HUBUNGAN IKLAN PRODUK KECANTIKAN DI TELEVISI DENGAN ORIENTASI TUBUH WANITA BEKERJA (Studi di Kelurahan Menteng, Kota Bogor dan Desa Cihideung Udik, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
LIDIA ASTUTI I34050954
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRAK Fast along itstechnological growth and information, media placed by as one of factor with the biggest influence in image forming in society. One media form rendering big portion in the case of image forming in society is advertisement. One other most is intensively carried by media advertisement is hit the picture ofis beauty of and picture of woman beauty. Television for example nya, have identified the woman image of through/ passing advertisement of beauty product. The advertisement always present the woman in the form of which diafirmasikan as ideal form. ideal woman buttonhole as an slender woman figure have, beautiful foot/feet to, thigh, waist, and slim hip, big enough bosom and white husk smoothly. Motivation from outside party ever also its important image hypodermic is appearance captivate, beautiful, fascinating, sensual, and so that seeing young at woman. This matter affect to girls which start to look into vitally of aspect of outward appearance and start conduct the evaluation at its body. Is hence formed by a body orientation which different each other in every woman Keyword : Advertisement, Ideal Body of Woman, Orient Body.
RINGKASAN LIDIA ASTUTI. Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja (Di bawah bimbingan Dr. Ir. Siti Amanah M,Sc). Seiring
pesatnya
perkembangan
teknologi
dan
informasi,
media
ditempatkan sebagai salah satu faktor dengan pengaruh terbesar dalam pembentukan pencitraan di masyarakat. Satu bentuk media yang menyumbangkan porsi besar dalam hal pembentukan pencitraan dalam masyarakat adalah iklan. Salah satu yang paling gencar diusung oleh iklan-iklan media adalah mengenai gambaran keindahan dan gambaran kecantikan wanita. Televisi sebagai contohnya, telah mengidentifikasikan pencitraan wanita melalui iklan produkproduk kecantikan. Iklan-iklan tersebut selalu menampilkan wanita dalam bentuk yang diafirmasikan sebagai bentuk yang ideal. Tubuh-tubuh ideal biasanya ditampilkan
dalam
majalah,
film,
telvisi,
dan
dunia periklanan
yang
menggambarkan atau menyajikan sosok perempuan ideal sebagai suatu figur perempuan langsing, berkaki indah, paha, pinggang, dan pinggul ramping, payudara cukup besar dan kulit putih mulus. Dorongan dari pihak luar senantiasa juga menginjeksikan citra pentingnya penampilan memikat, cantik, mempesona, sensual, dan agar tampak muda pada wanita. Hal ini berdampak kepada para wanita yang mulai memandang amat penting aspek-aspek penampilan luar, seperti kegandrungan akan aerobik, kebugaran, operasi plastik, facial treatment, fitness menjadi suatu kebiasaan baru bagi kehidupan mereka. Tidak jarang, efek dari pemakaian yang tidak sesuai menimbulkan bermacam-macam masalah fisik maupun psikologis pada wanita itu sendiri. Ketidakpuasan terhadap tubuh yang besar menyebabkan makin kuatnya keinginan para perempuan untuk melakukan segala cara demi memperbaiki penampilan fisiknya. Sebagian wanita yang sudah bekerja di bidang industri maupun jasa umumnya dituntut lebih memperhatikan penampilan dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Tuntutan akan syarat-syarat tertentu didalam dunia kerja mewajibkan wanita berpenampilan menarik dan memiliki kriteria tertentu. Oleh
karena itu pada wanita bekerja dituntut lebih mementingkan aspek-aspek fisik dibandingkan aspek lainnya. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan di Kelurahan Menteng Kota Bogor dan Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling, dengan jumlah responden 60 orang yang terdiri 30 wanita bekerja wilayah perkotaan dan 30 wanita bekerja wilayah pedesaan. Data kemudian dianalisis secara deskriptif, menggunakan software SPSS versi 16.0. Hasil penelitian mengungkap bahwa terdapat perbedaan karakteristik individu (usia, tingkat pendidikan formal, gaya hidup, aktifitas pekerjaan, dan tingkat pendapatan) wanita bekerja wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan. Perbedaan ini dikarenakan karena perbedaan akan kondisi geografisnya dimana kawasan perkotaan merupakan kawasan industri sedangkan wilayah pedesaan cenderung kawasan pertanian, selain itu perbedaan tingkat pendidikan formal dimana wanita bekerja di pedesaan kebanyakan hanya lulusan Sekolah Dasar dan wanita bekerja perkotaan kebanyakan Lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir. Perbedaan aktifitas dalam bekerja juga berbeda secara signifikan antara wanita bekerja wilayah perkotaan dan pedesaan, dimana wanita bekerja perkotaan bergerak dibidang industri dan jasa sedangkan wanita pedesaan dibidang pertanian sehingga tingkat pendapatan yang mereka perolehpun berbeda dan berbeda pula gaya hidup untuk kecantikan. Terdapat pula perbedaan antara karakteristik Individu (usia, tingkat pendidikan formal, gaya hidup, aktifitas pekerjaan, dan tingkat pendapatan) dengan orientasi tubuh wanita bekerja, Karakteristik Lingkungan sosial (lingkungan keluarga, lingkungan kerja, dan penilaian kelompok sosial) dengan orientasi tubuh wanita bekerja, dan Iklan produk kecantikan di televisi (model wanita dan subtansi iklan, frekuensi dan durasi) terhadap orientasi tubuh wanita. Karakteristik individu, lingkungan sosial dan Iklan produk kecantikan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini semakin menyebabkan orientasi wanita akan tubuhnya semakin tinggi.
HUBUNGAN IKLAN PRODUK KECANTIKAN DI TELEVISI DENGAN ORIENTASI TUBUH WANITA BEKERJA (Studi di Kelurahan Menteng, Kota Bogor dan Desa Cihideung Udik, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
LIDIA ASTUTI I34050954
SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Lidia Astuti
Nomor Pokok : I34050954 Judul
: Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Siti Amanah M,Sc NIP. 19670903 199212 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Lulus Ujian: ___________________
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “HUBUNGAN ANTARA IKLAN PRODUK KECANTIKAN DI TELEVISI DENGAN ORIENTASI TUBUH WANITA BEKERJA ” INI BENARBENAR
MERUPAKAN
HASIL
KARYA
YANG
BELUM
PERNAH
DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN
SAYA
PERNYATAAN INI.
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 September 1987, dari pasangan Dt. Bandaro Hitam dan Elisda. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah: •
TK Hubaya II, Jakarta, 1992-1993
•
SD Negeri 03 Pagi, Jakarta, 1993-1999
•
SLTP Negeri 09 Jakarta, 1999- 2002
•
SMA Negeri 105 Jakarta, 2002-2005
Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam perkuliahan penulis juga aktif sebagai staf Budaya Olahraga dan Seni BEM KM (Badan Eksekutif Mahasiswa) selama masa kepengurusan 2006-2007, dan staf Komunikasi dan Informasi BEM KM selama masa kepengurusan 2007, Manager Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Futsal IPB selama
masa
kepengurusan
2006-2008,
anggota
divisi
Cinematografi
HIMASIERA
(Himpunan
Mahasiswa
Fotografi
Peminat
dan
Ilmu-Ilmu
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) selama masa kepengurusan 20072008. Selain itu untuk menyalurkan hobinya pada bidang kesenian penulis mengikuti komunitas Tari Saman (Bungo Puteh) tahun 2005-2009.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “Hubungan antara Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja” ini ditujukan untuk
memenuhi
syarat
kelulusan
pada
Departemen
Komunikasi
dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara iklan produk kecantikan dengan orientasi tubuh wanita bekerja. Demikianlah skripsi ini disusun dengan suatu tema yang relevan untuk ditelaah lebih lanjut pada saat ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang membaca. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Bogor, September 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu selama masa penulisan hingga penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1. Ibu Dr. Ir. Siti Amanah M,Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi. 2. Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M,Si sebagai dosen penguji utama yang telah bersedia meluangkan waktu pada sidang skripsi penulis. 3. Ibu Ir. Anna Fatchiya M,Si sebagai dosen penguji dari Departemen KPM yang telah bersedia meluangkan waktu pada sidang skripsi penulis. 4. Mama, Papa, Uwan, Kodil dan Anum atas doa, kasih sayang, cinta, perhatian, dukungan moral, materil dan segalanya yang telah diberikan kepada penulis. 5. Eksa Bara Adiyaksa atas doa, dukungan, kesabaran dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini kepada penulis. 6. Seluruh anak-anak futsal, bungo puteh, BEM KM, dan Himasiera atas kebersamaan dan dukungannya. 7. Teman seperjuanganku, Tibi dan Maria atas dukungan semangat untuk terus menyusun skripsi dan juga Rama GM 42 dan Memet yang sudah membantu penulis dalam mengolah data. 8. Gencitcong Community, Picu, Upil, Waina, Vidy, Acit, Mora, Vboy, Dina, Mimo, Dito, Bibob, Adit, Edu, Mimi, Utha, Idham, Riri, Wagi, Uday, Ijal, Bowo dan Qnyong atas segala keceriaan, kebersamaan, kehangatan dan segala dukungan yang kalian berikan selama ini dan seluruh anak-anak KPM 42. 9. Sahabat-sahabat yang selalu menemaniku, Cupita, Nilam, Ticut, Maul, Cunuy, Didi, Ibay, Jamie, Echa, Ndah, Dini, Nogal, Nopha, Neng Iva, Dini THP, Kuro, Agung, Dini UI, dan Genk CCC AGB yang eksis selalu.
DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi .......................................................................................................... xii Daftar Tabel ..................................................................................................... x Daftar Gambar ................................................................................................. xii BAB I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah ............................................................................... 6
1.3
Tujuan Penulisan .................................................................................... 6
1.4
Kegunaan Penulisan ............................................................................... 7
BAB II. KERANGKA TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka .................................................................................... 8 2.1.1 Komunikasi Massa ........................................................................ 8 2.1.2 Televisi sebagai Sarana Iklan di Media Massa ............................. 10 2.1.3 Citra Perempuan dalam Iklan Kosmetik di Televisi ...................... 13 2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Citra Tubuh Wanita ............. 14 2.1.5 Pengaruh Iklan Televisi terhadap Citra Tubuh Wanita Pekerja ..... 16 2.1.6 Dampak Pencitraan Tubuh Ideal Pada Wanita Pekerja ................. 18
2.2
Kerangka Pemikiran ............................................................................... 19
2.3
Hipotesis Uji .......................................................................................... 21
2.4
Definisi Operasional ............................................................................... 22
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian.................................................................................... 26
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 26
3.3
Teknik Pemilihan Responden ................................................................ 27
3.4
Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 27
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................... 28
BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Desa Cihideung Udik ............................................................................. 29 4.1.1 Kondisi Fisik, Sarana dan Prasarana .............................................. 29 4.1.2 Kependudukan, Pendidikan dan Mata Pencaharian ....................... 31
4.2
Kelurahan Menteng Kota Bogor ............................................................ 33 4.2.1 Kondisi Fisik, Sarana dan Prasarana .............................................. 33 4.2.2 Kependudukan, Pendidikan dan Mata Pencaharian ....................... 35
BAB V. GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1
Responden Wanita Bekerja Wilayah Pedesaan ..................................... 37
5.2
Responden wanita Bekerja Wilayah Perkotaan ........................................ 37
BAB VI. GAMBARAN UMUM IKLAN PRODUK KECANTIKAN 6.1 Deskripsi Tayangan .............................................................................. 39 6.2 Analisis Tayangan ................................................................................. 42 BAB VII. KARAKTERISTIK WANITA YANG BEKERJA DI WILAYAH PERKOTAAN DAN DI PEDESAAN 7.1 Karakteristik Individu ............................................................................ 44 7.1.1 Usia Wanita Bekerja ..................................................................... 44 7.1.2 Tingkat Pendidikan Formal ........................................................... 45 7.1.3 Gaya Hidup ................................................................................... 45 7.1.4 Aktifitas Pekerjaan ........................................................................ 46 7.1.5 Tingkat Pendapatan ........................................................................ 47 BAB VIII. ORIENTASI TUBUH WANITA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK DIRI, LINGKUNGAN SOSIAL, DAN IKLAN KECANTIKAN DI TELEVISI 8.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ............................................................................ 48 8.1.1 Hubungan Usia Individu dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ................................................................... 48 8.1.2 Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ................................................................... 49 8.1.3 Hubungan Aktifitas Pekerjaan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ................................................................... 50 8.1.4 Hubungan Gaya Hidup dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ................................................................... 51 8.1.5 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Orientasi Tubuh Wanita ................................................................................. 54 8.2
Hubungan Karakteristik Sosiologis dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ........................................................................... 55 8.2.1 Hubungan Lingkungan Keluarga dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ................................................................... 56 8.2.2 Hubungan Lingkungan Pekerjaan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ..................................................................... 57
8.2.2.1 Hubungan Tuntutan Pekerjaan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ........................................ 57 8.2.2.2 Hubungan Rekan Kerja dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ........................................ 58 8.2.3 Hubungan Kelompok Sosial dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja .................................................... 59 8.3
Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ............................................................... 61 8.3.1 Hubungan Model Wanita dan Subtansi Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ..................................................................... 61 8.2.2 Hubungan Frekuensi Menyaksikan Iklan Produk Kecantikan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ...................... 63 8.2.3 Hubungan Durasi Menyaksikan Tayangan Iklan Produk Kecantikan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja ..................................................................... 64
8.4
Ikhtisar....................................................................................................... 65
BAB IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan ................................................................................................. 67 9.2 Saran............................................................................................................. 68 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 69 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1. Pemanfaatan lahan/penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik Tahun 2007 ............................................................. 30 2. Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Cihideung Udik Tahun 2007 ............. 30 3. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Cihideung Udik Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin per 31 Desember 2007 ........................... 31 4. Jumlah Penduduk Desa Cihideung Udik Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2007 ................................................................ 32 5. Jumlah Penduduk Desa Cihideung Udik Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2007 ....................................................................... 32 6. Sarana Peribadatan di Kelurahan Menteng Tahun 2007 ........................... 33 7. Komposisi Jumlah Penduduk Kelurahan Menteng Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin 2007 ...................................................... 35 8. Jumlah Penduduk Kelurahan Menteng Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2007 ................................................................ 36 9. Jumlah Penduduk Kelurahan Menteng Berdasarkan Mata Pencaharian Utama Tahun 2007 ................................................................. 36 10. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Usia Wanita Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 ................................................. 44 11. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Tingkat Pendidikan Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 ................................ 45 10.
