HUBUNGAN ANTARA PEMAHAMAN IDEOLOGI PANCASILA DAN APATISME POLITIK MAHASISWA PSIKOLOGI BINA NUSANTARA Vaneza Artahsasta Binus University Kampus Kijang, Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Kemanggisan/Palmerah, Jakarta Barat 11480, Telp. (62-21) 532 7630,
[email protected] (Vaneza Artahsasta, Yosef Dedy Pradipto)
ABSTRACT Political apathy in the form of white group ( Abstentions ) in Indonesia continues to increase from year to year. This is evidenced through interviews conducted by the researchers among the 15 psychology students at Bina Nusantara . 12 of the 15 students admitted to not donate vote in the Presidential Election 2014. Meanwhile , 9 out of 15 students are not able to mention the five principles of Pancasila correctly. Researchers using Spearman correlation test to measure the correlation between understanding of ideology Pancasila and political apathy of 200 psychology students at Bina Nusantara University. The result shows that the correlation is -.158 , which means understanding of Pancasila ideology and political apathy have a very weak and reverse correlation Keywords: Pancasila Ideology, Political apathy, abstentions, Indonesian politics ABSTRAK Apatisme politik dalam bentuk golongan putih (golput) di Indonesia telah meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap 15 mahasiswa psikologi Bina Nusantara. 12 dari 15 mahasiswa mengaku tidak menyumbangkan suaranya pada Pilpres 2014. Semetara itu, 9 dari mahasiswa tidak mampu menyebutkan kelima sila Pancasila dengan benar. Peneliti menggunakan uji korelasi Spearman untuk mengetahui besaran hubungan antara variabel pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik 200 mahasiswa psikologi Bina Nusantara. Hasil koefisien korelasi yang diperoleh adalah -.158 yang berarti pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik memiliki hubungan yang sangat lemah dan tidak searah. Kata Kunci : Ideologi Pancasila, Apatisme politik, Golput, Politik Indonesia
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara demokrasi, oleh sebab itu peran serta rakyat dalam bentuk aspirasi merupakan hal dasar dalam proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik (Soekarno, 1959).
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemilu tidak hanya dilihat dari keikutsertaannya dalam memberikan suara. Masyarakat juga harus terlibat dalam proses pengawasan pemilihan calon kandidat sampai dengan mengawasi penghitungan suara pemilihan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak, dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan (Pasalbessy, 2009). Hal ini dilakukan agar tercipta sistem pemilihan yang transparan dan bebas dari manipulasi beberapa pihak yang tidak diinginkan. Sayangnya, saat ini semakin banyak masyarakat yang kurang peduli terhadap keterlibatan mereka dalam pemilu. Masyarakat cenderung tidak memberikan suaranya atau yang biasa kita dengar dengan golput (golongan putih). Golput merupakan salah satu tanda ketidakikutsertaan mereka dalam kegiatan politik di dalam negaranya sendiri (Subanda, 2009). Golongan putih atau golput bisa diartikan sebagai protes atau penolakan terhadap mekanisme atau sistem yang sedang berjalan ditandai dengan penurunan keterlibatan masyarakat dalam kegiatankegiatan politik (Subanda, 2009). Fenomena golput sangat nyata dalam Pemilihan Presiden (pilpres) 2014 dimana angka golongan putih (golput) pada pilpres 2014 meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada gelaran Pilpres 2014 angka golput mencapai nilai terendah, yaitu dengan persentasi 29,8 % dibandingkan Pilpres 2004 yang hanya mencapai 24% (Angga, 2014). Berdasarkan peningkatan angka golput tersebut, pemerintah wajib mengkaji fenomena ini