Modul ke:
Hubungan Industrial UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja
Fakultas
Psikologi
Program Studi
Psikologi
www.mercubuana.ac.id
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Daftar Pustaka • • • •
• • •
•
Agusmidah, Sejarah Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.pdf. UU Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh I Dewa Rai Astawa, “Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri,” (Tesis magister Universitas Diponegoro, Semarang, 2006). www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada Senin, 21 Maret 2016. Hasanuddin, Huzaimah, dkk., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru bekerjasama UIN Jakarta Press, 2004. Hamong Santoso dan Indi Djastuti, Partisipasi Pekerja dalam Serikat Pekerja, Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Diponegoro, Volume 12, Nomor 2, Desember 2011. Agusmidah dkk, Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Denpasar: Pustaka Larasan, Jakarta: Universitas Indonesia; Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012.
Sub Bahasan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sejarah hukum perburuhan di Indonesia Hukum perundangan tentang perburuhan Telaah uu ketenagakerjaan Sejarah uu serikat pekerja/serikat buruh Hukum perundangan tentang serikat pekerja Telaah uu serikat pekerja/serikat buruh.
A. Sejarah Hukum Perburuhan •
Hukum perburuhan yang ada pada masa itu adalah hukum perburuhan asli Indonesia, yaitu hukum perburuhan adat dan hukum perburuhan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hukum perburuhan adat sebagaimana hukum adat bidang-bidang lain, merupakan hukum tidak tertulis. Hukum perburuhan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagian besar merupakan hukum tertulis.
I Dewa Rai Astawa (2006)
•
Hukum perburuhan adat yang karena bentuknya tidak tertulis, maka perkembangannya sulit diuraikan dengan penandaan tahun atau bulan. Pada kenyataannya pada masa sebelum Pemerintah Hindia Belanda, sudah ada orang yang memiliki budak. Kenyataan ini memberikan indicator kepada kta, bahwa ada orang yang memberikan pekerjaan, memimpin pekerjaan, meminta pekerja dan ada orang yang melakukan pekerjaan.
•
Meskipun secara hukum, budak bukan merupakan subyek hukum, melainkan obyek hukum, namun faktanya budak melakukan sesuatu (pekerjaan) sebagaimana layaknya subyek hukum. Budak mempunyai kewajiban melakukan pekerjaan sesuai dengan perintah pemilik budak. Pemilik budak mempunyai hak untuk menerima pekerjaan, mengatur pekerjaan dan lain sebagainya.
• Abdul Rachmad Budiono (1999) dalam I Dewa Rai Astawa (2006), peraturan perundang-undangan yang ada, dari jaman Hindia Belanda sampai era reformasi sekarang ini sebenarnya sudah menyiapkan perangkat hukum yang mengatur mengenai kemungkinan menuju kehidupan ketenagakerjaan yang serasi dan seimbang, yaitu :
1. Undang-undang pada zaman Hindia Belanda •
• • • •
Pada abad ke-19 Pemerintah Hindia Belanda mulai ikut campur dalam mengatur masalah budak, meskipun dalam hal yang terbatas, misalnya : Peraturan tentang pendaftaran budak (1819); Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak (1820); Peraturan tentang larangan mengangkat budak yang masih anakanak (1892), dan beberapa peraturan lainnya; Pada tahun 1954, perbudakan dinyatakan dilarang;
•
Regeringsreglement Pasal 115 sampai dengan Pasal 117 yang kemudian menjadi Pasal 169 sampai dengan Pasal 171 Indische Staatsregeling dengan tegas menetapkan bahwa paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia (Hindia Belanda) harus dihapuskan.
•
Selama dalam proses penghapusan perbudakan tersebut, oleh Pemerintah Hindia Belanda juga dikeluarkan beberapa peraturan mengenai perbudakan, baik peraturan yang khusus mengatur tentang masalah perburuhan maupun peraturan bidang lain, tetapi di dalamnya terdapat tentang perburuhan, misalnya Koeli ordonanties.
• Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 (Staatblad 1847 nomor 13) dan dengan Staatblad 1879 nomor 256 yang mulai berlaku 21 Agustus 1879, Pasal 1601 sampai dengan 1603 (lama) Burgerlijk Wetboek diberlakukan terhadap golongan bukan Eropa;
Pada awal abad ke-20 dikeluarkan peraturan-peraturan yang pada dasarnya mencontoh peraturan-peraturan yang berlaku di negeri Belanda, misalnya : • Veiligheids Reglement • Reglement Stoomketels; • Mijnwetgeving; • Peraturan tentang pembatasn kerja anak-anak dan wanita di waktu malam (Staatblad 1925 nomor 647); • Peraturan tentang ganti kerugian bagi buruh yang mendapat kecelakaan (Ongevallen Regeling tahun 1939); • Peraturan tentang ganti kerugian bagi pelaut yang mendapat kecelakaan (Schepen Ongevallenregelin tahun 1940); • Peraturan yang membatasi tenaga kerja asing (Crisis Ordonantie Vreendelingenarbeid Staatsblad tahun 1935 nomor 426 juncto Staatsblad tahun 1940 nomor 573); • Peraturan mengenai pengawasan khusus terhadap hubungan-hubungan hukum antara majikan dengan buruh (hubungan kerja), yaitu Bijzondertoezicht op de rechtsverhoudingan tussen wergevers en aebeiders, Staatsblad tahun 1940 nomor 569, yang berlaku surut mulai 10 Mei 1940. • Undang-undang Gangguan Tahun 1927.
2. Undang-undang Dasar 1945, yaitu : • Pasal 27 ayat (2), yang berbunyi : Tiap-tiap warga negara behak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
• Pasal 33 : • Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; • Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; • Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
• • • • • • • •
Undang-undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan; Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial; Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri; Konvensi I.L.O No. 120 Mengenai Higene Dalam Perniagaan dan KantorKantor; Peraturan perundang-undangan lainnya yang meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization).
Sumber-Sumber Hukum • Lebih lanjut, pada dasarnya sumber hukum itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
•
Sumber hukum materiil, yaitu perasaan hukum atau keyakinan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi dari hukum. Keyakinan hukum individu adalah keyakinan mengenai patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk undang-undang atau para pembentuk hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan pendapat umum adalah pendapat masyarakat mengenai hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan diakui sebagai aturan atau petunjuk hidup yang berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Sumber hukum materiil ini dapat ditinjau dari berbagai sudut, misalnya : • • • •
Sumber hukum dalam arti sejarah; Sumber hukum dalam arti sosiologi; Sumber hukum dalam arti ekonomi; dan Sumber hukum dalam arti filsafat dan lain sebagainya.
•
Sementara itu, sumber hukum formil adalah tempat dimana dapat diketemukan peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum positif itu timbul, dengan tidak mempersoalkan asal-usul isi dari peraturan hukum itu.
Adapun yang termasuk sumber hukum formil antara lain adalah sebagai berikut : • • • • •
Undang-undang (Statute); Kebiasaan (Costum); Keputusan-keputusan Hakim (Yurisprudensi); Traktat; dan Pandapat Sarjana Hukum (Doktrin).
B. Hukum Perundangan Perburuhan •
NEH van Esveld sebagaimana dikutip Iman Soepomo (1985) dalam I Dewa Rai Astawa (2006) menegaskan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Dengan definisi seperti ini berarti yang dimaksudkan dengan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) tidak saja hukum yang bersangkutan dengan hukum kerja. Melainkan juga hukum yang bersangkutan dengan pekerjaan di luar hubungan kerja. Misalnya seorang dokter yang mengobati pasiennya, seorang pengacara (advokat) yang membela kliennya, atau seorang pelukis yang menerima pesanan lukisan.
•
Sementara itu Molenaar menegaskan bahwa hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.
•
Soetiksno (1977) dalam I Dewa Rai Astawa (2006), salah seorang ahli hukum Indonesia, memberikan definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) sebagai berikut : “Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah keseluruhan peraturanperaturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja tersebut”.
•
Iman Soepomo (1985) yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai guru besar hukum perburuhan (ketenagakerjaan) Fakultas Hukum Universitas Indonesia memberikan definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) sebagai berikut : “Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah”.
C. Telaah UU Ketenagakerjaan •
Setelah penulis membahas sejarah hukum perburuhan (ketenagakerjaan) di Indonesia sebelum kedatangan Belanda di bumi nusantara (Indonesia) sampai dengan era reformasi sekarang ini berupa pemberlakuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta beberapa peraturan pendukung lainnya seperti (Perpres, Kepres, dan Peraturan Menteri terkait).
•
Menurut Penulis, selama belasan tahun dari keberadaan UU Ketenagakerjaan di Indonesia bukanlah perjalanan dari suatu peraturan yang bukan tanpa hambatan dari perbedabatan pro dan kontra dalam penerapannya sebagai salah satu produk perundangundangan di antara tiga elemen penting didalamnya yaitu kaum pekerja/buruh, majikan/pengusaha dan pemerintah. Setidaknya ada 15 (lima belas) permohonan uji materi yang diajukan beragam kalangan kepada Mahkamah Konstitusi sepanjang tahun 2003 (masa pemberlakuannya) sampai dengan tahun 2016.
