HUBUNGAN PERSEPSI KESESAKAN (CROWDING) DAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN DISIPLIN BERLALU LINTAS PADA REMAJA AKHIR SMAN 1, SMAN 3, DAN SMAN 4 KOTA MALANG
ARTIKEL
OLEH BILAL ZAVANNA SULAIMAN NIM 409112416163
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI APRIL 2013
HUBUNGAN PERSEPSI KESESAKAN (CROWDING) DAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN DISIPLIN BERLALU LINTAS PADA REMAJA AKHIR SMAN 1, SMAN 3, DAN SMAN 4 KOTA MALANG
ARTIKEL
OLEH BILAL ZAVANNA SULAIMAN NIM 409112416163
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI APRIL 2013
3
HUBUNGAN PERSEPSI KESESAKAN (CROWDING) DAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN DISIPLIN BERLALU LINTAS PADA REMAJA AKHIR SMAN 1, SMAN 3, DAN SMAN 4 KOTA MALANG Bilal Zavanna Sulaiman (
[email protected]) Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang Abstrak Remaja akhir dalam rentang usia 17-21 tahun di Kota Malang menyumbang angka korban kecelakaan tertinggi. Salah satu faktor penyebab kecelakaan adalah karena kesesakan dan kelalaian manusianya sendiri serta rendahnya tingkat kematangan emosi remaja akhir yang berujung pada kurangnya kesadaran untuk disiplin berlalu lintas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan persepsi kesesakan (crowding) dan kematangan emosi dengan disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3 dan SMAN 4 Kota Malang. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional. Subjek penelitian ini adalah pelajar SMA yang masuk kriteria remaja akhir di SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4 dengan total 120 subjek dari ketiga sekolah tersebut. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala persepsi kesesakan, skala kematangan emosi dan skala disiplin berlalu lintas. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi product moment pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Persepsi kesesakan (crowding) tidak memiliki hubungan dengan disiplin berlalu lintas. (2) Kematangan emosi memiliki hubungan positif dengan disiplin berlalu lintas. (3) Secara keseluruhan, persepsi kesesakan (crowding) dan kematangan emosi sebagai variabel bebas tidak dilakukan pengukuran dengan disiplin berlalu lintas sebagai variabel terikat karena variabel persepsi kesesakan (crowding) menunjukkan tidak memiliki hubungan dengan variabel disiplin berlalu lintas. Kata kunci : persepsi kesesakan (crowding), kematangan emosi, disiplin berlalu lintas remaja akhir. Abstract Late adolescent in the range of 17-21 years old in Malang City contributes in highest accident victim. One of causing factor of this accident is because the crowding and human dereliction it self and also low level of teenagers emotional maturity that pointed on less awareness to be in traffic discipline. This research aimed for knowing the relationship between crowding perception and emotional maturity with traffic discipline in the late adolescent of SMAN 1, SMAN 3, and SMAN 4 Malang City. Research design that is used in this research is correlation descriptive. Research subject are high school students that is included into late adolescent criteria in the SMAN 1, SMAN 3, and SMAN 4 with total of 120 subjects from that three schools. Research instrument that used is crowding perception scale, emotional maturity scale and traffic discipline scale. Data of research result is analyzed using analysis technique of descriptive statistic and correlation analysis of product moment pearson. Research result shows that: (1) crowding perception has no relationship with traffic discipline, (2) Emotional maturity has positive relationship with traffic discipline, (3) after all, crowding perception and emotional maturity as independent variable, is not conducted for assessment with traffic discipline as dependent variable because crowding perception variable has no relationship with traffic discipline variable. Keywords: crowding perception, emotional maturity, late adolescent of traffic discipline.
