HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN KEJADIAN ABORTUS DIRUMAH SAKIT UMUM BETHESDA SARIBU DOLOK TAHUN 2013
MASRIATI PANJAITAN
ABSTRAK Abortus merupakan pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) dengan berat berat badab janin <500 gram dan kehamilan kurang dari 20 minggu bisa berakibat fatal terhadap ibu misalnya perdarahan, infeksi, syok dan payah ginjal akut. Ada beberapa factor predisposisipenyebab terjadinya abortus adalah yaitu faktor umur dan paritas. Pada umur 35 tahun, kelainannkromosom /trisomi akan meningkatkan sehingga resiko abortus semakin tinggi. Ibu dengan paritas lebih dari 4 orang dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janindan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim sudah lemah sehingga lebih tinggi. Selain beberapa factor diatas, penyakit ibu sepertipneumonia, typus abdominals, pieloneritis, malaria dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan studi cross sectional.penelitian ini akan dilaksanakan bulan juli tahun 2013 dengan jumlah populasiseluruh ibu yang mengalami abortus di rumah sakit Bethesda saribu dolok.tehnik pengambilan sampel dan jumlah sampel menggunakantotal sampling.dari hasil penelitian menunjukkn adanya hubungan antara umur, paritas, riwayatpenyakit dngan kejadian abortus dimana umur p = 0,015 (p < 0,05), paritas p = 0,013 (p<0,05), riwayat penyakit p = 0,031 (p<0,05) oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa umur, paritas, riwayat penyakit ibu berhubungan dengan kejadian abortus. Untuk itu diharapkan kepada ibu agar melakukan antenatal care untuk mencegah terjadinya abortus. Kata Kunci :Karakteristik Ibu, Abortus
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang abortus merupakan pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) dengan berat badan janin < 500 gram atau kehamilan kurang dari 20 minggu bisa berakibat fatal terhadap ibu misalnya perdarahan, perforasi, infeksi, syok dan payah ginjal akut (hanifa, 2005). Menurut organisasi kesehata dunia WHO ( world health organization ) persentase terjadinya abortus sangat tinggi. Sekitar 15-40% angka kejadian diketahui pda ibu yang sudah dinyatakan positif hamil, dan 60-75% angka abortus inkompletus terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu ( lestariningsih, 2008) Dizimbabwe, afrika dilaporkan bahwa sekitar 28% seluruh kematian ibu berhubungan dengan abortus sementara di Tanzania dan adis ababa masing-masing sebesar 21% dan 54%. Hal ini diperkirakan merupakan merupakan bagian kecil dari kejadian sebenarnya, sebagai akibat ketidak terjangkauan pelayaan kedoktern modern yang ditandai oleh kesenjangan informasi. Frekuensi terjadinya abortus bertambah dari 12% pada wanita yag berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26% pada wanita 35 tahun. Survey ini dilakukan debeberapa kota khususnya di RSUD dr Prigadi jumlah kasus abortus tercatt 270 kasus di RSUD dr Prigadi pada golongan umur mereka yang mengalami abortus inkompletus 34% berusia 30-36 tahun. 51% berusia 20-29 tahun dan sisanya 15% berusia dibawah 20 tahun. Hal ii disebabkan karena terjadinya perdarahan.Selain itu, banyak diantara mereka menikah di usia muda, kehamilan yang tidak diinginkkan,
serta pendidikan, status ekonomi, umur dan paritas (Edison, 2009). 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada Hubungan antara Karakteristik Ibu dengan Kejadian Abortus di RSU. Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013 ? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan karakteristik ibu dengan kejadian abortus di RSU. Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui hubungan umur ibu dengan kejadian abortus di RSU. Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013. 2. Untuk mengetahui hubungan paritas ibu dengan kejadian abortus di RSU. Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013. 3. Untuk mengetahui hubungan penyakit ibu dengan kejadian abortus di RSU. Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013. 1.4 Manfaat Penelitian 1.
2.
