HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN TAHAN BANTING DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA DIFABEL AKIBAT GEMPA YOGYAKARTA
Sri Puji Lestari Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Jl. Kapas No. 9 Yogyakarta
[email protected]
Abstract This research aimed to determine the relationship between hardiness personality and self acceptance among Yogyakarta earthquakes survivor who phisically disabled. The hypothesis is a positive relationship between hardiness personality with the disability self acceptance. The Subjects of this research were 60 people. The data collection tools of this research used The Hardiness Personality Scale and The Self Acceptance Scale. Analysis of the statistical method of product moment correlation statistical methods using SPSS 17 for windows. The results of research showed significant positive relationship between personality hardiness with disabilities to self-acceptance r = 0.802 with a chance of error (p) = 0.000 (p <0.01). The research means the proposed hypothesis can be accepted. Personality hardiness contribute to self-acceptance 64.4%, while 35.6% is influenced by other factors not included in this research. Keywords: Personality Hardiness, Self Acceptance
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Kepribadian Tahan Banting dengan Penerimaan Diri pada Difabel Akibat Gempa Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini adalah difabel yang berjumlah 60 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Kepribadian Tahan Banting dan Skala Penerimaan Diri. Analisis dengan metode statistik analisis korelasi product moment dengan menggunakan bantuan program SPSS 17 for windows. Hasil menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara kepribadian tahan banting dengan penerimaan diri pada difabel dengan r = 0,802 dengan peluang kesalahan (p) = 0,000 (p < 0,01). Berarti hipotesis yang diajukan dapat diterima. Kepribadian tahan banting memberikan sumbangan terhadap penerimaan diri sebesar 64,4 %, sedangkan 35,6 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini.
Kata kunci : Kepribadian Tahan Banting, Penerimaan Diri
PENDAHULUAN Setiap orang berharap kehidupan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, namun sering kali harapan menjadi pupus karena terjadi peristiwa yang tidak terduga (Silfina, 2010). Erikson, dikutip oleh Papalia, Wendkos-Olds & DuskinFieldman (dalam Damayanti & Rostiana 2003), mengungkapkan istilah non normative adalah gempa bumi, ataupun kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan, sehingga anggota tubuh menjadi kehilangan fungsi. Kecacatan merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak kehendak Sang Pencipta terhadap umatNya? Apabila Sang Pencipta menghendakinya, apapun bisa terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk kecelakaan (http://en.wikipedia.org/wiki/Accident). Kecelakaan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu terkena bencana gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta. Pada kasus bencana alam gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 2006 lalu, sebagian dari korban selamat banyak yang kemudian menjadi difabel. Namun demikian, keberadaan mereka pasca terjadinya bencana kurang mendapatkan perhatian, baik lembaga internasional maupun pemerintahan sendiri. Kondisi para difabel pasca bencana cukup parah baik secara sosial maupun psikologis. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami trauma berat dan tidak dapat menerima diri akibat dari kenyataan bahwa kondisi tubuh mereka tidak selengkap seperti dulu. Para korban gempa bumi yang menjadi difabel mengalami persoalan dalam penyesuaian diri dalam kondisi fisik, psikologis dan sosial pasca gempa bumi. Perubahan fisik yang terjadi selain menimbulkan trauma psikologis juga menimbulkan persoalan sosial bagi mereka seringkali kondisi tersebut memunculkan konflik batin bagi korban yang bersangkutan untuk bisa menerima kenyataan bahwa kondisi fisik mereka sudah tidak seperti dulu (Cak Fu, dalam Musfiroh, 2010). Kondisi difabel yang dialami bukan merupakan bawaan melainkan yang dialami setelah masa kelahiran atau dalam masa perkembangan seseorang merupakan suatu hal yang sulit diterima bagi mereka yang mengalaminya sehingga tidak mengherankan jika mereka mengalami stres. Sarafino (2006) mengungkapkan reaksi awal yang timbul adalah perasaan terguncang (shock) ketika mengetahui bahwa anggota tubuhnya tidak lagi dapat digerakkan atau tidak lagi berfungsi seperti biasanya. Ketakutan kecemasan, kesedihan mungkin juga kemarahan akan mempengaruhi ekspresi emosi. Berbagai permasalahan yang dihadapi difabel akibat gempa apabila tidak segera diatasi akan mengakibatkan stres dan depresi berkepanjangan. Depresi yang dialami oleh penyandang difabel dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penyandang difabel yang tidak dapat menerima diri sendiri
akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing dan terkucil dari lingkungannya (Tinambunan, 2008). Para penyandang difabel juga mengalami berbagai masalah, di antaranya: (1) seringnya orang-orang yang mengalami difabel dianggap sebagai orang yang lemah, tidak berdaya, dan membutuhkan pertolongan orang lain; (2) merasa rendah diri dan tidak mampu lagi melakukan tugas atau aktivitas mereka seperti dulu sebelum mereka mengalami kecacatan; (3) merasa tertolak oleh lingkungan karena keterbatasannya untuk melakukan aktivitas seperti orang yang normal; (4) hubungan dengan orang lain sering tidak baik karena ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas dengan keadaannya; (5) menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evaluasi atau harapan dari luar; (6) tidak mampu membuat keputusan sendiri; (7) cenderung conform terhadap orang lain/grup karena adanya tekanan grup yang akhirnya membuat tidak percaya diri (Ryff & Singer dalam Hutapea, 2011). Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil wawancara peneliti yang dilakukan di rumah subjek berinisial WG pada tanggal 28 Agustus 2012, beliau mengatakan sejak beliau difabel beliau sering membutuhkan bantuan dari anak dan istrinya untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Beliau juga mengalami kesulitan untuk pergi ke luar rumah atau tempat-tempat hiburan karena duduk di kursi roda. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan subjek yang berinisial SM, beliau menceritakan tentang kehidupan temannya yang juga difabel. Teman beliau, sebelum menjadi difabel adalah orang yang periang, mudah bersosialisasi namun setelah terjadi gempa teman beliau menjadi sosok yang pendiam, menutup diri, mengucilkan diri di dalam rumah dan akhirnya bunuh diri karena tidak dapat menerima dirinya yang difabel. Menjadi difabel menuntut adaptasi dari individu yang mengalaminya. Individu berusaha menyeimbangkan kondisinya setelah terjadi bencana di dalam dirinya. Penyandang difabel akan mengalami stres akibat menjadi difabel dan memiliki keterbatasan dalam melakukan suatu pekerjaan. Difabel akibat kecelakaan ataupun musibah merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh mereka yang mengalaminya sehingga tidak mengherankan jika penyandangnya memperlihatkan gejolak emosi terhadap kecacatan yang dialami, sehingga dapat menimbulkan kondisi yang membuat stres (Damayanti & Rostiana, 2003). Penelitian Damayanti dan Rostiana (2003) menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap keempat difabel pasca kecelakaan masing-masing subjek membutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai tahap penerimaan diri setelah kecelakaan yang dialami sehingga dinamika emosinya juga bervariasi. Penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya (Chaplin, 2004). Dalam hal ini difabel akibat gempa dapat menerima kekurangan-kekurangan dan keterbatasannya dan juga mempunyai dorongan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Lebih lanjut Gea, dkk. (2002) menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah suatu sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan memperlakukannya
secara baik disertai rasa senang serta bangga sambil terus mengusahakan kemajuannya. Menerima diri sendiri memerlukan kesadaran kemauan melihat fakta-fakta yang ada pada diri, baik secara fisik maupun psikis menyangkut berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada, menerimanya secara total tanpa “kekecewaan”. Pernyataan ini bukan berarti sikap menerima diri apa adanya tanpa kemauan untuk melakukan perubahan atau perbaikan, sebagai yang pasif dan menerima nasib, yang dimaksud adalah menerima diri harus dianggap sebagai suatu prakondisi menuju perubahan demi kebaikan lebih lanjut dari diri sendiri. Individu yang dapat menerima diri menurut Allport (Hjelle dan Zieglar, 1992) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Memiliki