Serambi Engineering, Volume II, No.3, Juli 2017
ISSN : 2528-3561
Hubungan Lingkungan Dengan Tingkat Infestasi Nematoda Gastrointestinal Pada Sapi di Aceh Zulfikar *1) Sayed Umar 2) T. Reza Farasyi 3) Maruf Tafsin 4) 1)
Mahasiswa S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara 2) dan 4) Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. Mansyur, Medan Sumatera Utara 3) Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh *Koresponden e-mail:
[email protected]
Abstrak. Tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk melihat tingkat infestasi dari nematoda gastrointestinal (NGI) pada sapi yang dipelihara pada lingkungan berbeda di Provinsi Aceh. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah feses sapi dari 3 kelompok umur yang berasal dari dua daerah yang berbeda lingkungan yaitu dataran tinggi Kabupaten Bener Meriah sebanyak 72 sampel dan Kabupaten Pidie Jaya sebanyak 84 sampel, Untuk pemeriksaan dan melihat tingkat infestasi akan dilakukan dengan Uji laboratorium dengan memakai Metode Sentrifus. Untuk menganalisis data dilakukan dengan uji Prevalensi dan Uji T-test. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kejadian nematoda gastrointestinal di Kabupaten Bener Meriah dari 72 sampel feses yang diperiksa ada 8 ekor sapi yang positif, dengan tpgt sekitar 2.220 butir, untuk Kabupaten Pidie Jaya dari 84 ekor yang di periksa, ada 36 sampel yang positif dengan tpgt sebesar 20.480 butir. Berdasarkan hasil analisis tersebut terlihat adanya perbedaan intensitas dan infestasi yang cukup besar (P<0.05) antar lingkungan. Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan lingkungan sangat mempengaruhi kejadian dari nematoda gastrointestinal Dimana lebih tinggi intensitas atau derajat infestasi (Tpgt) parasit nematoda GI pada sapi di dataran rendah. Kata Kunci: Lingkungan, infestasi, nematoda gastrointestinal, sapi Abstract. The purpose of this study is to look at the infestation rates of gastrointestinal nematodes (NGIs) in cows that are kept in different environments in Aceh Province. The sample used in this research is cow feces from 3 ages groups that come from two different environment area that are Bener Meriah Regency plateau 72 samples and Pidie Jaya Regency as many as 84 samples, For examination and see infestation level will be done by laboratory test by using Method of Centrifus. To analyze data is done by Chi-square test. The results showed that the incidence of gastrointestinal nematodes in Bener Meriah Regency from 72 samples examined were 8 positive cows, with tpgt around 2,220 grains, for Pidie Jaya District of 84 individuals examined, there were 36 positive samples with tpgt of 20,480 Items. Based on the result of the analysis, there is significant difference of intensity and infestation (P <0.05) between environments. These results indicate that environmental differences strongly influence the incidence of gastrointestinal nematodes where higher intensity or degree of infestation (Tpgt) of GI nematode parasites in lowland cattle. Keywords: Environment, infestation, gastrointestinal nematodes, cattle 1. Pendahuluan Pengembangan usaha peternakan memiliki peran penting dalam peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat khususnya peternak, termasuk penyedia lapangan kerja bagi masyarakat, penopang sistem ekonomi pedesaan dengan tujuan akhir agar dapat mendukung pemenuhan kebutuhan akan
protein hewani bagi masyarakat Indonesia, tanpa perlu melakukan impor daging dari negara lain. Peternakan merupakan subsektor yang menjadi alternatif pembangunan untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan dan program revitalisasi pertanian dalam arti luas, karena sektor peternakan dianggap sebagai faktor utama dalam mengamankan Swasembada daging untuk
118
Serambi Engineering, Volume II, No.3, Juli 2017
ISSN : 2528-3561
Gambar 1. Telur dan Morfologi Nematoda Gastrointestinal (Levine 1999)
