HUBUNGAN FUNGSI MOTORIK KASAR DENGAN KUALITAS HIDUP ANAK PALSI SEREBRAL Meisa Puspitasari, Kusnandi Rusmil, Dida A. Gurnida
Abstrak Latar belakang. Gangguan motorik yang terjadi pada anak palsi serebral (PS) sering disertai dengan kelainan komorbid lain dan berisiko mengalami gangguan emosi dan psikososial yang dapat memengaruhi kualitas hidup penderita. Tujuan. Mengetahui hubungan fungsi motorik kasar dengan kualitas hidup anak PS. Metode. Penelitian analitik korelatif dengan desain cross-sectional dilaksanakan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Bandung, Sekolah Luar Biasa (SLB) Cileunyi, dan poliklinik Neurologi Anak RS Hasan Sadikin sejak Maret 2011 sampai September 2012. Fungsi motorik kasar dinilai dengan menggunakan Gross Motor Function Classification Scale (GMFCS). Kualitas hidup dinilai dengan kuesioner Cerebral palsy-quality of life (CP-QOL) menurut laporan orangtua. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 31 anak PS berusia 4−12 tahun. Sebanyak 17/31 anak mengalami disabilitas ringan (tingkat GMFCS I dan II), 3/31 anak mengalami disabilitas sedang (GMFCS III), dan 16/31 anak mengalami disabilitas berat (GMFCS IV dan V). Terdapat hubungan negatif yang tidak signifikan antara fungsi motorik kasar dengan kualitas hidup secara umum pada anak PS (rs=-0,153, p=0,205). Kuallitas hidup aspek rasa nyeri dan dampak disabilitas memiliki hubungan yang signifikan dengan fungsi motorik kasar (rs=-0,313,p=0,043). Aspek lainnya yaitu kesejahteraan sosial dan penerimaan, perasaan mengenai fungsi, partisipasi dan kesehatan fisik, kesejahteraan emosional dan kepercayaan diri, akses mendapatkan pelayanan, serta aspek kesehatan keluarga, tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup anak PS (p>0,05). Simpulan. Fungsi motorik kasar berhubungan dengan kualitas hidup aspek rasa nyeri dan dampak disabilitas pada anak PS. Semakin berat disfungsi motorik kasar (tingkat GMFCS), kualitas hidup anak PS semakin menurun, walaupun tidak secara signifikan. Kata kunci: CP-QOL, fungsi motorik kasar, GMFCS, kualitas hidup, palsi serebral.
P
alsi serebral (PS) merupakan suatu istilah deskriptif, nonspesifik yang digunakan untuk kelainan fungsi motorik yang timbul pada masa awal kehidupan dan ditandai
dengan perubahan tonus otot (khususnya spastisitas atau kekakuan), kelemahan otot, gerakan involunter, ataksia, atau kombinasi kelainan tersebut. Kondisi ini disebabkan karena disfungsi otak dan tidak bersifat progresif ataupun episodik.1 Kelainan motorik pada PS sering kali disertai
1
dengan retardasi mental, epilepsi, gangguan bicara dan bahasa, penglihatan, pendengaran, perilaku, serta masalah muskuloskeletal sekunder.1-3 Kualitas hidup anak PS merupakan hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Gangguan kronik gerak dan postur tubuh pada anak PS akan menyebabkan penurunan fungsi dan ketidakmampuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.4-6 Berbagai kelainan komorbid dan rasa nyeri yang sering menyertai anak PS akan berdampak negatif terhadap kualitas hidup anak PS.5,7,8 Anak PS juga akan mengalami berbagai macam masalah sosial dan emosional, seperti penolakan oleh teman, depresi, frustasi, cemas, dan marah. Selain itu, orangtua dari anak PS berisiko tinggi mengalami stres, kondisi keluarga yang labil, dan rendahnya kemampuan untuk bertahan dari masalah, sehingga akan memengaruhi kualitas hidup penderita. Pengobatan dan perawatan anak PS memberatkan dalam hal biaya, waktu dan stres, sehingga dapat menjadi ancaman potensial bagi kualitas hidup anak PS. Oleh karena itu, kualitas hidup anak PS merupakan salah satu penilaian yang penting dalam mengevaluasi efektivitas pengobatan PS.9 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan fungsi motorik kasar dengan kualitas hidup anak PS.