gambaran positif tentang dirinya b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan marah c. Dapat berinteraksi dengan orang lain d. Dapat mengatur keadaan emosi dirinya e. Memiliki persepsi yang realistis dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan Sheerer (Cronbach, 1963), menjelaskan lebih lanjut mengenai aspek-aspek penerimaan diri yaitu : a. Percaya kemampuan diri b. Perasaan sederajat c. Menyadari keterbatasannya d. Orientasi keluar e. Berani memikul tanggung jawab f. Berpendirian g. Menerima pujiaan dan celaan secara objektif h. Tidak menganggap dirinya aneh dan tidak menganggap orang lain menolak dirinya Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri menurut Sari (Satyaningtyas, 2005) adalah: a. Pendidikan, yaitu individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula dalam memandang dan memahami keadaan dirinya. b. Dukungan sosial, yaitu individu yang mendapatkan dukungan sosial akan mendapat perlakuan yang baik dan menyenagkan, sehingga akan menimbulkan perasaan memiliki kepercayaan serta aman di dalam diri jika seseorang dapat diterima lingkungannya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi penerimaan diri seseorang adalah lingkungan. Hattena dan Paters (Monks dkk, 2002) mengatakan bahwa penerimaan diri dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar individu maupun dari dalam individu itu sendiri. Faktor dari dalam individu sendiri meliputi pengalaman individu yang berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu, sedangkan faktor dari luar individu terdiri dari lingkungan keluarga dan masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang berasal dari dalam individu salah satunya adalah kepribadian. Tipe kepribadian yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap kejadian yang mengancam adalah tipe kepribadian tahan banting. Hal ini didukung oleh penjelasan Hadjam, dkk. (2004) bahwa kepribadian tahan banting mengurangi pengaruh kejadian-kejadian hidup yang mencekam dengan meningkatkan penggunaan strategi penyesuaian, antara lain dengan menggunakan sumber-sumber sosial yang ada di lingkungannya untuk dijadikan tameng, motivasi, dan dukungan dalam mengatasi ketegangan yang dihadapi dan memberikan kesuksesan. Penjelasan di atas juga didukung oleh pendapat Kobasa (dalam Hadjam, dkk. 2004) yang menyebutkan bahwa kepribadian tahan banting merupakan karakteristik kepribadian yang mempunyai fungsi sebagai sumber perlawanan saat individu menemui suatu kejadian yang mengancam. Lebih lanjut Kobasa mengatakan bahwa kepribadian tahan banting merupakan suatu konstelasi kepribadian yang menguntungkan bagi individu untuk dapat menghadapi tekanantekanan dalam hidupnya. Kobasa dkk (1982) menyatakan bahwa kepribadian tahan banting merupakan karakteristik kepribadian yang mempunyai fungsi sebagai perlawanan saat individu menemui suatu kejadian yang menimbulkan stres. Menurut Santrock (2002) menjelaskan bahwa ketangguhan adalah gaya kepribadian yang dikarakteristikan oleh suatu komitmen, pengendalian, dan persepsi terhadap masalah-masalah sebagai tantangan. Schultz dan Schultz (2002), menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat hardiness yang tinggi memiliki sikap yang membuat mereka lebih mampu dalam melawan stres. Individu dengan hardy personality percaya bahwa mereka dapat mengontrol atau mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidupnya. Mereka secara mendalam berkomitmen terhadap pekerjaannya dan aktivitas-aktivitas yang mereka senangi, dan mereka memandang perubahan sebagai sesuatu yang menarik dan menantang lebih daripada sebagai sesuatu yang mengancam. Maddi dan Kobasa (1982), mengemukakan bahwa individu yang mempunyai kepribadian tahan banting memiliki kontrol diri, komitmen, dan siap dalam menghadapi tantangan artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri maupun di luar diri dilihat sebagai suatu kesempatan untuk tumbuh dan bukan sebagai suatu ancaman terhadap dirinya. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Nurtjahjanti (2011) yang menjelaskan faktor individu memiliki kepribadian tahan banting yakni bahwa individu dapat mengendalikan peristiwa yang mereka temui, individu sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam kehidupannya, individu memperlakukan perubahan dalam kehidupan sebagai sebuah tantangan. Kobasa dkk (1982) mengemukakan bahwa aspek-aspek kepribadian tahan banting meliputi: a. Control (kontrol) Control adalah keyakinan bahwa individu dapat mempengaruhi kejadiankejadian dalam hidupnya. Individu dapat mengontrol atau mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang dialami dengan pengalaman. Individu yang memiliki kontrol kuat lebih cenderung meramalkan peristiwa sehingga dapat mengurangi