4
Fakta menunjukkan angka kecelakaan lalu lintas di Kota Malang didominasi oleh remaja. Ini disebabkan karena anak usia remaja masih belum mampu memiliki moral atau etika dalam berkendara yang baik sehingga muncul ketidakdisiplinan dalam berkendara di jalan raya. Remaja kini dapat dikatakan mengalami hambatan dalam perkembangan moralnya sehingga menimbulkan perilaku kurang disiplin, salah satunya adalah tidak disiplin berlalu lintas. Dari tahun ke tahun (antara tahun 2010-2012) jumlah kecelakaan lalu lintas mengalami grafik kenaikan. Dari sekian banyak kejadian itu yang menjadi korban adalah pengguna jalan usia produktif atau yakni pada usia-usia remaja dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Karena mayoritas mereka kurang peduli dan minim kesadaran mematuhi aturan lalu lintas. Untuk diketahui, dari data yang ada di Satlantas Polres Malang Kota, jumlah kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 angka kecelakaan mencapai 189 peristiwa dengan korban meninggal 76 orang, luka berat 40 orang, luka ringan 187 orang dan kerugian material Rp. 199.850.000. Jumlah Laka meningkat pada tahun 2011, pada tahun ini ada 323 kejadian, jumlah korban meninggal dunia 99 orang, luka berat 28 orang, luka ringan 363 orang dan kerugian material Rp.197.350.000. Sedangkan tahun 2012 hingga bulan Februari jumlah kecelakaan mencapai 83 kejadian, meninggal dunia 26 orang, luka berat 5 orang, luka ringan 89 orang dan kerugian material 157 juta (Radar Malang, Selasa 10 April 2012, halaman 30). Fakta ini menunjukkan rendahnya kedisiplinan berlalu lintas pengguna jalan di Kota Malang ini. Kata disiplin memang mudah diucapkan tapi kadang sulit untuk diterapkan. Kesadaran hukum yang selama ini terbangun di sebagian masyarakat kita terkesan hanya kesadaran semu, dimana masyarakat patuh ketika ada polisi. Namun ketika polisi tidak ada, maka lampu merah pun tanpa ragu diterobos. Hal seperti inilah yang sering terjadi pada masyarakat kita terutama pada remaja yang cenderung kurang memiliki kedisiplinan berlalu lintas. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi kesesakan (crowding), gambaran kematangan emosi dan gambaran disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3 dan SMAN 4 Kota Malang. Kemudian untuk mengetahui adanya hubungan persepsi kesesakan (crowding) dengan disiplin berlalu lintas, hubungan kematangan emosi dengan disiplin berlalu lintas, dan untuk mengetahui hubungan persepsi kesesakan (crowding) dan kematangan emosi dengan disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3 dan SMAN 4 Kota Malang.
5
Persepsi Kesesakan (Crowding) Persepsi kesesakan adalah persepsi subjektif seseorang terhadap jumlah orang yang terlalu banyak dalam ruang tertentu. Dalam hal ini banyak orang memiliki pendapat bahwa persepsi tentang kesesakan dapat memberi dampak negatif kesehatan organisme dan terhadap perilaku organisme (Hanurawan, 2008). Sedangkan menurut Rapoport (dalam Prabowo, 1998) mengatakan bahwa kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Teori Persepsi Kesesakan yang akan digunakan sebagai landasan membuat instrumen dalam penelitian ini adalah Teori Beban Stimulus. Kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti: kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan, jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat, suatu percakapan yang tidak dikehendaki, terlalu banyak mitra interaksi, interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama. Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982). Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher (1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah. Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman dan Watson (dalam Prabowo, 1998) kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olah raga atau menghadiri reuni atau resepsi pernikahan.
