UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA BIOMARKER KERUSAKAN OTAK DENGAN GLASGOW COMA SCALE DAN MANIFESTASI NEUROLOGIS PADA ANAK SEPSIS UMUR 2 -18 TAHUN
TESIS
NAHARI ARIFIN 4105030085
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK JAKARTA JULI 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA BIOMARKER KERUSAKAN OTAK DENGAN GLASGOW COMA SCALE DAN MANIFESTASI NEUROLOGIS PADA ANAK SEPSIS UMUR 2 -18 TAHUN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anak
NAHARI ARIFIN 4105030085
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK JAKARTA JULI 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Nahari Arifin
NPM
: 4105030085
Tanda Tangan : ……………………… Tanggal
: 6 Juli 2011
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh: Nama NPM Program studi Judul tesis
: : : :
Dr. Nahari Arifin 4105030085 Pendidikan Dokter Spesialis Anak Hubungan antara biomarker kerusakan otak dengan Glasgow Coma Scale dan manifestasi neurologis pada anak sepsis umur 2 - 18 tahun
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anak pada Program Studi Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Dewan Penguji
Pembimbing materi
: Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)
(….................)
Pembimbing materi
: Dr. Antonius Pudjiadi, Sp.A(K)
(….................)
Pembimbing metodologi : Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)
(.....................)
Penguji
: Dr. EM Dadi Suyoko, Sp.A(K)
(….................)
Penguji
: DR. Dr. Pramita Gayatri, Sp.A(K)
Ditetapkan di
: Jakarta
Tanggal
: 6 Juli 2011 iii
(….................)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tesis ini disusun untuk memnuhi persyaratan pendidikan sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K) dan Dr. Antonius H. Pudjiadi, Sp.A(K) selaku pembimbing materi, serta Dr. Sudung O. Pardede, SpA(K) selaku pembimbing metodologi, yang senantiasa memberikan dorongan, bimbingan, dan petunjuk yang sangat berarti sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dewan penguji tesis, Dr. EM Dadi Suyoko, Sp.A(K) dan DR. Dr. Pramita Gayatri, Sp.A(K) yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan usulan demi penyempurnaan tesis ini. Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, serta kepada Prof. Dr. Arwin AP Akib, Sp.A(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM terdahulu, kepada DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM saat ini, kepada Dr. Abdul Latief, Sp.A(K) selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak terdahulu dan kepada DR. Dr. Partini P Trihono, MMPaed, Sp.A(K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak saat ini, yang telah memberikan kesempatan dan memfasilitasi penulis dalam menempuh dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Rasa hormat dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam mendidik penulis selama mengikuti pendidikan. Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Khafifah Any, Apt, MARS selaku Direktur RSUD Cengkareng dan Dr. Iskandar iv
SpA, Dr. Andika SpA, Dr. Dini SpA serta seluruh staf perawatan bangsal anak RSUD Cengkareng serta Direktur RSUD Tangerang dan Dr. Khumaedi, SpA sebagai Kepala SMF Anak dengan seluruh staf perawatan bangsal anak di RSUD Tangerang yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam menjalankan penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Dr. AAA. Putu Indah Pratiwi, Dr. Irma Rachmawati, Dr. Irma Sapriani, Dr. Cut Badriah, Dr. Erlin Juwita dan Dr. Samuel Harmin, keluarga kecilku di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Kalian senantiasa memberikan sukacita, penghiburan, dan semangat dalam menghadapi segala kesulitan selama menjalani pendidikan. Walaupun terdapat perbedaan karakter, namun kalian selalu menolong meskipun masing-masing dalam kesibukan, sungguh menginspirasi dan menguatkan, serta senantiasa akan penulis ingat sampai kapanpun. Kalian adalah sahabat-sahabat terbaik dalam suka dan duka yang pernah penulis miliki. Dengan hormat yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada DR. Dr. H. Tjetjep Permana Djajusman selaku Direktur RSIA Muhammadiyah Taman Puring, tanpa beliau mustahil penulis memperoleh pencapaian saat ini. Serta tidak lupa kepada seluruh jajaran staf RSIA Muhammadiyah Taman Puring yang selama ini selalu memberikan dukungan moril kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda Udjen Soedjaeni, BA dan ibunda Siti Aisyah yang telah membesarkan dan mendidik penulis senantiasa mendukung dan mendorong penulis di dalam segala kebaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah dan ibu mertua, An Nizham dan Sofiah Kuswati, serta atas segala perhatian dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu tak lupa ucapan terima kasih saya sampaikan kepada adik-adik penulis, Zulkarnain Nugraha, Muchlis Derajat dan Rizki Resmisari beserta keluarga serta adik-adik ipar penulis, Ahmad Radii Indrakusuma, Aris Hikmat Rajab dan Dwi Astuti beserta keluarga atas dukungan yang hebat selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri tercinta, Denny Sofiany Hasanah, yang tiada hentinya memberikan kekuatan, dorongan, serta penghiburan kepada penulis dalam melewati masa-masa sulit selama menjalani
v
masa pendidikan, serta kepada anak-anak tersayang Dinda Putri Rifiani, Indah Putri Arviani dan Asyifa Putri Hanifa, yang selalu sabar menunggu Papi selesai bekerja dan menghibur dengan segala kelucuan dan keceriaannya. Akhirnya, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pasien dengan penyakit sepsis yang telah bersedia menjadi subjek penelitian ini. Saran dan kritik yang membangun senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan di masa mendatang. Kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bagi para pasien dengan sepsis.
