1
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENERIMAAN DIRI PENDERITA GAGAL GINJAL TERMINAL
Muhammad Dody Kurniawan Rina Mulyati
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal. Semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri subjek, demikian pula sebaliknya. Subjek dalam penelitian ini adalah para penderita gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, yang berusia antara 20 – 60 tahun. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode skala untuk mengetahui dukungan sosial yang dirasakan dan penerimaan diri yang diperoleh, untuk Skala Dukungan Sosial berjumlah 128 aitem, mengacu pada aspek-aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh House dan Kahn (1985) dan Skala Penerimaan Diri yang berjumlah 60 aitem mengacu pada delapan karakteristik penerimaan diri yang diungkapkan Sheerer (Cronbach, 1963). Data penelitian dianalisis dengan teknik uji korelasi statistik non-parametrik dari Spearman-rho karena sebaran data tidak normal dengan bantuan program SPSS versi 11.5. Hasilnya ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada penderita gagal ginjal terminal, dibuktikan dengan nilai korelasi sebesar 0,503 dengan p = 0,000 (p<0,01), yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita maka semakin tinggi pula tingkat penerimaan dirinya, begitu pula sebaliknya. Subjek umumnya memiliki tingkat penerimaan diri yang tergolong sedang. Kata kunci : Dukungan Sosial, Penerimaan Diri, Penderita Gagal Ginjal Terminal
2
PENGANTAR Latar Belakang Permasalahan Penderita penyakit yang sudah sampai pada tahap terminal mengalami peningkatan yang cukup fantastis. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan sekaligus perawatan dan pengobatan yang dilakukan hanya sekedar untuk menjaga kondisi fisik penderita dengan tujuan untuk memperpanjang usia penderita. Gagal ginjal terminal dan berbagai jenis penyakit terminal lainnya seperti jantung, kanker, diabetes mellitus dan HIV/AIDS (Taylor, 1995), kasusnya di seluruh dunia mengalami peningkatan sebanyak
di atas 50%
4500
kasus
dan di Indonesia sendiri di tahun 2004 ditemukan
(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm
030106) dan mengalami peningkatan 20% tiap tahunnya (Suhardjono, 2004). Penyakit gagal ginjal terminal dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan dan tidak mengenal batas usia. Umumnya penderita tidak menyadari bahwa dirinya menderita penyakit gagal ginjal terminal dikarenakan penyakit ini berlangsung bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun seiring dengan menurunnya fungsi ginjal dari penderita. Umumnya penderita baru mengetahui bahwa dirinya menderita gagal ginjal ketika sudah sampai pada tahap terminal di mana fungsi ginjalnya hanya tinggal kurang dari 10% (http://www.kompas.com), dari sumber lain dikatakan kurang dari 5%. Penderita gagal ginjal terminal membutuhkan terapi pengganti ginjal (TPG) untuk dapat menggantikan fungsi ginjalnya di mana sampai saat ini terdapat dua macam terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis atau dalam istilah yang awam dikenal dengan terapi cuci darah dan transplantasi ginjal yang dapat diperoleh dari donor hidup maupun jenazah (Roesli, 2004).
3
Ketika seseorang divonis menderita gagal ginjal terminal maka ia harus menjalankan terapi hemodyalisis secara rutin seumur hidup sebanyak satu sampai tiga kali seminggu tergantung kondisi ginjal penderita. Mereka tidak hanya mengalami penderitaan secara fisik namun juga penderitaan mental seperti gangguan kecemasan, depresi atau bahkan psikotik. Umumnya gejala yang lebih sering ditunjukkan oleh penderita adalah depresi dan kekecewaan Soewadi (Pitoyo, 2003), karena di satu sisi harus bergantung seumur hidup pada mesin dialisis dan di sisi lain ia harus tetap menjalankan peran dan aktivitas dalam kehidupannya. Kesulitan lain yang dialami penderita gagal ginjal terminal adalah untuk dapat menjalani kehidupan dengan sebagaimana mestinya. Dari fakta yang ditemui di lapangan, sebagian besar penderita gagal ginjal terminal harus menggunakan kursi roda untuk dapat berjalan dalam jarak yang cukup jauh, jika ingin naik atau turun dari tempat tidur harus digendong. Selain itu mereka juga sering mengeluhkan banyak hal termasuk kondisi dan kemampuan fisik mereka yang sudah banyak mengalami penurunan— mereka menjadi merasa tidak bisa mandiri sehingga berpikiran bahwa dirinya hanya merepotkan orang lain, selain itu mereka juga merasa bahwa dirinya tidak memiliki hal yang dapat dibanggakan. Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang tanpa ada intervensi pada sisi psikologis mereka, maka bisa menjadikan mereka sulit untuk menerima dirinya, tidak menyenangi dirinya, mencemooh diri sendiri, merasa orang lain menjauhi dan menghina dirinya, tidak percaya pada perasaan dan sikapnya sendiri. Gejala-gejala yang ditunjukkan tersebut menurut Hurlock (1973) merupakan tanda rendahnya tingkat penerimaan diri. Penerimaan diri menurut Pannes (Hurlock, 1973) adalah tingkat di mana ia menerima karakteristik pribadinya, ia merasa mampu dan mau untuk hidup
4
