perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB AUTIS DI SURAKARTA
SKRIPSI
Dalam Rangka Penyusunan Skripsi sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh:
G0107070
Pembimbing: 1.
Dra. Machmuroch, M.S.
2.
Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO "Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" QS. Al Baqarah:286
Berfikirlah apa yang kita bisa lakukan jangan berfikir tentang apa yang tidak bisa kita lakukan Melly Budhiman
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk: 1. Alm. Bapak dan Ibu tercinta 2. Kakak-kakakku tercinta, Mas Antok, Mbak Diana, Mbak Fithri, dan Elyda 3. Seluruh ibu yang memiliki anak autis yang berjuang untuk anaknya
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa karya ini dapat terselesaikan juga karena bantuan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih sudah sepantasnya penulis sampaikan dengan hati yang tulus kepada segenap pihak atas segala partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelesaian karya ini. Untuk itu dengan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada 1.
Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
2.
Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
3.
Dra. Machmuroch, M.S selaku pembimbing utama skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi
4.
Bapak Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M. selaku pembimbing pendamping dan pembimbing akademik atas segala bimbingan, bantuan, nasihat, dan kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama studi dan penyusunan karya ini
5.
Ibu Dra. Suci Murti Karini, M.Si., dan Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku penguji I dan II, yang telah bersedia memberikan saran dan kritik kepada penulis demi sempurnanya penulisan skripsi.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Ibu C. Ari Sulistyandari, S.Pd., selaku Kepala SLB Autis AGCA Center, Ibu Yatmi, S.Pd., selaku Kepala SLB Autis Alamanda, dan Ibu Etty Prasetyastuti, S.E., M.M., selaku Kepala SLB Autis Harmony, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.
7.
Ibu-ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis Surakarta yang telah bersedia menjadi responden dan berbagi pengalaman yang sangat berharga
8.
Ahmad Isnaini Hasan, S.Si., yang setia dan penuh kesabaran selalu membantu,
mendukung,
memotivasi agar
cepat
selesai.
Kita akan
mendapatkan yang terbaik apabila melakukan yang terbaik. 9.
Sahabatku yang sudah lulus tetapi masih memonitor penulis dari kota lain, Widya, Nisong, Ayu, Jessica, Shesa, dan Rifa, serta sahabatku Aan dan Dewi yang masih berjuang bersama di kampus ini. Semoga persahabatan kita kekal selamanya.
10. Teman-teman angkatan 2007 yang telah memberikan masukan, dukungan, dan pertemanan yang indah. 11. Anis, Septi, Mayya, Sofi, Prily, Adhisty, Mbak Nisa, Mbak Arum, dan para volunteer Autism Care Indonesia yang telah memberikan semangat dan tetap tersenyum, serta para orang tua dan anak berkebutuhan khusus yang menjadi inspirasi. Semoga Allah SWT berkenan memberikan pahala yang sepadan dan semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta, Desember 2012
commit to user viii
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB AUTIS DI SURAKARTA
Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Autis adalah gangguan perkembangan yang sifatnya kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktivitas serta minat yang terbatas yang sulit untuk dipahami oleh ibu yang memiliki anak autis, sehingga dapat menyebabkan stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial diharapkan dapat membantu ibu yang memiliki anak autis untuk menghindari stres. Ibu yang dapat menerima diri sebagaimana adanya akan dapat menghindari stres karena dapat menyesuaikan harapan dengan kenyataan. Ibu yang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan akan terhindar dari stres karena adanya perasaan positif dalam dirinya. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta, yaitu SLB Autis AGCA Center, SLB Autis Alamanda, dan SLB Autis Harmony dengan jumlah 68 orang, 30 orang untuk try out dan 38 orang untuk penelitian. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria sampel berusia 20-45 tahun dan bukan single parent. Alat ukur yang digunakan adalah skala stres pada ibu yang memiliki anak autis, skala penerimaan diri, dan skala dukungan sosial. Analisis data menggunakan analisis regresi dua prediktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F-test = 14,916, p < 0,05, dan nilai R = 0,678. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat hubungan signifikan yang kuat antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hasil penelitian juga menunjukkan nilai rx1y = -0,338; p<0,05, artinya terdapat hubungan signifikan yang negatif antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Nilai rx2y = 0,354; p<0,05, menunjukkan terdapat hubungan signifikan yang negatif antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis.. Nilai R2 dalam penelitian ini sebesar 0,460 atau 46%, terdiri atas sumbangan efektif penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 22,27% dan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 23,73%. Ini berarti masih terdapat 54% faktor lain yang mempengaruhi stres pada ibu yang memiliki anak autis selain penerimaan diri dan dukungan sosial. Kata kunci: stres pada ibu yang memiliki anak autis, penerimaan diri, dukungan sosial
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
CORRELATION BETWEEN SELF ACCEPTANCE AND SOCIAL SUPPORT TOWARD STRESS HAPPENED TO MOTHERS WITH AUTISM CHILDREN IN SLB AUTISM SURAKARTA
Sebelas Maret University of Surakarta ABSTRACT Autism is complex developmental disorder, consisting of social interaction aspect, communication aspect, activity aspect, and limited apitude that hard to be understood by mother with autism children, so that it causes stress. Self acceptance and social support can help mothers with autism children to avoid stress. Mothers who can accept their self will avoid from stress because can adapt their wishes with the real situation. Mothers who get social support from their environment will avoid from stress because positif feeling on their self. The purpose of this research is to find out the correlation between self acceptance and social support toward stress happened to mothers with autism childrens. The subjects of this research are 68 mothers with autism childrens in SLB Autism Surakarta comprising SLB Autism AGCA Center, SLB Autism Alamanda and SLB Autism Harmony, divided into 30 for try out and 38 for research. This research used purposive sampling as a technique with the sample criteria of 20 45 years old and not including a single parent. This research used the scale of stress happened to mothers with autism childrens, self acceptance scale, and social support scale as the instruments. Data analysis in this research is multiple predictors regression analysis. The result shows the value of F-test = 14.916, p < 0.05, and the value of R = 0,678. Based on the result, it can be concluded that the hypothesis in this research is accepted, that is a significant correlation between self acceptance and social support toward stress happened to mothers with autism childrens in SLB Autism Surakarta. The result also shows the value of rx1y = -0.338; p<0.05, it indicates negative significant correlation between self acceptance and stress happened to mothers with autism childrens. The value of rx2y = -0.354; p<0,05, it indicates negative significant correlation between social support and stress happened to mothers with autism childrens. The value of R 2 in this research equals 0.460 or 46%, consisting of 22.27% effective contribution of self acceptance toward stress happened to mothers with autism childrens and 23.73% effective contribution of social support toward stress happened to mothers with autism childrens still 54% of another factors that also influence stress happened to mothers with autism childrens beside self acceptance and social support. Keywords: stress happened to mothers with autism childrens, self acceptance, social support
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ....................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv MOTTO ........................................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii ABSTRAK ....................................................................................................... ix ABSTRACT ..................................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii BAB I.
PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 9 C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 10 D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 10 BAB II.
LANDASAN TEORI .................................................................... 12
A.
......................... 12 1.
Pengertian Autisme pada Anak .......................................................... 12
2.
Pengertian Stres. ................................................................................ 16
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.
Stres pada Orang tua yang Memiliki anak Autis ............................... 18
4.
Aspek-aspek Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ........ 21
5.
Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ......................................................................................... 25
B. Penerimaan Diri ........................................................................................ 30 1.
Pengertian Penerimaan Diri ............................................................... 30
2.
Tahapan Penerimaan Diri .................................................................. 32
3.
Dampak Penerimaan Diri ................................................................... 33
4.
Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri.................................... 35
5.
Aspek-aspek Penerimaan Diri............................................................ 37
C. Dukungan Sosial ....................................................................................... 40 1.
Pengertian Dukungan Sosial .............................................................. 40
2.
Sumber-sumber Dukungan Sosial...................................................... 42
3.
Dampak Dukungan Sosial.................................................................. 43
4.
Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial .................................. 44
5.
Aspek-aspek Dukungan Sosial .......................................................... 45
D. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis .............................................. 49 1.
Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ............................. 49
2.
Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Stres pada Ibu yang Memiliki
Anak Autis .................................................................... 52
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ........................................................................ 54
E. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 55 F.
Hipotesis .................................................................................................. 56
BAB III.
METODE PENELITIAN .............................................................. 57
A. Identifikasi Variabel Penelitian................................................................. 57 B. Definisi Operasional Variabel Penelitian .................................................. 57 C. Populasi, Sampel, dan Sampling ............................................................... 59 1.
Populasi .............................................................................................. 59
2.
Sampel................................................................................................ 60
3.
Sampling ............................................................................................ 61
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data ........................................................ 62 1.
Sumber Data....................................................................................... 62
2.
Metode Pengumpulan Data ................................................................ 63
E. Validitas dan Reliabilitas Skala Pengukuran ............................................ 68
F.
1.
Validitas ............................................................................................. 68
2.
Reliabilitas ......................................................................................... 70
Metode Analisis Data ................................................................................ 71
BAB IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 74
A. Persiapan Penelitian .................................................................................. 74 1.
Orientasi Kancah Penelitian ............................................................... 74
2. Persiapan Penelitian ........................................................................... 78 3. Pelaksanaan Uji Coba Penelitian ....................................................... 85
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Uji Validitas dan Reliablitas Skala .................................................... 85 B. Pelaksanaan Penelitian .............................................................................. 95 1.
Penentuan Responden Penelitian ....................................................... 95
2.
Pengumpulan Data Penelitian ............................................................ 95
3.
Pelaksanaan Skoring .......................................................................... 95
C. Analisis Data Penelitian ............................................................................ 96 1.
Uji asumsi dasar ................................................................................. 96
2.
Uji asumsi klasik ................................................................................ 99
3.
Uji hipotesis ....................................................................................... 103
4.
Analisis deskriptif .............................................................................. 108
5.
Analisis Crostab ................................................................................. 112
6.
Sumbangan relatif dan sumbangan efektif ......................................... 112
D. Pembahasan ............................................................................................... 113 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 122 A. Kesimpulan ............................................................................................... 122 B. Saran ....................................................................................................... 123 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 126
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis .................................................................................... 55 Gambar 2. Uji Autokorelasi ............................................................................ 103
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Penilaian Aitem Skala ................................................................. 64 Tabel 2.
Blue Print Skala Stres ......................................................................... 65
Tabel 3.
Blue Print Skala Penerimaan Diri ........................................................ 66
Tabel 4.
Blue Print Skala Dukungan Sosial ...................................................... 67
Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Sebelum Uji Coba ................................................................................. 80 Tabel 6.
Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Sebelum Uji Coba ............... 82
Tabel 7.
Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba .............. 84
Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis yang Valid dan Gugur .......................................................................... 87 Tabel 9.
Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri yang Valid dan Gugur ......... 89
Tabel 10. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial yang Valid dan Gugur ........ 91 Tabel 11. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis untuk Penelitian .................................................................................... 92 Tabel 12. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri untuk Penelitian................... 93 Tabel 13. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial untuk Penelitian ................. 94 Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ............................................................................ 97 Tabel 15. Hasil Uji Linearitas Penerimaan Diri dengan Stres ............................. 98 Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Dukungan Sosial dengan Stres ............................ 98 Tabel 17. Hasil Uji Multikolinearitas................................................................... 100 Tabel 18. Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX1 ................................ 101 Tabel 19. Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX2 ................................ 101
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 20. Hasil Uji Autokorelasi ......................................................................... 102 Tabel 21. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Ganda (R) ........................... 104 Tabel 22. Hasil Uji F ............................................................................................ 105 Tabel 23. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda .............................................. 105 Tabel 24. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi (r) ....................................... 106 Tabel 25. Hasil Analisis Korelasi Parsial Penerimaan Diri dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ............................................................. 107 Tabel 26. Hasil Analisis Korelasi Parsial Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis .................................................... 108 Tabel 27. Analisis Deskripsi Data Penelitian ....................................................... 109 Tabel 28. Hasil Perhitungan ME, MH, Nilai Tengah Skor, Skor Tinggi, Skor Rendah, Rentang Skor, dan SD Variabel Penelitian ............................ 109 Tabel 29. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ........................................... 110 Tabel30. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Penerimaan Diri .................................................................................... 110 Tabel31. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Dukungan Sosial ................................................................................... 111 Tabel32. Crosstab antara Penerimaan Diri dengan Lama Individu Mengetahui Diagnosis Autis ................................................................ 112
commit to user xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Uji Coba ................................................................................. 132 Lampiran B. Distribusi Skor Uji-Coba ................................................................. 147 Lampiran C. Uji Validitas Dan Reliabilitas .......................................................... 160 Lampiran D. Skala Penelitian ............................................................................... 168 Lampiran E. Distribusi Skor Skala Penelitian....................................................... 180 Lampiran F. Analisis Data Penelitian ................................................................... 195 Lampiran G. Kelengkapan Admintrasi ................................................................. 209 Lampiran H. Jadwal Kegiatan Penyusunan Skripsi .............................................. 216 Lampiran I. Dokumentasi ..................................................................................... 219
commit to user xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user 0
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap orang tua khususnya ibu menginginkan anaknya berkembang sempurna, namun sering terjadi harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dimana anak memperlihatkan masalah dalam perkembangan sejak usia dini. Salah satu gangguan perkembangan yang dapat terjadi pada anak adalah autis. Autis secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, auto, yang artinya sendiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa anak autis pada umumnya hidup dengan dunianya sendiri, menikmati kesendirian dan tidak respon dengan orangorang sekitar (Geniofam, 2010). Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 150.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1.000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis (Huzaemah, 2010). Yayasan Autisma Indonesia (YAI) menyebutkan, meskipun jumlah anak penderita autis terus meningkat, namun belum pernah ada survei khusus mengenai jumlah penderita autis di Indonesia. Ketua YAI, dr. Melly Budhiman mengatakan
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa jumlah penderita autis terus meningkat dari tahun ke tahun, dan kini tidak hanya ada di kota-kota besar saja, tetapi sudah merambah di daerah-daerah. Sayangnya hingga kini belum ada survei yang menunjukkan seberapa banyak jumlah penderita autis (Judarwanto, 2009). Indikator peningkatan baru dapat diperoleh dari catatan praktek dokter, yang dari penanganan 3-5 pasien baru per tahun, kini menangani 3 pasien baru setiap hari dan itupun dibatasi, serta dari catatan penerimaan siswa di sekolah-sekolah. Sulit mendapatkan angka di Indonesia mengingat bahwa belum ada sensus resmi, belum meratanya diagnosis untuk anak-anak autis, dan keengganan orang tua untuk mengakui bahwa anaknya adalah individu autistik (Yayasan Autisma Indonesia, 2008). Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta orang, hingga saat ini belum diketahui jumlah pasti penyandang namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150.000200.000 orang. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Huzaemah, 2010). Berdasarkan data di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis Surakarta, antara lain SLB Autis Alamanda, SLB Autis AGCA Center, dan SLB Autis Harmony, telah terjadi peningkatan jumlah anak autis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak autis dari yang awalnya hanya menangani 3-5 anak per hari, sekarang menangani 10-20 anak per hari bahkan lebih. Selain itu, walaupun SLB tersebut juga menangani anak berkebutuhan khusus yang lain, jumlah anak autis lebih besar dibandingkan dengan jumlah anak berkebutuhan khusus lain. Jumlah total siswa di SLB Autis Alamanda adalah 32 siswa dengan rincian 23 siswa autis, 2 ADHD, 3 retardasi
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mental, 1 gangguan down syndrome, dan 3 gangguan kesulitan belajar. Jumlah total siswa di SLB Autis AGCA Center adalah 35 siswa, dengan rincian siswa yang autis sebanyak 28 siswa dan 7 siswa memiliki gangguan down syndrome. Jumlah total siswa di SLB Harmony adalah 50 orang dengan rincian 30 siswa autis dan 20 gangguan kesulitan belajar. Orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan anak autis. Marijani (2003) menyatakan bahwa peran serta orang tua dalam memberikan penanganan kepada anak autis secara tepat, terarah, dan sedini mungkin dapat memberikan kesempatan yang besar kepada anak agar dapat hidup mandiri. Menurut Cohen & Volkmar (dalam Sembiring, 2010), ibu merupakan sosok yang banyak terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karena ayah berperan sebagai pencari nafkah utama sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari maka ibu dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan anak. Berdasarkan wawancara dengan S, salah satu ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis AGCA Center, memiliki anak autis merupakan salah satu masalah terberat dalam hidupnya. S bercerita bahwa orang tua khususnya ibu yang memiliki anak autis memiliki kehidupan yang berbeda dengan ibu yang memiliki anak normal. Perilaku anak autis yang sulit dipahami dan seperti tidak memiliki rasa lelah membuat S harus menghabiskan banyak waktu di rumah. S yang dulunya bekerja bahkan memutuskan untuk berhenti bekerja. S bercerita bahwa terkadang dia sulit memahami perilaku anaknya yang sangat suka merobek kertas sehingga S harus menyembunyikan semua kertas yang ada di rumahnya. Anaknya
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga sering menggesekkan kedua tangannya sampai tangannya menjadi sangat kasar dan menggigit dirinya sendiri sehingga S harus mengawasi jangan sampai anaknya terluka. Perilaku anaknya yang belebihan, seperti berjalan-jalan keliling rumah, berlari-lari, dan tidak bisa diam membuatnya harus selalu mengawasi anaknya karena takut anaknya keluar rumah dan dapat membahayakan anak. S mengatakan bahwa setiap hari hanya tidur beberapa jam sehingga sangat lelah. S juga merasa sedih dan merasa bersalah saat memikirkan masa depan anaknya. Menurut Handoyo (2003), anak autis memiliki kecenderungan untuk berperilaku berlebihan ataupun berkekurangan, berbeda untuk masing-masing anak. Perilaku berlebihan antara lain perilaku melukai diri sendiri (self abuse), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri; agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan mencubit; dan tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Perilaku berkekurangan ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Perilaku ini menyebabkan ibu yang memiliki anak autis harus ekstra 24 jam mengawasi anaknya. Hambatan komunikasi yang dialami anak mengakibatkan ibu semakin frustasi karena tidak dapat memahami keinginan anak. Boyd, dkk., (dalam Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang memiliki anak autis membutuhkan usaha untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul ketika menghadapi perilaku anaknya jika ingin terhindar dari stres.