keterlukaan individu pada situasi yang menghasilkan stres. Individu yang memiliki ciri ini juga akan selalu optimis dalam menghadapi hal-hal diluar individu. b. Commitment (komitmen) Komitmen menceminkan sejauhmana seorang individu terlibat dalam apapun yang sedang ia lakukan. Orang yang berkomitmen memiliki suatu pemahaman akan tujuan dan tidak menyerah di bawah tekanan karena mereka cenderung menginvestasikan diri mereka sendiri dalam situasi tersebut. c. Challenge (tantangan) Challenge digambarkan dengan keyakinan bahwa perubahan merupakan suatu bagian yang normal dari kehidupan. Oleh karena itu, perubahan dipandang sebagai suatu kesempatan untuk pertumbuhan dan perkembangan dan bukan sebagai ancaman. Perubahan tersebut dapat diantisipasi sebagai suatu stimulasi yang berguna bagi perkembangan diri individu. Individu yang mempunyai karakter challenge cenderung menganggap hidup sebagai suatu tantangan yang menyenangkan dan dinamis, serta mempunyai kemauan untuk maju. Dampak kepribadian tahan banting menurut Maddi dan Kobasa (Bisonnette, 1998) menjelaskan dampak-dampak kepribadian tahan banting pada kesehatan mental adalah menengahi penilaian kognitif individu pada situasi yang penuh stres dengan strategi penanganannya. Secara spesifik, Tartaskv (Bisonnette, 1998) menambahkan kepribadian tahan banting merubah dua komponen penilaian, yaitu mengurangi penilaian pada ancaman dan meningkatkan harapan seseorang bahwa upaya penanggulangan akan berhasil. Usaha untuk mengurangi atau bahkan mencegah akibat-akibat yang ditimbulkan stres adalah dengan memiliki sikap optimis dan kepribadian tahan banting. Sikap optimis dan kepribadian tahan banting yang dimiliki oleh penyandang difabel memberikan kekuatan untuk tetap menjalankan kehidupannya. Hasil penelitian Nurtjahjanti (2011) membuktikan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi optimisme seseorang adalah kepribadian hardiness. Individu yang memiliki kepribadian tahan banting akan tetap kuat dan tegar dalam menghadapi perubahan dalam hidupnya baik yang diinginkan maupun tidak diinginkan, individu juga mempunyai komitmen yang kuat serta menganggap ancaman sebagai tantangan dalam hidupnya yang harus dijalankan. Hal ini didukung oleh penelitian Hadjam, dkk. (2004) bahwa individu yang mempunyai kepribadian tahan banting akan tetap tegar, dapat menyesuaian diri dengan sehat, ada kekuatan dan tetap tabah serta berusaha untuk menerima keadaan dirinya dengan baik, begitu pula dengan penyandang difabel akibat gempa. Penyandang difabel akibat gempa untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan diharapkan mempunyai kepribadian tahan banting. Penyandang difabel yang memiliki kepribadian tahan banting yang kuat akan beradaptasi secara lebih efektif terhadap kejadian yang penuh stres, individu dapat menengahi penilaian kognitif individu pada situasi yang penuh stres, mengurangi penilaian pada ancaman dan meningkatkan harapan individu bahwa upaya penanggulangan
akan berhasil. Dengan kata lain orang-orang dengan kepribadian ini tidak mudah lari pada penyesuaian yang adaptif (Syuri, 2008). Kepribadian tahan banting menjadi faktor penting yang mendukung penyandang difabel dalam penerimaan dirinya. Hadjam dkk. (2004), menjelaskan individu yang memiliki kepribadian tahan bating akan tetap tegar, dapat menyesuaikan diri dengan sehat, mempunyai kekuatan serta berusaha untuk menerima keadaan dirinya dengan baik, begitu pula dengan penyandang difabel yang memiliki keterbatasan dalam melakukan suatu pekerjaan. Pemberitaan yang negatif dan diskriminasi yang kerap kali terjadi pada difabel membuat mereka terganggu secara emosi dan kepribadian, salah satunya adalah sulit menerima keadaan diri yang sebelumnya normal menjadi memiliki keterbatasan secara fisik. Kondisi yang tidak sama dengan orang normal lain seringkali membuat mereka menjadi tertutup dan rendah diri, merasa kehidupannya seolah sudah berakhir. Oleh karena itu, apabila kepribadian tahan banting itu ada pada penyandang difabel, diharapkan dapat menerima