sebagaimana mestinya. Hurlock (1973), berpendapat bahwa individu yang menerima karakteristik pribadinya, maka ia akan menyukai dirinya dan merasa orang lain juga akan menyukai kualitas yang ada pada dirinya. Lebih lanjut Hjelle dan Ziegler (Sari dan Nuryoto, 2002) mengatakan bahwa penerimaan diri adalah sikap individu mencerminkan
toleransi
terhadap
frustasi
atau
kejadian-kejadian
yang
menjengkelkan dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Kemampuan
penerimaan diri yang dimiliki seseorang berbeda-beda
tingkatannya sebab kemampuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, latar belakang pendidikan, pola asuh orang tua dan dukungan sosial. Jika mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Loscoco & Spitze (Taylor dkk.,1994) yang mengatakan bahwa dukungan sosial membantu baik laki-laki maupun perempuan untuk mengelola stres di tempat kerja, dapat disimpulkan bahwa umumnya individu bisa lebih mudah menerima kondisi yang kurang menguntungkan yang dialaminya jika ia mendapatkan bantuan dari orang-orang terdekatnya. Selain itu dari hasil temuan yang ditemukan di lapangan sebagian besar penderita mengungkapkan bahwa mereka menginginkan dirinya selalu ditemani oleh anggota keluarga atau kerabat dekatnya dengan demikian mereka merasa bahwa mereka dapat merasa nyaman dan tetap dihargai walaupun dengan kondisi penyakit mereka. Bentuk dukungan bisa bermacam-macam seperti perhatian yang diberikan, materi yang bisa berupa uang dan barang atau alat yang bisa bermanfaat bagi orang tersebut, informasi terkait dengan masalah dan apresiasi atas perilaku yang bersifat positif yang berhasil dilakukan si penderita. Cohen dan Syme (1985) secara umum mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan bermanfaat atau menguntungkan yang diperoleh individu dari
5
orang lain baik berasal dari hubungan sosial struktural yang meliputi keluarga/teman dan lembaga pendidikan maupun berasal dari hubungan sosial yang fungsional yang meliputi dukungan emosi, informasi, penilaian dan instrumental. Mengacu pada pengertian dukungan sosial di atas, maka bisa diasumsikan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada masalah atau kesulitan hidup dan ia mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya berupa tersedianya orang yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan ketika sedang “down”, mendengarkan keluh kesah, memberikan informasi yang diperlukan, diajak berdiskusi dan bertukar pikiran maka orang tersebut akan merasa lebih nyaman, merasa diperhatikan, serta merasa memiliki tempat untuk berbagi keluh kesah yang dialami sehingga beban psikologis yang terasa berat, jika harus ditanggung sendirian, bisa lebih ringan. Demikian halnya jika dukungan sosial ini tidak ia peroleh, maka beban yang dialami orang tersebut akan terasa lebih berat sehingga bisa memunculkan stres dan frustasi saat menghadapi masa-masa sulitnya. Asumsi di atas ternyata didukung oleh hasil penelitian yang menyebutkan bahwa dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi penyebab timbulnya stres psikologis ketika menghadapi masa-masa sulit (Cohen & Wills, Kessler & McLeod, dan Littlefield dkk.) (Taylor dkk., 1994), Loscoco & Spitze (Taylor dkk., 1994) menambahkan bahwa dukungan sosial yang didapatkan mampu membantu karyawan laki-laki maupun perempuan untuk mengelola stres di tempat kerja. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Hasanat (1998) yang menyimpulkan bahwa dukungan sosial yang diperoleh penderita kanker akan menurunkan tingkat depresi penderita. Para penderita gagal ginjal terminal di mana hidupnya sangat tergantung pada mesin dialisis dengan harapan sembuh yang kecil dan dengan kondisi
6
kesehatannya yang membatasi aktifitasnya, diasumsikan mengalami tekanan dan rasa frustasi akibat penyakitnya. Mereka merasa tidak bisa mengaktualisasikan lagi potensinya selama ini sehingga mereka sulit untuk menerima keadaan dirinya. Lain halnya jika mereka bisa mendapatkan perhatian, cinta dan empati, mereka akan merasakan beban mereka terkurangi. Lebih jauh jika peralatan yang dibutuhkan untuk penopang hidupnya tersedia dan informasi yang lengkap tentang penyakit maupun perawatannya akan mengurangi ketidakpastian dan ketidakjelasan sehingga bisa memunculkan rasa aman dan tenang yang bisa membantu proses pemulihan kondisi mental penderita gagal ginjal terminal. Perhatian dan empati yang diberikan oleh lingkungan sekitar penderita seperti keluarga, dokter atau perawat serta temantemannya baik sesama penderita maupun rekan kerja dapat membantu penderita untuk dapat lebih menerima dirinya. Paparan di atas memunculkan asumsi bahwa dukungan sosial memiliki keterkaitan dengan kemampuan penderita gagal ginjal terminal untuk menerima dirinya dan kondisi yang menyertainya. Tetapi dari asumsi tersebut masih memunculkan pertanyaan apakah betul ada hubungan antara tingkat dukungan sosial dengan tingkat penerimaan diri penderita gagal ginjal terminal? Apakah tingkat dukungan yang semakin tinggi akan meningkatkan penerimaan diri penderita gagal ginjal terminal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Hubungan antara tingkat dukungan sosial dengan tingkat penerimaan diri penderita gagal ginjal terminal”.