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Monat & Lazarus (dalam Safaria, 2005), stres adalah segala peristiwa atau kejadian baik berupa tuntutan-tuntutan lingkungan maupun tuntutan-tuntutan internal (fisiologis atau psikologis) yang menuntut, membebani, atau melebihi kapasitas sumber daya adaptif individu. Sarafino (1994) berpendapat bahwa stres adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan antara seseorang atau situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis, psikologis, atau sistem sosial individu tersebut. Boyd, dkk., (dalam Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang memiliki anak autis memiliki resiko yang tinggi terhadap depresi, stres, dan kecemasan. Depresi, stres, dan kecemasan ini disebabkan karena adanya dua hal yang saling bertentangan antara kebutuhan untuk tetap berbicara dan kebutuhan untuk tetap diam mengenai pengalaman traumatis memiliki anak autis. Hal ini diilustrasikan dengan perasaan yang kuat dan tanda-tanda penderitaan seperti sering menangis, merasa cepat lelah karena merasa secara otomatis dan permanen tidak dapat rileks, dan tidak mendapatkan malam tidur secara bertahun-tahun. Bristol & Schopler, Holroyd & McArthur, dan Dumas, dkk., (dalam Davis, dkk., 2008; Plumb, 2011) mengemukakan bahwa tingkat resiko depresi, stres, dan kecemasan ibu yang memiliki anak autis lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan yang lainnya seperti down syndrome dan retardasi mental. Menurut hasil penelitian Sabih dan Sajid (2006), dengan sampel 60 orang tua (30 ayah, 30 ibu), dari 30 anak-anak dengan diagnosis autis yang diperoleh dari rumah sakit dan lembaga keterbelakangan mental di Islamabad, Rawalpindi
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan Wah Cantt, Pakistan, diketahui bahwa muncul stres yang signifikan pada orangtua yang memiliki anak-anak yang mengalami gangguan autis. Hasil penelitian menunjukkan tingkat stres pada ibu lebih tinggi daripada tingkat stres pada ayah. Hjelle dan Ziegler (dalam Ellyya dan Rachmahana, 2008) menyatakan bahwa toleransi terhadap stres yang tinggi merupakan salah satu ciri dari individu yang mampu menerima dirinya. Penerimaan diri ini terbentuk karena individu yang bersangkutan dapat mengenal dirinya dengan baik. Hurlock (1974) mengatakan bahwa penerimaan diri inilah yang membuat perilaku individu menjadi well-adjusted yang pada akhirnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap stres. Penerimaan diri
merupakan
kemampuan
untuk
mengesampingkan
kekurangan dan kesalahan, rasa malu yang merusak dan kecemasan yang ekstrim atau luar biasa (Maslow, 1994). Individu yang dapat menerima dirinya sendiri, mampu menerima sifat manusiawi dengan segala kekurangan dan dengan segala yang tidak sesuai dengan cita-cita idealnya, serta puas akan keadaan dan sifatnya sebagaimana adanya, tanpa kesal atau keluhan, atau bahkan terlalu banyak memikirkannya. Schultz (1991) berpendapat bahwa orang yang menerima diri dapat menerima kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan dan terlampau banyak memikirkannya. Meskipun mereka memiliki kelemahan-kelemahan, mereka tidak merasa malu atau merasa bersalah dengan hal-hal tersebut dan menerima apa adanya.
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ibu yang memiliki anak autis dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang tinggi bila mampu memahami kelebihan-kelebihan dirinya, memaksimalkan segala potensi yang ada, dan mengakui keterbatasan dirinya. Ibu yang memiliki anak autis tidak membandingkan kehidupannya dengan kehidupan ibu dengan anak normal lainnya. Individu dapat menyesuaikan harapannya sesuai dengan kenyataan yang ada dan memahami keadaan diri sebagaimana adanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1974), yang menyebutkan bahwa penerimaan diri yang baik hanya akan terjadi bila individu yang bersangkutan mau dan mampu memahami keadaan diri sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diinginkan. Selain itu juga harus memiliki harapan yang realistis, sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian bila seorang individu memiliki konsep yang menyenangkan dan rasional mengenai diri maka dapat dikatakan orang tersebut dapat menyukai dan menerima diriya. Selain penerimaan diri, dukungan sosial merupakan komponen penting dalam kehidupan orang tua yang memiliki anak autis untuk menghindari stres. Menurut Tarwanti dan Astuti (2008), faktor pendukung dalam penyesuaian orang tua yang memiliki anak autis sehingga menghindarkan dari bahaya stres diantaranya adalah kondisi lingkungan yang selalu kondusif; dukungan emosional dari berbagai pihak baik dari pasangan, keluarga, teman-teman, maupun lingkungan; dukungan material; serta unsur-unsur penentu psikologis yang merupakan cara orang tua untuk bisa belajar dari pengalaman agar dapat menangani anak secara tepat. Sedangkan faktor penghambat adalah kondisi anak sendiri, minimnya informasi, dan kesibukan orang tua.
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kenyamanan, pengertian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok Sumber utama dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari anggota keluarga, teman dekat, rekan kerja, saudara dan tetangga (Cobb, dkk., dalam Sarafino, 1994). Sarason (dalam Rustiana, 2006) menyebutkan dukungan sosial dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku atau materi yang terdapat dari hubungan sosial yang akrab, atau hanya disimpulkan dari keberadaan mereka, yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Lieberman (dalam Lubis, 2006) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut sehingga akan mengurangi potensi munculnya stres. Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres dan efeknya. Penelitian Dunn, dkk., (2001) yang berjudul Moderators of Stress in Parents of Children with Autism menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi stres pada orang tua yang memiliki anak autis. Lebih lanjut, dalam penelitian yang sama Gill & Harris (1991) menjelaskan bahwa tingkatan stres pada orang tua anak autis dapat dibedakan dari dukungan sosial yang diperoleh. Orang tua yang memiliki anak autis yang mendapatkan
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dukungan sosial memiliki tingkatan stres yang lebih rendah terkait dengan masalah somatik dan gejala depresi. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ibu yang memiliki anak autis memiliki peran yang sangat penting dalam membantu upaya penanganan anak autis untuk menjadi mandiri dan mampu beradaptasi. Perilaku anak autis yang sulit untuk dipahami dimungkinkan dapat menyebabkan ibu yang memiliki anak autis mengalami stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial dimungkinkan terkait dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Fenomena semakin meningkatnya jumlah anak autis di SLB Autis di Surakarta membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta? 2. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta? 3. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Tujuan Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. 2. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. 3. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.
D. Manfaat Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis: a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai
penerimaan
diri,
dukungan
sosial,
dan
stres
dalam
pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis, psikologi sosial ataupun studi psikologi pada umumnya. b. Dapat berguna bagi bidang pengetahuan serta pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi seperti guru inklusi atau sekolah luar biasa dan praktisi psikolog yang menangani anak berkebutuhan khusus, khususnya autis.
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Manfaat praktis: Dari hasil penelitian ini diharapkan: a. Bagi ibu yang memiliki anak autis, dapat membantu individu untuk menghindari stres dengan memiliki penerimaan diri yang tinggi dan memanfaatkan dukungan sosial dengan baik. b. Bagi praktisi anak (guru inklusi atau sekolah luar biasa, psikolog, dokter dan atau tenaga kesehatan), diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam membantu ibu untuk menghindari stres.
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis 1. Pengertian Autisme pada Anak Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Autisme merupakan kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari hubungan sosial dan bahasa (Lumbantobing, 2001). Menurut Kanner (dalam Wenar, 2006) autisme adalah salah satu gangguan pervasif yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis dan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk anak dan lingkungannya. Ketiga, yaitu mutism dan cara berbicara yang tidak komunikatif, termasuk di dalamnya echolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan untuk menerjemahkan kalimat secara harafiah dan kata gantinya sendiri, biasanya
Nevid (2005) berpendapat bahwa autisme adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita autisme tampak benar-benar sendiri di dunia. Rapin (dalam Nevid, 2005) mengatakan bahwa gangguan
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
autisme mulai tampak pada usia 18-30 bulan. Namun demikian barulah pada usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosis (Fox, dalam Nevid, 2005). Pada
dasarnya gangguan
autisme
tergolong
dalam
gangguan
perkembangan pervasif, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorder) menurut DSM IV (APA, 2000 dalam Wenar, 2006). Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasif meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic Disorder) dengan gangguan Rett
gangguan disintegatif masa anak (Childhood
Disintegrative Disorder) dan gangguan Asperger
).
Gangguan autistik berbeda dengan gangguan Rett dalam rasio jenis kelamin penderita dan pola berkembangnya hambatan. Gangguan Rett hanya dijumpai pada wanita sementara gangguan Autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1. Selanjutnya pada sindroma Rett dijumpai pola perkembangan gangguan yang disebabkan perlambatan pertumbuhan kepala (head growth deceleration), hilangnya kemampuan ketrampilan tangan dan munculnya hambatan koordinasi gerak. Pada masa
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
prasekolah, sama seperti penderita autistik, anak dengan gangguan Rett mengalami kesulitan dalam interaksi sosialnya. Selain itu gangguan Autistik berbeda dari Gangguan Disintegratif masa anak, khususnya dalam hal pola kemunduran perkembangan. Pada Gangguan Disintegratif, kemunduran (regresi) terjadi setelah perkembangan yang normal selama minimal 2 tahun sementara pada gangguan autistik abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran. Selanjutnya, gangguan autistik dapat dibedakan dengan gangguan Asperger karena pada penderita asperger tidak terjadi keterlambatan bicara. Penderita Asperger sering juga disebut dengan istilah High Function Autism , selain karena kemampuan komunikasi mereka yang cukup normal juga disertai dengan kemampuan kognisi yang memadai. Kriteria Diagnostik Autisme DSM IV (APA, 2000) dalam (Wenar, 2006) yaitu : a. Didapatkan jumlah total 6 (atau lebih) aitem dari (1), (2), dan (3), dengan sekurangnya 2 dari (1) dan masing-masing (1) dari (2) dan (3). (1) Gangguan kualitatif interaksi sosial, bermanifestasi pada sekurangnya dua dari hal berikut : (a) Gangguan yang nyata dalam perilaku non verbal multiple, seperti menatap mata, ekspresi wajah, sikap badan, dan gestur (isyarat) untuk berinteraksi sosial. (b) Gagal mengembangkan hubungan antar sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(c) Kurang spontanitas membagi kegembiraan, kesenangan, interest, atau perolehan (misalnya kurang menyatakan, membawakan atau menunjukkan objek yang menarik). (d) Kurang hubungan timbal balik sosial dan emosional. (2) Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi sebagaimana terlihat pada sekurangnya satu dari hal berikut : (a) Terlambat, atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa lisan (tidak disertai upaya untuk mengkompensasikannya dengan cara komunikasi alternatif, seperti isyarat atau mimik). (b) Pada individu yang bicaranya memadai, terdapat gangguan yang nyata dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain. (c) Penggunaan bahasa secara stereotip atau berulang-ulang (yang itu itu saja) atau bahasa idiosinkratik. (d) Kurang ragam bermain yang menggandai atau bermain sosial imitative sesuai dengan tingkat perkembangannya. (3) Pola yang terbatas, berulang, dan stereotip dari perilaku, interest, dan aktivitas sebagai yang bermanifestasi pada sekurangnya satu dari hal berikut : (a) Terpaku perhatiannya pada satu atau lebih pola interest yang stereotip dan terbatas yang abnormal intensitas atau fokusnya. (b) Tampak menempel secara tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual yang spesifik, tidak ada fungsinya.
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(c) Perilaku motorik yang aneh, stereotip dan berulang (misalnya mengelepak atau memilin tangan atau jari, atau gerak seluruh badan yang kompleks). (d) Perhatiannya secara persisten dipenuhi atau melekat pada bagianbagian suatu objek. b. Terlambat atau fungsi yang abnormal dari sekurangnya satu dari bidang berikut yang bermula sebelum usia 3 tahun, yaitu : (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan pada komunikasi sosial, (3) permainan simbolik dan imajinatif. c. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam
atau
Childhood Disintegrative Disorder. Jadi dapat dipahami bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktifitas dan minat yang terbatas, yang gejalanya biasanya muncul usia 1-3 tahun.
2. Pengertian Stres Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respon fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap stressor; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres; semua sebagai suatu sistem (WHO, dalam Sriati, 2008).
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rice (1999) mengemukakan bahwa stres memiliki tiga pengertian yang berbeda, definisi pertama stres dikatakan sebagai stimulus yang berasal dari situasi atau lingkungan yang menyebabkan individu merasa tertekan pada situasi tersebut, dalam pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang eksternal. Definisi kedua, stres dianggap sebagai respons subjektif, dalam pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang internal yaitu keadaan psikologis individu atau ketegangan yang dirasakan oleh individu dan definisi yang ketiga, stres dianggap sebagai reaksi fisikal tubuh untuk menuntut dan merusak sehingga menyebabkan gangguan-gangguan pada individu. Menurut Crider, dkk., (1983), stres dapat diartikan sebagai gangguan reaksi fisiologis dan psikologis yang muncul ketika kejadian lingkungan mengancam dan memaksa kemampuan individu untuk menghadapi masalah. Taylor (2009) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif, dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. Menurut McGrath (dalam Walker, dkk, 2009) stres mengarah pada ketidakseimbangan antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan individu untuk meresponnya. Lebih lanjut, Sarafino (1994) berpendapat bahwa stres adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan antara seseorang atau lingkungan yang berhubungan dengan individu, yaitu situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis, psikologis, atau sistem sosial individu tersebut.
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hans Selye (dalam Hawari, 2002) mengatakan bahwa stres merupakan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga seseorang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stressor tersebut, sehingga muncul keluhan-keluhan antara lain stres. Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1999). Menurut Atkinson (2000) stres muncul disebabkan adanya permintaan yang berlebihan
yang
tidak
dapat
dipenuhi
sehingga
dapat
mengancam
kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini disebut respon stres. Berdasarkan pengertian ahli-ahli di atas dapat diperoleh pengertian bahwa stres adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik tuntutan internal maupun tuntutan eksternal yang dapat membahayakan individu sehingga individu bereaksi baik secara fisiologis maupun psikologis.
3. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Ibu yang memiliki anak autis sering mengalami stres. Memiliki anak dengan kelainan seperti autis bukan hal yang mudah untuk diterima. Banyak
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pikiran negatif yang muncul saat mengetahui hal tersebut, seperti rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan, stigma negatif dari masyarakat (Williams & Wright, 2004). Pikiran negatif ibu yang memiliki juga disebabkan perilaku anak autis yang berbeda dengan anak yang lain. Anak autis dapat berperilaku berlebihan (excessive), seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Hal ini menyebabkan ibu merasa khawatir anak akan kelelahan dan merasa bersalah karena dapat mengganggu dan membahayakan orang lain di sekitar. Perilaku berlebihan juga dapat berupa perilaku yang melukai diri sendiri (self abuse) seperti memukul, menggigit dan mencakar diri sendiri yang tentu saja dapat membahayakan nyawa anak. Ibu harus bekerja keras dalam mengawasi anak karena setiap saat anak dapat melakukan tindakan self abuse. Untuk menghentikan tindakannya orang tua juga karus sabar karena anak mengalami hambatan dalam berkomunikasi, sehingga bila cara yang dilakukan salah maka akan memperparah keadaan. Hal ini membuat ibu yang memiliki anak autis merasa mudah lelah, makan menjadi tidak teratur, dan mengalami gangguan tidur. Selain perilaku yang berlebihan, anak autis juga dapat memiliki perilaku berkekurangan yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Tentu saja hal ini membuat ibu bingung
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan kesulitan dalam memahami keinginan anak. Perilaku anak autis dapat membuat ibu frustasi dan lama-kelamaan akan menyebabkan stres. Cohen & Volkmar (dalam Lubis, 2009) menjelaskan bahwa umumnya orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami stres. Hal ini terjadi baik pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga mengalami penampakan yang berbeda dari stres yang mereka alami yang berhubungan dengan masalahmasalah anak autisnya. Ibu lebih rentan terhadap stres karena ibu berperan langsung dalam kehadiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan rasa bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya. Ibu juga merasa stres karena perilaku yang ditampilkan anaknya, seperti tantrum, hyperaktif, kesulitan bicara. perilaku yang tidak lazim, dan ketidakmampuan bersosialisasi. Berbeda dengan ayah yang juga sebenarnya mengalami stres yang sama, tetapi dampak stresnya tidak seberat apa yang dialami oleh ibu. Hal ini disebabkan peran utama ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Memiliki anak autis menyebabkan ibu mengalami konflik batin dalam menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan antara keinginan dan harapan ibu yang tidak terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga. Konflik batin yang dialami oleh ibu akan mempengaruhi keadaan psikologisnya, yang kemudian akan berdampak pada sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh ibu kepada anaknya yang autis tersebut. Selain itu merawat anak autis sendiri
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cukup berat karena membesarkan anak autis tidak hanya membutuhkan pengorbanan fisik tetapi juga psikis. Menurut Heiman (2002), stres ibu yang memiliki anak autis disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuan anak; ketidakmampuan dalam keterampilan pengasuhan; merasa syok, depresi, bersalah, bingung, marah, putus asa, dan menyangkal atas diagnosis anak; ketidakmampuan dalam mengatasi stres; dan merasa putus asa dengan masa depan anak. Faktor eksternal meliputi ketidakpercayaan terhadap pihak professional, stereotip, biaya medis, dan kurangnya informasi mengenai autis. Berdasarkan uraian di atas, stres pada ibu yang memiliki anak autis dalam penelitian ini dimaknakan sebagai kondisi atau keadaan tidak menyenangkan yang dialami ibu yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik tuntutan internal maupun eksternal yang dapat membahayakan individu sehingga individu bereaksi secara fisiologis maupun psikologis.
4. Aspek-aspek Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Crider, dkk., (1983) mengemukakan aspek stres menjadi 3, yaitu : a. Gangguan emosional Gangguan emosional biasanya berwujud keluhan-keluhan seperti tegang, khawatir, marah, malu, tertekan dan perasaan bersalah. Secara umum, hal tersebut adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan atau emosi negatif yang berlawanan dengan emosi positif seperti senang,
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahagia dan cinta. Hal ini berarti ibu yang memiliki anak autis akan merasa tegang, khawatir, tertekan, dan merasa bersalah. b. Gangguan kognitif Gejalanya tampak pada fungsi berpikir, mental images, konsentrasi dan ingatan. Dalam keadaan stres, ciri berpikir dalam keadaan normal seperti rasional, logis dan fleksibel akan terganggu karena dipengaruhi oleh kekhawatiran tentang konsekuensi yang terjadi maupun evaluasi diri yang negatif. Mental images diartikan sebagai citra diri dalam bentuk kegagalan dan ketidakmampuan yang sering mendominasi kesabaran individu yang mengalami stres, seperti mimpi buruk, mimpi-mimpi yang menimbulkan imajinasi visual menakutkan dan emosi negatif. Konsentrasi diartikan sebagai kemampuan untuk memusatkan pada suatu stimulus yang spesifik dan tidak memperdulikan stimulus lain yang tidak berhubungan. Pada individu yang mengalami stres, kemampuan konsentrasi akan menurun, yang akhirnya akan menghambat performansi kerja dan kemampuan pemecahan masalah (problem-solving). Memori pada individu yang mengalami stres akan terganggu dalam bentuk sering lupa dan bingung. Hal ini disebabkan karena terhambatnya kemampuan memilahkan dan menggabungkan ingatan-ingatan jangka pendek dengan yang telah lama. Maka dari itu, orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami gangguan fungsi berpikir, mental images, konsentrasi dan ingatan sehingga akan mengganggu dalam memecahkan masalah.
