Di Bali rasio umur tebanyak usia 35-45 tahun sebanyak 13 kasus, yang kedua usia 45-54 tahun sebanyak 11 kasus, dan yang ketiga usia 55-64 tahun sebanyak 8 kasus (Anonim, 2010).
13
Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah Guangxi Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang pertahun.Etnis Cina yang bermigrasi ke luar negeri juga mempunyai angka insiden yang tinggi, tetapi etnis Cina yang lahir di Amerika Utara, mempunyai angka insiden yang rendah dibandingkan dengan yang lahir di Cina (Chou et al., 2008).Temuan ini mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan lingkungan memegang peranan penting terhadap meningkatnya KNF (Korcum et al., 2006). Angka kejadian karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk) disusul oleh keturunan Melayu (6,5% per 100.000) dan keturunan Hindustan (0,5 per 100.000). Karsinoma nasofaring jarang terjadi di Amerika serikat dan Eropa, dengan angka kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun (Lu, 2006)
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Karsinoma
nasofaring
adalah
suatu
keganasan
dengan
etiologi
multifaktorial.Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah genetik, faktor lingkungan dan Virus Ebstein Barr (Korcum et al., 2006). 1. Genetik Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol, ras yang banyak sekali menderitanya adalah bangsa China (Desen, 2008).Beberapa penulis melaporkan adanya kecenderungan orang dengan tipe HLA tertentu dapat menderita
14
karsinoma nasofaring. Tingginya angka insiden KNF di daerah Cina Selatan, baik yang tinggal di Cina atau yang sudah bermigrasi, dan angka insiden sedang pada populasi keturunan Cina campuran, diduga mempunyai hubungan genetik dalam terjadinya karsinoma nasofaring. Analisis genetik pada etnis China menunjukkan Histo-Kompatibilitas Mayor pada lokus HLA-A2, B17 dan BW46 dengan peningkatan risiko terjadinya karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Tetapi pada penelitan di Amerika Utara gagal menunjukkan lokus HLA dengan peningkatan risiko peningkatan karsinoma nasofaring (Levine et al., 2008). Polimorfik genetik dari gen CYP-2 F1 menunjukkan dapat terjadi pada daerah Guandong-China. Ketika polimorfik genetik CYP-2 F1 diselidiki dan dibantu dengan polimorfik genetik yang multipel dari satu atau beberapa gen lain maka berpotensial untuk berkembang dan berprogresif menjadi karsinoma nasofaring. Gen XRCC-1 penting didalam DNA yang diperbaiki. Hipotesis bahwa nukleotida polimorfik tunggal XRCC-1 (codons 194Arg → Trp dan 399Arg → Gln) dihubungkan dengan risiko karsinoma nasofaring dan interaksi dengan rokok serta tembakau.Genotip XRCC-1 Trp yang bervariasi berhubungan dengan risiko perkembangan karsinoma nasofaring terutama pada pria yang merokok. Pada bagian lain, dengan adanya Cyclin D1 (kunci regulasi dari siklus sel) dan diubahnya aktifitas menunjukkan perkembangan karsinoma (Desen, 2008)
15
2. Lingkungan Paparan ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring.Dan telah terbukti bahwa mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan risiko KNF di Cina Selatan (Can et al., 2005; Lin, 2006). Faktor lingkungan lain yang merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring adalah merokok. Orang yang merokok selama 10 tahun atau lebih mempunyai risiko yang tinggi terhadap KNF. Penelitian menunjukkan adanya paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup berpengaruh paling besar terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian KNF. Adanya radang kronik pada mukosa nasofaring akan lebih mudah terpapar karsinogen lingkungan dan dapat menyebabkan karsinoma nasofaring (Wee et al., 2010). 3. Virus Epstein Barr (VEB) Virus Epstein-Barr adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dngan timbulnya karsinoma nasofaring.Penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi VEB dan genom virus dapat diidentifikasikan pada sel tumor.VEB merupakan suatu virus gamma herpes yang mengandung DNA yang termasuk dalam keluarga herpes viridae yang ditemukan oleh Ied Tony Epstein dan Yvone Barr pada tahun 1964. Pada undifferentiated nasopharyng carcinoma, VEB menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller’s di Waldeyer’s ring.Walaupun hubungan reseptor VEB pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
16
mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat diuraikan dan VEB banyak masuk ke sel nasofaring berupa igA-mediated endocytosis. VEB dapat juga dideteksi pada karsinoma insitu, suatu prekursor undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Infeksi laten VEB sangat penting dalam perkembangan menuju displasia yang berat pada KNF. Displasia merupakan lesi awal yang dapat terdeteksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen lingkungan.Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek kromosom 3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor genes, terutama p14, p15, p16.Karsinogen yang berkaitan belum ditemukan dengan perkembangan KNF.Area displasia ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk menyebabkan perkembangan yang progresif. Pada stadium laten, infeksi VEB dapat mengacu pada perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada 11q, 13q, dan 16q dapat memicu terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan ekspresi chaderin yang menyimpang (gambar 2.4) (Korcum et al., 2006). EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti menyebabkan transformasi dan imortalisasi limfosit B. Adanya partikel VEB pada jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara konsisten, mendukung hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF (Hsiao et al., 2009).
17
Gambar 2.4 Pathogenesis karsinoma nasofaring (Tao, 2007)
2.2.3 Klasifikasi Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge atau keduanya. (2) Non Keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan sinsitial, sel-sel polygonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit. Sedangkan klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring menjadi (1) Keratinizing squamous cell carcinoma. Tipe KNF ini menunjukkan
18
diferensiasi skuamous dengan adanya
intercellular bridges, dan keratin dalam
gambaran histologinya; (2) Nonkeratinizing carcinoma yang mencakup tipe berdiferensiasi dan tipe tidak berdiferensiasi (undifferentiated). Tumor ini umumnya lebih radiosensitif dan mempunyai hubungan yang kuat dengan EBV. (2.1) Differentiated nonkeratinizing carcinoma. Sel-sel tumor menunjukkan diferensiasi dengan maturasi sel skuamous.(2.2.) Undifferentiated carcinoma.Sel-sel tumor dengan bentuk inti oval atau bulat vesikular dengan anak inti menonjol.Batas antar sel tidak jelas dan dengan hubungan antar sel yang sinsitial; (3).Basaloid squamous cell carcinoma.Merupakan tipe histologi yang jarang, terdiri dari komponen basaloid dan komponen skuamous (Chan et al., 2005).
2.2.4. Gambaran Klinis Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas atas.Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga.Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.Timbul keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah.Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis.Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring.Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring (Roezin, 2007).
19
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal (Roezin, 2007). Menurut Formula Digby (Tabel 2.1), setiap gejala klinis mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring. Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosis klinik karsinoma nasofaring dapat dipertanggung jawabkan (Roezin, 2005). Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnostik histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis (Roezin, 2007). Tabel 2.1. Formula Digby (Roezin, 2005) GEJALA KLINIK
NILAI
Dapat dilihat atau diraba tumor padat dalam nasofaring
25
Kelenjar limfe leher membesar
25
Gejala khas hidung (epistaksis, obstruksi)
15
Gejala khas telinga (kurang pendengaran, tinnitus)
5
Paralisis satu atau lebih syaraf otak (diplopia, neuralgia, trigeminus)
5
Sakit kepala mulai unilateral
5
Eksoptalmus unilateral/ bengkak di rahang/ bengkak di temporal
5
20
2.2.5 Gambaran Morfologi 2.2.5.1 Makroskopis Tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring (Chan et al., 2005). 2.2.5.2 Mikroskopis Undifferentiated carcinoma nasopharynx. Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma nasopharynx memperlihatkan gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih.Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel.Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah
banyak,
khususnya
limfosit,
sehingga
dikenal
juga
sebagai
lymphoepithelioma.Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epiteloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang) (Chan et al., 2005). Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit (Gambar 2.5). Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan selsel radang (Gambar 2.6). Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma (Chan et al., 2005)
21
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma nasofaring dan
large cell malignant lymphoma, dimana inti dari
karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophilik. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, kromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindel (Chan et al., 2005).
Gambar 2.5. Undifferentiated carcinoma “Regaud type”, terdiri dari sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat (Chan, 2005)
22
Gambar 2.6. Undifferentiated carcinoma “Schmincke type”, terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran sinsisial yang difus (Chan, 2005)
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang 2.2.6.1. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior, nasofaringoskopi serta fibernaso faringoskopi (Roezin, 2007). 2.2.6.2 Radiologi Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan : 1. Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
23
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam.MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya (Roezin, 2007). 2.2.6.3 Serologi Ekspresi spesifik viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tekhnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang diperoleh pada dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher (Chan et al., 2005). 2.2.6.4. Pemeriksaan Patologi 1. Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening serikalis Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis (Chan et al., 2005) 2. Biopsi Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang diambil dari tumor di nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut (Chan et al., 2005). 2.2.7 Penatalaksanaan
24
National Comprehensive Cancer Network (2010), mengajukan suatu skema penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Gambar 2.7) dengan kombinasi kemoterapi dan radioterapi (Yang et al,2012).
Gambar 2.7 Terapi Karsinoma Nasofaring berdasarkan NCCN (2010)
2.2.7.1 Radioterapi Radioterapi sebagai gold standard untuk karsinoma nasofaring sudah dimulai sejak lama.Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring dini sebenarnya cukup baik, respon lengkap sekitar 80%-100%.Sedangkan untuk karsinoma nasofaring stadium lanjut loko regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40%.Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25%-65% (Chang, 2006).Radioterapi sebagai terapi utama pada karsinoma nasofaring diberikan untuk yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan
25
diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup penderita (Qu et al., 2012) Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk karsinoma nasofaring terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis kebanyakan
(75%-95%)
karsinoma
dari
jenis
undifferentiated
carcinoma
nasopharynx yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring yang terletak di dasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit (Qu et al., 2012). 2.2.7.2. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi.Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh (Tang et al., 2011). 2.2.7.3. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.(Feng et al., 2010).