Sebaran Responden Menurut Karakteristik Gaya Hidup Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 ................................................ 46
13. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Aktifitas Pekerjaan Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 ................................. 46 14. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan Hidup Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 ................................ 47 15. Sebaran Responden Menurut Kategori Umur dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009............................................... 48
16. Sebaran Responden Menurut Kategori Tingkat Pendidikan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 ................... 49 17. Sebaran Responden Menurut Kategori Aktifitas Pekerjaan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 .......................... 50 18. Sebaran Responden Menurut Gaya Hidup dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009............................................... 51 19. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 ................................... 54 20. Sebaran Responden Menurut Penilaian Keluarga dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 .................................. 56 21. Sebaran Responden Menurut Tuntutan Pekerjaan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 .................................. 57 22. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Penilaian Rekan Kerja dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 ........ 58 23. Sebaran Responden Menurut Pengaruh Kelompok dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 ................................... 60 24. Sebaran Responden Menurut Pengaruh Model dan Subtansi Iklan Produk Kecantikan di Televisi dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 ........................................................... 61 25. Sebaran Responden Menurut Frekuensi Menyaksikan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009......................................................................... 63 26. Sebaran Responden Menurut Durasi Menyaksikan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009......................................................................... 64 27. Sebaran Responden Menurut Wilayah terhadap Citra Tubuh Wanita Tahun 2009......................................................................... 66
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Hubungan Iklan Produk Kecantikan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Wilayah Perkotaan dan Pedesaan .......... 21 2. Tayangan Iklan Produk Kecantikan WRP Stay Slim ................................. 42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pencitraan adalah sebuah persepsi atau gambaran dalam masyarakat yang dibentuk dan diproses dari suatu realitas yang beranjak dari kenyataan, kemudian dibungkus dalam suatu abstraksi yang diberi makna. Menurut Bachtiar (2008) mengemukakan pencitraan adalah karya kreatif yang dibalut dengan berbagai teknik persuasi yang hasilnya menampilkan sesuatu yang lebih menarik dan meyakinkan. Pencitraan terbentuk dengan rancangan argument untuk mengubah persepsi masyarakat untuk mempercayai suatu hal. Sebuah pencitraan dalam sebuah masyarakat dapat terbentuk oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor budaya yang berkembang, faktor kebiasaan yang telah berakar dan faktor media yang berperan sebagai salah satu alat komunikasi dan informasi di masyarakat. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi belakngan ini, media ditempatkan sebagai salah satu faktor dengan pengaruh terbesar dalam pembentukan pencitraan di masyarakat. Satu bentuk media yang menyumbangkan porsi besar dalam hal pembentukan pencitraan dalam masyarakat adalah iklan. Rasyid (2005) mengatakan iklan merupakan suatu bentuk dari komunikasi yang secara tipikal mencoba untuk membujuk konsumen yang potensial untuk membeli atau mengkonsumsi lebih dari suatu merek atau jasa tertentu. Dalam hal ini iklan membawa misi penting yaitu sebagai sarana pemasaran suatu produk atau jasa yang bersifat persuasi. Oleh karena itu, banyak periklanan dirancang untuk meningkatkan konsumsi akan produk dan pelayanan melalui proses peneguhan atau meyakinkan akan suatu brand image. Salah satu yang paling gencar diusung oleh iklan-iklan media adalah mengenai gambaran keindahan dan gambaran kecantikan wanita. Televisi, contohnya, telah mengidentifikasikan pencitraan wanita melalui iklan produk – produk kecantikan. Iklan-iklan tersebut selalu menampilkan wanita dalam bentuk yang diafirmasikan sebagai bentuk yang ideal. Tubuh-tubuh ideal biasanya ditampilkan
dalam
majalah,
film,
telvisi,
dan
dunia periklanan
yang
menggambarkan atau menyajikan sosok perempuan ideal sebagai suatu figur perempuan langsing, berkaki indah, paha, pinggang, dan pinggul ramping, payudara cukup besar dan putih kulit mulus (Melliana, 2006:60). Dalam iklan produk kecantikan sebagian besar role model yang dipakai adalah wanita -wanita dengan tubuh yang langsing dan tinggi, berkulit putih, hidung mancung, paras yang manis, dan berambut panjang lurus. Dengan menggunakan role model seperti itu, para produsen produk kecantikan secara sadar telah mengafirmasikan gambaran wanita ideal yang disebut cantik, dan mengharapkan setiap wanita mencontoh atau setidaknya meng-iyakan seperti itulah sosok yang dianggap cantik. Hal ini secara tidak langsung membentuk stereotip wujud wanita cantik yang ideal dan menjadi jurang pemisah untuk wanita “cantik” dan wanita “tidak cantik”. Definisi “Cantik” telah dibentuk oleh media di dalam benak masyarakat secara tidak sadar (Goenawan, 2007), baik melalui iklan maupun tayangan-tayangan sinetron yang ada. Lebih jauh lagi, para wanita di masyarakat menjadikan fitur ideal dalam iklan-iklan produk kecantikan sebagai suatu standar atau patokan dalam hal menilai kecantikan mereka dan orang lain disekitar mereka. Perkembangan dunia yang semakin modern, kecantikan menjadi komuditas yang diperdagangkan, sehingga perempuan seolah tak punya pilihan untuk mendifinisikan kecantikannya sendiri. Berbagai macam produk kecantikanpun semakin banyak dipasaran. Mulai dari produk perawatan rambut, mencerahkan kulit wajah, produk menambah tinggi badan, pelangsing, sampai produk untuk menjaga organ kewanitaan wanita selalu wangi dan kecang. Produkproduk kecantikan tersebut berusaha bersaing dengan produk sejenisnya dengan berbagai macam cara agar produknya senatiasa digunakan oleh konsumennya, dalam hal ini wanita. Salah satu cara yang paling sering digunakan produsen untuk meningkatkan penjualan produknya yaitu dengan mengiklankan produknya di media massa. Media massa yang umumnya dapat menjangkau khalayak dengan cepat dan serentak dimana saja yaitu dengan menggunakan media televisi. Melalui iklan di televisi, produsen membentuk gambaran bagaimana sebaiknya wanita berpakaian dan berprilaku untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat dan juga lawan jenisnya. Melalui iklan juga dibentuk kriteria wanita cantik seperti apa
yang sedang berlaku di masyarakat, dan bagaimana cara mereka yang tidak masuk kriteria tersebut (tidak cantik) mengatasi masalahnya. Dorongan dari pihak luar juga senantiasa menginjeksikan citra pentingnya penampilan memikat, cantik, mempesona, sensual, dan agar tampak muda pada wanita (Arief, 2001). Hal ini berdampak kepada para wanita yang mulai memandang amat penting aspek-aspek penampilan luar, seperti kegandrungan akan aerobik, kebugaran, operasi plastik, facial treatment, fitness menjadi suatu kebiasaan baru bagi kehidupan mereka. Tidak jarang, efek dari pemakaian yang tidak sesuai menimbulkan bermacam-macam masalah fisik maupun psikologis pada wanita itu sendiri. Contohnya, Krisdayanti yang menjadi icon bagi dunia fashion Indonesia mengungkapkan beratnya kehidupan sebagai seorang diva yang dituntut selalu sempurna,ia mengakui bahwa ia termaksuk artis yang hobby mengoreksi tubuhnya dengan treatment termaksuk operasi. Operasi yang ia lakukan antara lain Implant Silikon (menambahkan volumen pada payudara) dan Tummy Tuck (mengangkat lemak, kulit berlebih pada daerah perut). Selain tindakan ini berbahaya secara fisik, misalnya dengan terjadinya infeksi pada payudara karena implant yang tidak higienis, maupun menimbulkan dampak secara psikologis
dimana krisdayanti menderita stress karena dituntut selalu
sempurna dan akhirnya menggunakan narkotika. (Sumber : Tabloid Info Kecantikan, edisi 23 tahun III, 24 Juli-06 Agustus 2009). Ketidakpuasan terhadap tubuh yang besar menyebabkan makin kuatnya keinginan para perempuan untuk melakukan segala cara demi memperbaiki penampilan fisiknya (Munfarida, 2007). Banyaknya perempuan yang mengalami ketidakpuasan terhadap sosok tubuhnya pada saat ini disebabkan adanya kesenjangan tubuh ideal yang didasarkan pada budaya yang saat ini berlaku, yaitu bahwa tubuh ideal bagi perempuan adalah yang langsing, dengan kenyataan tubuh yang mereka miliki saat ini, yaitu bahwa kebanyakan perempuan memiliki tubuh yang lebih gemuk atau sedikit melebihi standar. Majalah atau iklan kecantikan yang menampilkan model tubuh langsing menyebabkan perempuan mengalami body image dilemma. Dilema ini disebabkan karena perempuan sering memilih untuk tidak memahami tubuh mereka sendiri, dan malah memilih lingkungannya yang menilai
(Sharma, 1998 dalam Rasyid, 2005). Dilema citra tubuh sering tidak disadari, sehingga timbul kesenjangan antara bentuk tubuh yang diinginkan dan persepsi mengenai bentuk tubuhnya sendiri yang menyebabkan kebingungan dan rasa sakit pada pikiran banyak perempuan (Crook,1991 dalam Goenawan, 2007) . Rasa sakit dalam pikiran perempuan inilah yang membuat wanita kehilangan percaya diri akan tubuhnya sendiri (citra negatif terhadap bentuk tubuh sendiri), sehingga perempuan yang memiliki citra tubuh negatif cenderung merasa tidak puas, tidak nyaman akan bentuk tubuhnya sendiri karena bentuk tubuhnya tidak sesuai dengan bentuk tubuh sosial yang berlaku dalam lingkungannya. Wanita yang memiliki bentuk tubuh idealpun diasosiasikan dengan kesempatan kerja lebih luas dan kehidupan asmara yang lebih baik (Melliana, 2006). Seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh ideal lebih banyak mendapat kesempatan untuk terjun ke bidang pekerjaan yang membutuhkan interaksi dalam menjalankan pekerjaannya. Misalnya SPG (Sales Promotion Girl), PR (Public Relation), dan bidang pemasaran. Hal ini dikarenakan bentuk tubuh yang ideal mendapat respek positif dari tempat kerja (Melliana, 2006). Karena citra perusahaan direpresentasikan dari penampilan para pekerjanya dan dalam hal ini citra positif untuk wanita bekerja dalam perusahaan adalah wanita yang memiliki bentuk badan ideal dan menarik.
Hal ini menggambarkan wanita hanya
ditempatkan sejauh mana ia dapat menarik perhatian, tidak diukur dari kualitas dia bekerja. Tentu saja hal ini menyudutkan wanita yang secara fisik “tidak menarik” tetapi mempunyai kemampuan untuk bekerja yang sama atau bahkan lebih baik. Sebuah studi menyatakan bahwa analisis dari gambar-gambar yang disodorkan media massa memperkuat bukti bahwa tipe bentuk tubuh langsing sangat mendominasi, dan bahwa anggapan sosial yang positif selalu dihubungkan dengan kelangsingan, sebaliknya anggapan sosial yang negatif dihubungkan pada kegemukan. Perempuan diberi tahu bahwa mereka dapat dicintai hanya jika mereka langsing karena kelangsingan disetarakan dengan kecantikan dan diinginkan secara seksual. Sebaliknya, kegemukan disetarakan dengan jelek dan ketidak-erotisan (Wolf, 2004). Perempuan dalam media massa, misalnya iklan di televisi mengisyaratkan lebih mudah mendapatkan pasangan karena ia memiliki standar kecantikan yang berlaku pada masyarakat (berkulit putih, tinggi, langsing,
dan wajah yang bersih dan putih). Iklan pond’s contohnya, dalam episode bertemu mantan kekasih menggambarkan bagaimana sang wanita mendapatkan kekasihnya kembali setelah menggunakan pond’s White beauty, sang wanita yang tadi-nya berkulit hitam berubah menjadi kulit putih setelah menggunakan Pond’s White beauty. dan akhirnya berhasil mendapatkan kekasihnya kembali setelah wanita itu berubah menjadi cantik (dalam hal ini berkulit putih). Wanita metropolis dari kalangan menegah dan atas lebih banyak terpapar iklan atau media massa (Andika, 2008) serta strategi kapitalis yang memang lebih ditujukan bagi mereka, sehinga wanita metropolis lebih mudah mengalami citra tubuh negatif karena adanya kesenjangan antara citra tubuh ideal dengan citra tubuh nyata (Melliana, 2006). Tersedianya fasilitas-fasilitas dan keadaan finansial yang cukup memadai juga mengakibatkan mereka lebih banyak waktu dan perhatian untuk memikirkan dan menghayati tubuhnya sendiri, serta melalukan usaha untuk memperbaiki. Berbeda lagi dengan wanita dari kalangan sosial ekonomi bawah. Berdasarkan analisis sebuah penelitian, posisi perempuan dalam kehidupan pedesaan benar-benar serba kekurangan karena adanya beban tanggung jawab atau peran yang lebih besar dalam menanggung beban ekonomi dan kesejahteraan hidup rumah tangga. Ini menyebabkan mereka tidak begitu terpengaruh oleh pembangunan yang kapitalis dan konsumeristik yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. (Melliana, 2006). Dengan kata lain, wanita perkotaan lebih mudah terpengaruh oleh iklan-iklan di media massa dibandingkan dengan wanita pedesaan, sehingga citra tubuh wanita perkotaan cenderung lebih negatif dibanding wanita pedesaan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, pada tahun 2007 jumlah penduduk jawa barat terbanyak berada di bogor dengan total 4,3 juta jiwa. Sedangkan penduduk yang merupakan angkatan kerja (mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi, berusia 10 keatas) di Kebupaten Bogor berjumlah 1,6 juta jiwa dan di kota bogor berjumlah 380 ribu jiwa. Oleh karena itu Bogor dipilih sebagai tempat penelitian dengan asumsi banyaknya jumlah penduduk yang bekerja sehingga mudah untuk mendapatkan data yang bersangkutan berhubungan dengan wanita bekerja. Kemudian tempat penelitian akan dilakukan di dua wilayah yaitu Kelurahan Menteng, tepatnya di RW 19 (dimana kawasan ini diasosiasikan
dengan masyarakat perkotaan) dan Desa Cihideung Udik, tepatnya di RW 10 (kawasan ini diasosiasikan dengan masyarakat perdesaan). Alasan pemilihan tempat dilakukan di dua wilayah karena ingin melihat perbandingan karakteristik kedua wilayah dan melihat perbedaan orientasi tubuh wanita di dua wilayah terkait dengan dampak iklan produk kecantikan di televisi. Lebih lanjut, penelitian akan membandingkan perbedaan antara wanita perkotaan dan pedesaan terhadap orientasi tubuhnya.
1.1
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan di atas, maka penelitian
ini akan difokuskan untuk mengkaji sejauhmana “Hubungan antara Iklan Produk Kecantikan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Perkotaan dan Pedesaam”. Penelitian ini akan membahas tentang iklan produk kecantikan di televisi dan hubungannya dengan orientasi tubuh wanita bekerja. Penelitian ini akan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi tubuh wanita bekerja perkotaan dan pedesaan. 1. Bagaimana karakteristik wanita bekerja di pedesaan dan perkotaan? 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, lingkungan sosiologis, serta iklan produk kecantikan terhadap persepsi wanita bekerja perkotaan dan pedesaan akan orientasi tubuhnya?
1.2
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik wanita pekerja di pedesaan dan perkotaan. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan orientasi tubuh wanita bekerja 3. Menganalisis hubungan antara lingkungan sosiologis dengan orientasi tubuh wanita bekerja. 4. Menganalisis hubungan antara iklan kecantikan dengan persepsi wanita pekerja akan orientasi tubuhnya.
1.2
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
iklan produk kecantikan terhadap penilaian wanita bekerja perkotaan dan pedesaan akan orientasi tubuhnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap berbagai pihak, yaitu: 1. Wanita Bekerja di Perkotaan dan Pedesaan Menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat luas secara umum dan wanita bekerja secara khusus, akan pengaruh lingkungan dalam membentuk citra tubuh wanita bekerja 2. Kalangan Akademisi Menambah khazanah pengetahuan tentang hubungan antara iklan produk kecantikan dengan penilaian wanita bekerja perkotaan dan pedesaan akan orientasi tubuhnya, dalam rangka pengembangan riset dan studi ilmu komunikasi, serta sebagai referensi dalam penulisan penelitian sejenis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Teoritis 2.1.1. Komunikasi Massa
Komunikasi massa menurut Tan dan Wright (1991) dalam (Primianty, 2008) merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Komunikasi massa juga mempunyai beberapa ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh komponen-komponennya, ciri-ciri tersebut adalah : 1) sifat pesan terbuka, 2) memiliki khalayak yang variatif baik dari segi usia, agama, suku, pekerjaan maupun kebutuhan, 3) sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang diproses secara mekanik, 4) sumber merupakan suatu lembaga atau institusi, 5) komunikasi berlangsung satu arah, 6) cenderung memiliki umpan balik yang lambat (tertunda) dan sangat terbatas, 7) sifat penyebaran pesan berlangsung cepat, serempak, luas, mampu mengatasi jarak dan waktu, serta dapat bertahan lama bila didokumentasikan, dan 8) membutuhkan biaya produksi yang cukup mahal serta memerlukan tenaga kerja professional yang relatif banyak untuk mengelolanya. De Vito (1997) dalam Mariadi (2008) merumuskan bahwa dalam terdapat komponen-komponen yang sangat dibutuhkan dalam komunikasii massa. Dimana setiap komponen tersebut saling terintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Komponen-komponen tersebut adalah : 1) Komunikator, yaitu orang yang berperan sebagai sumber berita, 2) Pesan atau isi berita, 3) Media, seperti pers, radio, televisi, dan film, 4) Khalayak, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai penerima berita, 5) Filter, yaitu proses penyaringan pesan yang berasal dari penerima/khalayak. Filter dipengaruhi oleh tiga kondisi, yaitu kondisi budaya, kondisi psikologikal, dan kondisi fisik, 6) Regulator komunikasi massa, yaitu peraturan/kebijakan yang mengatur jalannya proses komunikasi massa, seperti pengaturan penayangan acara/siaran, 7) Gate keeper atau penjaga gawang, yaitu
orang
yang
berperan
dalam
memilih/menolak
informasi
yang
akan
ditampilkan/dikomunikasikan kepada khalayak. Efek komunikasi massa telah lama di perbincangkan dalam khasanah kajian Ilmu Komunikasi. Bahkan, efek ini di kaji secara ilmiah oleh para pemikir atau ilmuan komunikasi. Salah satunya yang membahas tentang efek media adalah wilbur Schraam. Schraam mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori tolak peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Pesanpesan komunikasi massa yang di sampaikan kepada khalayak yang heterogen dapat di terima secara langsung tanpa memiliki filter sama sekali. Artinya, komunikan sangat terbius oleh suntikan pesan yang di sampaikan media massa. Suntikan pesan ini masuk ke dalam saraf dan otak serta melakukan tindakan sesuai dengan pesan komunikasi massa tersebut. Teori Uses and Gratifications (Kegunaan dan Kepuasan) pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Teori Difusi Inovasi dikemukakan oleh Everett Rogers dan para koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi (atau komunikasi), dan konsekwensi-konsekwensi. Perubahan seperti di atas dapat
terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui kontak dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu lama. Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahuntahun untuk dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan dari penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna memperpendek keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan mempunyai konsekuensi konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau tidak, langsung atau tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336). Menurut McQuail (1996), karakteristik dari komunikasi massa adalah:
1. Adanya suatu organisasi yang kompleks dan formal dalam tugas operasional pengirim pesan 2. Adanya khalayak yang luas dan heterogen 3. Isi pesan harus bersifat umum dan tidak bersifat rahasia 4. Komunikasi dilakukan dengan massa yang sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, keadaan sosial dan ekonomi, maupun keadaan budayanya. 5. Setiap pesan memiliki kontrol sosial dalam arti murni, yaitu dinilai oleh banyak orang dengan berbagai macam latar belakang dan taraf pendidikan maupun daya cernanya. 6. Sifat hubungan antara komunikator dan komunikan khalayak adalah anomim 7. Walaupun reaksi pada pihak khalayak akan berbeda-beda tetapi pesan yang keluar dari agregat atau peralatan komunikasi difokuskan pada perhatian yang sama, seakan-akan khalayak yang heterogen tersebut akan memberikan reaksi yang sama pula.
2.1.2. Televisi Sebagai Sarana Iklan di Media Massa Televisi merupakan media yang banyak disukai kalangan pengiklan karena akibat yang ditimbulkannya. Televisi menggunakan warna, suara, gerakan, dan
musik. Selain itu pemirsanya dapat diseleksi menurut jenis program dan waktu tayangannya. Televisi adalah media yang mampu menjangkau wilayah luas, dapat dimanfaatkan oleh semua pengiklan untuk tes pemasaran atau peluncuran suatu produk baru (Farbey, 1987 dalam Rahmatsyam, 2005). Iklan melalui televisi memang mempunyai efek yang luar biasa dibandingkan dengan media lainnya (Effendy, 1991). Melalui media televisi, perusahaan dapat mendemonstrasikan bagaimana suatu produk dapat bekerja dan betapa besar manfaat produk tersebut bagi konsumen. Gambar yang disajikan lebih hidup, menarik dan merangsang karena dikemas dengan unsur entertainment yang menghibur. Selain itu, melalui media televisi perusahaan dapat memilih waktu beriklan yang tepat untuk menjangkau pasar yang lebih luas dan khalayak sasaran tertentu secara efektif. Dewasa ini televisi boleh dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap orang (Kasiyan, 2001). Televisi memiliki sejumlah kelabihan terutama kemampuannya dalam meyatukan antara fungsi audio dan visual, ditambah dengan kemampuannya dalam memainkan warna. Selain itu televisi juga mampu mengatasi jarak dan waktu, sehingga penonton yang tinggal di daerah terpencil dapat menikmati siaran televisi. Menurut Widyatama (2005) televisi dianggap sebagai kotak ajaib yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia saat ini, menawarkan kenikmatan yaitu mendapatkan hiburan dan informasi, tetapi televisi juga memberikan kehancuran atau kerusakan yang sangat fatal pada berbagai segi kehidupan manusia, yaitu berubahnya nilai-nilai sosial masyarakat, moral, etika, dan sebagainya.
Selain itu, televisi memiliki posisi yang penting dalam
kehidupan manusia apabila benar-benar di manfaatkan sebagaimana seharusnya. Televisi menawarkan berbagai alternatif, sehingga dapat memilih informasi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu, pendidikan, pengetahuan, dan sebagainya. Widyatama (2005) menyebutkan Iklan televisi mempunyai karakteristik khusus yaitu kombinasi gambar, suara dan gerak. Dengan karakteristik tersebut maka televisi mempunyai berbagai keunggulan dibanding media iklan lain. Diantaranya keunggulan tersebut adalah:
1. Kesan realistik Karena sifat yang visual dan merupakan kombinasi warna-warna, suara dan gerakan, maka iklan televisi tampak hidup dan nyata. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh media lain. Dengan kelebihan ini, para pengiklan dapat menunjukkan dan memamerkan kelebihan atau keunggulan produknya secara detail. 2. Masyarakat lebih tanggap Karena iklan televisi dinikmati dirumah-rumah dalam suasana yang serba santai atau reaktif, maka pemirsa lebih siap untuk memberikan perhatian. Perhatian terhadap iklan televisi semakin besar jika materinya dibuat dengan standar teknis yang tinggi, dan atau meggunakan tokoh-tokoh ternama sebagai bintang iklan. 3. Repetisi/ pengulangan Iklan televisi bisa ditayangkan beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya, dan dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu muncul. Sekarang ini para pembuat iklan televisi tidak lagi membuat iklan yang panjang-panjang, mereka justru membuat iklan pendek dan menarik. Agar ketika ditayang ulang, pemirsa tidak cepat bosan. Iklan dengan pendekatan emosi yang membikin penasaran pemirsa juga bisa digunakan sebagai teknik untuk lebih diingat oleh pemirsa. 4. Terkait dengan media iklan lain Tayangan iklan televisi mungkin saja mudah terlupakan begitu saja. Tapi kelemahan ini bisa diatasi dengan memadukannya denga media iklan lain. Jika konsumen memerlukan informasi lebih lanjut atau perlu dijabarkan lebih detail, iklan televisi bisa dipadukan dengan iklan di tabloid-tabloid minggua, khususnya tabloid yang mengulas acara-acara televisi. Iklan pendukung juga bisa demuat di surat kabar harian. Iklan surat kabar adalah rujukan atas iklan yang telah ditayangkan di televisi.