kebutuhan manusia, menghasilkan lapangan kerja dan pendapatan untuk orang miskin (Zegeye, 2003; Kemal and Yitagele, 2013) Salah satu penyakit yang umum menyerang ternak sapi sehingga menimbulkan masalah dalam kesehatan, yang berdampak terjadi penurunan produksi dan mengganggu kualitas dari ternak adalah adanya infestasi cacing terutama cacing jenis nematoda gastrointestinal yang ada di sistim pencernaan (seperti terlihat pada gambar 1) . Nematoda gastrointestinal ini merupakan jenis cacing yang secara ekonomis merugikan kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, apabila terserang cacing ini, akan terjadi hambatan-hambatan utama untuk mencapai hasil produksi termasuk perkembangbiakan. Kerugian-kerugian ekonomis akibat terinfeksi nematoda gastrointestinal, antara lain, terjadiunya penurunan berat badan, dimana cacing-cacing tersebut akan menyerap sebagian zat makanan yang seharusnya untuk kebutuhan tubuh dan pertumbuhan, merusak jaringan-jaringan dari organ-organ vital ternak, baik sapi maupun ternak-ternak produktif lain dan akibat dari infestasi parasit cacing tersebut bisa menyebabkan hewan tersebut mengalami penurunan nafsu makan, sehingga hewan tersebut menjadi kurus dan produktifitas akan terhambat. Menurut Hansen and Brian Perry (1990), bahwa akibat yang ditimbul akabat infeksi nematoda gastrointestinal ini secara klinis terlihat efek yang ditimbulkan pada hewan yang terinfeksi masih kurang jelas dibandingkan dengan tanda-tanda akibat penyakit lainnya, maka oleh sebab tersebut maka nematoda gastrointestinal ini dalam area perawatan ternak yang paling banyak diabaikan di dunia, padahal akibat yang di timbulnya berefek secara serius. Berdasarkan penjelasan Alencar et al. (2009) dan Erwin et al. (2010), bahwa cacing nematoda bersifat persistensi. Artinya dalam tubuh induk semang bisa bertahan hidup dalam waktu yang lama (1 sampai 10 tahun), meskipun secara immunologi induk semang telah memberi reaksi. Nematoda ini juga mempunyai kemampuan untuk mengelabui sistim pertahanan induk semang dan dapat melakukan infeksi ulang terhadap induk semang sehingga dapat menyebabkan infeksi kronis dan terjadi morbiditas (angka kesakitan) yang tinggi pada ternak dewasa dan terjadi kontaminasi pada hewan muda. Perubahan iklim dan pemanasan global sekarang menjadi fakta yang harus diterima oleh makhluk hidup dan telah mempengaruhi semua ekosistem dan akan
terus dilakukan jika dibiarkan tidak terkendali (Nejash, 2016). Perubahan kondisi lingkungan bisa berakibat dan akan mempengaruhi tingginya infestasi suatu penyakit, baik hewan, manusia maupun tumbuh-tumbuhan disetiap negara, di negara kaya maupun miskin, termasuk di Indonesia. Lingkungan yang tidak sesuai dan tidak tertata sangat mungkin akan mengalami perkembangan penyakit , termasuk penyakit yang dikaibatkan oleh parasit. Hal ini di dorong juga oleh vektor atau agen penyakit dalam penyebarannya sangat di dukung keadaan lingkungan tersebut, sangat mudah mewabah. Seperti penjelasan Mitchell and Somerville, (2005), bahwa peningkatan penyebaran penyakit, terutama parasit cacing yang menyerang ternak dalam beberapa tahun terakhir bisa dihubungkan dengan perubahan iklim termasuk ketinggian daerah. Seperti parasit cacing jenis nematoda gastrointestinal yang menyerang ternak, walaupun berada di saluran pencernaan, tetapi proses interaksinya yang tergambar dalam siklus hidupnya sangat membutuhkan lingkungan, nematoda ini memulai kehidupan setelah berada di lingkungan luar tubuh (terlihat pada gambar 2). . Perkembangannya di mulai dari rumput dengan keadaan lingkungan yang sesuai, seperti ketinggian daerah, suhu kelembaban, curah hujan dan lainnya termasuk lingkungan padamg pengembalaan dan perkandangan (zulfikar, dkk. 2015). Diikuti penjelaskan O. Connor, et all (2007), dimana hubungan dengan proses kelangsungan hidup dan tahap hidup bebas parasit cacing nematoda di lingkungan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, topografi dan iklim lainnya. Selanjutnya berdasarkan penjelasan Bhattachryya dan Ahmed (2005), bahwa faktor utama terjadi peningkatan penyebaran penyakit, terutama penyakit parasit jenis nematoda GI dan tingginya infestasi pada ternak sapi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya topografi daerah, letak geografis, kondisi lingkungan yang jelek, iklim yang tidak cocok, perbedaan umur dan populasi yang tidak sesuai, penanganan kesehatan yang tidak tepat serta tingkat pengetahuan pemilik ternak yang rendah.