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan rancangan potong lintang (cross sectional). Pengambilan data dilakukan secara consecutive sampling sampai jumlah sampel terpenuhi. Sampel penelitian adalah penderita PS atau pengasuh utama subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan terdaftar di YPAC Bandung, Sekolah Luar Biasa (SLB) Cileunyi, atau berobat jalan di Poliklinik Neurologi Anak RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Maret 2011 sampai September 2012, dengan kriteria inklusi: 1) Subjek berusia 4−12 tahun, 2) 2
Anak sudah didiagnosis palsi serebral oleh dokter. Kriteria eksklusi yaitu memiliki penyakit kronik lain yang tidak berhubungan dengan faktor komorbid palsi serebral, seperti tuberkulosis paru, diabetes melitus, penyakit jantung bawaan, asma bronkiale, gagal ginjal, hemofilia, thalassemia dan keganasan. Penelitian ini telah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Persetujuan ikut serta dalam penelitian didapatkan dari orangtua/wali penderita. Semua subjek penelitian dicatat identitas, dilakukan penilaian tingkat fungsi motorik kasar berdasarkan klasifikasi Gross Motor Function Scale (GMFCS), dan penilaian kualitas hidup dilakukan dengan menggunakan kuesioner Cerebral Palsy Quality of Life (CP-QOL). Anak yang mampu mengisi kuesioner sendiri diberikan kuesioner CP-QOL versi anak, sedangkan anak yang tidak mampu diberikan kuesioner CP-QOL versi orangtua-pengasuh kepada pengasuh utama anak tersebut untuk diisi. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17 pada derajat kepercayaan 95% dengan nilai p≤ 0,05.
Hasil Tiga puluh satu anak PS terdiri atas 15 perempuan dan 16 laki-laki, rata-rata berusia 9,26 tahun dengan rentang usia 4−12 tahun memenuhi kriteria inklusi. Karakteristik subjek dan orang tua subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
3
Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Usia (tahun) Rata-rata (SD) Median Rentang Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Tipe PS Spastis diplegia Spastis kuadriplegia Tingkat GMFCS I II III IV V Pendidikan Sekolah Tidak sekolah
Total 9,26 (2,54) 10 4−12 15 16 14 17 5 7 3 11 5 14 17
Keterangan: SD: Standar Deviasi
Tabel 2 Karakteristik Orangtua Subjek Penelitian Karakteristik Pendidikan Ibu SD SMP atau sederajatnya SMA atau sederajatnya Perguruan Tinggi Pekerjaan Ibu Buruh Dagang Guru Pegawai negri Tidak bekerja Pendidikan Ayah SD SMP atau sederajatnya SMA atau sederajatnya Perguruan Tinggi Pekerjaan Ayah Buruh Dagang Guru Pegawai negeri Swasta Tidak bekerja
n 4 8 14 5 3 1 1 1 25 3 6 15 7 6 4 1 5 14 2
4
Uji statistik Kruskal-Wallis dengan derajat kepercayaan 95% menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara nilai kualitas hidup rata-rata secara keseluruhan, kualitas hidup aspek kesejahteraan sosial dan penerimaan, partisipasi dan kesehatan fisik, perasaan mengenai fungsi, kesejahteraan emosional dan kepercayaan diri, rasa nyeri dan dampak disabilitas, serta akses mendapatkan pelayanan berdasarkan tingkat GMFCS (p>0,05). Perbedaan yang signifikan hanya pada kualitas hidup aspek kesehatan keluarga (p=0,037). Nilai rata-rata yang paling rendah terlihat pada aspek kesejahteraan emosional, rasa nyeri dan dampak disabilitas, serta kesehatan keluarga (Tabel 3).