6
Kematangan Emosi Anak pada usia remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi apabila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih tepat diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Dengan demikian, remaja mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya dapat menimbulkan ledakan emosi. Akhirnya, remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Bila remaja ingin mencapai kematangan emosi, ia harus belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis. Meskipun cara-cara ini dapat menyalurkan gejolak emosi yang timbul karena usaha pengendalian ungkapan emosi, namun sikap sosial terhadap perilaku menangis adalah kurang baik dibandingkan dengan sikap sosial terhadap perilaku tertawa, kecuali bila tertawa hanya dilakukan bilamana memperoleh dukungan sosial (Hurlock,1999). Dari teori-teori yang dikemukakan Hurlock (1999) itu memiliki persamaan maksud dan tujuan dengan teori yang dikemukakan Denham, dkk. (dalam Shaffer, 2005). Jika Hurlock menyebut kematangan emosi, Denham lebih memilih kata-kata kompetensi emosi untuk teorinya tersebut. Secara makna, kedua teori ini hampir sama dalam mendefinisikan aspek-aspek emosi itu sendiri. Menurut Denham (dalam Shaffer, 2005) menyebutkan bahwa seseorang itu sebaiknya memiliki 3 kompetensi emosional, yakni: 1. Kompetensi keekspresifan emosional, kompetensi pengetahuan emosional dan kompetensi pengaturan emosional. 2. Kompetensi pengetahuan emosional itu yang melibatkan kemampuan untuk bisa mengidentifikasi perasaan orang lain dengan tepat serta mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya dengan tepat. 3. Kompetensi pengaturan emosional atau regulasi emosi.
Disiplin Berlalu Lintas Kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Karena sudah menyatu dengannya, maka sikap atau
7
perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia tidak berbuat sebagaimana lazimnya (Prijodarminto,1994). Pengertian Lalu Lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 (dalam Umbara, 2009) didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Tata cara berlalu lintas yang benar yaitu setiap orang yang menggunakan jalan wajib :
a. Berperilaku tertib b. Mencegah hal – hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan. Menurut Prijodarminto (1994), disiplin memiliki 3 (tiga) aspek. Ketiga aspek tersebut adalah: 1. sikap mental (mental attitude) merupakan sikap taat dan tertib sebagai hasil atau pengembangan dari latihan, pengendalian pikiran dan pengendalian watak. 2. pemahaman yang baik mengenai sistem peraturan perilaku dan standar yang sedemikan rupa, sehingga pemahaman tersebut menumbuhkan pengertian yang mendalam atau kesadaran, bahwa ketaatan akan aturan. 3. sikap kelakuan atau perilaku yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati, untuk mentaati segala hal secara cermat dan tertib.
Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitif, demikian pula orang-orang zaman purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan; anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Remaja akhir adalah remaja yang ada pada rentang usia 17-21 tahun. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa jauh lebih matang dari segala aspek perkembangan, yaitu masa dewasa. Remaja yang ada pada periode masa remaja akhir telah menunjukkan kestabilan yang bertambah jika dibandingkan dengan masa remaja awal (Soesilowindradini, 1981).
8
Hubungan Persepsi Kesesakan dengan Disiplin Berlalu Lintas pada Remaja Akhir Persepsi Kesesakan yang identik dengan kepadatan ini, membawa dampak negatif terhadap perilaku disiplin berlalu lintas remaja. Banyak dijumpai dijalanan Kota Malang anak-anak SMA atau remaja seusia mahasiswa yang tidak menaati peraturan lalu lintas. Contoh paling sederhana adalah masih banyak terdapat pengguna jalan seusia remaja yang berboncengan tiga saat pulang sekolah, hal ini mungkin disebabkan karena jika naik angkutan umum pasti akan terjebak kemacetan yang timbul akibat crowding itu sendiri. Begitupula dengan keberadaan traffic light dan rambu-rambu lalu lintas, bertujuan agar lalu lintas berjalan dengan tertib dan aman. Namun sayangnya semua atribut himbauan dan sarana lalu lintas tersebut belum sepenuhnya dijadikan pedoman dalam berlalu lintas, bahkan seringkali diabaikan. Faktanya para pengguna jalan seusia remaja yang sering menerobos lampu merah ini dikarenakan takut terjebak kesesakan dan kemacetan. Persepsi Kesesakan yang mengakibatkan kemacetan di jalanan inilah yang mengakibatkan remaja-remaja ini memilih untuk berperilaku kurang disiplin dalam berlalu lintas di Kota Malang. Jadi, ketika kesesakan itu dinilai negatif atau merugikan remaja yang menjadi pengguna jalan tersebut, maka perilaku yang muncul juga cenderung ke arah negatif. Remaja tersebut pasti akan mencari jalan keluar yang bisa membawanya bisa sampai dengan cepat ke tempat yang dituju. Akibatnya remaja ini akan cenderung berperilaku semaunya dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya meskipun harus dengan berperilaku kurang disiplin di jalan. Akan tetapi, jika persepsi kesesakan remaja ini cenderung positif, maka dia akan berperilaku sesuai norma dan aturan yang berlaku. Misalnya, jika dalam kondisi berkendaraan dan melewati jalanan yang arusnya lancar dan tidak ada hambatan, maka remaja juga akan cenderung berperilaku disiplin berlalu lintas dengan mengendarai kendaraannya sesuai batas kecepatan yang aman dan nyaman.