Jakarta, Juli 2011 Nahari Arifin
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis Karya
: Dr. Nahari Arifin : 4105030085 : Program Pendidikan Dokter Spesialis : Ilmu Kesehatan Anak : Kedokteran : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: HUBUNGAN ANTARA BIOMARKER KERUSAKAN OTAK DENGAN GLASGOW COMA SCALE DAN MANIFESTASI NEUROLOGIS PADA ANAK SEPSIS UMUR 2 -18 TAHUN beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Jakarta Pada Juli 2011 Yang menyatakan
( Dr. Nahari Arifin )
vii
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Nahari Arifin : Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak : Hubungan antara biomarker kerusakan otak dengan Glasgow coma scale dan manifestasi neurologis pada anak dengan sepsis umur 2- 18 tahun
Latar belakang: Sepsis adalah masalah kesehatan penyebab kematian pada anak dan bayi terutama di negara-negara berkembang. Kegagalan multi organ berupa sepsis berat atau syok sepsis adalah penyebab utama kematian pada anak dengan sepsis. Tidak terkecuali di susunan syaraf pusat, organ ini rentan terhadap gangguan-gangguan di sirkulasi sistemik pada keadaan sepsis. Manifestasi gangguan pada susunan syaraf pusat secara klinis sangat sulit diketahui, karena pengaruh sedasi dan teknis pelaksanaan di ruang perawatan. Pengunaan biomarker kerusakan otak yaitu neuron specific enolase (NSE) dan protein S-100b menjanjikan alat skrining prognostik dan obyektif kerusakan jaringan di susunan syaraf pusat. Tujuan: Mengetahui hubungan biomarker kerusakan otak yaitu NSE dan protein S-100b dengan parameter klinis Glasgow Coma Scale (GCS) serta manifestasi neurologisnya. Metode: Penelitian deskriptif analitik pada anak sepsis umur 2-18 tahun yang dirawat di Dept. Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSUD Tangerang dan RSUD Cengkareng. Penelitian dilakukan dari Juli 2010 – Maret 2011. Kadar NSE dan protein S-100b diukur pada setiap subyek di hari pertama perawatan, untuk selanjutnya dilakukan analisis korelasi terhadap skor GCS pada hari pertama dan hari ketiga perawatan serta parameter klinis dan luarannya. Hasil: Terdapat 30 subyek penelitian, dengan 29 sampel NSE dan 30 sampel protein S-100b antara bulan Juli 2010 sampai dengan Maret 2011. Nilai median konsentrasi NSE adalah 8,1 μg/L dan protein S-100b adalah 0.02 μg/L. Terdapat korelasi negatif antara skor GCS hari pertama dan ketiga dengan kadar NSE (r= 0,653 dan r= -0,439) dan protein S-100b (r = -0,493 dan r= -0,505). Analisis kurva ROC menghasilkan nilai prediktif konsentrasi NSE untuk skor GCS dibawah 12 pada hari perawatan ketiga adalah 8,1 μg/L (sensitivitas 83% and spesifisitas 76%, p = 0.03 IK95% 0,68-0,98). Di sisi lain, protein S-100b berhubungan dengan derajat sepsis dan luaran kematian (p < 0,05). Simpulan: Penelitian ini menemukan korelasi negatif antara skor GCS dengan NSE dan S-100b. Nilai prediktif kadar NSE untuk skor GCS dibawah 12 pada hari perawatan ketiga adalah 8.1 μg/L. Protein S-100b berhubungan dengan derajat sepsis dan luaran kematian. Kata kunci : pediatric sepsis, neuron speficic enolase, protein S-100b
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT Nama Study Program Judul
: Nahari Arifin : Pediatric Health Science : Relationship between biomarker of brain injury with Glasgow Coma Scale and it’s neurological outcome in pediatric sepsis age 2 to 18 years old
Background: Sepsis is medical challenge as leading cause of child an infant’s death in developing countries. Multiple organ failure due to severe sepsis or septic shock has already known as leading cause of fatality in pediatric sepsis. Even though it’s protective barrier, central nervous system is still vulnerable from systemic insults in septic state. Clinical appearances of derangement in central nervous system are intricate, rendered by sedation and other technical hurdles. The use of brain injury biomarker e.g. neuron specific enolase and S-100b protein are objective and promising tools for both screening and prognostic value of brain injury in pediatric sepsis. Aim: To investigate relationship between neuron specific enolase and S-100b protein as biomarker of brain injury with glasgow coma scale and clinical neurologic outcome. Method: Descriptive analitic study was carried out in pediatric sepsis 2 to 18 years old of age in Child Health Dept. CMH Hospital, District General Hospital Tangerang and District General Hospital Cengkareng. Study commenced on July, 2010 and lasted March, 2011. A single measurement of both neuron specific enolase and S-100b protein were obtained on admission. Glasgow coma scale, clinical parameters and outcome were recorded and statistically analyzed for any correlation. Result: Thirty subjects recruited, with 29 serum samples of neuron specific enolase and 30 samples of S-100b obtained between July 2010 to March 2011. Median concentration of neuron specific enolase was 8.1 μg/L and S-100b protein was 0.02 μg/L. There were significant negative correlation between GCS score on day 1 and day 3 with NSE (r= -0,653 and r= -0,439) and S100b (r = -0,493 dan r= -0,505) level. ROC curve analysis yields predictive cut off point at 8,1 μg/L for GCS score below 12 on day 3 (sensitivity 83% and specificity 76%, p = 0.03 95% CI 0,68-0,98). Whereas, S-100b related significantly with sepsis severity and mortality (p < 0.005). Conclusion: Based on this study, there are negative correlations between GCS score with NSE and S100b level. Neuron specific enolase predictive point for GCS score below 12 on day 3 is 8.1 μg/L. S-100b protein show significant relationship with severity and mortality. Keyword: pediatric sepsis, neuron specific enolase, protein S-100b
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL............................... ................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN.............. HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... KATA PENGANTAR................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….... ABSTRAK……………………………………………………………….. ABSTRACT……………………………………………………………… DAFTAR ISI............................................................................................... DAFTAR TABEL....................................................................................... DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK........................................................ DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... DAFTAR SINGKATAN............................................................................
i ii iii iv vii viii ix x xii xiii xiv xv
BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................... 1.1 Latar Belakang.................................................................. 1.2 Rumusan Masalah............................................................. 1.3 Tujuan Penelitian.............................................................. 1.3.1 Tujuan Umum....................................................... 1.3.2 Tujuan Khusus...................................................... 1.4 Manfaat Penelitian............................................................ 1.4.1 Bidang Akademik................................................. 1.4.2 Bidang Penelitian.................................................. 1.4.3 Bidang Pelayanan Masyarakat..............................