dirinya apa adanya walaupun fisiknya tidak normal seperti dulu dan diharapkan dapat mengubah keadaan dengan cara mengoptimalkan potensi lain yang ada pada dirinya. Untuk mengatasi tekanan-tekanan yang dihadapi penyandang difabel dibutuhkan sikap atau kepribadian yang dapat mengatasinya. Kobasa (1982) menyatakan kepribadian tahan banting merupakan susunan karakteristik yang memiliki fungsi sebagai sumber kekuatan saat individu menemui kejadian yang menimbulkan stres. Kreitner dan Kinicki (2005) menjelaskan bahwa individu yang memiliki kepribadian tahan banting memiliki kontrol pribadi, komitmen dan siap dalam menghadapi tantangan, artinya perubahan-perubahan yang terjadi pada penyandang difabel akibat gempa dilihat sebagai suatu kesempatan untuk tumbuh dan bukan suatu ancaman terhadap dirinya. Penelitian Saleh (2011) menyebutkan bahwa kepribadian tahan banting mempunyai peran dalam menumbuhkan optimisme masa depan. Hadjam dkk. (2004), menjelaskan individu yang memiliki kepribadian tahan banting akan tetap tegar, dapat menyesuaikan diri dengan sehat, mempunyai kekuatan serta berusaha untuk menerima keadaan dirinya dengan baik, begitu pula dengan penyandang difabel yang memiliki keterbatasan dalam melakukan suatu pekerjaan. Belajar menerima keadaan diri bukanlah suatu hal yang mudah terlebih bagi difabel akibat gempa, untuk mencapai penerimaan diri individu harus bisa memotivasi diri sendiri sehingga individu bisa menjalani hidup dengan normal tanpa terbebani dengan keterbatasan fisiknya. Oleh karena itu individu yang mempunyai kepribadian tahan banting yang baik lebih dapat menerima keadaan dirinya karena individu yang mempunyai penerimaan diri yang baik akan mempunyai kemampuan untuk menerima tanggung jawab, percaya terhadap kemampuan diri, memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri serta menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Selain itu menurut hasil penelitian Musyafak (2009) seseorang yang memiliki kepribadian tahan banting ketika dihadapkan pada masalah yang sulit, individu tersebut menghadapinya dengan cara penerimaan diri yang tinggi, koping yang bagus dalam menyelesaikan masalah yang menekan dirinya, menyesuaikan
diri dengan keadaan barunya dengan keadaan yang terbatas menurut padangan orang lain. Kepribadian tahan banting atau ketabahan mampu membawa individu pada pengolahan coping stres yang tepat, sehingga permasalahan-permasalahan secara psikis dapat diatasi. Brook & Goldstein (2009) juga menyatakan bahwa peran kepribadian yang tangguh dan positif dalam diri individu akan sangat membantu proses penerimaan dirinya sehingga dapat mengarahkan perasaan, pemikiran, dan perilaku yang mendukung proses individu dalam menjalani kehidupan dengan keterbatasannya. Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesis yang diajukan adalah “ada hubungan positif antara kepribadian tahan banting dengan penerimaan diri pada difabel akibat gempa Yogyakarta. Artinya semakin tinggi kepribadian tahan banting difabel akibat gempa maka semakin tinggi penerimaan dirinya, dan sebaliknya, semakin rendah kepribadian tahan banting difabel akibat gempa maka semakin rendah penerimaan dirinya.
METODE PENELITIAN Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah penyandang difabel yang mengalami kecacatan tubuh secara permanen yang diakibatkan kejadian gempa bumi 27 Mei 2006 berjumlah 60 orang, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Berusia antara 20 sampai 65 tahun 2. Pendidikan tidak sekolah sampai SMA 3. Mengalami kecacatan berat sampai ringan yang tinggal Kecamatan Pleret, Bantul, Pundong, Jetis, Sewon, Piyungan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Kepribadian Tahan Banting terdiri dari 24 pernyataan, dan skala penerimaan diri terdiri dari 24 pernyataan. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestiminasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement. Validitas isi menunjukkan sejauhmana aitem-aitem tes mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan menunjukkan sejauhmana aitem-aitem tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (Azwar, 2010). Azwar (2010) berpendapat bahwa kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelai aitem total, biasanya digunakan batasan (rit) ≥ 0,3. Aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,3 maka daya pembedanya dianggap memuaskan, sedangkan aitem yang harga pembedanya kurang dari 0,3 maka dianggap sebagai aitem yang daya diskriminasinya rendah. Sebelum pengambilan data dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji coba terhadap alat ukur yang akan dipakai. Hasil uji coba tersebut dianalis untuk mengetahui reliabilitas alat ukur. Metode estimasi reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal, yaitu pendekatan yang hanya memerlukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek penelitian (single trial administration) karena pendekatan ini memiliki