26
2.2.7.4. Imunoterapi Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka penderita karsinoma nasofaring dapat diimunoterapi (Feng et al., 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian penghambat COX-2 terhadap penderita tumor memberikan hasil yang positif melalui efek kemopreventif dan radiosensititizer.Pemberian penghambat COX-2 dapat meningkatkan efek terapi standar serta mengurangi progresivitas KNF.
2.2.8 Prognosis Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional ( lebih baik pada yang homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang terbatas pada leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stadium I 98%, stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B 73%. Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya (Roezin, 2005). Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila dijumpai anaplasia dan atau plemorfism, proliferasi sel yang tinggi ( dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia ), sedikitnya jumlah sel radang limfosit, tingginya densitas dari S-100 protein yang
27
positif untuk sel-sel dendritik, dijumpai banyak pembuluh darah kecil, dijumpai ekspresi Her2/neu (Roezin, 2005).
2.3 Cyclooxygenase-2 2.3.1 Biologi Cyclooxygenase Cyclooxygenase atau prostaglandin H2 synthase (PGHS) merupakan enzim yang mengkatalisis dua langkah awal yaitu siklooksigenasi dan peroksidasi pada biosintesis prostaglandin (PG) dari asam arakhidonat (AA). Asam arakhidonat (20carbon polyunsaturated fatty acid) merupakan prekursor dari prostaglandin dan ditemukan hampir sebagian besar pada membran fosfolipid dari sel (Sonawane et al., 2011). Biosintesis prostaglandin terjadi melalui tiga langkah. Langkah pertama pada sintesis prostaglandin adalah hidrolisis fosfolipid untuk menghasilkan arakhidonat bebas dimana reaksi ini dikatalisasi oleh fosfolipase A. Langkah berikutnya merupakan reaksi kunci yang dikatalisasi oleh COX dimana dua molekul oksigen diinsersikan ke dalam asam arakhidonat untuk menghasilkan prostaglandin G2 (PGG2) intermediate yang tidak stabil dan kemudian secara cepat dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh aktivitas peroksidase dari COX. Langkah ketiga terjadi saat spesifik isomerase mengubah PGH2 menjadi berbagai prostaglandin lainnya seperti PGE2, prostaglandin F2α (PGF2α), prostaglandin D2 (PGD2), prostasiklin (PGI2) dan tromboksan (TXA2) (Gambar 2.8) ( Sonawane et al., 2011; Zarghi dan Arfaei, 2011).
28
Gambar 2.8 Metabolisme Asam Arakidonat Melalui Kerja COX (Sonowane et al., 2011) Cyclooxygenase merupakan bagian integral dari membran terutama membran mikrosomal.Melalui pemeriksaan mikroskop fluorescence dan tehnik pewarnaan histofluoresence menunjukkan bahwa Cyclooxygenase-1 (COX-1) dan COX-2 berlokasi pada retikulum endoplasma dan membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih tinggi pada membran inti (Stasinopoulos, 2008). Saat ini diketahui ada 3 family enzim ini yaitu COX-1, COX-2, dan yang terbaru diidentifikasi adalah Cyclooxygenase-3 (COX-3), yang memiliki kesamaan aktivitas enzimatik tetapi memiliki fungsi dan pola ekspresi yang berbeda. COX-1 dan COX-2 mempunyai perbedaan dalam kemampuannya untuk memakai sumber asam arakhidonat endogen, baik pada sel fibroblast maupun pada sel immune. COX2 dapat memanfaatkan asam arakhidonat endogen dan Cox-1 tidak.Hal yang paling
29
penting membedakan antara COX-1 dan COX-2 adalah perbedaan regulasi dari ekspresi dan distribusinya pada jaringan. COX-3 merupakan varian dari COX-1, mRNA COX-3 pada manusia memiliki panjang 5,2 kb. COX-1, COX-2, dan COX-3 memiliki persamaan yaitu responnya tergantung dari rangsangan hormon, faktor pertumbuhan, pharbol ester, faktor inflamasi dan sitokin (Bertagnolli, 2008; Zhao et al, 2008). 2.3.2 Cyclooxygenase, Prostaglandin, Karsinoma Family COX adalah enzim yang terdiri dari 2 anggota, COX-1 adalah enzim yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu saja, termasuk plasenta, otak dan ginjal. Dimana COX-2 ekspresinya meningkat oleh sejumlah rangsangan, termasuk sitokin, faktor pertumbuhan dan onkogen (Howe, 2007; Surowiak, 2010). Kedua enzim COX ini mengkatalisis asam arakidonat menjadi PGG2 dan sesudah itu menjadi PGH2, yang berperan sebagai substrat
untuk isomerisasi
multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi untuk menghasilkan eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Prostaglandin terutama PGE2 akan memodulasi terbentuknya tumor. Misalnya PGE2 berikatan secara spesifik dengan reseptor protein G-couple reseptor pada permukaan sel epitel, dan akan menstimulasi rangkaian sinyal pertumbuhan dan motilitas. Didalam
sel-sel epitel PGE2 akan
menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL2 dan juga meningkatkan ekspresi Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) yang dapat meningkatkan migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth Factor Reseptor
30
(EGFR). Selanjutnya, PGE2 akan menginduksi angiogenesis, sehingga memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Howe, 2007).
Gambar 2.9 Peranan COX-2 pada Perkembangan Karsinoma (Klimek et al., 2009)
2.3.3 Peranan COX-2 pada Karsinoma Nasofaring Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa level enzim COX-2 meningkat pada beberapa kanker, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma sel skuamous kepala dan leher, serta beberapa kanker paru-paru dan payudara.Faktor yang kemungkinan berperan dalam peningkatan ekspresi COX-2 adalah sitokin, faktor pertumbuhan, mediator inflamasi, agen perusak DNA dan agen oksidasi. Pada manusia dan model binatang level COX-2 ditemukan lebih tinggi pada adenokarsinoma tipe intestinal dibandingkan pada lesi prakanker seperti familialadenomatous polyposis . Mirip pada beberapa karsinoma sel skuamous kepala dan leher, level COX-2, PG, seperti
31
PG2α, PGE2 dan metabolisnya ditemukan lebih tinggi daripada jaringan normal (Divvella, 2010). Peningkatan ekspresi protein COX-2 sejalan dengan peningkatan progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari sel normal kemudian menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al., 2011). Tidak ada hubungan antara sub tipe histologi karsinoma nasofaring antara keratinizing squamous cell carcinoma dan non keratinizing carcinoma dengan tampilan COX-2. Didapatkan tampilan COX-2 sedang pada non keratinizing carcinoma dan derajat tampilan
sedang
pada
keratinizingsquamous
cell
carcinoma.
Sel
kanker
mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi yang berlebihan pada COX-2
berhubungan
dengan
prognosis
yang buruk
terutama
pada
undifferentiated carcinoma nasopharynx (Tan dan Putti, 2005). 2.3.4 Peranan COX-2 pada Angiogenesis. Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang terjadi secara normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk proliferasai sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat.Angiogenesis juga berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk ke dalam pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian berproliferasi pada tempat yang lain atau metastasis. Tanpa lintasan angiogenesis, sebuah tumor hanya akan berkembang hingga memiliki diameter sekitar 1–2 mm, dan setelah itu perkembangan tumor akan terhenti. Sebaliknya, dengan angiogenesis,
32
sebuah tumor akan berkembang hingga melampaui ukuran diameter 2 milimeter. Oleh karena itu, sel tumor memiliki kemampuan untuk mensekresi protein yang dapat mengaktivasi lintasan angiogenesis. Dari berbagai protein yang dapat mengaktivasi lintasan angiogenesis seperti acidic fibroblast growth factor, angiogeninepidermal growth factor, G-CSF, HGF, interleukin-8, placental growth factor, platelet-derived endothelial growth factor, scatter factor, transforming growth factor-alpha, TNF-α dan molekul kecil seperti adenosine 1-butyryl glycerol, nikotinamida, prostaglandin E1 dan E2, terdapat dua protein yang sangat penting bagi pertumbuhan tumor yaitu VEGF dan basic fibroblast growth factor (bFGF). Kedua protein ini disekresi oleh berbagai jenis sel kanker dan beberapa jenis sel normal.(Nishida et al., 2006). Sekresi VEGF atau bFGF akan mengikat pada sel endotelial dan mengaktivasi sel tersebut untuk memicu lintasan metabolisme yang membentuk pembuluh darah baru. Sel endotelial akan memproduksi sejumlah enzim MMP yang akan melakukan degradasi terhadap jaringan matriks ekstraselular yang mengandung protein dan polisakarida berfungsi sebagai jaringan ikat yang menyangga jaringan parenkim dengan mengisi ruang di sela-sela selnya. Degradasi jaringan tersebut memungkinkan sel endotelial bermigrasi menuju jaringan parenkim, melakukan proliferasi dan diferensiasi menjadi jaringan pembuluh darah yang baru (Pang dan Poon, 2006). Angiogenesis diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. COX-2 dan PG (misalnya PGE2 dan PGI2) merupakan faktor potensial yang penting pada
33
angiogenesis
tumor.Cyclooxygenase-2
secara
konsisten
terekspresi
dalam
pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar.Efek pro-angiogenik
dari
COX-2
dapat
meningkatkan
ekspresi
dari
VEGF.Immunoreaktivitas COX-2 juga berhubungan dengan immunoreaktivitas VEGF pada kanker kolorektal dan metastasis hati pada kanker kolorektal (Bertagnolli, 2008). Overekspresi COX-2 berkorelasi dengan meningkatnya ekspresi VEGF pada angiogenesis karsinoma hepatoselular. Penelitian ini memakai Heb-B HCC cell line, merupakan sel hepatosit karsinoma yang membawa gen HBV. Clone Heb-B, yang merupakan cell line dengan overekspresi COX-2 menunjukkan ekspresi VEGF yang lebih tinggi dibandingkan dengan clone yang tidak mengekspresikan COX-2 (Zhao et al., 2008). 2.3.5 Ekspresi COX-2 pada karsinoma nasofaring Prostaglandin endoperoxidase sintesa-2 atau COX-2 adalah enzim kunci dalam produksi prostaglandin.Enzim ini ditemukan meningkat pada bebagai keganasan, seperti pada kolon, paru, payudara, kepala leher, dan dipengaruhi oleh berbagai sitokin, hormon, dan promotor tumor. Prostaglandin dan isoenzim COX-2 dapat membantu proses karsinogenesis dengan merubah proses sel normal seperti proliferasi sel, angiogenesis, apoptosis, imunomodulasi dan metabolism karsinogen. Overproduksi dari PGE2 sebagai akibat peningkatan COX-2 juga dapat mengirimkan sinyal yang tidak sesuai pada sel, sehingga merangsang pertumbuhan sel atau mengurangi apoptosis (Zhao et al., 2008; Sonowane et al., 2011).
