ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
HUBUNGAN KUALITAS HIDUP DAN FAKTOR RESIKO PADA USIA LANJUT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMPAKSIRING I KABUPATEN GIANYAR BALI 2015 Gede Wikananda Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
[email protected] ABSTRAK Penuaan merupakan sebuah proses yang ditandai dengan berbagai macam perubahan yang terjadi pada seorang individu, baik mental, sosial, maupun fisik. Seiring dengan meningkatnya usia, maka berhubungan dengan adanya perubahan pada kualitas hidup individu tersebut. Sayangnya, perubahan ini cenderung dikaitkan ke arah yang kurang baik. Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor, seperti perubahan lingkungan sosial ekonomi dalam artian berhenti bekerja karena pensiun, ketidakmampuan untuk berkiprah dimasyarakat, kehilangan anggota keluarga dan teman, ketergantungan kebutuhan fisik,adanya penurunan kondisi fisik,dan rendahnya perhatian dari orang sekitar terutama keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik maupun mental para lanjut usia. Kondisi ini dapat menyebabkan morbiditas bagi para lanjut usia jika tidak tertangani dengan baik, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi kualitas hidup lanjut usia yang berujung pada meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kualitas hidup lanjut usia yang berhubungan dengan berbagai faktor resiko pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I sebagai langkah advokasi dalam usaha peningkatan program-program promotif dan preventif dalam menghadapi permasalahan lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional. Sampel dalam penelitian adalah lansia berusia 60 tahun keatas dengan jumlah sampel sebanyak 90 orang yang dipilih secara acak di Desa Tampaksiring dan Desa Sanding Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar dengan menggunakan teknik multistage random sampling. Data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap responden menggunakan kuesioner terstruktur. Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas hidup kurang atau buruk berkaitan dengan kelompok usia >70 tahun, gender laki-laki, tingkat pendidikan rendah, status tidak menikah atau janda/duda, tidak bekerja, tingkat penghasilan perbulan rendah, dan adanya >2 penyakit kronis. Kata kunci: Kualitas hidup, lansia, Puskesmas Tampaksiring I, Desa Tampaksiring, Desa Sanding RELATION BETWEEN RISK FACTOR WITH QUALITY OF LIFE IN ELDERLY AT PUSKESMAS I TAMPAKSIRING GIANYAR REGENCY BALI 2015 ABSTRACT Aging is a process characterized by a wide range of changes that occur in an individual, both mentally, socially, and physically. Along with increasing age, it is associated with changes in the quality of life of the individual. Unfortunately, these changes tend to be associated to a less good. It is associated with various factors, such as changes in socio-economic environment in the sense to stop working due to retirement, the inability to take part in society, loss of family and friends, the dependence of physical needs, a decrease in physical conditions, and lack of attention from people around, especially families in meeting the needs of physically and mentally the elderly. This condition can cause severe morbidity for the elderly if not handled properly, causing a bad impact on quality of life for the elderly which leads to increased morbidity and mortality. Based on these problems, the authors conducted a study to determine the level of quality of life for the elderly associated with 1 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
various risk factors in the elderly in Puskesmas Tampaksiring I as a step advocacy in improving the programs of promotion and prevention in dealing with problems of the elderly in Puskesmas Tampaksiring I. This study is a cross - sectional descriptive study . Samples are elderly aged 60 years and older with a sample size of 90 people selected randomly in Tampaksiring Village and Village Sanding District Tampaksiring Gianyar regency using multistage random sampling technique. Data were obtained through interviews with respondents using a structured questionnaire. The results showed that the lack or poor quality of life associated with the age group > 70 years, male gender, low education levels, status is not married or a widow / widower, did not work, the level of monthly income is low, and the presence of > 2 chronic disease. Keywords: Quality of life, elderly, Puskesmas Tampaksiring I, Tampaksiring Village, Sanding Village PENDAHULUAN Seiring dengan meningkatnya derajat kesehatan dan kemakmuran penduduk di suatu negara, maka akan mempengaruhi pula angka usia harapan hidup. Meningkatnya usia harapan hidup ini menyebabkan turut meningkatnya populasi lanjut usia di negara tersebut. Meskipun hal ini merupakan salah satu tanda penentu keberhasilan program di suatu negara, meningkatnya angka lanjut usia juga dikaitkan dengan berbagai masalahyang harus ditangani baik yang menunjang secara fisik, sosial maupun mental para lanjut usia. Dewasa ini, penuaan merupakan sebuah proses alamiah yang merupakan fase akhir dari siklus perkembangan manusia.Proses ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, berjalan terusmenerus dan secara berkesinambungan. Seseorang yang sedang mengalami suatu proses perubahan ini secara bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade ini disebut lanjut usia (lansia).Secara definitif, batasan lansia adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batas usia 60 tahun keatas.1 Di Indonesia, jumlah lansia tercatat pada tahun 2006 yaitu kurang lebih sebesar 19 juta jiwa, kemudian meningkat menjadi 23,9 juta (9,77%) pada tahun 2010. Badan Pusat Statitik (BPS) memperkirakan jumlah lansia pada tahun 2020 akan mencapai 28,8 juta jiwa atau 11,34% dari jumlah penduduk Indonesia.2Peningkatan jumlah lansia ini juga terjadi di provinsi Bali, dimana pada tahun 2006 sebesar 7,2% menjadi 8,7% pada tahun 2010, dan meningkat menjadi 9,4% dari total penduduk pada tahun 2011.3 Di samping itu, perubahan demografis juga terjadi di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I, dimana terjadi