Menurut Kuswandi (1993) dalam (Primianty, 2008) ada tiga dampak yang dapat ditimbulkan dari acara televisi yang ditayangkan terhadap pemirsanya, yaitu: 1. Dampak kognitif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi sehingga dapat melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Contohnya adalah acara kuis di televisi. 2. Dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend-trend aktual yang ditayangkan televisi. Contohnya adalah adanya iklan kosmetik yang menampilkan model rambut terbaru dari para artis yang kemudian banyak ditiru oleh masyarakat. 3. Dampak perilaku, yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan oleh acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan
pemirsa
sehari-hari.
Contohnya
adalah
iklan
layanan
masyarakat
2.1.3 Citra Perempuan dalam Iklan Kosmetik di Televisi Citra perempuan kebanyakan dapat dilihat dalam penayangan peran perempuan dalam iklan, khususnya iklan ditelevisi. Berbagai penelitian sebelumnya telah banyak membahas peran perempuan dalam iklan, salah satunya yaitu penelitian Tamagola (1990) dalam (Primianty, 2008)
yang membahas
tentang citra perempuan dalam iklan di empat majalah wanita (Femina, Kartini, Sarinah, Pertiwi), yang diterbitkan antara tahun 1986-1990. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada lima citra pokok tentang perempuan yang sering digambarkan dalam iklan, dimana citra ini merupakan bentuk-bentuk stereotipe tentang perempuan yang terdapat dalam masyarakat. Citra-citra tersebut adalah citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan. Citra yang terdapat dalam iklan kosmetik di televisi adalah citra pigura dan citra pergaulan. Citra pigura adalah citra yang menekankan betapa pentingnya para wanita kelas menengah dan atas untuk selalu tampil memikat. Ciri kewanitaan yang
dibentuk oleh budaya, seperti memiliki rambut panjang yang hitam pekat, mempunyai alis mata yang tebal, kulit yang putih dan halus, dan pinggul dan perut yang ramping. Iklan-iklan yang termaksud dalam katagori citra ini adalah iklan produk kecantikan, dan pelangsing tubuh. Sedangkan citra pergaulan menekankan pada dasarnya perempuan sangat ingin diterima dalam lingkungan sosial tertentu, dan untuk bisa masuk dalam lingkunga sosial tertentu perempuan dituntut harus “tampil anggun menawan”. Iklan yang termaksud contoh ini adalah iklan kosmetik dan perawatan tubuh.
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Citra Tubuh Wanita Citra tubuh secara umum dibentuk dari perbandingan yang dilakukan seseorang atas fisiknya sendiri dengan standar kecantikan yang dikenal oleh lingkungan sosial dan budayanya. Salah satu penyebabnya adalah iklan pada media massa. Iklan dalam media massa sering kali menampilkan fitur wanita dengan tubuh yang dinilai sempurna/ nyaris sempurna. Wanita mempelajari adanya perbeaan fitur-fitur tersebut dengan fitur tubuhnya, sehingga terdapat kesenjangan dan menciptakan persepsi akan penghayatan tubuhnya yang tidak/kurang ideal. Konsekuensinya, wanita sulit menerima bentuk tubuhnya (Subiyantoro, 2004) Citra tubuh merupakan hal yang dipelajari. Proses pembelajaran citra tubuh ini sering kali dibentuk lebih banyak oleh orang lain di luar individu itu sendiri, yaitu oleh keluarga dan masyarakat (Faturochman, 2004). Proses belajar dalam keluarga dan pergaulan mencerminkan apa yang akan dipelajari dan diharapkan oleh budaya. Faktor-Faktor lainnya yang mempengaruhi citra tubuh perempuan adalah : 1. Penilaian atau komentar orang lain. Reaksi atau pandangan dari orang lain yang memiliki arti bagi individu (significant
other) misalnya orang tua, teman, orang terkasih, dan lain-
lain, akan mempengaruhi
citra tubuh
yang
dimiliki
individu
tersebut. Misalnya, pandangan dari kekasihnya terhadap wanita yang
cantik yaitu
wanita berkulit putih, akan
mempengaruhi
persepsi
wanita tersebut bahwa cantik itu identik dengan berkulit putih. 2. Perbandingan dengan orang lain. Citra tubuh yang terbentuk sangat tergantung pada bagaimana cara individu
membandingkan dirinya dengan orang lain, biasanya pada
orang yang hampir
serupa dengan dirinya. Misalnya, individu yang
sering membandingkan
dirinya dengan
yang lebih menarik penampilannya secara
sahabatnya
sendiri
terus-menerus
akan
mengalami suatu kondisi, di mana ia akan menganggap
dirinya
tidak
memiliki daya tarik fisik. 3. Peran seseorang identifikasi terhadap orang lain. Setiap orang mengalami peran yang berbeda-beda. Di dalam peran tersebut, individu diharapkan akan bertindak sesuai dengan tuntutan dari perannya masing-masing. Misalnya seseorang wanita yang berprofesi sebagai model lebih memperhatikan penampilannya dibandingkan dengan seseorang wanita yang berprofesi sebagai seorang ibu rumah tangga. 4. Identifikasi terhadap orang lain. Individu yang mengagumi satu tokoh yang diangganya ideal sering kali menirunya seperti cara berdandan, cara berpakainan, potongan rambut, dan lain-lain. Dengan begitu, ia merasa telah memiliki beberapa ciri dari tokoh yang dikaguminya. Selain faktor-faktor di atas, faktor lainnya yang turut mempengaruhi citra tubuh perempuan adalah : stigmatisasi, pelecehan rasial dan seksual, nilai-nilai sosial yang berlaku, perubahan fisik dalam tubuh wanita selama masa pubertas, kehamilan, dan menopause, sosialisasi, cara individu merasakan dirinya, kekerasan verbal, fisikal, atau penyiksaan seksual, dan kondisi aktual tubuh seperti penyakit atau kecacatan. Kebanyakan petunjuk mengenai bagaimana penampilan kita yang sempurna atau ideal berasal dari media, orang tua, dan teman-teman sepergaulan. Citra tubuh merupakan proses pembelajaran dalam proses kehidupan individu tersebut. Proses sosialisasi yang dimulai sejak usia dini, bahwa bentuk standar
tubuh langsing adalah yang diharapkan lingkungan, akan membuat anak sejak dini mengalami ketidakpuasan apabila tubuhnya tidak sesuai dengan yang diharapkan lingkungan, terutama orang tua. Orang tua terpengaruh oleh berbagai iklan yang mengagung-agungkan standar kecantikan ideal seorang wanita yang langsing, putih, berpostur tinggi, dan sebagainya, sehingga para orang tua khawatir kalau tubuh anak perempuannya berkembang tidak seperti model yang mereka lihat pada iklan di media massa. Penelitian yang dilakukan oleh Subiyantoro (2004) dengan tema “Remaja Putri Melek Media” yang dilakukan dengan mewawancarai 100 remaja perempuan berusia 14-18 tahun dalam jenjang pendidikan formal mereka adalah pelajar SMP maupun SMU di 5 wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat menunjukan bahwa remaja perempuan pada dasarnya ingin menjadi diri sendiri, mempunyai sikap atau pilihan sendiri dalam menentukan gayanya, tetapi sikap atau kepribadian ini sering terbelah ketika pesona dari media yang begitu gencar. Remaja perempuan dilematis dalam melihat diri sendiri
2.1.5 Pengaruh Iklan Televisi terhadap Citra Tubuh Wanita Pekerja Selain pengaruh lain seperti dari keluarga dan lingkungan wanita itu dibesarkan, mungkin tidak ada lagi yang dapat menyebarluaskan dampak dari pemikiran mengenai fitur keindahan tubuh segencar media massa (Melliana, 2006). Televisi salah satunya pesan lewat iklan-iklannya bahwa seorang wanita harus menarik fisiknya agar dapat diterima. Wanita secara tidak sadar berpaling pada televisi untuk mengukuhkan norma kecantikan terkini, hanya untuk diberi pembuktian lebih jauh mengenai kekurangan tubuh mereka sendiri. Fitur ideal tersebut mendorong terciptanya harapan akan tubuh impian. Tubuh-tubuh ideal biasanya ditampilkan dalam majalah, film, televisi, dan dunia periklanan, yang menggambarkan atau menyajikan sosok wanita ideal sebagai suatu figur wanita yang langsing, berkaki indah, paha, pinggang dan pinggul ramping, payudara cukup besar, dan kulit putih mulus. (Melliana, 2006) Wanita adalah konsumen pontensial, terlebih lagi wanita yang sudah memiliki pendapatan sendiri sehingga mereka menjadi sasaran empuk penawaran
berbagai produk kecantikan. Pencitraan ini berakar pada peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan pemelihara kecantikan. Iklan mendikte perempuan untuk menjadi ideal dan modern dengan produk-produk kecantikan yang ditawarkan.
Perempuan yang cantik harus berkulit putih, berambut lurus,
bertubuh langsing, tidak berjerawat dan berbetis indah. Untuk menjaga kecantikannya, perempuan harus terus menggunakan berbagai produk kecantikan seperti Citra, Ponds, Nivea, Sunsilk, Pantene, dan teh pelangsing. Dengan kemajuan teknologi masa kini, standar kecantikan menjadi global dan universal. Maksudnya, standar pembentukan citra tubuh yang digambarkan oleh iklan kosmetika dunia menjadi megatrend bagi hampir semua manusia di dunia. Globalisasi pula yang menyebabkan trend bentuk tubuh ideal ini menuji kesatu arah, yaitu langsing dan proposional (Melliana, 2006). Iklan lowongan pekerjaan di surat kabar atau majalah contohnya, iklan tersebut turut mengsubordinasi wanita dalam hal penampilan. Seperti yang dikemukakan oleh Wolf (2004) yang mengemukakan istilah Professional Beauty Qualification (PBQ) sebagai unit seleksi utama kerja perempuan. Dimana hanya perempuan yang dianggap menarik yang dapat diterima untuk bekerja. Di dalam lingkungan kerja, untuk mendapatkan suatu pekerjaan tertentu, perempuan terlebih dahulu mengikuti mekanisme seleksi pekerjaan, dan tentu saja, menciptakan kategori ‘cantik’ sebagai mekanisme seleksi pekerjaan, biasanya pada seleksi tersebut dicari hanya untuk wanita yang “menarik”. Contohnya, iklan lowongan pekerjaan dari internet untuk Lowongan SPG / BA / BC Cosmetic PT. MARTINA BERTO.
Dimana kualifikasi kriteria karyawan yang dibutuhkan
memiliki persyaratan : Umur maximal 25 tahun, belum berkeluarga, berpenampilan menarik, pendidikan minimal SMU, memiliki kulit sehat dan bersih, dan bersedia ditempatkan di luar kota. Hal ini menggambarkan wanita hanya ditempatkan sejauh mana ia dapat menarik perhatian, tidak diukur dari kualitas dia bekerja. Tentu saja hal ini menyudutkan wanita yang secara fisik “tidak menarik” tetapi mempunyai kemampuan untuk bekerja yang sama atau bahkan lebih baik.
2.1.6 Dampak Pencitraan Tubuh Ideal Pada Wanita Pekerja Tubuh ideal yang diperkenalkan oleh budaya adalah tubuh yang langsing, wanita dengan berat tubuh rata-rata atau lebih berat daripada figur yang ditampilkan akan mengalami tekanan untuk mengontrol berat badan mereka (Nevid,1991 dalam Melliana, 2006). Adanya anggapan bahwa wanita yang memiliki tubuh ideal akan mendapatkan respons yang lebih positif di masyarakat merupakan salah satu penyebab sebagian besar wanita berusaha mengikuti trend tubuh ramping. Tindakan yang di ambil para wanita yang terobsesi oleh kecantikan yang harus mereka miliki tersebut mulai dari pengurangan berat badan sampai operasi plastik. Kesadaran wanita bahwa dengan terus memuaskan diri seperti itu ada banyak efek negatif terhadap kesehatan mereka sendiri terutama kesehatan mental mereka, tampaknya masih kalah dibandingakan keinginan yang begitu kuat untuk mendapatkan dirinya secantik dan selangsing mungkin. Pencitraan wanita dalam media massa menimbulkan berbagai macam dampak bagi wanita terhadap orientasi tubuhnya. Dari berbagai permasalahan body image, yang paling umum adalah masalah ketidakpuasan terhadap sosok tubuh (body dissatisfaction) dan distorsi citra tubuh. Ketidakpuasan terhadap tubuh yang besar menyebabkan makin kuatnya keinginan para wanita untuk melakukan segala cara demi memperbaiki penampilan fisiknya. Ketika penilaian yang berlebihan terhadap tubuh wanita terus berlanjut, cara untuk mencapai bentuk tubuh yang mendekati ideal biasanya akan dicari melalui diet atau berolahraga. Para wanita bersedia melakukan apapun untuk mendapatkan citra tubuh ideal dirinya meskipun harus merogoh uang yang tidak sedikit. Mereka tidak segan mendatangi tempat-tempat kebugaran, spa, salon kecantikan, dan berbagai institusi kecantikan yang lain menjadi tempat-tempat yang diminati wanita untuk mengubah dirinya menjadi cantik. Harga produk kecantikan yang mahal, tidak menyurutkan hasrat untuk tampil cantik dan menarik. Selain dampak fisik, konsekuensi psikologis yang diderita wanita jika tidak mengikuti standar tubuh ideal adalah rasa malu, kecemasan, menurunnya self-esteem Akumulasi
(penghargaan diri), dan kepekaan atas gejala internal tubuh. berbagai
konsekuensi
psikologis
tersebut
pada
gilirannya
memunculkan sejumlah resiko kesehatan mental seperti depresi, disfungsi seksual, dan gangguan perilaku makan. Contohnya, Krisdayanti yang menjadi icon bagi dunia fashion Indonesia mengungkapkan beratnya kehidupan sebagai seorang diva yang dituntut selalu sempurna, ia mengakui bahwa ia termaksuk artis yang hobby mengoreksi tubuhnya dengan treatment termaksuk operasi. Operasi yang ia lakukan antara lain Implant Silikon (menambahkan volumen pada payudara) dan Tummy Tuck (mengangkat lemak, kulit berlebih pada daerah perut). Selain tindakan ini berbahaya secara fisik, misalnya dengan terjadinya infeksi pada payudara karena implant yang tidak higienis, maupun menimbulkan dampak secara psikologis
dimana krisdayanti menderita stress karena dituntut selalu
sempurna dan pada akhirnya ia menggunakan narkotika. (sumber : Tabloid Info Kecantikan, edisi 23 tahun III, 24 Juli-06 Agustus 2009). Berbagai penelitian juga menunjukkan meningkatnya jumlah penderita penyakit anoreksia dan bulimia yang banyak diderita wanita karena terobsesi dengan tubuh kurus atau langsing dengan melakukan diet ketat. Anorexia adalah sindrom yang membuat seseorang kehilangan selera makan dan berhasil menguasai rasa laparnya sendiri. Bulimia adalah sesorang memakan makanan dengan porsi yang wajar didepan publik, tetapi akan memuntahkannya kembali makanan yang sudah dimakan. Bahkan munculnya bermacam-macam operasi ‘rombak tubuh’ yang sudah disebutkan sebelumnya. Cara-cara ekstrim, menurunkan berat badan, ditempuh demi memenuhi hasrat kecantikan. Tidak hanya diet ketat, mereka nyaris tidak makan. (Prabasmoro, 2003)
2.2 Kerangka Pemikiran Gerbner (1973) sebagaimana dikutip McQuail (1987) menyatakan bahwa televisi telah menempati peran penting dalam kehidupan manusia, sehingga mengakibatkan lingkungan simbolik menjadi terdominasi. Lingkungan simbolik dalam penelitian ini diartikan sebagai lingkungan sosial dan individu. Lingkungan sosial kemudian disebut sebagai karakteristik lingkungan sosial,
yaitu
karakteristik yang dimiliki oleh individu dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Karakteristik sosiologis yang dilihat dalam penelitian ini adalah lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan kelompok sosial. Masing-
masing lingkungan tersebut digunakan untuk melihat karakteristik tersebut mempengaruhi wanita bekerja dalam menilai orientasi tubuhnya. Andika (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk melihat pengaruh media massa terhadap persepsi mereka adalah dengan melihat intensitas mereka dalam menggunakan media massa, yang dalam penelitian ini disebut frekuensi dan durasi dalam menonton iklan produk kecantikan. Selain itu, Goenawan (2007) menyatakan isi atau subtansi iklan juga berhubungan dalam membentuk persepsi bagi seseorang yang menggunakan media massa, yang dalam penelitian ini akan dilihat dari pengaruh model wanita dan subtansi iklan produk kecantikan. Melalui penelitian ini akan dilihat hubungan antara iklan produk kecantikan dengan orientasi tubuh wanita bekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan. Semakin besar pengaruh faktor-faktor di luar dan didalam individu dalam menilai dirinya maka semakin tinggi pula orientasi tubuh individu itu dalam artian mereka akan memiliki citra tubuh yang negatif, yakni perasaan semakin tidak nyaman akan tubuhnya sendiri (Melliana, 2006). Meningkatnya masalah kekurangpuasan wanita akan bentuk tubuhnya membuat wanita mempunyai kepercayaan dan penghargaan diri yang rendah akan tubuhnya. Jika keadaan ini (kekurangpuasan akan bentuk tubuh) terus meningkat dapat menyebabkan wanita mengalami rasa malu, kecemasan, menurunnya selfesteem (penghargaan diri), dan kepekaan atas gejala internal tubuh. Akumulasi berbagai konsekuensi psikologis tersebut pada gilirannya memunculkan sejumlah resiko kesehatan mental seperti depresi, disfungsi seksual, dan gangguan perilaku makan. Hal tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika wanita itu mempunyai citra diri yang tinggi akan tubuhnya. Atas dasar itulah maka dalam penelitian ini akan ditelaah faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wanita akan orientasi tubuhnya.
Karakteristik Wanita Pekerja (X1) X1.1 Usia X1.2 Tingkat pendidikan formal X1.3 Gaya hidup X1.4 Aktifitas pekerjaan X1.5 Pendapatan Karakteristik Lingkungan Sosial (X2 ) Orientasi Tubuh Wanita (Y)
X2.1 Lingkungan keluarga X2.2 Lingkungan kerja X2.2.1 Tuntutan pekerjaan X2.2.2 Rekan kerja X2.3 Kelompok sosial
Y1 Citra tubuh positif Y2 Citra tubuh negatif
Iklan Kecantikan di televisi (X3) X3.1 Model wanita dan subtansi iklan produk kecantikan X3.2 Frekuensi X3.3 Durasi
Keterangan :
X Y
: Mempengaruhi : Variabel Pengaruh : Variabel Terpengaruh
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan Iklan Produk Kecantikan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Wilayah Perkotaan dan Pedesaa 2.3 Hipotesis Uji 1. Diduga karakteristik internal wanita bekerja dikota (usia, tingkat pendidikan formal, gaya hidup, aktifitas pekerjaan, dan pendapatan) berbeda dibanding wanita bekerja di pedesaan. 2. Diduga karakteristik internal wanita bekerja (usia, tingkat pendidikan formal, gaya hidup, aktifitas pekerjaan, dan pendapatan) memiliki hubungan dengan orientasi tubuh wanita bekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan. 3. Diduga karakteristik sosiologis wanita bekerja (Lingkungan keluarga dan lingkungan kerja) memiliki hubungan dengan orientasi tubuh wanita bekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan. 4. Diduga iklan produk kecantikan di televisi (Model wanita dan subtansi, frekuensi, dan durasi) memiliki hubungan dengan orientasi tubuh wanita bekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan.