Hubungan Kematangan Emosi dengan Disiplin Berlalu Lintas pada Remaja Akhir Disiplin pada setiap remaja itu terbentuk dari pola kehidupannya sehari-hari dan tak lepas dari faktor lingkungannya. Termasuk disiplin remaja dalam berlalu lintas itu banyak yang dipengaruhi oleh faktor kematangan emosi remaja itu sendiri. Masih banyak terdapat remajaremaja yang belum matang secara emosional yang mengakibatkan dirinya berperilaku tidak sesuai dengan usianya dengan suka tidak mentaati peraturan lalu lintas. Hal ini mengakibatkan remaja-remaja ini banyak yang melampiaskan rasa emosionalnya di jalanan dengan berkendara secara ugal-ugalan atau mengikuti balap liar di jalan raya. Lalu banyak juga kasus kecelakaan yang disebabkan pengguna jalannya tidak sabar dalam menghadapi
9
situasi jalanan yang penuh sesak. Kasus semacam inilah yang mengakibatkan angka kecelakaan selalu naik dalam setiap tahunnya dan di dominasi oleh kalangan pelajar dan mahasiswa atau seusia remaja. Jadi, ketika kematangan emosi seorang remaja sudah dikatakan matang atau sesuai dengan usianya, maka dia akan cenderung berperilaku sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku. Termasuk dalam aturan-aturan disiplin berlalu lintas. Remaja yang sudah matang secara emosi akan berperilaku disiplin dalam berlalu lintas. Namun, jika remaja tersebut belum matang secara emosi, maka dia akan cenderung mudah “meledakkan” emosinya dimanapun dia berada termasuk jika berada di jalanan. Dengan demikian remaja tersebut juga akan kesulitan berperilaku disiplin sesuai aturan-aturan yang berlaku seperti aturan-aturan atau tata cara disiplin berlalu lintas.
Hubungan Persepsi Kesesakan (Crowding) dan Kematangan Emosi dengan Disiplin Berlalu Lintas pada Remaja Akhir Tingginya angka laka lantas dengan ratusan korban meninggal dunia harus menjadi perhatian serius dari semua elemen masyarakat. Apalagi jumlah korban laka lantas termasuk anak-anak dan pelajar. Pernyataan ini memang harus dapat perhatian yang serius bagi kita semua, agar kedepan angka laka lantas terus menurun dan korbannya juga semakin sedikit. Disiplin lalu lintas dan menekan angka laka lantas bukan hanya tugas kepolisian saja, tetapi menjadi kewajiban kita semua. Disiplin berlalu lintas harus menjadi budaya dan agenda penting kita sehari-hari. Ketika kematangan emosi seorang remaja itu dikatakan sudah matang sesuai usianya, maka hal ini akan mempengaruhinya dalam berperilaku. Perilaku remaja tersebut akan dapat terkontrol dengan baik sehingga ia tidak mudah meluapkan emosinya sewaktu-waktu meski terdesak oleh situasi apapun. Misalnya dalam situasi yang crowdid atau penuh sesak di jalanan Kota Malang. Jadi keadaan seperti itu tidak akan mempengaruhi remaja tersebut untuk berperilaku negatif atau kurang disiplin karena remaja tersebut sudah matang dalam hal kematangan emosinya. Dengan demikian perilaku remaja ini cenderung positif dan selalu berusaha menyesuaikan aturan-aturan yang berlaku, termasuk aturan-aturan disiplin berlalu lintas.
METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasional. Metode deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan suatu peristiwa atau
10
keadaan yang bertujuan untuk mengidentifikasikan karakteristik atau gejala yang disebabkan adanya perbedaan-perbedaan variabel subjek penelitian. Metode korelasional bertujuan untuk menemukan apakah ada atau tidaknya hubungan, dan apabila ada hubungan berapa tingginya hubungan serta berarti tidaknya hubungan tersebut (Arikunto, 2010).
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah remaja akhir atau semua pelajar dari SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Malang mulai dari kelas X - kelas XII. Total dari populasi ini adalah 2508 siswa. Ciri-ciri populasi dalam penelitian ini adalah pelajar dari ketiga SMA ini dengan rentang usia 17-21 tahun dan melewati daerah-daerah padat dan sesak seperti di kawasan Balai Kota Malang. Metode pengambilan sampel yang dipakai pada penelitian ini adalah menggunakan teknik purposive sampling. Adapun rincian remaja akhir yang dijadikan sampel adalah sebagai berikut. KRITERIA
SEKOLAH SMAN 1
SMAN 3
SMAN 4
Rentangan Usia
17-18 Tahun
17-19 Tahun
17-18 Tahun
Kelas
X-XII
XI-XII
X- XII
a. Laki-laki
18 Siswa
19 Siswa
17 Siswa
b. Perempuan
22 Siswi
21 Siswi
23 Siswi
Total
40
40
Jenis Kelamin
40
Total semua subjek penelitian ini adalah 120 remaja akhir. Setiap harinya mereka selalu membawa kendaraan pribadi setiap berangkat ke sekolah mulai dari naik sepeda atau naik sepeda motor bahkan ada pelajar yang menyetir mobil sendiri ke sekolah. Dengan demikan, subjek penelitian ini sudah sesuai dengan populasi dan karakteristik pemilihan sampel penelitian.
Instrumen Penelitian Data yang diperlukan dikumpulkan dengan menggunakan 3 skala sebagai berikut. 1. Skala Persepsi Kesesakan(Crowding) yang disusun berdasarkan model skala rating yang dijumlahkan atau skala Likert. Contoh:
11 No Pernyataan : 12 15
SS
S
E
TS
STS
Macet yang terlalu lama membuat jenuh Jalan raya yang macet membuat saya hafal jam jam penuhnya pengguna jalan
2. Skala Kematangan Emosi yang disusun berdasarkan model skala rating yang dijumlahkan atau skala Likert. Contoh: No
Pernyataan :
13
Saya mampu mengendalikan emosi
25
Mengakui kesalahan itu hal yang memalukan
SS
S
E
TS
STS
3. Skala Disiplin Berlalu Lintas disusun berdasarkan model skala rating yang dijumlahkan atau skala Likert. Contoh: No
Pernyataan :
5
Saya mendukung program safety riding
21
Saya menerobos lampu merah saat sepi
SS
S
E
TS
STS
Validitas dan Reliabilitas Setelah menyusun instrumen, peneliti melakukan uji coba untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen skala persepsi kesesakan (crowding), skala kematangan emosi, dan skala disiplin berlalu lintas kepada subjek uji coba yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan subjek penelitian. Validitas diuji dengan rumus Product Moment dan reliabilitas diuji dengan Formula Alpha dari Cronbach. Untuk memudahkan penghitungan, peneliti menggunakan bantuan program komputer SPSS 16.0 for windows. Hasil uji validitas skala persepsi kesesakan (crowding) memperoleh 15 aitem yang valid dan uji reliabilitas menunjukan reliabilitas 0,743 lalu skala kematangan emosi memperoleh 35 aitem yang valid dengan reliabilitas 0,903 dan skala disiplin berlalu lintas memperoleh 40 aitem valid dengan reliabilitas 0,905.