lebih mendalam. Fenomena seperti ini sering disebut apatisme politik, yang merupakan ketidakpedulian individu dimana mereka tidak memiliki minat atau tidak adanya perhatian terhadap aspek-aspek tertentu seperti kehidupan sosial maupun aspek fisik dan emosional (Sarfaraz & Khalid, 2012). Apatisme politik yang terjadi juga tidak terlepas dari kalangan muda. Berindra (2013, dalam Juneman & Viatrie, 2013), memaparkan sejumlah contoh tindakan apatisme mahasiswa di dalam dunia politik, antara lain “mahasiswa tidak berminat belajar ilmu politik, mahasiswa menganggap “bikin pusing saja”menjadi anggota senat atau badan eksekutif mahasiswa, mahasiswa yang sudah tergabung dalam senat atau badan eksekutif mahasiswa pun menarik diri dari organisasi tersebut karena “bosan” terhadap perdebatan, serta mahasiswa kurang berminat mengubah kondisi masyarakat melalui organisasi kemahasiswaan” (hal. 110). Pendapat ini didukung oleh penelitian Garcia-Albacete (2006) yang mengatakan bahwa generasi muda memiliki tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Fenomena mengenai mahasiswa yang melakukan tindakan golput juga kerap terdengar di masyarakat. Sebagai contoh, Mendroga (2012) menjelaskan bahwa Serikat Mahasiswa Medan Indonesia mendukung kegiatan golput dengan cara bersepakat untuk tidak memberikan suara mereka dalam pemilukada 2013. Serikat Mahasiswa Medan Indonesia percaya bahwa pemilukada tersebut hanya mementingkan kepentingan kaum borjuis setempat. Hal lain yang menyebabkan kalangan muda bersikap apatis terhadap politik adalah mereka sendiri yang menganggap bahwa politik itu membosankan, serius, dan monoton. Selain itu, pengetahuan kalangan muda mengenai politik masih terbilang rendah dan juga kompleksitas yang tinggi dalam dunia politik. Hal ini kerap terjadi karena kurangnya peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi politik pada kalangan muda. Figur politik juga mempengaruhi apatisme kalangan muda akan politik. Mereka menganggap bahwa para politikus hanya mengumbar janji semata dan bahkan gaya hidup mereka turut mempengaruhi sikap apatisme generasi muda (White, Bruce, Ritchie, 2000). Fenomena apatisme politik seperti diatas juga terjadi pada kalangan muda di Indonesia. Surat harian Kompas menjelaskan angka golput di kalangan pemilih muda masih terbilang cukup tinggi. Hasil survei dari 1200 responden menunjukkan bahwa 30 persen diantaranya menyatakan belum menentukan sikap atau golput jika pemilu dilaksanakan hari ini (Prabowo, 2013). Sementara itu, peneliti memilih mahasiswa psikologi Binus untuk menggambarkan fenomena tersebut. Subjek ini diambil karena peneliti memiliki kedekatan relasi, efisiensi waktu, serta keinginan untuk memberikan sumbangsih bagi komunitas terdekat peneliti. Oleh karena itu, peneliti melakukan wawancara pada mahasiswa psikologi Binus dan menemukan bahwa kepedulian mereka terhadap pemilu masih terbilang rendah. Dalam wawancara terhadap 15 mahawiswa psikologi Binus, penulis menemukan bahwa 12 dari 15 mahasiswa psikologi Binus mengaku tidak menyumbangkan suaranya pada gelaran Pilpres tahun 2014 lalu. Padahal selama ini aspirasi rakyat lebih sering disampaikan oleh anak muda, khususnya oleh mahasiswa. Berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2009 kalangan muda masuk pada rentang usia 16-30 tahun, oleh karena itu mahasiswa masih masuk kedalam kategori kalangan muda (Kompas, 2009). Mahasiswa sendiri merupakan tingkat kesiswaan yang paling tinggi dalam tingkat pendidikan dan proses kuliah merupakan persiapan diri siswa dalam menghadapi dunia luar. Maka dari itu, mahasiswa diharapkan untuk bersikap kritis dalam menanggapi isu-isu yang terjadi di sekitarnya termasuk isu politik yang terjadi di negaranya sendiri.