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Gangguan fisiologis Gangguan fisiologis ditandai dengan terganggunya pola-pola normal dari aktivitas fisiologik yang ada. Gejala-gejalanya yang timbul biasanya adalah sakit kepala, konstipasi, nyeri pada otot, menurunnya nafsu seks, cepat lelah dan mual. Ibu yang memiliki anak autis akan mengalami gangguan fisiologis tersebut. Taylor (2009) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu: a. Aspek fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. b. Aspek kognitif, dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. c. Aspek emosi, dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. d. Aspek tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan. Menurut Rice (1999), secara umum aspek-aspek stres diidentifikasikan ke dalam 4 gejala, yaitu :
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Gejala perilaku, banyak diantara perilaku yang menunjukkan stres diantaranya yaitu penundaan dan menghindar, menarik diri dari teman dan keluarga, kehilangan nafsu makan atau sebaliknya, kehilangan tenaga, emosi yang meledak dan agresi, memulai atau peningkatan penggunaan obat-obatan
secara
dramatis,
perubahan
pola
tidur,
melalaikan
tanggungjawab, penurunan produktifitas dalam diri seseorang, dan keinginan bunuh diri. b. Gejala emosi, sebagian besar gejala emosi pada stres adalah kecemasan, ketakutan, cepat marah dan depresi. Gejala lainnya yaitu frustrasi, perasaan yang tidak menentu dan kehilangan kontrol. Di dalam pekerjaan, stres ditunjukkan dengan kehilangan semangat dan penurunan kepuasan kerja. c. Gejala kognitif, di antara sebagian besar gejala mental atau kejiwaan dari stres adalah kehilangan motivasi dan konsentrasi. Hal ini terlihat pada seseorang yang kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada tugas yang diberikan dan kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Gejala mental lainnya adalah kecemasan yang berlebihan, kehilangan ingatan, kesalahan persepsi, kebingungan, terjadi pengurangan daya tahan tubuh dalam membuat keputusan, lemah dalam menyelesaikan masalah terutama selama krisis, mengasihani diri sendiri, kehilangan harapan. d. Gejala fisik, di antara gejala fisik dari stres adalah kelelahan secara fisik dan keadaan fisik yang lemah, migrain dan kepala pusing, sakit punggung,
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketegangan otot yang ditandai dengan gemetaran dan kekejangan. Dalam sistem cardiovascular, stres ditandai dengan percepatan denyut jantung, hipertensi dan proses atherosclerotic yang buruk. Aspek-aspek stres yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Crider, dkk., (1983), Taylor (2009), dan Rice (1999), yang meliputi aspek emosi, aspek kognitif, aspek fisiologis, dan aspek tingkah laku. Aspek-aspek yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut dimodifikasi sehingga lebih lengkap dan menyeluruh.
5. Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis a. Faktor Lingkungan (Rutter, dkk., 1993) Menurut Lazarus & Folkman (dalam Rutter, dkk., 1993), situasi, kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis disebut stressor. Memiliki anak autis merupakan stressor bagi ibu karena ibu merasa terbeban dengan rasa takut dan sedih berkepanjangan karena merasa kehilangan masa depan anak. Tidak ada seorangpun ibu yang mengharapkan anaknya terlahir dengan gangguan perkembangan. Diagnosis autis dapat sangat memberikan kekecewaan terhadap ibu dan mengakibatkan stres. Lingkungan yang mendukung akan dapat mengurangi tingkatan stres yang dialami. Sebaliknya, tekanan dari lingkungan akan dapat meningkatkan stres pada ibu yang memiliki anak autis.
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Faktor-Faktor Psikologis 1) Cara coping stres (Nevid, dkk., 2005; Wortman,dkk., 2004; Dunn,dkk., 2001) Berpura-pura seakan masalah tidak ada atau tidak terjadi merupakan penyangkalan. Penyangkalan merupakan contoh coping yang berfokus pada emosi (Lazarus & Folkman, dalam Nevid dkk., 2005). Pada coping yang berfokus pada emosi, orang berusaha segera mengurangi dampak stresor dengan menyangkal adanya stresor atau menarik diri dari situasi. Sebaliknya, pada coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) orang menilai stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor tersebut (Nevid dkk., 2005). Ibu yang memiliki anak autis yang melakukan penyangkalan atas stressor dengan menarik diri dari lingkungan sekitar karena merasa malu dengan kondisi anaknya, sedangkan ibu yang berfokus pada masalah akan mencari solusi untuk anak mereka dan diri mereka sendiri agar bisa berbaur dengan masyarakat. 2) Harapan akan self-efficacy (Nevid,dkk., 2005) Harapan akan self efficacy berkenaan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang hadapinya, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan perilaku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menghasilkan perubahan hidup yang positif (Bandura, dalam Nevid dkk., 2003). Ibu yang memiliki anak autis mungkin dapat mengelola stres lebih baik apabila orang tersebut yakin dan percaya diri (memiliki harapan yang tinggi). 3) Ketahanan psikologis (Nevid dkk, 2003) Ketahanan
psikologis
(psychological
hardiness)
atau
sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. Williams dkk., (dalam Nevid dkk, 2003) mengemukakan bahwa secara psikologis, orang yang ketahanan psikologisnya tinggi cenderung lebih efektif dalam mengatasi stres dengan menggunakan pendekatan coping yang berfokus pada masalah secara efektif. Ibu anak autis yang memiliki ketahanan psikologis yang tinggi menganggap stressor yang mereka hadapi membuat kehidupan lebih menarik dan menantang, bukan semata-mata membebani mereka dengan tekanan-tekanan tambahan. 4) Optimisme (Wortman, dkk., 2004; Nevid, dkk., 2005; Walker, dkk., 2009) Brissete (dalam Walker, dkk., 2009) berpendapat bahwa orang yang optimis lebih banyak menggunakan strategi coping yang efektif dan sehingga biasanya orang yang optimis kurang rentan terhadap stres. Scheier & Carver (dalam Wortman, dkk., 2004) mengemukakan lebih lanjut bahwa individu yang optimis lebih dapat beradaptasi, baik fisik maupun psikologis terhadap gejala stres. Maka dari itu, ibu yang
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki anak autis yang optimis akan memiliki resiko yang lebih rendah untuk stres. 5) Locus of control (Dunn, dkk., 2001) Locus of control adalah keyakinan yang dimiliki individu terhadap sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, apakah berasal dari dalam atau dari luar individu. Locus of control berkaitan dengan ketahanan psikologis untuk mengubah stressor yang negatif menjadi stressor positif. c. Faktor-Faktor Kepribadian (Hawari, 2002) Tidak semua orang yang mengalami stres psikososial yang sama akan mengalami stres. Ternyata pada seseorang yang memiliki tipe ) Type Pattern) lebih rentan terkena stres. Sedangkan orang dengan tipe
lebih kebal terhadap stres. Pola tingkah laku tipe A adalah sekelompok karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan tidak dapat santai. Sedangkan pola tingkah laku tipe B memiliki ambisi yang wajar saja, tidak agresif, penyabar, dan mampu mengendalikan diri. Meskipun demikian tidak berarti orang dengan tipe kepribadian di luar kategori di atas tidak akan mengalami stres, atau dengan kata lain orang dengan tipe kepribadian A memiliki resiko stres lebih besar daripada tipe kepribadian lain (Hawari,
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2002). Dengan demikian, ibu yang memiliki anak autis dengan tipe kepribadian A memiliki resiko stres lebih besar daripada tipe kepribadian lain. d. Faktor-Faktor Kognitif (Rutter, dkk., 1993) Lazarus (dalam Rutter, dkk., 1993), mengatakan sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Jadi, seberapa besar tingkat ibu menginterpretasikan stressor memiliki anak autis tergantung dari bagaimana ibu menginterpretasikannya. e. Faktor Usia (Hurlock, 2002) Hurlock (2002)
menyatakan bahwa individu yang semakin tua
akan memiliki emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan emosi ini berpengaruh terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang semakin bertambah mengakibatkan seseorang akan semakin mudah mengalami stres. Hal ini berkaitan dengan faktor fisiologis yang mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar.
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada ibu yang memiliki anak autis meliputi faktor lingkungan, faktor psikologis (terkait cara coping stres, harapan akan self efficacy , ketahanan psikologis, optimisme, dan locus of control),
faktor kepribadian, faktor
kognitif, dan faktor usia.
B. Penerimaan Diri 1. Pengertian Penerimaan Diri Menurut Supratiknya (1995), penerimaan diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu, serta penerimaan terhadap orang lain. Sheerer (Cronbach, 1954) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahankelemahannya. Penerimaan diri menurut Hurlock (1974) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan merasa bahagia. Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima kelemahankelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri (Handayani, dkk. 1998) Jersild (1978) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistis terhadap kemampuannya yang berkesinambungan dengan penghargaan terhadap keberhargaan dirinya, jaminan dari dirinya tentang batasan (standar) pendiriannya tanpa merasa terendahkan oleh opini orang lain dan penilaian realists dari keterbatasan dirinya tanpa menyalahkan dirinya secara tidak rasional. Orang yang menerima dirinya mengenali kemampuan dirinya dan mereka dapat menggunakan kemampuan dirinya dengan bebas walaupun tidak semua keinginannya tersebut diinginkan. Mereka juga mengenali kelemahan dirinya tanpa menyalahkan diri sendiri. Perls (dalam Schultz, 1991) berpendapat bahwa orang yang memiliki penerimaan diri mampu memahami dan menerima kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan mereka serta menyadari potensi-potensi mereka sebagai manusia. Mereka mengetahui bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan dan untuk menjadi. Sama juga halnya dengan mereka yang mengetahui apa yang mereka tidak dapat lakukan, dan mereka berusaha untuk tidak menjadi sesuatu yang bukan mereka. Mereka tidak mempertahankan cita-cita atau tujuan-tujuan yang mereka ketahui bahwa mereka tidak dapat mencapainya.
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan pengertian ahli-ahli di atas dapat diperoleh pengertian bahwa penerimaan diri adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri secara jujur dan terbuka, baik kelebihan maupun kelemahan, pada diri sendiri dan di hadapan orang lain, serta mampu memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya.
2. Tahapan Penerimaan Diri Menurut Fuad (2006), ada 4 tahapan penerimaan diri, antara lain : a. Tahap menolak menerima kenyataan (Denial) Setiap individu memiliki kecenderungan untuk menolak suatu kondisi yang tidak ia inginkan. Banyak mekanisme yang dilakukan untuk menolak kenyataan yang tidak ia kehendaki. Sebagian dari mereka mengurung diri dan menghindar untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, sebagian lagi menjadi sangat sensitif dan reaktif terhadap situasi disekitarnya. b. Tahap tawar-menawar (Bargaining) Maksud tawar-menawar dalam tahap ini adalah sebuah mekanisme yang dilakukan individu untuk menutupi kondisi yang tidak diinginkannya tersebut. c. Tahap depresi (Depression) Jika seseorang sudah mengalami kelelahan dalam pergulatan pada dua tahapan yaitu menolak dan tawar-menawar ia akan terpaksa menyerah untuk menerima kenyataan. Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah. Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. d. Tahap puncak menerima kenyataan (Acceptance) Dalam tahapan ini kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan oleh individu dimaknai sebagai anugerah kehidupan. Memang sangat sulit mencapai tahapan ini, oleh karena itu disebut tahapan puncak dari seluruh proses penerimaan diri. Rasa syukur dalam tahapan ini dimaknai sebagai penerimaan realitas diri secara total. Berdasarkan uraian di atas tahapan penerimaan diri terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap menolak menerima kenyataan, tahap tawar-menawar, tahap depresi, dan tahap puncak menerima kenyataan.
3. Dampak Penerimaan Diri Hurlock (1974) menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan sosialnya. Kemudian Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri dalam 2 kategori yaitu : a. Dalam penyesuaian diri Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang meiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. b. Dalam penyesuaian sosial Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). Berdasarkan uraian di atas dampak dalam penerimaan diri ada 2 yaitu dalam penyesuaian diri dan dalam penyesuaian sosial. Penerimaan diri memiliki dampak dalam penyesuaian sosial berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengenali kelebihan dan kekurangannya. Penerimaan diri memiliki dampak penyesuaian sosial berkaitan dengan timbulnya empati.
4. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Hurlock
(1974)
mengemukakan
mempengaruhi dalam penerimaan diri, yaitu :
commit to user 34
tentang
faktor-faktor
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri (self understanding). Hal ini timbul dengan adanya kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan dengan berdampingan, semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin orang tersebut dapat menerima dirinya. b. Adanya harapan yang realistik (realistic expectations). Hal ini timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesua ikan dengan pemahaman dengan kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Individu yang memiliki harapan yang realistik akan memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk mencapai harapan itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri. c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan (absence of environment obstacles). Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, tetapi jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai. d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan (favourable social attitudes). Sikap-sikap anggota masyarakat ditandai dengan tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu untuk mengikuti kebiasaan lingkungan.
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat (absence of several emotional stress). Gangguan emosional yang berat dapat dapat mempengaruhi individun dalam merespon lingkungannya. Tidak adanya gangguan emosional akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia. f. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (presponderance os success) Keberhasilan yang dialami individu akan dapat menimbulkan penerimaan diri dan sebaliknya jika kegagalan yang dialami individu akan dapat mengakibatkan adanya penolakan diri. g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik (identification with well-adjusted people) Individu yang mengidentifikasikan dengan individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan baik yang menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik. h. Adanya perspektif diri yang luas (self perspective) Individu yang dapat menilai dirinya dari perspektif orang lain akan memiliki pemahaman diri yang yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang memiliki perspektif yang lebih sempit. Perspektif diri yang luas dapat meningkatkan penerimaan diri.
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
i. Pola asuh dimasa kecil yang baik (good childhood training) Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri. j. Konsep diri yang stabil (stable self concept) Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil, akan sulit menunjukkan pada orang lain. Individu tidak mengenal dirinya yang sebenarnya karena individu sendiri ambivalen terhadap dirinya Berdasarkan uraian diatas, faktor yang mempengaruhi penerimaan diri antara lain adanya pemahaman tentang diri sendiri, adanya harapan yang realistik, tidak adanya hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, adanya perspektif diri yang luas, pola asuh dimasa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil.
5. Aspek-aspek Penerimaan Diri Supratiknya (1995) mengemukakan aspek-aspek penerimaan diri, antara lain : a. Pembukaan diri Penerimaan diri individu terlihat dari pembukaannya terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki pembukaan diri akan membiarkan orang lain mengetahui tentang dirinya, termasuk apa yang dirasakan dan
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipikirkannya. Pembukaan diri berarti mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi individu kepada orang lain dan merasa tertarik dengan kegiatan yang berifat pengungkapan diri. b. Kesehatan psikologis Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan individu terhadap diri individu sendiri. Orang yang sehat secara psikologis memandang dirinya disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Sebaliknya orang yang menolak dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu membangun hubungan baik dengan orang lain. c. Penerimaan terhadap orang lain Orang yang menerima dirinya biasanya lebih bisa menerima orang lain. Penerimaan terhadap orang lain ditandai dengan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain dan bersedia menerima bantuan dan peran dari orang lain. Menurut Shereer (dalam Cronbach, 1954) aspek-aspek penerimaan diri yang terdapat pada individu meliputi 7 aspek. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut : a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan. Individu yang memiliki percaya diri dan lebih memusatkan perhatian kepada keberhasilan akan kemampuan dirinya akan dapat menyelesaikan masalah dengan lebih baik. b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain.
Hal ini berarti individu mempunyai
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keyakinan bahwa ia dapat berarti atau berguna bagi orang lain dan tidak memiliki rasa rendah diri karena merasa sama dengan orang lain yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain.
Ini berarti individu tersebut tidak merasa
sebagai orang yang menyimpang dan berbeda dengan orang lain, sehingga mampu menyesuaikan dirinya dengan baik dan tidak merasa bahwa ia akan ditolak oleh orang lain. d. Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri. Artinya, individu ini lebih mempunyai orientasi keluar dirinya sehingga mampu menuntun langkahnya untuk dapat bersosialisasi dan menolong sesamanya tanpa melihat atau mengutamakan dirinya sendiri. e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Berarti individu memiliki keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala resiko yang timbul akibat perilakunya. f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif.
Sifat ini
tampak dari perilaku individu yang mau menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya lebih lanjut. g. Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya. Individu yang memiliki sifat ini memandang diri mereka apa adanya dan bukan seperti yang diinginkan. Sikap realistik merupakan sesuatu yang penting bagi pribadi yang sehat. Individu
juga
dapat
mengkompensasikan
commit to user 39
keterbatasannya
dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperbaiki dan meningkatkan karakter dirinya yang dianggap kuat, sehingga pengelolaan potensi dan keterbatasan dirinya dapat berjalan dengan baik tanpa harus melarikan diri dari kenyataan yang ada. Aspek-aspek penerimaan diri yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Supratiknya (1995) dan Shereer (dalam Cronbach, 1954) yang meliputi pembukaan diri; percaya kemampuan diri; kesehatan psikologis; orientasi keluar; bertanggungjawab; berpendirian, dan menyadari keterbatasan. Aspek-aspek yang dikemukakan kedua ahli tersebut dimodifikasi dengan menggabungkan aspek yang dikemukakan oleh kedua ahli tanpa mengurangi pengertian dari aspek yang dikemukakan oleh satu ahli.
C. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial Menurut House (dalam Sarason, 1990), dukungan sosial adalah hubungan interpersonal yang melibatkan dua orang atau lebih untuk memenuhi kebutuhan dasar individu dalam mendapatkan rasa aman, hubungan sosial, persetujuan dan kasih sayang. Menurut Sarafino (1994) sesuatu dikatakan sebagai dukungan sosial ketika seseorang memiliki persepsi yang positif atas dukungan itu dan merasa nyaman atas segala bentuk perhatian, penghargaan, dan bantuan yang diterimanya. Taylor (2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya informasi dari orang lain, bahwa seseorang dicintai, dijaga, dan dihargai, serta
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan bagian dari suatu jaringan sosial tertentu yang ia terlibat di dalamnya. Sarason, dkk. (dalam Baron & Byrne, 2005) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. Rook (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan ikatanikatan sosial tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum dari hubungan interpersonal. Ikatan dan persahabatan dengan orang lain dianggap sebagai aspek yang memberikan kepuasan secara emosional dalam kehidupan individu. Saat seseorang didukung oleh lingkungan maka segalanya akan terasa lebih mudah. Dukungan sosial menunjukkan pada hubungan interpersonal yang melindungi individu terhadap konsekuensi negatif dari stres. Thoits (dalam Rutter, dkk., 1993) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan keamanan didapat lewat interaksi dengan orang lain. Menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994) dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mareka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Berdasarkan uraian di atas, dukungan sosial adalah dukungan dari orang lain (suami, keluarga, dan rekan) yang memberikan kenyamanan baik fisik maupun psikologis sebagai bukti bahwa individu diperhatikan dan dicintai sehingga dapat membantu individu mengatasi permasalahannya.
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Sumber-Sumber Dukungan Sosial Menurut Rook & Dooley (dalam Kuntjoro, 2002), ada 2 sumber dukungan sosial, yaitu : a. Sumber artifisial Sumber artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam. b. Sumber natural Sumber natural adalah dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi seseorang dalam kehidupannya secara spontan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami, dan kerabat), teman dekat atau relasi. Menurut Taylor (2009) dan Safarino (1994) dukungan sosial dapat berasal dari banyak sumber, antara lain dari orang tua, pasangan hidup atau seseorang yang dicintai, keluarga, teman, rekan kerja, ahli profesi seperti dokter, komunitas atau instansi tertentu seperti sekolah, gereja atau rumah sakit, dan bahkan hewan peliharaan. Menurut Rodin & Salovey (dalam Smet, 1994) sumber dukungan sosial yang paling penting adalah perkawinan dan keluarga.