D. Sejarah UU Serikat Pekerja •
Pembahasan mengenai perkembangan hubungan industrial merupakan determinasi perkembangan gerakan buruh/gerakan karyawan. Gerakan ini baru mendapatkan perhatian yang serius dari pihak manajemen, ketika gerakan karyawan dilakukan secara organisatoris, bukan perorangan. Sehingga meskipun permasalahan yang dikemukakan sama, tetapi apabila yang melakukan gerakan hanya bersifat individu, tidak dianggap sebagai gerakan buruh
• Menurut The Encyclopedia of Social Science dalam Suprihanto (1992) dalam Sri Haryani (2002) gerakan buruh merupakan seluruh aktifitas para penerima upah untuk memperbaiki kondisi kerja dan kehidupan mereka. Gerakan buruh/pekerja ini menjadi benih lahirnya organisasi pekerja atau serikat pekerja.
•
Masalah ketenagakerjaan yang ada di tingkat perusahaan itu di antaranya adalah persoalan buruh atau pekerja. Persoalan buruh sering dikaitkan dengan tingkat kemiskinan, sehingga pekerja di Indonesia identik dengan upah dan daya beli yang rendah, jam kerja yang panjang, dan tidak memadainya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
•
Pemahasan tentang pekerja dan permasalahannya tersebut tidak akan terlepas dengan peran dan fungsi dari serikat pekerja. Gerakan serikat pekerja yang ada di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, dimana gerakan ini dimulai sejak abad XIX (1879). Hal ini ditandai dengan lahirnya NIOG (Netherland Onder Wepen Genoottschaft) sebagai serikat pekerja pertama yang mengorganisir guru-guru di sekolah Belanda (Uwiyono, 2000) dalam Hamong Santoso dan Indi Djastuti (2011).
•
Pembentukan serikat pekerja di kalangan pekerja Belanda ini telah mendorong terbentuknya serikat pekerja di kalangan pekerja Indonesia. Pada tahun 1908 VSTP (Verenening Van Spoor en Trem Personeel) serikat pekerja dari kalangan pekerja Indonesia terbentuk (Uwiyono, 2000). Setelah Indonesia merdeka perkembanggan serikat pekerja di Indonesia berkembang dengan sangat cepat dan banyak partai politik yang membentuk serikat pekerja dengan tujuan untuk memperkuat posisinya dalam masyarakat. Antara lain Nahdatul Ulama (NU) membentuk SARBUMUSI, kemudian Partai Nasional Indonesia (PNI) membentuk KBM, Partai Komunis Indonesia (PKI) membentuk SOBSI.
•
Pada masa Orde Baru, pekerja telah ditata sedemikian rupa oleh pemerintah sebagai akibat hubungan yang kompleks antara pertimbanganpertimbangan ekonomi dan politik. Artikan kebijakan perburuhan di masa Orde Baru tidak semata-mata dibentuk oleh tuntutan agenda ekonomi pada waktu itu.
•
Pertimbangan-pertimbangan politik pun turut berperan dalam kebijakan tersebut, khususnya mencegak kembali elemen-elemen radikal dalam gerakan buruh dan secara lebih umum untuk membatasi ruang gerak tiap organisasi yang bersifat massal. Hal itu akhirnya berpengaruh juga terhadap gerakan serikat pekerja dimana mereka telah diarahkan untuk mendemobilisasi buruh sebagai kekuatan sosial politik (Hadiz, 1990) dalam Hamong Santoso dan Indi Djastuti (2011).
• Kondisi ini menyebabkan partisipasi pekerja di dalam serikat pekerja sangat rendah, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerja telah di tata sedemikian rupa sehingga pekerja harus menerima segala perlakuan dari perusahaan.
•
Munculnya keanekaragaman serikat pekerja pada era reformasi ini dimulai dengan pecahnya FSPSI menjadi dua yaitu FSPSI (yang lama) dan FSPSI Reformasi (yang baru) serta munculnya berbagai macam serikat pekerja. Setidaknya pada tahun 2000 tercatat ada 20 serikat pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja yaitu, SARBUMUSI, KBM, GASBUNDO, FSBDI, PPMI, FOKUBA, FSPSI, FSPSI Reformasi, SBSI, FSPMI, GASPERMINDO, SP Independent, ASPEK Indonesia, ASOKADIKTA, KPNI, KBKI, GSBI, KORPRI, SBMSK, dan PSP BUMN (Uwiyono, 2000).
•
Perubahan yang terjadi sekarang ini adalah, untuk mempertahankan eksistensinya serikat pekerja tidak lagi bisa bergantung pada pemerintah, sehingga penggalangan kekuatan internal organisasi serikat pekerja merupakan satu-satunya jaminan. Hal ini merupakan tantangan bagi serikat pekerja untuk merekrut anggota sebanyak-banyaknya dan meningkatkan partisipasi anggotanya.