1 1 2 2 2 3 3 3 3 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 2.1 Definisi Sepsis.................................................................. 2.2 Biomarker dalam Diagnosis Sepsis.................................. 2.2.1 Prokalsitonin......................................................... 2.3 Susunan Syaraf Pusat pada Keadaan Sepsis..................... 2.3.1 Ensefalopati Sepsis............................................... 2.4 Glasgow Coma Scale dan Pediatric Logistic of Organ Dysfunction....................................................................... 2.5 Biomarker Gangguan Neurologis..................................... 2.5.1 Neuron specific enolase dan Protein S-100b........ 2.5.2 Neuron specific enolase dan Protein S-100b pada Sepsis.................................................................... 2.6 Kerangka Konsep..............................................................
4 4 5 6 8 11
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN............................................... 3.1 Disain Penelitian............................................................... 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian........................................... 3.3 Populasi Target Penelitian................................................ 3.4 Kritrea Penerimaan...........................................................
18 18 18 18 18
12 12 13 14 17
x Universitas Indonesia
3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13
Metode Pengambilan Sampel........................................... Estimasi Besar Sampel...................................................... Prosedur Penelitian........................................................... Bagan Alur Penelitian....................................................... Identifikasi Variabel......................................................... Pengolahan dan Analisis Data.......................................... Penyajian Data................................................................. Batasan Operasional......................................................... Etika Penelitian.................................................................
19 19 19 20 20 21 21 21 23
BAB 4. HASIL PENELITIAN............................................................... 4.1 Subyek Penelitian............................................................. 4.2 Karakteristik Subyek........................................................ 4.3 Gambaran Klinis Subyek dengan Sepsis.......................... 4.4 Gambaran Laboratorium Subyek dengan Sepsis.............. 4.5 Glasgow Coma Scale dan Manifestasi Neurologis........... 4.6 Hubungan Biomarker Kerusakan Otak dengan Glasgow Coma Scale……………………………………….…….. 4.6.1 Neuron Specific Enolase (NSE)........................... 4.6.2 Protein S-100b......................................................
24 24 24 26 26 27
BAB 5. PEMBAHASAN......................................................................... 5.1 Manifestasi Neurologis pada Sepsis................................. 5.2 Biomarker Kerusakan Otak.............................................. 5.2.1 Neuron Specific Enolase (NSE)........................... 5.2.2 Protein S-100b...................................................... 5.4 Kelemahan dan Kelebihan Penelitian...............................
35 35 36 36 37 39
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN....................................................... 6.1 Simpulan........................................................................... 6.2 Saran.................................................................................
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ LAMPIRAN...............................................................................................
42 45
29 29 32
xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Halaman Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat dan Syok sepsis……………………………………………………...
5
Penelitian-penelitian Prokalsitonin dalam Meta-Analisis Jones………………………………………………………
7
Tabel 2.3
Rentang Nilai Prokalsitonin pada Beberapa Keadaan........
8
Tabel 4.1
Karakteristik Subyek...........................................................
26
Tabel 4.2
Gambaran Patogen pada Subyek dengan Sepsis…...……..
27
Tabel 4.3
Penurunan Kesadaran Berdasarkan GCS Hari Pertama dan Ketiga.…………….………………………………….
28
Gangguan Neurologis Dihubungkan dengan Penurunan Kesadaran……………..…………………………………..
28
Distribusi Penurunan Kesadaran Berdasarkan Derajat Sepsis……………………………………………………...
29
Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Pertama dengan Kadar NSE………………………………………..
30
Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Ketiga dengan Kadar NSE………………………………………..
30
Tabel 4.8
Hubungan Antara Derajat Sepsis dengan Kadar NSE……
30
Tabel 4.9
Hubungan Antara Luaran Kematian dengan Kadar NSE...
31
Tabel 4.10
Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Pertama dengan Kadar S-100b…...………………………...............
32
Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Ketiga dengan Kadar S-100b…………………………...…..........
32
Tabel 4.12
Hubungan Antara Perbaikan GCS dengan Kadar S-100b..
33
Tabel 4.13
Hubungan Antara Derajat Sepsis dengan Kadar S-100b…
33
Tabel 4.14
Hubungan Antara Luaran Kematian dengan Kadar S-100.
33
Tabel 2.1 Tabel 2.2
Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7
Tabel 4.11
xii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Halaman Jejaring Utama di SSP dan Jaringan Perifer yang Berperan dalam Tanggap Terhadap Stres………...………
9
Grafik Kurva ROC dengan Nilai Ambang Protein S-100b dan NSE dalam Prognosis Mortalitas Lebih dari 72 jam dan Mortalitas Kurang dari 72 jam….…….……..……….
15
Gambar 2.3
Kerangka Konsep................................................................
17
Gambar 3.1
Diagram Alur Penelitian.....................................................
20
Gambar 4.1
Subyek Penelitian................................................................
24
Gambar 4.2
Grafik Korelasi Antara Skor GCS dengan kadar NSE pada Hari Pertama dan Ketiga…………………………….
31
Grafik Kurva ROC Antara NSE dengan Skor GCS Kurang dari 12 serta Titik Potong-nya……………………
32
Grafik Korelasi Antara Skor GCS dengan Kadar S-100b pada Hari Pertama dan Ketiga…………………………….
34
Grafik Kurva ROC Antara S-100b dengan Skor GCS Kurang dari 12 serta Titik Potong-nya…….………...……
34
Gambar 2.1 Gambar 2.2
Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5
xiii Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Organisasi Penelitian………...……………………………
45
Lampiran 2
Anggaran Penelitian………………………………………
46
Lampiran 3
Lembar Penjelasan dan Persetujuan Orang Tua/Wali..............................................................................