Sikap apatis akan kondisi politik Indonesia yang semakin meningkat dari tahun ketahun diharapkan mampu diatasi dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia diharapkan mampu mengembalikan antusias rakyat Indonesia untuk kembali peduli dalam pembangunan bangsa. Sudjarwadi (2009) mengatakan bahwa Pancasila memiliki posisi penting dalam dunia politik, yaitu untuk menghadapi sikap sinis dan skeptis dengan cara membangun kredibilitas dari institusi politik, sehingga ketidakpercayaan akan politik yang nantinya dapat berujung pada apatisme dapat diatasi. Tetapi, untuk pemahaman dasar dari Pancasila sendiri ternyata belum dikuasai oleh kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa. Padahal, mahasiswa akan menjadi penerus generasi bangsa. Kompas (2008) mempubliksikan hasil survei mengenai pemahaman dasar pada masyarakat berusia 17-29 tahun mengenai Ideologi Pancasila. Survei tersebut menunjukkan 48,4% menyebutkan kelima sila Pancasila dengan salah atau tidak lengkap. Sementara itu, 47,3% dapat menyebutkan kelima sila Pancasila dengan lengkap dan benar (Kompas, 2008). Hal ini ditemukan juga oleh peneliti dalam wawancara kepada sampel penelitian, yaitu 15 mahasiswa psikologi Binus dimana 9 dari 15 mahasiswa tidak dapat menyebutkan kelima sila Pancasila dengan benar. Padahal, mahasiswa psikologi Binus telah dibekali dengan mata kuliah istimewa dan berbeda dari universitas lainnya, yaitu Character Building Pancasila. Mata kuliah tersebut mengajarkan mahasiswa untuk mengerti dasar, ideologi, filosofi, maupun pengaplikasian Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat (Binus, 2015). Maka dari itu, peneliti berasumsi bahwa setiap mahasiswa binus yang mampu mengaplikasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari memiliki kepedulian akan kemajuan pemerintah. Kenyataannya adalah kondisi saat ini menyatakan bahwa masih banyak remaja yang akan menjadi penerus generasi bangsa memiliki pemahaman yang terbilang rendah akan ideologi Pancasila dan hal tersebut dapat mengancam masa depan bangsa (Irhandayaningsih, 2012). Terlebih lagi ideologi Pancasila merupakan hasil buah pemikiran founding father, presiden yang juga pejuang tanah air bangsa Indonesia, Bung Karno. Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juli 1945 didepan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) (Soekarno, 1959). Pada akhir pidato, Bung Karno mengemukakan bahwa Pancasila akan menjadi sebuah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Pancasila lahir dengan lima pemikiran dasar, yaitu Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas dasar 5 (lima) sila diatas maka, terbentuklah apa yang namanya Pancasila. Bung Karno yang senang akan hal-hal berkaitan dengan simbol, dimana hal tersebut terinspirasi dari beberapa hal seperti rukun Islam ada lima, jari kita lima setangan, kita memiliki panca indera dan hal yang serupa berlaku atas 5 prinsip dasar mendirikan negara. Dengan demikian lahirlah Pancasila (Lima Sila) sebuah ideologi revolusioner yang berprinsip pada gotong royong. Prinsip gotong royong dimana setiap lapisan masyarakat saling bahu membahu tanpa memikirkan suku, etnis, dan agama manapun demi kepentingan bersama. Ideologi independen tanpa menjiplak kiblat manapun (Daras, 2013). Bung Karno dalam seruannya pernah melontarkan sebuah ungkapan, yaitu ‘Holopis Kuntul Baris’ sebuah peribahasa Jawa yang artinya bekerjasama untuk menangani hal besar. Gotong royong merupakan kunci utama dalam berbangsa dan bertanah air dibumi pertiwi ini (Soekarno, 1959). Bumi Indonesia yang terdiri dari hamparan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang beragam etnisnya yang dimana hanya dapat menjadi sumber pemersatu bangsa. Sebelum masa kolonial Belanda nilai tersebut sudah lahir dan menjadi ciri khas rakyat Indonesia. Filosofi gotong royong tersebut didukung oleh tritunggal stabilitas, pertumbuhan, dan persamaan yang melambangkan visi perkembangan bangsa. Hal tersebut membuat banyak hal menjadi eksklusi tanpa melambangkan kebaratan, ketimuran, atau ideologi apapun itu (Snape, Fiona, 1999). Dari beberapa paparan diatas, dapat terlihat bahwa apatisme politik yang terjadi pada kalangan muda, khususnya mahasiswa memiliki keterkaitan dengan pemahaman ideologi Pancasila. Nilamsari menegaskan bahwa pemahaman menjadi salah satu aspek yang mampu menjelaskan fenomena apatisme pada masyarakat. Berdasarkan wawancara didapatkan mahasiswa/I BINUS banyak mendapatkan pemahaman mengenai pancasila melalui mata kuliah CB Pancasila. Sedangkan, di sisi lain, hasil wawancara terhadap 15 mahasiswa menunjukkan bahwa 9 dari 15 memilih golput dalam pemilihan presiden. Hubungan kedua variabel dapat terlihat dari paparan di atas meskipun masih belum diketahui kualitas dan arah dari hubungan keduanya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menkaji lebih dalam mengenai hubungan pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik pada mahasiswa psikologi Bina Nusantara
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik sampling non-probability sampling dengan pendekatan accidental sampling. Non-probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.