3. Dampak Dukungan Sosial Lieberman (dalam Lubis, 2006) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat mengakibatkan stres Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stres. Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi kejadian dan efek stres. Dalam Sarafino (1994) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain : a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan. b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu. c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat. d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain. Berdasarkan uraian di atas, dukungan sosial memiliki dampak positif dan negatif dalam mempengaruhi dan kejadian dan efek stres. Dampak positif terjadi jika pada saat kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut, sedangkan dampak negatif terjadi jika dukungan yang tersedia tidak dianggap
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai sesuatu yang membantu, dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu, sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, dan terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial Tidak semua orang mendapatkan dukungan sosial seperti yang diharapkannya. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang menerima dukungan (Sarafino, 1994) : a. Potensi Penerima Dukungan Tidak mungkin seseorang memperoleh dukungan sosial seperti yang diharapkannya jika dia tidak sosial, tidak pernah menolong orang lain, dan tidak membiarkan orang lain mengetahui bahwa dia sebenarnya memerlukan pertolongan. Beberapa orang tidak perlu assertive untuk meminta bantuan orang lain, atau merasa bahwa mereka seharusnya tidak tergantung dan menyusahkan orang lain. b. Potensi Penyedia Dukungan Seseorang yang seharusnya menjadi penyedia dukungan bisa saja tidak mempunyai sesuatu yang dibutuhkan orang lain, atau mungkin mengalami stress sehingga tidak memikirkan orang lain, atau bisa saja tidak sadar akan kebutuhan orang lain. c. Komposisi dan Struktur Jaringan Sosial Maksud dari jaringan sosial adalah hubungan yang dimiliki individu dengan orang-orang dalam keluarga dan lingkungannya.
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hubungan ini dapat bervariasi dalam ukuran (jumlah orang yang sering berhubungan dengan individu), frekuensi hubungan (seberapa sering individu bertemu dengan orang-orang tersebut), komposisi (apakah orangorang tersebut keluarga, teman, rekan kerja, dan sebagainya), dan kedekatan hubungan. Berdasarkan uraian di atas, faktor yang mempengaruhi dukungan sosial antara lain potensi penerima dukungan; potensi penyedia dukungan; dan komposisi dan struktur jaringan sosial.
5. Aspek-aspek Dukungan Sosial House (dalam Smet, 1994) membedakan empat jenis aspek dukungan sosial, yaitu: a. Dukungan emosional Dukungan ini menekankan pada dukungan yang bersifat afektif, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan (Smet, 1994) Seseorang yang sedang mengalami stres sering mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kesedihan, kecemasan, dan penurunan self-esteem. Kehangatan dan kasih sayang dapat membantu seseorang melewati masa-masa stres dengan lebih percaya diri (Taylor, 2009).
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Dukungan penghargaan Dukungan ini terjadi lewat ungkapan hormat positif untuk orang tersebut, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang tersebut dengan orang lain. Misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya dapat menambah penghargaan diri dari individu karena merasa lebih baik (Smet, 1994). c. Dukungan instrumental Dukungan ini mengacu pada bantuan nyata yang berupa materi, seperti misalnya uang, benda, pelayanan, ataupun bantuan fisik yang lain. Dukingan instrumental adalah dukungan yang diberikan secara langsung, seperti ketika seseorang memberikan pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan, atau membantu orang tersebut dengan memberikan pekerjaan (Smet, 1994). d. Dukungan informatif Dukungan ini mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik yang diperoleh dari orang lain, sehingga individu dapat membatasi masalahnya dan mencoba mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya (Smet, 1994). Dukungan informasi dapat membantu seseorang memahami situasi dengan lebih baik, seperti seberapa berbahayanya suatu permasalahan, sehingga seseorang mampu menganalisa dan mencari alternatif strategi penyelesaian masalah yang paling baik (Taylor, 2009).
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara Sarafino (1994) mengemukakan aspek dukungan sosial yang terdiri dari lima jenis yaitu : a. Dukungan emosional Dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi seta bersedia
mendengarkan
keluh
kesah
orang
lain.
Kesediaan
untuk
mendengarkan keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka. b. Dukungan penghargaan Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain, seperti misalnya perbandingan dengan orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. Hal seperti ini dapat menambah penghargaan diri. Melalui interaksi dengan orang lain, individu akan dapat mengevaluasi dan mempertegas
keyakinannya
dengan
membandingkan
pendapat,
sikap,
keyakinan, dan perilaku orang lain. Jenis dukungan ini membantu individu merasa dirinya berharga, mampu, dan dihargai.
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Dukungan instrumental Dukungan ini melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu d. Dukungan informasi Dukungan
informatif
mencakup
pemberian
nasehat,
petunjuk-
petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. e. Dukungan kelompok sosial Dukungan ini mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Aspek-aspek dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Sarafino (1994) dan House (dalam Smet, 1994), yang meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok sosial. Aspek-aspek yang dikemukakan oleh kedua ahli tersebut dimodifikasi sehingga lebih lengkap dan menyeluruh.
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis 1. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Ibu yang memiliki anak autis segala sesuatunya pasti tampak berbeda dari ibu lainnya. Bagi individu, inilah periode awal kehidupan anaknya yang merupakan masa yang paling sulit dan membebani. Pada periode ini seringkali ibu berhadapan dengan banyak permasalahan. Tidak saja berasal dari anaknya tetapi bercampur dengan masalah-masalah lainnya yang dapat membebani individu termasuk permasalahan yang muncul dari reaksi masyarakat (Safaria, 2005). Ibu yang memiliki anak autis harus memberikan perhatian yang lebih besar kepada anaknya karena mengalami gangguan yang kompleks yang menyangkut gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan aktivitas, perilaku dan minat yang terbatas. Gangguan-gangguan tersebut dimunculkan dengan gejala perilaku yang sulit dipahami oleh orang lain khususnya ibu. Gangguan interaksi sosial yang paling mencolok pada anak autis adalah tidak adanya atau kurangnya kontak mata dengan orang lain dan tidak nyaman saat dipeluk. Hal ini dapat menyebabkan individu menjadi tidak dapat mengekspresikan kasih sayang kepada anaknya sehingga ibu menjadi sedih, sering menangis, dan menyalahkan diri sendiri atas apa yang dialami oleh anak dan dirinya. Gangguan komunikasi yang dialami oleh anak autis yang ditandai dengan meniru atau membeo dan mengucapkan kata-kata yang
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipahami membuat ibu kesulitan dalam memahami kebutuhan anak. Anak tidak dapat mengekspresikan rasa lapar, haus, dan sebagainya. Aktivitas dan perilaku yang stereotip terkadang membuat ibu harus ekstra sabar karena dapat membahayakan anak dan orang lain. Keinginan anak terhadap keteraturan juga harus diperhatikan oleh ibu agar anak tidak menjadi marah (tantrum). Kondisi ini membuat ibu harus pandai menjaga emosi agar terhindar dari emosi negatif yang timbul dalam menghadapi anak autis seperti sedih, kecewa, putus asa, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya. Menurut Safaria (2005), ibu yang memiliki anak autis perlu sekali untuk memahami dan menyadari emosi-emosi negatif ini agar memiliki kemampuan untuk mengelolanya secara efektif. Hal ini disebabkan emosi-emosi negatif ini memiliki banyak dampak yang negatif pula bagi ibu, baik secara fisik maupun psikis seperti gangguan depresi, kecemasan, somatisasi, dan stres. Menurut Mc Kinney & Peterson (1987), Hoyrold & McArthur (1976) dan Bouma & Schweitzer (1990) dalam penelitian yang berjudul Moderators of Stress in Parents of children with Autism (Dunn, dkk., 2001), orang tua yang memiliki anak autis menanggung beban stres yang lebih tinggi dibandingkan orang tua dengan anak non-autis dan orang tua dengan gangguan yang lainnya, misalnya
. Hal ini dilatarbelakangi
karena anak autis memiliki gejala dalam beberapa aspek yaitu gangguan pada komunikasi verbal, gangguan perilaku, dan gangguan hubungan sosial. Penerimaan diri memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, khususnya ibu yang memiliki anak autis. Penerimaan diri dalam
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kehidupan merupakan proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri dengan tuntutan lingkungan. Ibu yang memiliki penerimaan diri dapat menerima kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihankelebihan dan kelemahan-kelemahannya (Sheerer dalam Cronbach, 1954). Individu yang menerima diri berarti telah menyadari, memahami, dan menerima diri apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan diri untuk senantiasa mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dengan penerimaan diri yang baik maka ibu yang memiliki anak autis dapat menerima keadaannya dengan objektif sehingga dapat menghindarkan ibu dari perasaan bersalah ataupun emosi negatif, termasuk stres. Dukungan sosial adalah pemberian perasaan nyaman baik secara fisik maupun psikologis atau keluarga kepada seseorang untuk menghadapi masalah (Baron & Byrne, 2005). Individu yang mempunyai perasaan aman karena mendapatkan dukungan akan lebih efektif dalam menghadapi masalah daripada individu yang mendapat penolakan orang lain Ibu
yang memiliki anak
autis
membutuhkan dukungan dari
lingkungan, baik dari suami, keluarga, rekan kerja, dan dari masyarakat sekitar. Dukungan sosial dapat berwujud dukungan emosional berupa ungkapan empati dan perhatian, dukungan penghargaan berupa penilaian positif dan dorongan untuk maju, dukungan instrumental atau bantuan
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
langsung, bantuan informasi berupa nasihat, petunjuk dan saran, serta dukungan kelompok sosial. Penelitian Ainbinder, dkk., (1998) menunjukkan bahwa dukungan dari sesama orang tua yang memiliki anak autis (Parent to Parent Support), bisa menurunkan tingkat stres yang dialami oleh orang tua. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa dukungan dari orang tua lain dapat membuat orang tua merasa memiliki kesamaan keadaan sehingga ada perbandingan situasi yang dialami masing-masing orang tua, membantu orang tua dalam hal penambahan informasi tentang autisme, dan dapat belajar keterampilan yang relevan dan mengumpulkan informasi yang berguna. Selain itu orang tua juga dapat saling mendukung satu sama lain dan saling pengertian dalam setiap dukungan karena sama-sama memahami apa yang dialami.
2. Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis. Setiap ibu menginginkan anaknya dapat berkembang normal seperti anak lainnya. Ibu yang memiliki anak autis dapat merasa bersalah dan tertekan karena merasa keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil, atau akibat dosa dimasa lalu. Putus asa dan tidak bersemangat dalam menjalani kehidupan sebagai bagian dari stres, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak (Safaria, 2005). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Novvida (2007) menunjukkan bahwa stres itu muncul tergantung dari penerimaan individu. Seseorang yang
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
senantiasa rendah diri, tidak berpuas hati dengan dirinya, tidak menerima apa yang ada pada dirinya, tidak akan merasa sejahtera hidupnya. Hal ini akan menimbulkan perasaan marah, benci kepada diri, tidak menghormati diri dan kadangkala mengurangi keyakinan individu untuk mencoba sesuatu yang baru dan menjadi penghalang kepada kemajuan didalam hidupnya. Individu seperti itu dapat mengalami stres sehingga merasa tidak bahagia di dalam dirinya dan menjadi tertekan. Hasil penelitian Ellyya dan Rachmahana (2008) menunjukkan ada hubungan negatif yang signifikan antara penerimaan diri dengan stres. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1974) yang mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara keseluruhan. Artinya, individu itu memiliki kepastian akan standar dan teguh pada pendirian,
serta mempunyai
penilaian
yang
realistik terhadap
keterbatasannya tanpa mencela diri. Jadi, orang yang memiliki penerimaan diri yang baik tahu asset yang dimiliki dirinya dan bisa mengatasi cara mengelolanya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ibu yang memiliki anak autis dengan penerimaan diri yang tinggi, yaitu ibu yang dapat menerima kekurangan dari dirinya serta mampu memaksimalkan segala aset atau kelebihannya akan cenderung mengalami stres yang rendah. Sebaliknya, ibu yang memiliki penerimaan diri yang rendah akan cenderung mengalami stres yang tinggi.
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis. Ibu yang memiliki anak autis mengalami banyak kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk penyesuaian menghadapi tuntutan masyarakat (Yayasan Autisma Indonesia, 2008). Semua ibu mengharapkan anaknya lahir sempurna, tetapi ketika anaknya ternyata tidak sempurna, individu juga tidak bisa berbuat lain selain melanjutkan kehidupan sebaik mungkin. Ibu yang memiliki anak autis sangat mengharapkan lingkungan dan masyarakat dapat bersikap lebih empatik terhadap perjuangannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Selain itu individu juga mengharapkan masyarakat agar dapat memahami kesulitan mereka, sehingga tidak mengolok-olok perilaku anak autis atau menyalahkan ibu bila anak autis bersikap tidak seharusnya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak autis membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan dalam menjalani kehidupannya. Menurut Cobb, dkk., (dalam Sarafino, 1994), seseorang yang memiliki dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan bernilai. Dukungan sosial dalam penelitian Frazier, dkk., (dalam Baron & Byrne, 2005) adalah hal yang bermanfaat tatkala mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan dalam mengatasi stres. Lebih lanjut. Morgan, dkk., (dalam Baron & Byrne, 2005) menyebutkan sebagian alasannya adalah karena berhubungan dengan orang lain adalah sumber dari rasa nyaman ketika individu merasa tertekan.
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Uraian di atas menunjukkan bahwa perbedaan dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu yang memiliki anak autis akan berbeda pula dalam tingkat stresnya. Ibu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi, yaitu orang tua yang mendapatkan
dukungan
sosial
baik
dukungan
emosional,
dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok sosial, cenderung memiliki tingkat stres yang rendah sedangkan ibu yang memiliki dukungan sosial yang rendah cenderung memiliki tingkat stres yang tinggi.
E. Kerangka Pemikiran H2 Penerimaan Diri
-
H1 -
Dukungan Sosial
Stres pada Ibu yang memiliki anak autis
H3 Gambar 1.
Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Keterangan : H1
: Hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis.
H2
: Hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
H3
digilib.uns.ac.id
: Hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis
F. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini : 1.
Terdapat hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis SLB Autis di Surakarta.
2.
Terdapat hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.
3.
Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini, antara lain : 1. Variabel kriterium
: Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis
2. Variabel prediktor
: a. b.
Penerimaan Diri Dukungan Sosial
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Stres pada ibu yang memiliki anak autis dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kondisi atau keadaan tidak menyenangkan yang dialami ibu yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik tuntutan internal maupun eksternal yang dapat membahayakan individu sehingga individu bereaksi secara fisiologis maupun psikologis. Pengukuran terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis dalam penelitian ini menggunakan skala stres dengan model Likert. Penyusunan skala sikap menggunakan aspek-aspek stres yang dimodifikasi peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Crider, dkk. (1983), Taylor (2009), dan Rice (1999). yaitu emosi, kognitif, fisiologis, dan tingkah laku.
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semakin tinggi skor pada skala menunjukkan semakin tingginya tingkat stres pada ibu yang memiliki anak autis, sebaliknya apabila skor semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya tingkat stres.
2. Penerimaan Diri Penerimaan diri dalam penelitian ini diartikan kemampuan menerima kondisi diri sendiri secara jujur dan terbuka, baik kelebihan maupun kelemahan pada diri sendiri dan di hadapan orang lain serta mampu memaksimalkan potensi yang ada pada diri individu. Pengukuran
terhadap
penerimaan
diri
dalam
penelitian
ini
menggunakan skala sikap dengan model Likert. Penyusunan skala sikap menggunakan aspek-aspek penerimaan diri yang dimodifikasi peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Supratiknya (1995) dan Shereer (dalam Cronbach, 1954), yang meliputi pembukaan diri, percaya kemampuan diri, kesehatan psikologis, orientasi keluar, bertanggung jawab, berpendirian, dan menyadari keterbatasan. Semakin tinggi skor pada skala menunjukkan semakin tingginya tingkat penerimaan diri pada individu, sebaliknya apabila skor semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya tingkat penerimaan diri pada individu.
3. Dukungan Sosial Dukungan sosial dalam penelitian ini adalah dukungan dari orang lain (suami, keluarga, dan rekan) yang memberikan kenyamanan baik fisik
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maupun psikologis sebagai bukti bahwa individu diperhatikan dan dicintai sehingga dapat membantu individu mengatasi permasalahannya. Pengukuran menggunakan
skala
terhadap sikap
dukungan model
sosial
Likert.
dalam
Penyusunan
penelitian skala
ini sikap
menggunakan aspek-aspek dukungan sosial yang dimodifikasi peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Sarafino (1994) dan House (dalam Smet, 1994), yang meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok sosial. Semakin tinggi skor pada skala menunjukkan semakin tingginya tingkat dukungan sosial pada individu, sebaliknya apabila skor semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya tingkat dukungan sosial pada individu.
C. Populasi, Sampel , dan Sampling 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta, antara lain SLB Autis AGCA Center, SLB Autis Alamanda, dan SLB Autis Harmony. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 81 orang.
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Sampel Adapun sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta yang memenuhi karakteristik sebagai berikut: a. Memiliki anak autis. b. Berusia 20-45 tahun. Hal tersebut dijadikan pertimbangan karena Menurut Hurlock (2002), stres dipengaruhi oleh usia. Oleh karena itu, penulis memilih orang tua yang berusia 20-45 tahun karena menurut Feldman (dalam Desmita, 2007) pada usia tersebut seseorang berada pada tahapan dewasa, sehingga orang tua pada penelitian ini berada pada tahapan umur yang sama. c. Bukan single parent. Hal tersebut dijadikan pertimbangan karena menurut penelitian yang dilakukan Bronniman (2010), wanita single parent memiliki tingkat stres yang tinggi dibandingkan dengan wanita yang memiliki suami karena single parent membutuhkan kemampuan untuk memenuhi financial keluarga sekaligus kemampuan untuk mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Jadi, sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta yang memenuhi karakteristik yang sudah ditetapkan peneliti, yaitu berumur 20-45 tahun dan bukan single parent. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 68 orang berdasarkan kriteria pada purposive sampling, dengan 30 responden untuk try out dan sisanya 38 responden untuk penelitian.
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penentuan ukuran sampel yang sejumlah 68 orang adalah didasarkan pada pendapat Roscoe (dalam Sugiyono, 2011) tentang penentuan ukuran sampel dalam suatu penelitian, yaitu : a. Ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500 responden. b. Bila dalam suatu penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate (misalnya : analisis korelasi atau regresi ganda), maka jumlah anggota sampel minimal adalah 10 kali dari jumlah variabel yang diteliti. Misal variabel penelitian berjumlah 5 (independen+dependen), maka jumlah anggota sampel adalah 10x5=50. Berdasarkan pendapat Roscoe di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa ukuran sampel penelitian yang berjumlah 68 telah sesuai dengan jumlah minimal sampel, yaitu 30 (10x3=30).