2.4 Definisi Operasional 1. Karakteristik Individu adalah kondisi atau keadaan spesifik individu yang berkaitan langsung dengan dirinya, dan dapat diukur dengan: a. Usia adalah lama hidup seseorang sejak lahir hingga sekarang yang diukur dalam satuan waktu. Pengkategorian usia dilakukan ketika data sudah mendapatkan data di lapangan. Pengkategorian ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu usia muda kurang dari 29 tahun, sedang usia dewasa antara 29 tahun sampai 45 tahun, dan usia tua lebih dari 45 tahun. b. Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal terakhir individu (diukur berdasarkan tahun) Spesifikasi skor tingkat pendidikan adalah: 1. Rendah
: Tidak sekolah, SD/ sederajat diberi skor 1
2. Sedang
: SLTP/ sederajat, SMA/ sederajat diberi skor 2
3. Tinggi
: Pendidikan lanjutan setelah SMA diberi skor 3
c. Aktifitas pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan wanita bekerja serta dengan
siapa
wanita
bekerja
berinteraksi
dalam
menjalankan
pekerjaannya: 1. Pekerja kantoran (di dalam ruangan) diberi kode 1 2. Layanan publik
diberi kode 2
3. Pekerjaan di Lapangan (bertani)
diberi kode 3
d. Gaya Hidup adalah kecenderungan konsumsi seseorang dilihat dari persentase pengeluaran perbulan. Dalam penelitian ini gaya hidup yang diteliti yaitu kencenderungan konsumsi wanita bekerja dalam memenuhi kebutuhan untuk merawat tubuhnya. Data diukur berdasarkan berapa besar rupiah yang dikeluarkan oleh wanita bekerja untuk membelanjakan kebutuhan akan merawat tubuh dari total pendapatan perbulan rumah tangga. Pengkategorian tingkat gaya hidup digolongkan dengan kategori: 1. Wilayah perkotaan dengan kategori : gaya hidup rendah ( kurang dari 2 persen dari pendapatan sebulan) diberi skor 1, gaya hidup sedang ( antara 2 persen sampai 14 persen dari pendapatan
sebulan) diberi skor 2, dan gaya hidup tinggi ( lebih dari 14 persen dari pendapatan sebulan) diberi skor 3 2. Wilayah pedesaan dengan kategori : gaya hidup rendah ( kurang dari 1 persen dari pendapatan sebulan) diberi skor 1, gaya hidup sedang ( antara 1 persen sampai 9 persen dari pendapatan sebulan) diberi skor 2, dan gaya hidup tinggi ( lebih dari 9 persen dari pendapatan sebulan) diberi skor 3. e. Tingkat Pendapatan adalah jumlah pendapatan yang diterima wanita bekerja dan keluarganya selama satu bulan.
Pengkategorian tingkat
pendapatan digolongkan dengan kategori : 1.
Wilayah perkotaan dengan kategori : tingkat pendapatan rendah (kurang dari Rp. 2.500.000,00 dari pendapatan sebulan) diberi skor 1, tingkat pendapatan sedang (antara Rp. 2.500.000,00 sampai dengan Rp.10.000.000,00 dari pendapatan sebulan) diberi skor 2, dan tingkat pendapatan tinggi (lebih dari Rp.10.000.000,00 dari pendapatan sebulan) diberi skor 3
2.
Wilayah pedesaan dengan kategori : tingkat pendapatan rendah (kurang dari Rp.800.000,00 dari pendapatan sebulan) diberi skor 1, tingkat pendapatan sedang ( antara Rp.800.000,00 sampai dengan Rp.1.300.000,00 dari pendapatan sebulan) diberi skor 2, dan tingkat pendapatan tinggi (lebih dari Rp.1.300.000,00 dari pendapatan sebulan) diberi skor 3
2. Karakteristik Sosiologis adalah kondisi atau situasi yang berkaitan dengan keadaan di lingkungan sosial wanita bekerja, dan dapat diukur dengan: a. Lingkungan keluarga adalah kondisi atau situasi yang menggambarkan suasana di lingkungan keluarga wanita bekerja. Hal ini dibedakan berdasarkan interaksi wanita bekerja dengan penilaian dari pihak keluarga mengenai penilaian orang terdekat (Significant other) mengenai tubuhnya. Pengkategorian dibedakan menjadi dua, yaitu jawaban “Ya” atau “Tidak”. b. Lingkungan kerja adalah kondisi atau situasi yang menggambarkan suasana di lingkungan pekerjaan wanita bekerja. Lingkungan kerja meliputi:
1. Tuntutan pekerjaan adalah tekanan yang dirasakan wanita bekerja untuk melakukan sesuatu hal. Pengkategorian dibedakan tuntutan yang biasanya mengharuskan seorang wanita bekerja untuk berpenampilan tertentu, Pengkategorian dibedakan menjadi dua, yaitu jawaban “Ya” atau “Tidak”. 2. Penilaian rekan kerja adalah komentar atau pendapat dari rekan satu profesi mengenai penampilan wanita bekerja. Pengkategorian dibedakan menjadi dua, yaitu jawaban “Ya” atau “Tidak”. c. Identifikasi terhadap orang lain adalah bagaimana pengaruh kelompok sosial terhadap cara pandang wanita bekerja menilai penampilan para anggota kelompok dan kecenderungan wanita bekerja untuk melakukan evaluasi perbandingan anggota kelompok dengan dirinya sendiri. Pengkategorian dibedakan menjadi dua, yaitu jawaban “Ya” atau “Tidak”. 3. Iklan Kosmetika di televisi adalah iklan mengenai produk kecantikan yang terdapat di media televisi. a. Model wanita adalah model yang digunakan dalam iklan di televisi, biasanya model yang digunakan adalah selebritis ataupun yang memiliki kriteria wanita “cantik” (wajah cantik mulus, tubuh langsing proposional, kulit putih dan tinggi semampai). Sedangkan substansi iklan adalah keunggulan suatu iklan yang dinilai oleh wanita bekerja yang melihat iklan tersebut. Tingkatan seberapa menariknya iklan produk kecantikan dan sejauh mana iklan produk kecantikan disukai wanita bekerja. Perhitungan skor atas pendapatan wanita bekerja terhadap model wanita iklan produk kecantikan, sebagai berikut: Sangat Setuju (SS) diberi skor 5, Setuju (S) diberi skor 4, Netral (N) diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) diberi skor 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1. b. Frekuensi melihat iklan kecantikan adalah jumlah iklan produk kecantikan yang ditonton oleh wanita bekerja dalam kurun waktu satu hari di televisi. Spesifikasi kode frekuensi wanita bekerja dalam menonton tayangan iklan produk kecantikan adalah: 1. Melihat tayangan iklan produk kecantikan sebanyak 1 – 5 kali dalam kurun waktu satu hari (jarang) diberi label rendah
2. Melihat tayangan iklan produk kecantikan sebanyak >5 kali dalam kurun waktu satu hari (sering) diberi label tinggi c. Durasi melihat iklan kecantikan adalah lama waktu (dalam satuan jam) yang digunakan wanita bekerja untuk
menonton tayangan iklan
kecantikan di televisi. Spesifikasi kode frekuensi wanita bekerja dalam menonton tayangan iklan produk kecantikan adalah : 1. Melihat tayangan iklan produk kecantikan dalam waktu <30 menit (pendek) dalam satu hari diberi label intensitas rendah 2. Melihat tayangan iklan produk kecantikan dalam waktu >30 menit (panjang) dalam satu hari diberi label intensitas tinggi. 4. Orientasi Tubuh Wanita adalah cara wanita melihat atau menilai tubuhnya sendiri. Dalam peubah orientasi tubuh wanita yang akan dilihat kepuasan atau ketidakpuasan wanita bekerja akan anggota tubuhnya. Semakin tinggi skor wanita bekerja terhadap pertanyaan yang diberikan, maka pengaruh iklan produk kecantikan semakin tinggi dalam membentuk persepsi tubuh ideal dan membentuk ketidakpuasan wanita bekerja kepada tubuhnya, begitupun sebaliknya. 1. Citra Tubuh Positif adalah kondisi dimana wanita bekerja merasa puas akan bentuk tubuhnya. Pengkategorian dibedakan menjadi dua, yaitu jawaban “Ya” atau “Tidak”. 2. Citra Tubuh Negatif adalah kondisi dimana wanita bekerja merasa tidak suka atau tidak puas akan bentuk tubuhnya. Pengkategorian dibedakan menjadi dua, yaitu jawaban “Ya” atau “Tidak”.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif didukung pernyataan
secara kualitatif. Pendekatan kuantitatif
didukung digunakan untuk mencari
informasi faktual secara detail tentang hal-hal yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan (Wahyunu dan Muljono, 2006) Metode kuantitatif dilakukan dengan metode survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data primer, dengan individu sebagai unit analisa (Singarimbun, 1995) Data kuantitatif diperoleh dengan melakukan wawancara terstruktur yang dipandu dengan kuesioner. Pendekatan kuantitatif yang diterapkan dalam melihat persepsi wanita bekerja dalam memandang orientasi tubuhnya serta dampak iklan televisi terhadap orientasi tubuh wanita pekerja. Pernyataan kualitatif digunakan untuk menambah keakuratan data ketika proses pengumpulan data secara kuantitatif berlangsung. Hal ini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam menyimpulkan hasil dan pembahasan.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Cihideung Udik dan Kecamatan Menteng
Kota Bogor.
Pemilihan lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa di lokasi tersebut memungkinkan untuk dilaksanakan penelitian. Pertimbangan tersebut antara lain: 1. Sebagian besar penduduk Desa Cihideung Udik dan Kecamatan Menteng Kota Bogor memiliki televisi. 2. Seluruh saluran televisi dapat tertangkap dengan baik. 3. Populasi wanita bekerja di dua wilayah cukup banyak. Pengambilan data lapangan direncanakan dalam satu bulan, yang akan dilakukan pada bulan Juni s.d. Juli 2009. Pengambilan data dilakukan pada waktu
tersebut karena alokasi waktu yang telah ditentukan oleh peneliti dan kesepakatan dengan tempat pengambilan data lapangan.
3.3
Teknik Pemilihan Responden Populasi sampling dalam penelitian ini adalah seluruh wanita bekerja di
Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, dan Desa Cihideung Udik Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Responden yang dipilih sebagai sample dalam penelitian ini ialah wanita yang mempunyai pekerjaan, serta tinggal di Kelurahan Menteng Kecamatan Bogor Barat dan Cihideung Udik, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Sebelumnya dipilih secara acak berdasarkan wilayah yang sesuai dengan spesifikasi kebutuhan data sehingga wilayah RW di Kelurahan Menteng Bogor yang akan diteliti, dan yang terpilih ialah RW 16. Sedangkan untuk Cihideung Udik karena wanita bekerjanya lebih banyak di RW 10, oleh sebab itu dipilih RW 10. Responden dipilih dengan metode pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling). Teknik pengambilan sampel dengan random sederhana ditempuh melalui cara undian. Pemilihan responden dilakukan dengan cara undian. Sampel random (acak) sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel (Wahyuni dan Muljono, 2007). Kepentingan tujuan penelitian ini ialah melihat Hubungan iklan produk kecantikan dengan orientasi tubuh wanita bekerja.
3.4
Teknik Pengumpulan Data Data primer yang berupa data kuantitatif dalam penelitian ini diperoleh
dengan menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan untuk diajukan kepada responden. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden berkaitan dengan tujuan penelitian. Selain kuesioner, data kualitatif dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam untuk mengetahui lebih lanjut hubungan iklan produk kecantikan terhadap orientasi tubuh secara lebih langsung dan mendalam. Wawancara mendalam digunakan agar dapat menangkap
pengalaman, persepsi, pemikiran, perasaan, dan pengetahuan dari subyek penelitian. Informasi yang akan digali melalui wawancara mendalam antara lain penilaian keluarga, lingkungan kerja terhadap tubuh responden, penilaian iklan produk kecantikan dari responden, dan cara responden menilai tubuhnya. Data sekunder diperoleh melalui kelurahan dan kantor desa, literatur-literatur, catatancatatan, dan data-data dari instansi yang dapat mendukung kelengkapan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh
dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data
primer yang berhasil dikumpulkan secara kuantitatif terlebih dahulu diolah menggunakan Microsoft Excell 2007 sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows versi 16.0 untuk mempermudah dalam proses pengolahan data. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel. Data kuantitatif diuji dengan menggunakan uji korelasi Chi-Square untuk melihat hubungan yang nyata antar variabel dengan data berbentuk nominal. U-mann Whitnney untuk melihat perbandingan perbedaan karakteristik dua wilayah bebas (Santoso, 2005). Sedangkan untuk melihat hubungan berbentuk ordinal digunakan uji statistik korelasi Rank Spearman. Uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan antar dua variabel yang berskala ordinal dan tidak menemukan prasyarat data terdistribusi normal. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui adak tidaknya hubungan antar variaberl bebas dan terikat yang berskala ordinal (non parametik).
Korelasi dapat
menghasilkan angka positif (+) dan negatif (-). Korelasi yang menghasilkan angka positif berarti hubungan kedua variabel bersifat searah, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat juga besar. Korelasi yang menghasilkan angka negatif berarti hubungan kedua variabel tidak searah, yang berarti jika varabel bebas besar maka variabel terikat menjadi kecil.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Desa Cihideung Udik 4.1.1 Kondisi Fisik, Sarana dan Prasarana Secara administrasi, desa Cihideung Udik merupakan salah satu Desa di Wilayah Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 284 Ha diatas permukaan laut 600 M, dengan tinggi curah hujan 300.600 M3 yang terbagi dalam empat dusun, 13 Rukun Warga, dan 58 Rukun Tetangga. jumlah penduduk di Desa Cihideung Udik berjumlah 13.212 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 7.104 jiwa dan perempuan sebanyak 6.555 jiwa. Sketsa wilayah Desa Cihideung Udik dapat dilihat pada Lampiran 1. Berikut adalah perbatasan secara geografis antara Desa Cihideung Udik dengan desa-desa lain di sekitarnya, yaitu terdiri dari: Sebelah Utara
: Desa Cihideung Ilir
Sebelah Timur
: Kecamatan Dramaga
Sebelah Selatan
: Kecamatan Tenjolaya
Sebelah Barat
: Desa Bojong Jengkol / Kecamatan Tenjolaya
Pemanfaatan lahan/penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik adalah sebagai berikut perumahan/pemukiman dan pekarangan, sawah, ladang/huma, jalan, pemakaman, perkantoran, lapangan olah raga, bangunan pendidikan, bangunan peribadatan, dan kolam renang dengan jumlah luas seluruhnya 286 Ha. Pemanfaatan terbesar dalam pemanfaatan lahan/penggunaan tanah ditempati oleh hal penggunaan lahan oleh sawah sebesar 197 Ha, atau sekitar 68 persen dari total lahan. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan sebagian besar penduduk Cihideung Udik berkerja di sektor pertanian atau bekerja sebagai petani. Data selengkapnya mengenai pemanfaatan lahan/penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemanfaatan lahan/penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik Tahun 2007 No Penggunaan Luas (Hektar) Persen (%) 1 Perumahan / Pemukiman dan Pekarangan 45.5 15.90 2 Sawah 197 68.88 3 Ladah / Huma 24,2 8.46 4 Pemakaman / Kuburan 2 0.69 5 Perkantoran 0,5 0.17 6 Lapangan Olah Raga 1 0.34 7 Tanah / Bangunan Pendidikan 2 0.69 8 Tanah / Bangunan Peribadatan 2 0.69 9 Kolam Renang 7 2.44 286 100 Jumlah Luas seluruhnya Sumber: Profil Desa Cihideung Udik 2008 Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cihideung Udik meliputi TK (Taman Kanak-Kanak), TPA (Taman Pendidikan Agama), SD (Sekolah Dasar), MI (Madrasah Ibtidayah), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), MTS (Madrasah Tsanawiyah) .Data selengkapnya mengenai sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cihideung Udik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Cihideung Udik Tahun 2007 No Sarana Pendidikan Jumlah (unit) Persen (%) 1. Taman Kanak-Kanak/ Taman 5 50 Pendidikan Agama 2. Sekolah Dasar/ Madrasah 4 40 Ibtidayah 3. SLTP/ MTS 1 10 Total Sarana Pendidikan 10 100 Sumber: Profil Desa Cihideung Udik 2008 Keberadaan angkutan umum, mobil pribadi dan ojek sebagai sarana transportasi di Desa Cihideung Udik, memungkinkan tersedianya transportasi yang lancar. Prasarana perhubungan yang terdapat di Desa Cihideung Udik adalah berupa jalan raya. Jarak dari desa ke pusat kecamatan adalah 7 Km, sedangkan jarak dari desa ke ibukota kabupaten adalah 30 Km dan jarak dari desa ke ibukota propinsi adalah 131 Km. Jalan raya yang menghubungkan wilayah desa dengan wilayah luar desa berada dalam kondisi yang baik, sehingga tidak membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk melakukan mobilisasi.