Pendekatan yang dipilih oleh peneliti, yaitu accidental sampling merupakan teknik penentuan dari sampel yang berdasarkan sampel cocok untuk dijadikan sumber data saat bertemu di suatu tempat (Sugiyono, 2014).Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif non-eksperimental dengan menggunakan desain korelasi dimana akan mengidentifikasi hubungan antara variabel-variabel penelitian, yaitu variabel satu dan variabel dua (Sarwono, 2006). Dalam penelitian ini, pengetahuan ideologi Pancasila berperan sebagai variabel satu sedangkan apatisme politik sebagai variabel dua. Pengukuran ini menggunakan kuesioner dengan pilihan ganda & essay serta skala likert sebagai instrument penelitian. Penelitian ini melibatkan responden yang berumur 18-23 tahun (mean) yang berkarakteristik dewasa awal, dengan jumlah 200 responden dari kategori laki-laki (n = 74, persentase = 37%) dan perempuan (n = 126, persentase = 63%) mengambil program studi psikologi di Universitas Bina Nusantara. Instrumen penelitian ini untuk variabel pertama, pemahaman ideologi pancasila dibuat oleh peneliti berdasarkan teori pengetahuan visual auditori Bloom yang diambil dari 2 domain atau tingkatan, yaitu tahu dan memahami. Alat ukur pengetahuan ideologi Pancasila berupa kuesioner yang memiliki 2 (dua) pilihan jawaban, yaitu benar atau salah. Alat ukur pemahaman ideologi Pancasila dibagi kedalam dua dimensi, yaitu dimensi tahu dan memahami. Hasil dari pengolahan data menggunakan software iteman ditemukan bahwa validitas pada dimensi tahu melewati batas nilai standard validitas, yaitu 0,25. Sementara itu, reliabilitas dimensi tahu juga melewati batas nilai baik, yaitu 0,6. Hal yang sama juga terjadi pada dimensi memahami dimana nilai validitas dan reliabilitas melewati nilai standard, yaitu pada angka 0,25 (validitas) dan 0,6 (reliabilitas). Untuk instrumen penelitian kedua, yaitu apatisme politik diadaptasi melalui Dean’s Political Apathy Scale. Alat ukur ini terdiri atas 14 item dengan bentuk pilihan 5 skala likert yang dimulai dari Sangat Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Alat ukur ini juga dibagi kedalam dua dimensi, yaitu dimensi influence dan interest. Uji validitas dan reliabilitas untuk variabel apatisme politik diolah menggunakan program SPSS menunjukkan nilai reliabilitas pada dimensi influence, yaitu 0,754. Nilai tersebut menunjukkan bahwa reliabilitas pada dimensi influence termasuk dalam kategori dapat diterima (Sugiyono, 2004). Sementara itu, ketujuh item yang mewakili dimensi influence memiliki nilai vailiditas diatas 0,25. Hal ini menunjukkan bahwa tujuh item tersebut lolos dari uji validitas. Uji validitas dan reliabilitas untuk variabel apatisme politik diolah menggunakan program SPSS menunjukkan nilai reliabilitas pada dimensi interest, yaitu 0,740. Nilai tersebut menunjukkan bahwa reliabilitas pada dimensi influence termasuk dalam kategori diterima (Sugiyono, 2004). Adapun, ketujuh item yang mewakili dimensi influence memiliki nilai vailiditas diatas 0,25. Hal ini menunjukkan bahwa tujuh item tersebut lolos dari uji validitas.
HASIL DAN BAHASAN Uji asumsi normalitas dilakukan dengan menggunakan metode uji One Sample Kolmogorov-Smirnov. Signifikansi dari pemahaman ideologi Pancasila, yaitu sebesar .000, sementara itu signifikansi untuk variabel apatisme politik adalah .054. Dengan standar nilai signifikansi >.05 maka data dapat dikatakan berdistribusi secara normal, sementara itu apabila nilai signifikansi <.05 data tersebut tidak berdistribusi secara normal. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa nilai signifikansi variabel pemahaman ideologi Pancasila tidak berdistribusi dengan normal dan nilai signifikansi variabel apatisme politik berdistribusi dengan normal. Oleh karena itu, uji korelasi yang dilakukan menggunakan spearman correlation. Uji korelasi yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik mahasiswa psikologi Bina Nusantara adalah korelasi bivariate. Korelasi ini digunakan untuk mengetahui hubungan dari kedua variabel tersebut. Berdasarkan tabel diatas, besaran korelasi dapat dilihat pada kolom Pearson Spearman’s rho, yakni sebesar -.158. Nilai koefisien tersebut menurut Sarwono (2006) termasuk dalam kategori hubungan sangat lemah. Sedangkan, tanda negatif memiliki arti bahwa hubungan kedua variabel bersifat tidak searah. Melalui tabel Correlation diatas juga diketahui bahwa Sig. (2-tailed) yang diperoleh sebesar .025. Apabila nilai Sig. (2-tailed) > .05 dapat diartikan bahwa hasil korelasi tersebut signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik memiliki hubungan yang sangat lemah dan tidak searah.
