HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI STRES DENGAN AGRESIVITAS PADA ANGGOTA KEPOLISIAN RESKRIM DI JAKARTA Dewi Utami, Rani Agias Fitri
[email protected]
ABSTRACT
This research is examined to understand the relationship between stress perception with aggressiveness among reskrim police in Jakarta. The Participant of this research are reksirim police in Jakarta. This research used Perceieved Stress Scale (PSS) and The Aggression Questionnaire. Method of this research is correlational. Based on this research the result coming out with a significance value of 0,034 and correlational value of -0,150. Furthermore, this research found that there is a significant relationship between stress perception with aggressiveness among reskrim police in Jakarta. (DU)
Keyword : Stress Perception, Aggressiveness, Reskrim Police
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini ialah ingin melihat hubungan antara persepsi stres dengan agresivitas pada anggota kepolisian reskrim di Jakarta. Partisipan dalam penelitian ini aialah anggota kepolisian reskrim di Jakarta. Penelitian ini menggunakan Perceieved Stress Scale (PSS) dan The Aggression Questionnaire. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasional. Berdasarkan hasil yang diperoleh nilai signifikansi p = 0,034 dan korelasi sebesar r = -0,150. Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi stres dengan agresivitas pada anggota kepolisian reskrim di Jakarta. (DU)
Kata Kunci : Persepsi Stres, Agresivitas, Polisi Reskrim
PENDAHULUAN Kekerasan maupun pembunuhan bukanlah hal yang asing lagi bagi masyarakat, sudah banyak tindak kriminalitas yang terjadi di jaman sekarang ini. Pelakunya pun tak hanya segelintir dari masyarakat Indonsia tapi anggota kepolisian pun juga dapat melakukan hal tersebut. Telah terjadi kekerasan terhadap dua orang mahasiswa UPI yang dilakukan oleh Kanit Reskrim Polsek Padang Timur pada tanggal 23 Januari 2013, karena dikira hendak melawan polisi. Pemukulan ini terjadi saat polsek Padang Timur melakukan razia helm pada pengendara sepeda motor (Pratomo, 2013). Kemudian, telah terjadi penembakan yang dilakukan anggota polisi Reskrimsus Polda Jawa Tengah pada tanggal 13 Juli 2014 terhadap seorang suami pembantu rumah tangga. Hal ini terjadi karena korban mengancam ibu pelaku yang diduga mencampuri urusan rumah tangga korban. Pelaku yang tidak senang dengan perilaku korban pun mendatangi rumahnya untuk meminta keterangan, namun terjadi percekcokan antara pelaku dan korban yang berujung pada penembakan (Assifa, 2014). Seperti yang masyarakat ketahui Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara untuk menegakkan hukum yang bertugas untuk memelihara keamanan negara. Kepolisian terbagi dalam bidang seperti Lalu Lintas (Lantas), Intelejen, Brimob, Harkam, dan Reserse Kriminal (Reskrim). Menurut Wasono (2014) dalam penelitiannya mengenai perbandingan rating peristiwa yang menimbulkan stres antara anggota kepolisian fungsi reserse dan Sabara di Jakarta, ditemukan ada lima kejadian yang menempati urutan tertinggi dalam rating stres untuk fungsi reserse yaitu ikut berpartisipasi dalam korupsi di kepolisian, diskors, penyalahgunaan obat-obatan terlarang secara pribadi, mengonsumsi alkohol saat bertugas dan terlibat secara pribadi dalm peristiwa penembakan (Wasono, 2014). Reskrim sendiri adalah satuan fungsi teknis Polri yang bertugas melaksanakan penegakan hukum dan berbeda dengan bagian Polri lain yang hanya melakukan pencegahan saja. Tugas reskrim lebih tepatnya melakukan upaya penegakan hukum dengan melaksanakan Penyelidikan dan Penyidikan. Resiko dalam pekerjaan anggota kepolisian reskrim bukanlah resiko yang ringan. Segala sesuatunya harus dijalankan sesuai prosedur yang telah ditetapkan, namun ada pula sanksi yang diberikan, jika anggota kepolisian melakukan pelanggaran terhadap prosedur yang ada. Kondisi tersebut dapat menjadi sebuah tekanan bagi anggota kepolisian reskrim, dimana ada dua sisi yang harus mereka hadapi. Sisi pertama mereka harus menegakkan hukum dan menjalankan prosedur yang ada. Namun disisi lain mereka harus melindungi diri sendiri dari