Lampiran 4
Surat Persetujuan Penelitian................................................
47 48
Lampiran 5
Etika Penelitian...................................................................
49
Lampiran 6
Surat Keterangan Lolos Kaji Etik………………………...
50
Lampiran 7
Formulir Penelitian………………………………………..
51
Lampiran 8
Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok Septik……………………………………………………...
53
Tabel Parameter Klinis dan Laboratoris Berdasarkan Usia.....................................................................................
54
Lampiran 10
Kriteria Disfungsi Organ….................................................
55
Lampiran 11
Tabel Skor PELOD……………………………………….
56
Lampiran 12
Modifikasi Glasgow Coma Scale untuk Anak……………
57
Lampiran 13
Data Biomarker Kerusakan Otak…....................................
58
Lampiran 9
xiv Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
ACCP ACTH CD 40 cEEG CRF CRP CT-Scan EEG GABA GCS GFAP IBS ICAM ICU IL-6 iTBI LPS MRI NF-κB NO NOS NSE PCT PELOD PICU RSCM RSUD SAD SCCM SEP SIRS SOFA SSP TNF-α TREM-1 VCAM WFPICCS
American College of Chest Physician Adrenocorticotrophin Hormone Cluster of Differentiation 40 Continuous Electroencephalography Corticothrophin Releasing Factor C- Reactive Protein Computed Tomographic Scan Electroencephalography Gamma Amino Butyric Acid Glasgow Coma Scale Glial Fibrillary Acid Protein Inflammatory Bowel Syndrome Inter Cellular Adhesion Molecule Intensive Care Unit Interleukine 6 Inflicted Traumatic Brain Iinjury Lipopolysaccharide Magnetic Resonance Imaging Nuclear Factor Kappa Light Chain Enhancer Nitrite Oxide Nitrite Oxide Synthetase Neuron Specific Enolase Procalcitonin Pediatric Logistic of Organ Dysfunction Pediatric Intensive Care Unit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Rumah Sakit Umum Daerah Sepsis Associated Delirium Society of Critical Care Medicine Somatosensory Evoked Potential Systemic Inflammatory Response Syndrome Sepsis-related Organ Failure Assessment Susunan Syaraf Pusat Tumor Necrosis Factor Alpha Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells 1 Vascular Cell Adhesion Molecule World Federation of Pediatric Intensive and Critical Care Societies
xv Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sepsis adalah masalah kesehatan yang terutama menyebabkan kematian pada bayi dan anak di dunia. Terutama di negara-negara berkembang, tingkat morbiditas dan mortalitas sepsis masih tinggi. Sepsis berat dan syok septik adalah keadaan kegagalan multi organ penyebab utama mortalitas pada anak dengan sepsis.1-3 Data mengenai sepsis sangat beragam antar masing-masing negara, baik antara negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Pada tahun 1995 di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian sepsis berat adalah sebesar 0,56 kasus per 1.000 populasi per tahun.4 Angka tertinggi terdapat pada kelompok usia bayi (5,16 kasus per 1.000 populasi per tahun), menurun tajam pada kelompok usia 1014 tahun (0,2 kasus per 1.000 populasi per tahun). Data di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM antara tahun 2004 – 2008, dari jumlah pasien rawat inap sebanyak 6477 anak, 236 (3,6%) pasien menderita sepsis dengan 107 (45,3%) pasien dirawat di unit perawatan intensif pediatrik (Pediatric Intensive Care Unit, PICU).5 Keadaan kegagalan multi organ pada sepsis dapat terjadi disemua organ.6 Susunan syaraf pusat (SSP), walaupun dilindungi dengan sawar darah otak, masih rentan terhadap gangguan-gangguan sistemik yang ditimbulkan oleh sepsis yang belum dapat diterangkan patofisiologinya dengan jelas. Berbeda dengan pasien dewasa, kerentanan hemodinamik lebih mudah terjadi pada anak, sehingga kerusakan jaringan di susunan syaraf pusat yang bersifat hipoksik-iskemik lebih mudah terjadi.7 Ensefalopati sepsis adalah salah satu manifestasi yang sering ditemukan, dengan prevalensi antara 9 – 71%.8 Manifestasi klinis kerusakan jaringan syaraf di SSP atau ensefalopati sepsis umumnya berupa penurunan kesadaran, dimana penegakkan diagnosisnya pada anak sangat sulit dilakukan. Penilaian Glasgow coma scale (GCS) adalah yang pemeriksaan paling obyektif dalam penilaian gangguan kesadaran, walaupun beberapa penelitian menyatakan tidak cukup sensitif untuk menilai tingkat kerusakan di SSP.7 Alat bantu diagnostik seperti electroencephalography (EEG), dapat digunakan untuk menilai kerusakan susunan syaraf pada anak dan neonatus 1 Universitas Indonesia
2
dan mempunyai nilai prognostik.9,10 Kendala dari pemeriksaan EEG adalah kebutuhan akan infrastruktur
di ruang perawatan serta tenaga ahli dalam
interpretasi hasil rekaman EEG.7 Modalitas pencitraan berupa computed tomographic scan (CT-Scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) walaupun cukup sensitif untuk kelainan struktur dan kelainan luas, tidak cukup sensitif mendeteksi kelainan minor.11 Biomarker kerusakan otak yaitu neuron specific enolase (NSE) dan protein S-100b banyak digunakan sebagai alat tapis yang obyektif dan praktis. Keduanya saat ini masih dalam penelitian dan cukup menjanjikan. Penelitian kedua biomarker tersebut sudah dilakukan pada pasien neonatus dengan hypoxicischemic encephalophaty (HIE), pasien anak dengan cedera kepala, pasien anak pasca resusitasi jantung paru, dan syok sepsis.12-15 Keduanya mempunyai nilai prognostik baik terhadap perburukan gejala neurologis maupun luaran kematian. Penelitian mengenai kedua biomarker kerusakan otak pada anak dengan sepsis sampai saat ini belum banyak diteliti, sehingga perlu dilakukan penelitian ini untuk kepentingan praktisi klinis dan akademis. Seperti halnya penelitian sebelumnya, akan diteliti apakah terdapat hubungan korelasi antara kedua biomarker dengan penurunan kesadaran serta apakah keduanya mempunyai nilai prognostik baik terhadap gejala neurologis maupun luaran kematian.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran klinis, kadar biomarker NSE dan protein S-100b dalam darah anak dengan sepsis ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan gambaran klinis, manifestasi neurologis dan luarannya dengan kadar biomarker NSE dan protein S-100b dalam darah pada anak dengan sepsis.