119
Gambar 2. Siklus Hidup Nematoda Gastrointestinal (Hildreth, 2003)
Serambi Engineering, Volume II, No.3, Juli 2017
ISSN : 2528-3561
Tabel 1. Perbandingan Tingkat Intensitas dan Infestasi Nematoda Gastrointestinal (NGI) Bener Meriah Dengan Pidie Jaya. Parameter
Jumlah sampel (ekor)
Jumlah Positif
%
Telur per gram tinja (tgpt)
Rata-rata (Per Ekor)
Pidie Jaya
84
36
42,86
20.480
568,8a
Bener Meriah
72
8
11,1
2.220
277,5b
Ket
Ketab : Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
Kabupaten Pidie Jaya merupakan salah satu kabupaten yang terletak di daerah dataran rendah terbagi dalam 8 kecamatan. Ketinggian antara 5 sampai 85 mdpl yang berbatas sebelah barat dan selatan kabupaten Pidie, sebelah timur dengan Kabupaten Bireuen dan sebelah utara berbatas dengan samudera hindia, suhu ratarata 30,9°C-34,6°C, kelembaban sekitar 75.5 % dan curah hujan 927,23 mm per tahun, jumlah hujan 4 hari perbulan, letaknya berkisar antara 04006’-04047’ LU dan 95020’-96021’ BT. Luas daerah 95,25 ribu hektar, topografi tanah datar, tanah berawa-rawa, dengan jenis tanah liat dan berpasir, 50% kawasan tersebut dimanfaatkan utuk lahan pertanian, peternakan dan perikanan BPS Pidie Jaya, 2016). Sedangkan jumlah ternak sapi ada sekitar 18.967 ekor (Dinkeswannak Aceh, 2015) Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh merupakan daerah yang berdataran tinggi dengan ketinggian 600 – 2400 mdpl, terbagi dalam 10 kecamatan difinitif, dengan luas daerah 1941,61 km2, memiliki iklim tropis dengan curah hujan setiap tahun berkisar 1.000-2500 mm dan lama hujan berkisar 149 – 178 hari dalam setahun. Suhu berkisar antara 18°C - 28°C, mempunyai kelembaban maksimum sekitar 75.8% dan minimum 30% dan terbentang antara 40 33’50” - 40 54’50” LU dan 960 40’75” – 970 17’50” BT, yang berbatas sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah, sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Aceh Timur, dan sebelah Barat berbatasan dengan Aceh Tengah (BPS Bener Meeriah, 2016), kondisi perkembangan jjumlah ternak sapi di Bener Meriah mengalami peningkatan dari tahun- tahun, untuk saat ini jumlah ternak, terutama sapi ada sekitar 1.677 ekor, terlihat ada peningkatan 30 % dari tahun 2012 (Dinkeswannak Aceh, 2015) Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan lingkungan terhadap tingkat infestasi nematoda gastrointestinal pada sapi.