peningkatan prorposi lansia secara progresif. Proporsi lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I pada tahun 2014 mencapai 12% dari total penduduk, lebih tinggi jika dibandingkan dengan proporsi nasional lansia tahun 2013 yakni sebesar 11,5%.4,5Angka ini menunjukan indonesia menjadi salah satu negara dengan laju pertumbuhan lansia tertinggi.6 Dalam perjalanannya, proses penuaan ditandai dengan berbagai macam perubahan bertahap yang terjadi pada seorang individu baik mental, sosial maupun fisik. Normalnya pada usia produktif, berbagai perubahan masih dapat diatasi dengan mekanisme adaptasi individu. Kurangnya mekanisme adaptasi pada lansia terhadap perubahan nantinya akan membawa individu tersebut pada kualitas hidup yang berbeda.7,8 Kualitas hidup yang dimaksud disini merupakan suatu gambaran atau model yang bertujuan untuk menggambarkan sudut pandang seseorang dengan berbagai macam istilah terhadap dimensi kehidupan. Sebagai pengertian, kualitas hidup yaitu persepsi individu terhadap kehidupannya di masyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan juga perhatian.9 Kualitas hidup tidak dapat didefinisikan secara pasti, hanya orang yang tersebut yang dapat merasakannya karena hal tersebut bersifat subjektif. Kualitas hidup yang baik atau tinggi diasosiasikan dengan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang baik diasosiasikan dengan kepuasan terhadap berbagai aspek multidimensional yang telah dijelaskan diatas menurut subjektivitas setiap individu. Aspek yang paling banyak berkaitan dengan kualitas hidup adalah kehidupan yang baik, kepuasan dalam
2 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
menjalani hidup dan kebahagiaan. Untuk mencapai ketiga aspek ini, diperlukan adaptasi para lansia sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. 10,11,12
Pada lansia, adanya perubahan kualitas hidup dewasa ini cenderung mengarah ke arah yang kurang baik. Hal iniberkaitan dengan perubahan lingkungan sosial ekonomi seperti berhenti bekerja karena pensiun, ketidakmampuan untuk tetap berkiprah dimasyarakat, kehilangan anggota keluarga yang dicintai dan teman, ketergantungan kebutuhan hidup dan adanya penurunan kondisi fisik yang disebabkan faktor usia. Hal ini menjadi suatu kendala dalam menentukan tingkat kesejahtraan lansia, karena selain adanya penurunan dalam pemenuhan kebutuhan, kebutuhan hidup tetaplah harus dipenuhiagar kesejahtraan hidup dapat dipenuhi. Kebutuhan hidup seperti makanan yang mengandung gizi yang seimbang, kebutuhan akan tempat berlindung, kebutuhan sandang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan aktualisasi diri (jasmani dan rohani) haruslah tetap terpenuhi agar dapat menjaga kualitas hidup mereka sehingga dapat mandiri.13 Mengingat perubahan kualitas hidup pada lansia tidaklah dapat dihindari, mekanisme adaptasi terhadap proses penuaan sangatlah diperlukan sehingga tetap dapat mempertahankan kualitas hidup mereka agar dapat terhindar dari timbulnya kesehatan di kemudian hari. Dalam menentukan tingkat kesejahtraan seseorang yang mencerminkan kualitas hidupnya, banyak faktor yang harus dijadikan fokus perhatian karena dalam menentukan kualitas hidup, tidaklah dapat berdiri sendiri berdasarkan suatu faktor penyebab tunggal. Faktor-faktor yang perlu dijadikan perhatian antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, status pekerjaan, penghasilan, dan adanya penyakit kronis pada lansia. Faktor ini merupakan faktor resiko dalam menentukan kualitas hidup lansia kedepannya karena perubahan atau gangguan dalam salah satu poin tersebut diatas dapat menurunkan kualitas hidup lansia. Sehingga dalam menilai kualitas hidup seseorang, diperlukan suatu instrumen yang mencakup bagaimana suatu kebutuhan dasar seseorang dapat dipenuhi. Instrumen yang dimaksud merupakan suatu alat yang dapat mengukur berdasarkan pengamatan
dari luar seseorang seperti standar hidup, pendapatan, pendidikan, umur individu tersebut, kesehatan dan yang paling penting yaitu bagaimana mengarahkan atau mengontrol jalan hidup dan masa depannya.8 Apapun Instrumen yang digunakan pada dasarnya tidaklah dapat menilai secara general bagaimana sesungguhnya kualitas hidup seseorang, Instrumen tersebut hanya dapat menilai secara objektif, sedangkan untuk menentukan kualitas hidup diperlukan penilaian secara subjektif dan objektif. Dari sisi subyektif, hal ini tidak dapat diukur karena berkaitan dengan respon mereka secara psikologis terhadap kebahagiaan dan kepuasan mereka. Jadi dimensi subjektif berkaitan dengan persepsi mereka terhadap kualitas hidupnya sendiri. Pendapat lain berkembang yang mana kualitas hidup dapat diukur dengan mempertimbangkan penilaian mereka akan tingkat kepuasan pada aspek kehidupan secara holistik seperti status sosial, fisik, lingkungan dan psikologis.7Salah satu instrumen yang sering digunakan yaitu kuesioner WHOQoLBREF. Kuesioner ini terdiri dari 7 buah pertanyaan yang mencakup rasa sakit dan ketidaknyamanan, kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta ketergantungan obat pada penyakit fisik yang diderita responden. Skor dari tiap pertanyaan kemudian dijumlahkan dan diklasifikasikan menjadi beberapa kategori kualitas hidup.7,9 Berdasarkan atas Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat kualitas hidup dengan berbagai faktor resiko yang dijumpaipada lansia di Desa Sanding dan Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, sehingga nantinya diharapkan dapat dijadikan tolak ukur bagi pusat pelayanan kesehatan primer sebagai langkah advokasi dalam usaha peningkatan program-program promotif dan preventif dalam menghadapi permasalahan lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I pada umumnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatifdengan pendekatan cross sectional.Penelitian ini dilaksanakan pada wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring Idi Desa Tampaksiring dan Desa Sanding, kecamatan Tampaksiring pada bulan April dan Mei 2015. Populasi penelitian yang dipakai adalah seluruh