Bagi RS.Bethesda Penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi tentang hubungan karakterisik ibu dengan kejadian abortus Bagi institusi Penelitian ini dapat berguna sebagai bahan informasi dan tambahan
wacana yang terus dikembangkan mengenai abortus. Lebih lanjut penulis mengharapkan agar hasil penelitian ini dijadikan dasar bagi rekan-rekan mahasiswa untuk melakukan penelitian lebih lanjut. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Abortus 2.1.1. Defenisi Abortus Abortus adalah pengeluaranhasil pembuahan (konsepsi) dengan berat baran janin <500 gram atau kehamilan kurang dari 20 minggu. Insiden 15% dari semua kehamilan yang diketahui (Naylor, 2005). 2.1.2. Etiologi Abortus Abortus yang terjadi pada mingguminggu pertama kehamilan umumnya disebabkan oleh factor ovofetal, pada minggu-minggu berikutnya (11-12 minggu), abortus yang terjadi disebabkan oleh factor maternal (sayidum, 2005). Factor ovofetal : Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan bahwa pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi malinformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang kejadian abortus adalah kelainan chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti adanya kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan adekua. Factor maternal: Penyebab abortus inkompletus bervariasi, penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Factor genetik. Sebagian besar abortus spontan, termasuk abortus inkompletus
disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh dai abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Insiden trisomi meningkat dangan bertambahnya usia. Resiko ibu terkena aneuploidi adalah 1: 80%, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan menigkat setelah 35 tahun. 2. Kelainan congenital ukterus Defek anatomic uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetric. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan dengan riwayat abortus, dimana ditemukan anomaly uterus pada 27% pasien. Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomic uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau didelfis atau unikornius (10-30%). 3. Penyebab infeksi Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika deforest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap resoko abortus, diantaranya sebagai berikut. a. Adanya metabolic toksik, endotoksin eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unitbfetoplasenta.
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit bertahan hidup c. Insfeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin d. Infeksi kronis endrometrium dari penyebaran kuman genitalia bahwa yang bisa menganggu proses implantasi 4. Factor hematologic Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan efek plesentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian tulpalla dan kawan-kawan menunjukan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 8-11 minggu. Hiperhomosisteinemi, bisa congenital ataupun akuisita juga berhubungan dengan thrombosis dan penyakit vascular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang. 5. Factor lingkungan Diperkirakaan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsure toksik, antara lain nikotin yang ditelah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan
janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada system sirkulasi fetolasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus. 6. Factor hormonal Ovulasi, implantasi, serta kehamilan bergantung pada koordinasi yang baik system pengaturan hormone maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap system hormone secara keseluruhan,fase luteal, dan gambaran hormone setelah konsepsi terutama kadar progesterone. Perempuan diabetes denagn kadar hba1c tinggi pada trimester pertama, risiko abortus menigkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan control glukosa tidak adekuat punya peluang 2-3 kali lipat mengalami abortus 2.1.3. Mekanisme abortus Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan sbdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontrasi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau
di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi. 2.1.4. Tahapan abortus Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut : 1. Abortus imniens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. 2. Abortus insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. 3. Abortus inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. 4. Abortus kompletus adalah seluruh sil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 5. Missed abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