34
Analisis imunohistokimia memperlihatkan COX-2 terekspresi kuat pada sel-sel ganas karsinoma nasofaring dan tidak terekspresi atau terekspresi lemah pada nasofaring normal (Xu et al., 2006). Penelitian lain juga menyebutkan COX-2 kuat pada karsinoma tiroid dan kolorektal (Ji et al., 2012). Penelitian yang dilakukan pada vulva, ternyata COX-2 terekspresi paling tinggi pada inflamasi dibandingkan dengan lesi displasia maupun kanker yang invasif, dan tidak berhubungan dengan peningkatan derajat diferensiasi tumor (Mozes et al., 2005; Ristimaki et al., 2012). Sel kanker mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi yang berlebihan pada COX-2 berhubungan dengan prognosis yang buruk terutama pada undifferentiated carcinoma nasopharynx. Peningkatan ekspresi protein COX-2 sejalan dengan peningkatan progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari sel normal kemudian menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al., 2011). 2.4 Imunohistokimia Imunohistokimia merupakan suatu proses mengidentifikasi protein spesifik pada jaringan atau sel dengan menggunakan antibodi. Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan mengidentifikasi marker. Marker dapat berupa senyawa berwarna, zat berfluoresensi, logam berat, label radioaktif atau enzim (Anonim, 2012 ).
35
Terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan dengan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak langsung (indirectmethod). a. Metode langsung (direct method) Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel, contohnya anti serum terkonjugasi fluorescein isothiocyanate (FITC) atau rodhamin. b. Metode tidak langsung (indirect method). Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel) dan antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu. Penggunaan kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin, dan Texas-red disebut metode immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim seperti peroksidase, alkali
fosfatase,
atau
glukosa
oksidase
disebut
metode
immunoenzyme
(Anonim,2012). Sel yang mengekspresikan COX-2 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel ganas. Penilaian ekspresi COX-2 dibuat berdasarkan analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan.Berdasarkan persentase
36
sel ganas yang menunjukkan overekspresi COX-2 maka dibagi menjadi 3 (0-3) yaitu: 0 (tidak terwarnai), 1 (<10% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 2 (10-50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 3 (> 50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai). Berdasarkan intensitas sel-sel ganas yang menunjukkan overeksprei COX-2 maka dibagi menjadi 3 skala (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), 3 (kuat) (Tan dan Putti, 2005). Skor persentase dari sel tumor, sesuai dengan penelitian sebelumnya digunakan skor immunoreaktif,
diperoleh
dengan
mengalikan
skor
%
sel
ganas
yang
mengekspresikan COX-2 dengan skor intensitas. Skor imunoreaktif 4 atau lebih dinilai sebagai ekspresi COX-2 positif, skor imunoreaktif kurang dari 4 dinyatakan sebagai COX-2 negatif (Gambar 2.10) (Tan dan Putti, 2005).
Gambar 2.10 A. Lemah (intensitas 1 dari 3). B. Sedang (intensitas 2 dari 3). C. Kuat (intensitas 3 dari 3). D. Tidak terpulas COX-2 pada epitel nasofaring normal (Tan dan Putti, 2007).
37
Antibodi primer CD31 mengenali glikoprotein 1000 Da pada sel endothelial dan 130 kDa pada trombosit.CD31 bereaksi secara lemah dengan zona lapisan sel B, sel T perifer dan neutrofil.CD31 dapat mendeteksi antigen yang berhubungan dengan sel endotel vaskular dan telah digunakan sebagai penanda terhadap ganas atau jinak suatu gangguan vaskular pada manusia, infiltrasi leukemia myeloid, dan megakariosit dalam susum tulang normal.Ketika dibandingkan dengan faktor VIII dan CD34 penelitian menunjukkan bahwa CD31 merupakan penanda yang lebih unggul untuk angiogenesis yang dilaporkan dapat memprediksi rekurensi tumor.CD31 bersama dengan faktor VIII dan CD34 digunakan dalam panel pemeriksaan untuk menandakan sarkoma Kaposi’s dan angiosarkoma.Kontrol CD31 terdapat pada tonsil, angiosarkoma, atau karsinoma kolon. Sel yang mengekspresikan CD31 pada sitoplasma dan membran (Anonim, 2009). Untuk penghitungan microvessel density, pulasan CD31 dinilai pada pembesaran lemah (10x) untuk area yang menunjukkan peningkatan pembuluh darah (hot spots). Pada area hotspot dilihat pada pembesaran 400x dengan mikroskop cahaya binokuler CX-21.Empat lapang pandang pada 1 slide dipilih untuk mewakili area seluas 1 mm2.Intratumoral dan peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan diameter ˂ 50µm tanpa lapisan muskular) dihitung jumlah microvessel pada masing-masing empat
lapang
pandang,
dan
hasilnya
digabungkan
untuk
mendapatkan
microvessel/mm2 (Gambar 2.11) (Taweevisit et al., 2010; Tan dan Putti, 2005).
38
Gambar 2.10. A. Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD tinggi dan B. MVD rendah (Hasibuan, 2014).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Inflamasi merupakan salah satu faktor risiko pencetus terjadinya keganasan pada beberapa organ.Rangsangan mekanik, kimia, fisik dan mediator inflamasi akan melepaskan asam arakhidonat dari fosfolipid membran sel melalui kerja dari fosfolipase A. Asam arakhidonat yang terbentuk akan mengalami biotransformasi menjadi prostaglandin dan tromboksan melalui perantaraan enzim COX. Cyclooxygenase-2 terekspresi pada beberapa tumor dan terbukti terlibat dalam proses karsinogenesis melalui proses perubahan metabolism xenobiotik, yang dapat meningkatkan pertumbuhan tumor invasi, angiogenesis dan menghambat apoptosis Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung Virus Epstein Barr, dan sebagian besar penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi oleh virus ini di dalam darah.Infeksi VEB sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring. Faktor-faktor lain seperti genetik, dapat mempengaruhi bagaimana tubuh berespon terhadap VEB. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap karsinoma nasofaring adalah iritasi oleh bahan kimia, asap, bahan makanan yang mengandung pengawet nitrosamin, debu kayu, dan rokok. Adanya radang kronik pada karsinoma nasofaring dan paparan faktor lingkungan yang disebutkan diatas dapat meningkatkan terjadinya karsinoma nasofaring.
39
40
Pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, VEB menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller’s di Waldeyer’s ring.Walaupun hubungan reseptor VEB pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat diuraikan dan VEB banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA-mediated endocytosis. VEB dapat juga dideteksi pada karsinoma insitu, suatu prekursor undifferentiated carcinoma nasopharynx. Infeksi laten VEB sangat penting dalam perkembangan menuju displasia yang berat pada KNF. Displasia merupakan lesi awal yang dapat terdeteksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen lingkungan.Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek kromosom 3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor genes, terutama p14, p15, p16.Area displasia ini dapat menjadi precursor dari karsinoma nasofaring. Pada stadium laten, infeksi VEB dapat memicu perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada kromosom 12dan kehilangan alel pada 11q, 13q, dan 16q dapat memicu terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan ekspresi chaderin yang menyimpang. Cyclooxygenase-2 tidak terdapat pada jaringan normal namun ekspresinya secara cepat diinduksi oleh berbagai rangsangan seperti sitokin, lipopolisakarida, mitogen dan onkogen, faktor pertumbuhan, hormon dan kelainan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga pembentukan prostaglandin akan meningkat pada jaringan
yangmengalami
inflamasi
dan
neoplastik.Kondisitersebut
41
mengimplikasikan keterlibatan COX-2 dalam berbagai proses patologis seperti inflamasi dan keganasan. Pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, COX-2 berperan dalam berbagai proses yaitu; (1) Menekan apoptosis oleh induksi PGE2, dimana berakibat terjadi peningkatan protein antiapoptosis BCL2, menekan ekspresi protein proapoptosis BAX dan melemahkan sinyal NO. (2) Meningkatkan angiogenesis melalui peningkatan level PGE2, yang diikuti oleh peningkatan VEGF, endothelin-1. (3) Meningkatkan kemampuan invasi sel tumor melalui ekspresi
berlebihan
inflamasidanenzim
CD44. yang
Cyclooxygenase-2
merupakan
dapatmengubahasamarakhidonatmenjadi
PGE2berperan penting dalam proses karsinogenesis pada banyak
mediator PGE2, organ
menyebabkan proliferasi sel ganas, bersifat anti apoptosis, memicu angiogenesis, memicu metastasis. Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk proliferasai sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat.Sel pada jaringan pre kanker membutuhkan kemampuan angiogenik
untuk
membuat
sel tersebut berubah menjadi
ganas.Angiogenesis juga berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk kedalam pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian berproliferasi pada tempat yang lain atau metastasis.