ancaman-ancaman yang diberikan oleh pelaku kejahatan. Tekanan yang dihadapi oleh anggota reskrim dalam bekerja dapat menyebabkan terjadinya stres. Stres sendiri didefinisikan sebagai respon seseorang terhadap suatu kejadian yang menantang atau mengancam (Feldman, 2005). Cohen, Kamarack and Mermelstein mendefinisikan persepsi terhadap stress adalah sejauh mana individu menemukan kehidupannya yang tidak terduga, beban yang berlebihan dan tidak dapat dikontrol mencakup intrapersonal, interpersonal atau situasi ekstrapersonal dalam kehidupan seseorang dipersepsikan sebagai stress (dalam Yarcheski, Mahon, Yarcheski & Hanks, 2010). Sumber-sumber intrapersonal, interpersonal atau situasi ekstrapersonal akan berdampak somatik dan behavioral. Untuk somatik dampaknya seperti sering lupa, mengalami kegelisahan cemas, berkeringat, insomnia atau cepat marah. Untuk dampak secara behavioral yang menimbulkan agresi seperti membanting barang, memukul meja, memukul orang, dan lain-lain (Koeswara dalam Mumtahinnah, 2011). Aronson mendefinisikan bahwa agresivitas adalah perbuatan sengaja yang bertujuan untuk merugikan orang lain atau menyakiti orang lain (Aronson, Wilson & Akert, 2007). Menurut Buss and Perry agresivitas memiliki empat dimensi. Pertama adalah Physical Aggression yaitu kecenderungan untuk melukai orang lain dengan melakukan tindakan fisik seperti memukul. Kedua adalah Verbal Aggression yaitu menyakiti atau merugikan orang lain merupakan komponen motor dalam perilaku. Ketiga ada Anger yang melibatkan dorongan fisiologis dan persiapan dalam agresi merupakan komponen emosional dan afeksi perilaku. Serta keempat Hostillity yaitu perasaan sakit atau ketidakadilan merupakan komponen kognitif perilaku (Buss and Perry,1992). Berdasarkan hasil penelitian di Polresta Malang menunjukkan tingkat stres kerja polisi pada kategori sedang yaitu sebanyak 56%, tingkat frustrasi polisi pada kategori sedang yaitu sebanyak 69% dan memiliki tingkat perilaku agresi pada kategori sedang yaitu sebanyak 74%. Hasil analisis korelasionalmenunjukkan ada hubungan stres kerja dan perilaku agresi, sehingga semakin tinggi stress kerja maka perilaku agresi juga semakin tinggi (Zahro, 2007).
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek yang bekerja sebagai anggota kepolisian reskrim pria maupun wanita yang bekerja minimal 1 tahun di wilayah Jakarta, mulai dari staf hingga Kepala Satuan (Kasat) Reskrim. Subjek yang di ambil sebanyak 200 orang dari total populasi sebanyak 568 orang. Dalam penelitian ini peneliti membahas mengenai persepsi stress dan agresivitas. Untuk itu penelitian ini akan menggunakan alat ukur Perceieved Stress Scale (PSS) dari Sheldon Cohen yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam alat ukur ini terdiri dari 10 item. Ada empat item yang memiliki nilai positif yaitu item 4,5,7 & 8 dengan skala yang digunakan adalah 0-4 dengan keterangan 0 tidak pernah, 1 hampir tidak pernah, 2 kadang-kadang, 3 hampir sering dan 4 sangat sering. Sedangkan untuk agresivitas peneliti juga telah mengadaptasi alat ukur The Aggression Questionnaire dari Buss & Perry alat ukur ini terdiri dari empat dimensi yaitu Physical Aggression (PA), Verbal Aggression (VA), Anger (A) dan Hostility (H). Alat ukur ini memiliki 29 item dengan skala likert 1-5 dengan keterangan 1 (sangat tidak menggambarkan diri saya) dan 5 (sangat menggambarkan diri saya). Dalam hal pendekatan/informasi peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mempelajari sebuah fenomena yang kontekstual, yang berarti fenomena ini tidak dapat dipahami tanpa ada konteks dimanapun fenomena ini muncul (Myers & Hansen, 2011). Desain penelitian ini merupakan desain Non Eksperimen. Metode non eksperimen digunakan untuk mempelajari sebuah perilaku didalam situasi yang berjalan dengan apa adanya (natural) untuk menggali kejadian yang unik, atau digunakan sebagai sampel data pribadi (Myers & Hansen, 2011). Berdasarkan tujuan yang ada peneliti menggunakan korelasional. Korelasional itu sendiri adalah salah satu desain penelitian untuk mengetahui hubungan antara dua sifat, peristiwa atau perilaku (Myers & Hansen, 2011).