4.1.2
Kependudukan, Pendidikan dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk Desa Cihideung Udik per 31 Desember 2008 adalah
sebanyak 13.212 jiwa. Data selengkapnya mengenai komposisi jumlah penduduk Desa Cihideung Udik berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Cihideung Udik Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin per 31 Desember 2007 Persen Kelompok Umur Jumlah Jiwa Jumlah (Jiwa) (%) (tahun) Laki - laki Perempuan 0-4 639 502 1,141 8.63 5–9 602 548 1,150 8.70 10 – 14 730 595 1,325 10.02 15 – 19 658 571 1,229 9.30 20 – 24 605 569 1,174 8.88 25 – 29 438 412 850 6.43 30 – 34 466 462 928 7.02 35 – 39 420 447 867 6.56 40 – 49 395 388 783 5.92 50 – 54 370 401 771 5.83 55 – 59 411 391 802 6.07 60 – 64 284 241 525 3.97 65 – 69 351 313 664 5.02 70 – keatas 512 491 1,003 7.59 Jumlah 6,881 6,331 13,212 100 Sumber: Profil Desa Cihideung Udik 2008 Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 3, terlihat bahwa jumlah penduduk jenis kelamin laku-laki maupun perempuan hamper sama banyaknya, yaitu laki-laki 6.881 (52%) dan perempuan (48%). Penduduk perempuan berusia muda (kurang dari 29 tahun) berjumlah 3197 orang (50,49%) dari total penuduk perempuan. Perempuan dewasa (antara 29 tahun sampai 45 tahun) berjumlah 1297 orang (20,48%) dan usia perempuan tua (lebih dari 45 tahun) berjumlah 1837 (29%). Maka rata-rata penduduk desa cihideung udik yang berjenis kelamin wanita berada di usia muda. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Cihideung Udik secara keseluruhan dapat dikatakan masih rendah. Hal ini dilihat dari besarnya persentase jumlah penduduk yang tidak menamatkan dan mengakhiri pendidikannya pada jenjang sekolah dasar, yaitu sebanyak 1984 orang. Data selengkapnya mengenai
jumlah penduduk Desa Cihideung Udik berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Cihideung Udik Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2007 Keterangan Jumlah (orang) Persen (%) Tidak tamat SD / Sederajat 1984 61.04 Tamat SD/ Sederajat 328 10.09 Tamat SLTP / Sederajat 32 0.98 Tamat SLTA / SMU / Sederajat 5 0.15 Tamat Akademi / Sarmud 45 1.38 Tamat Perguruan Tinggi / S1 385 11.84 Tamat Perguruan Tinggi / S2 450 13.84 Tamat Perguruan Tinggi / S3 21 0.64 100 Total 3250 Sumber: Profil Desa Cihideung Udik 2008 Jumlah penduduk angkatan kerja di Desa Cihideung Udik kebanyakan bergerak dibidang pertanian sebanyak 1800 orang (55,38%) dari total keseluruhan 3250 orang yang bekerja. Hal ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk Cihideung Udik bekerja sebagai petani. Kemudian sebanyak 450 orang yang bekerja sebagai buruh pabrik, sisanya pegawai swasta, pedangang, dan lain-lain.. Data selengkapnya mengenai jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Jumlah Penduduk Desa Cihideung Udik Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2007 Pekerjaan Jumlah (orang) Persen (%) Petani 1800 55.38 Pedagang 328 10.09 Pegawai Negri Sipil 32 0.98 TNI / POLRI 5 0.15 Pensiunan / Purnawirawan 45 1.38 Pegawai Swasta 385 11.84 Buruh Pabrik 450 13.84 Pengrajin 21 0.64 Tukang Bangunan 45 1.38 Penjahit 60 1.84 Tukan Las 2 0.06 Tukang Ojeg 15 0.46 Bengkel 6 0.18 Sopir Angkutan 31 0.95 Lain – lain 25 0.76 Total 3250 100 Sumber: Profil Desa Cihideung Udik 2008
4.2 Kelurahan Menteng Kota Bogor 4.2.1 Kondisi Fisik, Sarana dan Prasarana Kelurahan Menteng termasuk dalam wilayah Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan ini memiliki luas wilayah kurang lebih 209 Ha yang terdiri dari 20 RW. Sketsa wilayah Kelurahan Menteng dapat dilihat pada Lampiran 2. Berikut adalah perbatasan secara geografis Kelurahan Menteng, yaitu terdiri dari: Sebelah Utara
: Kelurahan Cilendek Barat
Sebelah Selatan
: Kelurahan Kebon Kalapa
Sebelah Timur
: Ciwaringin
Sebelah Barat
: Cisadane
Sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Menteng cukup lengkap yakni terdiri dari peribadatan, kesehatan, industri, pariwisata, pendidikan, olahraga, komunikasi, transportasi dan perhubungan. Sarana peribadatan yang terdapat di Kelurahan Menteng hanya ada sarana ibadah agama islam dan Kristen. Data mengenai sarana peribadatan yang terdapat dalam wilayah Kelurahan Menteng dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sarana Peribadatan di Kelurahan Menteng Tahun 2007 No Jumlah Sarana Persen Jumlah Sarana Agama Peribadatan Penduduk Peribadatan (unit) (Jiwa) 1 Islam Masjid 12 37.5 11558 Mushola 14 43.75 Majelis 5 15.62 Ta’lim 2 Protestan Gereja 1 3.125 1113 3 Katholik Gereja 587 4 Budha Wihara 125 Total 32 100 13383 Sumber: Monografi Kelurahan Menteng 2008
Persen (%) 86.33
8.31 4.38 0.93 100
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa jumlah sarana peribadatan yang paling banyak terdapat di wilayah Kelurahan Menteng adalah mushola, yaitu sebanyak 14 mushola. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kelurahan Menteng beragama islam, yakni sebesar 86 persen dari total jumlah penduduk. Sebagian penduduk Kelurahan Menteng
juga ada yang menganut agama Budha namun sarana peribadatan untuk agama tersebut tidak terdapat di dalam wilayah Kelurahan Menteng, melainkan mereka melakukan ibadahnya di luar wilayah Kelurahan Menteng. Sarana olahraga yang ada di Kelurahan Menteng cukup lengkap, baik sarana olahraga sepak bola, basket, volley, bulutangkis, sanggar senam, maupun lapangan golf. Kelurahan Menteng merupakan salah satu wilayah yang mempunyai sarana kesehatan yang cukup lengkap terdapat satu rumah sakit pemerintah dan satu swasta, satu rumah sakit jiwa, 4 rumah bersalin, 3 praktek bidan, beberapa apotek, laboratorium dan balai pengobatan. Banyaknya sarana kesehatan yang ada di Kelurahan Menteng menjadi suatu peluang untuk kerja bagi warga sekitarnya. Banyak warga Kelurahan Menteng yang bekerja di sarana kesehatan tersebut. Sementara itu sarana pendidikan yang terdapat di wilayah Kelurahan Menteng tergolong lengkap. Hal ini disebabkan oleh sudah tersedianya sekolah mulai dari jenjang TK (Taman Kanak-Kanak) hingga jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas)/SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Sarana pendidikan yang paling banyak di wilayah ini ialah Sekolah Dasar (SD) yang berjumlah 9 gedung sekolah negeri. Keberadaan angkutan umum dan kendaraan pribadi sebagai sarana transportasi di Kelurahan Menteng, memungkinkan tersedianya transportasi yang lancar. Prasarana perhubungan yang terdapat di Kelurahan Menteng adalah berupa jalan raya. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan adalah 3 KM, jarak dari pemerintah kota adalah 5 KM jarak dari ibukota propinsi adalah 120 KM sedangkan jarak dari ibukota negara ialah 60 km. Jalan-jalan yang terdapat pada kelurahan ini berada dalam kondisi yang baik, sehingga melancarkan proses mobilisasi serta tidak membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk melakukan mobilisasi. Secara tidak langsung hal ini turut meningkatkan banyaknya jumlah informasi dan ekonomi yang masuk ke wilayah ini.
4.2.2 Kependudukan, Pendidikan dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk di Kelurahan Menteng adalah sebanyak 13467 jiwa. Jumlah proporsi antara penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan wanita ialah seimbang, yakni terdiri 6492 jiwa (48 persen) penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan 6948 jiwa (52 persen) penduduk dengan jenis kelamin wanita. Jumlah penduduk yang terbanyak di kelurahan Menteng berada dalam rentang usia antara 0–4 tahun, yaitu sekitar 24 persen dari total jumlah. Sedangkan jumlah penduduk terkecil berada dalam rentang usia 60 tahun ke atas, yaitu sekitar 1 persen dari total jumlah penduduk. Hal ini menandakan bahwa di Kelurahan Menteng lebih banyak penduduk dalam usia muda. Data lengkap mengenai komposisi jumlah penduduk Kelurahan Menteng berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi Jumlah Penduduk Kelurahan Menteng Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin 2007 No Kelompok Umur Laki-Laki Wanita Jumlah Persen (Tahun) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (%) 1 0-4 1645 1629 3274 24.31 2 5-9 578 563 1141 8.47 3 5-6 501 585 1086 8.06 4 10 - 14 493 556 1049 7.78 5 15 - 19 647 597 1244 9.23 6 20 - 29 342 350 692 5.13 7 30 - 34 319 367 686 5.09 8 35 - 39 341 369 710 5.27 9 40 - 44 403 423 775 5.75 10 45 - 49 324 410 734 5.45 11 50 - 54 977 1099 2076 15.41 12 > 60 94 118 181 1.34 Jumlah 6492 6948 13467 100 Sumber: Monografi Kelurahan Menteng 2008 Tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Menteng secara keseluruhan dapat dikatakan sedang. Hal ini dilihat dari besarnya persentase jumlah penduduk yang menamatkan pendidikannya pada jenjang sekolah menengah atas dan sederajat sebesar 54 persen. Berarti sebagian besar penduduk Kelurahan Menteng telah menamatkan program pemerintah sekolah dasar Sembilan tahun. Data selengkapnya mengenai jumlah penduduk Kelurahan Menteng berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Kelurahan Menteng Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2007 No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persen (%) 1680 14.18 1. Tamat SD/Sederajat 2. Tamat SMP/Sederajat 2371 20.01 3. Tamat SMA/Sederajat 6439 54.36 602 5.08 4. D3/Akademi/Sederajat 752 6.34 5. S-1 Jumlah Sumber: Monografi Kelurahan Menteng 2008
11844
100
Jumlah penduduk usia kerja di Kelurahan Menteng cukup besar yakni 62 persen dari jumlah penduduk yang ada. Data selengkapnya mengenai sebaran penduduk usia kerja yang bekerja, berdasarkan mata pencaharian utama dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Penduduk Kelurahan Menteng Berdasarkan Mata Pencaharian Utama Tahun 2007 No. Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persen (%) 1. Karyawan: a. Pegawai Negeri Sipil 472 5.65 b. TNI 155 1.85 c. Polri 15 0.17 d. Swasta/BUMN/BUMD 1700 20.37 5. Wiraswasta/Pedagang 5509 66.03 6. Pertukangan 37 0.44 7. Pensiunan 340 4.07 8. Jasa/lain-lain 115 1.37 Total 8343 100 Sumber: Monografi Kelurahan Menteng 2008 Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 9, maka mata pencaharian utama yang paling banyak digeluti oleh penduduk di Kelurahan Menteng adalah pada wiraswasta atau pedagang, yaitu sebesar 66 persen. Sedangkan mata pencaharian yang paling sedikit digeluti oleh penduduk di Kelurahan Menteng adalah pada sektor jasa atau lain-lain sebesar 1 persen.
BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1 Responden Wanita Bekerja Wilayah Pedesaan Wanita Bekerja yang menjadi responden pada penelitian kali ini adalah wanita yang telah mempunyai penghasilan sendiri untuk mencukupi keperluannya dan berada di wilayah pedesaan. Wilayah tempat tinggal responden berada di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor khususnya bertempat tinggal di RW 10. Semua responden dalam penelitian ini bekerja di sektor pertanian dan semuanya telah menikah. Pekerjaan mereka adalah buruh tani setengah hari. Alasan mereka bekerja antara lain untuk mencukupi perekonomian keluarga. Upah atau bayaran yang mereka terima sekitar Rp. 10.000,00 untuk setiap harinya, sehingga dalam sebulan mereka dapat mengumpulkan Rp. 300.000,00. Sedangkan para suami yang umumnya juga bekerja sebagai petani menerima upah sebesar Rp. 25.000,00 perharinya, atau Rp.750.000,00 dalam sebulannya. Sebagian
besar
responden
mempunyai
tempat
berkumpul
untuk
berinteraksi sosial seperti pengajian, arisan maupun hanya tempat-tempat bersantai di tepi sawah. Waktu berkumpul responden untuk berinteraksi dengan teman-temannya yaitu siang sampai sore hari. Berbicara mengenai penampilan, responden wilayah pedesaan cenderung berpenampilan apa adanya. Cara mereka menjaga penampilan biasanya dengan membeli produk kosmetika sesuai kemampuan serta meminum jamu tradisional. Iklan produk kosmetika yang paling mereka sukai umumnya pelembab muka yang biasanya menampilkan alur cerita dalam iklannya.
5.2 Responden wanita Bekerja Wilayah Perkotaan Wanita yang menjadi responden di wilayah ini bertempat tinggal di Kelurahan Menteng Kota Bogor, tepatnya di RW 19. Alas an lokasi ini menjadi tempat penelitian karena sebagian besar wanita mempunyai pekerjaan dan kawasan ini juga merupakan perumahan real estate. Pekerjaan para wanita di Kelurahan Menteng Kota Bogor sangat beragam, antara lain perawat, pegawai negeri sipil, asisten notaries biro jasa, sekretaris, marketing, wirausaha, pegawai swasta sampai kepala bagian keuangan.
Penghasilan yang mereka perolehpun sangat beragam, pendapatan terkecil Rp.1.500.000,00 sampai yang terbesar Rp.10.000.000,00 perbulannya. Responden wilayah ini bekerja selain untuk membantu perekonomian keluarga juga sebagai tanda aktualisasi diri dan investasi di masa depan. Serta semua responden dalam penelitian ini sudah menikah. Responden bekerja dari hari senin sampai jumat pukul 07.00- 17.00 WIB, dan sebagian responden bekerja di wilayah Jakarta, sehingga waktu untuk berkumpul bersama keluarga maupun berinteraksi sosial dilaksanakan hari sabtu dan minggu. Jenis kelompok sosial yang mereka ikuti adalah arisan, pengajian, koperasi, posyandu, maupun kelompok senam. Kebanyakan responden wilayah perkotaan jarang menyaksikan iklan di televisi tiap harinya, alasannya tidak cukup waktu maupun bosan. Tetapi beberapa responden juga mengangap menonton televisi sebagai obat penghibur. Iklan produk kecantikan yang disukai wanita perkotaan umumnya sama dengan wanita pedesaan, alasannya suka dengan ide jalan cerita, model yang cantik, maupun memang memakai produk yang ditawarkan. Mengenai
hal
penampilan
pun,
para responden
wanita bekerja
mementingkan sekali aspek penampilan. Penggunaan make up dirasa sudah menjadi kebutuhan untuk tampil menarik, baik digunakan sewaktu bekerja maupun ketika berhubungan dengan masyarakat atau publik. Para wanita bekerja perkotaan menjaga penampilannya dengan rajin dating ke salon kecantikan, untuk facial, manicure pedicure, spa, sauna, hair treatment, full body treatment, pemijatan, refleksi maupun mengubah warna dan bentuk rambut. Selain itu, sebagian responden mengunjungi tempat kebugaran seperti senam, maupun fitness untuk tetap menjaga tubuh tetap prima dan langsing. Wanita bekerja diperkotaanpun memiliki dokter kecantikan tertentu agar terlihat awet muda, langsing, putih maupun terawat. Bahkan salah satu responden melakukan operasi kecantikan seperti suntik kurus (suntik aquapuntur) maupun sedok lemak di dokter kecantikan.
BAB VII GAMBARAN UMUM IKLAN PRODUK KECANTIKAN 6.1
Deskripsi Tayangan Ketakutan wanita akan perubahan tubuhnya dibentuk oleh berbagai
macam faktor, salah satunya adalah iklan produk kecantikan. Dalam hal ini adalah iklan susu rendah lemak WRP Stay Slim. Iklan ini menjelaskan betapa ketakutannya seorang wanita bekerja yang akan menentukan menu makanannya di pagi hari. Wanita tersebut bingung untuk memakan nasi goreng sebagai menu sarapannya atau tidak. Wanita tersebut berfikir dalam hati bagaimana akibatnya jika ia makan nasi goreng (sarapan) atau tidak. Jika ia memakan nasi goreng, tubuhnya akan berubah menjadi gendut dan ia takut akan hal itu, tetapi jika ia tidak memakan nasi goreng untuk sarapannya, maka pada jam makan siang wanita tersebut akan makan banyak dan akan lebih menyusahkan dirinya (tetap berubah menjadi gendut) dan merugikan lingkungannya (pria yang hampir menelan kancing baju wanita tersebut karena baju wanita tersebut kekecilan dan terbang ke arah makanan pria tersebut). Solusi atas masalah dalam situasi tersebut, produk kecantikan WRP Stay Slim menawarkan jalan keluar dengan menawarkan minuman sebagai pengganti menu sarapan pagi wanita tersebut. Wanita tersebut-pun memilih meminum WRP Stay Slim dan berkata “Untung ada WRP Stay Slim, sarapan bergizi yang praktis” sambil meminum produk WRP Stay Slim dengan tersenyum lega. Kemudian berkata dalam hati “ Sarapan Stay Slim tiap hari..” sambil melewati celah yang agak sempit, “..Tetap langsing berhari-hari..” sambil menjauhi produk WRP Stay Slim dengan percaya diri. Potongan tayangan iklan Produk kecantikan WRP Stay Slim secara rinci, dapat dilihat pada rangkaian Gambar –Gambar berikut ini.
Tayangan 1 (Wanita bercermin memandangi tubuhnya yang langsing)
Tayangan 2
(Wanita mencium aroma nasi goreng)
Tayangan 3 (Wanita menjauh dari nasi goreng dan berfikir)
Wanita : “ Kalau sarapan….”
Tayangan 3 (Tubuh wanita berubah menjadi gemuk
Wanita : “Pasti melar deh..”
Tayangan 4 (Wanita kembali berfikir) Wanita : “ Tapi, kalau ga sarapan..”
Tayangan 5 (Setting berpindah ke kantin, dan Menampilkan wanita tersebut sedang Makan dengan teman-temannya) Wanita : “ ..Siangnya..”
Tayangan 6 (Wanita makan dengan lahapnya)
Wanita : “..Mana tahan....”
Tayangan 7 (Tubuh wanita berubah menjadi gendut Dan teman-temannya terkejut)
Tayangan 8 ( Tubuh wanita semakin gendut dan kancing bajunya terpental ke gelas, lampu gantung dan menuju ke sendok pria yang akan menyantap makanannya) Tayangan 9 (Kembali ke setting awal, ekspresi wanita ketakutan akan imajinasinya) Wanita: “Haaah…..”
Tayangan 10 (Muncul cairan Keep Slim formula) Wanita : “ Untung ada WRP Stay Slim..” Tayangan 11 (Wanita meminum produk WRP Stay Slim) Wanita : “..Sarapan bergizi dan praktis..”
Tayangan 12 (Wanita berjalan melewati celah)
Wanita : “..Sarapan Stay Slim tiap hari..”
Tayangan 13 (Sosok wanita berjalan menjauhi produk, diakhir iklan muncul tulisan TETAP LANGSING BERHARI-HARI) Wanita : “..tetap langsing berhari-hari”
Gambar 2. Tayangan Iklan Produk Kecantikan WRP Stay Slim.
6.2
Analisis Tayangan Iklan produk kecantikan WRP Stay Slim yang memiliki durasi selama 30
detik. Iklan ini memperlihatkan ketakutan wanita akan perubahan bentuk tubuh yang ideal hanya karena makan sarapan di pagi hari. Pemeran utama adalah wanita bekerja yang sudah memiliki bentuk badan ideal dan takut bentuk badan idealnya tersebut berubah hanya dengan memakan sarapan nasi goreng di pagi hari. Pemeran pembantu dalam iklan ini yaitu teman-teman wanita ketika makan di kantin dan pria tidak dikenal yang akan menyantap makanan-nya. Dalam iklan teman-teman wanita menunjukaan ekspresi terkejut ketika tokoh utama wanita makan dengan lahapnya dan badan wanita itu berubah seketika menjadi gendut, hal ini menunjukan penilaian orang lain terdekat (signifikan other) turut mempengaruhi wanita dalam penilaian bentuk badan yang ideal. Ketika tubuh wanita yang berubah menjadi gendut hanya karena tidak sarapan di pagi hari, dan makan berlebihan di sore hari. Kancing pada baju wanita yang berubah menjadi gendut terpental dan hamper dimakan oleh pria tidak dikenal. Hal ini menunjukan pengaruh lingkungan dalam menilai bentuk tubuh ideal turut mempengaruhi persepsi wanita dalam menilai bentuk tubuh ideal.