•
Menghadapi situasi seperti diatas, maka untuk menyelesaikan permasalahannya karyawan merasa lebih kuat apabila mereka tergabung dalam organisasi (pekerja/buruh). Selain itu, permasalahan-permasalahan akan lebih teroganisir dengan baik.
E. Hukum Perundangan Serikat Pekerja •
Menurut Simamora (1997) dalam Hamong Santoso dan Indi Djastuti (2011), secara garis besar partisipasi pekerja di dalam serikat pekerja terbentuk karena dua alasan, yang pertama adalah alasan ideologis dan yang kedua adalah alasan-alasan yang bersifat pragmatis seperti ketidakpuasan terhadap manajemen.
•
Menurut Wheleer dan McClenden (1991) dalam Hamong Santoso dan Indi Djastuti (2011), ada tiga faktor penting untuk menjelaskan mengapa pekerja berpartisipasi di dalam serikat pekerja yaitu: ketidakpuasan terhadap manajemen, manfaat yang diperoleh (utilitarian), dan kepercayaan politik atau ideologi.
•
Menurut Simamora (1997) dalam Hamong Santoso dan Indi Djastuti (2011), serikat pekerja muncul akibat adanya industrialisasi. Pada masa praindustrialisasi kebanyakan pekerja adalah pekerja mandiri yang bekerja di rumah dan tanahnya sendiri. Industrialisasi telah menyebabkan melemahnya sistem kemandirian ini dan mengakibatkan banyak pekerja tergantung pada pemilik bengkel, pabrik, atau perusahaan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Industrialisasi juga memisahkan fungsi-fungsi manajemen dan tanaga kerja.
•
Keberadaan serikat pekerja meskipun secara hukum merupakan hal yang legal bagi setiap pekerja, namun sering kurang mendapatkan tanggapan positif dari pihak manajemen. Hal ini disebabkan karena pihak manajemen tidak ingin ada campur tangan pihak lain yang memaksakan kehendak sehingga tidak sesuai dengan garis kebijaksanaan manajemen.
•
Jika merujuk pada UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh maka setidaknya ada 3 (tiga) perundangan yang menjadi rujukan dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, hal tersebut sebagai berikut :
•
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah dibuah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
•
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050);
•
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
F. Telaah UU Serikat Pekerja •
Menurut Restaria F. Hutabarat (2012), UU No. 21 Tahun 2000 tidak merumuskan secara jelas pengertian kebebasan berserikat, namun menentukan tindakantindakan yang dianggap melanggar kebebasan berserikat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 yaitu menghalang-halangi atau memaksa buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara PHK, skorsingg, demosi, tidak membayar atau pengurangi upah, intimidasi dan kampanye anti serikat. Secara hukum, tindakan anti serikat dalam Pasal ini harus memenuhi unsur yang ditentukan secara limitatid.
•
Namun para pihak dapat menggunakan protokol untuk menjustifikasi pemenuhan unsur. Misalnya bahwa PHK dan skorsing dilakukan sebagai upaya anti serikat sebagaimana telah disepakati di dalam protokol. Penerapan kebebasan berserikat dalam UU No. 21 Tahun 2000 lebih menekankan pada administrasi serikat yang ditentukan syaratnya oleh undang-undang, seperti syarat pendirian dan pembubaran. Sedikit mengenai pembebastugasan dalam Pasal 29.
• Protokal sendiri mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan di dalam protokol ditegaskan bahwa ketentuan dalam protokol berlaku bersamaan dengan PKB, Code of Conduct dan Peraturan Perundang-udangan.
• Sehingga jelas bahwa Protokol bukan merupakan PKB sebagaimana dimaksud dalam UU No. 13/2003, karena PKB sendiri disebutkan dalam Protokol. Selain itu, PKB memiliki cara pembentukan dan bentuk yang spesifik diatur dalam undang-undang.
• PKB memiliki cara pembentukan dan bentuk yang spesifik diatur dalam undang-undang. Namun dalam doktrin hukum perburuhan, diakui bahwa sumber hukum perburuhan bukan hanya berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat negara (heteronom), tetapi juga perjanjian yang dibuat oleh para pihak (otonom).
• Sumber hukum otonom ini berbentuk perjanjian. Sedangkan syarat sah nya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, para pihak cakap secara hukum, adanya hal atau objek tertentu yang diperjanjikan dan sebab yang halal. Sehingga Protokol mengikat secara hukum bagi para pihak.
Terima Kasih Rizky Dwi Pradana, M.Si