5
Tabel 3 Hasil Skoring Kuesioner CP-QOL versi Orangtua/Pengasuh Utama berdasarkan Tingkat GMFCS pada Anak Palsi Serebral Tingkat GMFCS I Rata-rata (SD) Median Rentang II
Rata−rata (SD) Median Rentang
III
Rata-rata (SD) Median Rentang
IV
Rata-rata (SD) Median Rentang
V
Rata-rata (SD) Median Rentang
Total
Rata-rata (SD) Median Rentang Nilai p*)
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
Y7
Total
827,5 (243,4) 875 475− 1.150 919,6 (149,8) 925 712,5− 1.175,5 916,7 (28,7) 900 900− 950 892,4 (141.6) 925 625− 1.075 935 (28,5) 925 900− 975 897,2 (142,9) 925 475− 1.175 0,274
702,5 (278,2) 850 375− 1.000 771,4 (54,3) 750 725− 875 916,7 (115,5) 850 850− 1.050 698,9 (190,2) 775 350− 875 717,5 (170,8) 800 450− 875 739,9 (178,9) 800 350− 1.050 0,943
657,5 (308,9) 782,5 175− 1.000 780,4 (137,5) 825 537,5− 937,5 854,2 (26,0) 862,5 825− 875 721,6 (160,3) 762,5 412,5− 900 722,5 (279,7) 837,5 237,5− 925 737,5 (196,3) 775 175− 1.000 0,698
357,5 (172,7) 450 75− 500 469,6 (58,1) 500 362,5− 525 462,5 (12,5) 462,5 450− 475 385,2 (105,4) 437,5 225− 500 435 (56,9) 450 337,5− 475 415,3 (103,3) 450 75− 525 0,536
792,5 (160,2) 787,5 550− 937,5 857,1 (73,5) 850 750− 962,5 858,3 (237,6) 850 625− 1.100 721,6 (331,5) 712,5 125− 1.112,5 867,5 (105,5) 900 687,5− 962,5 800.4 (224,7) 850 125− 1.112,5 0,236
405 (224,6) 525 550− 937,5 448,2 (109,5) 450 312,5− 600 454,8 (123,3) 525 312,5− 527 370,5 (192,9) 337,5 62,5− 700 267,5 (81,8) 300 150− 362,5 385,1 (165,2) 350 62,5− 700 0,231
197,5 (87,7) 175 75− 300 300 (76,7) 312,5 137,5− 375 291,7 (81,3) 287,5 212,5− 375 244,3 (100,8 3) 300 0−350 272,5 (68,7) 300 150− 312,5 258,5 (88,9) 300 0−375
3.490 (1.192,5) 4.487,5 2.050− 4.962 4.546,4 (402,2) 4.662,5 3.962,5− 5.137,5 4.754,8 (538,9) 4.614,5 4.300− 5.350 4.034,1 (857,3) 4.337,5 3.250− 4.600 4.217,5 (549,9) 4.425 3.250− 4.600 4.233,9 (778,3) 4.425 2.050− 5.350 0,629
0,037
Keterangan: Y1: Aspek kesejahteraan sosial dan penerimaan Y2: Aspek perasaan mengenai fungsi Y3: Aspek partisipasi dan kesehatan fisik Y4: Aspek kesejahteraan emosional dan kepercayaan diri Y5: Aspek akses mendapatkan pelayanan Y6: Aspek rasa nyeri dan dampak disabilitas Y7: Aspek kesehatan keluarga *) Uji Kruskal-Wallis
Hubungan fungsi motorik kasar dengan kualitas hidup anak PS yang dilakukan dengan uji korelasi Rank Spearman dengan derajat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa fungsi motorik kasar berhubungan secara signifikan hanya dengan kualitas hidup aspek nyeri dan dampak disabilitas (rs=-0,313; p=0,043) (Tabel 4). 6
Tabel 4 Hubungan Fungsi Motorik Kasar dengan Aspek Kualitas Hidup pada Anak Palsi Serebral berdasarkan Kuesioner CP-QOL versi Orangtua/Pengasuh Utama Aspek Kualitas Hidup Kesejahteraan sosial dan penerimaan Perasaan mengenai fungsi Partisipasi dan kesehatan fisik Kesejahteraan emosional dan kepercayaan diri Akses mendapatkan pelayanan Rasa nyeri dan dampak disabilitas Kesehatan keluarga Nilai total kualitas hidup
rs 0,238 -0,081 0,017 -0,126 0,032 -0,313 0,073 -0,153
Nilai p 0,099 0,332 0,463 0,249 0,431 0,043 0,348 0,205
Keterangan:
rs: Koefisien korelasi Rank Spearman
Diskusi Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang meneliti hubungan fungsi motorik kasar dengan kualitas hidup anak PS di Indonesia. Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti mengalami kesulitan untuk menemukan anak PS berusia 9−12 tahun yang dapat mengisi kuesioner sendiri, maka penilaian kualitas hidup anak PS pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner CP-QOL versi orangtua/pengasuh utama, yang diisi oleh orangtua subjek penelitian, tidak oleh subjek penelitian secara langsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan uji korelasi Rank Spearman, didapatkan hubungan negatif yang tidak signifikan secara statistik antara fungsi motorik kasar dan total skor kualitas hidup pada anak PS (rs=-0,153, p=0,205). Artinya, semakin tinggi tingkat GMFCS (semakin berat kecacatan), maka kualitas hidup anak PS akan semakin menurun, walaupun secara statistik tidak signifikan. Pada penelitian ini, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan lemahnya hubungan antara fungsi motorik kasar dan kualitas hidup secara umum, diantaranya adalah ukuran sampel dan tempat pengambilan sampel yang terbatas, serta akibat banyaknya faktor lain yang mempengaruhi jawaban kuesioner yang diberikan, misalnya pada penelitian ini kuesioner