HASIL DAN BAHASAN Penelitian ini mengambil subjek sebanyak 200 orang dari Polres-polres yang tersebar di lima daerah Jakarta yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara dengan total populasi sebanyak 586 orang. Dari 200 subjek seluruhnya berjenis kelamin pria dengan keterangan usia yaitu 23% usia 24-28 tahun, 18% usia 29-33, 29% usia 34-38, 53% usia 39-43, 64% usia 44-48 dan 13% usia 49-53. Kemudian dari hasil yang didapatkan 88% subjek telah bekerja selama lebih dari 5 tahun, serta 84,5% dari subjek memiliki pangkat Bripda-AIPTU. Langkah selanjutnya adalah melihat korelasi antara kedua variabel, berikut adalah hasil uji korelasi antara PSS daan AQ : Tabel 1 Uji korelasi Perceieved Stress Scale (PSS) dengan The Aggression Questionnaire
Spearman’s rho
Total PSS
Total TAQ
TotalPSS
totalTAQ
Correlation Coefficient
1.000
-0,150
Sig. (2-tailed)
.
0,034
N
200
200
Correlation Coefficient
-0,150
1.000
Sig. (2-tailed)
0,034
.
N
200
200
Berdasarkan data diatas diperoleh bahwa hubungan antara kedua variabel yaitu variabel PSS dan AQ memiliki nilai signifikan sebesar (p) = 0,034 dengan angka korelasi r = -0,150. Oleh karena itu dengan nilai signifikansi 0,034 maka H0 ditolak dan Ha diterima, sehingga hal ini menunjukkan kedua variabel yaitu PSS dan AQ memiliki hubungan negatif yang signifikan. Nilai korelasi sebesar -0,150
menunjukkan bahwa tingkat korelasi sangat lemah dan tanda negatif menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang terbalik tidak searah. Tidak searah yang dimaksud adalah apabila persepsi stres tinggi maka agresivitas rendah, begitu juga sebaliknya apabila tingkat stres rendah maka agresivitas tinggi. Penelitian ini memiliki analisa tambahan yang bertujuan untuk menambah informasi. Analisa tambahan ini sendiri terdiri atas korelasi antara Perceieved Stress Scale (PSS) dengan masing-masing dimensi dari agresivitas. Berikut ini adalah tabel analisa tambahan tersebut :
Tabel 2 Uji korelasi dimensi PA
Spearman’s rho
Total PSS
Total PSS
Total AQ
Correlation Coefficient
1.000
-0,086
Sig. (2-tailed)
.
0,178
N
200
200
Sumber : Hasil olah data SPSS
Hasil yang didapat menggunakan korelasi dari Spearman menunjukkan bahwa nilai korelasi kedua variabel bernilai 0,178 ini berarti nilai tersebut > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara PSS dengan physical aggression pada anggota kepolisian reskrim di Jakarta. Dibawah ini merupakan korelasi PSS dengan dimensi kedua agresi yaitu VA :
Tabel 3 Uji korelasi dimensi VA
Spearman’s rho
Total PSS
Total PSS
Total AQ
Correlation Coefficient
1.000
-0,174
Sig. (2-tailed)
.
0,014
N
200
200
Sumber : Hasil olah data SPSS
Hasil yang didapat menggunakan korelasi dari Spearman menunjukkan bahwa nilai korelasi kedua variabel bernilai 0,014 ini berarti nilai tersebut < 0,05 maka maka H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara PSS dengan verbal aggression pada anggota kepolisian reskrim di Jakarta.
Dibawah ini merupakan korelasi PSS dengan dimensi ketiga agresi yaitu A :
Tabel 4 Uji korelasi dimensi A
Spearman’s rho
Total PSS
Total PSS
Total AQ
Correlation Coefficient
1.000
-0,151
Sig. (2-tailed)
.