7
METODE PENELITIAN Peneliti menggunakan subyek penelitian yaitu para penderita gagal ginjal terminal baik laki-laki maupun perempuan yang menjalani terapi hemodialysis rutin di R.S. PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan berusia 20 tahun sampai dengan lebih dari 50 tahun Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode
skala.
Skala
merupakan
konsep
psikologis
yang
menggambarkan aspek kepribadian inidividu. Jawaban pada skala psikologi merupakan refleksi dari keadaan diri subjek yang bersangkutan. Peneliti melakukan pengumpulan data sebanyak satu kali sebab peneliti menggunakan metode try-out terpakai— keterbatasan jumlah subjek dan keterbatasan kemampuan subjek dalam beraktifitas termasuk mengerjakan angket terkait dengan efek dari penyakit yang diderita. Terdapat dua macam alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Skala Penerimaan diri Skala penerimaan diri ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang tingkat penerimaan diri seorang penderita gagal ginjal terminal. Tingkat penerimaan diri seorang penderita gagal ginjal terminal ditunjukkan dengan jumlah skor yang diperoleh dari keseluruhan pernyataan yang diajukan. Skala penerimaan diri ini disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada teori Sheere (Cronbach, 1963) tentang ciri-ciri individu yang dapat dikatakan menerima dirinya— terdiri dari 60 butir pernyataan. Aitem-aitem dalam skala penerimaan diri ini disusun berdasarkan pada skala Likert yang terdiri atas lima alternatif jawaban yaitu sangat cocok, cocok, antara cocok dan tidak cocok (ragu-ragu), tidak cocok, dan sangat tidak cocok. Ketentuan
8
penilaian skor untuk jawaban pernyataan aitem favourable adalah lima untuk jawaban sangat cocok, empat untuk jawaban cocok, tiga untuk jawaban ragu-ragu, dua untuk jawaban tidak cocok dan satu untuk jawaban sangat tidak cocok. Sedangkan ketentuan untuk penilaian skor untuk jawaban aitem unfavourable adalah satu untuk jawaban sangat cocok, dua untuk jawaban cocok, tiga untuk jawaban ragu-ragu, empat untuk jawaban tidak cocok dan lima untuk jawaban sangat tidak cocok. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri penderita gagal ginjal terminal. Adapun karakteristik-karakteristik penerimaan diri yang diungkap oleh Sheere (Cronbach, 1963) meliputi: (a). Mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan, (b). Menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain, (c). Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, (d). Menerima pujian dan celaan secara objektif, (e). Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya, (f). Bertindak berdasarkan nilai dan standar yang ada dalam dirinya daripada dipengaruhi tekanan-tekanan dari luar, (g). Menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya, (h). Menempatkan dirinya sebagaimana manusia yang lain sehingga individu lain dapat menerima dirinya. 2. Skala Dukungan Sosial Skala ini bertujuan untuk mengetahui dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita gagal ginjal terminal. Dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita gagal ginjal terminal ditunjukkan oleh jumlah skor yang diperoleh dari keseluruhan pernyataan yang diajukan.