Universitas Indonesia
3
1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui profil anak dengan sepsis, skor GCS dan manifestasi neurologis lain berupa gangguan motorik syaraf kranial, paresis/paralisis ektremitas dan kejang. b. Mengetahui rerata atau median kadar NSE dan protein S-100b pada anak dengan sepsis dibandingkan dengan normal. c. Mengetahui korelasi antara NSE dan protein S-100b dengan skor GCS serta mengetahui hubungannya dengan derajat penurunan gangguan kesadaran serta nilai prediksinya pada anak dengan sepsis. d. Mengetahui hubungan antara NSE serta protein S-100b dengan derajat sepsis serta luaran kematian.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Bidang Akademik Penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai hubungan parameter klinis yaitu skor GCS dan manifestasi neurologisnya dengan kadar NSE dan protein S-100b pada anak dengan sepsis. 1.4.2 Bidang Penelitian Penelitian ini dapat menjadi titik tolak penelitian analitik selanjutnya di bidang diagnostik dan terapetik sepsis dikaitkan dengan manifestasi neurologis serta untuk memperdalam patofosiologi sepsis lebih lanjut. 1.4.3 Bidang Pelayanan Masyarakat Hasil penelitian ini dapat memberikan asupan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien sepsis yang lebih komprehensif.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Sepsis
Dari berbagai istilah yang rancu di masa lalu, The American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine mengembangkan suatu definisi spesifik pada tahun 1992.2 Definisi tersebut adalah : Bacteremia adalah hasil kultur darah positif terdapat pertumbuhan bakteri Systemic inflamatory response syndrome (SIRS) adalah tanggap inflamasi luas terhadap berbagai gangguan klinis tetapi tidak terdapat tanda infeksi dengan batasan klinis terdapat dua atau lebih : Temperatur > 38
atau < 36
.
Denyut nadi > 90 kali per menit. Laju pernafasan > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32 mmHg. Leukosit > 12.000 sel/mm3, atau < 4.000 sel/mm3 atau > 10% neutrofil imatur (batang). Manifestasi SIRS dengan terbukti infeksi disebut sebagai sepsis.2 Sepsis dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi dikatakan sepsis berat. Apabila sepsis berat tidak membaik dengan resusitasi cairan disebut sebagai syok septik.3,16 Berbeda dengan dewasa, syok septik pada anak umumnya terjadi tanpa disertai hipotensi, sehingga batasan antara sepsis berat dengan syok septik menjadi tidak jelas karena menjadi satu kesatuan sindrom yang sama. Demikian pula parameter-parameter klinis yang digunakan untuk batasan SIRS dan disfungsi organ sangat dipengaruhi perubahan fungsi dan fisiologis normal pada masa tumbuh kembang anak.6 Modifikasi batasan untuk anak kemudian dibuat oleh Society of Critical Care Medicine dan World Federation of Pediatric Intensive and Critical Care Societies, membagi SIRS berdasarkan usia.6 Batasan tersebut membagi menjadi enam kelompok yaitu: ( 0 – 7 hari ) (1 minggu – 1 bulan ) ( 1 bulan – 1 tahun ) ( 2 – 5 tahun ) ( 6 – 12 tahun ) ( 13 sampai < 18 tahun )
bayi baru lahir neonatus bayi usia pra sekolah anak usia sekolah remaja dan dewasa muda
4 Universitas Indonesia
5
Masing-masing kelompok umur mempunyai tanda vital dan nilai laboratorium spesifik. Selanjutnya, Society of Critical Care Medicine and World Federation of Pediatric Intensive and Critical Care Societies melakukan modifikasi batasan klinis sepsis, pada tabel dibawah ini (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat dan Syok Septik6 SIRS Tanggap inflamasi sistemik berupa kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan minimal 2 dari 4 kriteria berikut, Salah satunya harus berupa suhu tubuh atau jumlah leukosit yang abnormal: Suhu tubuh > 38 atau < 36 Takikardi, yaitu frekuensi denyut jantung > 2SD menurut usia tanpa adanya rangsangan eksternal, penggunaan obat-obatan jangka panjang, atau rangsang nyeri, atau peningkatan frekuensi denyut jantung menetap lebih dari 0,5-4 jam yang tidak dapat dijelaskan ATAU untuk anak < 1 tahun adalah bradikardia, yaitu frekuensi denyut jantung < persentil ke-10 berdasarkan usia tanpa ada refleks vagal, obat penghambat, atau penyakit jantung bawaan, atau depresi menetap lebih dari 0,5 jam yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya Rerata frekuensi pernapasan > 2SD di atas normal berdasarkan usia atau penggunaan ventilasi mekanik pada proses akut yang tidak berhubungan dengan penyakit neuromuskuler atau pada pasien yang mendapat anestesi umum Jumlah leukosit meningkat atau menurun berdasarkan usia (tidak disebabkan oleh efek samping kemoterapi yang menyebabkan leukopeni) atau jumlah sel neutrofil imatur > 10% Infeksi Dugaan atau terbukti (kultur positif, pewarnaan jaringan, atau polymerase chain reaction), infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen ATAU sindrom klinis yang berhubungan dengan kemungkinan besar adanya infeksi. Bukti infeksi termasuk temuan positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan, atau uji laboratorium (contohnya terdapat leukosit pada cairan tubuh yang seharusnya steril, perforasi viskus, gambaran pneumonia pada foto toraks, petekie, purpura, atau purpura fulminan). Sepsis SIRS pada keadaan infeksi atau dengan dugaan atau terbukti infeksi. Sepsis berat Sepsis disertai salah satu kondisi berikut: disfungsi kardiovaskuler ATAU sindrom distress pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome: ARDS) ATAU dua atau lebih disfungsi organ. Definisi disfungsi organ dapat dilihat pada lampiran 10 Syok septik Sepsis dan disfungsi kardiovaskuler. Definisi lengkap dapat dilihat pada lampiran 10