7
penilaian kualitas hidup diisi oleh orangtua dari subjek penelitian, jadi jawaban dari kuesioner adalah perasaan anak menurut persepsi orangtuanya, bukan menurut anak sesungguhnya, sehingga terdapat kemungkinan jawaban tersebut tidak menggambarkan perasaan anak yang sebenarnya mengenai disabilitasnya. Selain itu, anak beradaptasi dengan keadaan yang mereka terima sejak awal dan belum mengetahui mengenai keadaan kesehatan yang lain.10 Kualitas hidup bergantung pada keseimbangan antara tubuh, pikiran dan semangat dalam diri, juga dari membangun dan memelihara hubungan harmonis antara seseorang dan lingkungan eksternal dalam konteks sosial. Individu yang mengalami disabilitas akan memiliki kualitas hidup yang baik apabila mereka mengerti mengenai keadaannya dan berada di lingkungan sosial yang baik, serta menerima keadaannya dengan baik. Keadaan seorang yang mengalami disabilitas tetapi memiliki kualitas hidup yang baik dinamakan “the disability paradox”.11 Hasil penelitian ini juga menunjukkan hanya kualitas hidup aspek rasa nyeri dan dampak disabilitas yang berhubungan secara signifikan dengan fungsi motorik kasar (p=0,043). Hal ini sesuai dengan penelitian Shelly dkk.12 yang menunjukkan hubungan signifikan fungsi motorik kasar dengan aspek rasa nyeri dan dampak disabilitas, serta penelitian Houlihan dkk.7 yang menunjukkan bahwa terjadinya nyeri berhubungan dengan tingkat disabilitas motorik (tingkat GMFCS) dan terpasangnya selang nasogastrik. Makin berat tingkat disabilitas anak PS, maka makin sering mengalami nyeri. Nyeri akan berdampak negatif terhadap kualitas hidup anak PS. Anak PS yang lebih sering mengalami nyeri akan lebih sering tidak masuk ke sekolah, serta akan mengurangi partisipasi di kegiatan keluarga dan sosial. Selain itu, nyeri pada anak PS akan berdampak terhadap orangtua, yaitu orangtua akan lebih mengalami kecemasan dan stres. Oleh karena itu, mengevaluasi rasa
8
nyeri pada anak PS memiliki peranan penting agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Dokter harus dapat membantu mengurangi rasa nyeri, baik dengan terapi fisik, terapeutik, atau psikologis.5,7 Kualitas hidup aspek partisipasi dan kesehatan fisik pada penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fungsi motorik kasar. Hal ini bersifat kontradiktif, karena anak PS yang mengalami nyeri seharusnya akan berpengaruh negatif pada partisipasi aktivitas keluarga dan sosial.5-7 Hasil penelitian ini juga bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh McManus dkk.13 yang meneliti mengenai kualitas hidup dan partisipasi dalam kegiatan sehari-hari pada anak praremaja PS di Irlandia, yang menunjukkan semakin tinggi tingkat kecacatan, maka semakin rendah partisipasinya dalam kegiatan sehari-hari. Bertentangan juga dengan penelitian Shelly dkk.12 di Australia yang menunjukkan bahwa kualitas hidup aspek partisipasi dan kesehatan fisik menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fungsi motorik anak PS. Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara fungsi motorik kasar dan kualitas hidup aspek perasaan mengenai fungsi. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang justru menyatakan adanya hubungan yang bermakna dengan kualitas hidup aspek mengenai fungsi.12 Faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut, selain tingkat pendidikan orang tua dan kebudayaan masyarakat yang berlaku, terdapat kemungkinan tingkat kognitif anak juga turut mempengaruhi. Mengingat semua anak dalam penelitian ini mengalami gangguan kognitif, maka mereka cenderung tidak memikirkan mengenai kemampuan mereka dalam menggunakan anggota tubuhnya, berkomunikasi dengan orang lain, melakukan kegiatan seharihari, bahkan mengenai kesempatan mereka di kehidupan dan bagaimana kemampuan mereka agar tetap setara dengan teman-temannya yang tanpa disabilitas.