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan selama dua hari yaitu pada tanggal 23 dan 25 Maret 2013. Berikut langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data: 1. Mendatangi Sekolah-sekolah yang akan dijadikan tempat peneilitian untuk mengurus perijinan mengadakan penelitian.
12
2. Membuat perijinan atau surat pengantar dari Fakultas Pendidikan Psikologi UM untuk mengadakan penelitian di sekolah tersebut. 3. Membuat Surat Pengantar atau Surat Ijin dari Dinas Pendidikan Kota Malang untuk mengadakan penelitian di sekolah tersebut. 4. Membuat proposal penelitian yang ditujukan kepada sekolah yang dituju sebagai pengajuan pengadaan penelitian. 5. Menyerahkan proposal penelitian beserta surat-surat kelengkapan pengantar pengadaan penelitian kepada pihak sekolah sekaligus penentuan tanggal pengumpulan data yang disesuaikan dengan masing-masing sekolah. 6. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument skala penelitian yang sudah terstruktur dengan melakukan pengecekan terlebih dahulu. 7. Peneliti menyebarkan skala pada waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. 8. Pengumpulan kembali instrumen penelitian untuk kemudian ditabulasi dan dianalisis.
Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis analisis yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi Product-Moment Pearson yang dihitung menggunakan bantuan SPSS 16 for Windows.
HASIL 1. Secara deskriptif terdapat 45 remaja akhir (37,5%) mempersepsikan kesesakan yang tinggi, 74 remaja akhir (61,67%) mempersepsi kesesakan tingkat sedang dan 1 remaja akhir (0,83%) mempersepsi kesesakan tingkat rendah di Kota Malang ini. 2. Secara deskriptif terdapat 60 remaja akhir (50%) memiliki kematangan emosi baik, 60 remaja akhir (50%) memiliki kematangan emosi sedang, dan tidak ada sama sekali remaja akhir (0 %) yang memiliki kematangan emosi kurang baik. 3. Secara deskriptif terdapat 104 remaja akhir (86,67%) memiliki kedisiplinan berlalu lintas tinggi, 16 remaja akhir (13,33%) memiliki kedisiplinan berlalu lintas sedang, dan tidak ada sama sekali remaja akhir (0%) yang memiliki kedisiplinan berlalu lintas rendah. 4. Hasil analisis statistik formula korelasi Product-Moment Pearson pada taraf signifikansi 0,01, diperoleh nilai probabilitas (p) = 0,812. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa p > 0,01, yaitu nilai probabilitas tersebut lebih besar dari taraf signifikansi, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara Persepsi Kesesakan (crowding) dengan Disiplin Berlalu Lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang.
13
5. Hasil analisis statistik formula korelasi Product-Moment Pearson pada taraf signifikansi 0,01, diperoleh nilai probabilitas (p) = 0,000. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa p < 0,01, yaitu nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara Kematangan Emosi dengan Disiplin Berlalu Lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang. 6. Untuk uji hipotesis yang ketiga mengenai hubungan persepsi kesesakan (X1) dan kematangan emosi (X2) dengan disiplin berlalu lintas (Y) tidak dilakuan pengukuran analisis korelasi ganda dikarenakan antara variabel persepsi kesesakan (X1) dan variabel disiplin berlalu lintas (Y) menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut.