2.2
Biomarker dalam Diagnosis Sepsis
Diagnosis sepsis ditegakkan melalui penilaian klinis SIRS dan tanda infeksi serta penunjang nilai laboratoris. Bukti infeksi melalui kultur darah, urin atau jaringan merupakan baku emas (gold standard) tetapi kadang tidak memberikan hasil positif.17 Penyebabnya kemungkinan adalah : waktu pengambilan sampel
Universitas Indonesia
6
dilakukan pada saat proses akhir sepsis, volume sampel tidak adekuat seperti pada neonatus dan anak serta riwayat pemakaian antibiotika sebelumnya. Waktu untuk menunggu hasil kultur menjadi kendala dalam diagnosis sepsis, disisi lain keputusan untuk memberikan tindakan agresif dan segera sangat diperlukan. Alternatif penggunaan biomarker bertujuan untuk mempercepat keputusan ada atau tidaknya infeksi bakteri. Biomarker untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi bakteri banyak dikembangkan saat ini antara lain interleukin 6 (IL-6), C-reactive protein (CRP) serta triggering receptor expressed on myeloid cell-1
(TREM-1).18
Prokalsitonin
umumnya
sering
digunakan
dengan
pertimbangan reliabilitas, ketersedian nilai ambang (cut off point), waktu serta harga sebagai tolok ukurnya, yang lebih baik dibandingkan dengan biomarkerbiomarker lain.
2.2.1 Prokalsitonin Prokalsitonin (PCT) adalah polipeptida dari kalsitonin. Banyak ditemukan pada keadaan inflamasi sebagai tanggap pejamu terhadap agen yang merusak jaringan.19 Kalsitonin diproduksi kelenjar tiroid, berperan dalam homeostasis kalsium. Prokalsitonin adalah salah suatu pre-kursor kalsitonin berperan dalam respons imun dengan bertindak sebagai “hormokin” pada keadaan syok kardiogenik, trauma, pankreatitis nekrotikans, luka bakar, pembedahan dan infeksi.19,20 Banyak penelitian dan literatur yang menyatakan prokalsitonin sebagai biomarker spesifik untuk infeksi berat akibat bakteri. Penggunaan klinis selama ini bahkan dapat membedakan antara pasien SIRS dengan sepsis. Penelitian Harbarth dkk,21 pada pasien dewasa dengan penyakit kritis (critically ill) bedah maupun non-bedah, menyimpulkan nilai dasar (baseline) prokalsitonin sangat akurat dalam mendiagnosis sepsis dengan area under curve (AUC) 0,92 (IK95% 0,85-1,0). Nilai prediksi prokalsitonin meningkat signifikan bila ditambahkan dengan parameter-parameter klinis lain serta pemeriksaan laboratorium standar. Simon dkk,17 dalam penelitiannya pada pasien anak dengan penyakit kritis menyatakan bahwa prokalsitonin lebih baik dibandingkan CRP dalam membedakan SIRS yang diakibatkan oleh bakteri dan non-bakteri. Nilai ambang
Universitas Indonesia
7
penelitian tersebut adalah 2,5 μg/L (sensitivitas 0,68 dan spesifisitas 0,74) dengan pre-tes probabilitas sebesar 39%. Selaras dengan penelitian Harbarth, nilai prediksi meningkat menjadi 92% apabila disertai dengan penilaian klinis infeksi bakteri. Meta-analisis yang dilakukan oleh Jones terhadap 17 penelitian diagnosis bakterimia pada populasi anak dan dewasa, dengan jumlah sampel 2008 pasien menghasilkan AUC 84 %, (IK95% 0,75-0,90).22 Tabel 2.2 memperlihatkan metaanalisis penelitian Jones. Tabel 2.2 Penelitian Prokalsitonin dalam Meta-Analisis Jones22 Peneliti
N
Han Fleischhack van Lagevelde Lacour Guven Chirouze Delevaux Han Scott Lacour Prat Ciaccio Caterino Giamarellou Bugden Persson Aalto
105 110 381 91 34 163 168 90 24 88 65 54 108 158 183 94 92
Sensitivitas % 66,7 (30,0-90,3) 56,3 (33,2-76,9) 81,8 (70,9-89,3) 100,0 (51,0-100,0) 100,0 (77,2-100,0) 95,5 (78,2-99,2) 81,0 (60,0-92,3) 87,1 (71,1-94,9) 100,0 (20,7-100,0) 75,0 (30,1-96,4) 100,0 (81,6-100,0) 89,7 (73,6-96,4) 53,8 (29,1-76,8) 48,1 (35,1-61,3) 88,9 (56,5-98,0) 54,3 (38,2-69,5) 92,3 (66,7-98,6)
Spesifisitas % 97,0 (91,5-99,0) 87,2 (79,0-92,5) 51,4 (45,9-59,9) 60,9 (50,4-70,5) 81,0 (60,0-92,3) 57,4 (49,2-65,3) 81,0 (73,8-86,5) 49,2 (36,8-61,6) 69,6 (49,1-84,4) 52,4 (41,8-62,7) 83,3 (70,4-91,3) 16,0 (6,4-34,7) 71,6 (61,8-79,7) 65,1 (55,6-73,5) 89,1 (83,6-92,9) 81,4 (69,6-89,3) 68,4 (57,5-77,6)
Prevalensi % 5,7 145 17,3 4,4 38,2 13,5 12,5 34,4 4,2 4,5 26,2 53,7 12,0 32,9 4,9 37,2 14,1
Cutoff μg/L 0,5 0,5 0,5 0,9 2,0 0,4 0,5 0,5 0,5 0,5 2,0 0,5 0,5 1,0 0,5 0,5 0,4
Populasi Anak Anak Dewasa Anak Dewasa Dewasa Dewasa Anak Dewasa Anak Anak Anak Dewasa Dewasa Campur Dewasa Dewasa
Cukup banyak penelitian mengenai evaluasi penggunaan prokalsitonin pada anak dan dewasa saat ini. Mayoritas penelitian tersebut menyarankan penggunaan prokalsitonin disertai dengan penilaian klinis dan nilai parameter laboratorium rutin sehingga dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam mendeteksi bakterimia. Tabel 2.3 memperlihatkan rentang nilai prokalsitonin pada beberapa keadaan.