3 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
lansia diatas 60 tahun yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I. Besar sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus kriteria sampel minimal menggunakan rumus n =
α (
)
dengan;
n : jumlah sampel yang diperlukan zα : deviat baku, digunakan 1,96 pada confidence interval 95% p : 63% yaitu proporsi lansia dengan kualitas hidup rendah pada penelitian Sangeeth, 2014.14 q : 1 – p, didapatkan 37% (0,37) d : deviasi yang diinginkan / bisa ditoleransi, digunakan 10% (0,1) Setelah didapatkan nilai n = 89 dilakukan koreksi sampel dengan rumus nK = dengan; nK: Sampel setelah dikoreksi n: sampel sebelum dikoreksi N: jumlah populasi yaitu 3079 orang.4 Sehingga jumlah sampel minimal yang diperlukan berjumlah 86 orang. Pada penelitian ini digunakan 90 orang sebagai sampel. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan sistem multistage random sampling. Pertama-tama dipilih 2 dari 3 desa yang terdapat di kecamatan Tampaksiring dengan cara mengundi nama-nama desa yang telah ditulis di secarik kertas. Setelah terpilih 2 desa secara undian (Desa Tampaksiring dan Desa Sanding), dipilih 2 banjar yang ada dari Desa Tampaksiring dan 1 banjar dari Desa Sanding. Setelah menetapkan banjar yang akan dijadikan tempat pengambilan data, dilakukan pencarian data mengenai jumlah lansia pada banjar tersebut sehingga didapatkan sampling frame yang nantinya akan dilanjutkan dengan pemilihan sampel secara acak menggunakan tabel random sampai jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi. Dari keseluruhan populasi (total population study) dipilih kembali yang memasuki kriteria inklusi. Kriteria inklusi sampel diantaranya; atau lebih,yang bertempat tinggal di Desa Tampaksiring dan Desa Sanding, Kecamatan Tampaksiring, dan bersedia menjadi subjek penelitiandan melakukan pengisian kuesioner. Subjek dalam penelitian dieksklusi jika subjek kesulitan atau tidak sanggup mengikuti penelitian (hambatan komunikasi, mengalami gangguan jiwa, retardasi mental, dan keadaan
lainnya yang menyebabkan kesulitan dalam memperoleh data) dan subjek bermigrasi keluar wilayah atau meninggal dunia. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan yaitu berupa kuesioner untuk mencatat karakteristik dasar sosiodemografi yang meliputi; umur, yang dikategorikan dalam kelompok umur 60-64 tahun, 65-69 tahun, dan ≥70 tahun. Jenis kelamin (laki-laki atau perempuan),tingkat pendidikan yang dikategorikan menjadi rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD), sedang (SMP-SMA), dan tinggi (PT). Status pernikahan, dikategorikan menjadi tidak menikah, duda atau janda, dan menikah (masih memiliki pasangan hidup) dan status pekerjaan yangdikategorikan menjadi bekerja dan tidak bekerja. Untuk mencatat karakteristik riwayat penyakit kronis pada responden, dikategorikan menjadi menderita 0-2 penyakit kronis dan >2 penyakit kronis. Penyakit kronis yang dimaksud yaitu penyakit yang telah didiagnosis oleh dokter dan telah diderita minimal selama tiga bulan. Untuk karakteristik penghasilan keluarga perbulan,dikategorikan menjadi dibawah UMK dan diatas UMK. UMK yang digunakan yaitu berdasarkan UMK kabupaten Gianyar tahun 2015 sebesar Rp.1.707.750,00. 15 Karakteristik kualitas hidup lanjut usia dinilai menggunakan kuesioner WHOQoL-BREFyang mencakup 7 pertanyaan yang berisi pertanyaan mengenai rasa sakit dan ketidaknyamanan, kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta ketergantungan obat pada penyakit fisik yang diderita responden. Setiap pertanyaan memiliki 5 pilihan jawaban dan pilihan jawaban tersebut memiliki skor 1-5. Skor dari tiap pertanyaan kemudian dijumlahkan dan diklasifikasikan menjadi beberapa kategori kualitas hidup. Kualitas hidup pada responden dikategorikan menjadi kualitas hidup sangat buruk jika skor 7-10, buruk jika jumlah skor11-17, kurang jika jumlah skor 18-24, baik jika jumlah skor, dan sangat baik jika jumlah skor 32-35.9 Pengumpulan data dilakukan dengan sistem tanya jawab dan pengisian kuesioner yang telah dipersiapkan. Sebelumnya, peneliti menanyakan responden mengenai kesediaannya dalam mengikuti penelitian ini dengan cara persetujuan secara lisan. Untuk satu responden kurang lebih memakan waktu sekitar 20 menit. Wawancara
4 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
difokuskan mengenai variabel yang akan diteliti pada responden dalam penelitian ini. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan bantuan perangkat lunak komputer (SPSS) untuk memuat distribusi frekuensi setiap variabel penelitian (analisis univariat) dan memuat tabulasi silang antara variabel kejadian depresi dengan tingkatan kualitas hidup para lansia yang diteliti. HASIL PENELITIAN Dari 90 orang lansia bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas I Tampaksiring yang ditelitimenggunakan kuesioner terstruktur, didapatkan karakteristik sosiodemografi sebagai berikut. Berdasarkan usia responden, didominasi oleh kelompok usia 70 tahun atau lebih yaitu sebesar 49%, diikuti oleh kelompok usia 60-64 Tabel 1. Karakteristik sosiodemografi responden Karakteristik Usia Jenis kelamin Tingkat pendidikan Status pernikahan
Status pekerjaan
tahun dan kelompok usia 65-69 tahun. Berdasarkan kategori jenis kelamin, didominasi oleh responden perempuan. Dimana perempuan sebanyak 60% dan laki-laki sebesar 40% dari total responden. Mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah yaitu sebanyak 95,6% disusul dengan pendidikan sedang sebanyak 4 orang (4,4%) dan tidak ada responden yang tergolong pada pendidikan tinggi. Berdasarkan status pernikahan, proporsi responden yang menikah ditemukan paling tinggi yaitu sebesar 63,3%, diikuti oleh duda/janda sebesar 32,2%, dan tidak menikah sebesar 4,4%. Ditinjau dari status pekerjaan saat ini sebanyak 63 orang (70%) responden berada pada status sudah tidak bekerja.