42
Angiogenesis diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. Cyclooxygenase2dan PG (misalnya PGE2 dan PGI2) merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis tumor.Cyclooxygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor.Efek pro-angiogenik dari COX2 dapat meningkatkan prostaglansin E2.Peningkatan PGE2 dapat meningkatkan VEGF.
3.2 Konsep Penelitian Konsep penelitian tampak pada bagan sebagai berikut :
Ekspresi COX-2
Undifferentiated carcinoma nasopharynx
Microvessel density
Genetik Lingkungan Virus Epstein Barr
Gambar 3.1 BaganKonsep Penelitian
Keterangan Gambar :
43
= Variabel yang diteliti
3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan positif ekspresi COX-2 dengan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 RancanganPenelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan potong lintang (cross-sectional study). Skema rancangan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1
COX-2
Undifferentiated carcinoma nasopharynx Microvessel density
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
44
45
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar dan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah Mada/RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta dari 15Maret 2015 – 1 Mei 2015.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dimulai dengan rediagnosis sediaan histopatologi dari bahan biopsi penderitaundifferentiated carcinoma nasopharynx yang diperiksa secara histopatologi pada Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah di Denpasar oleh peneliti dan seorang ahli patologi.Populasi terjangkau dicari blok parafinnya, selanjutnya dilakukan pemotongan blok parafin, pulasan, dan interpretasi ekspresi protein COX-2 dan CD31.
4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Populasi 4.4.1.1. Populasi target Populasi target penelitian ini adalah semua sediaan blok parafin dari penderita undifferentiated carcinoma nasopharynx yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi di Bali. 4.4.1.2. Populasi terjangkau Populasi terjangkau penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari penderita
undifferentiated
carcinoma
nasopharynx
yang
diperiksa
46
secarahistopatologi dari hasil biopsi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
4.4.2 Sampel Penelitian Sampel
penelitian
ini
adalah
sediaan
blok
parafin
dari
penderitaundifferentiated carcinoma nasophrynx yang telah diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Denpasar dari tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Agustus 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.3 Kriteria Inklusi 1. Sediaan berasal dari salah satu bahan biopsi dekstra atau sinistra yang mengandung minimal 3 mm jaringan tumor (Chou, 2008). 2. Sediaan merupakan tumor primer. 3. Penderita belum pernah mendapatkan kemoterapi atau radioterapi. 4.4.4 Kriteria Eksklusi 1. Kasus dengan diagnosis histopatologi yang belum pasti (masih ada diagnosis banding). 2. Blok parafin yang rusak. 3. Sediaan mengandung sel-sel radang padat, jika limfosit menginfiltrasi tumor secara difus seluruh komponen tumor (Busam et al, 2011)
47
4.4.5 Besar Sampel Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian analitik korelatif oleh (Machin et al., 2009): 2
(Zα + Zβ ) n= +3 0,5 ln 1 + r 1 − r Keterangan: n = besar sampel Zα
= Nilai Z untuk α tertentu
Zβ
= Nilai Z untuk power (1-β) tertentu
r
= koefisien korelasi Berdasarkan penelitian sebelumnya (Hasibuan, 2014) diperolehbahwa
koefisien korelasi (r) sebesar 0,559. Dengan tingkat kesalahan tipe I, α ditetapkan sebesar 5% sehingga nilai Zα adalah 1,96. Sedangkan kesalahan tipe II, β ditetapkan sebesar 10%, maka Zβ adalah 1,28. Dari rumus di atas maka didapatkan besar sampel adalah 2
(1,96 + 1,28) n= +3 0,5 In 1 + 0,559 1 − 0,559 n= 28 Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah 28. Untuk menghindari drop out maka ditambah 10% sehingga besar sampel menjadi 28+2,8=30,8dan dibulatkan menjadi 31 sediaan blok parafin untuk pulasan COX-2 dan CD 31.
48
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut : a. Dari populasi terjangkau sediaan blok parafin diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. b. Populasi terjangkau yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan, yaitu sebanyak 31blok parafin.
4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Klasifikasi Variabel 1.Variabel tergantung : Microvessel density 2. Variabel bebas
: Ekspresi COX-2
4.5.2 Definisi Operasional Variabel 1.Undifferentiated carcinoma nasopharynxadalah keganasan yang berasal dari epitel mukosa nasofaring infiltratif pada stroma yang memperlihatkan gambaran sel berbentuk oval atau spindel dengan inti bulat sampai oval dan vesikular, dan ditemukan anak inti membentuk pola sinsitial (Chan et al., 2005). 2. Ekspresi COX-2 adalah: Penilaian protein COX-2
dengan pulasan
imunohistokimia menggunakan antibodi primer monoklonal COX-2 clone D07 dari Dako, secara semikuantitatif, diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX-21 mulai dari pembesaran lemah (40x) kemudian pembesaran kuat (400x). Penghitungan dilakukan pada seluruh sel tumor dimulai dari bagian tumor dengan ekspresi COX-2 terkuat ke bagian yang lebih lemah (40x). Sediaan
49
jaringan yang akan dinilai, dibandingkan dengan kontrol positif. Kontrol positif diambil dari jaringan kolon. Sel yang mengekspresikan COX-2 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel ganas. (Tan dan Putti, 2005). Penilaian ekspresi COX-2 dijelaskan pada lampiran 1. 3. Microvessel density : Penilaian MVD dengan pulasan immunohistokimia menggunakan antibodi primer monoclonal mouse anti human CD 31Endothelial Cell secara semikuantitatif, diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX-21 mulai dari pembesaran lemah (40x) kemudian pembesaran kuat (400x). Penghitungan dilakukan pada seluruh sel tumor dimulai dari bagian tumor dengan ekspresi terkuat ke bagian yang lebih lemah. Sediaan jaringan yang akan dinilai, dibandingkan dengan kontrol positif. Kontrol positif diambil dari jaringan tonsil. Untuk menentukan microvessel, dilihat dari ekspresi lemah sampai kuat CD31 yaitu berwarna coklat pada sitoplasma dan membrane sel. Intratumoral dan peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan diameter ˂ 50µm tanpa lapisan muskular) dihitung jumlah microvessel pada masing-masing empat lapang pandang, dan hasilnya digabungkan untuk mendapatkan microvessel/mm2 (Taweevisit et al., 2010). Penilaian MVD dijelaskan pada lampiran 1.
4.6 Bahan Penelitian 1. Bahan pemeriksaan histopatologi berupa blok parafin dari bahan biopsi dan operasi pasien yang menderitaundifferentiated carcinoma nasopharynxyang diperiksa secara histopatologi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah,dan slide dengan pengecatan H&E.
50
2. Bahanpemeriksaan imunohistokimia berupa blok parafin dari bahan biopsi dan operasi pasien yang menderitaundifferentiated carcinoma nasopharynxyang diperiksa secara histopatologi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah,
untuk
pengecatan imunohistokimia COX-2 menggunakan antibodi
primer monoklonal COX-2 clone DO7 dari Dako dan antibodi monoclonal mouse anti-Human CD31 Endothelial cell. 3. Buku Registrasi Pemeriksaan Histopatologi Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah di Denpasar tahun 2014 untuk mencari data pasien yang menderita karsinoma nasofaring dari tahun 2014.
4.7 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah: 1.
Instrumen untuk pemeriksaan imunohistokimia yaitu: mikrotom Leica 2135 RM,gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-L-lisyne, merk Biogear, ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm dan inkubator.
2.
Mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 untuk melihat ekspresi COX-2 dan
microvessel
densitypada
sediaan
undifferentiated
carcinoma
nasopharynx.
4.8Prosedur Penelitian 4.8.1 Cara Pengumpulan Data 1. Pengumpulan data pasien dan sediaan preparat
biopsi atau operasi
Undifferentiated carcinoma nasopharynxyangdiperiksa secara histopatologi
51
dari 1 Januari 2014 sampai 31 Agustus 2014 di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar. 2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E) sesuai dengan yang didapatkan tersebut diatas dikumpulkan dan dievaluasi ulang oleh peneliti dan dua ahli patologiuntuk memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapat kelompok data yaitu undifferentiated carcinoma nasopharynx. Preparat yang sulit dievaluasi dilakukan potong ulang blok dan dipulas dengan pulasan rutin menggunakan Harris’s Hematoksilin dan Eosin. 3. Blok paraffin dari pasien dikumpulkan dan dievaluasi sesuai kriteria inklusi dan eklusi. 4. Blok paraffin dikirim ke Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UGM/RSUP dr. Sarjito, Jogyakarta untuk dilakukan pulasan Imunohistokimia COX-2 dan CD31. 5. Data hasil pulasan selanjutnya diusulkan kedalam formulir penelitian.
4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan 1. Prosedur pulasan H&E sesuai dengan prosedur pulasan yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar: a. Potong ulang blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2135 RM dengan ketebalan 4µm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm. b. Deparafinsasi dengan cara dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masingmasing celupan sebanyak 5 menit.