9
Aitem-aitem pernyataan dalam skala dukungan sosial ini disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada aspek-aspek dukungan sosial yang diungkapkan oleh House dan Kahn (Cohen dan Syme, 1985) meliputi (a). Dukungan emosional (emotional support); (b). Dukungan informatif (information support); (c). Dukungan alat (instrumental support); (d). Dukungan penghargaan (self appraisal). Yang kemudian masing-masing aspek dibagi lagi ke dalam tiga bagian berdasarkan sumber dukungan, yaitu keluarga, teman dan tenaga medis. Peneliti menyusun skala dukungan sosial yang terdiri 128 butir pernyataan. Masing-masing aspek dijabarkan dalam pernyataan yang dibagi ke dalam pernyataan favourable (bersifat mendukung) dan pernyataan unfavourable (bersifat tidak mendukung). Metode yang digunakan dalam penyusunan skala penelitian ini adalah metode Likert dengan lima alternatif jawaban yaitu tidak pernah, pernah, kadangkadang, sering dan selalu. Ketentuan penilaian skor untuk jawaban pernyataan aitem favourable adalah lima untuk jawaban selalu, empat untuk jawaban sering, tiga untuk jawaban kadang-kadang, dua untuk jawaban pernah dan satu untuk jawaban tidak pernah. Sedangkan untuk ketentuan penilaian skor untuk jawaban aitem unfavourable adalah satu untuk jawaban selalu, dua untuk jawaban sering, tiga untuk jawaban kadang-kadang, empat untuk jawaban pernah dan lima untuk jawaban tidak pernah. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita gagal ginjal terminal. Tujuan dilakukannya analisis data adalah untuk memudahkan dalam pembacaan data hasil penelitian yang masih berupa data kasar. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan statistik.Teknik statistik yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah teknik statistik
10
korelasi Spearman-Rho. Teknik ini digunakan karena dalam penelitian ini mencari korelasi antara variabel tergantung dengan variabel bebas dan. Proses analisisnya dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS for Windows 11.5.
11
HASIL PENELITIAN Setelah dilakukan pengambilan data terhadap subjek penelitian di Unit Haemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, maka diperoleh gambaran sebagai berikut : Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia No. Rentang Usia 1 20-30 tahun 2 31-40 tahun 3 41-50 tahun 4 51 tahun ke atas Total
Prosentase 18,18% 11,36% 31,81% 38,63% 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Frekuensi Terapi Haemodialisa No. Frekuensi HD Fungsi Ginjal Prosentase 1 1 Kali Seminggu 50% 11,36% 2 2 Kali Seminggu Di bawah 50% 81,82% 3 3 Kali Seminggu 0 - 5% 6,82% Total 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Fasilitas Asuransi yang Dimiliki No. Fasilitas ASKES Prosentase 1 ASKES Sosial 52,27% 2 ASKES Gakin 45,46% 3 Swasta 2,27% Total 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Ada Atau Tidaknya Komplikasi Penyakit No. Komplikasi Prosentase 1 Ada 54,55% 2 Tidak Ada 45,45% Total 100%
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan 1 SMU 2 Akademi 3 Sarjana
Prosentase 50% 15,91% 34,09%
12
Total
100%
Deskripsi Data Penelitian Variabel Penerimaan Diri Variabel
Penerimaan Diri
Skor Yang Diperoleh (Empirik) Min 126
Max 274
SD 34,501
Skor Yang Dimungkinkan (Hipotetik)
Mean 205,023
Min 60
Max 300
Mean 180
Kategorisasi Data Tingkat Penerimaan Diri No. Kategorisasi Norma 1 Tinggi x = 220 2 Sedang 140 = x < 220 3 Rendah X < 140 Deskripsi Data Penelitian Variabel Dukungan Sosial Variabel
Dukungan Sosial
Skor Yang Diperoleh (Empirik)
Skor Yang Dimungkinkan (Hipotetik)
Min 151
Min 128
Max 523
SD 59,656
Kategorisasi Tingkat Dukungan Sosial No. Kategorisasi 1 Tinggi 2 Sedang 3 Rendah
Mean 447,296
Max 640
Mean 384
Norma x = 469,3 298,7 = x < 469,3 x < 298,7
Distribusi Skor Tingkat Penerimaan Diri Subjek Penelitian No. Kategorisasi Norma 1 Tinggi x = 220 2 Sedang 140 = x < 220 3 Rendah X < 140
Presentase 31,81% 65,91% 2,28%
Distribusi Skor Tingkat Penerimaan Diri Antara Subjek Laki-laki dan Perempuan Subjek Laki-laki Subjek Perempuan No. Kategorisasi Norma Presentase Presentase 1 Tinggi x = 220 33,33% 27,27% 2 Sedang 140=x<220 66,67% 63,63% 3 Rendah x < 140 9,10% Distribusi Skor Tingkat Dukungan Sosial Yang Diterima Subjek No. Kategorisasi Norma Presentase
13
1 2 3 Distribusi Perbedaan dan perempuan
Tinggi x = 469,3 Sedang 298,7 = x < 469,3 Rendah x < 298,7 Tingkat Dukungan Sosial yang Diterima Antara
No.
