HUBUNGAN ANTARA KETUBAN PECAH DINI DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD Dr. R. KOESMA TUBAN TAHUN 2009 MUNTARI STIKES NU Tuban PRODI DIII Kebidanan
ABSTRAK Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum waktunya tanpa disertai tanda inpartu dan setelah satu jam tetap tidak diikuti dengan proses inpartu sebagaimana mestinya. Ketuban pecah dini merupakan salah satu penyebab terjadinya asfiksia neonatorum dan infeksi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas perinatal. Nilai Apgar adalah cara untuk menilai kondisi postnatal yang mencerminkan fungsifungsi vital pada neonatus. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di RSUD Dr. R Koesma Tuban tahun 2009. Dalam penelitian ini menggunakan metode analitik dengan desain Cross Sectional. Populasi yang digunakan adalah semua ibu bersalin dengan KPD dan ibu bersalin tanpa komplikasi di RSUD Dr R. Koesma Tuban Tahun 2009 sebanyak 240 responden, sampel diambil dari sebagian ibu bersalin dengan KPD dan ibu bersalin tanpa komplikasi di RSUD Dr R. Koesma Tuban Tahun 2009 yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 148 responden. Tehnik sampling menggunakan Simple Random Sampling. Pengumpulan data menggunakan data sekunder yaitu didapatkan dari data register persalinan. Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan tabel silang kemudian dianalisis menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu bersalin dengan ketuban pecah dini di RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 melahirkan bayi tidak asfiksia 65 (81,25%). Dari analisa data mengunakan uji Chi Square didapatkan nilai frekuensi harapan < 5 lebih dari 20% sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilakukan analisa data dengan menggunakan uji Chi Square dan sebagai gantinya maka digunakan analisa data menggunakan uji Exact Fisher dengan menggunakan program SPSS versi 11,5 didapatkan p = 0,064 dimana p > 0,05 maka Ho diterima artinya tidak ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. Kesimpulan dari panelitian ini adalah bahwa tidak ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. Maka disarankan bagi masyarakat lebih sadar dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini dengan rutin memeriksakan kehamilannya, agar bidan dapat memantau kondisi ibu dan janin untuk meminimalkan dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini beserta komplikasinya. Kata Kunci: Ketuban Pecah Dini, Asfiksia
PENDAHULUAN Ketuban pecah dini (KPD) merupakan keadaan patologis yang memerlukan penanganan dan manajemen yang cepat tepat. Belakangan ini KPD sering terjadi pada kehamilan multi maupun primi yang penyebabnya belum diketahui secara pasti. kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi adalah serviks inkompeten, polihidramnion, malpresentasi janin, kehamilan kembar dan infeksi vagina/serviks, kesempitan panggul, kelainan bawaan dari selaput ketuban (Manuaba, 2001). Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi dalam rahim (Manuaba, 2001). Ketuban pecah dini mempengaruhi terjadinya asfiksia neonatorum akibat terjadinya prolapsus funiculli yaitu tali pusat tertekan diantara kepala bayi dan panggul sehingga terjadi kompresi yang menyebabkan ancaman penghentian perfusi fetoplasenta. Infeksi, atonia uteri, perdarahan post partum, asfiksia dan Intra Uterine Fetal Dead (IUFD) merupakan ancaman apabila ketuban pecah dini tidak
segera ditangani. Hal ini ditemukan baik dilapangan maupun di rumah sakit rujukan di Indonesia. Di Amerika diperkirakan 12.000 bayi meninggal atau menderita kelainan akibat asfiksia perinatal, retardasi mental dan kelumpuhan syaraf sebanyak 20-40% maupun akibat dari kejadian intra partum. Belum dapat dipastikan bahwa ada kemungkinan perbaikan struktur otak bahkan sebaliknya lesi otak yang terjadi berakibat kelainan yang menetap (Prawirohardjo, 2005). Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), menyebutkan penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia, salah satu asfiksia (27%) yang merupakan penyebab ke-2 kematian bayi baru lahir setelah BBLR. Berdasarkan penelitian di Kota Cirebon yang dilakukan oleh Ella tahun 2004-2005 di Puskesmas, bahwa dari 44.000 kelahiran hidup setiap tahunnya 500 bayi (2,1%) diantaranya mengalami kematian neonatal dan sebanyak 260 (28,8%) kematian tersebut diakibatkan oleh asfiksia (Depkes, 2004). Sama halnya dengan Sumatra utara, angka kematian bayi 166.500 dan yang menderita Asfiksia sebanyak 43.956 bayi (26,4%) (Dinkes Medan, 2008). Sedangkan menurut data yang diperoleh dari hasil survei awal di Ruang VK Obsgin RSUD. Dr. R. Koesma Tuban angka kejadian persalinan dengan Ketuban Pecah Dini (KPD) tahun 2007 sebesar (130) 12,92% dari 1006 persalinan dan didapatkan (41) 4,07% mengalami asfiksia neonatorum, pada tahun 2008 KPD sebesar (184) 18,62% dari 988 persalinan dan didapatkan (40) 4,05% mengalami asfiksia
neonatorum, dan pada tahun 2009 KPD sebesar (180) 15,49% dari 1162 persalinan dan didapatkan (51) 4,39% mengalami asfiksia neonatorum. Kondisi patofisiologis yang menyebabkan asfiksia meliputi kurangnya oksigenasi sel, retensi karbon dioksida berlebihan dan asidosis metabolik. Kombinasi ketiga peristiwa ibu menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan (Varney, 2007). Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya bayi-bayi yang mengalami proses asfiksia lebih jauh berada dalam tahap apneu sekunder. Apneu sekunder cepat menyebabkan kematian jika bayi tidak benar-benar didukung oleh pernafasan buatan dan bila diperlukan kompresi jantung. Warna bayi berubah dari biru ke putih karena bayi baru lahir menutup sirkulasi perifer sebagai upaya memaksimalkan aliran darah ke organorgan, seperti jantung, ginjal, dan adrenal (Varney, 2007). Kematian neonatal dini banyak disebabkan secara instrinsik dengan kesehatan ibu dan perawatan yang diterima sebelum, selama, dan setelah persalian. Demikian halnya dengan asfiksia neonatorum pada umumnya disebabkan oleh manajemen persalinan yang tidak sesuai dengan standar dan kurangnya kesadaran ibu untuk memeriksakan kehamilannya ketenaga kesehatan. Kurangnya asupan kalori dan nutrisi pada saat masa kehamilan juga dapat mengkibatkan terjadinya asfiksia. Hampir tiga per empat dari semua kematian bayi baru lahir dapat dicegah apabila ibu mendapatkan nutrisi yang cukup, pelayanan antenatal yang berkualitas, asuhan persalinan normal, dan pelayanan kesehatan neonatal oleh tenaga kesehatan yang professional (Addy, 2009). Di Indonesia dilakukan berbagai upaya dalam menurunkan angka kematian BBL diakibatkan asfiksia salah satunya dengan cara melakukan suatu pelatihan keterampilan resusitasi kepada para tenaga kesehatan agar lebih terampil dalam melakukan resusitasi dan menganjurkan kepada masyarakat ataupun ibu khususnya, agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan dan keterampilan (Dinkes, 2008). Karena angka kematian bayi baru lahir yang diakibatkan oleh asfiksia masih tinggi, oleh karena itu
asfiksia memerlukan intervensi dan tindakan resusitasi segera setelah lahir untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas. Berdasarkan dampak dan masalah yang ditimbulkan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan antara Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir ” METODE PENELITIAN Desain yang digunakan yaitu pendekatan cross sectional yakni jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atauu observasi data variabel independen dan variabel dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2008). Jadi pada penelitian ini Kejadian Ketuban Pecah Dini dan Asfiksia diobservasi pada waktu yang bersamaan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin dengan ketuban pecah dini dan ibu bersalin tanpa komplikasi di RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 sebanyak 240 persalinan. Sampel pada penelitian ini adalah sebagian ibu bersalin dengan ketuban pecah dini dan ibu bersalin tanpa komplikasi di RSUD Dr. R. Koesma Tuban tahun 2009 yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 148 persalinan. Pada penelitian ini menggunakan Probability Sampling yaitu setiap subyek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sample. Tehnik yang digunakan adalah Simple Random Sampling dimana setiap elemen diseleksi secara random (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini variabel independen adalah ketuban pecah dini. Sedangkan variable dependen adalah asfiksia pada bayi baru lahir. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah format/ lembar pengumpulan data yang berupa data sekunder dari rekam medis RSUD Dr. R. Koesma Tuban. Data yang diperoleh dari register persalinan di ruang VK Obsgyn dan Medical Record RSUD Dr. R. Koesma Tuban disajikan dalam bentuk table silang. Untuk mengetahui adanya pengaruh atau hubungan antara variable independent dengan variable dependen dilakukan uji statistic dengan menggunakan Uji Chi Kuadrat atau Chi Square dihitung dengan rumus :