0,033
N
200
200
Sumber : Hasil olah data SPSS Hasil yang didapat menggunakan korelasi dari Spearman menunjukkan bahwa nilai korelasi kedua variabel bernilai 0,033 ini berarti nilai tersebut < 0,05 maka maka H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara PSS dengan anger pada anggota kepolisian reskrim di Jakarta. Dibawah ini merupakan korelasi PSS dengan dimensi keempat agresi yaitu H :
Tabel 5 Uji korelasi dimensi H
Spearman’s rho
Total PSS
Total PSS
Total AQ
Correlation Coefficient
1.000
-0,058
Sig. (2-tailed)
.
0,415
N
200
200
Sumber : Hasil olah data SPSS
Hasil yang didapat menggunakan korelasi dari Spearman menunjukkan bahwa nilai korelasi kedua variabel bernilai 0,415 ini berarti nilai tersebut > 0,05 maka maka H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara PSS dengan hostility pada anggota kepolisian reskrim di Jakarta. Dapat dilihat dari keempat tabel diatas menunjukkan bahwa dimensi VA (0,014) dan A (0,033) memiliki hubungan dengan persepsi stres karena nilai yang dimiliki VA dan A < 0,05, sedangkan dimensi PA (0,179) dan H(0,415) tidak memiliki hubungan dengan persepsi stres karena nilai yang dimiliki > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa VA dan A ada hubungan yang negatif, semakin tinggi persepi stres maka agresivitas menurun sedangkan untuk PA dan H tidak memiliki hubungan dengan persepsi stres.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisa data serta pengujian hipotesis yang telah dilakukan oleh peneliti pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengolahan data tersebut ialah ada hubungan yang signifikan antara persepsi stres dengan tingkat agresivitas dengan nilai signifikasi 0,034 dan nilai korelasi r = -0,150. Hubungan yang signifikan tersebut namun memiliki nilai korelasi yang negatif yang berarti apabila persepsi stres tinggi maka tingkat agresifitas rendah, begitu juga sebaliknya apabila persepsi stres rendah maka agresi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa saat anggota kepolisian mempersepsikan adanya stres maka agresi yang dimiliki menurun, namun saat anggota kepolisian reskrim tidak mempersepsikan adanya stres maka agresi yang dimiliki tinggi.
Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi stres dengan tingkat agresivitas pada anggota kepolisian reskrim di Jakarta. Menurut peneliti hubungan yang negatif tersebut terjadi karena ketika subjek mengalami stres, maka subjek akan melakukan upaya coping sebagai usaha untuk mengontrol, mengurangi atau belajar mengenai toleransi dengan ancaman yang menyebabkan stress (Feldman, 2005). Koping sendiri memiliki 3 bentuk, pertama adalah coping berdasarkan emosi yaitu usaha seseorang mengatur emosinya saat menghadapi stres dan mencari jalan untuk merubah persepsi mereka mengenai masalah tersebut (Feldman, 2005). Kemudian kedua adalah coping berdasarkan masalah yaitu memodifikasi sumber stres dengan cara merubah perilaku atau mengembangkan sebuah rencana untuk menghadapi stres (Feldman, 2005). Serta bentuk coping yang ketiga adalah religius, dimana menurut Rammohan, Rao & Subbakrishna (dalam Utami, 2012) melalui berdoa, ritual dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping saat mengalami stres kehidupan. Hal ini terjadi karena melalui aktivitas tersebut akan muncul pengharapan dan kenyamanan. Dalam coping emosi dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya ialah self-control yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan (Wahyuni, 2013). Mengatur perasaan dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya dapat melakukan olahraga. Sebuah berita online menyatakan bahwa emosi negatif seperti stres atau sedih bisa diredakan dengan olahraga. Beberapa jenis olahraga tertentu bisa melepaskan hormon serotonin yang membuat merasa senang dan positif. Bahkan Mental Health Foundation, organisasi kesehatan non-profit di Inggris telah menunjukkan bukti bahwa olahraga baik untuk pengobatan depresi. Aktivitas