Kategorisasi
Norma
1 2 3
Tinggi Sedang Rendah
x = 469,3 298,7=x<469,3 x < 298,7
Subjek Laki-laki Presentase 45,45% 51,52% 3,03%
45,45% 52,27% 2,28% Subjek laki-laki
Subjek Perempuan Presentase 45,45% 54,55% -
1. Uji Hipotesis Hasil analisis data menggunakan korelasi Spearman-rho pada program komputer SPSS for windows 11.5, sebab dari hasil uji normalitas yang dilakukan diperoleh sebaran yang tidak normal untuk variabel dukungan sosial. Hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara penerimaan diri dengan dukungan sosial memiliki angka korelasi sebesar 0,503 dengan p = 0,000 (p<0,01), maka hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri dapat diterima. 2. Analisis Tambahan a. Tidak terdapat perbedaan penerimaan diri subjek yang signifikan berdasarkan frekuensi hemodialisa. Nilai F hitung 1.036 dengan probabilitas 0.853 (p<0.05). b. Tidak ada perbedaan penerimaan diri yang signifikan antara subjek yang memiliki komplikasi penyakit dengan yang tidak. Nilai t hitung untuk komplikasi penyakit yang diderita oleh subjek adalah sebesar 0.555 dengan probabilitas 0.461 (p<0.05) c. Terdapat perbedaan penerimaan diri subjek berdasarkan tingkat pendidikan. F hitung adalah 5.136 dengan probabilitas 0.010 (p<0.05).
14
d. Tidak terdapat perbedaan penerimaan diri subjek yang signifikan berdasarkan usia. Nilai F hitung adalah 0.408 dengan probabilitas 0.748 (p<0.05). e. Tidak ada perbedaan penerimaan diri yang signifikan antara subjek yang sumber pembiayaan terapi hemodialisanya berasal dari askes sosial maupun askes gakin. Nilai t hitung 2.374 dengan probabilitas 0.131 (p<0.05). f.
Tidak ada perbedaan penerimaan diri yang signifikan antara subjek berdasarkan jenis kelamin. Nilai t hitung 0.684 dengan probabilitas 0.413 (p<0.05).
g. Tidak terdapat perbedaan penerimaan diri subjek yang signifikan berdasarkan lamanya sakit. Nilai F hitung adalah 0.082 dengan probabilitas 0.921 (p<0.05). Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat penerimaan diri penderita gagal ginjal terminal terkait dengan tersedianya dukungan sosial (r = 0,503 dengan p = 0,000) di mana semakin besar dukungan sosial yang diterima oleh penderita gagal ginjal terminal ternyata semakin meningkatkan penerimaan diri mereka dan semakin rendahnya dukungan sosial maka semakin sulit para penderita tersebut untuk menerima kondisi dan penyakitnya. Penerimaan diri pada penelitian ini dikaitkan dengan dukungan sosial karena dukungan sosial dapat bermanfaat bagi seseorang antara lain, dalam memperkuat atau menaikkan perasaan harga dirinya, memberikan informasi yang relevan terhadap masalah yang dihadapi dan alternatif penyelesaiannya, memberi nasehat ataupun tuntunan, berfungsi bagi individu dalam melakukan bermacam-macam aktifitas sosialnya, dan memberikan dorongan kepada individu dalam mengambil keputusan serta memberikan keyakinan bahwa masalah yang dihadapi dapat terselesaikan, Wills (Cohen dan Syme, 1985). Selanjutnya dukungan sosial dapat dikatakan sebagai suatu keadaan di mana individu merasa diperhatikan, dicintai,
15
dihargai dan dipercayai oleh orang lain— berupa dukungan instrumental, dukungan informatif, dukungan emosional dan penilaian yang bermanfaat bagi individu tersebut sebab dukungan-dukungan tersebut dapat membantu individu untuk memecahkan masalahnya. Penderita gagal ginjal terminal akan mengalami banyak perubahan dalam kondisi fisik maupun psikologisnya diakibatkan oleh penyakit yang dideritanya, oleh karena itu bagi penderita yang tidak dapat menerima perubahanperubahan tersebut antara lain akan menjadi membenci dirinya sendiri dan tidak mempunyai kepercayaan akan perasaan dan sikapnya sendiri (Hurlock, 1973). Akan tetapi berbeda halnya dengan penderita yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi karena penderita akan mampu untuk memperkuat atau menaikkan perasaan harga dirinya yang diperoleh dari dukungan yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Dukungan sosial yang diperoleh dapat berupa saran-saran untuk mencari jalan kesembuhan, kehangatan, perhatian, empati, semangat dan motivasi serta bantuan materi dan alat kesehatan yang diperlukan. Melalui dukungan sosial tersebut penderita akan dapat mengurangi tekanan psikologis yang diakibatkan oleh penyakitnya (Brehm dan Kassin, 1990). Ketika penderita mampu untuk mengurangi tekanan psikologis yang diakibatkan oleh penyakitnya maka penderita tersebut mampu untuk dapat lebih menerima dirinya. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang diungkapkan oleh Sari dan Nuryoto (2002) yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah terdiri dari dukungan sosial dan pendidikan. Dari angka korelasi 0,503 yang telah disebutkan di atas antara dukungan sosial dengan penerimaan diri, maka dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini penerimaan diri dipengaruhi oleh dukungan sosial sebesar 25,30% sementara itu sebesar 74,70% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya lamanya sakit, tingkat