Iklan produk kecantikan WRP Stay Slim memberikan solusi bagi wanita yang takut kehilangan berat badan idealnya dengan menganti menu sarapan wanita di pagi hari dengan meminum WRP Stay Slim. Produk ini menawarkan kepraktisan dan manfaat yang dibutuhkan wanita-wanita yang sibuk. Kepraktisan tercermin dalam pembuatan produk WRP Stay Slim yang cepat dan memberikan manfaat melangsingkan badan para wanita. Efek media yang begitu kuat membuat wanita tidak bisa menolak bagaimana bentuk tubuh ideal bagi wanita itu seperti apa, salah satu teori yang membahas efek media adalah Wilbur Schraam. Schraam mencetuskan teori Jarum Hipodermik (Hypodermic needle theory) dimana dalam teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif dan tidak tahu apa-apa. Artinya komunikan sangat terbius oleh suntikan pesan yang disampaikan pada iklan produk kecantikan ditelevisi sehingga terbentuklah stereotipi akan wanita cantik itu seperti wanita dalam iklan produk kecantikan dalam diri komunikan, yakni wanita yang memiliki badan langsing proposional, tinggi, putih mulus, berambut panjang dan lurus. Peran kapitalis berperan besar pula dalam meyakinkan para wanita bahwa dengan mengikuti standar kecantikan lebih disukai dan dapat dicapai, salah satunya dengan menawarkan produk yang di iklankan di televisi. Hal ini sesuai dengan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Rasyid (2005) menyatakan telah ditemukan mengkonfirmasi bahwa mayoritas 70% orang Indonesia memang mempunyai keinginan untuk memiliki kulit putih dan setengahnya mengakui menggunakan produk pemutih.
BAB VII KARAKTERISTIK WANITA YANG BEKERJA DI WILAYAH PERKOTAAN DAN DI PEDESAAN 7.1 Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah karakteristik yang melekat pada seseorang dan bersifat khas. Karakteristik individu tersebut berbeda antara wanita bekerja yang satu dengan yang lainnya. Karakteristik individu yang diteliti meliputi lima hal yaitu usia wanita bekerja, tingkat pendidikan formal, aktifitas pekerjaan, gaya hidup, dan pendapatan wanita bekerja.
7.1
Usia Wanita Bekerja Wanita bekerja adalah wanita yang melakukan suatu kegiatan secara
teratur atau berkesinambungan dalam suatu jangka waktu tertentu, dengan tujuan yang jelas yaitu untuk menghasilkan atau mendapatkan sesuatu dalam bentuk benda, uang, jasa maupun ide. Wanita bekerja yang dipilih berada dalam rentang usia antara 18 tahun sampai 60 tahun dan dalam keluarga wanita bekerja memiliki televisi sehingga wanita bekerja dapat menyaksikan iklan produk kecantikan di televisi. Tabel 10. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Usia Wanita Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 Wanita bekerja Persen Wanita bekerja Persen Karakteristik Usia di kota (orang) (%) di desa(orang) (%) Usia muda 4 13.33 5 16.67 Usia dewasa 16 53.33 25 83.33 Usia tua 10 33.33 0 0 30 100 30 100 Total Berdasarkan uji statistik u-mann whitney terdapat perbedaan yang nyata antara usia wanita bekerja di perkotaan dan di pedesaan (p<0,05). Hal ini dapat dilihat dari perbedaan sebaran umur di wilayah perkotaan dan pedesaan yang cukup signifikan.
7.2 Tingkat Pendidikan Formal Berdasarkan 60 responden yang menjadi subjek penelitian ini ternyata terdapat perbedaan yang sangat jelas sekali dari tingkat pendidikan formal di desa dan kota. Untuk tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah sampai Sekolah Dasar) di desa terdapat 27 responden dan di kota tidak terdapat wanita bekerja yang berpendidikan rendah. sedangkan tingkat pendidikan sedang (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir) di desa hanya terdapat 3 responden dan di kota terdapat 20 responden, dan untuk tingkat pendidikan tinggi (pendidikan lanjutan setelah SLTA) di desa tidak ada yang berpendidikan tinggi, dan di kota berjumlah 10 orang. Berdasarkan uji statistik u-mann whitney terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pendidikan formal wanita bekerja di perkotaan dan di pedesaan (p<0,05).
Wilayah perkotaan memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, dibandingkan wilayah perdesaan. Tabel 11. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Tingkat Pendidikan Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 Karakteristik Wanita bekerja Persen Wanita bekerja Persen tingkat pendidikan di kota (orang) (%) di desa(orang) (%) Pendidikan rendah 0 27 90 Pendidikan sedang 20 66.66 3 10 Pendidikan tinggi 10 33.33 0 30 100 30 100 Total 7. 3 Gaya Hidup Berdasarkan data di lapangan terhadap wanita bekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan. Terdapat perbedaan dalam melihat gaya hidup di wilayah desa dan kota. Penilaian gaya hidup dilakukan dengan melihat persentase besar pengeluaran wanita bekerja dalam memenuhi kebutuhannya untuk kecantikan. Hasil menunjukan perbedaan yang jelas antara gaya hidup perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan uji statistik u-mann whitney terdapat perbedaan yang nyata antara gaya hidup wanita bekerja di perkotaan dan di pedesaan (p<0,05). Hal ini berarti terlihat perbedaan yang nyata dalam hal gaya hidup wanita bekerja di perkotaan dan di pedesaan dalam memenuhi kebutuhan akan kecantikan. Perbedaan dalam pemenuhan kebutuhan kecantikan untuk masyarakat desa dengan mengunakan produk yang terjangkau ataupun menggunakan jamu tradisional, wanita pedesaan pun tidak memiliki atau mengunjungi dokter
kecantikan maupun pergi ke salon, berbeda dengan wanita perkotaan yang hamper tiap harinya menggunakan make-up, mengunjungi pusat kebugaran, perawatan salon maupun memiliki dokter kecantikan yang terpercaya.
Tabel 12. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Gaya Hidup Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 Karakteristik Wanita bekerja Persen Wanita bekerja Persen gaya hidup di Kota (orang) (%) di Desa (orang) (%) Gaya hidup rendah 4 13.33 0 0 Gaya hidup sedang 21 26 70 86.66 Gaya hidup tinggi 5 4 16.66 13.33 Total 30 100 30 100 6.4 Aktifitas Pekerjaan Berdasarkan hasil yang didapat di lapangan, terdapat 16 orang wanita perkotaan yang melakukan aktifitas pekerjaan di dalam kantor, sedangkan untuk di desa tidak ada. Hasil untuk wanita perkotaan yang melakukan aktifitas pekerjaan berhubungan dengan publik terdapat 14 orang, sedangkan untuk pedesaan tidak terdapat wanita bekerja yang berhubungan dengan publik. Hasil untuk wanita yang beraktifitas di lapangan menujukan terdapat 30 orang wanita pedesaan yang seluruhnya bekerja di lapangan sebagai buruh tani setengah hari, dan tidak terdapat seorangpun wanita perkotaan yang bekerja di lapangan. Tabel 13. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Aktifitas Pekerjaan Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 Wanita Wanita Karakteristik aktifitas Persen Persen bekerja di bekerja di pekerjaan (%) (%) kota (orang) desa (orang) 53.33 0 Pekerjaan di dalam kantor 16 0 Pekerjaan berhubungan 14 46.66 0 0 dengan publik 0 100 Pekerjaan di lapangan 0 30 30 100 30 100 Total Berdasarkan uji statistik U-mann whitney terdapat perbedaan yang sangat nyata aktifitas pekerjaan wanita bekerja di perkotaan dan di pedesaan (p<0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara aktifitas pekerjaan antara wanita bekerja di perkotaan dan di pedesaan. Perbedaan terjadi karena
semua wanita pedesaan bergerak di bidang pertanian dengan menjadi buruh tani setengah hari dan mereka bekerja di lapangan (persawahan), sedangkan wanita perkotaan bekerja di sektor industri atau jasa yang menuntut mereka berpenampilan rapid an menarik. Wanita perkotaan bekerja di dalam ruangan maupun langsung berhubungan dengan publik.
7. 5 Tingkat Pendapatan Hasil yang diperoleh dari penyebaran kuesioner di lapangan. Terdapat perbedaan yang jelas sekali dalam hal pendapatan yang diterima oleh suami istri dalam suatu rumah tangga setiap bulannya. Pendapatan dikelompoknya menjadi tiga kategori yaitu pendapatan rendah (< Rp.2.500.00,-), pendapatan sedang (Rp.2.500.000-Rp.10.000.000,-), dan pendapatan tinggi (> Rp.10.000.000,-). Sebanyak 2 responden wilayah perkotaan berpendapatan rendah, 24 responden berpendapatan
sedang,
dan
sebanyak
4
responden
wilayah
perkotaan
berpendapatan tinggi. Sedangkan wilayah pedesaan, hasilnya sebanyak 2 responden wilayah pedesaan perpendapatan rendah, 25 orang berpendapatan sedang, dan 3 responden di wilayah pedesaan berpendapatan tinggi. Tabel 14. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan Hidup Perkotaan dan Pedesaan di Kota Bogor Tahun 2009 Karakteristik pendapatan
Wanita bekerja di kota (orang)
Persen (%)
Wanita bekerja di desa (orang)
Persen (%)
Pendapatan rendah Pendapatan sedang Pendapatan tinggi Total
2 24 4 30
6.66 80 13.33 100
2 25 3 30
6.66 83.33 10 100
Berdasarkan uji statistik U-mann whitney terdapat perbedaan yang sangat nyata jenis pendapatan rumah tangga di wilayah perkotaan dan di pedesaan (p<0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan pendapatan rumah tangga wilayah perkotaan dan pedesaan. Pendapatan berbeda karena jenis pekerjaannya berbeda, dimana wanita pedesaan bergerak di pertanian, wanita perkotaan di sektor industri atau jasa.
BAB VIII ORIENTASI TUBUH WANITA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK DIRI, LINGKUNGAN SOSIAL, DAN IKLAN KECANTIKAN DI TELEVISI 8.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja 8.1.1 Hubungan Usia Individu dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,646 artinya antara usia dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif(nyata), semakin tinggi umur seseorang maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Sedangkan jika menggunakan tabulasi silang maka pada usia muda dari total 60 responden wanita bekerja wilayah perkotaan dan pedesaan,sebagian wanita bekerja usia muda memiliki citra tubuh yang negatif sebanyak (55,55%), wanita bekerja usia dewasa sebagian bercitra tubuh negatif (58,53%) dan wanita bekerja usia tua cenderung memiliki citra tubuh yang negatif (80%). Hal ini terbukti semakin tinggi usia wanita bekerja maka akan semakin tinggi pula orientasi tubuhnya. Tabel 15. Sebaran Responden Menurut Kategori Umur dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Total Persen Positif Persen Negatif Persen Kategori usia (orang) (%) (+) (%) (-) (%) Usia muda Usia dewasa Usia tua
4 17 2
44.44 41.46 20
5 24 8
55.55 58.53 80
9 41 10
15 68.33 16.66
Total
23
-
37
-
60
100
Perbandingan usia wanita bekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan dalam menilai tubuh tidak ada bedanya, walaupun jenis ketakutannya berbeda. Yang muda cemas pada perubahan-perubahan bentuk fisik menjadi kurang/tidak langsing, kurang menarik secara seksual di hadapan pasangan, dan lain-lain. Sedangkan yang tua cemas akan terlihat tua atau semakin tua, sehingga takut pasangannya akan tertarik pada wanita lain yang lebih muda, dan lain-lain. Ketika rasa takut muncul semakin kuat, para wanitapun berusaha membayar mahal untuk memudarkan kerutan-kerutan dan
mengembalikan kekencangan kulit, sehingga para wanita semakin banyak pula menggunakan produk kecantikan yang ada. Semakin tinggi kadar ketakutan seorang wanita, semakin tinggi
pula rasa
ketidakpuasan wanita tersebut kepada tubuhnya. Sehingga jika seorang wanita merasa tidak nyaman dan tidak bahagia dengan tubuhnya, ia juga tidak bahagia terhadap dirinya.
8.1.2 Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,903 artinya antara tingkat pendidikan formal dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata), semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Wanita yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki citra tubuh yang negatif (59,25%), sedangkan sebagian wanita tingkat pendidikan sedang memiliki citra tubuh yang negatif (69,23%), wanita berpendidikan tinggipun sebagian besar memiliki citra tubuh yang negatif (60%). Tabel16. Sebaran Responden Menurut Kategori Tingkat Pendidikan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Karakteristik tingkat Total Persen Positif Persen Negatif Persen (orang) pendidikan (%) (+) (%) (-) (%) Tingkat pendidikan rendah 11 40.74 16 59.25 27 45 Tingkat pendidikan sedang 4 30.76 9 69.23 13 21.66 Tingkat pendidikan tinggi 8 40 12 60 20 33.33 Total 23 37 60 100
Tingkat pendidikan wanita bekerja juga berhubungan dengan cara wanita itu menilai dirinya sendiri. Tentunya perbedaan wawasan berpengaruh dalam cara berfikir seseorang. Cara berfikir yang positif dan negatif merupakan hal terpenting dalam meningkatkan atau menurunkan citra tubuh kita. Jika kita memiliki cara berfikir positif, kita akan dapat menerima perubahan penampilan fisik yang kita alami, tetapi jika berfikir secara negatif, maka kita akan cenderung bersikap kurang menerima atau menolak perubahan yang terjadi dalam tubuh kita.
8.1.3 Hubungan Aktifitas Pekerjaan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi chi-square diperoleh nilai 0,671 dengan (p=0,05) artinya Ho ditolak, hal ini berarti ada hubungan antara aktifitas pekerjaan wanita bekerja di perkotaan dan wanita bekerja di pedesaan terhadap orientasi tubuh wanita bekerja. Hasil yang didapat menunjukan wanita yang bekerja di perkantoran memiliki citra tubuh yang negatif (56,25%), wanita yang berhubungan dengan publikpun memiliki citra tubuh yang negatif (71,42%), hal yang serupa dialami wanita yang beraktifitas dilapangan (sektor pertanian) memiliki citra tubuh yang negatif (60%). Kesimpulan walaupun aktifitas pekerjaan wanita bekerja berbeda, namun umumnya wanita memiliki citra tubuh yang negatif. Tabel 17. Sebaran Responden Menurut Kategori Aktifitas Pekerjaan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Karakteristik Total Persen Positif Persen Negatif Persen aktifitas pekerjaan (orang) (%) (+) (%) (-) (%) Pekerja kantor Berhubungan dengan publik Bekerja di lapangan
7
43.75
9
56.25
16
26.66
4 12
28.57 40
10 18
71.42 60
14 30
23.33 50
Total
23
-
37
-
60
100
Perempuan pedesaan pada daerah Jawa umumnya bergerak pada sistem pertanian dan bekerja di lapangan. Para wanita di desa Cihideung Udik pun bekerja sebagai buruh tani setengah hari, dimana dalam melakukan aktifitas pekerjaannya mereka tidak diwajibkan memiliki pendidikan yang tinggi, berpenampilan
tertentu,
dan
memiliki kemampuan
akan
skill
tertentu.
Kebanyakan wanita di desa Cihideung Udik bekerja di lahan orang lain, dimana kebanyakan pemilik lahan berdomisili di Jakarta. Upah yang mereka terima dengan bekerja sebagai buruh tani setengah hari hanya setengah dari upah yang diterima oleh para pria. Alasan utama mengapa para wanita di cihideung udik bekerja yaitu untuk menambah perekonomian keluarga Sedangkan perempuan perkotaan kebanyakan bekerja dibidang industri dan jasa. Wanita bekerja perkotaan melakukan aktifitas pekerjaannya di dalam ruangan maupun bertemu dengan publik luas. Persyaratan untuk memasuki lapangan pekerjaan menuntut mereka memiliki syarat-syarat tertentu yang
ditentukan oleh pihak yang terkait. Salah satu syarat-nya dengan berpenampilan menarik, memiliki tinggi badan dan berat badan tertentu atau menurut Wolf (2002) disebut sebagai PBQ (Professional Beauty Qualification/ kualifikasi kecantikan profesional). PBQ biasanya digunakan sebagai syarat memasuki lingkungan kerja ataupun promosi kenaikan jabatan. Kecantikan seorang perempuan menjadi kualifikasi yang bonafide untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu wanita di perkotaan lebih memperdulikan penampilan fisik dibandingkan wanita di pedesaan.