DISKUSI Disiplin berlalu lintas pada remaja akhir di Kota Malang ini memang menjadi fenomena yang harus diperhatikan mengingat meningkatnya angka kecelakaan setiap tahunnya dan didominasi usia produktif, yakni usia remaja akhir yang setara pelajar atau mahasiswa. Dalam penelitian ini telah diketahui bahwa sebagian besar remaja akhir yang bersekolah di SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang mempersepsi kesesakan tingkat sedang. Artinya kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan, jarak antar individu yang terlalu dekat, suatu percakapan yang tidak dikehendaki, terlalu banyak mitra interaksi, juga interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama di Kota Malang ini masih dalam taraf yang sedang atau biasa saja. Jadi, dari hasil penelitian ini, wajar saja apabila sebaran jawaban subjek mengenai persepsi kesesakan itu beraneka ragam, karena pada dasarnya persepsi itu bersifat subjektif dan fungsinya juga dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya faktor penerima, faktor situasi dan faktor objek. Untuk skala kematangan emosi menunjukkan bahwa 60 remaja akhir memiliki kematangan emosi baik dan 60 remaja akhir memiliki kematangan emosi sedang. Artinya tingkat kematangan emosi pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang ini masih terjadi perimbangan antara tingkatan yang baik dan yang sedang. Jadi, sebagian remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 ini mampu mengenali dan merasakan emosinya sendiri, mampu memahami penyebab perasaan yang timbul, mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berbuat hal negatif, mampu mengurangi dorongan impulsif, tidak meledakkan emosi di depan umum, mampu bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan, mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian, mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, dan toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah yang baik.
14
Untuk skala disiplin berlalu lintas, terdapat 104 remaja akhir memiliki kedisiplinan berlalu lintas tinggi. Artinya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja-remaja ini memiliki sikap mental yang merupakan sikap taat dan tertib sebagai hasil atau pengembangan dari latihan, memiliki pemahaman yang baik mengenai sistem peraturan perilaku, norma, kriteria, dan standar yang sedemikian rupa, sehingga pemahaman itu menumbuhkan pengertian yang mendalam dan memiliki sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati, untuk menaati segala hal secara cermat dan tertib dengan baik. Sedangkan berdasarkan hasil uji hipotesis terhadap variabel Persepsi Kesesakan dan Disiplin Berlalu Lintas diperoleh nilai rxy = -0,022. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Persepsi Kesesakan tidak memiliki hubungan (tidak signifikan) dengan variabel Disiplin Berlalu Lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3 dan SMAN 4 Kota Malang. Artinya hipotesis penelitian ini ditolak. Secara teori, diduga banyak faktor yang dapat menyebabkan hal ini terjadi, salah satunya adalah faktor persepsi itu sendiri, karena persepsi satu individu pasti berbeda dengan persepsi individu yang lain. Mungkin saja seorang remaja merasa tidak nyaman dengan kondisi sesak di jalan ketika berpergian, namun untuk remaja yang lain bisa saja merasa hal semacam ini sudah biasa terjadi. Artinya, persepsi kesesakan (crowding) itu sudah mengalami penerimaan positif atau remaja itu merasa kepadatan dan kesesakan di jalan sudah menjadi hal yang wajar terjadi di Kota Malang sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap kedisiplinan berlalu lintas remaja itu sendiri. Faktor pengetahuan dapat pula diduga sebagai sebab rendahnya hubungan persepsi kesesakan dengan disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang. Jadi setiap remaja akhir ini pasti memiliki taraf pengetahuan dan wawasan yang berbeda antar remaja itu sendiri sehingga memunculkan jawaban yang beragam. Untuk hasil uji hipotesis terhadap Kematangan Emosi dan Disiplin Berlalu Lintas diperoleh nilai rxy = 0,560 dengan signifikansi 0,000. Hal