Universitas Indonesia
8
Tabel 2.3 Rentang Nilai Prokalsitonin pada Beberapa Keadaan23 Pasien Normal Inflamasi kronik dan penyakit autoimun Infeksi virus Infeksi bakteri lokal Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS), trauma multipel, luka bakar IBS, sepsis, kegagalan multi-organ
2.3
PCT (μg/L) < 0,5 < 0,5 < 0,5 < 0,5 0,5 – 2 >2 (10-100)
Susunan Syaraf Pusat pada Keadaan Sepsis
Sudah diketahui bahwa sepsis dapat menyebabkan kegagalan multi organ. Saat ini syok septik dihubungkan dengan gangguan serta kerusakan di SSP.24,25 Susunan syaraf pusat adalah organ istimewa dengan perlindungan sawar darah otaknya. Interaksi antara imunitas sistemik dan SSP menjadi bagian penting dalam tanggap tubuh terhadap stres seperti yang terjadi pada sepsis atau syok septik.26 Susunan syaraf pusat mengatur berbagai fungsi fisiologis penting dalam keseimbangan dengan berbagai manajemen tanggap pada tingkat perilaku, neuroendokrin dan sistim syaraf otonom. Setiap gangguan fungsi penyesuaian secara bermakna akan memperburuk sepsis dan luarannya.27-29 Struktur SSP utama yang berperan dalam tanggap terhadap sepsis adalah: Nukleus otonom meduler (terdiri dari nukleus traktus solitarius, nukleus motor dorsalis, nervus vagus dan nukleus ambigus), mengatur aktivitas parasimpatis baik langsung maupun tidak langsung. Nukleus parabrakial, grup sel A5 dan area postrema yang terletak di batang otak, mengatur nukleus otonom di medula. Nukleus raphe di midbrain, adalah asal dari jaras sistem serotoninergik dan formasi retikularis. Locus coeruleus,29 yang terletak di pons merupakan inti dari jaringan noradrenergik. Nukleus
paraventrikuler
dan
supraoptik
di
hypothalamus
yang
menghasilkan dan melepaskan corticotrophin-releasing factor (CRF) dan vasopresin. Amigdala, yang terletak didalam hipokampus dan berhubungan dengan sistim limbik.
Universitas Indonesia
9
Dibawah ini adalah skema interaksi antar struktur di SSP.
Gambar 2.1. Jejaring Utama di SSP dan Jaringan Perifer yang Berperan dalam Tanggap Terhadap Stres26 ACTH Amy CRF 5HT LC RN Aktivasi Inhibisi
Hormon Adrenokortikotropik Nukleus Amigdala Corticotrophin releasing factor Serotonin (5- hydroxytryptamine) Locus coeruleus Raphe nucleus
VP MAN NE NO ∑ Para-∑
Vasopresin Nukleus Otonom Medula Norepinefrin Nitrit Oksida Simpatis Para Simpatis
Garis pembatas antara SSP dan jaringan perifer
Tanggap dimulai ketika corticotrophin-releasing factor, vasopressin dan jaringan noradrenergik (disebut sebagai sistim CRF/VP dan LC-NA) teraktivasi bersamaan ketika terjadi stres yang memperkuat satu sama lain.27 Selain itu terdapat pengaruh lain di SSP meliputi jaringan eksitasi (serotonergik dan kolinergik), jaringan inhibisi (GABA dan opioid), mekanisme umpan balik dari jaringan perifer, aferen barorefleks, kadar kortikosteroid plasma (ACTH dan CRF) dan osmolalitas plasma (vasopressin).