gelas Becker, pipet Pasteur, mikroskop, box es, dan kamera digital. Bahan yang dibutuhkan: feses sapi, plastik, karet ikat, kertas karton, pulpen. Akuades, formalin 0,4%, garam jenuh, 2.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian lapangan mulai dilaksanakan dari bulan Pebruari 2017 sampai Juni 2017. Sampel di ambil dari 3 (tiga) kecamatan terpilih dari masing-masing di wilayah Kabupaten Bener Meriah dan wilayah Kabupaten Pidie Jaya. Untuk proses pemeriksaan feses dan untuk identifikasi nematoda GI telah dilakukan di Laboratorium MIPA Universitas Almuslim Bireuen. 2.3. Metode Pemeriksa feses untuk mengidentifikasi telur cacing nematoda gastrintestinal akan dilakukan dengan metode sentrifus di Laboratorium MIPA Universitas Almuslim. Sedangkan untuk menghitung jumlah telur per gram tinja (tpgt) akan memakai alat hitung metode Mc.master (Jaroslav, et al., 2010). 2.4. Analisis Data Untuk melihat tingkat infestasi dan intensitas nematoda gastrointestinal (NGI) pada sapi berdasarkan perbedaan lingkungan di lakukan dengan uji Prevalensi diikuti dengan Uji T-test.
3. Hasil Dan Pembahasan 3.1. Tingkat Intensitas dan Infestasi Nematoda Gastrointestinal (NGI) berdasarkan lingkungan pemeliharaan Tingkat intensitas dan tingkat infestasi nematoda gastrointestinal (NGI) pada sapi yang dipeliharaan 2. Metode Penelitian pada lingkungan berbeda (topografi) dapat terlihat 2.1 Alat dan Bahan Alat digunakan adalah sendok, baskom pada Tabel 1 berikut ini. Dari Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa plastik, kulkas, timbangan, tabung reaksi, cawan tingkat intensitas dari nematoda gastrointestinal petri, gelas ukur, gunting, objek gelas, sentrifus, 120
Serambi Engineering, Volume II, No.3, Juli 2017
ISSN : 2528-3561
di Kabupaten Pidie Jaya dari 84 sampel yang uji terlihat ada 36 sampel yang positif atau 42,86 % yang terindikasi nematoda gastrointestinal dan 36 sampel tersebut ditemukan telur sekitar 20.480 butir, dengan rata-rata Tpgt adalah 568,8 butir telur/sampel). Sedangkan Kabupaten Bener Meriah dengan 72 sampel feses yang diperiksa menunjukkan ada 8 sampel terindikasi nematoda gastrointestinal atau 11,1 % dari sampel dengan tpgt nya ada sekitar 2.200 butir dengan rata-rata 277,8 butir/sampel. Hasil pemeriksaan tersebut setelah di analisis telihat perbedaan (P<0,05) tingkat kehadiran lebih tinggi di Kabupaten Pidie Jaya dari pada Kabupaten Bener Meriah. Jenis-jenis telur nematoda yang ditemukan, diantaranya terlihat seperti gambar 3 berikut ini. Dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa faktor-faktor dari lingkungan, terutama topografi, suhu dan curah hujan bisa mempengaruhi tingginya kasus nematoda gastrointestinal. Bila dikaitkan dengan dengan kajian-kajian para ahli dan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di beberapa daerah dan negara lain, bahwa intensitas atau infestasi nematoda gastrointestinal lebih tinggi kasusnya wilayah dataran rendah, dan sangat mungkin terjadi (zulfikar, 2013) Seperti penjelasan Boag dan Thomas (1985), bahwa lingkungan yang berbeda terutama musim dan lokasi sangat berpengaruh terhadap ketersediaan larva infektif di padang rumput. Menurut Karim (2015), bahwa hal ini mungkin disebabkan kondisi mikroklimat dan lingkungan di daerah basah dan kering yang berbeda sehingga mempengaruhi terhadap kehadirannya. Selanjutnya Fox, et all (2012) ikut menjelaskan bahwa intensitas dan distribusi parasit cacing, terutama nematoda garointestinal selama sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, sehingga hal ini menjadi salah satu tantangan yang paling utama terhadap perkembangan dan produktitas ternak. Dengan begitu perubahan iklim di anggap ikut terlibat sebagai kekuatan pendorong untuk melakukan ekspansi dari parasit cacing. Begitu juga yang di jelaskan Egido et al., (2001) infestasi parasit cacing pada ternak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain letak geografis, kondisi lingkungan, kualitas kandang, sanitasi dan higiene, kepadatan kandang, temperatur, humiditas, dan vegetasi. Kebanyakan parasit GI hidup di lokasi