6. Abortus habitualis iaah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau berturut-turut. 7. Abortus infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. 8. Abortus teraupetik adalah abortus dengan induksi medis (prawirohardjo, 2009). 2.2. Penanganan Tahap pertama : Tujuan dari penanganantahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke tingkat syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang lebih baik. Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil), tindakan tahap ke dua umumnya akan berjalan dengan baik pula. Tahap kedua : Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap ke dua meliputi menegakkan diagnosis dan timdakan menghentikan perdaraan yang mengancam jiwa ibu. Tindakan menghentikan perdarahan ini dilakukan berdasarkan etiologinya. 2.3.Factor yang mempengharui abortus 2.3.1. Umur Abortus lebih sering terjadi pada wanita berusia 30 tahun dan lebih meningkat pada usia diatas 35. Umur adalah lamanya waktu hidup atau sejak dilahirkan sampai saat ini. Dalam reproduksi sehat dikenal bahwa usia yang aman selama
kehamilan adalah 20-35 tahun. Jadi wanita yang lebih muda dan tua mempunyai kemungkinan untuk terjadi abortus (berson dan pernol, 2008). 2.3.2. Paritas Optimalisasi ibu maupun janin pada kehamilan yang dihadapi. Menurut poetji rochyati (2006), paritas yang menyebabkan beresiko yaitu primipara muda dan tua. Paritas yang menyebabkan kehamilan yang beresiko yaitu pada primigravida tua dan grandmultipara kondisi endometrium sudah tidak baik karena berkurangnya sebagian serabut elatis disebabkan proses kedua, kehamilan yang mengakibatkan kondisi myometrium serta tonus rahim menjadi berkuang, ini akibat sering terpakainya rahim terus menerus selama kehamilan keadaan yang demikian dapat menyebabkan komplikas yang tidak diinginkan dalam kehamilan. Pada abortus inkompletus frekuensinya meningkat bersamaan dengan meningkatnya paritas 6% pada kehamilan pertama dan kedua, angka ini menigkat menjadi 16 % pada kehamilan ketiga dan seterusnya. Risiko abortus semangkintinggi dengan bertambahnya paritas ibu (SPMPOGI,2006).
2.3.3. Riwayat penyakit Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi : pneumonia, tifoid, pielitis, rubeola, demam malta dan sebagainya. Berdasarkan factor ibu yang paling sering menyebabkan abortus adalah infeksi. Sesuai dengan keluhan yang biasa ibu alami kemungkinan penyebab terjadinya abotus adalah infeksi pada alat genital. Tapi bisa saja juga dipengharui oleh factorfaktor yang lain. Infeksi vagina pada kehamilan sangat berhubungan dengan terjadinya abortus ata partus sebelum waktunya.
2.4.Kerangka konsep Variable variable dependen
independen
Karekteristik ibu 1. Umur 2. Paritas 3. Riwayat penyakit
Abortus
Hipotesis penelitian 1. Ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian abortus di RS. Bethesda Saribu Dolok 2. Ada hubungan antara paritas ibu dengan kejadian abortus di RS. Bethesda Saribu Dolok 3. Ada hubungan antara riwayat penyakit ibu dengan kejadian abortus di RS. Bethesda Saribu Dolok
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan studi cross sectional yang bertujuan menjelaskan hubungan karekteristik ibu dengan kejadian abortus di RS. Bethesda Saribu Dolok tahun 2013. 3.2. Waktu Penelitian Penelitaian in dilaksanakan mulai November 2012 sampai dengan bulan juli tahun 2013. Penelitian ini dilakukan di RS. Bethesda Saribu Dolok tahun 2013. 3.3.Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien abortus sebanyak 80 orang di RS. Bethesda Saribu Dolok tahun 2013. 3.3.2. Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti, jadi sampel dalam penelitian ini diambil total sampling yaitu mengambil sampel langsung dari dokumen atau rekam medic yang ada di rumah sakit. 3.4.Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian data sekunder yang diperoleh dari dokumen atau rekam medic yang ada dirumah sakit.
3.5.
Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Variabel Independ en Umur
Paritas
Riwayat penyakit
Variabel Depende n Abortus
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat
Skala
Umur ibu yang mengalami abortus yang tercatat di rekam medik sampai penelitian selesai Jumlah persalinan yang pernah dialami ibu yang tercatat dalam berkas rekam medis pasien
Check Daftar nominal list check list Check Daftar nominal list check list
Penyakit yang pernah diderita ibu yang tercatat dalam berkas rekam medis pasien,seperti pneumonia, thypus abdominalis, pieloneritis, malaria, dll.