χ =∑ 2
( fo − fh )2 fh
Keterangan :
χ2 :Chi Square Fo:Frekuensi yang diobservasi fh:Frekuensi yang diharapkan (Hidayat, 2009) Dengan nilai kemaknaan bila χ2 hitung lebih dari χ table, maka Ho ditolak dan H1 diterima artinya terdapat hubungan ketuban pecah dini terhadap kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. 2
Kemudian diinterpretasikan kategori sebagai berikut:
sesuai
dengan
100% 76% - 99% 51% - 75 % 41% - 50% 26% - 40% 1% - 25% 0% (Arikunto, 2006)
= seluruhnya = hampir seluruhnya = sebagian besar = hampir setengahnya = setengahnya = sebagian kecil = tidak satupun
Tabel 3 Hubungan Antara Ketuban Pecah Dini Dengan Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir di Ruang VK Obsgyn RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009
Asfiksia Sedang N %
Asfiksia Berat n %
n
%
Tidak KPD KPD
64 65
94,11 81,25
3 11
4,41 13,75
1 4
1,47 5,00
68 80
100 100
Jumlah
129
87,16
14
9,46
5
3,38
148
100
KPD
Distribusi responden berdasarkan ibu bersalin yang mengalami ketuban pecah dini dan ibu bersalin yang tidak mengalami ketuban pecah dini di Ruang VK Obsgyn RSUD Dr. R. Koesma Tuban dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut : Ketuban Pecah Dini Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ibu Bersalin Yang Mengalami Ketuban Pecah Dini di Ruang VK Obsgyn RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 Frekuensi
Tidak KPD KPD
68 80
Prosentase (%) 45,95 54,05
Jumlah 148 100 Sumber : Register Persalinan RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 148 responden sebagian besar ibu bersalin mengalami KPD sebanyak 80 responden (54,05%). Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Distribusi data kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dikelompokkan menjadi 3 yaitu bayi baru lahir tidak asfiksia (A-S : 7-10), Asfiksia sedang (A-S : 4-6) 37 dan asfiksia berat (A-S : 0-3) dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 2 Distribusi Frekuensi Bayi Baru Lahir Yang Mengalami Asfiksia di Ruang VK Obsgyn RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009. Kejadian Asfiksia Tidak Asfiksia Asfiksia Sedang Asfiksia Berat
Frekuensi 129 14 5
Prosentase (%) 87,16 9,46 3,38
Jumlah 148 100 Sumber : Register Persalinan RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa 148 responden hampir seluruhnya bayi baru lahir tidak mengalami asfiksia 129 responden (87,16%). Hubungan Antara Ketuban Pecah Dini Dengan Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
Jumlah Tidak Asfiksia n %
HASIL DAN ANALISA DATA
Kejadian KPD
Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
Asfiksia
Sumber : Register Persalinan RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar ibu bersalin yang mengalami ketuban pecah dini dan bayi yang dilahirkan tidak mengalami asfiksia sebesar 81,16%. Dari hasil uji statistik secara Chi Square didapatkan nilai frekuensi harapan < 5 lebih dari 20% sehingga sesuai dengan syarat Chi Square maka dalam hal ini tidak memenuhi syarat untuk dilakukan analisa data dengan menggunakan uji Chi Square dan sebagai gantinya maka digunakan analisa data menggunakan uji Exact Fisher dengan menggunakan program SPSS versi 11,5 didapatkan p = 0,064 dimana p > 0,05 maka Ho diterima artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 148 ibu bersalin yang mengalami ketuban pecah dini dan ibu bersalin normal tanpa komplikasi di RSUD Dr. R. Koesma Tuban sebagian besar mengalami ketuban pecah dini sebanyak 80 (54,05%). Pada ibu hamil, air ketuban berguna untuk mempertahankan atau memberikan perlindungan terhadap bayi dari benturan yang diakibatkan oleh lingkungannya