1.Capillaria 2. Haemonchus 3. Trichuris Gambar 3. Telur Nematoda Gastrointestinal
yang berbeda dari saluran pencernaan sementara distribusi geografis parasit juga bervariasi tergantung terutama pada iklim (terutama curah hujan), vegetasi dan kepadatan ternak Hal ini di dukung juga dengan kondisi topografi daerah, seperti laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Pidie Jaya (2016), bahwa Kabupaten Pidie Jaya sebagai daerah, topografi tanah datar dan berdaratan rendah dengan lingkungan tanah berawa-rawa, jenis tanah liat dan berpasir dan populasi ternak yang padat, terdiri dari kambing, domaba, sapi dan kerbau. Begitu juga dengan kondisi lingkungan yang mendukung, seperti kelembaban, suhu dan curah hujan yang rendah selain faktor manajemen pengelolaan, dengan sistim perkandangan yang tidak memenuhi standar serta penanganan kesehatan yang tidak optimal Sedangkan di Kabupaten Bener Meriah rendahnya kasus nematoda gastrointestinal bisa juga dikaitkan dengan kondisi lingkungan sebagian daerah yang mempunyai topografi dataran tinggi, kelembaban, suhu dan curah hujan yang rendah (BPS Bener Meriah, 2016). Hal ini bisa dikaitkan dengan infestasi cacing nematoda GI lebih rendah intensitasnya, karena faktor lingkungan tersebut, mungkin ikut mendukung untuk tidak berkembangnya nematoda gastrointestinal lebih lanjut, selain faktor manajemen pengelolaan dengan populasi yang belum banyak dan lokasi pemeliharaan yang menyebar serta tidak padat. Patza, et all (2000), menjelaskan bahwa setiap perubahan lingkungan, baik yang terjadi karena fenomena alam atau melalui campur tangan manusia, akan terjadi perubahan keseimbangan ekologi di mana konteks host atau vektor dari penyakit yang disebabkan parasit akan berkembang biak dan menularkan penyakit. 3. Kesimpulan 1. Intensitas nematoda gastrointestinal pada sapi berdasarkan jumlah sampel di Kabupaten Pidie Jaya dari 84 sampel, positif ada sekitar 36 sampel (42,86 %) dan intensitas nematoda
121
Serambi Engineering, Volume II, No.3, Juli 2017
ISSN : 2528-3561
gastrointestinal di Kabupaten Bener Meriah dari 72 sampel, positif 8 sampel (11,1 %). 2. Berdasarkan infestasi nematoda gastrointestinal berdasarkan Telur pergram tinja (Tpgt) terlihat untuk topografi Kabupaten Pidie Jaya dari 36 sampel positif ada sekitar 20.480 butir telur dengan rata-rata 568,8/sampel, sedangkan untuk Kabupaten Bener Meriah dari 8 sampel yang positif ada didapat sekitar 2.220 butir telur dengan ratarata 277,5 butir/sampel. 3. Terlihat bahwa perbedaan lingkungan, termasuk topografi, suhu, kelembaban, curah hujan, sangat memungkinkan untuk bisa mempengaruhi terhadap intensitas parasit nematoda gastrointestinal pada sapi. 5. Daftar Pustaka Alencar, M.M., Chagas, A.C.S., Giglioti, R., Oliveira, H.N. and Oliveira, M.C.S. (2009).Gastrointestinal nematode infection in beef cattle of different genetic groups in Brazil.Veterinary Parasitology. 166. 249–254. [BPS] Badan Pusat Statistik Bener Meriah, (2016). Bener Meriah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Bener Meriah. Laporan Tahunan. [BPS] Badan Pusat Statistik Pidie Jaya (2016). Pidie Jaya Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Pidie Jaya. Laporan Tahunan. [Dinkeswannak Aceh] Dinas Kesehatan Hewan Dan Peternakan ( 2015).. Populasi Ternak Provinsi Aceh. Laporan Tahunan. Banda Aceh. Bhattachryya, D. K and Ahmed K. (2005). Prevalence of helmintic infection in cattle and buffaloes. Indian Vet. J. 82: 900-901. Boag, B. and Thomas, R. J. (1985). The Effect of Temperature on The Survavial of Infective Larvae of Nematodes. J Parasitol 71 : 383-384. Egido, J.M., J.A, De Diego., and P, Penin., (2001). The Prevalence of Enteropathy due to Strongyloidiasis in Puerto Maldonado (Peruvian Amazon), Braz., J. Infect Dis.Vol.5 (3). Erwin Nofyan, Mustaka Kamal, dan Indah Rosdiana (2010). Identitas Jenis Telur Cacing Parasit Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) Di Rumah Potong Hewan Palembang . Jurnal Penelitian Sains Edisi Khusus Juni (D) 10:06-11. Unsri, Sumsel, Indonesia.