Frekuensi
%
60-64 tahun
22
24,4
65-69 tahun ≥70 tahun Laki-laki
19 49 36
21,1 54,4 40
Perempuan Rendah
54 86
60 95,6
Sedang Tinggi Tidak menikah
4 0 4
4,4 0 4,4
Menikah Duda/janda Bekerja
57 29 27
63,3 32,2 30,0
Tidak bekerja
63
70,0
Untuk memngetahui penghasilan keluarga perbulan pada responden, digunakan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebagai batas penghasilan, apakah dibawah UMK atau diatas UMK. UMK yang digunakan yaitu berdasarkan UMK kabupaten Gianyar tahun 2015. Berdasarkan hasil
wawancara, ditemukan lebih banyak responden yang berpenghasilan diatas Upah Minimum Kabupaten (UMK) yakni sebanyak 62,2%, sedangkan sisanya sebanyak 34 responden (37,8%) berpenghasilan dibawah UMK.
Tabel 2. Karakteristik penghasilan keluarga perbulan responden Penghasilan Frekuensi
Presentase
Dibawah UMK
34
37,8
Diatas UMK
56
62,2
5 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
Jumlah
90
100
Dalam menilai karakteristik riwayat penyakit kronis pada responden, digunakan riwayat penyakit kronis yang sudah diderita minimal selama 3 bulan dan telah didiagnosis oleh dokter. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan lebih
banyak responden yang hanya memiliki 0-2 jenis penyakit kronis yakni sebanyak 83 orang (92,2%), sedangkan sisanya yakni sebanyak 7 orang (7,8%) memiliki lebih dari dua jenis penyakit kronis.
Tabel 3. Karakteristik Penyakit Kronis Responden Penyakit Kronis Frekuensi
Presentase
0-2 Penyakit
83
92,2
>2 Penyakit
7
7,8
Jumlah
90
100
Berdasarkan hasil Kuesioner WHOQoL-BREF yang digunakan untuk menilai kualitas hidup responden berdasarkan skor kumulatif, lebih dari setengah responden yaitu 50 orang (55,6%) tergolong dalam kualitas hidup yang baik, sebanyak 28 orang
(31,1%) dengan kualitas hidup kurang, kualitas hidup buruk dan sangat baik memiliki persentase yang sama yaitu 6,7%, dan tidak ada dari responden yang memiliki kualitas hidup sangat buruk.
Tabel 4. Karakteristik kualitas hidup responden Kualitas Hidup Frekuensi Sangat Buruk 0
Presentase 0
Buruk
6
6,7
Kurang
28
31,1
Baik
50
55,6
Sangat Baik
6
6,7
Jumlah
90
100
Melalui keempat tabel diatas, dapat dibuat analisis bivariat dengan menggunakan tabulasi silang untuk menentukan hubungan kualitas hidup dengan karakteristik sosiodemografi, kualitas hidup dengan penghasilan keluarga perbulan dan kualitas dengan adanya riwayat penyakit kronis. Untuk menentukan distribusi antara kualitas hidup berdasarkan berbagai karakteristik sosiodemografi;
menurut umur, proporsi kualitas hidup sangat baik paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 60-64 orang, yaitu sebanyak 4 orang, kualitas hidup baik paling banyak ditemukan pada kelompok usia >70 tahun yakni sebanyak 25 orang, kualitas hidup kurang dan buruk paling banyak ditemukan pada kelompok usia >70 tahun sebanyak 18 dan 6 orang.
Tabel 5. Distribusi kualitas hidup berdasarkan usia Usia Intepretasi QOL B
K
B
Total SB
6 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
60-64
0 (0%)
5 (22,7%)
13 (59,1%)
4 (18,2%)
22 (100%)
65-69
0 (0%)
5 (26,3%)
12 (63,2%)
2 (10,5%)
19 (100%)
>70
6 (12,2 %)
18 (36,7%)
25 (51,0%)
0 (0%)
49 (100%)
Tabel diatas menunjukan terdapat kecenderungan penurunan kualitas hidup relatif seiring peningkatan usia. Berdasarkan antara distribusi jenis kelamin dengan kualitas hidup, didapatkan kualitas hidup sangat baik lebih banyak ditemukan pada responden perempuan sebanyak
4 orang, kualitas hidup baik juga cenderung dialami oleh perempuan sebanyak 36 responden, kualitas hidup kurang dan buruk lebih banyak dialami oleh responden pria yaitu berturut-turut sebanyak 16 orang dan 4 orang.