Check Daftar ordinal list check list
pengeluaran hasil pembuahan Check Daftar Ordinal (konsepsi) dengan berat badan janin < list check 500 gram atau kehamilan kurang dari 20 list minggu yang merupakan hasil diagnosa dokter dalam berkas rekam medis
Kategor i
1.<20 2.20-35 3. >35 1.Primi para 2.Gran demulti para 3.Multi para 1.Ada 2.Tidak ada
1.Ya 2.Tidak
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Hasil Penelitian
4.1.1. Analisa Univariat 4.1.1.1. Karakteristik Responden Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur,Paritas, Riwayat Penyakit Di Rumah Sakit Umum Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013
No
Karakteristik
Frekuensi (F)
Persentase (%)
1
Umur < 20 Tahun 20-35 Tahun >30 Tahun
15 33 32
18,7 41,3 40,0
2
3
Total Paritas Primipara Grandemultipara Multipara Total Riwayat Penyakit Ada Tidak Ada Total
Table 4.4 Distribusi Frekuensi Responden benrdasarkan Status Gizi Bayi (0-12 bulan) di Puskesmas Batang Beruh Kecamatan Sidikalang Tahun 2013
1 2
Satus Gizi Bayi (0-12 bulan) Sesuai Tidak sesuai Total
100
31 33 16 80
38,7 41,3 20,0 100
35 45
43,7 56,3
80
4.1.4. Status Gizi Bayi (0-12 bulan)
No
80
Frekuensi
%
18 21 39
46,2 53,8 100
100
4.1.5. Hubungan Pengetahuan Dengan Status Gizi Bayi (0-12 bulan) Table 4.5 Hubungan Pengetahuan Dengan Status Gizi Bayi (0-12 bulan) di Puskesmas Batang Beruh Kecamatan Sidikalang Tahun 2013 N o
1
Pengeta huan
Baik
Status Gizi Bayi (0-12 bulan) Sesuai Tidak Sesuai N % n % 1 28 3 7,
Total
n 1
% 35
P Val ue
0,0
2
Kurang baik Total
1 7 1 8
,3 17 ,9 46 ,2
1 8 2 1
7 46 ,1 53 ,8
4 2 5 3 9
,9 64 ,1 10 0
07
Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value sebesar 0,007 yang artinya ada hubungan pengetahuan dengan status gizi bayi (0-12 bulan). 4.1.6. Hubungan Sikap Dengan Status Gizi Bayi (0-12 bulan) Tabel 4.6 Hubungan Sikap Dengan Status Gizi Bayi (0-12 bulan) di Puskesmas Batang Beruh Kecamatan Sidikalang Tahun 2013 N Sikap o
1
Baik
2 Kurang baik Total
Status Gizi Bayi (0-12 bulan) Sesuai Tidak Sesuai n % n % 1 33, 6 15, 3 4 3 5 12, 1 38, 8 5 5 1 46, 2 53, 8 2 1 8
Total
n 1 9 2 0 3 9
% 48, 7 51, 3 10 0
P Val ue
0,01 7
Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value sebesar 0,017 yang artinya ada hubungan sikap dengan status gizi bayi (0-12 bulan). 4.2. Pembahasan 4.2.1. Hubungan Pengetahuan Dengan Status Gizi Bayi (0-12 bulan) Pengetahuan responden tentang asupan gizi bayi (0-12 bulan) yang kurang baik ini dapat dilihat dari hasil jawaban kuesioner
responden, dimana responden masih kurang mengerti tentang makanan bayi pada usia 0-6 bulan adalah hanya ASI saja tanpa makanan tambahan, pemberian makanan pendamping ASI seperti bubur, ikan, sayur, buah dan susu formula dapat diberikan pada bayi usia diatas 6 bulan, pemberian/makanan tambahan pada pada bayi usia 6-7 bulan seperti buah lunak, bubur tepung beras merah adalah sebanyak 1-2 kali/hari, makanan pendamping ASI siberikan sebelum bayi berusia 6 bulan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan, kenaikan berat badan bayi usia 4-6 bulan adalah sekitar 700-1000 gram/bulan, adalah sekitar 350-450 gram/bulan dan lingkar kepala bayi akan bertambah sebesar ±0,5 cm/bulan. Menurut Wiryo (2007), gizi merupakan salah satu factor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Terdapat kaitan yang sangat erat antara status gizi dengan konsumsi makanan. tingkat status gizi yang optimal akan tercapai apabila kebutuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) terpenuhi. Untuk mencapai status gizi, di dalam Global Strategi For Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu pertama memberikan Air Susu Ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya Air Susu Ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara Eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan. Dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai
anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI, 2006). Jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif menurut Kabupaten/kota propinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 adalah 71.622 bayi dari 271.349 jumlah bayi (Profil Dinkes Kab/Kota Tahun 2007). Sedangkan untuk Kota Medan, jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif hanya 427 bayi dari 14.054 jumlah bayi (Profil Dinkes Kota Medan Tahun 2008). Pencapaian program pemberian ASI eksklusif di propinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 sebesar 36,72%. Hasil ini masih dibawah target nasional yaitu sebesar 80% (Dinkes Propinsi Sumatera Utara, 2009). Sedangkan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif kota Medan pada tahun 2009 adalah sebesar 1,32%, masih sangat rendah disbanding pencapaian Propinsi Sumatera Utara maupun pencapaian Nasional. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pengetahuan responden mayoritas kurang sebanyak 25 orang (64,1%) responden. Menurut asumsi peneliti kurang pengetahuan responden tentang asupan gizi ini dipengaruhi oleh berbagai factor. Dari hasil peneliti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden mayoritas SMP. Dengan tingkat pendidikan SMP ini maka wawasan dan pengetahuan responden tentang asupan gizi sangat kurang. Pendidikan sebagai salah satu sarana untuk memperoleh informasi yang tidak hanya berfokus untuk ilmu sains atau ilmu social melainkan juga untuk memperoleh informasi-informasi tentang kesehatan khususnya asupan gizi bayi. Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mencari informasi-informasi sesuai yang ia butuhkan saat ini. Contohnya, seseorang yang latar belakang pendidikannya tinggi dan sedang hamil akan cenderung mencari
informasi yang terkait asupan gizi yang baik untuk janinnya dan juga untuk dirinya sendiri. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi juga, maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi yang disampaikan baik itu dari pendidikan formal, media massa ataupun dari orang lain. Hal ini didukung oleh teori Notoadmodjo (2007) yang mengatakan bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. Pekerjaan sangat mempengaruhi kurang baiknya pengetahuan responden. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan gizi bayi mayoritas tidak sesuai sebanyak 21 orang (53,8%). Pengetahuan yang kurang baiknya ini mempengaruhi tindakan responden dalam memberikan asupan gizi pada bayinya. Asupan gizi yang tidak sesuai ini selain dipengaruhi oleh fakktor pengetahuan responden yang kurang, jumlah paritas (jumlah bayi yang dilahirkan) juga mempengaruhi. Diketahui bahwa mayoritas responden memiliki jumlah paritas > 2 orang sebanyak 26 orang (66,7%). Jumlah paritas > 2 orang ini dapat mempengaruhi kemampuan responden untuk mencukupi kebutuhan gizi bayinya. Semakin banyak jumlah anak maka biaya kebutuhan juga akan semakin tinggi sehingga untuk pemenuhan kebutuhan gizi anak pun tidak terlalu diprioritas. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh pekerjaan responden. Pekerjaan responden yang mayoritas petani bisa dikatakan pendapatan mereka masih kurang sehingga dengan penghasilan yang pas-pasan tidak mampu untuk mencukupi pemenuhan kebutuhangizi bayi. Menurut Apriadji (2007) faktor gizi eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh di luar diri seseorang, yaitu daya beli keluarga, latar belakang social budaya,
tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi, jumlah anggota keluarga dan kebersihan lingkungan. Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value sebesar 0,007 yang artinya ada hubungan pengetahuan dengan status gizi bayi (0-12 bulan). Penelitian ini didukung oleh penelitian Laura (2007) tentang hubungan pengetahuan dan sikap ibu menyusui tentang asupan gizi dengan status gizi bayi (0-12 bulan) di Kampung Solor Kota Kupang yang menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan tentang asupan gizi dengan status gizi bayi (0-12 bulan) dengan nilai p 0,029. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pengetahuan responden tentang asupan gizi mayoritas kurang sebanyak (64,05%). 4.2.2. Hubungan Sikap Dengan Status Gizi Bayi (0-12 bulan) Berdasarkan table 4.6 di atas dapat dilihat bahwa dari 19 orang (48,7%) responden dengan sikap baik terdapat 13 orang (33,4%) responden memiliki status gizi bayi (0-12 bulan) yang sesuai dan 6 orang (15,3%) responden memiliki status gizi bayi (-12 bulan) yang tidak sesuai. Dari 20 orang (51,3%) responden dengan sikap kurang baik terdapat 5 orang (12,8%) responden memiliki status gizi bayi (012 bulan) yang sesuai dan 15 orang (38,5%) responden memiliki status gizi bayi (0-12 bulan) yang tidak sesuai. Sikap responden tentang asupan gizi bayi (0-12 bulan) yang kurang baik ini dapat dilihat dari hasil jawaban kuesioner responden, dimana responden masih kurang setuju tentang pemberian ASI saja pada usi 0-6 bulan, menyusui bayi sebaiknya dilakukan setiap 3 jam dengan alasan lambung bayi akan kosong dalam waktu 3 jam sehabis menyusui, bayi pada usia
6-12 bulan bayi dapat mengkonsumsi nasi sebanyak ½ piring, penimbangan berat badan bayi dapat dilakukan oleh ibu sebelum atau sehabis memandikan bayi, dan bayi yang menginjak usia 10-12 bulan harus makan 4-5 kali sehari. ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, berikanlah ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan (ASI Eksklusif). Kontak fisik dan hisapan bayi akan merangsang produksi ASI terutama 30 menit pertama setelah lahir. Pada periode ini ASI saja sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi (Depkes, 2007). Risiko pemberian makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan berbahaya karena pemberian makanan yang terlalu dini dapat menimbulkan solute load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality, kenaikan berat badan yang terlalu cepat dapat menyebabkan obesitas, alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan yang diberikan pada bayi. Bayi yang mendapat zatzat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan pada ginjal bayi yang belum matang, dapat makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna atau zat pengawet yang membahayakan dalam penyediaan dan penyimpanan makanan (Pudjiadi, 2008). Sikap merukan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus soisal. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Berdasarkan hasil penelitian sikap responden tentang asupan gizi
mayoritas kurang baik sebanyak 20 orang
(51,3%) responden.
4.2.2.2. Kejadian Abortus Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Abortus pada ibu Di Rumah Sakit Umum Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013 No 1 2
Kejadian Abortus Abortus Tidak Abortus Total
Frekuensi (F) 44 36 80
Persentase (P) 55.0 45.0 100
4.2.2. Analisa Bivariat 4.2.2.2. Hubungan Umur Dengan Kejadian Abortus Tabel 4.3 Hubungan Umur Dengan Kejadian Abortus Di Rumah Sakit Umum Bethesda Saribu Dolok Tahun 2013
NO
1 2 3
Kejadian Jumlah Umur Abortus Tidak Abortus F % F % F % < 20 9 11,3 6 7,5 15 18,8 20-35 12 15,0 21 26,2 33 41,2 >35 23 28,7 9 11,3 32 40,0 Total 44 55 36 45 80 100 Dari hasil uji Chi-square nilai probabilitas (p) = 0,015 dimana p < 0,05
P
0,015
4.2.2.2. Hubungan Dengan Paritas Dengan Kejadian Abortus Tabel 4.4 Hubungan Paritas Dengan Kejadian Abortus Di Rumah Sakit Umum Bethesda Saribu dolok Tahun 2013 NO
Kejadian Jumlah Abortus Tidak Abortus F % F % F % Primipara 17 21,3 14 17,5 31 38,8 Grandemultipara 23 28,7 10 12,5 33 41,2 Multipara 4 5,0 12 15,0 16 20,0 Total 44 55 36 45 80 100 Dari hasil uji Chi-square nilai probabilitas (p) = 0,013 dimana p < 0,05.