diluar rahim. Selain itu aair ketuban bisa membuat janin bergerak dengan bebas kesegala arah. Ada dua macam kemungkinan ketuban pecah dini yaitu premature rupture of membrane dan preterm rupture of membrane. Keduanya memeiliki gejala yang sama, yaitu keluarnya cairan dan tidak ada keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya adalah adanya keluaran cairan mendadak disertai bau yang khas, namun berbeda dengan air seni. Alirannya tidak terlalu deras keluar serta tidak disertai rasa mulas atau sakit perut. Namun adakalanya hanya terjadi kebocoran kantung ketuban. Tanpa disadari oleh ibu cairan merembes sedikit demi sedikit hingga cairan ini makin berkurang. Akan terdeteksi jika ibu baru merasakan perih dan sakit jika janin bergerak-gerak (Manuaba, 2001). Pecahnya selaput ketuban menyebabkan terbukanya hubungan intra uterin dengan ekstra uterin, dengan demikian mikroorganisme dengan mudah
masuk dan menimbulkan infeksi intrapartum apabila ibu sering diperiksa dalam, infeksi puerpuralis, peritonitis dan sepsis. Ketuban pecah dini pada kondisi kepala janin belum masuk pintu atas panggul mengikuti aliran air ketuban, akan terjepit antara kepala janin dan dinding panggul, keadaan sangat berbahaya bagi janin. Dalam waktu singkat janin akan mengalami hipoksia hingga kematian janin dalam kandungan (IUFD), pada kondisi ini biasanya kehamilan segera diterminasi. Bayi yang dilahirkan jauh sebelum aterm merupakan calon untuk terjadinya respiratory distress sindroma (RDS). Hipoksia dan asidosis berat yang terjadi sebagi akibat pertukaran oksigen dan karbondioksida alveoli kapiler tidak adekuat, terbukti berdampak sangat fatal pada bayi (Mochtar, 2003). Dengan demikian sesuai dengan fakta dan teori diatas pada penelitian ini sebagian besar ibu bersalin di RSUD Dr. R. Koesma Tuban mengalami ketuban pecah dini. Banyaknya kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu infeksi, trauma, kelainan letak, disproporsi antara kepala janin dan panggul ibu, multigravida, perdarahan antepartum dan lain-lain yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Adapun sikap dalam menghadapi ketuban pecah dini ini hal yang harus dipertimbangkan adalah lamanya ketuban pecah, usia kehamilan, perkiraan berat badan janin, presentasi intra uterin, komplikasi dan resiko yang akan dihadapi janin dan maternal sehingga dapat tercapai tujuan well born baby dan well health mother atau setidaktidaknya well health mother jika terpaksa bayi harus dikorbankan. Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruhnya dari 148 bayi baru lahir yang tidak mengalami asfiksia 87,16%, dan sebagian kecil bayi baru yang lahir mengalami asfiksia berat 3,38%. Kondisi patofisiologis yang menyebabkan asfiksia meliputi kuranagnya oksigenasi sel, retensi karbon dioksida berlebihan, dan asidosis metaboli. Kombinasi ketiga peristiwa itu menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan. Selama apnea, penurunan oksigen yang tersedia menyebabkan pembuluh darah di paru-paru mengalami kontriksi. Vasokontriksiini menyebabkan paru-paru resistan terhadap ekspansi sehingga mempersulit kerja resusitasi. Salah satu efek hipoksia pada sirkulasi dalam jantung adalah sirkulasi janin yang persisten (Varney, 2007). Asfiksia yang mungkin timbul dalam masa kehamilan dapat dicegah dengan melakukan pengawasan antenatal yang adekuat dan melakukan koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoreksia / hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatorum dan perlu mendapat perhatian utama agar persiapan dapat dilakukan sehingga bayi perwatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir (FKUI, 2007). Kegawatan janin selama persalinan dapat dideteksi dengan pemantauan frekuensi denyut jantung