nilai praktis dan efisiensi yang tinggi. Pengukuran reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan formula alpha (Cronbach). Analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi product moment dar Pearson. Sebelum melakukan analisis data menggunakan teknik korelasi product moment, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Statistik SPSS for Windows Release 17.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini data yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara kepribadian tahan banting dengan penerimaan diri pada difabel akibat gempa Yogyakarta adalah dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Sebelum melakukan analisis data menggunakan teknik product moment, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Dengan hasil sebagai berikut: Tabel 1: Hasil Uji Normalitas Variabel skor KS-Z p (Sig) Keterangan Penerimaan Diri 0,685 0,736 Normal Kepribadian Tahan Banting 1,124 0,160 Normal Uji normalitas dilakukan untuk memastikan memastikan bahwa tidak ada perbedaan sebaran skor variabel antara sampel dan populasinya, dengan kata lain diharapkan sebaran skor suatu variabel memiliki ciri-ciri yang sama dengan populasinya, yaitu mengikuti kurva normal. Dalam penelitian ini pengujian normalitas sebaran dilakukan dengan menggunakan teknik one sample Kolmogorov-Smirnov (KS-Z). Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran adalah jika taraf signifikansi (p) > 0,05 maka sebenarnya normal, dan jika taraf signifikansi (p) < 0,05 maka sebenarnya tidak normal. Berdasarkan hasil uji normalitas pada tabel di atas variabel penerimaan diri memiliki indeks normalitas dengan p (Sig) = 0,736 (p > 0,05) dan kepribadian tahan banting memiliki indeks normalitas dengan p (Sig) = 0,160 (p > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing variabel memiliki data yang terdistribusi normal.
Tabel 2: Hasil Uji Linieritas Linearity Deviation from Linearity F P F p Penerimaan diri dengan 0,18 123,68 0,000 1,400 kepribadian tahan banting 1 Variabel
Keterangan
Linier
Uji linieritas dilakukan untuk memastikan bahwa antara masing-masing variabel bebas dengan variabel tergantung dapat dihubungkan dengan garis lurus, jika dapat membentuk sebuah garis lurus maka variabel bebas dan variabel tergantung tersebut dapat dikorelasikan. Dikatakan linier jika pada linearity harga p < 0,05 dan pada deviation from linearity harga p > 0,05. Berdasarkan hasil pengujian linearitas variabel penerimaan diri dan kepribadian tahan banting diperoleh nilai F linieritas (F) sebesar 123,68 dengan taraf signifikan (p) sebesar 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan yang linear antara variabel kepribadian tahan banting dan penerimaan diri. Berdasarkan hasil analisis product moment diperoleh nilai koefisien korelasi antara kepribadian tahan banting dengan penerimaan diri adalah rxy = 0,802 dengan p (Sig) = 0,000 (p < 0,01) hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat signifikan antara variabel penerimaan diri dengan kepribadian tahan banting yang sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti. berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa kepribadian tahan banting mempengaruhi penerimaan diri pada difabel akibat gempa seperti pendapat yang dikemukakan oleh Brooks & Goldstein (2009) yang menyatakan bahwa peran kepribadian yang tangguh dan positif dalam diri individu itu sendiri akan sangat membantu proses penerimaan dirinya sehingga dapat mengarahkan pada perasaan, pemikiran, dan perilaku yang mendukung proses selama menjalani kehidupan. Dengan demikian difabel akibat gempa yang memiliki kepribadian tahan banting yang tinggi akan mempunyai penerimaan diri yang tinggi dan sebaliknya apabila kepribadian tahan banting yang dimiliki rendah maka penerimaan dirinya juga rendah. Hasil analisis di atas sejalan dengan pernyataan Maddi (2006) bahwa seseorang