3. Sampling Sampling adalah merupakan cara yang digunakan untuk mengambil sampel (Sugiyono, 2011). Sampling atau teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek berdasarkan karakteristik tertentu yang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri populasi yang sudah ditentukan sebelumnya (Hadi, 2004). Sampel dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data Untuk menghasilkan data yang relevan dengan tujuan penelitian serta memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi, maka penelitian ini menggunakan skala sikap (attitude scales) sebagai alat pengumpul data. Skala sikap berupa kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Dari respon subjek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Salah satu sifat skala sikap adalah isi pernyataannya yang dapat berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurnya, akan tetapi dapat pula berupa pernyataan tidak langsung yang tampak kurang jelas tujuan ukurnya bagi responden. Walaupun responden dapat mengetahui bahwa skala tersebut bertujuan mengukur sikap namun pernyataan tidak langsung ini biasanya tersamar dan mempunyai sifat proyektif. Respon individu terhadap stimulus sikap yang berupa jawaban sesuai atau tidak sesuai itulah yang dapat menjadi indikator sikap individu (Azwar, 2010). 1. Sumber Data Sumber data adalah sesuatu yang menjadi sumber untuk memperoleh sebuah data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua sumber data, yaitu: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung kepada subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar,
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2010). Data penelitian ini diperoleh langsung dari ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Data tersebut berupa respon atau tanggapan atas pernyataan yang diajukan peneliti dalam skala penelitian, yaitu skala stres, skala penerimaan diri, dan skala dukungan sosial b. Data sekunder Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari tempat penelitian, yaitu berupa dokumen-dokumen yang diperlukan peneliti. (Suryabrata, 2006). Data sekunder digunakan sebagai tambahan informasi untuk mempermudah pengumpulan data penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara di tempat penelitian, yaitu berupa dokumentasi ketika pengumpulan data, informasi tentang profil tempat penelitian, dan daftar siswa di SLB Autis di Surakarta. Demi kerahasiaan responden penelitian, biodata tidak dapat dilampirkan. Data sekunder tidak diikutsertakan dalam proses analisis dalam penelitian ini.
2. Metode Pengumpulan Data Alat ukur yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga skala, yaitu stres pada ibu yang memiliki anak autis, skala penerimaan diri, dan skala dukungan sosial, Semua skala yang digunakan dalam penelitian ini berpedoman terhadap skala Likert yang telah dimodifikasi, yaitu menghilangkan pilihan ragu-ragu sehingga subjek akan memilih jawaban yang pasti kearah yang sesuai atau tidak sesuai dengan
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dirinya. Skala dengan empat alternatif lebih disarankan karena apabila ada lima alternatif jawaban, responden cenderung memilih alternatif yang ada di tengah, yang dirasa aman dan hamper tidak berpikir (Arikunto, 2006) Skala dibuat sebagai pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable dengan empat alternatif jawaban, dimana untuk pernyataan favorable yang jawabannya sangat tidak sesuai, akan diberi nilai terendah yaitu 1 dan jawaban sangat sesuai diberi nilai tertinggi, yaitu 4. Sedangkan untuk pernyataan unfavorable sistem pembentukan nilainya adalah sebaliknya. Untuk lebih jelasnya maka sistem penilaiannya adalah sebagai berikut: Tabel 1 Tabel Sistem Penilaian Aitem Skala Kategori Jawaban Skor Favorable Sangat Sesuai (SS) 4 Sesuai (S) 3 Tidak Sesuai (TS) 2 Sangat Tidak Sesuai (STS) 1
Skor Unfavorable 1 2 3 4
Alat ukur yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga skala, yaitu: 1. Skala Stres Skala stres yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada teori Crider, dkk. (1983), Taylor (2009), dan Rice (1999) yaitu emosi, kognitif, fisiologis, dan tingkah laku. Skala ini digunakan untuk mengungkap tinggi rendahnya stres pada ibu yang memiliki anak autis di Surakarta. Skala stres berisi 54 aitem pernyataan yang terdiri atas 27 pernyataan favorable dan 27 pernyataan unfavorable.
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berikut adalah blue print pembuatan skala stres pada ibu yang memiliki anak autis.
Aspek Emosi
Kognitif
Fisiologis
Tingkah laku
Tabel 2 Blue Print Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Indikator Nomor aitem Jumlah Aitem F U Mudah marah dengan 1,27 10,40 4 tingkah laku anak yang terbatas dan streotipik (gerakan berulang-ulang secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas) Merasa tertekan dengan 15, 41, 53 6, 28, 30 6 kondisi anak yang autis Kehilangan semangat 11, 29 16, 54 4 dalam menjalani hidup dengan kondisi anak yang autis Sulit berkonsentrasi pada 17, 43 2, 42 4 pekerjaan Mengalami mimpi buruk 7, 31 18, 44 4
% 7,40
11,11 7,40
7,40 7,40
Sulit dalam mengambil keputusan Muncul keringat dingin
19, 45
12, 32
4
7,40
3, 33
20, 46
4
7,40
Mengalami gangguan, pernafasan (sesak nafas) Menurunnya fungsi imun tubuh (mudah sakit) Perubahan pola makan
21, 47
8, 34
4
7,40
13, 35
22, 48
4
7,40
23, 49
4, 36
4
7,40
Perubahan pola tidur
9, 37
24, 50
4
7,40
Menurunnya interaksi terhadap orang di sekitarnya Melalaikan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga
25, 51
14, 38
4
7,40
5, 39
26, 52
4
7,40
27
27
54
100
Jumlah
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Skala Penerimaan Diri Skala penerimaan diri
yang digunakan dalam
penelitian ini
berdasarkan aspek penerimaan diri menurut Supratiknya (1995) dan Shereer (dalam Cronbach, 1954), yang meliputi pembukaan diri, percaya kemampuan diri, kesehatan psikologis, orientasi keluar, bertanggungjawab, berpendirian, dan menyadari keterbatasan. Skala ini digunakan untuk mengungkap tinggi rendahnya penerimaan diri. Skala penerimaan diri berisi 60 aitem pernyataan yang terdiri atas 30 pernyataan favorable dan 30 pernyataan unfavorable. Berikut adalah blue print pembuatan skala penerimaan diri.
Aspek Pembukaan diri
Percaya kemampuan diri
Kesehatan psikologis Orientasi keluar
Bertanggung jawab
Tabel 3 Blue Print Skala Penerimaan Diri Indikator Nomor aitem F U Membiarkan orang lain 1,19 7,13 mengetahui tentang diri individu Mengungkapkan pendapat 8,14 2,20 kepada orang lain Memiliki keyakinan untuk 3,21 9,15 menyelesaikan masalah dengan baik Memiliki keyakinan dalam 10,16 4,22 menghadapi masa depan Memandang dirinya berharga 5,23 11,17,57 Merasa dapat berguna bagi orang lain Merasa sama dengan orang lain Memiliki keinginan untuk menolong orang lain Berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan individu Berpikir mengenai resiko atas semua perbuatan yang dilakukan individu
commit to user 66
Jumlah Aitem 4
% 6,67
4
6,67
4
6,67
4
6,67
5
8,33
12,18
6,24
4
6,67
25,37
29,33
4
6,67
30,34,58
26,38
5
8,33
27,39
31,35,60
5
8,33
32,36
28,40
4
6,67
perpustakaan.uns.ac.id
Berpendirian
Menyadari keterbatasan
digilib.uns.ac.id
Memiliki standar sendiri dengan tidak mengikuti konvensi atau standar orang lain Memiliki pengharapan (ide, gagasan) sendiri Menyadari kekurangan yang terdapat pada diri sendiri Menyadari kelebihan yang terdapat pada diri sendiri
Jumlah
41,49
45,53
4
8,33
46,54
42,50
4
6,67
43,51,59
47,55
5
8,33
48,56
44,52
4
6,67
30
30
60
100
3. Skala Dukungan Sosial Skala dukungan sosial yang digunakan dalam
penelitian ini
berdasarkan aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (2004) dan House (dalam Smet, 1994), yang meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok sosial. Skala ini digunakan untuk mengungkap tinggi rendahnya dukungan sosial. Skala dukungan sosial berisi 60 aitem pernyataan yang terdiri atas 30 pernyataan favorable dan 30 pernyataan unfavorable. Berikut adalah blue print pembuatan skala dukungan sosial.
Aspek Dukungan Emosional
Dukungan Penghargaan
Tabel 4 Blue Print Skala Dukungan Sosial Indikator perilaku Nomor aitem F U Mendapatkan ungkapan 1,21,41 6,26,46 kepedulian dari orang lain Mendapatkan ungkapan 11,31,51 16,36,56 perasaan nyaman dari orang lain Mendapatkan ungkapan 2,22,42 7,27,47 penilaian positif seperti pujian atas keberhasilan
commit to user 67
Jumlah Aitem 6
% 10
6
10
6
10
perpustakaan.uns.ac.id
Dukungan Instrumental
Dukungan Informasi
Dukungan kelompok sosial
digilib.uns.ac.id
Mendapatkan ungkapan dorongan untuk maju seperti semangat untuk tetap optimis dan tidak mudah menyerah Mendapatkan bantuan berupa uang saat individu membutuhkan
12,32,52
17,37,57
6
10
3,23,43
8,28,48
6
10
Mendapatkan bantuan berupa bantuan tindakan langsung saat individu mengalami kesulitan Mendapatkan nasihat dari lingkungan atas kesulitan yang dialami individu Mendapatkan umpan balik atas pembicaraan yang dilakukan oleh individu Memiliki perasaan keanggotaan kelompok dalam kelompok yang diikuti oleh individu Melakukan aktivitas sosial dan berbagi kesenangan dengan lingkungan sekitar individu
13,33,53
18,38,58
6
10
4,24,44
9,29,49
6
10
14,34,54
19,39,59
6
10
5,25,45
10,30,50
6
10
15,35,55
20,40,60
6
10
30
30
60
100
Jumlah
E. Validitas dan Reliabilitas Skala Pengukuran Validitas dan reliabilitas merupakan hal yang sangat penting dan berkaitan dalam menentukan kualitas suatu alat ukur. Guna mengungkap aspek-aspek atau variabel-variabel yang diteliti diperlukan alat ukur berupa skala yang reliabel dan valid agar kesimpulan penelitian nantinya tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya (Azwar, 1997). 1. Validitas Validitas isi ditegakkan pada langkah telaah dan revisi butir pertanyaan atau butir pernyataan, berdasarkan pendapat profesional
commit to user 68
(professional
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
judgement) para penelaaah (Suryabrata, 2006). Pengujian validitas skala stres, penerimaan diri, dan dukungan sosial dalam penelitian ini dilakukan dengan professional judgement, yaitu uji terhadap validitas isi melalui telaah langsung secara
profesional
oleh
dosen
pembimbing.
Selanjutnya
dilakukan
penghitungan dengan teknik korelasi product moment dari Pearson, kemudian pengecekan kelebihan bobot dilakukan dengan corrected item total correlation. Uji validitas dalam penelitian ini adalah product moment dari Pearson. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
r
n XY n X2
X
X 2
Y
n Y2
Y
2
(Arikunto, 2006) Keterangan: r
= Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y X
= Jumlah skor tiap aitem (X)
Y
= Jumlah skor tiap aitem (Y)
XY
= Jumlah hasil kali antara skor tiap aitem (X) dan skor tiap aitem (Y)
N
= Jumlah subjek yang diteliti Alasan menggunakan teknik korelasi product moment karena skala yang
digunakan dalam penelitian ini tiap aitemnya diberi skor pada level interval (Azwar, 2009). Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0.
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hasil analisis, skala stres yang terdiri dari 54 aitem dalam penelitian didapatkan 45 aitem valid (83,33%), dan 9 aitem gugur (16,67%). Aitem yang valid mempunyai nilai daya beda aitem yang bergerak dari 0,304 sampai 0,745. Skala penerimaan diri yang terdiri dari 60 aitem yang digunakan dalam penelitian didapatkan 50 aitem valid (83,33%), dan 10 aitem gugur (16,67%). Aitem yang valid mempunyai nilai daya beda aitem yang bergerak dari 0,317 sampai 0,755. Skala dukungan sosial yang terdiri dari 60 aitem yang digunakan dalam penelitian didapatkan 50 aitem valid (83,33%), dan 10 aitem gugur (16,67%). Aitem yang valid mempunyai nilai daya beda aitem yang bergerak dari 0,321 sampai 0,770.
2. Reliabilitas Reliabilitas alat ukur pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis reliabilitas
. Rumusan koefisien Alpha
adalah: =
1
2
2
Keterangan: = koefisien Alpha = banyaknya belahan 2 2
k = varians skor
commit to user 70
(Azwar, 1997)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pertimbangan memilih teknik tersebut karena data yang digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas Alpha diperoleh dari penyajian satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada kelompok responden (single-trial administration), karena penyajian skala hanya satu kali, maka problem yang mungkin timbul pada pendekatan reliabilitas tes ulang dapat dihindari (Azwar, 1997). Guna mempermudah perhitungan, maka akan digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0. Berdasarkan analisis, Reliabilitas skala stres adalah 0,941, reliabilitas skala penerimaan diri adalah 0,952, dan reliabilitas skala dukungan sosial adalah 0,955.
F. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik. Untuk menganalisis data mengenai dua variabel prediktor dan satu variabel kriterium digunakan analisis regresi dua prediktor. Alasan digunakannya analisis regresi dua prediktor karena pada penelitian ini terdapat dua variabel prediktor, yaitu penerimaan diri dan dukungan sosial dan satu variabel kriterium, yaitu stres pada ibu yang memiliki anak autis. Persamaan untuk regresi dua prediktor adalah:
R y (1, 2 )
a1
a2
x1 y
y
x2 y
2
(Hadi, 2004)
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan : Ry(1,2)
= Koefisien relasi antara kriterium Y dengan prediktor X1 dan X2.
a1
= Koefisien preditor X1
a1
= Koefisien preditor X1
x 1y
= Jumlah produk antara X1 dan Y
x 2y
= Jumlah produk antara X2 dan Y
y2= Jumlah kuadrat kriterium Y Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam analisis dua prediktor adalah uji asumsi yang meliputi uji asumsi dasar dan uji asumsi klasik (Priyatno, 2008), yaitu: 1. Uji asumsi dasar a. Uji normalitas, digunakan untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Normal atau tidaknya suatu data berdasarkan patokan distribusi normal dari data dengan mean dan standar deviasi yang sama. Jadi uji normalitas pada dasarnya melakukan perbandingan antara data yang kita miliki dengan data berdistribusi normal yang memiliki mean dan standar deviasi yang sama dengan data kita. Data yang mempunyai distribusi normal berarti mempunyai sebaran yang normal pula, yang berarti data dianggap dapat mewakili populasi. b. Uji linearitas, bertujuan untuk mengetahui apakah variabel prediktor dan variabel kriterium mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara signifikan.
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Uji asumsi klasik a. Uji autokorelasi, digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik autokorelasi, yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. b. Uji multikolinearitas, digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas, yaitu adanya hubungan linear antar variabel prediktor dalam model regresi. c. Uji heteroskedastisitas, digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan
asumsi
klasik
heteroskedastisitas,
yaitu
adanya
ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Apabila asumsi dasar telah terpenuhi dan terbebas dari asumsi klasik tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat menggunakan analisis regresi dua prediktor. Analisis regresi dua prediktor digunakan untuk mengetahui korelasi antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0.
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi kancah penelitian Penelitian hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis dilaksanakan di SLB Autis di Surakarta, antara lain SLB Autis Alamanda Surakarta, SLB Autis AGCA Center, SLB Autis Harmony. Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan survei untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan responden penelitian. a. SLB Autis Alamanda Surakarta 1) Alamat
: Jalan Siwalan Nomor 32 RT 02 RW 14, Kerten, Laweyan,
Surakarta 2) Visi dan Misi a) Visi
:
Terwujudnya pelayanan yang optimal sehingga anak menjadi mandiri, berprestasi, dan bermanfaat bagi masyarakat. b) Misi : Mengembangkan potensi yang ada pada anak dengan pembelajaran yang efektif dan efisien. Meningkatkan ketrampilan siswa.
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meningkatkan kemampuan bergaul dan bersosialisasi di masyarakat. 3) Sejarah singkat SLB Autis Alamanda pada awal berdirinya bernama taman Alamanda, merupakan salah satu divisi pendidikan di bawah Lembaga Sosial Masyarakat LAHSI (Lembaga Aksi Hidup Sehat Indonesia) yang pada saat itu fokus terhadap penanganan HIV AIDS dan anak-anak berkebutuhan
khusus,
terutama
autisme.
Akan
tetapi
LAHSI
memfokuskan diri pada penanganan HIV AIDS, kemudian Taman Alamanda diambil alih oleh dr. Sholichah Kusuma Wardani yang juga merupakan salah satu anggota di bagian pengembangan LAHSI. Taman Alamanda kemudian berganti nama menjadi Alamanda Brighter Kids sampai kemudian pada tahun 2004 secara resmi berada di bawah naungan dinas pendidikan dan berganti nama menjadi SLB Autis Alamanda. 4) Jumlah terapis dan guru : 9 orang. b. SLB Autis AGCA Center Surakarta 1) Alamat : Jalan Kapten Mulyadi Nomor 48, Sudiroprajan, Jebres, Surakarta 2) Sejarah singkat SLB Autis AGCA Center Surakarta berdiri pada tahun 1999, merupakan salah satu cabang dari yayasan Nathanisa yang berpusat di Surabaya. Berawal dari situasi dan kondisi pada waktu itu yang
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disinyalir semakin banyak orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, dan di kota Surakarta belum ada tempat terapi untuk anak berkebutuhan khusus, khususnya autis serta meningkatnya permintaan masyarakat yang sangat memerlukan penanganan yang tepat bagi anak-anaknya maka pada tanggal 2 Juni 1999 dibuka sekolah dan tempat terapi bagi anak ADHD, Autis, dan Hyperaktif yang diberi nama SLB Autis AGCA Center. 3) Visi dan Misi a) Visi Terwujudnya individu autisme yang mampu bersosialisasi, mandiri, dan mampu mengembangkan bakat dan minatnya. b) Misi Menyelenggarakan layanan pendidikan dan terapi yang optimal bagi individu. Membimbing individu untuk dapat mandiri. Mempersiapkan anak ke sekolah regular bagi yang mampu. 4) Jumlah guru dan terapis : 18 orang. c. SLB Autis Harmony Surakarta 1) Alamat : Jalan Sungai Sambas RT 02 RW 01 Sangkrah, Pasar Kliwon, Surakarta. 2) Sejarah singkat SLB Autis Harmony berada di bawah naungan lembaga sosial bernama Yayasan Anak Cemerlang. Pendiri yayasan mempunyai mitra
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerja sosial untuk mendidik, membimbing, dan memberikan pelajaran kepada anak-anak autis yang bernama TK/SD Plus Harmony yang didirikan pada tahun 2005. Pada tanggal 10 Maret 2006 sekolah TK/SD Plus Harmony diganti dengan sekolah anak berkebutuhan khusus, SLB Autis Harmony . 3) Visi dan Misi a) Visi Mewujudkan siswa yang mandiri, berkarakter, dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat. b) Misi Membantu anak dengan kebutuhan khusus pada umumnya dan autis pada khususnya untuk mampu bermasyarakat dan diterima masyarakat. Mengembangkan dan mengoptimalkan bakat dan kemampuan anak dengan kebutuhan khusus dan anak autis. Memberikan kesempatan anak autis untuk mendapatkan pendidikan secara formal. Menjadikan SLB Autis Harmony sebagai salah satu alternative informasi mengenai autisme. Menjadikan SLB Autis Harmony sebagai wadah berlatih dan melakukan pelatihan-pelatihan bagi pemerhati autisme. 4) Jumlah guru dan terapis : 17 orang.