16
pendidikan, usia, jenis kelamin, frekuensi hemodialisa, ada tidaknya komplikasi penyakit, pembiayaan terapi. Oleh karena itu peneliti dalam penelitian ini mencoba melakukan analisis tambahan mengenai faktor-faktor tersebut di atas untuk mengetahui apakah faktorfaktor tersebut mampu memberikan pengaruh terhadap penerimaan diri penderita gagal ginjal terminal. Pada faktor lamanya sakit diperoleh hasil (F=0.082; p=0.921) untuk penerimaan diri dan (F=0.753; p=0.477) untuk dukungan sosial yang berarti bahwa lamanya sakit tidak cukup memberikan dampak terhadap penerimaan diri dan dukungan sosial penderita gagal ginjal terminal. Hal ini dikarenakan belum tentu semakin lama seseorang menderita penyakit terminal maka semakin baik ia dalam menerima keadaan dirinya dan memperoleh dukungan sosial yang lebih baik, bahkan mungkin sebaliknya penderita tersebut akan merasa jenuh dan semakin stres, yang juga berakibat penderita tersebut bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya Sedangkan pada faktor tingkat pendidikan diperoleh hasil (F=5.136; p=0.010) di mana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang ternyata mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap kemampuan penderita gagal ginjal terminal dalam menerima keadaan diri dan kondisi penyakitnya. Dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi maka seseorang akan lebih mampu untuk dapat mengenali
kelebihan-kelebihan
dan
kekurangan-kekurangan
yang
dimilikinya
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik di masyarakat, Hurlock (1973). Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sari dan Nuryoto (2002) yang menyebutkan
bahwa
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
terbentuknya
penerimaan diri adalah tingkat pendidikan. Selain berpengaruh pada kemampuan
17
menerima keadaan diri penderita gagal ginjal terminal, ternyata tingkat pendidikan juga memiliki pengaruh terhadap tingkat dukungan sosial yang diperoleh penderita gagal ginjal terminal, dari hasil analisis yang diperoleh (F=4.901; p=0.012) berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan penderita maka akan semakin banyak pula jumlah dukungan sosial yang diperolehnya, hal tersebut dapat terjadi karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin luas pula pergaulan dan lingkungan sosialnya (Sari dan Nuryoto, 2002). Untuk faktor usia diperoleh hasil (F=0.408; p=0.748) di mana ternyata pada penelitian ini faktor usia tidak cukup memberikan dampak terhadap penerimaan diri penderita gagal ginjal terminal. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Spivack, dan Engel (Jersild, 1963) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat penerimaan diri seseorang semakin baik jika seiring dengan usianya. Hal ini diakibatkan jumlah penderita gagal ginjal terminal yang menjadi responden dalam penelitian ini hanya 44 orang dengan rentang usia 20 sampai dengan lebih dari 51 tahun, sehingga peneliti menyadari keberagaman responden di lapangan tidak dapat dikontrol. Sementara untuk dukungan sosial diperoleh hasil (F=1.041; p=0.385) yang juga menunjukkan bahwa faktor usia tidak memberikan dampak yang cukup terhadap tingkat dukungan sosial yang diperoleh penderita gagal ginjal terminal. Pada faktor jenis kelamin diperoleh hasil (t=0.684; p=0.413) untuk penerimaan diri dan (t=0.112; p=0.739) untuk dukungan sosial di mana jenis kelamin tidak cukup memberikan dampak baik terhadap kemampuan penderita gagal ginjal terminal dalam menerima dirinya dan penyakit yang dideritanya maupun dukungan sosial yang diperoleh mereka, hal ini diakibatkan jumlah responden yang hanya 44 orang sehingga peneliti menyadari keterbatasan jumlah responden mempengaruhi hasil analisis tambahan yang dilakukan.