janin secara terus menerus berguna untuk mencegah terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir (Nelson, 2000). Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul (Prawirohardjo, 2007). Dengan demikian dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada kesesuaian antara fakta dan teori walaupun hanya sebagian kecil bayi baru lahir di RSUD Dr. R. Koesma Tuban yang mengalami asfiksia. Untuk itu diharapkan masyarakat menyadari akan pentingnya antenatal karena hal ini dapat digunakan sebagai deteksi dini adanya kelainan pada ibu sehingga perbaikan sedini-dininya dapat diusahakan dan agar dapat dilakukan persiapan yang sempurna untuk kelahirannya. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin yang mengalami ketuban pecah dini dan bayi yang dilahirkan tidak mengalami asfiksia sedang 81,25% dan yang mengalami asfiksia berat 5,00%. Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran premature, merokok, dan perdarahan selama kehamilan. Resiko kelahiran bayi prematur adalah resiko terbesar kedua setelah infeksi akibat ketuban pecah dini. Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru janin sebaiknya dilakukan terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu. Hasil akhir dari kemampuan janin untuk hidup sangat menentukan langkah yang akan diambil. Komplikasi yang sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernafasan yang terjadi pada bayi baru lahir. Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin saehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Terjadinya asfiksia seringkali diawali infeksi yang terjadi pada bayi baik pada bayi aterm terlebih pada bayi prematur, antara KPD dan asfiksia keduanya saling mempengaruhi. Pada induksi persalinan kontraksi otot rahim yang berlebihan dapat menimbulkan asfiksia janin (Manuaba, 2001). Dengan demikian dari teori-teori yang diuraikan diatas dan dari hasil penelitian di RSUD. Dr. R. Koesma Tuban bulan juli 2010 bahwa masih banyak kejadian ketuban pecah dini dan asfiksia bayi baru lahir, namun kedua kejadian ini tidak selalu menjadi penyebab dari masing-masing kejadian tersebut. Jika ketuban sudah pecah sebelum waktunya maka akan membahyakan janin karena air ketuban berguna untuk mempertahankan atau memberikan perlindungan terhadap bayi dari benturan yang diakibatkan oleh lingkungannya diluar rahim. Dengan kejadian ini maka kemungkinan asfiksia bisa saja terjadi. Hal ini juga sesuai dengan analisa data yang menggunakan uji Exsact Fisher dengan menggunakan program SPSS versi 11,5 didapatkan p = 0,064 dimana p > 0,05 maka Ho diterima artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketuban pecah dini dengan kejadian
asfiksia pada bayi baru lahir. Meskipun kedua faktor ini sangat berkaitan, namun tidak selalu ketuban pecah dini menyebabkan asfiksia begitu juga asfiksia tidak selalu disebabkan karena ketuban pecah dini karena masih ada faktor lain yang dapat menyebabkan asfiksia antara lain adalah partus lama, pre eklamsi dan eklamsi, kehamilan lewat waktu, perdarahan abnormal dan lain-lain. KESIMPULAN 1.
2.
3.
Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 mengalami ketuban pecah dini. Hampir seluruhnya bayi baru lahir di RSUD Dr. R. Koesma Tuban Tahun 2009 tidak mengalami asfiksia Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir.
DAFTAR PUSTAKA Addy (2009). Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia. http://www.google.com Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta Boyle, Maureen. 2007. Kedaruratan Dalam Persalinan. EGC. Jakarta Cunningham. 2006. Obstetri Williams. EGC. Jakarta FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Infomedika. Jakarta
Hidayat, Aziz Alimul. 2009. Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisia Data. Salemba Medika. Jakarta JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal. JHPIEGO. Jakarta Manuaba, Ida Bagus Gede. 2001. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berncana Untuk Pendidikan Bidan. EGC. Jakarta Manuaba, Ida Bagus Gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. EGC. Jakarta Mansjoer, Arif. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta Mochtar, Rustam. 2003. Sinopsis Obstetri Jilid 2. EGC. Jakarta Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. EGC. Jakarta Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. YBPSP. Jakarta Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Bedah Kebidanan. YBP-SP. Jakarta Sastrawinata, sulaiman. 2004. Obstetri Patologi. EGC. Jakarta Yulianti, Devi. 2005. Manajemen Komplikasi Kehamilan Dan Persalinan. EGC. Jakarta Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. EGC. Jakarta