8.1.4 Hubungan Gaya Hidup dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,608 artinya antara gaya hidup dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata), semakin tinggi gaya hidup seseorang maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Hasil yang diperoleh, wanita yang memiliki citra tubuh negatif terbanyak ada ditingkat wanita yang bergaya hidup tinggi (66,66%). Sehingga dapat disimpulkan bedasarkan hasil uji Rank Spearman menyimpulkan semakin tinggi gaya hidup wanita, maka akan semakin tinggi orientasi tubuhnya. Tabel 18. Sebaran Responden Menurut Gaya Hidup dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Karakteristik gaya Total Persen Positif Persen Negatif Persen hidup (orang) (%) (+) (%) (-) (%) Gaya hidup rendah Gaya hidup sedang Gaya hidup tinggi Total
2 18 3 23
50 38.29 33.33 -
2 29 6 37
50 61.70 66.66 -
4 47 9 60
6.66 78.33 15 100
Budaya patriarki turut mendorong wanita untuk mengedepankan pentingnya penampilan fisik. Kebanggaan para laki-laki di masyarakat terletak kepada kesuksesan dan kemapanan finansialnya, kebanggaan seorang laki-laki meningkat ketika laki-laki itu mempunyai pasangan kencan yang menarik. Hal ini semakin menunjukan keberhasilan laki-laki itu dalam ajang interaksi sosial karena pasangan yang menarik dapat meninggikan harga dirinya di mata masyarakat. Maka tidak mengherankan para perempuan rela melakukan apapun untuk mendapatkan kecantikan itu sendiri, tidak
peduli dengan berapa banyak rupiah yang mereka keluarkan untuk membeli produk kecantikan, perawatan di salon, olahraga untuk mengencangkan kulit, sampai ke dokter kosmetik agar terwujudnya tubuh ideal yang ada dibenak mereka. Menurut Dymond (1949) dalam Melliana (2005) wanita rata-rata lebih akurat dalam menilai orang lain daripada laki-laki, karena itu wanita lebih peduli terhadap gangguan fisik, suatu saat keadaan ini bisa menjadikan stress yang dapat menyebabkan gangguan yang parah. Konsekuensi lain yang ditimbulkan wanita terhadap tubuhnya adalah mereka lebih sering menggunakan pakaian sebagai alat untuk mengekspresikan diri dan menunjukan perasaan mereka. Perhatian pada pakaian, pernak-pernik perhiasan, tubuh, kosmetik dan parfum, tetap didominasi oleh perempuan, sehingga itu menjadi stereotype yabg kuat sebagai kepedulian akan feminitasnya. Perbedaan antara gaya hidup dipedesaan dan perkotaan dapat dilihat dari berapa rupiah yang mereka keluarkan untuk membeli produk kecantikan, perawatan di salon, olahraga, sampai perawatan khusus dari dokter kosmetik. Sebagian besar wanita bekerja di perkotaan lebih banyak mengeluarkan uangnya untuk membeli produk kosmetik yang lebih mahal baik dari perawatan wajah sampai seluruh tubuh, perawatan kesalon rutin tiap bulannya, olahraga secara rutin tiap minggunya dengan menggunjungi pusat kebugaran seperti fitness, aerobic, body language, dan tarian-tarian bertempo cepat seperti tari salsa, serta merekapun cenderung memiliki dokter kosmetika tersendiri untuk perawatan muka, tubuh sampai operasi kecantikan. “…Saya biasanya datang ke salon 4-5 kali sebulannya, yah buat creambath, luluran, spa,. Alasannya yah biar makin cantik aja, masa kalah sama anak saya yang masih muda…”(Ibu Yeni, Menteng) “…Biasanya saya ke dokter sebulan sekali lah, biasanya sih untuk facial, tapi kadang juga buat masker vitamin C, dan lain-lain,.alasan saya ke dokter ya mbak? Hmmm..kecantikan kan perlu di jaga mbak..”(Ibu Aulia, Menteng) Lain halnya dengan wanita bekerja di pedesaan, dengan penghasilan di bawah standar Upah Minimum Regional wilayah bogor yaitu Rp.900.000,- mereka cenderung hanya membeli produk kecantikan yang terjangkau, tidak kesalon, olahraga hanya jalan pagi, dan tidak seorangpun dari wanita bekerja pedesaan mengunjungi dokter kosmetika. Ketika ditanya bagaimana cara mereka agar tetap cantik merekapun menjawab seperti kutipan dibawah ini: “…Kalau untuk menjaga kecantikan, ibu biasanya minum jamu tradisional neng..yah, alasannya biar tetep langsing..saya mah ga pernah ke salon,
kalaupun mau potong rambut teh mendingan minta tolong sama tetangga…(Ibu Imas, Cihideung Udik) Walaupun secara wilayah wanita bekerja perkotaan dan pedesaan berbeda, tetapi merekapun memiliki cara tersendiri untuk menjaga kecantikan, hal ini karena wanita hidup dan bersosialisasi dalam masyarakat, mereka tidak dapat mengacuhkan begitu saja penilaian terhadap dirinya, khususnya menyangkut bentuk tubuh mereka. Bentuk fisik adalah hal yang pertama kali dinilai dari seseorang perempuan ketika ia melakukan interaksi sosial. Masyarakat tidak akan menilai seorang perempuan dari kecerdasan intelektualnya atau kelebihan lain di balik bentuk fisiknya terlebih dulu. Budaya kesan pertama (first impression culture) di masyarakat kita menunjukan bahwa lingkungan sering kali menilai seseorang berdasarkan kriteria luar, seperti penampilan fisik. Tampilan yang baik sering diasosiasikan dengan status yang lebih tinggi, kesempatan yang lebih luas untuk dapat menarik pasangan, dan kualitas positif lainnya. Orang cenderung menilai orang gemuk sebagai orang yang malas dan suka memanjakan diri sendiri, sedangkan orang langsing dinilai sebagai orang yang teratur dan disiplin (Brehm, 1999) Penekanan penilaian penampilan fisik perempuan terletak pada proporsional fisik, yaitu pada ukuran dan bentuk tubuh. Melalui tubuh fisik ini pula seseorang tampil dihadapan orang lain, dan sebagian besar perempuan menginginkan penampilan cantik dan menarik, sesuai dengan standard yang berlaku di lingkungan masing-masing. Maka diluar standar kecantikan, kegemukan dapat berakibat pada konsekuensi negatif, seperti penolakan sosial dan self-esteem yang rendah. harga diri mereka tersiksa karena diberi label sebagai perempuan yang “gagal”, baik oleh penilaian diri mereka sendiri maupun oleh budaya yang menuntut kelangsingan dan kemudaan para perempuan. Akibatnya, sebagian perempuan menghabiskan uang yang tidak sedikit demi memperbaiki penampilan fisik di klinik perawatan wajah dan tubuh. Usaha-usaha perbaikan dan perawatan fisik yang dilakukan oleh perempuan tidaklah semata-mata hanya demi keindahan fisik itu sendiri agar ia terlihat cantik dan menarik. Usaha itu juga merupakan bentuk terapi agar dapat lebih mencintai diri sendiri jika ia mendapatkan bentuk fisik yang bagus, sehingga seorang perempuanyang berpenampilan lebih baik juga mulai merasakan hal yang lebih baik mengenai dirinya sendiri (looking good feeling good).
8.1.5 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,226 artinya antara tingkat pendapatan dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata), semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Hal ini dapat dilihat semakin tinggi pendidikan seorang wanita (85,71%), maka akan semakin tinggi orientasi tubuhnya. Tabel 19. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Karakteristik tingkat Total persen Positif persen Negatif persen pendapatan (orang) (%) (+) (%) (-) (%) Tingkat pendapatan rendah 3 75 1 25 4 6.66 Tingkat pendapatan sedang 19 38.77 30 61.22 49 81.66 Tingkat pendapatan tinggi 1 14.28 6 85.71 7 11.66 Total 23 37 60 100
Terdapat perbedaan dari jumlah pendapatan yang diterima oleh keluarga di setiap bulannya antara pendapatan keluarga di perkotaan dan pendapatan keluarga di pedesaan.
Hasil dari
penelitian menunjukaan semakin tinggi tingkat
pendapatan, maka akan semakin tinggi orientasi wanita akan orientasi tubuhnya. Hasil dalam penelitian ini menunjukan sebaran responden menurut tingkat pendapatan dan citra tubuh wanita wilayah perkotaan dan pedesaan terdapat di tingkat pendapatan sedang, yaitu dengan total 49 responden berpendapatan sedang. Hasil yang berbeda akan terlihat jika data yang diperoleh dibandingkan dengan UMR (Upah Minimum Regional) wilayah bogor pada tahun 2008 sebesar Rp.873.231 (Wikipedia, 2009). Maka wanita bekerja diperkotaan termasuk dalam pendapatan tinggi karena pendapatan minimum dari responden di wilayah perkotaan sebesar Rp.2.000.000,-, sedangkan wanita bekerja pedesaan yang hanya bermatapencarian sebagai buruh tani setengah hari mendapat upah Rp.10.000 tiap harinya, sehingga dalam sebulan jumlah pendapatan yang diterima wanita bekerja di wilayah pedesaan sebesar Rp.300.000,-. Sehingga wanita bekerja di pedesaan mendapat upah di bawah UMR yang sudah seharusnya.
8.2 Hubungan Karakteristik Sosiologis dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Karakteristik sosiologis adalah kondisi atau situasi yang berkaitan dengan keadaan di lingkungan sosial wanita bekerja. Karakteristik sosiologis wanita bekerja diketahui dengan melihat pengaruh berupa komentar, pendapat, atau kritikan dari lingkungan sekitar wanita bekerja terhadap penampilan wanita bekerja. Kategori penilaian dari komentar lingkungan sekitar dibedakan menjadi iya dan tidak. Semakin banyak wanita bekerja menjawab iya, maka lingkungan sosiologisnya turut berpengaruh dalam membentuk citra dirinya. Karakteristik sosiologis terbagi menjadi lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan kelompok sosial.
8.2.1 Hubungan Lingkungan Keluarga dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai -0,279 artinya antara lingkungan keluarga dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang negatif (nyata), semakin tinggi penilaian lingkungan keluarga terhadap penampilan wanita bekerja maka semakin rendahorientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Hasilnya,wanita yang paling banyak bercitra tubuh negatif yaitu wanita yang menurut penilaian keluarga rendah (72,22%). Tabel 20. Sebaran Responden Menurut Penilaian Keluarga dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Karakteristik penilaian Positif Total persen persen Negatif persen keluarga (orang) (%) (+) (%) (-) (%) Penilaian keluarga rendah Penilaian keluarga tinggi Total
5
27.77
13
72.22
18
30
18 23
42.85 -
24 37
57.14 -
42 60
70 100
Lingkungan keluarga adalah kondisi atau situasi yang menggambarkan suasana di lingkungan keluarga wanita bekerja. Hal ini dibedakan berdasarkan interaksi wanita bekerja dengan penilaian dari pihak keluarga mengenai penilaian orang terdekat (Significant other) mengenai tubuhnya. Hasil yang didapat sebanyak 25 orang wanita bekerja perkotaan dan 17 orang wanita bekerja pedesaan berpendapat pengaruh keluarga sangat penting bagi mereka. Hal ini bisa dilihat dari kutipan wanita bekerja berikut: “… Anak saya sering sekali komentar tentang baju apa yang saya pakai untuk bekerja, lama-lama saya percaya pada pilihan anak saya, karena
teman saya dikantorpun suka dengan cara saya berpakaian…”(Ibu Yuni, Menteng) “…Suami saya suka banget komentar, badan saya makin gendut-lah, keriput-lah, lama-lama saya ikut kepikiran sampe akhirnya minum jamu buat ngecilin perut…”(Ibu Imas, Cihideung Udik) Peran keluarga saat proses sosialisasi yang dimulai sejak dini mengukuhkan bahwa bentuk tubuh yang langsing adalah tubuh yang diharapkan oleh lingkungan. Orang tua terpengaruh oleh berbagai iklan yang mengagung-agungkan tubuh langsing dan indah, sehingga mereka menjadi khawatir kalau tubuh anak perempuannya berkembang tidak seperti yang dipromosikan oleh media massa. Oleh sebab itu, seseorang akan terpengaruh oleh komentar atau penilaian keluarga mereka karena pengaruh orang yang berarti bagi individu (significant other ) keluarga akan mempengaruhi individu tersebut terhadap orientasi tubuhnya.
8.2.2 Hubungan Lingkungan Pekerjaan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Lingkungan kerja adalah kondisi atau situasi yang menggambarkan suasana di lingkungan pekerjaan wanita bekerja. Lingkungan kerja meliputi tuntutan pekerjaan dan penilaian rekan kerja akan penampilan wanita bekerja. Tuntutan pekerjaan merupakan tekanan yang dirasakan wanita bekerja untuk melakukan sesuatu hal terkait dengan masalah penampilan sedangkan penilaian rekan kerja merupakan komentar atau pendapat dari rekan satu profesi mengenai penampilan wanita bekerja.
8.2.2.1 Hubungan Tuntutan Pekerjaan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai -0,952 artinya antara tuntutan pekerjaan dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang negatif(nyata), semakin tinggi tuntutan pekerjaan seseorang maka semakin rendah orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Data dilapangan menunjukan wanita yang memiliki citra tubuh negatif terbanyak yaitu wanita yang memiliki tuntutan kerja yang rendah (62,06%).
Tabel 21. Sebaran Responden Menurut Tuntutan Pekerjaan dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Karakteristik tuntutan Total Persen Positif Persen Negatif Persen kerja (orang) (%) (+) (%) (-) (%) Tuntutan kerja rendah Tuntutan kerja tinggi Total
11 12 23
37.93 38.70 --
18 19 37
62.06 61.29 -
29 31 60
48.33 51.66 100
Tuntutan pekerjaan merupakan tekanan yang dirasakan wanita bekerja untuk melakukan sesuatu hal terkait dengan masalah penampilan, seberapa besar tekanan yang dirasakan wanita bekerja untuk berpenampilan tertentu ditempat kerjannya akan semakin besar orientasi wanita tersebut terhadap orientasi tubuhnya. Hal ini bisa dilihat dari kutipan wanita bekerja sebagai berikut: “…Kalau ke kantor emang biasanya aku pake make-up, udah terbiasa..lagipula memang diwajibkan dari kantor untuk berpenampilan menarik mbak...”(Ibu Yuni, Menteng) “…Ngapain repot-repot lah teh kalo mau ke sawah, ntar juga bajunya kotor, repot nyucinya..”(Nyai, Cihideung Udik) Tuntutan pekerjaan memang berpengaruh dalam penampilan seorang wanita bekerja, untuk memasuki lingkungan pekerjaan-pun ada kualifikasi tertentu yang mensyaratkan wanita berpenampilan menarik (Professional Beauty Qualification). Wanita dituntut berpenampilan menarik sebagai pencitraan positif dari karyawan perusahaan untuk meningkatkan citra perusahaan di masyarakat. Hal ini dapat diinterprestasikan bahwa untuk pekerjaan non-lapangan (tidak bekerja di sawah, kebun, atau ladang) wanita perkotaan cenderung dituntut lebih tinggi dalam hal tuntutan pekerjaan dibandingkan dengan wanita pedesaan yang bekerja di sektor pertanian.
8.2.2.2 Hubungan Rekan Kerja dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai -0,604 artinya antara penilaian rekan kerja dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang negatif (nyata), semakin tinggi penilaian rekan kerja seseorang maka semakin rendah orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Data menunjukan wanita yang memiliki citra tubuh negatif yaitu wanita yang penilaian rekan kerjanya rendah (64,10%). Tabel 22. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Penilaian Rekan Kerja dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Karakteristik penilaian Citra tubuh (orang) Total Persen
rekan kerja Penilaian rekan kerja rendah Penilaian rekan kerja tinggi Total
Positif (+)
Persen (%)
Negatif (-)
Persen (%)
(orang)
(%)
14
35.89
25
64.10
39
65
9 23
42.85 -
12 37
57.14 -
21 60
35 100
Penilaian rekan kerja merupakan komentar atau pendapat dari rekan satu profesi mengenai penampilan wanita bekerja. Penilaian ini bisa berisikan kritik, pendapat, nasihat, atau celaan dari rekan kerja ditempat wanita itu bekerja terhadap penampilan atau tubuh wanita tersebut. Orang-orang yang termaksud kedalam rekan kerja meliputi atasan, rekan satu profesi, dan bawahan. Semakin tinggi jabatan orang yang berkomentar menurut responden, semakin tinggi pula orientasi tubuh responden tersebut. Perbedaan tempat kerja mempengaruhi pula wanita bekerja menilai tubuhnya, yang dalam penelitian ini wanita bekerja di perkotaan kebanyakan bergerak di industri dan jasa, sedangkan wanita bekerja di perdesaan bergerak dibidang pertanian. Hasilnya, wanita bekerja perkotaan cenderung lebih terpengaruh akan penilaian rekan kerja dibandingkan wanita bekerja di wilayah pedesaan. Perbedaan dari lingkungan perkotaan dan pedesaan dapat dilihat dari kutipan berikut: “..kalo bos komentar tentang penampilan saya, atau harus mengubah penampilan saya, saya cenderung ngikutin mbak, sama ajalah saya anggep sebagai tuntutan pekerjaan…”(Ibu Rina, Menteng) “…perasaan ga ada yang komentar neng waktu disawah mah, kan penampilannya sama aja..hehe…”(Nyai, Cihideung Udik) Perbedaan pendapat mengenai rekan kerja disebabkan oleh suasana dan aktifitas pekerjaan wanita bekerja di lingkungan kerja. Untuk pekerjaan yang didalam ruangan dan berhubungan dengan publik kebanyakan besar memang menuntut wanita agar berpenampilan menarik sehingga saran, pendapat ataupun kritikan dari rekan satu profesi berpengaruh terhadap penampilan mereka ditempat kerja, sebaliknya dengan wilayah pedesaan yang sebagian penduduknya bergerak dibidang pertanian dan perkebunan, faktor rekan kerja tidak berpengaruh terhadap gaya penampilan mereka ditempat kerja.
8.2.3 Hubungan Kelompok Sosial dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,438 artinya antara kelompok sosial dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata), semakin tinggi kelompok sosial seseorang maka semakin tinggi orientasi
tubuh pada wanita yang bekerja. Data dilapangan menunjukan, wanita yang mendapat penilaian kelompok yang rendah mengalami citra tubuh yang negatif (68,18%). Tabel 23. Sebaran Responden Menurut Pengaruh Kelompok dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Karakteristik pengaruh Total Persen Positif Persen Negatif persen (orang) kelompok (%) (+) (%) (-) (%) Pengaruh kelompok rendah 7 31.81 15 68.18 22 36.66 Pengaruh kelompok tinggi 16 42.10 22 57.89 38 63.33 Total 23 37 60 100 Dentifikasi kelompok sosial adalah bagaimana pengaruh orang lain dalam satu kelompok terhadap penampilan wanita bekerja di lingkungan sosialnya. Kelompok sosial yang berada dalam lingkungan sosial wanita bekerja yaitu arisan, pengajian, ataupun teman se-permainan. Dalam kelompok sosial individu akan membandingkan dirinya dengan orang lain, biasanya yang hampir serupa dengannya, kemudian individu akan mengevaluasi dirinya dengan subjek pembandingnya dan mulai melihat perbedaan atau kekurangan yang tidak sesuai dengan subjek pembanding. Dalam hal ini yang biasa dijadikan individu sebagai subjek pembanding adalah orang yang dikagumi individu, baik dari cara ia berjalan, berpenampilan maupun bentuk tubuhnya. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut : “…Saya suka dengan gaya ibu X, gayanya enak banget dilihat..fashionable banget, udah gitu badannya oke, soalnya dia suka latihan di tempat fitness..saya mah, mana sempet..”(Ibu Yuni, Menteng) “…Yah, klo ditanya suka mah ada neng, tapi mau gimana lagi..kita mah pasrah aja udah kayak gini, semuanya udah diatur Allah…”(Nyai, Cihideung Udik) Penekanan masyarakat sendiri, selama ini mungkin tidak ada aspek dari penampilan mengalami kecemasan yang lebih hebat daripada masalah bentuk tubuh dan berat badan. Menjadi gemuk adalah hal terutama yang dipedulikan perempuan, sebagaimana kelangsingan merupakan aspek utama dari kecantikan fisik itu dilihat. Lingkungan sosial dalam hal ini kelompok sosialpun turut mempengaruhi wanita dalam menilai penampilan fisiknya. Kesadaran akan adanya reaksi sosial terhadap berbagai bentuk tubuh menyebabkan para wanita prihatin akan pertumbuhan tubuhnya apabila tidak sesuai
dengan standar budaya yang berlaku dan lama kelamaan akan menurunkan rasa percaya diri seseorang sehingga ia-pun memiliki citra tubuh yang negatif.
8.3 Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Iklan produk kecantikan di televisi adalah iklan-iklan produk kecantikan yang terdapat di media elektronik televisi. Iklan produk kecantikan dalam penelitian ini dilihat secara umum. Iklan yang dilihat mulai dari iklan produk perawatan rambut, perawatan wajah dan perawatan tubuh. Penilaian iklan produk kecantikan televisi dikategorikan kedalam model wanita dan subtansi iklan, frekuensi dan durasi iklan produk kecantikan di televisi.
8.3.1 Hubungan Model Wanita dan Subtansi Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,641 artinya antara model wanita dan substansi iklan produk kecantikan di televisi dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata), semakin tinggi model wanita dan substansi iklan produk kecantikan di televisi maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Tabel 24. Sebaran Responden Menurut Pengaruh Model dan Subtansi Iklan Produk Kecantikan di Televisi dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Citra tubuh (orang) Pengaruh model Total Persen Positif Persen Negatif Persen dan substansi iklan (orang) (%) (+) (%) (-) (%) produk kecantikan Pengaruh rendah Pengaruh sedang Pengaruh tinggi Total
3 15 5 23
75 37.5 31.25 -
1 25 11 37
25 62.5 68.75 -
4 40 16 60
6.66 66.66 26.66 100
Data menunjukan sebanyak 75% wanita bekerja memiliki citra tubuh positif ketika pengaruh model dan subtansi iklan produk kecantikan rendah, sedangkan sebanyak 68,75% wanita memiliki citra tubuh yang negatif ketika pengaruh semakin besar. Pengaruh kapitalis ikut berpengaruh besar pada body image. Kapitalisme melalui menentukan standar tubuh ideal masa kini melalui media massa, dalam penelitian ini iklan produk kecantikan di televisi agar perempuan
terus menerus memperbaiki
penampilannya demi mencapai ukuran yang di idealkan. Kebanyakan bagi para wanita menjadikan para model yang terdapat di media massa, cetak maupun elektronik atau iklan
kecantikan sebagai standar atau patokan baru untuk ukuran kecantikan. Pada saat standar baru kecantikan adalah langsing mulai diperkenalkan melalui model wanita dalam iklan produk kecantikan di televisi, perempuan dengan berat tubuh rata-rata atau lebih berat dari figur yang ditampilkan akan mengalami tekanan untuk mengontrol berat badan mereka. Subtansi atau isi suatu pesan dalam iklan turut mempengaruhi konsumen dalam membeli produk yang ditawarkan. Semakin tinggi keinginan para wanita untuk mengejar ukuran tubuh ideal, semakin terbuka kesempatan para pemilik modal untuk menggembangkan produk-produk kecantikan dan jasa untuk memperbaiki penampilan. Industri-industri yang bergerak di bidang kecantikan berkembang pesat dalam menumbuhkan keraguan pribadi perempuan. Untuk meraih sukses, industri-industri tersebut tidak hanya memotivasi keinginan terhadap produknya, tetapi juga harus meyakinkan perempuan bahwa tanpa produk tersebut, ia tidak akan disukai atau diinginkan. melalui iklanlah para industri-industri tersebut membudayakan standar kecantikan yang dapat mempengaruhi citra diri konsumennya. Pengaruhnya adalah ketika seorang melakukan perbandingan atas fisiknya sendiri dengan standar kecantikan yang berlaku ia akan semakin rentan terhadap bentuk tubuhnya sendiri. Konsekuensinya, para wanita sulit menerima bentuk tubuhnya.