Tabel 6. Distribusi kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin JK Intepretasi QOL
Total
L
B 4 (11,1%)
K 16 (44,4%)
B 14 (38,9%)
SB 2 (5,6%)
36 (100%)
P
2 (3,7%)
12 (22,2%)
36 (66,7%)
4 (7,4%)
54 (100%)
Dari tabel diatas menunjukan terdapat kecenderungan untuk kualitas yang lebih baik pada perempuan dibanding laki-laki. Berdasarkan distribusitingkat pendidikan dengan kualitas hidup, didapatkan kualitas hidup sangat baik, kualitas hidup baik, kualitas hidup kurang dan kualitas
hidup buruk semuanya cenderung dialami oleh responden berpendidikan rendah yaitu sebanyak 6 orang (7%), 46 orang (53,5%), 28 orang (32,6%) dan 6 orang (7%). Akan tetapi terdapat 4 orang dengan pendidikan sedang dengan kualitas hidup baik (100%).
Tabel 7. Distribusi kualitas hidup berdasarkan tingkat pendidikan TP Intepretasi QOL
Total
Rendah
B 6 (7,0%)
K 28 (32,6%)
B 46 (53,5%)
SB 6 (7,0%)
86 (100%)
Sedang
0 (0%)
0 (0%)
4 (100%)
0 (0%)
4 (100%)
Tinggi
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (100%)
Dari tabel diatas menunjukan bahwa pendidikan sedang diasosiasikan dengan kualitas hidup yang baik, sedangkan pendidikan rendah memiliki kecenderungan dengan kejadian kualitas hidup yang kurang atau buruk. Berdasarkan distribusi antara status pernikahan dengan kualitas hidup, didapatkan proporsi kualitas hidup sangat baik paling tinggi ditemukan pada pasangan yang
telah menikah, yaitu sebanyak 5 (8,8%) responden. Kualitas hidup baik dan kurang juga didominasi oleh pasangan yang telah menikah yakni sebanyak 30 (52,6%) dan 20 (35,1%) orang responden. Untuk kualitas hidup buruk didominasi oleh responden dengan status duda atau janda, yaitu sebesar 4 (13,8%) responden.
Tabel 8. Distribusi kualitas hidup berdasarkan status pernikahan. SP Intepretasi QOL
Total
TM
B 0 (0%)
K 2 (50%)
B 2 (50%)
SB 0 (0%)
4 (100%)
M
2 (3,5%)
20 (35,1%)
30 (52,6%)
5 (8,8%)
57 (100%)
7 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
D/J
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
4 (13,8%)
6 (20,7%)
18 (62,1%)
Tabel diatas menyimpulkan bahwa responden dengan status menikah memiliki kecenderungan untuk kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang tidak menikah dan dengan status duda atau janda. Berdasarkan distribusi antara status pekerjaan dengan kualitas hidup, didapatkan responden dengan status masih bekerja memiliki kualitas hidup sangat baik
1 (3,4%)
sebanyak 3 responden (11,1%), baik sebanyak 18 responden (66,7%), kurang dan buruk sebanyak 5 (18,5%) dan 1 (3,7%) responden. Sedangkan untuk yang tidak bekerja, sebanyak 3 (4,8%) responden memiliki kualitas hidup sangat baik, 32 responden (50,8%) dengan kualitas hidup baik, 23 (36,5%) responden dengan kualitas hidup kurang dan 5 (7,9%) responden dengan kualitas hidup buruk.
Tabel 9. Distribusi kualitas hidup berdasarkan status kerja SP Intepretasi QOL Kerja Tidak Kerja
B 1 (3,7%) 5 (7,9%)
K 5 (18,5%) 23 (36,5%)
3 (8,8%) 3 (5,4%)
B
SB
13 (38,2%) 37 (66,1%)
3 (8,8%) 3 (5,4%)
34 (100%) 90 (100%)
83 responden dengan 0-2 penyakit kronis, 6 (7,2%) memiliki kualitas hidup sangat baik, 47 (56,6%) dengan kualitas hidup baik, 26 (31,3%) dengan kualitas hidup kurang dan hanya 4 (4,8%) dengan kualitas hidup buruk.
Tabel 11. Distribusi kualitas hidup berdasarkan penyakit kronis Penyakit Intepretasi QOL Kronis B K 4 (4,8%)
27 (100%) 63 (100%)
Total
15 (44,1%) 13 (23,2%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa presentase responden yang memiliki penghasilan diatas UMK cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Sedangkan yang terakhir untuk distribusi kualitas hidup berdasarkan riwayat penyakit kronis yang diderita, didapatkan bahwa
SB 3 (11,1%) 3 (4,8%)
didapatkanresponden dengan penghasilan diatas UMK sebanyak 56 orang dengan 3 (5,4%) responden dengan kualitas hidup sangat baik, 37 (66,1%) responden dengan kualitas hidup baik, 13 (23,2%) dengan kualitas hidup kurang dan 3 (5,4%) dengan kualitas hidup buruk.