P
Paritas
1 2 3
0,01 3
4.2.2.3. Hubungan Riwayat Penyakit Dengan Kejadian Abortus Tabel 4.5 Hubungan Riwayat Penyakit Dengan Kejadian Abortus Di Rumah Sakit Umum Bethesda Saribu dolok Tahun 2013 NO Riwayat Penyakit 1
2
Ada
Tidak Ada
Total
Kejadian Abortus Tidak Abortus F % F % 24 30 11 13, 7 5 20 25 25 31, 2 5 44 55 36 45
Jumlah F 5 5 4 5
P
% 43, 75 56; 25
0,03 1
8 10 0 0 Dari hasil uji Chi-square nilai probabilitas (p) = 0,031 dimana p < 0,05.
4.3
Pembahasan
4.3.1. Hubungan Umur Ibu Dengan Kejadian Abortus Dari hasil penelitian antara umur ibu dengan kejadian abortus dari 80 responden dapat diketahui bahwa dari umur < 20 tahun dari 15 responden (18,8%) yang mengalami abortus sebanyak 9 responden (11,3%) dan sebanyak 6 responden (7,5%) tidak mengalami abortus, umur 20-35 Tahun dari 33 responden (41,2%) yang mengalami abortus sebanyak 12 responden (15,0%) dan 21 responden (26,2%) tidak mengalami abortus sedangkan umur > 35 Tahun dari 32 responden (40,0%) yang mengalami abortus sebanyak 23 responden (28,7%) dan sebanyak 9 responden (11,3%) tidak mengalami abortus. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 15 responden (18,8%) umur <20 tahun mayoritas mengalami abortus sebanyak 9 responden
(11,3%) dan 33 responden (41,3%) umur 20-35 tahun mayoritas tidak mengalami abortus sebanyak 21 responden (26,2%), sedangkan 32 responden (40,0%) umur >35 tahun mayoritas mengalami abortus sebanyak 23 responden (28,7%). Dari hasil uji Chi-square nilai probabilitas (p) = 0,015 dimana p < 0,05. Menurut Husna (2010) bahwa reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan abortus inkompletus bisa terjadi pada usia masih muda karena alat reproduksi belum matang dan belum siap hamil. Menurut Cunningham (2005) bahwa frekuensi abortus bertambah dari 12% pada wanita 20 tahun, menjadi 26% pada wanita berusia diatas 50 tahun. 4.3.2. Hubungan Paritas Ibu Dengan Kejadian Abortus Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 31 responden (38,8%) primipara mayoritas mengalami
abortus sebanyak 17 responden (21,5%), dan 33 responden (41,2%) grandemultipara mayoritas mengalami abortus sebanyak 23 responden (28,7%), sedangkan 16 responden (20,0%) multipara mayoritas tidak mengalami abortus sebanyak 12 responden (15,0%). Dari hasil uji Chi-square nilai probabilitas (p) = 0,013 dimana p < 0,05. Menurut Poetji Rochyati (2006), paritas yang menyebabkan berisiko yaitu primipara muda dan primipara tua. Paritas yang menyebabkan kehamilan yang beresiko yaitu pada primigravida tua dan grandemultipara kondisi endometrium sudah tidak baik karena berkurangnya sebagian serabut elastis disebabkan proses kedua, kehamilan yang sering mengakibatkan kondisi myometrium serta tonus rahim menjadi berkurang, ini akibat sering terpakainya rahim terus menerus selama kehamilan keadaan yang demikian dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan dalam kehamilan. Pada abortus frekuensinya meningkat bersamaan dengan meningkatnya paritas 6%. Pada kehamilan pertama dan kedua, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ke tiga dan seterusnya. Risiko abortus semakin tinggi dengan bertambahnya paritas ibu.