8.3.2 Hubungan Frekuensi Menyaksikan Iklan Produk Kecantikan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,435 artinya antara frekuensi menyaksikan iklan produk kecantikan dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata), semakin tinggi frekuensi menyaksikan iklan produk kecantikan maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Wanita yang memiliki citra tubuh negatif (84,21%) yaitu wanita yang menonton iklan produk kecantikan sering (lebih dari lima kali sehari) Tabel 25. Sebaran Responden Menurut Frekuensi Menyaksikan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Frekuensi Citra tubuh (orang) menyaksikan iklan Total Persen Positif Persen Negatif Persen produk kecantikan (orang) (%) (+) (%) (-) (%) (Perhari) Jarang Sering
20 3
48.78 15.78
21 16
51.21 84.21
41 19
68.33 31.66
Total
23
-
37
-
60
100
Frekuensi melihat tayangan iklan adalah jumlah tayangan iklan produk kecantikan yang dilihat oleh wanita bekerja dalam kurun waktu satu hari di televisi. Kategori frekuensi wanita bekerja dalam melihat tayangan iklan produk kecantikan dibedakan menjadi dua, yaitu frekuensi jarang dan frekuensi sering. Wanita bekerja yang dalam kurun waktu satu hari melihat tayangan iklan layanan produk kecantikan sebanyak 1 sampai 5 kali, dikategorikan sebagai wanita bekerja dengan frekuensi jarang dan wanita bekerja yang dalam kurun waktu satu hari melihat tayangan iklan produk kecantikan sebanyak 5 kali atau lebih, dikategorikan sebagai wanita bekerja dengan frekuensi sering. Semakin sering seseorang menyaksikan iklan produk kecantikan, maka peneguhan akan standar kecantikan semakin kuat. Sehingga terciptalah tujuan iklan tersebut agar para wanita membeli produk yang diiklankan agar memiliki kecantikan seperti model dalam iklan dan semakin tinggi pula orientasi tubuh wanita tersebut.
8.3.3 Hubungan Durasi Menyaksikan Tayangan Iklan Produk Kecantikan dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja Berdasarkan hasil uji Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai +0,986 artinya antara durasi menyaksikan tayangan iklan produk kecantikan dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata), semakin tinggi durasi menyaksikan tayangan iklan produk kecantikan maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Tabel 26. Sebaran Responden Menurut Durasi Menyaksikan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dan Citra Tubuh Wanita Bekerja di Kota Bogor Tahun 2009 Durasi menyaksikan iklan produk kecantikan (perhari) Intensitas rendah Intensitas tinggi Total
Citra tubuh (orang) Positif (+) 13 10 23
Persen (%) 56.52 43.47 100
Negatif (-) 21 16 37
Persen (%) 56.75 43.24 100
Total (orang) 34 26 60
Persen (%) 56.66 43.33 100
Durasi melihat iklan adalah lama waktu yang digunakan wanita bekerja dalam melihat setiap tayangan iklan produk kecantikan di televisi perharinya. Kategori durasi wanita bekerja dalam melihat tayangan iklan produk kecantikan dibedakan menjadi dua, yaitu durasi pendek dan durasi panjang. Wanita bekerja yang melihat tayangan iklan produk kecantikan dalam waktu kurang dari 20 detik perharinya, dikategorikan sebagai wanita bekerja dengan label intensitas rendah dan wanita bekerja yang melihat tayangan
iklan produk kecantikan dalam waktu 20 detik atau lebih perharinya, dikategorikan sebagai wanita bekerja dengan label intensitas tinggi. Sebagian besar wanita bekerja yang tidak melihat tayangan iklan kecantikan sampai habis biasanya karena tidak ada waktu, tidak sempat, bosan, malas menonton televisi atau iklan produk kecantikan, dan sebagainya. Hal ini bisa dilihat dari kutipan sebagai berikut: “… yah, males aja ngeliat acaranya sampe abis neng, kita kan juga banyak kerjaan..”(Imas, Cihideung Udik)
8.4 Ikhtisar Citra tubuh mengacu pada gambaran seseorang tentang tubuhnya yang dibentuk dalam pikirannnya, yang lebih banyak dipengaruhi oleh self-esteem orang itu sendiri, daripada oleh penilaian orang lain tentang kemenarikan fisik yang sesungguhnya dimiliki orang tersebut, serta dipengaruhi pula oleh keyakinannya sendiri dan sikap terhadap tubuh sebagaimana gambaran tubuh ideal dalam masyarakat. Citra tubuh yang secara umum dibentuk dengan melakukan perbandingan dengan orang lain, biasanya seseorang yang dijadikan patokan individu tersebut dalam standar kecantikan tertentu. Citra tubuh merupakan hal yang dipelajari. Proses pembelajaran citra tubuh ini sering kali dibentuk lebih banyak oleh orang lain selain individu sendiri, yaitu keluarga dan masyarakat. Sehingga dapat disimpulakan citra tubuh merupakan bagian dari konsep diri yang berkaitan dengan sifat fisik dibentuk oleh banyak faktor. Citra tubuh yang merupakan cara pandang mempunyai dua komponen cara berfikir, yaitu cara berfikir positif dan cara berfikir negatif. Cara berfikir yang positif atau negatif merupakan hal terpenting dalam meningkatkan atau menurunkan citra tubuh kita. Alasan mengapa banyak perempuan merasakan tubuh mereka sebagai suatu masalah adalah karena hampir seluruh kebudayaan di dunia, tak terkecuali kebudayaan kita, baik wilayah perkotaan maupun wilayah pedesaan mengajarkan kepada para wanita harus berpenampilan menarik untuk dihargai, yang kemudian menciptakan standar kecantikan yang tidak sehat dan sulit dicapai. Peran media massa, khususnya iklan produk kecantikan turut menginjeksi wanita bentuk tubuh yang ideal (standar kecantikan). Sebuah
penelitian menjelaskan bahwa persepsi terhadap tubuh sering kali terdistorsi atau menyimpang, yang disebabkan karena kurang percaya diri, rasa tidak puas dengan keadaan fisiknya dan mempunyai persepsi yang salah terhadap tubuhnya (Arkoff, 1976) dalam Melliana (2006). Oleh sebab itu ketika perempuan mempunyai gambaran ideal tentang tubuh yang berlawanan dengan citra tubuh nyatanya, ini mengindikasikan betapa ia mengalami ketidakpuasan terhadap tubuhnya sendiri. Tabel 27. Sebaran Responden Menurut Wilayah terhadap Citra Tubuh Wanita Tahun 2009 Wilayah (orang) Total Persen Citra tubuh Persen Persen (orang) (%) Kota Desa (%) (%) Positif (+) Negatif (-) Total
11 19 30
36.66 63.33 100
12 18 30
40 60 100
23 37 60
38.333 61.66 100
Hasil dari data tabulasi silang Tabel 27. menjelaskan bahwa sebagian besar faktor-faktor yang diteliti memiliki pengaruh dalam penilaian wanita bekerja dalam menilai dirinya. Umumnya, semakin tinggi faktor-faktor yang diteliti (karakteristik internal, penilaian lingkungan sosial, lingkungan tempat kerja, tuntutan pekerjaan, kelompok sosial dalam masyarakat dan iklan produk kecantikan di televisi) mempengaruhi orientasi tubuh wanita bekerja. Sehingga dalam pembentukan citra tubuh pada seseorang dibentuk bukan hanya oleh satu faktor semisal usia, tetapi pengaruh berbagai faktor-faktor yang saling berhubungan satu sama lainnya. Banyaknya para wanita bekerja yang mengalami masalah ketidakpuasan terhadap sosok tubuhnya pada saat ini disebabkan adanya kesenjangan tubuh ideal yang didasarkan pada budaya yang saat ini berlaku, yaitu bahwa tubuh ideal bagi perempuan adalah langsing, dengan kenyataan tubuh yang mereka miliki saat ini, yaitu bahwa kebanyakan para wanita bekerja wilayah perkotaan dan pedesaan memiliki tubuh yang lebih gemuk atau sedikit melebihi standar. Ketika para wanita semakin tidak puas akan tubuhnya dapat menyebabkan body image dilemma (Melliana, 2006).
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Wanita bekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan memiliki karakteristik individu yang berbeda. Perbedaan ini dilihat dari usia responden, tingkat pendidikan formal, gaya hidup akan kecantikan, aktifitas pekerjaan, dan pendapatan keluarga. Dari usia, kebanyakan responden wilayah perkotaan dan pedesaan berada pada usia dewasa antara 29 tahun sampai 45 tahun. Tingkat pendidikan formal wilayah pedesaan cenderung rendah (tidak sekolah sampai SD), sedangkan kebanyakan responden wilayah perkotaan memiliki tingkat pendidikan formal sedang (SLTP-SLTA). Gaya hidup akan kecantikan wilayah perkotaan dan pedesaan umumnya berada di rentan gaya hidup sedang yaitu antara 2 persen sampai 14 persen dari total pendapatan keluarga. Dilihat dari aktifitas pekerjaan, wanita bekerja wilayah perkotaan memiliki aktifitas di dalam ruangan dan berhubungan langsung dengan publik, karena sebagian besar dari mereka bekerja di sektor industri, lain halnya dengan wanita bekerja wilayah pedesaan, semua wanita melakukan aktifitas bekerjanya di lapangan, karena mereka semua bergerak pada sektor pertanian yaitu buruh tani setengah hari. Sedangkan untuk tingkat penghasilan rumah tangga, kebanyakan responden baik wilayah perkotaan dan pedesaan menempati tingkat pendapatan sedang, yakni untuk wilayah perkotaan antara Rp. 2.500.000,- sampai dengan Rp.10.000.000,dari pendapatan sebulan, dan wilayah pedesaan antara Rp.800.000,- sampai dengan Rp.1.300.000 dari pendapatan sebulan. Hubungan Faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi tubuh wanita bekerja wilayah perkotaan dan pedesaan yaitu: 1. Hubungan karakteristik individu (Usia, Tingkat pendidikan formal, Gaya hidup, aktifitas pekerjaan, dan tingkat pendapatan) memiliki hubungan positif (nyata) terhadap orientasi tubuh wanita bekerja. Artinya, semakin tinggi Usia, Tingkat pendidikan formal, Gaya hidup, aktifitas pekerjaan, dan tingkat pendapatan maka semakin tinggi pula orientasi tubuh wanita bekerja.
2. Hubungan
karakteristik
lingkungan
sosial
(Lingkungan
keluarga,
Lingkungan kerja, dan Kelompok sosial) dengan orientasi tubuh wanita memiliki hubungan yang positif (nyata). Artinya, semakin tinggi pengaruh karakteristik lingkungan sosial dalam menilai individu atas penampilannya maka akan semakin tinggi pula orientasi tubuh wanita bekerja. 3. Hubungan Iklan produk kecantikan di televisi (Model wanita dan substansi iklan produk. frekuensi, serta durasi lama menyaksikan iklan prosuk kecantikan di televisi setiap harinya) dengan orientasi tubuh wanita bekerja memiliki hubungan yang positif (nyata). Artinya semakin tinggi pengaruh iklan produk kecantikan yang dinilai wanita bekerja, maka semakin tinggi pula orientasi tubuh wanita bekerja.
9.2 Saran Setiap individu memiliki perbedaan dalam menilai citra terhadap tubuhnya sendiri, tetapi ketika citra individu semakin negatif akan membuat individu merasa tidak nyaman akan dirinya dan tidak/kurang dapat menikmati kehidupannya. Ketika individu memiliki konsep diri yang positif maka ia akan menilai tubuhnya secara positif pula, sehingga ia akan menerima apa adanya dan menghargai tubuh-nya sendiri. Langkah awal yang perlu dilakukan untuk mengubah citra tubuh yang negatif yaitu dengan mengubah pikiran, pandangan, dan perasaan mengenai tubuh individu itu sendiri yaitu dengan cara berkomunikasi dengan diri sendiri. Kemudian pendidikan dalam keluarga juga sebaiknya tidak mengajarkan wanita dinilai hanya sejauh mana wanita itu menarik secara fisik, melainkan lebih ditekankan untuk melihat hal yang lain semisal peningkatan pendidikan. Selain itu, sebaiknya peran media watch lebih ditingkatkan lagi dalam menilai bentuk tubuh wanita. Serta produsen pembuat iklan diharapkan tidak terlalu menyudutkan wanita yang tidak masuk kategori “cantik” dan tidak melebih-lebihkan isi pesan.
DAFTAR PUSTAKA Andika, Jurika. 2008. Hubungan Keterdedahan terhadap Media Massa dengan Pengetahuan tentang Kebijakan Pemerintah mengenai Flu Burung (Kasus pada Mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor). Skripsi. IPB. Bogor. Arief, Agung Suwasana. 2001 Perspektif Gender Dalam Representasi Iklan. Jurusan Desain Komunikasi Visual. Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra.Yogyakarta Bachtiar , Aly. (2009). Kompetisi pencitraan. Jakarta : Harian Seputar Indonesia.
Berlo, David K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to The Theory and Practice. Winston Publisher. New York. Biagi, Shirley. 2005. An Introduction to Mass Media. Fifth Edition. Wadsworth Publishing Company. USA. Black, J A dan D. J Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT. Rafika Aditama. Bandung. Effendy, Onong Uchjana. 1991. Televisi Siaran Teori dan Praktek. CV Mandar Maju. Bandung, Faturochman, Naomi Srie Kusumastutie. 2004. Analisis Gender Pada Iklan Televisi Dengan Metode Semiotika. JURNAL PSIKOLOGI No.2 Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-teori Komunikasi. Penyunting: Jalaluddin Rakhmat, Penerjemah: Soejono Trimo. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Goenawan, Felicia. 2007. Ekonomi Politik Iklan Di Indonesia Terhadap Konsep Kecantikan. Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 1 No.1 Januari 2007 Kasiyan, 2001. Perempuan dan Iklan: Sebuah Catatan tentang Patologi Ideologi Gender di Era Kapital. Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. Masriadi, Peran Komunikasi Massa terhadap Perubahan Pola Perilaku
Masyarakat.http://masriadi.multiply.com/journal/item/13/Peran_Komunik asi_Massa_Terhadap_Perubahan_Pola_Perilaku_Masyarakat. Diakses pada 15 Desember 2008, pada waktu 21.00-22.00WIB
McQuail, Denis. 1987. Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga
Melliana, Annastasia. 2006. Menjelajah Tubuh, Perempuan Dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta : LKIS.
Munfarida, Elya.2007. Genealogi SCRIPTURA.Vol.5,No.2
Kecantikan.
Jurnal
Ilmiah
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2004. Putih, Feminitas dan Seksualitas Perempuan dalam Iklan Kita. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan (Edisi : Remaja Melek Media)
Primianty, Dewi. 2008. Hubungan Antara Persepsi Putri dan Citra Perempuan Cantik dalam Iklan Kosmetik di Televisi dengan Penggunaan Produk Kosmetik oleh Remaja Putri. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahmatsyam, Lakoro. 2008. Industri Periklanan dan Fungsi Media yang Terlupakan. www.jurnalpsikologi.com. .Diakses pada 15 Desember 2008, pada waktu 21.00-22.00WIB
Rashid, Hannah Aidinal Al. 2005. Putih Cantik-Persepsi Kecantikan dan Obsesi Orang Indonesia untuk Memiliki Kulit Putih. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Santoso, Singgih. 2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Non Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Subuiyantoro, Eko Bambang. 2004. Tubuhku (Seharusnya) Milikku : Dilema Remaja Perempuan Menyikapi Media. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan (Edisi : Remaja Melek Media)
Walpole, Ronald. E. 1992. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Widyatama, Rendra. 2005. Pengantar Periklanan. Jakarta : Buana Pustaka Indonesia
Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan, Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta : Niagara
LAMPIRAN
Lampiran 1 Denah Cihideung Udik
Desa Cihideung Udik
Sumber : www.mistermap.com tahun 2009
Lampiran 2 Denah Kelurahan Menteng Kota Bogor
Kelurahan Menteng
Sumber : www.mistermap.com tahun 2009
Lampiran 3 Uji Kolerasi Ranks Whitney
umur
pendidikan
Aktifitas pekerjaan
Pendapatan
Gaya hidup
Wilaya h
N
Mean Rank Sum of Ranks
kota
30
35.60
1068.00
desa
30
25.40
762.00
Total
60
kota
30
21.00
1350.00
desa
30
16.00
480.00
Total
60
kota
30
15.50
465.00
desa
30
21.50
1365.00
Total
60
kota
30
21.50
1365.00
desa
30
15.50
465.00
Total
60
kota
30
26.58
797.50
desa
30
29.42
1032.50
Total
60
umur
Pendidikan
Aktifitas pekerjaan
Pendapatan
Gaya hidup
Mann-Whitney U
297.000
15.000
.000
.000
332.500
Wilcoxon W
762.000
480.000
465.000
465.000
797.500
-2.265
-6.927
-7.244
-6.788
-2.017
.024
.000
.000
.000
.044
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Test Statistics(a)
Uji kolerasi Chi Square Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2Value
Df
sided)
Pearson Chi-Square
.798a
2
.671
Likelihood Ratio
.818
2
.664
Linear-by-Linear Association
.001
1
.979
N of Valid Cases
60
Uji kolerasi Rank Spearman Correlations
umur
Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
1.000
.060
.
.646
60
60
Correlation Coefficient
.060
1.000
Sig. (2-tailed)
.646
.
60
60
Sig. (2-tailed)
N
citra tubuh
citra tubuh
N
Uji kolerasi Rank Spearman Correlations pendidikan
Spearman's rho
pendidikan
Correlation Coefficient
citra tubuh
1.000
.016
.
.903
60
60
Correlation Coefficient
.016
1.000
Sig. (2-tailed)
.903
.
60
60
Sig. (2-tailed)
N
citra tubuh
N
Uji kolerasi Rank Spearman Correlations Gaya hidup
Spearman's rho
Gaya hidup
Correlation Coefficient
1.000
.068
.
.608
60
60
Correlation Coefficient
.068
1.000
Sig. (2-tailed)
.608
.
60
60
Sig. (2-tailed)
N
citra tubuh
citra tubuh
N