itu menunjukkan bahwa variabel Kematangan Emosi memiliki hubungan yang positif dengan variabel Disiplin Berlalu Lintas. Semakin tinggi kematangan emosi maka semakin tinggi pula tingkat disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang. Sebaliknya, semakin rendah kematangan emosi maka semakin rendah pula disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang. Jadi, hasil penelitian ini dinyatakan sesuai dengan teori yang ada, dimana ketika kematangan emosi seorang remaja sudah dikatakan matang atau sesuai dengan usianya, maka dia akan cenderung berperilaku sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku. Sesuai dengan teori mengenai kematangan emosi yang dikemukakan Hurlock (1999) dan Denham (dalam
15
Shaffer, 2005) bahwasannya remaja yang matang sesuai usianya itu adalah remaja yang mampu memahami emosi diri sendiri dan orang lain, mampu mengekspresikan emosi secara tepat dan memiliki regulasi emosi. Termasuk dalam aturan-aturan disiplin berlalu lintas. Remaja yang sudah matang secara emosi akan berperilaku disiplin dalam berlalu lintas. Namun, jika remaja tersebut belum matang secara emosi, maka dia akan cenderung mudah “meledakkan” emosinya dimanapun dia berada termasuk jika berada di jalanan. Dengan demikian remaja tersebut juga akan kesulitan berperilaku disiplin sesuai aturan-aturan yang berlaku seperti aturan-aturan atau tata cara disiplin berlalu lintas yang baik dan benar. Berdasarkan hasil uji hipotesis yang pertama mengenai hubungan persepsi kesesakan (crowding) dengan disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang menunjukkan bahwa variabel persepsi kesesakan tidak memiliki hubungan (tidak signifikan) dengan variabel disiplin berlalu lintas. Jadi tidak perlu lagi dilakukan analisis korelasi ganda untuk melakukan uji hipotesis yang ketiga mengenai hubungan persepsi kesesakan (crowding) dan kematangan emosi dengan disiplin berlalu lintas pada remaja akhir SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 Kota Malang. Jika uji hipotesis yang ketiga ini tetap dilaksanakan, maka hasil yang diperoleh akan tidak terlalu tinggi atau rendah karena hanya variabel kematangan emosi yang menyumbang hasil hubungan ketiga variabel tersebut sementara satu variabel bebas lainnya yakni variabel persepsi kesesakan tidak menyumbang hasil uji hipotesis yang ketiga karena tidak memiliki hubungan dengan disiplin berlalu lintas. Jadi berdasarkan hasil penelitian maka disarankan: (1) Bagi Sekolah: untuk membentuk kematangan emosi remaja yang sesuai usianya itu, pendidikan karakter perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah; (2) Orang tua sebaiknya ikut berperan aktif dalam perkembangan masa remaja anak-anaknya agar dapat membentuk karakter dan kepribadian yang baik sesuai tingkat kematangan emosinya. (3) Bagi subjek penelitian, perlu kesadaran akan tingkat emosi dirinya sendiri agar bisa menyikapi kesesakan berlalu lintas di Kota Malang. (4) Bagi peneliti selanjutnya yang menjadikan penelitian ini sebagai acuan dan referensi sehingga hasil penelitian menjadi lebih detail dan akurat, hendaknya membuat instrumen penelitian dengan jumlah pernyataan yang lebih cermat dan tepat.
16
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Fisher, A.1984. Environmental Psychology. New York: Holt, Rinehart & Wiston Hanurawan, Fattah. 2008. Psikologi Lingkungan. Malang Holahan, C.J. 1982. Environmental Psychology. New York: Random House Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan. Terjemahan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. 1994. Jakarta: Erlangga Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma Prijodarminto. 1994. Kedisiplinan. Jurnal Universitas Sumatera Utara Radar Malang. 2012. Kecelakaan Meningkat Tajam. Edisi: Selasa 10 April 2012 Shaffer, David R. 2005. Social and Personality Development 5th Edition. University of Georgia Soesilowindradini. 1981. Psikologi Perkembangan II. Masa Remaja. Surabaya: Usaha Nasional Umbara, Citra. 2009. Undang-Undang R.I. Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Bandung: Penerbit Citra Umbara