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hasil survei, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian terhadap ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Penelitian mengenai hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis belum pernah dilaksanakan di SLB Autis di Surakarta. b. Berdasarkan interview dengan kepala sekolah SLB Autis di Surakarta didapatkan informasi bahwa beberapa ibu yang memiliki anak autis diduga mengalami gejala stres. b. Jumlah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta cukup banyak sehingga memenuhi kriteria untuk penelitian. c. Diperolehnya ijin untuk melaksanakan penelitian di SLB Autis di Surakarta .
2. Persiapan penelitian Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal-hal yang dipersiapkan adalah berkaitan dengan perijinan dan penyusunan alat ukur yang digunakan dalam penelitian. a. Persiapan administrasi Persiapan administrasi penelitian meliputi segala urusan perijinan yang diajukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. Permohonan ijin tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Peneliti meminta surat pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ditujukan kepada Kepala Sekolah SLB Autis di Surakarta, antara lain SLB Autis Alamanda, SLB Autis AGCA Center, dan SLB Autis Harmony dengan nomor 1036/UN27.06.7.1/TU/2012 tertanggal 26 Maret 2012 agar dapat melakukan penelitian di ketiga SLB Autis di Surakarta. 2) Mengajukan surat ijin penelitian kepada ketiga Kepala Sekolah SLB Autis di Surakarta. 3) Setelah mendapatkan ijin dari pihak kepala sekolah, peneliti baru dapat melaksanakan penelitian sesuai jadwal yang telah ditentukan. b. Persiapan alat ukur Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis, Skala Penerimaan Diri dan Skala Dukungan Sosial. 1) Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Skala Stres digunakan untuk mengungkap sejauh mana tingkat stres yang dimiliki oleh responden dalam penelitian ini. Skala stres yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek stres yang diungkapkan oleh Crider, dkk. (1983), Taylor (2009), dan Rice, (1999), fisiologis, dan tingkah laku.
commit to user 79
yaitu emosi, kognitif,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Skala ini memiliki 54 aitem yang terdiri atas 27 aitem favorable dan 27 aitem unfavorable. Distribusi aitem skala stres sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Sebelum Uji Coba Aspek Indikator Perilaku Nomor aitem Jumlah Aitem F U (Persen) Emosi Mudah marah dengan 1,27 10,40 tingkah laku anak yang terbatas dan streotipik (gerakan berulang-ulang secara terus menerus tanpa 14 tujuan yang jelas) (25,93%) Merasa tertekan dengan 15, 41, 53 6, 28, 30 kondisi anak yang autis Kehilangan semangat 11, 29 16, 54 dalam menjalani hidup dengan kondisi anak yang autis Kognitif Sulit berkonsentrasi pada 17, 43 2, 42 pekerjaan 12 Mengalami mimpi buruk 7, 31 18, 44 (22,22%) Sulit dalam mengambil 19, 45 12, 32 Fisiologis
Tingkah laku
Jumlah (Persen)
keputusan Muncul keringat dingin
3, 33
20, 46
Mengalami gangguan, pernafasan (sesak nafas) Menurunnya fungsi imun tubuh (mudah sakit) Perubahan pola makan
21, 47
8, 34
13, 35
22, 48
23, 49
4, 36
Perubahan pola tidur
9, 37
24, 50
Menurunnya interaksi terhadap orang di sekitarnya Melalaikan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga
25, 51
14, 38
5, 39
26, 52
27 (50%)
27 (50%)
commit to user 80
12 (22,22%)
16 (29,62%)
54 (100%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Skala Penerimaan Diri Skala Penerimaan Diri digunakan untuk mengungkap sejauh mana tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh responden dalam penelitian ini. Skala penerimaan diri yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri yang diungkapkan oleh Supratiknya (1995) dan Shereer (dalam Cronbach, 1954), yang meliputi pembukaan diri, percaya kemampuan diri, kesehatan psikologis,
orientasi keluar,
bertanggungjawab,
berpendirian, dan menyadari keterbatasan. Skala ini memiliki 60 aitem yang terdiri atas 30 aitem favorable dan 30 aitem unfavorable. Distribusi aitem skala penerimaan diri sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 6.
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 6 Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Sebelum Uji Coba Aspek Indikator Nomor aitem F U Pembukaan Membiarkan orang lain 1,19 7,13 diri mengetahui tentang diri individu Mengungkapkan pendapat 8,14 2,20 kepada orang lain Percaya Memiliki keyakinan untuk 3,21 9,15 kemampuan menyelesaikan masalah diri dengan baik Memiliki keyakinan dalam 10,16 4,22 menghadapi masa depan Kesehatan Memandang dirinya berharga 5,23 11,17,57 psikologis Merasa dapat berguna bagi 12,18 6,24 Orientasi keluar
Bertanggung jawab
Berpendirian
Menyadari keterbatasan
orang lain Merasa sama dengan orang lain Memiliki keinginan untuk menolong orang lain Berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan individu Berpikir mengenai resiko atas semua perbuatan yang dilakukan individu Memiliki standar sendiri dengan tidak mengikuti konvensi atau standar orang lain Memiliki pengharapan (ide, gagasan) sendiri Menyadari kekurangan yang terdapat pada diri sendiri Menyadari kelebihan yang terdapat pada diri sendiri
Jumlah (Persen)
commit to user 82
25,37
29,33
30,34,58
26,38
27,39
31,35,60
32,36
28,40
41,49
45,53
Jumlah Aitem (Persen) 8 (13,33%)
8 (13,33%)
9 (15%) 9 (15%)
9 (15%)
8 (13,33%) 46,54
42,50
43,51,59
47,55
48,56
44,52
9 (15%)
30 (50%)
30 (50%)
60 (100%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Skala Dukungan Sosial Skala Dukungan Sosial digunakan untuk mengungkap sejauh mana tingkat dukungan sosial yang dimiliki oleh responden dalam penelitian ini. Skala Dukungan Sosial yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial yang diungkapkan Sarafino (2004) dan House (dalam Smet,
1994),
yang
meliputi
dukungan
emosional,
dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok sosial. Skala ini memiliki 60 aitem yang terdiri atas 30 aitem favorable dan 30 aitem unfavorable. Distribusi aitem skala dukungan sosial sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 7.
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 7 Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba Aspek Dukungan Emosional
Dukungan Penghargaan
Dukungan Instrumental
Dukungan Informasi
Dukungan kelompok sosial
Indikator perilaku Mendapatkan ungkapan kepedulian dari orang lain Mendapatkan ungkapan perasaan nyaman dari orang lain Mendapatkan ungkapan penilaian positif seperti pujian atas keberhasilan Mendapatkan ungkapan dorongan untuk maju seperti semangat untuk tetap optimis dan tidak mudah menyerah Mendapatkan bantuan berupa uang saat individu membutuhkan Mendapatkan bantuan berupa bantuan tindakan langsung saat individu mengalami kesulitan Mendapatkan nasihat dari lingkungan atas kesulitan yang dialami individu Mendapatkan umpan balik atas pembicaraan yang dilakukan oleh individu Memiliki perasaan keanggotaan kelompok dalam kelompok yang diikuti oleh individu Melakukan aktivitas sosial dan berbagi kesenangan dengan lingkungan sekitar individu
Jumlah (Persen)
Nomor aitem F U 1,21,41 6,26,46 11,31,51
16,36,56
2,22,42
7,27,47
12,32,52
17,37,57
3,23,43
8,28,48
13,33,53
18,38,58
4,24,44
9,29,49
14,34,54
19,39,59
5,25,45
10,30,50
12 (20%)
12 (20%)
12 (20%)
12 (20%)
12 (20%) 15,35,55
20,40,60
30 (50%)
30 (50%)
commit to user 84
Jumlah Aitem (Persen)
60 (100%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Pelaksanaan uji coba penelitian Uji coba dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 2012 - 20 April 2012 terhadap ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Jumlah ibu yang memiliki anak autis yang melakukan uji coba adalah 30 orang. Berikut adalah perincian jumlah responden yang mengikuti uji coba skala, yaitu SLB Autis AGCA Center sebanyak 10 orang, SLB Autis Alamanda sebanyak 10 orang, dan SLB Autis Harmony sebanyak 10 orang.
4. Uji validitas dan reliabilitas skala Uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi content validity dan construct validity. Content validity yang diujikan adalah face validity. Dasar penyimpulan yang digunakan dalam face validity lebih banyak diletakkan pada professional judgement. Face validity dilakukan oleh pembimbing utama dan pembimbing pendamping sebagai pihak yang berkompeten dan dinyatakan bahwa penampilan tes telah meyakinkan dan dianggap memenuhi kesan mampu mengungkap atribut yang hendak diukur sehingga face validity alat ukur dalam penelitian ini telah terpenuhi. Menurut Azwar (2009), kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi aitem total, biasanya digunakan batasan minimal rix reliabilitas dihitung dengan teknik analisis reliabilitas
.
Perhitungan validitas dan reliabilitas skala pada pendekatan ini menggunakan program analisis validitas dan reliabilitas butir program statistik SPSS 17.0 for Windows.
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil uji validitas dan reliabilitas ketiga skala adalah sebagai berikut: a. Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Berdasarkan uji validitas Skala Stres dapat diketahui bahwa dari 54 aitem yang diujicobakan, terdapat 9 aitem yang dinyatakan gugur, yaitu aitem nomor 4, 6, 14, 15, 16, 20, 28, 34, dan 42; sedangkan jumlah aitem yang valid sebanyak 45 aitem. Aitem-aitem yang valid, yaitu aitem nomor 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, dan 54 . Aitem yang valid mempunyai koefisien validitas (rht) bergerak dari 0,304 sampai dengan 0,745 dengan p < 0,05. Sedangkan reliabilitas skala yang ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,941. Hasil uji validitas dan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C. Dengan demikian, Skala Stres ini dianggap cukup andal sebagai alat ukur penelitian. Distribusi aitem Skala Stres yang valid dan gugur dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini:
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 8 Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis yang Valid dan Gugur Aspek
Emosi
Kognitif
Fisiologis
Tingkah laku
Indikator Perilaku
Nomor aitem F Gugur -
Valid 10,40
Gugur -
Valid 4
Gugur 0
15
30
6, 28
3
3
-
54
16
3
1
-
2
42
3
1
-
18, 44
-
4
0
-
12, 32
-
4
0
-
46 8
20 34
3 3
1 1
-
22, 48
-
4
0
-
36
4
3
1
-
24, 50
-
4
0
25, 51
-
38
14
3
1
5, 39
-
26, 52
-
4
0
45
9
Valid 1,27
Mudah marah dengan tingkah laku anak yang terbatas dan streotipik (gerakan berulang-ulang secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas) Merasa tertekan dengan kondisi anak yang autis 41,53 Kehilangan semangat 11, dalam menjalani hidup 29 dengan kondisi anak yang autis Sulit berkonsentrasi 17, pada pekerjaan 43 Mengalami mimpi 7, 31 buruk Sulit dalam mengambil 19, keputusan 45 Muncul keringat dingin 3, 33 Mengalami gangguan, 21, pernafasan (sesak 47 nafas) Menurunnya fungsi 13, imun tubuh (mudah 35 sakit) Perubahan pola makan 23, 49 Perubahan pola tidur 9, 37 Menurunnya interaksi terhadap orang di sekitarnya Melalaikan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga
Jumlah
Jumlah
commit to user 87
U
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Skala Penerimaan Diri Berdasarkan uji validitas skala penerimaan diri dapat diketahui bahwa dari 60 aitem yang diujicobakan, terdapat 10 aitem yang dinyatakan gugur, yaitu aitem nomor 15, 27, 30, 40, 44, 46, 48, 51, 55, dan 59; sedangkan jumlah aitem yang valid sebanyak 50 aitem. Aitem-aitem yang valid, yaitu aitem nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 45, 47, 49, 50, 52, 53, 54, 56, 57, 58 dan 60 . Aitem yang valid mempunyai koefisien validitas (rht) bergerak dari 0,317 sampai 0,755 dengan p < 0,05. Sedangkan reliabilitas skala yang ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,952. Hasil uji validitas dan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C. Dengan demikian, skala Penerimaan Diri ini dianggap cukup andal sebagai alat ukur penelitian. Distribusi aitem skala Penerimaan Diri yang valid dan gugur dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini:
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 9 Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri yang Valid dan Gugur Aspek Indikator Perilaku Nomor aitem F U Valid Gugur Valid Gugur Pembukaan Membiarkan orang lain 1,19 7,13 diri mengetahui tentang diri individu Mengungkapkan 8,14 2,20 pendapat kepada orang lain Percaya Memiliki keyakinan 3,21 9 15 kemampuan untuk menyelesaikan diri masalah dengan baik Memiliki keyakinan 10,16 4,22 dalam menghadapi masa depan Kesehatan Memandang dirinya 5,23 11,17, psikologis berharga 57 Merasa dapat berguna 12,18 6,24 bagi orang lain Orientasi Merasa sama dengan 25,37 29,33 keluar orang lain Memiliki keinginan 34,58 30 26,38 untuk menolong orang lain Bertanggung Berani bertanggung 39 27 31,35, jawab jawab atas perbuatan 60 yang dilakukan individu Berpikir mengenai resiko 32,36 28 40 atas semua perbuatan yang dilakukan individu Berpendirian Memiliki standar sendiri 41,49 45,53 dengan tidak mengikuti konvensi atau standar orang lain Memiliki pengharapan 54 46 42,50 (ide, gagasan) sendiri Menyadari Menyadari kekurangan 43 51,59 47 55 keterbatasan yang terdapat pada diri sendiri Menyadari kelebihan 56 48 52 44 yang terdapat pada diri sendiri Jumlah
commit to user 89
Jumlah Valid 4
Gugur 0
4
0
3
1
4
0
5
0
4
0
4
0
4
1
4
1
3
1
4
0
3
1
2
3
2
2
50
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Skala Dukungan Sosial Berdasarkan uji validitas Skala Dukungan Sosial dapat diketahui bahwa dari 60 aitem yang diujicobakan, terdapat 10 aitem yang dinyatakan gugur, yaitu aitem nomor 3, 8, 16, 20, 28, 30, 35, 44, 45, dan 53; sedangkan jumlah aitem yang valid sebanyak 50 aitem. Aitem-aitem yang valid, yaitu aitem nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 59 dan 60. Aitem yang valid mempunyai koefisien validitas (rht) bergerak dari 0,321 sampai 0,755 dengan p < 0,05. Sedangkan reliabilitas skala yang ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,955 Hasil uji validitas dan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C. Dengan demikian, Skala Dukungan Sosial ini dianggap cukup andal sebagai alat ukur penelitian. Distribusi aitem skala dukungan sosial yang valid dan gugur dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini:
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 10 Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial yang Valid dan Gugur Aspek
Dukungan Emosional
Dukungan Penghargaan
Dukungan Instrumental
Dukungan Informasi
Dukungan kelompok sosial
Jumlah
Indikator Perilaku
Nomor aitem Valid 1,21, 41
Mendapatkan ungkapan kepedulian dari orang lain Mendapatkan ungkapan 11,31 perasaan nyaman dari ,51 orang lain Mendapatkan ungkapan 2,22, penilaian positif seperti 42 pujian atas keberhasilan Mendapatkan ungkapan 12,32 dorongan untuk maju ,52 seperti semangat untuk tetap optimis dan tidak mudah menyerah Mendapatkan bantuan 23,43 berupa uang saat individu membutuhkan Mendapatkan bantuan 13,33 berupa bantuan tindakan langsung saat individu mengalami kesulitan Mendapatkan nasihat 4,24 dari lingkungan atas kesulitan yang dialami individu Mendapatkan umpan 14,34 balik atas pembicaraan ,54 yang dilakukan oleh individu Memiliki perasaan 5,25 keanggotaan kelompok dalam kelompok yang diikuti oleh individu Melakukan aktivitas 15,55 sosial dan berbagi kesenangan dengan lingkungan sekitar individu
F Gugur -
U Valid Gugur 6,26,46 -
Valid 6
Gugur 0
-
36,56
16
5
1
-
7,27,47
-
6
0
-
17,37,57
-
6
0
3
48
8, 28
3
3
53
18,38,58
-
5
1
44
9,29,49
-
5
1
-
19,39,59
-
6
0
45
10,50
30
4
2
35
40,60
20
4
2
50
10
commit to user 91
Jumlah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Penyusunan alat ukur untuk penelitian Setelah dilakukan perhitungan validitas dan reliabilitas pada Skala Stres, Skala Penerimaan Diri, dan Skala Dukungan Sosial, maka langkah selanjutnya adalah menyusun kembali skala-skala tersebut sebagai alat ukur. Aitem yang gugur tidak diikutsertakan dan aitem yang valid disusun dengan urutan yang baru untuk digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini. Susunan aitem setelah uji coba dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 11 Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis untuk Penelitian Aspek Indikator Perilaku Nomor aitem Jumlah Aitem F U (Persen) Emosi Mudah marah dengan tingkah laku 1,27 10,40 anak yang terbatas dan streotipik (gerakan berulang-ulang secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas) 10 (22,22%) Merasa tertekan dengan kondisi anak 41, 53(34) 30 yang autis Kehilangan semangat dalam menjalani 11, 29 54 (42) hidup dengan kondisi anak yang autis Kognitif Sulit berkonsentrasi pada pekerjaan 17, 43 2 11 Mengalami mimpi buruk 7, 31 18, 44 (24,44%) Sulit dalam mengambil keputusan 19, 45 12, 32 Fisiologis
Tingkah laku
Muncul keringat dingin Mengalami gangguan, pernafasan (sesak nafas) Menurunnya fungsi imun tubuh (mudah sakit) Perubahan pola makan Perubahan pola tidur Menurunnya interaksi terhadap orang di sekitarnya Melalaikan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga
Jumlah (Persen)
commit to user 92
3, 33
46 (4)
21, 47 (6)
8
13, 35
22, 48(14)
23, 49 (15)
36
9, 37
24, 50 (16)
25, 51(20)
38
5, 39
26, 52 (28)
26 (57,78)
19 (42,22%)
10 (22,22%)
14 (31,11%)
45 (100%)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan:
dan dicetak tebal merupakan aitem
baru untuk penelitian.
Aspek Pembukaan diri
Percaya kemampuan diri
Kesehatan psikologis Orientasi keluar Bertanggung jawab
Berpendirian
Menyadari keterbatasan
Tabel 12 Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri untuk Penelitian Indikator Nomor aitem F U Membiarkan orang lain 1,19 7,13 mengetahui tentang diri individu Mengungkapkan pendapat 8,14 2,20 kepada orang lain Memiliki keyakinan untuk 3,21 9 menyelesaikan masalah dengan baik Memiliki keyakinan dalam 10,16 4,22 menghadapi masa depan Memandang dirinya berharga 5,23 11,17,57(44) Merasa dapat berguna bagi orang lain Merasa sama dengan orang lain Memiliki keinginan untuk menolong orang lain Berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan individu Berpikir mengenai resiko atas semua perbuatan yang dilakukan individu Memiliki standar sendiri dengan tidak mengikuti konvensi atau standar orang lain Memiliki pengharapan (ide, gagasan) sendiri Menyadari kekurangan yang terdapat pada diri sendiri Menyadari kelebihan yang terdapat pada diri sendiri
Jumlah (Persen) Keterangan:
12,18
25,37 29,33 34,58(46 26,38 ) 39 31,35,60(48)
32,36
28
41,49
45,53(27)
54(30)
42,50
43
47
commit to user
56(40)
8 (16%)
7 (14%)
9 (18%) 8 (16%)
7 (14%)
7 (14%)
5 (10%)
44 (57),52(15) 23 27 50 (46%) (54%) dan dicetak tebal merupakan aitem
baru untuk penelitian.