18
Pada faktor frekuensi hemodialisa diperoleh hasil (F=1.036; p=0.853) di mana frekuensi hemodialisa tidak memberikan dampak yang cukup dalam kemampuan penderita gagal ginjal terminal dalam menerima keadaan diri dan kondisi penyakitnya. Berbeda dengan variabel penerimaan diri, pada variabel dukungan sosial diperoleh hasil (F=5.765; p=0.006) di mana faktor frekuensi hemodialisa memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap jumlah dukungan sosial yang diperoleh penderita gagal ginjal terminal, hal ini diakibatkan oleh semakin tinggi frekuensi hemodialisa penderita dalam satu minggu maka semakin tinggi pula jumlah interaksi antara penderita gagal ginjal terminal dengan tenaga paramedis serta dengan penderita dan keluarga penderita yang lain hal ini secara langsung memperluas lingkungan sosial penderita. sehingga memungkinkan penderita untuk dapat memperoleh dukungan sosial yang lebih baik. Hal tersebut mendukung ungkapan Wortman dan Conway (Farhati dan Rosyid, 1996) yang mengatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari partner, anggota keluarga, teman, dokter serta ahli-ahli di bidang keahlian yang sesuai. Mengingat dari nilai mean yang didapat bahwa ternyata yang paling banyak memperoleh dukungan sosial bukanlah sujek dengan frekuensi HD tiga kali seminggu tetapi dua kali seminggu hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diperoleh berasal dari sumber dukungan yang bersifat artifisial (dokter dan tenaga paramedis) sehingga hampir dapat dipastikan bahwa dukungan yang diberikan sulit dirasakan oleh subjek, tidak bersifat spontan, terjadi karena kebetulan dan cenderung terbebani Rook dan Dooley (Kuntjoro, 2002). Sedangkan pada faktor ada tidaknya komplikasi penyakit diperoleh hasil (t=0.555; p=0.461) di mana ada tidaknya komplikasi dengan penyakit lain tidak memberikan pengaruh yang cukup pada kemampuan penderita gagal ginjal terminal dalam menerima keadaan dan kondisi penyakitnya. Dengan hanya mengidap
19
penyakit terminal para penderita gagal ginjal terminal sudah mengalami penderitaan secara fisik dan mental seperti gangguan kecemasan, depresi atau bahkan psikotik dan pada umumnya gejala yang lebih sering ditunjukkan oleh penderita adalah depresi dan kekecewaan (Soewadi, 2003), karena di satu sisi harus bergantung seumur hidup pada mesin dialisis dan di sisi lain ia harus tetap menjalankan peran dalam kehidupannya yang menuntut dirinya untuk tetap dapat beraktifitas. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa baik memiliki komplikasi atau tidak penderita gagal ginjal terminal sudah sulit untuk menerima keadaanya dan kondisi penyakitnya sehingga ada atau tidak komplikasi penyakit tidak memberikan dampak yang cukup berpengaruh. Sementara itu faktor ada tidaknya komplkasi untuk variabel dukungan sosial diperoleh hasil (t=4.046; p=0.051) di mana faktor ada tidaknya komplikasi juga tidak memberikan dampak yang cukup terhadap dukungan sosial yang diterima oleh penderita gagal ginjal terminal. Berikutnya pada faktor pembiayaan terapi, diperoleh hasil (t=2.374; p=0.131) untuk penerimaan diri dan (t=3.059; p=0.088) untuk dukungan sosial, di mana faktor pembiayaan terapi tidak memberikan dampak yang cukup, baik terhadap kemampuan menerima keadaan diri dan kondisi penyakitnya maupun jumlah dukungan sosial yang diperoleh. Hal ini diakibatkan oleh meskipun memiliki nama jenis asuransi pembiayaan kesehatan yang berbeda namun pada dasarnya fasilitas yang diperoleh untuk pembiayaan terapi hemodialisa bersifat sama, yang membedakan hanya fasilitas pembiayaan pelayanan kesehatan yang lain di luar terapi hemodialisa. Pada penelitian yang dilakukan dalam waktu yang singkat ini peneliti merasa bahwa terdapat beberapa kelemahan, pertama pada saat pengambilan data penelitian, peneliti menyebar angket kepada para subjek pada saat subjek sedang
20
menjalani proses haemodialisa, umumnya ketika seorang pasien sedang menjalani proses HD mereka merasakan keluhan-keluhan seperti pusing, mual, menggigil, batuk-batuk, muntah, tidak mengerti bahasa Indonesia dan sebagainya, sehingga ketika peneliti memberi petunjuk pengisian angket ada beberapa subjek yang tidak dapat memperhatikan penjelasan dari peneliti dengan baik, namun umumnya para subjek didampingi oleh keluarga yang mengantar atau menemani selama proses HD tersebut sehingga peneliti dibantu oleh keluarga subjek dalam memberikan penjelasan. Kedua, proses pengisian angket yang dilakukan oleh subjek umumnya dilakukan di rumah, sehingga peneliti kurang dapat mengontrol bias yang terjadi pada saat pengisian angket, walaupun ada beberapa subjek yang langsung mengisi pada saat mereka menjalani proses HD. Selama penelitian di lapangan peneliti melakukan pengamatan dan wawancara dengan subjek, keluarga subjek dan tenaga perawat mengenai kondisi yang biasanya dialami oleh penderita gagal ginjal terminal. Berdasarkan hasil tersebut umumnya penderita gagal ginjal terminal memiliki keluhan dan kebiasaan yang sama. Mereka cenderung putus asa menghadapi penyakit yang dideritanya dengan menyadari seumur hidup mereka harus bergantung pada mesin dialisis belum lagi kemunduran kondisi fisik yang signifikan dan efek samping dari penyakit yang diderita sehingga menghambat aktifitas sehari-hari mereka, kondisi ini umumnya terjadi pada pasien yang masih tergolong dalam usia produktif, walau ada pula penderita yang tergolong pada usia lanjut mengalami hal ini. Kondisi ini terjadi baik pada penderita laki-laki maupun perempuan. Hal yang menarik adalah ternyata tidak semua penderita gagal ginjal merasa putus asa dengan keadaan fisiknya, sebagian kecil dari mereka masih mampu melakukan aktifitasnya sehari-hari seperti halnya orang lain, hal ini disebabkan oleh penderita tersebut dapat bekerjasama
21
dengan keadaan dirinya dan tidak lelah untuk berusaha mencari cara untuk menjaga dan memperbaiki kesehatannya. Dengan kondisi organ penting dalam tubuh yang sudah tidak dapat berfungsi mereka berusaha untuk menghindari segala sesuatu yang dapat memperburuk kondisi fisiknya antara lain dengan mengkonsumsi obatobatan yang alami, dan yang terpenting mereka selalu berusaha menjaga hati untuk dapat selalu menerima keadaan dirinya.