Hildreth M. (2003). Cattle Parasites of The Northern Great Plains. http://biomicro.sdstate.edu/Hildrethm/ CattleParasites/StrongyleLifeCyclehtml [diakses, 07 Juli 2016]. Jaroslav V., Miloslav P., Igor Z., Zuzana Č. Ivana J., Iva L.and Milan M. (2010), Which McMaster egg counting technique is the most reliable. Parasitol Res. 109:1387–1394.Original Paper. Springer -Verlag. Levine N. D. (1999), Parasitologi Veteriner.Yogyakarta: Gadjah Mada Press.Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Mitchell, G.B.B and Somerville, D.K. (2005). Effects of Climate Change on Helminth Diseases in Scotland. J. SAC Publication (1), 1-11. Nejash Abdel, (2016). Impact of Climate Change on Livestock Health: A Review Journal of Biology, Agriculture and Healthcare , Vol.6, No.7, 2016 Fox, Naomi J., Glenn Marion, Ross S. Davidson 1, Piran C. L. White and Michael R. Hutchings Animals (2012), Livestock Helminths in a Changing Climate: Approaches and Restrictions to Meaningful Predictions.Journal Animals, 2, 93107. O’Connor, L.J.; Kahn, L.P., Walkden-Brown and S.W. Moisture (2007). Requirements For the Free-Living Development Of Haemonchus Contortus: Quantitative and Temporal Effects Under Conditions Of Low Evaporation. Vet. Parasitol., 150, 128-138. Patza, Jonathan A. , Thaddeus K. Graczykb, Nina Gellera, Amy Y. Vittorc (2000). Effects of environmental change on emerging parasitic diseases. International Journal for Parasitology 30. 1395-1405. Hansen, Jorgen and Brian Perry (1990). The Epidemiology, Diagnosis And Control Op Gastro-Intestinal Parasites Of Ruw Nants In Africa. A Handbook.International Laboratory for Research on Animal Diseases. Karim, Wahyudin Abd. (2015). Eksplorasi Dan Prevalensi Cacing Gastrointestinal Pada Kerbau Di Daerah Jawa Dan Lombok, Indonesia. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Kemal Jelalu and Yitagele Terefe (2013). Prevalence of gastrointestinal parasitism of cattle in Gedebano Gutazer Wolene district, Ethiopia Journal of Veterinary Medicine and Animal Health ,
122
Serambi Engineering, Volume II, No.3, Juli 2017
ISSN : 2528-3561
Vol. 5(12), pp. 365-370. Zulfikar, Hambal and Razali (2015). Topography Zulfikar, Hambal Dan Razali (2012). Derajat Regional Relations With Intensity Nematodes Infestasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Parasites Gastrointestinal (GI) At Cattle in Aceh Pada Sapi Di Aceh Bagian Tengah. Lentera Province Proceedings of The 1th Almuslim International :Vol.12, No.3. Conference on Science, Technology and Society (AICSTS) November 7-8, 2015, Bireuen, Indonesia.
123