93
6,24
JumlahAitem (Persen)
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 13 Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial untuk Penelitian Indikator perilaku Nomor aitem F U
Aspek
Dukungan Emosional
Dukungan Penghargaan
Dukungan Instrumental
Dukungan Informasi
Dukungan kelompok sosial
digilib.uns.ac.id
Mendapatkan ungkapan kepedulian dari orang lain Mendapatkan ungkapan perasaan nyaman dari orang lain Mendapatkan ungkapan penilaian positif seperti pujian atas keberhasilan
1,21,41
Mendapatkan ungkapan dorongan untuk maju seperti semangat untuk tetap optimis dan tidak mudah menyerah Mendapatkan bantuan berupa uang saat individu membutuhkan Mendapatkan bantuan berupa bantuan tindakan langsung saat individu mengalami kesulitan Mendapatkan nasihat dari lingkungan atas kesulitan yang dialami individu Mendapatkan umpan balik atas pembicaraan yang dilakukan oleh individu Memiliki perasaan keanggotaan kelompok dalam kelompok yang diikuti oleh individu Melakukan aktivitas sosial dan berbagi kesenangan dengan lingkungan sekitar individu
Jumlah
Keterangan: baru untuk penelitian.
Jumlah Aitem (Persen)
6,26,46
11,31,51(3)
36,56(28)
2,22,42
7,27,47
12,32,52(8)
17,37,57(30 )
23,43
48
13,33
18,38,58(35 )
4,24
9,29,49
14,34, 54(16)
19,39,59(44 )
5,25
10,50
11 (22%)
12 (24%)
U8 (16%)
11 (22%)
8 (16%) 15,55(20)
40,60(45)
23 (46%)
27 (54%)
50
dan dicetak tebal merupakan aitem
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan responden penelitian Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Pengambilan sampel penelitian menggunakan purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta yang berusia 20-45 tahun dan bukan single parent. Dari karakteristik tersebut didapatkan sampel sebanyak 38 orang.
2. Pengumpulan data penelitian Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2012
25 Mei 2012. Pengumpulan data menggunakan Skala Stres yang
terdiri atas 45 aitem, Skala Penerimaan Diri yang terdiri atas 50 aitem, dan Skala Dukungan Sosial yang terdiri atas 50 aitem. Skala diberikan secara langsung oleh peneliti kepada responden, namun ada beberapa responden yang bekerja dan tidak menunggui anaknya sehingga diisi di rumah. Data penelitian yang diperoleh berjumlah 38 eksemplar.
3. Pelaksanaan skoring Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memberikan skor pada hasil pengisian Skala Stres, Skala Penerimaan Diri, dan Skala Dukungan Sosial untuk keperluan analisis data. Pemberian skor pada skala stres pada ibu yang memiliki anak autis, skala penerimaan diri, dan skala
commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dukungan sosial dilakukan dengan menjumlahkan skor aitem yang didapat dari hasil pengisian skala. Skor untuk tiap-tiap aitem bergerak dari 1-4 dengan memperhatikan sifat aitem favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Skor aitem favorable adalah 4 untuk pilihan jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk pilihan jawaban sesuai (S), 2 untuk jawaban tidak sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS). Sedangkan skor pada aitem unfavorable (tidak mendukung) adalah 1 untuk pilihan jawaban sangat sesuai (SS), 2 untuk pilihan jawaban sesuai (S), 3 untuk jawaban tidak sesuai (TS), dan 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS). Total skor setiap skala yang diperoleh dari responden penelitian ini dipakai dalam analisis data.
C. Analisis Data Penelitian Sebelum dilakukan analisis data untuk melakukan uji hipotesis, maka data penelitian harus dilakukan uji asumsi dasar dan uji asumsi klasik terlebih dahulu. Uji asumsi dasar meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Uji asumsi klasik meliputi uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi,. Perhitungan analisis dalam perhitungan ini menggunakan
program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0. 1. Uji asumsi Dasar a. Uji normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data penelitian berdistribusi normal atau tidak. Data yang mempunyai distribusi normal
commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berarti mempunyai sebaran yang normal pula, yang berarti data dianggap dapat mewakili populasi. Uji ini dilakukan dengan menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov Goodness of Fit Test. Apabila signifikansi untuk seluruh variabel lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data pada variabel berdistribusi normal (Priyatno, 2008). Hasil uji normalitas ketiga variabel dapat diihat pada tabel berikut: Tabel 14 Hasil Uji Normalitas Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Statistic
Df
Sig.
Statistic
Df
Sig.
Stres padaIbu yang Memiliki Anak Autis
.137
38
.071
.943
38
.053
Penerimaan Diri
.084
38
.200*
.975
38
.557
38
*
.957
38
.146
Dukungan Sosial
.139
.060
a. Lilliefors Significance Correction *.This is a lower bound of the true significance Tabel pada kolom Kolmogorov-Smirnov di atas menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 0,071; untuk penerimaan diri sebesar 0,200; dan untuk dukungan sosial sebesar 0,060. Signifikansi untuk seluruh variabel lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data pada variabel stres pada ibu yang memiliki anak autis, penerimaan diri, dan dukungan sosial berdistribusi normal. angka statistik menunjukkan semakin kecil nilainya, maka distribusi data semakin normal.
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Uji linearitas Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Uji ini biasanya digunakan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi atau regresi linear. Pengujian pada taraf signifikansi 0,05 mempunyai arti bahwa dua variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linear apabila signifikansi (linearity) kurang dari 0,05 (Priyatno, 2008). Tabel 15 Hasil Uji Linearitas Penerimaan Diri dengan Stres ANOVA Table Sum of Mean Squares df Square 4009.395 25 160.376
(Combined) Stres pada Between Linearity Ibu yang Groups Deviation from Memiliki Anak Autis * Linearity Penerimaan Within Groups Diri Total
1990.602
F 1.612
Sig. .195
1 1990.602 20.006
.001
2018.793
24
84.116
1194.00 5203.395
12 37
99.500
.845
.652
Tabel 16 Hasil Uji Linearitas Dukungan Sosial dengan Stres ANOVA Table
Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis* Dukungan Sosial
Between Groups
(Combined)
Sum of Mean Squares df Square 4544.728 26 174.797
Linearity
2031.380
Deviation from Linearity
2513.348
Total
.033
1 2031.380 33.925 25 100.534 1.679
.000
11
5203.395
37
commit to user 98
Sig.
2.919
658.667
Within Groups
F
59.879
.186
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara variabel penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis menghasilkan nilai signifikansi pada linearity sebesar 0,001. Signifikansi kurang dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara variabel penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Pada pengujian linearitas variabel dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis dihasilkan nilai signifikansi 0,000. Signifikansi kurang dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara variabel dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis.
2. Uji Asumsi Klasik a. Uji multikolinearitas Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antar variabel prediktor pada model regresi. Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel prediktor. Jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 5 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,10, maka model dapat dikatakan terbebas dari multikolinearitas (Priyatno, 2008). Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada tabel berikut:
commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 17 Hasil Uji Multikolinearitas Coefficientsa
Model
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B
(Constant) Penerimaan 1 Diri Dukungan Sosial
Std. Error
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
184.105 -.320
17.765 .151
10.363 -.360 -2.126
.000 .041
.538 1.860
-.313
.140
-.380 -2.243
.031
.538 1.860
a. Dependent Variable: Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Dari hasil di atas dapat diketahui nilai Variance Inflation Factor (VIF) kedua variabel prediktor, yaitu Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial adalah 1,860. Nilai tersebut lebih kecil dari 5 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,10, sehingga dapat diketahui bahwa tidak terjadi persoalan multikolinearitas antarvariabel independen. b. Uji heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui adanya penyimpangan
asumsi
klasik
heteroskedastisitas,
yaitu
adanya
ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi (Priyatno, 2008). Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel berikut:
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 18 Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX1 Coefficientsa Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Standardized Coefficients
Std. Error
(Constant)
31.377
20.675
lnx1
-5.656
4.139
T
Sig.
Beta -.222
1.518
.138
-1.367
.180
a. Dependent Variable: lnei2 Tabel 19 Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX2 Coefficientsa Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Standardized Coefficients
Std. Error
(Constant)
13.043
21.256
lnx2
-1.962
4.206
t
Sig.
Beta -.078
.614
.543
-.467
.644
a. Dependent Variable: lnei2 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai Thitung adalah -1,367 dan -0,467, sedangkan nilai Nilai t tabel dapat dicari dengan df = n = 38
2 atau df
2 = 36 pada pengujian dua ekor (signifikansi 0,025), didapat nilai
T tabel sebesar 2,028. Karena nilai T hitung (-1,367 dan -0,467) berada pada
Lnei2 dengan LnX1 dan Lnei2 dengan LnX2 heterokedastisitas.
commit to user 101
tidak ada gejala
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Uji Autokorelasi Pengujian autokorelasi adalah suatu model yang bertujuan untuk mengetahui adakah korelasi antara variabel pengganggu pada periode tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya. Cara untuk menguji autokorelasi ini menggunakan teknik uji Durbin Watson. Apabila nilai DW lebih besar dari dL dan tidak melebihi dari 4-dL, maka tidak terdapat autokorelasi. Selain itu, apabila nilai DW terletak antara dU dan 4-dU, maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi (Priyatno, 2008). Hasil uji autokorelasi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 20 Hasil Uji Autokorelasi Model Summaryb Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
DurbinWatson
1
.678a
.460
.429
8.959
1.681
a. Predictors: (Constant), Dukungan Sosial, Penerimaan Diri b. Dependent Variable: Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil uji Durbin-Watson sebesar 1,681, sedangkan dari tabel DW dengan signifikansi 0,05 dan jumlah data (n) = 38, k (jumlah variabel independen) = 2, diperoleh nilai dL sebesar 1,373 serta dU sebesar 1,594. Nilai DW lebih besar dari dL dan tidak melebihi dari 4-dL (2,627), selain itu nilai DW juga terletak antara dU dan 4-dU (2,406), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:
commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negatif
no autocorrelation
positif
autocorrelation
0
autocorrelation
dL
dU
1,373
1,594
4-dU 1,681
2,406
4-dL 2,627
(Nilai hitung Durbin Watson) Gambar 2 Uji Autokorelasi 3. Uji hipotesis a. Uji Simultan F Pengujian hipotesis dengan F test bertujuan untuk
mengetahui
hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan (bersama-sama). Hasil F-test menunjukkan variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen jika nilai p-value (pada kolom Sig.) lebih kecil dari level of significant yang ditentukan, yaitu taraf signifikansi 0,05 atau nilai F hitung (pada kolom F) lebih besar dari nilai F tabel. Signifikan berarti hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk populasi, atau dengan kata lain dapat digeneralisasikan (Priyatno, 2008). Hasil F-test dari output program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0 dapat dilihat pada tabel Anova. Nilai koefisien korelasi ganda (R) pada Model Summary digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel independen terhadap
commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
variabel dependen secara serentak. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara variabel independen (X 1 dan X2) secara serentak terhadap variabel dependen (Y). Nilai R berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila nilai R semakin mendekati 1 berarti hubungan yang terjadi semakin kuat, sebaliknya apabila nilai R semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi semakin lemah (Priyatno, 2008). Sugiyono (dalam Priyatno, 2008) memberikan pedoman untuk interpretasi koefisien korelasi ganda, adalah sebagai berikut: Tabel 21 Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Ganda (R) No. Interval Nilai R Interpretasi 1. 0,000 0,199 Sangat Rendah 2. 0,200 0,399 Rendah 3. 0,400 0,599 Sedang 4. 0,600 0,799 Kuat 5. 0,800 1,000 Sangat Kuat
Pada Model Summary juga ditunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
untuk
mengetahui persentase sumbangan
pengaruh
variabel
independen (X1 dan X 2) secara serentak terhadap variabel dependen (Y). Apabila nilai R2 sama dengan 0, maka tidak ada sedikitpun persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen, sebaliknya apabila nilai R 2 sama dengan 1, maka persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen adalah sempurna.
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 22 Hasil Uji F-Test ANOVAb Model Regression 1
Sum of Squares 2394.265
Df 2
Mean Square 1197.133
Residual
2809.129
35
80.261
Total
5203.395
37
F Sig. 14.916 .000a
a. Predictors: (Constant), Dukungan Sosial, Penerimaan Diri b. Dependent Variable: Stres Berdasarkan tabel hasil uji F di atas, hasil uji simultan p=0,000 yang berarti signifikan (p<0,05). F tabel dengan menggunakan tingkat signifikansi 5%, df1 (jumlah variabel-1) = 2, dan df2 (n-k-1) atau 38-2-1 = 35 diperoleh hasil Ftabel 3,267. Karena Fhitung 14,916 > Ftabel 3,267, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial memiliki hubungan terhadap variabel Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis. Tabel 23 Hasil Analisis Regresi Ganda Model Summaryb Model 1
R .678a
Adjusted R Square .460 .429
R Square
Std. Error of the Estimate 8.959
a. Predictors: (Constant), Dukungan Sosial, Penerimaan Diri b. Dependent Variable: Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Nilai koefisien korelasi ganda (R) yang dihasilkan sebesar 0,678 menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Hasil penghitungan tersebut juga menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2). Nilai ini digunakan untuk mengetahui persentase sumbangan pengaruh variabel independen (X 1 dan X2) secara serentak terhadap variabel
commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dependen (Y). Nilai R2 (R Square) sebesar 0,460 atau 46%, yang berarti bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independent, yaitu penerimaan diri dan dukungan sosial, terhadap variabel dependen, yaitu stres pada ibu yang memiliki anak autis, sebesar 46%. Sisanya sebesar 54% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. b. Uji Korelasi Parsial Uji korelasi parsial dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel di mana variabel lain yang dianggap berpengaruh dikendalikan atau dibuat tetap (Priyatno, 2008). Nilai korelasi (r) berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variabel semakin kuat. Sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antara dua variabel semakin lemah. Sugiyono (dalam Priyatno, 2008) memberikan pedoman untuk interpretasi koefisien korelasi, adalah sebagai berikut:
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 24 Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi (r) Interval Koefisien Interpretasi Korelasi (r) 0,000 0,199 Sangat Rendah 0,200 0,399 Rendah 0,400 0,599 Sedang 0,600 0,799 Kuat 0,800 1,000 Sangat Kuat
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 25 Hasil Analisis Korelasi Parsial antara Penerimaan Diri dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Correlations Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis
Control Variables Correlation Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Dukungan Sosial Penerimaan Diri
Significance (2-tailed) Df
Penerimaan Diri
1.000 .
-.338 .041
0
35
Correlation
-.338
1.000
Significance (2-tailed)
.041
.
35
0
Df
Hasil tabel di atas menunjukkan bahwa dari korelasi parsial antara variabel penerimaan diri dengan variabel stres pada ibu yang memiliki anak autis diperoleh hasil rx1y sebesar -0,338. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang rendah antara antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Arah hubungan yang terjadi adalah negatif, karena r negatif, artinya semakin tinggi penerimaan diri akan menyebabkan semakin rendah tingkat stres pada ibu yang memiliki anak autis.
commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 26 Hasil Analisis Korelasi Parsial antara Dukungan Sosial dengan Stres Correlations Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis
Control Variables Correlation Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penerimaan Diri Dukungan Sosial
Significance (2-tailed) Df
Dukungan Sosial
1.000 .
-.354 .031
0
35
Correlation
-.354
1.000
Significance (2-tailed)
.031
.
35
0
Df
Hasil tabel di atas menunjukkan bahwa dari korelasi parsial antara variabel dukungan sosial dengan variabel stres pada ibu yang memiliki anak autis diperoleh hasil rx2y sebesar -0,354. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang rendah antara antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Arah hubungan yang terjadi adalah negatif, karena r negatif, artinya semakin tinggi dukungan sosial akan menyebabkan semakin rendah tingkat stres pada ibu yang memiliki anak autis.
4. Analisis deskriptif Tujuan analisis deskriptif adalah untuk memberi gambaran umum mengenai kondisi responden yang diteliti mengenai stres pada ibu yang memiliki anak autis, penerimaan diri, dan dukungan sosial. Berikut adalah hasil analisis deskriptif berdasarkan data penelitian.
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 27 Analisis Deskriptif Descriptive Statistics N
Minimum Maximum
Mean
Std. Deviation
Stres pada ibu yang memiliki anak autis
38
53
117
87.45
11.859
Penerimaan Diri Dukungan Sosial
38 38
121 133
187 193
148.24 157.13
13.343 14.387
Valid N (listwise)
38
Berdasarkan data yang telah didapatkan, responden dalam penelitian dapat dikatagorisasikan menjadi 3, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategorisasi tersebut meliputi ketiga variabel dalam penelitian ini, yaitu stres pada ibu yang memiliki anak autis, penerimaan diri, dan dukungan sosial. Kategorisasi responden dilakukan setelah menghitung mean empiric (ME), mean hipotetik (MH), nilai tengah skor skala, skor tinggi, skor rendah, rentang skor, dan standar deviasi (SD) dari ketiga variabel penelitian. Tabel 28 Hasil Perhitungan ME, MH, Nilai Tengah Skor, Skor Tinggi, Skor Rendah, Rentang Skor, dan SD Variabel Penelitian Variabel Penelitian Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penerimaan Diri Dukungan Sosial
ME
MH
Nilai Tengah
Skor Tinggi
Skor Rendah
Rentang Skor Skala
87,45
112,5
2,5
180
45
135
22,5
148,24 157,13
125 125
2,5 2,5
200 200
50 50
150 150
25 25
SD
Berdasarkan pada perhitungan di atas, responden penelitian pada masing-masing variabel dikategorisasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi, dengan norma yang dikemukakan oleh Azwar (2009), sebagai berikut :
commit to user 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
X < (MH - 1SD) (MH - 1SD) X
MH + 1SD)
= rendah + 1SD) = sedang = tinggi
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, responden penelitian pada tiaptiap variabel dapat dikategorisasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Kategorisasi responden penelitian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 29 Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Jumlah Mean Kategorisasi Norma % Responden Empirik Rendah X < 90 21 55,26 87,45 Sedang 17 44,74 Tinggi 0 0 Jumlah 38 100 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 38 responden penelitian terdapat 21 reponden atau sekitar 55,26% responden memiliki tingkat stres yang rendah, 17 responden atau sekitar 44,74% responden memiliki tingkat stres yang sedang, dan tidak ada yang memiliki tingkat stres yang tinggi. Mean empirik sebesar 87,45. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui bahwa responden secara umum memiliki tingkat stres yang rendah. Tabel 30 Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Skala Penerimaan Diri Jumlah Mean Kategorisasi Norma % Responden Empirik Rendah X < 100 0 0 148,24 Sedang 20 52,63 Tinggi 18 47,37 Jumlah 38 100
commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 38 responden penelitian terdapat 20 reponden atau sekitar 52,63% responden memiliki penerimaan diri yang sedang, 18 responden atau sekitar 47,37% responden memiliki penerimaan diri yang tinggi, dan tidak ada yang memiliki penerimaan diri rendah. Mean empirik sebesar 148,24. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui bahwa responden secara umum memiliki penerimaan diri yang sedang. Tabel 31 Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Skala Dukungan Sosial Jumlah Mean Kategorisasi Norma % Responden Empirik Rendah X < 100 0 0 157,13 Sedang 15 39,47 Tinggi 23 60,53 Jumlah 38 100 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 38 responden penelitian terdapat 15 reponden atau sekitar 39,47% responden memiliki dukungan sosial yang sedang, 23 responden atau sekitar 60,53% responden memiliki dukungan sosial yang tinggi, dan tidak ada yang memiliki dukungan sosial yang rendah. Mean empirik sebesar 157,13. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui bahwa responden secara umum memiliki dukungan sosial yang tinggi.