fisik juga bisa menambah kepercayaan diri dan membuat berpikir positif (Hestianingsih, 2013). Sehingga apabila seseorang sudah dapat merasakan emosi yang positif dan dapat mengatur perasaannya akan menghindari hal-hal yang berhubungan dengan agresivitas. Kemudian upaya mengatasi stres dapat dilakukan subjek dengan berfokus pada masalah. Berada dalam situasi stres karena sulit mendapatkan informasi yang diperlukan dari tersangka, maka subyek dapat mengatasinya stres yang dialami dengan mengubah perilakunya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengubah pendekatan ke tersangka, jika tadinya mengancam dengan kekerasan maka diubah dengan pendekatan persuasif. Menggunakan kekerasan sebagai bagian dari prosedur penyelidikan dan penyelidikan, seperti yang tertuang dalam Undang nomor 8 tahun 1981 KUHP Pasal 5 ayat 1(a) dan pasal 7 ayat 1(a) yaitu penyelidikan adalah menerima laporan atau pengaduan seseorang tentang tindak pidana, mencari keterangan atau bukti menyuruh berhenti seseorang serta menanyakan tanda pengenal dan lain sebagainya. Sedangkan wewenang penyidik antara lain adalah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan lain-lain. Sehingga hal ini merupakan hal yang wajar dan diasumsikan sering dilakukan oleh subjek, namun apa bila cara tersebut tidak efektif dan justru menimbulkan stres, maka akan diupayakan cara yang lain. Kondisi ini lah yang akhirnya membuat stres yang dialami subjek tidak berkembang ke arah agresivitas. Coping religius diasumsikan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, karena norma keagamaan sangat kental di Indonesia. Ketika subjek mempersepsikan adanya tekanan, maka upaya yang dilakukan adalah berdoa, bersembahyang atau melakukan ritual keagamaan yang lain. Saat ini lah subjek akan merasakan ‘kedekatan’ dengan Tuhan, sehingga membuatnya menghindari perilaku yang secara sengaja menyakiti orang lain (agresivitas), seperti mencaci atau menghina orang lain atau perasaan marah yang ada didalam dirinya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Juniarly dan Hardjan (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi koping religius dan kesejahteraan subjektif, semakin rendah stres. Dengan kata lain stres dapat diprediksi berdasarkan koping religius dan kesejahteraan subjektif (Juniarly dan Hardjan, 2012). Hal inilah yang membuat subjek dalam penelitian ini tidak melakukan perilaku agresi meskipun ia sedang mempersepsikan adanya stres. Dalam penelitian ini mendapatkan hasil bahwa PSS memiliki korelasi negatif di dalam dua dimensi agresi yaitu Verbal Aggression (VA) dan Anger (A), yang berarti semakin tinggi persepsi stres, maka semakin rendah agresivitas dan juga semakin rendah persepsi stres, maka semakin tinggi agresivitas. Hal ini dapat terjadi karena ketika subjek mempersepsikan adanya stres, maka subjek akan fokus ke dalam diri sendiri dan melakukan upaya reflektif (koping emosi atau koping masalah), sehingga menghindari interaksi dengan orang lain. Strategi coping yang berfokus emosi biasanya dilakukan bila individu menilai tidak ada yang dapat dilakukan terhadap situasi yang dihadapinya atau bila individu menilai situasinya memiliki tingkat ancaman yang tinggi. Maka strategi ini dapat disebut sebagai reaksi difensif (Primaldhi, 2008). Menurut Lazarus & Folkman (1984) Strategi Coping berfokus masalah merupakan tindakan yang ditampilkan oleh individu yang bertujuan untuk menimbulkan perubahan baik secara fisik, mental maupun sosial terhadap hal yang menimbulkan stres tersebut. Individu melakukan coping jenis ini bila ia menilai bahwa situasinya mungkin dapat diubah atau situasi yang tingkat