ketika mengalami tekanan hidup yang tidak menyenangkan individu memiliki tenaga perlawanan untuk bertahan yang tercermin dari karakteristik kepribadiannya. Karakteristik kepribadian ini akan tercermin dari cara-cara individu tersebut dalam merasa, berpikir maupun bertindak. Karakteristik kepribadian positif yang dapat membantu proses penerimaan diri secara sehat adalah kepribadian tahan banting. Berdasarkan penelitian (Musyafak, 2009) kepribadian tahan banting menempatkan individu tersebut mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi. Penanggulangan tegangan yang tepat ditentukan agar subjek dapat menyesuaikan dirinya dengan kondisi setelah difabel. Individu yang dapat menyesuaikan diri mampu membawa dirinya pada ketenangan. Penerimaan yang begitu baik pada diri subjek membuatnya semakin matang dalam ketabahan yang terjadi dalam dirinya. Individu lebih memilih coping stres yang berfokus pada emosi yang pada akhirnya membawa individu pada proses penyesuaian. Di dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa kepribadian tahan banting yang dimiliki penyandang difabel dapat membuat individu tersebut lebih kuat untuk menghadapi masalah yang menimbulkan stres. Pernyataan tersebut sejalan dengan sebuah penelitian (Kreitner & Kinichi, 2005) yang mengungkapkan bahwa individu yang tahan banting dinyatakan lebih rendah terserang penyakit psikologis dibanding dengan individu yang tidak memiliki kepribadian tahan banting yang
cenderung tingkat stresnya tinggi. Ditemukan makna positif dalam hidup, mampu menerima keadaan akan membantu individu mengatasi dari efek stres dan memprediksi masa depan yang lebih baik. Kepribadian tahan banting sangat penting bagi difabel akibat gempa. Kepribadian tahan banting berperan agar individu dapat mengontrol diri dalam memutuskan sesuatu, memiliki keinginan hidup, terbuka dengan perubahan, percaya dengan kemampuan diri, sehingga individu dapat menerima dirinya dan membuat hidupnya merasa bahagia. Secara khusus dapat dilihat masing-masing variabel, dari hasil analisis menunjukkan bahwa kepribadian tahan banting memberikan peranan yang positif terhadap penerimaan diri. Hasil analisis menunjukkan bahwa R squared (r2) = 0,644. Hal ini menunjukkan bahwa variabel kepribadian tahan banting memberikan sumbangan sebesar 64,4 % dalam mempengaruhi variabel penerimaan diri pada difabel akibat gempa dan 35,6 % disebabkan faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penerimaan diri, yaitu pendidikan, dukungan sosial, pengalaman individu serta lingkungan keluarga serta masyarakat. Menurut Sari (Satyaningtyas, 2005) faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yaitu pendidikan dan dukungan sosial. Faktor lain menurut Hattena dan Paters (Monks, 2002) adalah pengalaman individu serta lingkungan keluarga dan masyarakat. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi hasil penelitian dapat berasal dari skala yang dibuat oleh peneliti dan subjek penelitian. Keterbatasan peneliti dalam membuat skala sehingga aitem kurang dipahami oleh subjek, ada kemungkinan subjek jenuh dengan cara mengisi skala karena subjek sering kali menjadi subjek penelitian sehingga ada kecenderungan subjek untuk menjawab sesuai dengan norma sosial pada umumnya tidak berdasarkan yang terjadi pada dirinya. Penerimaan diri pada penyandang difabel akibat gempa termasuk dalam ketegori tinggi yaitu sebesar 61,67%, ini dapat terlihat ketika dilakukan penggolongan ke dalam 3 kategorisasi, dengan demikian sebagian besar penyandang difabel memiliki penerimaan diri. Sedangkan pada variabel kepribadian tahan banting yang menunujukkan kategori tinggi yaitu 58,33%, hal tersebut dapat terlihat ketika dilakukan penggolongan ke dalam 3 kategorisasi, sebagian besar penyandang difabel kepribadian tahan banting tinggi, walaupun keadaan fisiknya tidak sempurna para penyandang difabel tetap berusaha mengatasi setiap permasalahan dalam hidup dan melakukan aktifitas yang hendak dicapai. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepribadian tahan banting dengan penerimaan diri pada difabel akibat gempa. Semakin tinggi kepribadian tahan banting maka semakin tinggi penerimaan diri pada difabel, sebaliknya semakin rendah kepribadian tahan banting maka akan semakin rendah pula penerimaan diri difabel. Sumbangan efektif kepribadian tahan banting dalam meningkatkan penerimaan diri pada