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Analisis Crosstab Berikut tabel crosstab stres pada ibu yang memiliki anak autis berdasarkan lama ibu yang memiliki anak autis mengetahui diagnosis autis untuk pertama kali sampai dengan dilaksanakan penelitian. Tabel 32 Crosstab antara Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis dengan Lama Individu Mengetahui Diagnosis Autis
Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis * Lama Mengetahui Diagnosis Autis Crosstabulation Count Lama Mengetahui Diagnosis Autis Kurang dari sama dengan 5 tahun Lebih dari 5 tahun Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Total
Total
Rendah
5
16
21
Sedang
5
12
17
10
28
38
Berdasarkan tabel crosstab stres pada ibu yang memiliki anak autis dengan lama individu mengetahui diagnosis autis dari pertama kali sampai dengan dilaksanakan penelitian, dapat diketahui bahwa jumlah responden yang mengetahui diagnosis autis lebih dari lima tahun berjumlah 28, sedangkan jumlah responden yang mengetahui diagnosis kurang dari sama dengan lima tahun sebanyak 10 orang.
6. Sumbangan relatif dan sumbangan efektif Sumbangan relatif dan efektif memberikan informasi tentang besarnya sumbangan pengaruh tiap variabel prediktor terhadap variabel kriterium dalam model regresi. Sumbangan relatif dan sumbangan efektif memiliki perbedaan,
commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yakni sumbangan relatif menunjukkan besarnya sumbangan variabel prediktor terhadap keseluruhan efektifitas garis regresi yang digunakan sebagai dasar prediksi, sedangkan sumbangan efektif menunjukkan ukuran besarnya sumbangan dari variabel prediktor terhadap jumlah kuadrat regresi. Berdasarkan perhitungan manual, didapatkan hasil sumbangan relatif penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 48,42% dan sumbangan relatif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 51,58%. Sumbangan efektif penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar sebesar 22,27%, sedangkan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 23,73%. Total sumbangan efektif penerimaan diri dan dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 46%, yang ditunjukkan pada nilai koefisien determinasi (R Square) yaitu 0,460. Sisanya sebesar 54% dijelaskan atau dipengaruhi oleh faktor lainnya.
D. Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta diterima. Kekuatan hubungan antara ketiga variabel penelitian ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar R = 0,678 dengan Fhitung = 14,916 dan Ftabel = 3,267 (Fhitung > Ftabel), serta p = 0,000 (p<0,05). Berdasarkan pada pedoman untuk memberikan
commit to user 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
interpretasi koefisien korelasi oleh Sugiyono (dalam Priyatno, 2008), kekuatan hubungan antara ketiga variabel dalam penelitian ini termasuk kuat. Stres pada ibu yang memiliki anak autis secara umum tergolong rendah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil kategorisasi yang memperlihatkan 55,26% responden memiliki skor stres rendah, 44,74% lainnya memiliki skor stres sedang, dan mean empirik sebesar 87,45. Berdasarkan analisis crosstab dapat diketahui bahwa jumlah responden yang mengetahui diagnosis autis lebih dari lima tahun berjumlah 28, sedangkan jumlah responden yang mengetahui diagnosis kurang dari sama dengan lima tahun sebanyak 10 orang. Ibu yang telah lama mengetahui diagnosis autis pada anaknya memiliki pengetahuan mengenai cara menangani anak autis. Menurut Safaria (2005) orang tua yang dapat mengetahui bagaimana cara menghadapi perilaku anak autis dapat membantu orang tua untuk menghindari stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial secara bersama-sama mempunyai hubungan yang signifikan dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Hal ini berarti bahwa ketika ibu yang memiliki anak autis memiliki penerimaan diri yang tinggi dan menerima dukungan sosial yang tinggi maka akan mengalami stres yang rendah. Ibu dengan penerimaan diri yang tinggi akan dapat lebih mudah menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya, sehingga dapat menilai diri dan keadaannya secara objektif. Ibu yang memiliki anak autis yang dapat menilai keadaannya secara objektif akan dapat memiliki harapan yang realistis yang dibuatnya sendiri dan bukan hasil pengaruh orang lain. Harapan
commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang realistis mampu membuat ibu menerima kekurangan yang ada pada dirinya dan mengoptimalkan kelebihannya sehingga terhindar dari stres. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1974) yang mengungkapkan bahwa penerimaan diri yang baik hanya akan terjadi bila individu yang bersangkutan mau dan mampu memahami keadaan diri sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diinginkan. Selain itu individu juga harus memiliki harapan yang realistis, sesuai dengan kemampuannya. Individu yang memiliki konsep menyenangkan dan rasional mengenai dirinya dapat dikatakan orang tersebut dapat menyukai dan menerima dirinya. Sedangkan individu yang menerima dukungan sosial yang tinggi akan merasa nyaman, memiliki, tentram, dan dicintai (Sarafino, 2004). Perasaan positif inilah yang pada akhirnya mampu menghindarkan ibu yang memiliki anak autis dari stres. Adanya suami, keluarga dan rekan yang senantiasa memberikan dukungan sosial kepada ibu yang memiliki anak autis dapat membuat ibu merasa memiliki dan dapat mengandalkan kemampuan mereka dalam menghadapi perilaku anak autis yang sering sulit dipahami. Keyakinan ibu yang memiliki anak autis untuk dapat mengandalkan kemampuan suami, keluarga dan rekan pada akhirnya dapat membuat ibu merasa bersemangat dalam menjalani kehidupan dengan anak autis sehingga terhindar dari stres. Hal ini sejalan dengan dengan penelitian Rustiana (2006) yang menyatakan bahwa dukungan sosial melibatkan hubungan sosial yang berarti, sehingga dapat menimbulkan pengaruh positif yang dapat mengurangi gangguan psikologis akibat tekanan. Autis merupakan gangguan perkembangan yang
commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meliputi gangguan interaksi sosial, komunikasi, perilaku dan minat yang terbatas. Gangguan tersebut ditandai dengan perilaku anak yang berlebihan maupun berkekurangan yang membuat ibu yang memiliki anak autis sulit untuk memahami keinginan dan kebutuhan anak. Adanya dukungan sosial dari lingkungan dapat membantu ibu yang memiliki anak autis untuk menghadapi perilaku anak autis sehingga terhindar dari stres. Pada akhirnya, dengan penerimaan diri ibu yang memiliki anak autis akan dapat menerima segala karakteristik dirinya sehingga dapat mengerti apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan dukungan sosial dari lingkungan akan dapat membantu dalam mencapai apa yang seharusnya dilakukan. Tinggi rendahnya penerimaan diri dan besar kecilnya dukungan sosial yang dimiliki oleh ibu bersama-sama akan memberikan kontribusi pada stres pada ibu yang memiliki anak autis. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa stres pada ibu yang memiliki anak autis tergolong rendah dengan mean empirik sebesar 87,45. Penerimaan diri pada ibu yang memiliki anak autis secara umum tergolong sedang. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil ketegorisasi yang memperlihatkan 52,63% responden memiliki skor penerimaan diri sedang, 47,37% lainnya memiliki skor penerimaan diri sedang, dan mean empirik sebesar 148,24. Hal ini kemungkinan disebabkan karena responden mengalami kesulitan dalam menerima kelebihan dan kekurangannya sebagai ibu yang memiliki anak autis. Menurut Safaria (2005), autis merupakan gangguan spectrum, yang berarti pengaruh terhadap setiap anak berbeda. Beberapa anak mungkin mampu berkomunikasi sementara yang lain kurang mampu atau bahkan tidak sama sekali.
commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Anak autis memiliki kecenderungan untuk berperilaku berlebihan maupun berkekurangan. Kondisi anak yang terkadang menyulitkan individu membuat ibu yang memiliki anak autis menjadi sulit menerima dirinya. Dukungan sosial secara umum tergolong tinggi. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil kategorisasi yang memperlihatkan 39,47% responden memiliki skor dukungan sosial sedang, 60,53% lainnya memiliki skor dukungan sosial tinggi, dan mean empirik sebesar 157,13. Menurut Rodin dan Salovey (dalam Smet, 1994) perkawinan dan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. Responden dalam penelitian ini memiliki karakteristik bukan single parent sehingga dukungan sosial berada kategori tinggi kemungkinan disebabkan karena ibu yang memiliki anak autis merasakan dukungan yang terbesar yang berasal dari suami. Selain itu menurut pengamatan peneliti selama melaksanakan penelitian, guru dan terapis di ketiga SLB Autis Surakarta juga memberikan dukungan yang besar terhadap individu. Setelah sesi terapis banyak ibu yang memiliki anak autis yang berkonsultasi dengan guru dan terapis mengenai perkembangan anaknya dan hubungan antara pihak orang tua dan guru terlihat harmonis. Menurut penelitian Duchovic, dkk., (2009), dukungan sosial dari pihak sekolah dapat meringankan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Konseling dari pihak sekolah dapat membantu individu untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan perilaku anak dan cara menangani anak autis. Hasil pengujian secara parsial dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis kedua
commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian diterima. Nilai korelasi parsial antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis (rx1y) adalah sebesar -0,338 dengan p-value<0,05 menunjukkan hubungan yang rendah antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Arah hubungan yang terjadi adalah negatif karena r negatif, artinya semakin tinggi penerimaan diri maka akan semakin rendah stres pada ibu yang memiliki anak autis. Sebaliknya semakin rendah penerimaan diri maka akan semakin tinggi stres pada ibu yang memiliki anak autis. Hurlock (1974) menyatakan bahwa semakin baik seseorang dalam menerima dirinya maka akan semakin baik penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya. Menurut Maslow (1994), penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap diri sendiri, dapat menerima keadaan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif pada ibu yang memiliki anak autis akan membuat ibu merasa percaya diri sehingga tidak merasa malu dan bersalah memiliki anak yang berbeda dengan anak yang normal sehingga terhindar dari stres. Dari hasil pengujian secara parsial juga dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ketiga penelitian diterima. Nilai korelasi parsial antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis (rx2y) adalah sebesar -0,354 dengan p-value<0,05 menunjukkan hubungan yang rendah antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Arah hubungan yang terjadi adalah negatif karena r negatif, artinya semakin tinggi dukungan sosial maka akan semakin rendah stres pada ibu yang memiliki anak autis. Sebaliknya semakin
commit to user 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rendah dukungan sosial maka akan semakin tinggi stres pada ibu yang memiliki anak autis. Kondisi yang dialami anak autis akan menyebabkan ibu membutuhkan usaha ekstra dalam merawat dan mengasuh anak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Smet (1994) dukungan emosional akan membuat seseorang lebih merasa percaya diri, dukungan penghargaan akan menambah penghargaan terhadap dirinya sendiri, dukungan instrumental akan membantu memenuhi kesulitan yang dialami, dukungan informatif akan memberikan informasi yang dibutuhkan, dan dukungan kelompok sosial akan dapat membantu seseorang untuk berbagi kesenangan ataupun permasalahan. Dukungan sosial dalam lima bentuk tersebut akan dapat membantu ibu yang memiliki anak autis saat mengalami kesulitan sehingga dapat terhindar dari stres. Nilai R Square sebesar 0,460 menunjukkan bahwa sumbangan pengaruh dari penerimaan diri dan dukungan sosial secara bersama-sama terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta yaitu sebesar 46%. Sedangkan sisanya sebesar 54% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam variabel penelitian ini. Variabel lain yang dimungkinkan ikut mempengaruhi adalah faktor psikologis seperti cara coping stres (Nevid, dkk., 2005; Wortman, dkk., 2004; Dunn,dkk., 2001), harapan akan self efficacy (Nevid, dkk., 2005), ketahanan psikologis (Nevid, dkk., 2003), optimisme (Wortman, dkk., 2004; Nevid, dkk., 2005; Walker, dkk., 2009), Locus of control (Dunn, dkk., 2001); faktor kepribadian (Hawari, 2002), dan faktor kognitif (Rutter, dkk., 1993).
commit to user 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nilai R Square yang didapat juga merupakan hasil penjumlahan sumbangan efektif dari kedua variabel bebas. Sumbangan efektif dari penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 22,27%, sedangkan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 23,73%. Terlihat bahwa penerimaan diri memberikan pengaruh yang lebih kecil daripada pengaruh yang diberikan penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis. Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk dapat mengenali dan mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, dibutuhkan kemampuan dari individu dalam mengeksplorasi dirinya. Kemampuan individu untuk dapat memahami dirinya tergantung dari kesadaran dan kemauan dari individu sendiri Sedangkan terkait dengan dukungan sosial, saat seseorang didukung oleh lingkungan maka segalanya akan terasa lebih mudah. Dukungan sosial menunjukkan pada hubungan interpersonal yang melindungi individu terhadap konsekuensi negatif dari stres (Rook, dalam Smet, 1994). Dukungan emosional dapat membuat individu merasa mempunyai orang lain yang dapat memberi rasa aman dan nyaman pada saat menghadapi masa-masa sulit. Dukungan penghargaan dapat membantu individu merasa lebih baik tentang dirinya, tentang keterampilan dan
kemampuannya. Dukungan informatif dapat membantu individu untuk
mendapatkan petunjuk berupa pemberian arah, nasihat, saran, ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya mereka lakukan. Dukungan kelompok sosial dapat membantu individu untuk berbagi kesenangan dan melakukan aktivitas bersama dalam kelompok.
commit to user 120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Kelebihan dalam penelitian ini di antaranya adalah hipotesis dalam penelitian ini terbukti serta reliabilitas skala yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori baik sehingga dianggap cukup handal untuk digunakan sebagai alat ukur suatu penelitian. Selain itu penelitian korelasional dengan menggunakan tiga skala psikologi ini merupakan penelitian korelasional perdana yang dilakukan terhadap ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu hasil penelitian hanya dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian saja, sedangkan penerapan penelitian untuk populasi yang lebih luas dengan karakteristik yang berbeda memerlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan atau menambah variabel-variabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini. Selain itu karakteristik sampel dalam penelitian ini tidak memperhatikan latar belakang pendidikan responden sehingga responden mengalami kesulitan dalam memahami kalimat dalam skala yang digunakan dalam penelitian.
commit to user 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan signifikan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hal ini ditunjukkan berdasarkan nilai koefisien korelasi ganda (R) sebesar 0,678 (p=0,000; p< 0,05) dan Fhitung = 14,916 lebih besar dari F tabel = 3,267. 2. Secara parsial terdapat hubungan negatif signifikan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,338 (p=0,041; p<0,05). Artinya semakin tinggi penerimaan diri akan semakin rendah stres pada ibu yang memiliki anak autis. Sebaliknya semakin rendah penerimaan diri akan semakin tinggi stres pada ibu yang memiliki anak autis. 3. Secara parsial terdapat hubungan negatif signifikan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,354 (p=0,031; p<0,05). Artinya semakin tinggi dukungan sosial akan semakin rendah stres pada ibu yang memiliki anak autis. Begitu juga dengan semakin rendah dukungan sosial akan semakin tinggi stres pada ibu yang memiliki anak autis.
commit to user 122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Stres pada ibu yang memiliki anak autis masuk kategori rendah dengan mean empirik 87,45; penerimaan diri masuk kategori sedang dengan mean empirik 148,24; dan dukungan sosial masuk kategori tinggi dengan mean empirik 157,13. 5. Besarnya sumbangan relatif penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 48,42% dan sumbangan relatif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 51,58%. Sumbangan efektif kedua variabel bebas secara bersama-sama sebesar 46%, dengan kotribusi tiap-tiap variabel adalah 22,27% untuk variabel penerimaan diri dan 23,73% untuk variabel dukungan sosial, sehingga masih terdapat 54% faktor lain untuk menentukan stres pada ibu yang memiliki anak autis.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Untuk ibu yang memiliki anak autis Ibu yang memiliki anak autis diharapkan dapat membuat suatu kelompok orang tua (parent group) sehingga ibu dapat berbagi informasi mengenai autis dan mendapatkan dukungan dari sesama orang tua yang memiliki anak autis. Dukungan dari sesama orang tua akan saling menguntungkan karena merasa ada kesamaan keadaan, ada perbandingan situasi yang dialami tiap anggota untuk belajar keterampilan yang relevan dan mengumpulkan informasi yang berguna, saling mendukung satu sama lain,
commit to user 123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan adanya saling pengertian dalam setiap dukungan karena sama-sama memahami apa yang dialami. 2. Untuk pihak keluarga responden dan lingkungan sosial Diharapkan dapat memberikan dukungan sosial untuk mengurangi stres pada ibu yang memiliki anak autis dengan cara bersikap lebih empati dan peduli dengan cara tidak membeda-bedakan ibu yang memiliki anak autis dalam bersosialisasi, memberikan dorongan untuk maju dengan cara memberikan semangat untuk tetap optimis dengan masa depan anak, memberikan masukan kepada individu, menolong individu saat membutuhkan bantuan dalam merawat anak autis dan melakukan kegiatan bersama. Dukungan dari lingkungan akan membantu individu untuk menghadapi perilaku anak autis sehingga dapat menghindari stres. 3. Untuk pihak sekolah Diharapkan pihak sekolah dapat memperbaiki Sumber Daya Manusia (SDM) untuk tidak hanya melaksanakan program kerja pendidikan atau keterapisan tetapi juga dengan membangun komunikasi dengan orang tua murid. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambah praktisi psikolog untuk menangani masalah orang tua murid. Psikolog dapat memberikan pengarahan bagi orangtua untuk dapat menetapkan penanganan terbaik apa yang sebaiknya diberikan kepada anak-anak mereka serta dapat membantu individu untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami dalam menangani anak autis.
commit to user 124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Untuk masyarakat Diharapkan meningkatkan sosialisasi mengenai gejala autis baik melalui media massa maupun media elektronik sehingga masyarakat dapat mendeteksi gejala autis yang terjadi pada anak lebih awal sehingga anak dapat ditangani dengan lebih baik. Selain itu juga perlu adanya sosialisasi mengenai deteksi dini perkembangan anak sehingga masyarakat dapat mengetahui gejala yang terjadi pada anak apabila anak menunjukkan gejala perkembangan yang tidak normal. 5. Untuk peneliti lain Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menemukan hasil yang lebih baik dengan perubahan dan penyempurnaan dalam teknik, pemakaian alat ukur, prosedur, menambahkan ruang lingkup penelitian menjadi lebih luas agar bisa digeneralisasikan dalam konteks yang lebih luas, menambahkan variabel-variabel lain yang belum diteliti, dan mengontrol variabel yang dimungkinkan berpengaruh.
commit to user 125