ancamannya sedang. Pada strategi coping jenis ini, individu mencoba memecahkan masalah yang sedang dihadapinya dengan melakukan perubahan trerhadap dirinya dan lingkungannya (dalam Primaldhi, 2008). Hal ini lah yang mungkin dapat menjadikan persepsi stres tinggi namun agresivitas rendah. Sebaliknya ketika subjek tidak sedang mempersepsikan adanya stres, maka akan banyak melakukan interaksi dengan orang lain. Hal ini dapat mendorong tingginya kemungkinan untuk melakukan verbal aggression dan menunjukkan anger. Verbal aggression sendiri banyak dilakukan dalam interaksi seharihari dalam bentuk humor. Karena dibungkus dengan humor, unsur verbal aggression tanpa disadari bahwa hal tersebut sebenarnya bertujuan untuk menyakiti orang lain. Hal itu membuat sulitnya mengenali verbal aggression disebabkan oleh tidak adanya bukti fisik dan biasanya terjadi dalam ruang lingkup teman dekat (Sasnida, 2012). Dalam interaksi tersebut terdapat juga kemungkinan subjek tersinggung dengan orang lain dan menunjukkan kemarahan (Anger) kepada orang lain akibat penyataan-pernyataan yang kurang menyenangkan. Kemungkinan lain yang menyebabkan hubungan negatif yang signifikan antara persei stres dengan agresivitas ialah variabel lain yang lebih memiliki hubungan yang positif. Seperti hasil yang didapat oleh Nurmalia (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tipe kepribadian A memberikan hubungan yang positif sebesar 23,4% untuk agresivitas (Nurmalia, 2010). Selain itu, pengambilan data dilakukan peneliti dalam suasana bulan Ramadhan. Hal ini dapat menyebabkan tingkat agresivitas anggota kepolisian reskrim rendah, karena seperti yang diketahui bulan ramadhan ialah bulan dimana umat muslim berpuasa dan menahan hawa nafsu termasuk melakukan perilaku agresi. Meskipun dalam data kontrol penulis tidak meminta subjek menyebutkan agama, namun penduduk di Indonesia mayoritas adalah umat muslim, sehingga diasumsikan subjek dalam penelitian ini juga banyak yang tergolong sebagai Muslim. Menurut hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, tercatat sebanyak 207.176.162 penduduk Indonesia memeluk Agama Islam. Jika dihitung persentasenya jumlah 207.176.162 tersebut setara dengan 87,18% dari total penduduk Indonesia. Persentase sebesar itu juga merupakan rata-rata dari persentase penganut Islam di setiap propinsi (Suryanto, 2013). Kemudian hasil penelitian ini menyatakan bahwa persepsi stres yang dimiliki anggota kepolisian reskrim masuk kedalam golongan tinggi. Hal ini disebabkan karena proses pengambilan data dilakukan pada masa Pemilu Presiden 2014. Subjek-subjek sendiri memiliki tugas menjaga keamanan saat pemilu berlangsung, dimana hal ini meningkatkan intensitas kesibukan subjek. Tuntutan pekerjaan yang harus dilakukan tersebut dapat menyebabkan subjek mempersepsikan adanya tekanan yang tinggi. Dari hasil yang telah didapat dalam penelitian ini, tidak terdapat hubungan antara stress dengan dimensi Physical Aggression (PA) dan Hostility (H). Ketidakterkaitan antara stres dengan physical aggression dapat terjadi karena kekerasan fisik merupakan hal yang dibutuhkan subjek dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota kepolisian Reskrim. Sesuai dengan Protap Kapolri tentang Penanggulangan Anarki nomor 1 tahun 2009 nomor 2(f) yang menyebutkan menangani pelaku kejahatan anggota kepolisian memiliki prosedur yang sudah ditetapkan untuk bertindak apabila pelaku kejahatan melakukan perlawanan fisik. Prosedur penanggulangannya seperti melumpuhkan dengan menggunakan tangan kosong lunak, tangan kosong keras, kendali tangan tumpul, senjata kimia contohnya gas air mata atau alat lain yangs sesuai standar Polri dan kendali dengan senjata api. Sebagai bagian dari tugas, meskipun subjek mempersepsikan ada atau tidaknya stres, maka kekerasan fisik tetap dapat terjadi. Ketidakterkaitan antara stres dengan hostility dapat terjadi karena saat melakukan penyelidikan anggota kepolisian reskrim memang seharusnya memiliki rasa ketidakpercayaan agar tidak mendapatkan buktibukti yang diragukan kebenarannya. Rasa ketidakpercayaan itu masuk kedalam dimensi Hostility. Seperti Physical Aggression, sebagai dari bagian pekerjaan maka hostility akan tetap ada meskipun subjek memperspesikan ada atau tidaknya