Tabel 10. Distribusi kualitas hidup berdasarkan penghasilan Penghasilan Intepretasi QOL Perbulan B K
0-2
Total
B 18 (66,7%) 32 (50,8%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang tidak bekerja cenderung mengalami kualitas hidup kurang dan buruk yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang bekerja. Untuk distribusi kualitas hidup berdasarkan penghasilan keluarga perbulan,
Dibawah UMK Diatas UMK
90 (100%)
26 (31,3%)
Total B 47 (56,6%)
SB 6 (7,2%)
83 (100%)
>2 2 (28,6%) 2 (28,6%) 3 (42,9%) 0 (0%) 7 (100%) Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa PEMBAHASAN responden yang memiliki penyakit kronis 0-2 Penelitian ini membahas mengenai karakteristik cenderung lebih banyak yang memiliki kualitas sosiodemografi lansia yang mencakup usia, jenis hidup baik dan sangat baik. kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, dan status pekerjaan saat ini, penghasilan perbulan
8 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
dan riwayat penyakit kronis yang diderita oleh lansia yang dikaitkan dengan taraf kualitas hidup lansia. Dari sosiodemografi, didapatkanbahwa responden di wilayah kerja tampaksiring I memiliki rasio lansia berjenis kelamin perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria (60% berbanding 40%). Hasil yang diperoleh ini cenderung mendekati dengan data yang berada di populasi dimana perbandingan perempuan dan laki-laki yaitu 55% berbanding 45 %. Statistik di Indonesia pun menyatakan bahwa populasi lansia diatas 60 tahun didominasi oleh wanita karena berhubungan dengan usia harapan hidupnya yang lebih tinggi.16Dari segi usia, kategori responden dengan usia 70 tahun atau lebih merupakan kategori usia dengan jumlah terbanyak. Hal ini sesuai dengan rata-rata umur harapan hidup lansia di Indonesia tahun 2014 yang mendekati angka 72 tahun. Berdasarkan status pendidikannya, sebagian besar lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I berpendidikan rendah (tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, atau tamat SD) yaitu sebanyak 95,6%. Hal ini sesuai dengan data Susenas tahun 2012 yang memperlihatkan pendidikan penduduk lansia yang masih rendah karena persentase lansia tidak/belum pernah sekolah dan tidak tamat SD lebih dari separuh penduduk lansia di Indonesia.16 Hal ini sebagian besar disebabkan oleh lingkungan yang masih tergolong pedesaan dimana sarana maupun fasilitas masih tergolong kurang memadai. Hal ini dialami para responden ketika masih berusia sekolah sehingga tidak mendapat kemudahan dalam mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya. Dari status pernikahan didapatkan bahwa mayoritas lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring 1 masih berstatus menikah atau memiliki pasangan hidup (63,3%). Menurut susenas tahun 2012, sebagian besar lansia memang masih memiliki status menikah (57,81%), sedangkan sisanya berstatus duda atau janda (41,28%) dan tidak menikah (0,91%).17Distribusi memiliki pasangan hidup maupun tidak berdasarkan gender juga sesuai dengan literatur dimana mayoritas lansia berjenis kelamin laki-laki berstatus memiliki pasangan dan lansia perempuan berstatus janda.16Hal ini cenderung disebabkan oleh tingginya usia harapan hidup wanita dibandingkan dengan pria sehingga wanita cenderung sudah tidak memiliki pasangan
sehubungan dengan semakin tuanya usia. Pengelompokan pernikahan berdasarkan jenis kelamin tidak dibahas lebih lanjut pada penelitian ini. Berdasarkan status pekerjaan para lansia, didapatkan mayoritas lansia sudah tidak bekerja. Hal ini sesuai dengan survey nasional tahun 2011 dimana dimana sebanyak 54,6% lansia di Indonesia sudah berada pada status tidak bekerja. Dan sebanyak 45,41% sisanya masih dalam status bekerja.17Hal ini cenderung disebabkan oleh penurunan kemampuan fisik, mental dan sosial lansia sehingga tidak dapat beraktivitas secara penuh layaknya saat masih dalam usia produktif. Bantuan finansial yang diterima dari anak dan cucu juga menjadi faktor rendahnya status masih bekerja pada lansia karena kebutuhan hidup yang seharusnya mereka cari sudah tertutupi oleh upaya generasi penerus mereka. Untuk karakteristik penghasilan keluarga lansia perbulannya, didapatkan bahwa sebagian besar lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I memiliki penghasilan keluarga diatas UMK (63,8%) dan hanya sedikit lansia yang memiliki penghasilan keluarga dibawah UMK (37,8%). Melihat persentase penghasilan tersebut mengindikasikan bahwa kesejahtraan lansia dari segi pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan sudah cukup baik. Hal ini cenderung sesuai dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang mencapai 27,73 juta orang (10,96% dari populasi).18 Berdasarkan karakteristik adanya penyakit kronis pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I, hampir sebagian besar responden (92,2%) hanya memiliki 0-2 jenis penyakit kronis yang telah terdiagnosis oleh dokter. Hanya sedikit dari para lansia tersebut yang menderita lebih dari 2 penyakit kronis. Adanya penyakit kronis pada populasi lansia ini sesuai dengan teori dimana seiring dengan pertambahan usia, ketahanan tubuh semakin melemah sehingga rentan mengalami sakit.13Cenderung banyaknya para lansia dalam penelitian yang hanya memiliki 0-2 penyakit dapat disebabkan oleh karena masih banyaknya responden yang belum memeriksakan diri sehingga belum terdeteksi maupun sudah meningkatnya status kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring 1 sehingga angka kesakitan cenderung menurun.