52
c. Hidrasi
dengan
alkohol
bertingkat
dengan
kosentrasi
menurun
menggunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75%, dan alkohol 50%, masing masing celupan selama 2 menit. d. Masukkan ke air selama 10 menit. e. Celupkan ke cat utama yaitu Harris’s hematoksilin selama 10 menit. f. Cuci dengan air selama 10 menit. g. Lihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan sitoplasma tidak berwarna. h. Celupkan pada cat pembanding eosin 1% selama 0,5-1 menit. i. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat menggunakan alkohol 70%, alkohol 80%,
alkohol 95% dan alkohol
absolut, masing-masing celupan selama 2 menit. j. Penjernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, lama masing-masing celupan selama 5 menit. k. Tutup dengan cover glas 2. Melakukan pulasan imunohistokimia COX-2 dengan prosedur : a. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2135 RM ketebalan 3 µm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-L-lisyne, merk Biogear, ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm. Disamping pemeriksaan untuk sampel, pemeriksaan juga dilakukan pada kasus karsinoma kolon sebagai kontrol positif. b. Letakkan gelas obyek di inkubator dengan suhu 45o C selama 1 malam.
53
c. Deparafinsasi dengan xilol, preparat dicelupkan kedalam xilol sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 5 menit. d. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2 kali, alkohol absolut, alkohol 96%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 5 menit. e. Cuci dengan aquadest selama 10 menit. f. Teteskan H2O2 dalam methanol 3% sampai menutupi seluruh permukaan jaringan selama 15 menit. g. Cuci dengan aquadest selama 10 menit. h. Untuk retrivel dengan buffer citrate ph 6 selama 40 menit pada 950 dengan decloaking chamber atau 10-20 menit dengan microwave. i. Dinginkan pada suhu kamar kurang lebih selama 30 menit. j. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit. k. Inkubasi dengan bloking serum atau normal serum selama 15 menit. l. Tiriskan, bersihkan. m. Inkubasi dengan antibodi primer menggunakan antibodi monoklonal COX-2 dari Dako yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 1 jam. n. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit. o. Inkubasi dengan antibodi sekunder atau trekkie universallink selama 20 menit. p. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit. q. Inkubasi dengan trekkie avidin HRP selama 10 menit.
54
r. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, selama 3-5 menit. s. Teteskan dengan cromogenDAB (1:50), biarkan selama 2 menit. t. Cuci dengan air mengalir. u. Counterstain dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit. v. Cuci dengan air mengalir. w. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol 96%, dan alkohol 100%, masing-masing selama 3 menit. x. Celupkan kedalam xilol sebanyak 3 kali, 3 menit. y. Tutup dengan cover glass. 3. Melakukan pulasan imunohistokimia CD31 dengan prosedur : a. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2135 RM ketebalan 3 µm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-L-lisyne, merk Biogear, ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm. Disamping pemeriksaan untuk sampel, pemeriksaan juga dilakukan pada tonsil sebagai kontrol positif. b. Inkubasi dalam inkubator dengan suhu 45o C selama 1 malam. c. Deparafinsasi dengan xilol, preparat dicelupkan kedalam xilol sebanyak 3x5 menit. d. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut, alkohol 96%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 5 menit. e. Cuci dengan aquadest selama 10 menit. f. Teteskan H2O2 dalam methanol 3% selama 15 menit. g. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.
55
h. Untuk retrivel dengan buffer citrate ph 6 selama 40 menit pada 950 dengan decloaking chamber atau 10-20 menit dengan microwave. i. Dinginkan pada suhu kamar kurang lebih selama 30 menit. j. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. k. Inkubasi dengan bloking serum atau normal serum selama 15 menit. l. Tiriskan, bersihkan. m. Inkubasi dengan antibodi primer menggunakan antibodi monoklonal Mouse anti-human CD31 Endothelial cell dari Dako yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 1 jam. n. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit. o. Inkubasi dengan antibodi sekunder atau trekkie universal link selama 20 menit. p. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing 3-5 menit. q. Inkubasi dengan trekkie avidin HRP selama 10 menit. r. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 3-5 menit. s. Teteskan dengan cromogen DAB (1:50), biarkanselama 2 menit. t. Cuci dengan air mengalir. u. Counterstain dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit. v. Cuci dengan air mengalir. w. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol 96%, dan alkohol 100%. x. Celupkan kedalam xilol sebanyak 3 kali, 3 menit. y. Tutup dengan cover glass.
56
4.8.3 Bagan Alur Penelitiaan Skema alur penelitian dapat dilihat pada table 4.2 Mencari nomor-nomor sediaan undifferentiated carcinoma nasopharynx dari 1 Januari 2013-31 Desember 2014
Pengumpulan sediaan pulasan HE
Seleksi dan rediagnosis sediaan mikroskopik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Undifferentiated nasopharyng carcinoma
Randomisasi
Pengumpulan dan pemotongan blok parafin
Pulasan imunohistokimia ekspresi COX-2
Pulasan imunohistokimia CD31
Interpretasi dan penghitungan ekspresi COX2
Interpretasi dan penghitungan microvessel density
Analisis data Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian
57
4.9 Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Analisis Deskriptif. 2. Uji Normalitas data dengan ujiKolmogorov-Smirnov. 3. Analisis korelatif adalah uji Pearson karena distribusi data normal. 4. Tingkat kemaknaan dalam penelitian ini ditetapkan sebesar α < 0,05.
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian observasional dengan menggunakan rancangan potong lintang (cross-sectional study) yang menggunakan sediaan blok parafin dari penderita undifferentiated
carcinoma
nasopharynx
yang
telah
diperiksa
secara
histopatologi dari hasil biopsi di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dari tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Agustus 2014 didapatkan sebanyak 58 kasus. Setelah dilakukan diagnosis ulang secara histopatologi, dilakukan pemilihan sampel, sesuai besar sampel yang dibutuhkan, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 31 kasus undifferentiated carcinoma nasopharynx. Sampel tersebut kemudian dipulas dengan pengecatan imunohistokimia COX-2 dan CD31.
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Pada penelitian ini, data karakteristik subyek meliputi jenis kelamin dan umur. Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin
Jumlah
Persentase
Laki-laki
26
83,9%
Perempuan
5
16,1%
Jumlah
31
100%
Dari 31 kasus undifferentiated carcinoma nasofarinx, didapatkan 26(83,9%) adalah laki-laki dan 5(16,1%) perempuan.
58
59
Tabel 5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur Umur
Jumlah
Persentase
11-20
1
3,23%
21-30
1
3,23%
31-40
4
12,90%
41-50
11
35,48%
51-60
8
25,80%
61-70
5
16,13%
71-80
1
3,23%
Jumlah
31
100%
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata umur pasien adalah 49,52±11,64 tahun dengan rentangan 18-71 tahun (Tabel 5.2).
5.2 Ekspresi COX-2 dan Microvessel density Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Persentase Sel dan Intensitas Ekspresi COX-2 Persentase Sel
Intensitas
Skor
Jumlah
Skor
Jumlah
0 (0%)
Tidak ada
0 (negatif)
Tidak ada
1 (˂10%)
6 (19,35%)
1 (lemah)
3 (9,68%)
2 (10-50%)
10 (32,26%)
2 (sedang)
8 (25,80%)
3 (˃50%)
15 (48,39%)
3 (kuat)
20 (64,52%)
60
Berdasarkan pemeriksaan perluasan ekspresi COX-2 dari 31 sampel menunjukkan berturut-turut skor (0) tidak ada, skor (1) 6 kasus (19,35%), skor (2) 10 kasus (32,26%), skor (3) 15 kasus (48,38%). Sedangkan pada pemeriksaan intensitas ekspresi COX-2dari 31 sampel didapatkan hasil sebagai berikut 0 (negatif) tidak terpulas, 3 (9,68%) terpulas dengan intensitas lemah, 8( 25,80%) terpulas dengan intensitas sedang, dan 20 (64,52%) terpulas dengan intensitas kuat (Tabel 5.3). Tabel 5.4 Interpretasi Ekspresi COX-2 Interpretasi Ekspresi COX-2
Jumlah
Negatif (Skor<4)
7 (22,59%)
Positif (Skor ≥4)
24 (77,42%)
Interpretasi ekspresi COX-2 dibagi menjadi 2 yaitu skor negatif jika intensitas
pulasan<4
dan
skor
positif
jika
pulasan≥4.Penelitian
ini
memperlihatkan intensitas negatif pada 7 kasus (22,59%) dan intensitas positif pada 24 kasus (77,42%) (Tabel 5.4). Tabel 5.5 Microvessel Density sesuai dengan Ekspresi CD 31 Ekspresi CD 31
Jumlah
Rendah (COP <4,5)
9 (29,03%)
Tinggi (COP >4,5)
22 (70,97%)
Pada tabel 5.5 menunjukkan ekspresi CD 31 rendah yaitu 29,03% dan tinggi 70,97%. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Receiver Operating system (ROC) didapatkan bahwa nilai batas (cut off point) ekspresiCD 31 adalah 4,5 dengan nilai sensitivitas 100% dan nilai spesifisitas adalah 79%.
61
Gambar 5.1 Kurva ROC dari Ekspresi CD 31
5.3 Uji Normalitas COX-2 dengan Microvessel Density Berdasarkan hasil uji normalitas data dengan uji Kolmogrov-Smirnov didapatkan bahwa data COX-2 dan MVD berdistribusi normal (p>0,05). Untuk mengetahui hubungan antara COX-2 dengan MVD digunakan uji korelasi Pearson.
Tabel 5.6 Hubungan antara COX-2 dengan Microvessel density
62
MVD
COX-2
Positif
Tinggi 23
Rendah 1
Negatif
1
6
r 0,868
P 0,001
Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa dengan uji korelasi Pearson didapatkan nilai r = 0,868 dan p = 0,001. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan positif secara bermakna antara COX-2 dengan MVD (p<0,05).
Gambar 5.2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 pada Undifferentiated carcinoma nasopharynx terpulas pada <10% sel ganas dengan Intensitas Kuat (IHK COX-2, pembesaran 400x pada kotak kecil).