stres. Untuk penelitian yang akan dilakukan dimasa yang akan datang, alangkah baiknya mempertimbangkan waktu dalam pengambilan data agar tidak memberikan dapak secara sginifikan terhadap hasil penelitian. Serta untuk hasil yang maksimal sebaiknya melakukan wawancara untuk menggali hasil yang lebih dalam pada subjek penelitian yang menalami persepsi tinggi dan agresivitas rendah untuk memahami fenomena yang sebenarnya terjadi. Saran praktis yang dapat peneliti berikan untuk anggota kepolisian ialah agar dapat lebih bisa mengontrol persepsi stres yang ada didiri masingmasing, agar dapat menjalani tugas dengan sebaik-baiknya. Cara mengontorol persepsi stres tersebut dapat melakukan konseling dengan bagian psikologi yang ada dilingkungan kepolisian. Apabila didalam ruang lingkup kepolisian tidak ada program konseling, alangkah baiknya hal ini dapat menjadi perhatian para pimpinan yang menjabat untuk membuat program konseling agar para anggota kepolisian dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
REFERENSI Aronson, E. , Wilson, T. D. , Akert, R. M. (2007). Social Psychology : (6 th Ed). New Jersey : Pearson Education, Inc. Assifa, F. (2014) Seorang Polisi Tembak Mati Suami Pembantu Rumah Tangga. Diperoleh tanggal 27 Agustus 2014 dari http://regional.kompas.com/read/2014/07/13/23144421/Seorang.Polisi.Tembak.Mati.Suami.Pem bantu.Rumah.Tangga Buss, A. H and Perry, M. (1992). The Aggresion Quisionare. United States : University of Texas Feldman, R. S. (2005). Essential of Understanding Psychology: (6thEd). New York: McGraw-Hill. Hestianingsih. (2013). 5 Aktivitas Olahraga yang Bisa Menghilangkan Stres. Diperoleh pada tanggal 1 September 2014 dari http://wolipop.detik.com/read/2013/07/04/161902/2292792/849/5aktivitas-olahraga-yang-bisa-menghilangkan-stres Juniarly, A., & Hadjam, M. N. R. (2012). Peran Koping Religius dan Kesejahteraan Subjektif Terhadap Stres pada Anggota Bintara Polisi di Polres Kebumen, 1, 17, 2012. Mumtahinnah, N. (2011). Hubungan antara Stres dengan Agresi pada Ibu Rumah Tangga yang Tidak Bekerja. Jakarta : Universitas Gunadarma. Myers, A., & Hansen, C. H. (2011). Experimental Psychology: (7th Ed). China : Wadsworth, Cengage Learning. Nurmalia. (2010). Pengaruh Persepsi Tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian Terhadap Agresivitas Polisi Lalu Lintas. Skripsi S1. Universitas Islam Negeri, Jakarta. Posedur Tetap Kapolri Tentang Penanggulangan Anarki Nomor : PROTAP/1/X/2010 tanggal 8 Oktober 2010 Pratomo, Y. (2013). Mahasiswa alami trauma akibat dianiaya perwira polisi. Diperoleh tanggal 27 Agustus 2014 dari http://www.merdeka.com/peristiwa/mahasiswa-alami-trauma-akibat-dianiayaperwira-polisi.html Primaldhi, A. (2008) Hubungan Antara Trait Kepribadian, Strategi Coping, dan Stres Kerja. Jurnal Psikoloi Sosial, 14, 205-207. Risjawan, H. (2014). Gejala dan Dampak Stres. Diperoleh tanggal 29 Agustus 2014 dari http://hendryrisjawan.com/gejala-dan-dampak-stres/ Sasnida, T. (2012). Kekerasan Verbal Berbalut Humor. Diperoleh tanggal 28 Juli 2014 dari www.tissasasnida.net/kekerasan-verbal-berbalut-humor/ Suryanto, H. (2013). Presentase Jumlah Umat Islam Berbagai Daerah di Indonesia. Diperoleh tanggal 23 Juli 2014 dari http://www.dokumenpemudatqn.com/2013/07/persentase-jumlah-umat-islamberbagai.html Utami, M. S. (2012) Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan Subjektif. Jurnal Psikologi, 39, 4666. Wahyuni, E. T. (2013). Coping Stres Pada Anak Jalanan, 01, 02, 2013. Wasono, A. (2014). Perbandingan Rating Stres Peristiwa yang Menimbulkan Stres antara Anggota Polri Fungsi Reserse dan Sabhara di Jakarta, 1, 11, 2014. Yarcheski, T. J. , Mahon, N. E. ,Yarcheski, A. and Hanks, M. M. (2010). Perceived Stress and Wellness in Early Adolescents Using the Neuman Systems Model, 26 , 230-237 Zahro, Syelvy Ferdiana. (2007). Hubungan Stres Kerja Dan Frustrasi Dengan Perilaku Agresi Pada Polisi Di Polresta Malang. Malang: Universitas Negeri Malang