9 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
Untuk hasil wawancara mengenai karakteristik kualitas hidup responden, didapatkan sebagian besar responden sudah mengalami kualitas hidup yang baik (55,6%). Kualitas hidup merupakan sebuah aspek yang dipengaruhi berbagai hal seperti fisik, mental, lingkungan, maupun hubungan sosial. Temuan bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas hidup yang baik dapat disebabkan oleh budaya masyarakat pedesaan di Bali yang tinggal bersama dan gotong royong dalam melaksanakan kegiatan bermasyarakat, seperti yang terlihat pada sebagian besar rumah penduduk di wilayah kerja puskesmas Tampaksiring I. Hubungan sosial masyarakat yang baik membantu meningkatkan interaksi lansia satu sama lain dan dapat meringankan beban-beban pada domain kualitas hidup lainnya. Sehingga kesulitan fisik maupun psikososial yang dapat menyebabkan turunnya kualitas hidup dapat diperbaiki dengan baiknya kualitas hidup seseorang apabila hubungan sosial dan lingkungannya yang membantu. Meninjau hasil hubungan bivariat dengan tabulasi silang untuk menentukan hubungan kualitas hidup dengan karakteristik sosiodemografi, kualitas hidup dengan penghasilan keluarga perbulan dan kualitas hidup dengan adanya riwayat penyakit kronis, menurut karakteristik sosiodemografi, didapatkan semakin tua seseorang, berkaitan dengan semakin menurun kualitas hidupnya. Hal ini berhubungan dengan penurunan kemampuan fisik, sosial dan mental lansia sehingga semakin tua mereka, semakin cenderung tidak dapat melakukan berbagai macam hal yang berperan dalam pemenuhan maupun yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan semakin menurunkan kualitas hidup lansia sehingga akan semakin meningkatkan angka morbiditas lansia. Hasil dari penelitian ini menunjukan sebanyak 18 (36,7%) responden dengan kualitas hidup kurang dan 6 (12,2) responden dengan kualitas hidup buruk berada pada kelompok usia >70 tahun. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dibandingkan kelompok umur lainnya (60-64 dan 65-69). Hal ini sinergis dengan teori yang menyatakan semkin tua usia seseorang, akan cenderung mangalami penurunan dalam kualitas hidup mereka.13
Menurut jenis kelamin, hal ini juga diasosiasilan dengan suatu faktor resiko perburukan kualitas hidup pada lansia. Dari penelitian ini didapatkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, kualitas hidup yang lebih baik cenderung dialami oleh responden perempuan, yaitu sebanyak 36 responden berbanding 14 responden dengan kualitas hidup baik pada pria. Sedangkan kualitas hidup kurang dan buruk cenderung dialami oleh responden pria, yaitu berturut-turut sebanyak 16 orang dan 4 orang. Angka ini cenderung lebih tinggi dibanding responden perempuan yakni 12 (44,4%) untuk kualitas hidup kurang dan hanya 2 (3,7%) dengan kualitas hidup buruk. Hal ini tidak sesuai dengan teori,dimana pada teori perempuan cenderung memiliki kualitas hidup kurang dibanding pria.19 Walaupun menurun teori secara statistik tidaklah signifikan, perbedaan hasil pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang sosial dan budaya, dimana di Bali menganut sistem paternalisme yaitu laki-laki berperan sebagai kepala keluarga. Hal ini dapat menyebabkan beban yang ditanggung oleh laki-laki menjadi lebih berat ditambah sudah semakin menurunnya kemampuan fisik dan mental lansia sehingga cenderung mengarahkan ke kualitas hidup yang kurang baik (Fatima, 2010). Menurut tingkat pendidikan, didapatkan responden dengan pendidikan rendah terdapat dalam semua kategori kualitas hidup, namun sebanyak 4 (100%) responden dengan pendidikan sedang, semuanya memiliki kualitas hidup baik. Pada penelitian ini tidak ditemukan responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan teori dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ia akan cenderung memiliki kualitas hidup yang baik. Menurut status pernikahan, hal ini merupakan salah satu faktor yang menentukan outcome kualitas hidup kedepannya. Pernikahan berhubungan dengan rasa berbagi dan kasih sayang yang dibutuhkan oleh lansia, rasa saling membantu baik dalam perihal fisik maupun mental sehingga jika terdapat permasalahan dalam status pernikahan, sangatlah berperan dalam menentukan kualitas hidup seorang lansia. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa proporsi kualitas hidup sangat baik ditemukan pada pasangan yang telah menikah yaitu sebanyak 5 (8,8%) responden berbanding duda atau janda sebanyak 1 (3,4%)
10 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
responden dan tidak ditemukan pada responden yang tidak menikah. Hal ini sejalan dengan teori dimana status tidak menikah atau perceraian berhubungan resiko hidup sendiri, dimana hidup sendiri merupakan faktor resiko penurunan dalam kualitas hidup.20 Dalam kaitan dengan status pekerjaan, kualitas hidup yang buruk atau kurang dikaitkan dengan responden yang tidak bekerja. Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 23 (36,5%) lansia dengan kualitas hidup kurang dan 5 (7,9%) lansia dengan kualitas hidup buruk dengan status tidak memiliki pekerjaan. Angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan hanya 6 orang dengan kualitas hidup kurang atau buruk dengan status masih bekerja. Hal ini sesuai dengan teori yang mana bekerja atau memiliki aktivitas tetap merupakan salah satu bentuk perilaku hidup aktif. Hal ini berkaitan dengan penghasilan dan sering dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang cukup hal ini berkaitan dengan meningkatkan taraf kualitas hidupnya dan meningkatkan interaksi sosialnya. Kurangnya prilaku hidup aktif akan cenderung mendorong rasa jenuh dan bosan sehingga dapat menurunkan kualitas hidup lansia kelak.20,21,22 Penghasilan keluarga perbulan merupakan salah satu faktor resiko dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Hal ini berkaitan dengan semakin sulitnya memenuhi kebutuhan dasar atau tambahan seseorang jika penghasilan keluarga responden berada dibawah standar garis penghasilan. Berdasarkan hasil penelitian, responden yang memiliki kualitas hidup baik dan sangat baikcenderung berasal dari keluarga yang memiliki penghasilan di atas UMK. Terhitung sebanyak 37 (66,1%) responden dengan kualitas hidup baik dan 3 (5,4%) responden dengan kualitas hidup sangat baik memiliki penghasilan diatas UMK. Hasil ini terhitung lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpenghasilan dibawah UMK, yaitu hanya 16 orang untuk kualitas hidup baik dan sangat baik. Hal ini sejalan dengan teori dimana semakin tingginya penghasilan diasosiasikan dengan taraf hidup yang lebih baik. Dengan penghasilan yang cukup, maka lansia cenderung tidak terbebani dalam masalah ekonomi dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.8,20 Terakhir dilihat dari sisi adanya riwayat penyakit kronis. Adanya berbagai penyakit kronis
seperti jantung, metabolik, keganasan maupun suatu keadaan multipatologi dan polifarmasi sangat berkaitan dengan rendahnya kualitas hidup lansia. Pada penelitian ini didapatkan bahwa responden dengan 0-2 penyakit kronis cenderung memiliki kualitas hidup baik (56,6%) dan sangat baik (7,2%) lebih banyak dibandingkan dengan responden dengan >2 penyakit kronis untuk kualitas hidup baik (42,9%) dan sangat baik (0%). Hal ini sejalan dengan teori dimana keberadaan suatu penyakit atau penggunaan obat secara berkala pada lansia dapat menurunkan kebebasan dan kenyamanan dalam menjalani hidup sehingga berkaitan dengan menurunnya kualitas hidup.20,21 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik simpulan bahwa berbagai faktor resiko baik sosiodemografi, penghasilan keluarga dan adanya penyakit kronis memiliki andil yang besar dalam menentukan kualitas hidup seorang lansia. Perburukan pada kualitas hidup lansia berhubungan dengan usia yang semakin tua, gender laki-laki, pendidikan rendah, tidak menikah atau bercerai, tidak bekerja, penghasilan keluarga dibawah UMK dan adanya lebih dari 2 penyakit kronis. Saran yang bisa diberikan adalah perlunya memberi perhatian lebih bagi para lansia, terutama yang memiliki faktor resiko diatas dengan cara secara aktif melaksanakan programprogram promotif dan preventif.Pengadaan penilaian kualitas hidup secara rutin bagi para lansia juga diperlukan sehingga kualitas hidup dapat dimonitorberkala agar dapat menentukan upaya pencegahan yang diperlukan untuk mencegah morbiditas bagi para lansia. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Batasan Lanjut Usia. USA. 1989 2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Triple burden ancam ansia. 2013. Available at: http://www.depkes.go.id/article/view/1310000 8/triple-burden-ancam-lansia.html. Akses 17 April 2015. 3. BPS Provinsi Bali, “Statistik Daerah Provinsi Bali Tahun 2012. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2013.
11 http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
4. Profil Unit Pelayanan Terpadu Kesehatan Masyarakat Tampaksiring I (2014). 5. Profil Unit Pelayanan Terpadu Kesehatan Masyarakat Tampaksiring I (2013). 6. Martono, H. Gerakan Nasional Pemberdayaan Lanjut Usia. Jakarta: Gemari. 2008. 7. Netuveli G; Blane D. Quality of life in older ages. Br Med Bull; 85:113-126. 2008. 8. Gureje, Oye et al. Determinants of quality of life of elderly Nigerians. 2010. 9. World Health Organization Quality of Life. Measuring Quality of Life. 1997. Available at: http://www.who.int/mental_health/media/68. pdf. Akses 18 April 2015 10. Farquahar, M. Definitions of Quality of Life: a Taxonomy. 1995. Available at: http://www.readcube.com/articles/10.1046%2 Fj.1365-2648.1995.22030502.x. Akses 18 April 2015 11. Cella D, Quality of Life in: Holland J (ed) Psychooncology. Oxford University Press, New York, pp:1135-1146. 1998. 12. Ventegodt S., et al. Quality of Life Theory 1. The IQOL Theory: An Integrative Theory of the Global Quality of Life Concept. 2003. Avaialable at: http://downloads.hindawi.com/journals/tswj/2 003/325251.pdf Akses: 17 April 2015 13. Suhartini, Ratna. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Orang Lanjut Usia. 2004. Available at: http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartini unairbab1.pdf. Akses 16 April 2015
14. Sangeeth, Sam. Quality of Life Among Elderly in Non-Institusional Care. International Journal of Science and Research, Chennai, pp:1462-1467. 2015. 15. Gianyarkab.go.id. UMK tahun 2015 akhirnya disepakati. 2014. Available at: http://www.gianyarkab.go.id/index.php/bacaberita/4702/UMK-Tahun-2015-1khirnyaDisepakati 16. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan RI, Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia, Semester 1, hal: 1-32. 2013. 17. Survei Angkatan Kerja Nasional, 2011. 18. BPS-Statistics Indonesia.“Statistik Kemiskinan Indonesia September Tahun 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2014. 19. Orfila, Francesc et al. Gender differences in health-related quality of life among the elderly: The Role of objective functional capacity and chronic conditions. Institut Municipal d'Investigacio Medica, Barcelona, 2006;63(9): 2367-2380. 2006. 20. Fatima Colet, C. et al. Educational level, socioeconomic status and relationship with quality of life in elderly residents of the city of Porto Alegre/RS, Brazil. Brazilian Journal of Pharmaceutical Science, Porto Alegre, pp:805810. 2010. 21. Xavier, Flavio M F et al. Elderly people’s definition of quality of life. Rev Bras Psiquiatr. 2003;25(1):31-39. 2003. 22. Sedarmayanti. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Jakarta: Mandar Maju. 2001
12 http://intisarisainsmedis.weebly.com/