63
Gambar 5.3 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 pada Undifferentiated carcinoma nasopharynx terpulas pada 10-50% sel ganas dengan Intensitas Kuat (IHK COX2, pembesaran 400x pada kotak kecil)
Gambar 5.4 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 pada Undifferentiated carcinoma nasopharynx terpulas pada >50% sel ganas dengan intensitas kuat (IHK COX-2, pembesaran 400x).
64
Gambar 5.5 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia peritumoral dengan hasil MVD tinggi (IHK CD 31, pembesaran 400x pada kotak kecil).
Gambar 5.6 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia peritumoral dengan hasil MVD rendah (IHK CD 31, pembesaran 400x pada kotak kecil).
65
Gambar 5.7 Hasil Pewarnan Imunohistokimia MVD pada intratumoral (IHK CD 31, pembesaran 400x)
Gambar 5.7 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia MVD pada intratumoral (IHK CD 31, pembesaran 400x pada kotak kecil)
BAB VI PEMBAHASAN HASIL
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian Pada penelitian ini didapatkan kasus undifferentiated carcinoma nasopharynx dari bahan biopsi 26 kasus (83,9%)pada laki-laki dan 5 kasus (16,1%) pada perempuan. Hasil yang didapatkan ini tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan dari kepustakaan bahwa karsinoma nasofaring lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (Chan et al., 2005).Lebih banyaknya penderita karsinoma nasofaring pada laki-laki dibanding perempuan kemungkinan berhubungan dengan kebiasaan merokok pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan.Hal ini sesuai dengan penelitian Taweevisit et al (2010) yang mendapatkan insiden pada laki laki lebih sering daripada perempuan. Beberapa penelitian di berbagai negara juga menunjukkan penderita karsinoma nasofaring lebih banyak daripada perempuan dengan rata-rata perbandingan 2:1 (Xu et al., 2006).Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 2:1. Kasus undifferentiated carcinoma nasopharynx terbanyak ditemukan pada dekade kelima (Chan,2006). Pada penelitian ini didapatkan usia terbanyak pada dekade kelima dengan rentang usia 18 tahun sampai usia 71 tahun. Rerata usia pasien
66
67
dalam penelitian ini adalah 49,52±11,64 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Hasibuan (2014) mendapatkan kelompok usia terbanyak adalah kelompok 41-60 tahun dengan rerata 47,54±11,651. 6.2 Hubungan antara COX-2 dengan Microvessel Density Inflamasi merupakan respon fisiologis tubuh terhadap iritasi maupun stimuli yang mengubah homeostasis jaringan. Inflamasi akut dapat mengalami pemulihan sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak mampu mengeliminasi akan berlanjut menjadi inflamasi kronis. Inflamasi kronis menyebabkan kematian sel dan tubuh mengkompensasi dengan peningkatan pembelahan sel. Bila diakselerasi dapat memudahkan terjadinya kesalahan pembentukan DNA dan mutasi (mutagen).Reaksi inflamasi dapat meningkatkan pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan.Secara umum sitokin ikut berperan pada regulasi protein dan meregulasi COX-2 yang merupakan enzim untuk sintesis prostaglandin (Soo, 2005).Inflamasi adalah salah satu faktor risiko pencetus terjadinya keganasan pada beberapa organ.Rangsangan mekanik, kimia, fisik dan mediator inflamasi akan melepaskan asam arakhidonat dari fosfolipid membran sel melalui kerjadari fosfolipase A.Asam arakhidonat yang terbentuk akan mengalami biotransformasi menjadi prostaglandin dan tromboksan melalui perantaraan enzim COX (Xu et al., 2006). Cyclooxygenase
merupakan
enzim
penting
pada
jalur
biosintetik
prostaglandin, tromboxan dan prostasiklin dari asam arakhidonat.Ekspresi seluler COX-2 meningkat diatas normal pada stadium awal karsinogenesis dan selama
68
perkembangan serta invasif tumor. Prostaglandin dan enzim COX-2, yang mengkatalisis produksi prostaglandin, merupakan mediator inflamasi yang terlibat dalam proses angiogenesis (Bertagnolli, 2008). Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk proliferasi sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat.Menurut Nishida et al (2006) angiogenesis juga berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk kedalam pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran intravaskular, dan kemudian berproliferasi pada tempat yang lain yang dikenal sebagai metastasis. Angiogenesis merupakan proses pertumbuhan massa tumor. Cyclooxygenase-2 merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis tumor.Cyclooxygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah disekitar tumor. Prostaglandin endoperoksidase sintesa-2 atau COX-2 adalah enzim kunci dalam produksi prostaglandin.Enzim ini ditemukan meningkat pada berbagai keganasan.Induksi COX-2 atau ekspresi berlebihan berhubungan dengan peningkatan produksi
PGE2.Prostaglandin-E2
menunjukkan
adanya
hubungan
antara
perkembangan tumor dan biosintesis prostaglandin. Prostaglandin dan izoenzim COX-2 dapat membantu proses sel normal seperti proliferasi sel, angiogenesis, dan apoptosis. Prostaglandin E2 juga penting pada invasi tumor.Prostaglandin E2 dapat meningkatkan kadar VEGF. Vascular Endothelial Growth Factor memproduksi
69
memproduksi MMP untuk memulai suatu proses angiogenesis. Matrix metalloprotein memecah ekstraseluler matrix.Hal ini merangsang migrasi sel endotel.Sel endotel mulai membelah begitu mereka bermigrasi ke jaringan sekitarnya.Kemudian tersusun menjadi pembuluh darah baru dan kemudian berkembang menjadi pembuluh darah matur (Nishida et al., 2006).Hal tersebut menjelaskan mengapa pada penelitian ini ditemukan jumlah subyek dengan ekspresi COX-2 positif lebih besar dibandingkan dengan yang negatif. Pada penelitian ini diperoleh cut of point nilai MVD dengan kurva ROC adalah 4,5 MV/LP. Sehingga pada penelitian diperoleh MVD rendah 29,03% dan MVD tinggi 70,97%. Pada penelitian Hasibuan ditetapkan batas MVD 45 MV/LP. Penelitia oleh Xu et al (2006) menemukan rata-rata MVD 32. Penelitian Zhao et al (2006) pada kanker lambung mendapat rerata MVD 28,46±8,28, dengan cut of point 28, didapatkan 67 pasien dengan MVD tinggi dan 37 pasien engan MVD rendah. Perbedaan hasil MVD pada berbagai penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan teknik pembacaan dan teknik pewarnaan dengan marker yang berbeda seperti CD31, CD34, dan faktor VIII, dan hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan berbagai teknik pewarnaan ini untuk menentukan teknik pewarnaan yang ideal (Rao et al., 2011). Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan sudah pernah dilakukan di Indonesia dengan hasil yang bermakna namun penelitian yang sama belum pernah dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar. Oleh karena itu pada penelitian ini kami menilai ekspresi Cox-2 dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di
70
RSUP Sanglah Denpasar. Berdasarkan hasil uji normalitas data dengan uji Kolmogrov-Smirnov didapatkan bahwa data COX-2 dan MVD berdistribusi normal (p>0,05). Untuk mengetahui hubungan antara COX-2 dan MVD digunakan uji korelasi Pearson. Hasil analisis dengan uji korelasi Pearson didapatkan nilai r = 0,868 dan p = 0,001. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan positif antara COX-2 dengan MVD (p<0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Hasibuan pada tahun 2014, dimana hasil penelitiannya menunjukkan adanya korelasi positif sedang antara COX2 dengan microvessel density dengan koefisien korelasi r = 0,559 dengan p = 0,005. Gallo et al (2008) menyatakan ditemukan adanya peningkatan angiogenesis pada tumor dengan ekspresi COX-2 positif (p = 0,007). Berbeda dengan Tan dan Putti pada tahun 2005 yang tidak menemukan adanya hubungan antara ekspresi COX-2 dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx (p = 0,774).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat adanya korelasi positif antara ekspresi Cyclooxygenase-2 dan Microvessel density pada undifferentiated carcinoma nasopharynx. 7.2 Saran Adanya korelasi Cyclooxygnase-2 dan Microvessel density yang positif pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, maka pemberian penghambat COX-2 akan dapat dipertimbangkan pada penderita dengan ekspresi COX-2 positif dan/atau MVD> 4,5.
71
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kanker di Indonesia Tahun 2010 Data Histopatologik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI.
Anonim. 2012. Pengecatan Imunohistokimia p53. Cancer Chemoprevention Research Center fakultas Farmasi UGM.
Anonim. 2009. Primary antibodies. Biocare medical. 4040 pike lane, concord, CA 94520.
Bertagnolli, M., Viner, J.l., Hawk, E.T. 2008.Cyclooxygenase-2 as a Target for Cancer Prevention and Treatment.In : Tavassoli, F.A., Devilee, P (eds). Molecular Targeting in Oncology. Boston: Humana Press: p. 5093531
Brennan, B. 2006.Nasopharyngeal carcinoma.Orphanet Journal of Rare Diseases, vol 1, no.23.p.1-5
Chan,
J.K.C., Pilch, B.Z., Kuo, T.T., Wenig, B.M., Lee, A.W.M. 2005.Nasopharyngeal carcinoma. In: Barnes L, Eveson, J.W, Reichart, P, Sidrasky, D editors. WHO classification of tumours: Pathology and genetics head and neck tumours. Lyon: IARCPress. p. 85-97.
Chang, J.T., Chan, S.H., Lin, C.Y., Lin, T.Y., Wang, H.M., Liao, C.T., Wang, T.H., Lee, L.Y., Cheng, A.J. 2007.Differentially expressed genes in radioresistant nasopharyngeal cancer cells: gp96 and GDF15.Mol. Cancer Ther, 6:2271– 2279.
Cho, WC, 2007. Nasopharyngeal Carcinoma: Molecular Biomarker Discovery and Progres. Molecular Cancer, 6:1.