rubeola, demam malta dan sebagaiannya dapat menyebabkan abortus. Selain itu kemungkinan penyebab terjadinya abortus adalah infeksi pada alat genital. Tapi bisa saja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain. Infeksi vagina pada kehamilan sangat berhubugan dengan terjadinya abortus atau partus sebelum waktunya. Sebanyak 2% perstiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit sistemik maternal ( systemic lupus erythematosus) dan infeksi sistemik maternal tertentu lainnya. 8% peristiwa abortus berkaitan dengan abnormalitas uterus (kelainan uterus kongenital, mioma uteri submukosa, inkompetensia serviks). Dari uraian diatas menunjukan penyebab abortus termasuk riwayat penyakit ibu sukar ditentukan karena abortus buatan banyak dilakukan sehingga terjadi abortus. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Allen dan Corner tahun 2007 dengan hasil uji chi – squre menunjukan bahwa ada hubungan antara riwayat penyakit ibu dengan kejadian abortus, yang mempublikasikan tentang proses fisiologis korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah atau riwayat penyakit ibu berhubungan dengan resiko abortus.
4.3.3. Hubungan Riwayat Penyakit Ibu Dengan Kejadian Abortus Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 55 responden (43,75%) mayoritas mengalami abortus sebanyak 24 responden (30%) dengan riwayat penyakit, sedangkan 45 responden (56,25%) mayoritas tidak mengalami abortus sebanyak 25 responden (31,25%) tidak ada riwayat penyakit. Dari hasil uji Chi-square nilai probabilitas (p) = 0,031 dimana p < 0,05. Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi : pneumonia, tifoid, pielitis,
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Ada hubungan umur ibu dengan kejadian abortus di Rumah Sakit Bethesda Saribu Dolok dengan nilai P=0,015. 1. Ada hubungan paitas ibu dengan kejadian abortus di Rumah Sakit Bethesda Saribu Dolok dengan nilai P=0,013 2. Ada hubungan riwayat penyakit ibu dengan kejadian abortus di di Rumah
Sakit Bethesda Saribu Dolok dengan nilai P=0,031 5.2 Saran 1. Kepada pihak Rumah Sakit agar dapat mningkatkan promosi, konseling dan penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang penting pemeriksaan kehamilan terutama pada awal kehamilan sebagai deteksi dini ibu hamil beresiko tinggi dan tanda bahya kehailan dalam usaha menurunkan angka kejadian abortus. 2. Diharapkan kepada petugas kesehatan Rumah Sakit Bethesda agar lebih menigkatkan pelaksanaan Ante Natal Care (pemeriksaan kehamilan) untuk mendeteksi faktor risiko yang berpengaruh kepada kesehatan ibu dan janin sedini mungkin sehingga dapat menurunkan kejadian abortus. DAFTAR PUSTAKA
Arif.2009.http://spesialis-torch.com.pdf. Faktor Abortus Inkompletus. Cunningham dkk,2005. Abortus, Obstetri Williams,EGC, Jakarta (edisi 20). Dinkes SU,2007.http://bascommetro.blogspot.com.h tml.Aki dan Akb tahun 2007. Hanafi,200. Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
Hastono, S.P, 2010 . Statistik Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers Edison, 2009. Hubungan faktor ibu dengan abortus inkompletus tahun 2009. Skripsi. IKM Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Lestariningsih,2008. http://abortus.co.id. Abortus menurut WHO Manuaba,I,B,G.2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Naylor,S,C.2005. Obstetri Ginekologi: Referensi Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta. Notoatmodjo, S.2005. Metodologi Penelitian Kesehatan . PT Rineka Cipta. Jakarta. Prawirohardjo, S.2009. Ilmu Kebidanan . Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Rukiyah,S.SiT.2011. Asuhan Kebidanan IV.CV.Trans Info Media, Jakarta. Saifuddin Bari Abdul, 2008. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka, Jakarta. Sayidun, R, 2005. http://medic.webs88.com. Berita Kedokteran Indikasi tindakan abortus di Indonesia.