9
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fungsi motorik kasar tidak berhubungan dengan kualitas hidup domain psikososial.12,14-17 Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, yang menunjukkan bahwa tingkat GMFCS tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kualitas hidup domain psikososial, yang dinilai dari aspek kesejahteraan sosial dan penerimaan serta kesejahteraan emosional dan kepercayaan diri. Hal ini dapat disebabkan karena terdapat faktor lain yang memengaruhi kualitas hidup domain psikososial anak, misalnya parenting style. Pada tipe orangtua yang autonom/permisif dan menerima (accepting) akan membuat anak tetap diterima dan diperlakukan dengan baik oleh orangtua. Selain itu, faktor lingkungan, yaitu sikap keluarga dan teman yang menerima serta mendukung keadaannya, dapat membuat anak merasa nyaman, dimiliki, dan emosi yang lebih stabil. Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat fungsi motorik kasar dan kualitas hidup aspek kesehatan keluarga, bahkan orangtua memberikan nilai yang rendah pada kualitas hidup aspek kesehatan keluarga (rata-rata 258,5) di semua tingkat GMFCS. Aspek kesehatan keluarga pada kuesioner CP-QOL dinilai melalui perasaan orangtua mengenai kesehatan fisiknya, situasi kerja, keadaan keuangan keluarga, dan seberapa bahagiakah perasaan orangtua tersebut. Ternyata sebagian besar orangtua memberikan jawaban tidak senang dan sangat tidak senang untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hal ini dapat diterima, mengingat sebagian besar orangtua memiliki tingkat pendidikan SMA dan mayoritas ayah bekerja sebagai pegawai swasta, sedangkan ibu tidak bekerja. Oleh karena itu dapat diperkirakan sebagian besar orangtua subjek penelitian termasuk dalam kategori sosioekonomi rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini, orangtua subjek penelitian merasa tidak puas dengan keadaan kesehatan keluarganya.
10
Penelitian ini juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara fungsi motorik kasar dan kualitas hidup aspek askes mendapatkan pelayanan kesehatan. Kualitas hidup aspek akses mendapatkan pelayanan kesehatan dinilai dengan menggunakan pertanyaan seperti bagaimana perasaan orangtua mengenai akses ke tempat pelayanan kesehatan, dokter anak, alat bantu khusus yang tersedia di rumah, sekolah, atau lingkungan sekitar, ternyata orangtua memberikan nilai rata-rata yang baik untuk kualitas hidup aspek ini (800,4±224,7). Jadi, sebagian besar orangtua merasa senang dengan fasilitas yang sudah mereka miliki. Hal ini cukup aneh, mengingat sangat kurangnya sarana dan prasarana untuk anak PS yang tersedia di masyarakat, serta kebanyakan dari keluarga tidak memiliki alat bantu gerak seperti kursi roda atau sejenisnya, sehingga anak seringkali digendong untuk ambulasi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan puasnya orangtua terhadap akses mendapatkan pelayanan diantaranya adalah adanya jaminan kesehatan dari pemerintah untuk keluarga tidak mampu (JAMKESMAS, GAKINDA), sehingga secara finansial, biaya untuk pengobatan mereka terbantu. Selain itu, faktor kebudayaan setempat yang mengakibatkan orangtua cenderung sudah puas dan bersyukur atas apa yang sudah mereka miliki, walaupun sarana dan prasarana untuk anak PS yang tersedia sangat kurang. Anak dengan tingkat disabilitas yang sama dapat memiliki tingkat adaptasi yang berbeda dalam menerima keadaannya. Salah satu hal yang berperan penting yaitu perlakuan dan penerimaan pihak orangtua dan keluarga. Keluarga yang dapat menerima disabilitas anak dengan baik akan lebih memudahkan anak PS untuk beradaptasi dengan dirinya sendiri, dibandingkan dengan keluarga yang tidak dapat menerima disabilitas anak.7,18,19 Studi yang dilakukan oleh Majnemer dkk.20 menunjukkan tingginya tingkat stres orangtua dan kemampuan keluarga yang rendah untuk bertahan dalam mengatasi masalah berpengaruh negatif pada kualitas hidup anak.
11
Orangtua anak PS berisiko tinggi mengalami stres, kondisi keluarga yang labil, dan rendahnya kemampuan untuk bertahan dari masalah. Tingkat stres orangtua akan memengaruhi perilaku anak dan penyesuaian psikososialnya.11,18,20 Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas hidup anak PS dengan menilai tingkat stres orangtua. Keterbatasan penelitian ini yaitu tidak menganalisis pengaruh jenis dan banyaknya kelainan komorbid yang menyertai, penggunaan medikasi dan frekuensi fisioterapi, serta tingkat stres orangtua/pengasuh utama yang dapat memengaruhi kualitas hidup anak PS. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan kuesioner yang diisi langsung oleh penderita PS agar didapatkan informasi yang lebih akurat mengenai perasaan anak tersebut.