difabel adalah sebesar 64,4 % sedangkan sisanya sebesar 35,6 % merupakan sumbangan dari faktor-faktor lain di luar kepribadian tahan banting. Bagi penyandang difabel untuk tetap bisa memiliki kepribadian tahan banting dalam kehidupan sehari-hari agar dapat meningkatkan penerimaan dirinya sehingga penyandang difabel akibat gempa dapat menjalani kehidupan tanpa hambatan, dapat mengatasi tekanan dalam kehidupannya dan dapat mensyukuri setiap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penyandang difabel akibat gempa juga disarankan untuk bisa menerima dan menjalani perubahan dalam kehidupannya dengan ikhlas, menerima diri apa adanya. Hal ini akan membuat penyandang difabel tidak terlalu berpikir keras dalam menghadapi kekurangannya, sehingga mereka akan menerima diri apa adanya tanpa harus mengalami stres dan depresi. Bagi peneliti selanjutnya, yang tertarik untuk meneliti topik tentang kepribadian tahan banting dan penerimaan diri pada difabel diharapkan dapat mempertimbangkan variabel lain yang dapat memberikan kontribusi yang lebih positif terhadap penerimaan diri misalnya tingkat pendidikan, dukungan sosial, pengalaman individu serta lingkungan keluarga dan masyarakat. Peneliti lainnya diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pustaka dalam menjelaskan variabel kepribadian tahan banting dengan penerimaan diri dan perlu melakukan penelitian yang lebih luas dengan memperbanyak lokasi penelitiannya. Daftar Pustaka Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Bissonnette, M. 1998. Optimism, Hardiness, and Resiliency: A Review of the Literature. Prepared for the Child and Family Partnership Project. Brook, R. 1994. Children at Risk Fostering Resilience and Hope. American Journal of Orthopsychiatry. No. 64, 545-553. Brook, R & Goldstein, S. 2009. Rahasia Tahan Banting (terjemahan Burhan Wirasubrata). Jakarta:PT. Serambi Ilmu Semesta. Chaplin, J.P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. Cronbach, L.J. 1963. Educational Psychology. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Damayanti, S & Rostiani. (2003). Dinamika Emosi Penyandang Tunadaksa Pasca Kecelakaan. Jurnal Psikologi Ilmiah “ARKHE”. No. 1, 15-28. Gea, A. Wulandari, A. P & Babari. 2002. Relasi dengan Diri Sendiri. Jakarta: Gramedia. Hadjam, N.R., Martaniah, S.M., Prawitasari, J.E., dan Masrun. (2004). Peran Kepribadian Tahan Banting pada Gangguan Somatisasi. Anima vol 2 no 19, 122-135.
Hjelle, L.A., dan Ziegler, D.J, 1992, Personality Theories Basic Assumptions, Research, and Applications, Singapore, Mc Graw Hill International Book Company Hutapea, I. L. M. 2011. Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan Kobasa, S. C., Maddi, S. R., & Khan, S. 1982. Hardiness and Health: Persepective Study. Journal of Personality and Sosial Psychology. 42: 168-177. Kreitner, R. & Kinicki, A. 2005. Perilaku Organisasi. Buku 2. Edisi 5. Alih Bahasa: Erly Suandy. Jakarta: Salemba Empat. Monks, F,J & Haditono. (2002). Psikologi Perkembangan: Pengantar dari Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Musfiroh, S. (2010). Koping stres pada Difabel Korban Gempa Bumi 27 Mei 2006. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Musyafak, F. A. (2009). Aku Bertahan (Sebuah Studi Fenomenologi Tentang Ketabahan Seorang Penderita Penyakit Stroke). Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Nurtjahjanti H dan Ratnaningsih.2011. Hubungan Kepribadian Hardiness dengan Optimisme pada calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) wanita di BLKLN Disnakertrans Jawa Tengah. Jurnal Psikologi UNDIP Vol. 10, No. 2. Saleh, R. (2011). Hubungan Antara Kepribadian Hardiness dengan Optimisme Masa Depan pada Remaja Tuna Rungu. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammdiyah Surakarta. Santrock, J.W. 2002. Life Span Development Perkembangan Masa Hidup (edisi 5 jilid II). Jakarta : Erlangga Sartain, North, Strang dan Chapman. (1973). Psychology : Understanding Human Behavior. SINGAPORE, Mc. Graw Hill, Inc. Satyaningtyas, R. (2005). Penerimaan Diri Dan Kebermaknaan Hidup Penyandang Cacat Fisik. Jurnal Psik-Buana, Vol. 3, No. 2. Schultz, D. dan Schultz, S. E. 2002. Psychology and Work Today. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall. Syuri. (2008). Hubungan Kepribadian Hardiness dengan Pola Asuh Permissive Ibu Single Parent. Skripsi. Surakarta: Fakultas Psikologi UMS. http://en.wikipedia.org/wiki/Accident. 20 Mei 2012.