SIMPULAN DAN SARAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik mahasiswa psikologi Bina Nusantara. Penelitian ini menggunakan 200 responden sebagai sampel. Berdasarkan hasil pengambilan dan pengolahan data,
diperoleh hasil korelasi spearman sebesar -.158 dengan angka signifikansi .025 (sig 2-tailed > .05). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa kedua variabel penelitian memiliki hubungan yang sangat lemah dan tidak searah, namun signifikan. Hal ini berarti, ketika pengetahuan ideologi Pancasila meningkat, maka apatisme politik akan mengalami penurunan, sebaliknya ketika pemahaman ideologi Pancasila menurun apatisme politik akan meningkat. Peneliti sebelumnya mengangkat judul penelitian peran pengetahuan ideologi Pancasila dalam memprediksi apatisme politik mahasiswa psikologi Bina Nusantara. Tetapi, untuk mengetahui apakah terdapat peran antara kedua variabel terlebih dahulu peneliti harus mengetahui hubungan antara kedua variabel tersebut. Oleh karena itu, peneliti menggunakan desain penelitian korelasi untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel penelitian. Peneliti mengubah variabel pengetahuan menjadi pemahaman untuk merepresentasikan ideologi Pancasila. Hal ini dikarenakan menurut teori Bloom pengetahuan mencakup 6 tingkatan, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisa, sintesis, dan evaluasi. Sementara itu peneliti hanya menggunakan dua tingkatan awal (tahu & memahami) untuk penelitian ini dengan pertimbangan tingkat kompleksitas dari ke-4 tingkatan berikutnya dan waktu pengerjaan penelitian. Selain itu, kurangnya data kontrol pada kuesioner penelitian ini yang menyebabkan minimnya data tambahan terkait dengan subjek penelitian ini, yaitu mahasiswa psikologi Bina Nusantara. Pada penelitian ini tentunya peneliti menyadari bahwa pelaksanaan penelitian ini memiliki banyak keterbatasan maupun kekurangan, baik menyangkut masalah dilapangan, studi, maupun waktu. Kesulitan dalam mengumpulkan data kuesioner serta meminta kesediaan responden untuk mengisi kuesioner yang telah diberikan. Penelitian mengenai pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik di Indonesia belum pernah dilakukan. Hal tersebut terbukti dari sulitnya peneliti mencari penelitian mengenai pemahaman ideologi Pancasila dan apatisme politik dalam bentuk jurna, buku, dan surat kabar. Untuk itu, alangkah baiknya untuk penelitian selanjutnya meneliti lebih dalam mengenai kedua variabel tersebut.
REFERENSI Aiken, L. & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and assessment. (12th ed.). New York: Allyn & Bacon. Angga. (2014, Juli). Terburuk Sepanjang Sejarah. Golput Pilpre Capai 56,7 Juta. Retrieved fromhttp://harianterbit.com/read/2014/07/23/5622/26/26/TerburukSepanjang-Sejarah-GolputPilpres-Capai-567-Juta. Ayesha Sarfaraz., & Ayesha Khalid, S.A. (2012). Reasons for Political Interest and Apathy Among University Students: A Qualitative Study.Pakistan Journal of Social and Clinical Psychology , 10 (1), 61-67.. Budiardjo, M. (2009). Partisipasi dan Partai Politik (Sebuah Bunga Rampai). Jakarta: PT Gramedia. Clarissa White, S.B. (2000). Young People’s Politics: Political Interest and Apathy among University Students: A Qualitative Study. Journal of Social and Clinical Psychology, 10(1), 6167. Daras, R. (2013). Total Bung Karno.Depok: Imania. Dean, D.G. (1956). Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Doctor of Philosophy in the Graduate School of the Ohio State University. The Ohio State University. Feist – Feist. (2008). Theories of Personality 7th Edition. The McGraw Hill Primis : United States of America. Fitria, A.G. (2014, Maret). Survei: Pemilu 2014 Lebih Rawan Politik Uang. Retrieved from http://www.tempo.co/read/news/2014/03/26/269565384/survei-pemilu- 2014-lebih-rawan-politik-uang. Garcia-Albacete, G. M. (2006). Political Apathy? The Evolution of Political Engagement of The Spanish Youth since The 1980’s. Young People's Studies Magazine , 125-148. Gravetter, F.J., & Forzano, L.B. (2012). Research Methods for the Behavioral Sciences 4th edition. Canada : International Edition. Hoboken: John Hill, R.C., Griffiths, W.R., Lim, G. (2011). Principles of Econometrics 4th edition. Willey & Sons. Junaidi. (2011). Partisipasi Politik Masyarakat Sumatera Barat pada Pemiludan Pilkada. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 22 (1), 34-40. Juneman, A. & Viatrie, D.I. (2013). Apakah Kreativitas dan Sikap terhadap Ilmu Ekonomi Meramalkan Partisipasi Politik Mahasiswa? Peran Mediasi Efikasi Politik pada Mahasiswa di Malang, Jawa Timur. Makara Seri Sosial Humaniora. 17(2), 109-125. Karni, A.S.,& Lubis, A. (2012). Pancasila Alat Kritik Kebijakan Politik. Gatra. XVIII Kompas Cetak. (2014, April). Noda Politik Uang di Pemilu. Retrieved from http://nasional.kompas.com/read/2014/04/28/1458036/Noda.Politik.Uang.di.P emilu
Kwok, Y. (2014, April). The ‘Jokowi Effect’ Could Be the Most Important Thing in Indonesia’s Elections. Retrieved from http://time.com/54865/indonesia- elections-jokowi-joko-widodo/ Lasiyo, & Yuwono. (1985). Pancasila (Pendekatan Secara Kefilsafatan). Yogyakarta: Liberty. Litbang Kompas. (2008, Juni). Barometer Pancasila. Rertrieved from http://forum.detik.com/kompas-minggu-1-juni-2008-hasil-survey-pancasila-t41485.html Marx, Karl. (2007). Das Kapital. Leipzig: Frederick Ellis. Mendroga, D. O. (2012, November). Serikat Mahasiswa Indonesia Medan Memilih Golput. Retrieved from www.aktual.co: http://www.aktual.co/politik /114649serikat-mahasiswa-indonesiamedan-memilih-golput. Meyers, L.S.,Gamst, G.C.,&Guarino, A.J. (2013). Performing data analysis using IBM SPSS. New York: John Willey & Sons, Inc.\ Nilamsari, U. (2000). Sikap Apatis Terhadap Tugas Ditinjau Dari Dukungan Sosial Dan Pengetahuan Tentang Tugas. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Program Sarjana Universitas Katolik Soegijapranata. Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pasalbessy. J.D. (2009). Aspek Hukum Pidana Di Dalam Pelanggaran Pemilihan Umum (Perspektif Kebijakan Hukum Pidana). Jurnal Konstitusi, 1(1), 8-29. Prabowo. (2013, April). 30 Persen Pemuda Apatis, Bukti Figur Partai Lemah. Retrieved from http://nasional.kompas.com/read/2013/04/28/12160320/30.Persen.Pemuda.Ap atis.Bukti.Figur.Partai.Lemah Priyatno, D. (2014). SPSS 22 Pengolah Data Terpraktis. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta. Quintelier, E. (2007). Differences in Political Participation Between Young and Old People Contemporary Politics, 13 (2), 165-180. Robertson-Snape.,& Fiona. (1999). Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia.Third World Quarterly, 20, 589-602. Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. Soekarno. (1959). Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Kementrian Penerangan. Subanda, N. (2009). Analisis Kritis Terhadap Fenomena Golput dalam Pemilu. Jurnal Konstitusi, 1 (60). Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta. Sukarna. (1981). Demokrasi Versus Kediktatoran. Bandung: Alumni. Takwin, B. (2008). Meneropong Masalah Manusia. Bogor: Yayasan Kota Kita. Tanjung, A. (2013, Juli). Survei: Masyarakat makin apatis terhadap politik. Retrieved from: http://www.merdeka.com/politik/survei-masyarakat-makin-apatisterhadap-politik.html Tjiptabudy, J. (2010). Kebijakan Pemerintah dalam Upaya Melestarikan Nilai – Nilai Pancasila Di Era Reformasi. JurnalSasi, 16 (3) 1-8. White, C., Bruce, S., & Ritchie, J. (2000). Young People’s Politics :Political Interest and Engagement Amongst 14 – 24 Year Olds. Layerthorpe: York.