Simpulan Fungsi motorik kasar berhubungan dengan kualitas hidup aspek rasa nyeri dan dampak disabilitas pada anak PS. Derajat beratnya disfungsi motorik kasar (tingkat GMFCS) berhubungan dengan penurunan kualitas hidup anak PS.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. 2.
3. 4.
5. 6. 7. 8. 9.
10.
11. 12.
13.
14.
15.
16. 17.
Swaiman K, Wu Y. Cerebral palsy. In: Swaimann KF, Ashwal S, Ferriero DM, editors. Pediatric neurology principles and practice. 4 ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, Goldstein M, Bax M, Damiano D, et al. A report: The definition and classificcation of cerebrl palsy April 2006. Dev Med Child Neurol. 2007;49:8-14. Sankar C, Mundkur N. Cerebral palsy-Definition, classification, etiology and early diagnosis. Indian Journal of Pediatrics. 2005;72:865-8. Engel J, Petrina T, Dugdeon B, McKearnan K. Cerebral palsy and chronic pain: a descriptive study of children and adolescents. Phys Occup Ther Pediatr. 2005;25(4):7384. Parkinson K, Gibson L, Dickinson H, Colver A. Pain in children with cerebral palsy: a cross sectional multicentre European study. Acta Paediatrica. 2009;99:446-51. Sauve K. Pain in children with cerebral palsy. [Diunduh tanggal 20 Desember 2012]; Tersedia dari: www.childdevelopment.ca. Houlihan C, O'Donnell M, Conaway M, Stevenson RD. Bodily pain and health-related quality of life in children with cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 2004;46:305-10. Tuzun E, Eker L, Daskapan A. An assessment of the impact of cerebral palsy on children's quality of life. Fizyoterapi Rehabilitasyon. 2004;15(1):3-8. Viehweger E, Robitail S, Rohon M, Jacquemier M, Jouve J, Bolini G. Measuring quality of life in cerebral palsy children Annales de readaptation et de medecine physique. 2008;51:129-37. Vitale MG, Levy DE, Johnson MG, Gelijns AC, Moskowitz AJ, Roye BP, et al. Assessment of quality of life in adolescent patients with orthopaedic problems: Are adult measures appropriate? Journal of Pediatric Orthopaedics. 2001;21:622-8. Albrecht GL, Devlieger PJ. The disability paradox: high quality of life against all odds. Social Science & Medicine. 1999;48:977-88. Shelly A, Davis E, Waters E, Mackonson A, Reedihough D, Boyd R, et al. The relationship between quality of life and functioning for children with cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 2008;50:199-203. McManus V, Corcoran P, Perry I. Participation in everyday activities and quality of life in pre-teenage children living with cerebral palsy in South West Ireland. BMC Pediatrics. 2008;8:1-10. Livingstone M, Rosenbaum P, Russel D, Palisano R. Quality of life among adolescents with cerebral palsy: what does the literature tell us? Dev Med Child Neurol. 2007;49:22531. Liu W, Hou Y, Wong A, Lin P, Lin Y, Chen C. Relationship between gross motor functions and health-related quality of life of Taiwanese children with cerebral palsy. Ajpmr. 2009:473-83. Vargus J, Adams. Health-related quality of life in childhood cerebral palsy. Arch Phys Med Rehabil. 2005;86:940-5. Arnaud C, White-Koning M, Michelsen S, Parkes J, Parkinson K, Thyen U, et al. Parentreported quality of life of children with cerebral palsy in Europe. Pediatrics. 2008;121(1):54-64. 13
18.
19.
20.
Glenn S, Cunningham C, Poole H, Reeves D, Weindling M. Maternal parenting stress and its correlates in families with a young child with cerebral palsy. Child: care, health and development. 2008:71-8. Magill-Evans J, Darrah J, Alberta E, Pain K, Adkins R, Kratochvil M. Are families with adolescents and young adults with cerebral palsy the same as other families? Developmental Medicine & Child Neurology. 2001;43:466-72. Majnemer A, Shevell M, Rosenbaum P, Law M, Poulin C. Determinans of life quality in school-age children with cerebral palsy. J Pediatr. 2007;151:470-5.
14