72
73
Choi, W.W.L., Lewis, M.M., Lawson, D., Goen, Q.Y., Birdsong, G.G., Cotsonis, G.A. 2005. Angiogenic and lymphangiogenic microvessel density in breast carcinoma: correlation with clinicopathologic parameter and VEGF family gene expression. Mod pathology, 18:143-52.
Chou, J., Lin, Y.C., Kim, J., You, L., Xu, Z., He, B. 2008.Nasopharyngeal carcinoma-review of the molecular mechanisms of tumorigenesis.Head and Neck-DOI, 10:1002.
Choudhary, S., Wang, H.C.R. 2007.Proapoptotic ability of oncogenic H-ras to facilitate apoptosis induced by histone deacetylase inhibitors in human cancer cells.Mol Cancer Ther, 6(3):1099-111.
Desen, W. 2008. Tumor kepala dan leher. In: Desen W, editor. Buku ajar onkologi klinis edisi II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 263-78. Divvela, A.K., Challa, S.R., Tagaram, I.S. 2010.Pathogenic Cyclooxygenase32 in Cancer. J H Science, 56:5023516.
Role
of
El-Gehani, K., Al-Kikhia, L., Mansuri, N., Syrjanen, K., Al-Fituri, O., Elzagheid, A. 2011. Angiogenesis in urinary bladder carcinoma as defined by microvessel density (MVD) after immunohistochemical staining for factor VII and CD31. Libyan J Med, vol 6, pp. 6016.
Evoric, B.M., Neuchrist, C., Berger, U., El-Rabadi, K., Burian, M. 2005. Quantitation of microvessel density in squamous cell carcinoma of the head and neck by computer-aided image analysis. Wien Klin Wochenschr, vol. 117, no. 1 pp. 53-57
Feng, X.P., Yi, H., Li, M.Y., Li, X.H., Yi, B., Zhang, P.F., Li, C., Peng, F., Tang, C.E., Li, J.L. 2010.Identification of biomarkers for predicting nasopharyngeal carcinoma response to radiotherapy by proteomics.Cancer Res, 70: 3450– 3462.
74
Gallo, O., Franchi, A., Magnelli, L., Sardi, I., Vanacci, A. 2008. Cyclooxygenase-2 Pathway correlates with VEGF expression in head and neck cancer: implication for tumor angiogenesis and metastasis. Neoplasia. 3(1):53-61.
Garden, A. 2010.The nasopharynx. In: Co, J.D, Ang, K.K, editors. Radiation oncology: rationale, technique, results. Philadelphia: Mosby Elsevier. p. 20720.
Giordano, A., De-Falco, G., Rubin, E., Rubin, R. 2008.Neoplasia. In: Rubin, R., Strayer, D.S., editors. Rubin’s Pathology Clinicopathologic Foundations Medicine Fifth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer. p. 137-176.
Greenhough, A., Smartt, A.J.M., Moore, A.E., Roberts, H.R., Williams, A.C., Paraskeva, C., Kaidi, A. 2009. The COX-2/PGE2pathway: key roles in the hallmarks of cancer and adaptation to the tumour microenvironment. Oxford Journal. 30(3): 377-386.
Hasibuan, N.R., Farhat., Haryuna, T.S.H., Yudhistira,a. 2014, Korelasi positif ekspresi cyclooxygenase-2 dengan gambaran microvessel density pada karsinoma nasofaring. ORLI, 44:1.
Howe, L.R. 2007.Cyclooxygenase / Prostaglandin Signaling and Breast Cancer.BC Research, 9:210.
Hsiao, S.H., Lee, M.S., Lin, H.Y., Su, Y.C., Ho, H.C., Hwang, J.H., Lee, C.C., Hung, S.K. 2009. Clinical significance of measuring levels of tumor necrosis factor-alpha and soluble interleukin-2 receptor in nasopharyngeal carcinoma.Acta Otolaryngol. 129, 1519–1523.
Ji, B., Liu, Y., Zhang, P., Wang, Y., Wang, G. 2012. COX-2 Expression and Tumor Angiogenesis in Thyroid Carcinoma Patient among Northeast Chinese Population-Result of Single-Center Study.Int J Med Sci. 9(3): 237-42.
75
Jiang, R., Cabras, G., Sheng, W., Zeng, Y., Ooka, T. 2009. Synergism of BARF1 with ras induced malignant transformation in primary primate epithelial cells and human nasopharyngeal epithelial cells. Neoplasia. 9:964-73.
Klimek, M., Urbański, K., Kojs, Z., Karolewski, K., Pudetek, J., Blecharz, P. 2009. Role of Cyclooxygenase-2 in Cervical Cancer. Arch Med Sci., 3:303-307.
Korcum, A.F., Özyar, E., Ayhan, A. 2006. Epstein-Barr virus genes and n[asopharyngeal cancer. Turk J Cancer. 36 (3): 97-107.
Kumar., Abas., Fausto., Aster. 2010. Neoplasm. In: Robbins Cotran Pathologic Basis of Desease. Eight Edition. Kumar Vinay. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 62-70.
Levine, A.J., Hu, W., Feng, Z. 2008. Tumor supressor genes. In: Mendelsohn, J., Howley, P..M, Israel, M.A., Gray, J.W., Thompson, C.B, editors. The moleculaar basis of cancer. 3th ed. Philadelphia: Saunders. p. 31-8.
Lin, D.T., Subbaramaiah, K., Shah, J.P. 2006. Cyclooxygenase-2: a novel molecular target for the prevention and treatment a head and neck cancer. Head neck. 24:792-9.
Lu, H., Ouyang, W., Huang, C. 2006. Inflamation, a Key Event in Cancer Development.Molecular Cancer Research Journal. 4: 221-233.
Machin, D., Cambell, M.J., Tan, S.B., Tan, S.H. 2009.Sample size table for clinical studies.Third edition.A john wiley and sons.UK.
Mantovani, A., Allavena, P., Sica, A., Balkwil, F. 2008. Cancer-related inflammation.Nature, vol. 24, no. 254, pp. 436-44.
Monica, B., Jaye, L., Viner., Ernest, T., Hawk. 2008. Cyclooksigenase-2 as a Target for Cancer Prevention and Treatment. In: Kaufman H.L., Wadler S., Anntman K., Eds. Molecular Targeting In Oncology. Humana Press. p.509-541.
76
Mozes, S.N., Kupets, R., Rasty, G., Ismiil, N., Covens, A., Khalifa, M.A. 2005. Cyclooxygenase-2 (COX-2) Immunostaining Does not Correlate withThe Degree of Vulvar Neoplasia. November., (Cited 2006 February. 2). Available from: http://www.jogc.com/abstracts/full/200604_Gynaecology_1.pdf. Accessed Pebruari, 10 2014.
Nancy R.T. Epstein Barr Virus in the Pathogenesis of NPC.In: Erles S.R. editor Epstein Barr Virus, 1 st ed. Phyladelphia Pennsylvania 2005:p.71-87.
Nishida, N., Yano, H., Nishida, T., Kamura, T., Kojiro, M. 2006. Angiogenesis in cancer. Vascular Health and Risk Management, vol. 2, no. 3, p. 213-219.
Pang, R.W.C., Poon, R.T.P. 2006.Clinical implications of angiogenesis in cancers. Vascular Health and Risk Management, vol. 2, no. 2, p. 97-108.
Qu, C., Liang, Z., Huang, J., Zhao, R., Su, C., Wang, S., Wang, X., Zhang, R., Lee, M.H., Yang, H. 2012. MiR-205 determines the radioresistance of human nasopharyngeal carcinoma by directly targeting PTEN. Cell Cycle. 11, 785– 796.
Rao ,V.U.S., Shenoy, A.M., Kanthikeyan, B. 2011. Role of angiogenetic marker to predict neck node metastasis in head and neck.J cancer Res Ther. 6(2): 14126. Ristimaki, A., Sivula, A., Lundin, J., Lundin, M., Salminen, T., Haglun, C., Joensuu, H., Isola, J. 2012.Prognosis Significant of Elevated Cyclooxigenase-2 Expression in Breast Cancer.Cancer Research Journal.62: 632.
Roezin A. 2007. Karsinoma nasofaring. In: Soepardi, Arsyad E, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 182-98.
77
Rottey, S., Madani, I., Deron, P., van Belle, S. 2011. Modern treatment for nasopharyngeal carcinoma: Current status and prospects. Curr.Opin.Oncol. 23, 254–258.
Soo R. 2005. Overexpression of Cycloogenase-2 in Nasopharyngeal Carcinoma and Association With Epidermal Growth Factor Receptor Expression Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 131;p.147 – 152.
Sonawane, C.S., Jagdale, D.M., Kadam, V.J. 2011. Review Article: Role of Cyclooxygenase-2 in Cancer. International Journal of Research in Pharmacy and Chemistry, 1(3):385-395.
Stasinopoulos, I., Mori, N., Bhujwalla, Z.M. 2008. The Malignant Phenotype of Breast Cancer Cells Is Reduced by COX32 Silencing. BMC Cancer, 10:116331169
Surowiak, P., Materna, V., Matkowski, R., Kornafel, J., Wojnar, A., Pudelko, M. 2005. Relationship between the Expression of Cyclooxygenase 2 and MDR1/P3Glycoprotein in Invasive Breast Cancers and their Prognostic Significance. J Breast Cancer, 7: 8623870
Svagzdys, S., Lesauskaite, V., Pavalkis, D., Nedzelskiene, I., Pranys, D., Tamelis, A. 2009. Microvessel density as new prognostic marker after radiotherapy in rectal cancer.Biomed Cancer, 9(95): 1-8.
Tan, E.L., Looi, L.M., Sam, C.K. 2006.Evaluation of plasma Epstein-Barr virus DNA load as a prognostic marker for nasopharyngeal carcinoma. Singapore Med. J. 47, 803–807.