22
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Subjek pada penelitian ini secara umum memiliki tingkat penerimaan diri yang cukup. 2. Secara umum subjek dalam penelitian ini memperoleh dukungan sosial yang cukup dari lingkungan sosialnya. 3. Semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang diperoleh subjek maka semakin tinggi pula tingkat penerimaan dirinya. 4. Perbedaan jenis kelamin, usia, komplikasi penyakit, frekuensi hemodialisa dan pembiayaan terapi hemodialisa tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan diri subjek. 5. Perbedaan latar belakang pendidikan memberikan pengaruh yang cukup siginifikan terhadap penerimaan diri subjek Di mana untuk responden dengan tingkat pendidikan SMA memiliki tingkat penerimaan diri yang rendah, untuk akademi tergolong sedang dan sarjana memiliki tingkat penerimaan diri yang tinggi. 6. Frekuensi hemodialisa dan latar belakang pendidikan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap dukungan sosial yang diterima oleh subjek. Subjek dengan frekuensi HD yang tinggi secara otomatis akan lebih sering berinteraksi baik dengan tenaga paramedis maupun pasien dan keluarga pasien yang lain. Sementara dengan semakin tinggi tingkat pendidikan subjek maka semakin luas pula lingkungan pergaulannya.
23
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut : 1. Bagi Keluarga Dari Penderita Gagal Ginjal Terminal ?
Mengingat dukungan sosial dapat meningkatkan penerimaan diri di mana hal itu dapat membuat seseorang menyenangi dirinya sendiri, maka keluarga dari penderita gagal ginjal terminal perlu menciptakan kondisi yang dapat membuat penderita
merasa
nyaman
antara
lain
seperti,
memberikan
perhatian,
mendengarkan keluh kesah mereka, menyediakan alat kesehatan atau obat yang dibutuhkan— disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. ?
Tetap melibatkan penderita dalam kegiatan keluarga secara lebih intensif namun yang tidak terlalu melelahkan.
?
Membentuk perkumpulan keluarga penderita gagal ginjal terminal, dengan tujuan dapat menjadi wadah bagi keluarga agar dapat saling bertukar pikiran mengenai penanganan terhadap penderita gagal ginjal terminal.
2. Bagi Lembaga Kesehatan ?
Mengingat frekuensi hemodialisa dapat meningkatkan dukungan sosial yang diterima oleh subjek dan pada akhirnya meningkatkan penerimaan diri subjek maka lembaga kesehatan, dalam hal ini para perawat dan dokter, perlu untuk dapat memberikan dukungan mulai dari hal yang sepele seperti menanyakan kabar dan kondisi yang sedang dirasakan sampai pada memberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita dengan baik dan sejelas-jelasnya seperti, memberi tahu cara untuk menangani kondisi pasien ketika sedang anfal di rumah.
24
3. Bagi peneliti selanjutnya ?
Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk lebih mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan diri, dapat memperhatikan faktor lain yang dapat dihubungkan dengan penerimaan diri antara lain kepribadian, tingkat religiusitas, dan budaya.
?
Mengantisipasi kelemahan penelitian yaitu pada saat pelaksanaan penelitian, sebaiknya skala tidak dibawa pulang oleh subjek karena tidak semua dapat kembali atau jika ingin subjek merasa nyaman dalam mengerjakan dan memperoleh jaminan skala akan kembali sebaiknya datangi subjek ke rumahnya di waktu-waktu senggangnya dan subjek dalam keadaan “sehat”. Disamping itu peneliti selanjutnya sebaiknya lebih dapat memperhitungkan jumlah aitem pada tiap skala yang digunakan agar tidak terlalu banyak mengingat kondisi kesehatan subjek.
?
Mengingat karakteristik subjek yang unik maka peneliti selanjutnya perlu menggali lebih dalam sisi psikologis subjek dengan cara melakukan wawancara dan observasi secara intensif terhadap subjek.
25