Tan, K.B., Putti, T.C. 2005. Cyclooxygenase-2 expression in nasopharyngeal carcinoma: immunohistochemical finding and potential implication. Journal clinical pathology. 58(5):535-8
78
Tang, F., Xie, C., Huang, D., Wu, Y., Zeng, M., Yi, L., Wang, Y., Mei, W., Cao, Y., Sun, L. 2011.Novel potential markers of nasopharyngeal carcinoma for diagnosis and therapy.Clin.Biochem. 44, 711–718.
Tao, Q., Anthony, T.C. 2007.Nasopharyngeal carcinoma.Molecular Pathogenesis and Therapeutic Development in Expert review in molecular medicine. Vol 9.
Taweevisit, M., Keelawat, S., Thoner P.S. 2010. Correlation of microvascular density and proliferation index in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Asian Biomedicine.vol.4, no.2, pp.315-321.
Tse, L.A., IT-S, Y., OW, KM., Wong, S.L. 2006. Incidence rate trends of histological subtypes of nasopharyngeal carcinoma in Hong Kong. British J Cancer. 95:1269-73.
Uppaluri, R., Dunn, G.P., Lewis, J.S. 2008. Focus on TILs: prognostic significance of tumor infiltrating lymphocytes in head and neck cancer. Cancer immunity.8, 16-26. Widiastuti., Prija, T.K.S., Alsagaf, J.H., Koentjono, W.A. 2011. Ekspresi Protein Cox-2 pada Karsinoma Nasofaring Respon Tinggi dan Respon Rendah PascaRadioterapi. JBP, 13(2):105-114.
Wee, J.T., Ha, T.C., Loong, S.L., Qian, C.N. 2010. Is nasopharyngeal cancer really a “Cantonese cancer”? Chin. J. Cancer. 29, 517–526.
Xie, P., Yue, J.B., Fu, Z., Feng, R., Yu, J.M. 2010. Prognostic value of 18F-FDG PET/CT before and after radiotherapy for locally advanced nasopharyngeal carcinoma. Ann. Oncol. 21, 1078–1082.
Xu, X., Hu, G., Li, S., Xu, F., Li, D., Dai, D., Chen, Y. 2006. Expression of cyclooxygenase-2 in nasopharyngeal carcinoma and its relation to angiogenesis and prognosis.Chinese-German J Clin Oncol. 5(2):104-7.
79
Yang, S., Chen, J., Guo, Y., Lin, H. Zhang, Z., Feng, G., Hao, Y., Cheng, J., Liang, P., Chen, K. 2012.Identification of prognostic biomarkers for response to radiotherapy by DNA microarray in nasopharyngeal carcinoma patients.Int. J. Oncol. doi:10.3892/ijo.2012.1341.
Zhargi, A., Arfaei, S. 2011. Review Article: Selective COX-2 Inhibitors: A Review of Their Structure-Activity Relationships. Iran J Pharm Res 10(4):655-683
Zhao, H.C., Qin, R., Chen, X.X., Sheng, X., Wu, J.F., Wang, D.B. 2008. Microvessel density is a prognostic marker of human gastric cancer. World J Gastroenterol. 2006; 12(47): 7598-603.
Zheng, H., Li, L., Hu, D., Deng, X., Cao, Y. 2007. Role of Epstein-Barr virus encoded Latent Membrane Protein 1 in the carcinogenesis of nasopharyngeal carcinoma. Celular & Molecular Immunology. 4(3):185-96.
. .
Lampiran 1. Penilaian ekspresi COX-2 dan CD 31 1. Penilaian ekspresi Cox-2 dibuat berdasarkan analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan. Berdasarkan persentase sel ganas yang menunjukkan overekspresi Cox-2 maka dibagi menjadi 3 skor (0-3) yaitu: 0 (tidak terwarnai), 1 (<10% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 2 (10-50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 3 (>50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai). Berdasarkan intensitas sel-sel ganas yang menunjukkan overeksprei COX-2 maka dibagi menjadi 3 skor (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), 3 (kuat) (Tan dan Putti, 2005). Interpretasi ekspresi COX-2 dari sel tumor, sesuai dengan penelitian sebelumnya digunakan skor immunoreaktif, diperoleh dengan mengalikan skor % sel ganas yang mengekspresikan COX-2 dengan skor intensitas. Skor imunoreaktif 4 atau lebih dinilai sebagai ekspresi COX-2 positif, skor imunoreaktif kurang dari 4 dinyatakan sebagai COX-2 negatif (Tan dan Putti, 2005).
2. Untuk penghitungan microvessel density, pulasan CD31 dinilai pada pembesaran lemah (40x) untuk area yang menunjukkan peningkatan pembuluh darah (hot spots). Pada area hotspot dilihat pada pembesaran kuat 400x dengan mikroskop cahaya binokuler CX-21.Empat lapang pandang pada 1 slide dipilih untuk mewakili area seluas 1 mm2. Intratumoral dan peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan diameter ˂ 50µm tanpa lapisan muscular) dihitung jumlah microvessel pada masingmasing empat lapang pandang dengan cara digeser, dan hasilnya digabungkan untuk
80
81
mendapatkan microvessel/mm2 (Taweevisit et al., 2010). Interpretasi MVD rendah dan tinggi ditentukan dengan analisis menggunakan kurva ROC.
82
83
84 Lampiran 4.Data Subyek Penelitian
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
No CM
14003193 14004532 14005444 1609275 14007336 1343032 1620807 1647871 14010199 14008167 14014991 14015471 14016655 1631367 14019854 14021471 14024418 14025054 14023849 14026592 14018313 14028871 14027940 14034801 14034067 14037561 14016868 14036260 14047828 14050574 14053195
Jenis kel/ Umur
L,58 L,64 L,45 L,45 P,56 L,54 L,48 L,40 L,55 L,43 L,38 L,53 L,61 L,48 P,40 L,38 L,69 L,42 P,43 L,55 L,18 P,48 L,58 L,54 L,28 L,45 P,64 L,64 L,47 L,43 L,71
COX-2
Microvessel Density
No PA
272/PP/14 460/PP/14 462/PP/14 522/PP/14 560/PP/14 781/PP/14 844/PP/14 898/PP/14 928/PP/14 1082/PP/14 1150/PP/14 1216/PP/14 1238/PP/14 1464/PP/14 1535/PP/14 1617/PP/14 1730/PP/14 1758/PP/14 1772/PP/14 1955/PP/14 1960/PP/14 1993/PP/14 2075/PP/14 2397/PP/14 2443/PP/14 2647/PP/14 2667/PP/14 3278/PP/14 3676/PP/14 3926/PP/14 4322/PP/14
Distribusi 3 3 3 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 1 3 2 3 1 1 3 3 2 2 3 3 1 2 3 3 1 3
Intensitas 3 3 3 1 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 2 1 2 1 2 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3
Skor 9 9 9 1 4 4 6 6 6 4 9 9 9 3 6 2 6 1 2 6 9 6 6 9 9 2 6 9 9 3 9
Interpretasi positif positif positif negatif positif positif positif positif positif positif positif positif positif negatif positif negatif positif negatif negatif positif positif positif positif positif positif negatif positif positif positif negatif positif
Jumlah 15 16 18 0 1 5 7 8 10 5 18 19 26 0 5 1 5 0 2 5 16 10 8 13 9 4 6 13 12 0 12
Interpretasi tinggi tinggi tinggi rendah rendah tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi rendah tinggi rendah tinggi rendah rendah tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi rendah tinggi tinggi tinggi rendah tinggi
85 Lampiran 5 Uji Normalitas Data Umur, COX-2, dan CD 31
N Normal Parametersa
Mean
Cox-2
CD_31
Umur
31
31
31
6.03
8.68
49.52
Std. Deviation
2.869
Most Extreme Differences Absolute
.237
Positive Negative
6.720 .127
.150 -.237
11.636 .100
.127 -.098
.100 -.097
Kolmogorov-Smirnov Z
1.317
.708
.558
Asymp. Sig. (2-tailed)
.062
.697
.915
a. Test distribution is Normal.
Lampiran 6 Analisis Deskriptif Jenis Kelamin dan Umur Jenis_Kelamin Frequency Valid
Laki-laki Perempuan Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
26
83.9
83.9
83.9
5
16.1
16.1
100.0
31
100.0
100.0
Descriptive Statistics N
Minimum
Umur
31
Valid N (listwise)
31
18
Maximum 71
Mean 49.52
Std. Deviation 11.636
86 Lampiran 7 UJi Korelasi Pearson antara Cox-2 dengan CD 31 Correlations Cox_2 Cox-2
CD_31
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N CD_31
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 8 Kurva ROC Data CD 31
.868** .000
31
31
**
1
.868
.000 31
31
87 Area Under the Curve Test Result Variable(s):CD_31 Asymptotic 95% Confidence Interval Area
Std. Error .914
a
Asymptotic Sig.
.056
b
Lower Bound
.054
Upper Bound
.804
1.024
The test result variable(s): CD_31 has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. a. Under the nonparametric assumption b. Null hypothesis: true area = 0.5
Coordinates of the Curve Test Result Variable(s):CD_31 Positive if Less Than or Equal Toa
Sensitivity
1 - Specificity
-1.00
.000
.000
.50 1.50 3.00 4.50 5.50 6.50 7.50 8.50
.500 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
.103 .138 .172 .207 .379 .414 .448 .517
9.50 11.00 12.50 14.00 15.50 17.00
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
.552 .621 .690 .759 .793 .862
18.50 22.50 27.00
1.000 1.000 1.000
.931 .966 1.000
The test result variable(s): CD_31 has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. a. The smallest cutoff value is the minimum observed test value minus 1, and the largest cutoff value is the maximum observed test value plus 1. All the other cutoff values are the averages of two consecutive ordered observed test values.