Universitas Indonesia
10
Kompleksitas jaringan makin bertambah dengan organisasi di tingkat seluler meliputi sel endotel, sel glia (astrosit dan mikroglia) serta sel neuron. Fungsi protektif terutama dijalankan oleh sel astrosit dengan cara mengatur aliran darah lokal, transport substrat energi bagi sel neuron, menjaga sifat permeabilitas sawar darah otak, menghancurkan patogen serta perbaikan jaringan.24 Sebaliknya aktivasi sel glia yang berlebihan pada tingkatan tertentu menimbulkan efek samping lain berupa pelepasan zat neurotoksik seperti pelepasan nitrit oksida (NO) dan glutamat.30 Sawar darah otak mempunyai peran kunci dalam patofisiologi sepsis. Keadaan yang disebut sebagai panendotelitis pada sepsis atau aktivasi endotel difus, merupakan pangkal terjadinya syok septik.26 Sel endotel di sawar darah otak dapat diaktifkan oleh lipopolysacharide (LPS) dan sitokin-sitokin proinflamasi yang mendorong ekspresi dari CD40, molekul vascular cell adhesion molecule (VCAM-1) atau molekul inter cellular adhesion molecule (ICAM-1) serta e-selectin. Rangkaian ini berlanjut mengaktifkan sintesis cyclooxygenase 2 dan merangsang jalur IκB-/nuclear factor-kappa B (NF-κB).31-35 LPS juga memicu ekspresi dari interleukin 1 (IL-1), reseptor tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan peningkatan produksi dari IL-1, TNF-α dan IL-6 serta meng-induksi nitrite oxide synthetase (NOS) dan mengaktifkan endotel.36 Ekspresi sitokin proinflamasi serta NO kemudian berinteraksi dengan sel-sel otak sekitarnya, menyampaikan respons peradangan di SSP. Konsekuensi dari aktivasi endotel adalah kerusakan sawar darah otak.37 Fenomena serupa juga terjadi di hipokampus dari tikus dengan sepsis.38 Disfungsi endotel selain mengganggu suplai oksigen, nutrisi dan metabolit juga mem-fasilitasi masuknya berbagai faktor neurotoksik ke sawar darah otak. Penelitian Sharshar dkk, pada pasien dengan syok septik menunjukkan bahwa MRI otak dapat mengungkapkan rincian kerusakan sawar darah otak. Studi tersebut menemukan edema vasogenik yang terlokalisasi pada ruang Virchow-Robin pada semua pasien dengan syok septik.11 Akhir dari aktivasi endotel adalah terjadinya disfungsi mikrosirkulasi, perubahan tonus vaskuler dan aktivitas koagulasi menuju ke arah lesi iskemik atau perdarahan.26
Universitas Indonesia
11
Studi post mortem menunjukan bahwa syok septik berhubungan kerusakan non-inflamasi berupa lesi iskemik, pendarahan dan mikro-abses di otak. Lesi iskemik terjadi di daerah yang sensitif terhadap kekurangan aliran darah serebral.11,25
Meskipun
terbukti
perubahan
aliran
darah
serebral
dan
otoregulasinya dari beberapa penelitian, sebagian peneliti masih berbeda pendapat.39 Gangguan mikrosirkulasi selain dapat menyebabkan lesi iskemik juga menyebabkan lesi hemoragik. Hipoksemia, hiperglikemia dan hipoglikemia sangat tidak menguntungkan bagi sel-sel neuron. Mori dkk menerangkan, daerah amigdala dan hipokampus sangat rentan terhadap hipoksemia dan hipoglikemia.40 Terapi insulin meningkatkan risiko hipoglikemia, tetapi sekaligus mengurangi hiperglikemia yang terkait dengan disfungsi mitokondria.
2.3.1 Ensefalopati Sepsis Manifestasi neurologis yang paling sering ditemukan pada sepsis adalah gangguan atau disfungsi SSP yaitu ensefalopati sepsis. Ensefalopati sepsis atau pada saat ini disebut sebagai sepsis associated delirium (SAD) sering tidak ter-diagnosis, baik pada pasien rawat biasa maupun pasien di ruang rawat intensif.41 Berbagai kepustakaan menyebutkan prevalensi ensefalopati sepsis bervariasi antara 9 hingga 71% pada kasus sepsis berat atau syok septik pada populasi dewasa.8,42 Istilah ensefalopati sepsis masih diperdebatkan, dari penelitian Ebersoldt dkk menyebutnya sebagai sepsis asscociated delirium.43 Batasan yang umum dari kedua istilah tersebut adalah disfungsi difus atau multifokal otak yang berhubungan dengan penyebab infeksi umum tanpa adanya infeksi intrakranial yang dibuktikan dengan gejala klinis atau laboratorium atau faktor lain yang kondisinya tidak berhubungan dengan infeksi secara signifikan dapat mengganggu fungsi otak. Dasar dari terjadinya ensefalopati sepsis belum jelas. Perkembangan terakhir ensefalopati sepsis adalah suatu proses multifaktorial yang melibatkan gangguan homeostasis neuroimunoendokrin, penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen di jaringan otak, edema serebral, gangguan atau kerusakan sawar darah otak, gangguan komposisi neurotransmitter, gangguan fungsi astrosit serta degenerasi sel-sel neuron.44-46
Universitas Indonesia
12
2.4
Glasgow Coma Scale dan Pediatric Logistic of Organ Dysfunction
Penilaian kesadaran adalah pemeriksan klinis yang dilaksanakan di awal pada pasien dengan cedera kepala untuk mengetahui derajat kerusakan di SSP.47 Sejak lama dikenal Glasgow coma scale (GCS) adalah metode kualitatif yang umum dikerjakan untuk menilai status neurologis awal pada dewasa dan remaja. Parameter penilaian meliputi tanggap mata (eye), gerakan (movement) dan bicara (verbal). Skor total minimal adalah 3 dan maksimal 15. Modifikasi GCS kemudian dibuat untuk bayi dan anak serta pembagian derajat berat-ringan gangguan kesadaran yang tidak berbeda dengan pasien dewasa. Pembagian derajat gangguan kesadaran sebagai berikut:48,49 Skor 13-15
: gangguan kesadaran ringan
Skor 9-12
: gangguan kesadaran sedang
Skor 3-8
: gangguan kesadaran berat
Gangguan fungsi organ pada sepsis menggunakan suatu skor disfungsi organ yang disebut skor pediatric logistic of organ dysfunction (PELOD). Skor PELOD salah satu parameternya adalah skor GCS yang menggambarkan disfungsi organ di SSP. Meskipun penilaian GCS awalnya digunakan untuk pasien dengan cedera kepala, validasi skor PELOD telah terbukti cukup baik untuk menilai prognosis pasien sepsis dengan kegagalan multi organ.50 Hambatan pemeriksaan GCS pada sepsis dengan disfungsi organ adalah kesulitan penilaian klinis pasien dengan sedasi dan atau pasien dengan bantuan ventilator.7
2.5
Biomarker Gangguan Neurologis
Tidak berbeda dengan bagaimana diagnosis sepsis ditegakkan, biomarker merupakan alternatif yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan neuro logis di SSP serta prognosis pasien anak/bayi dengan kondisi kritis (critically ill). Kondisi klinis yang sudah dilakukan penelitian biomarker gangguan neurologis tersebut meliputi cedera kepala, pasca-henti jantung dan operasi jantung, HIE pada neonatus serta sepsis.12-14, 15 Keterbatasan pemeriksaan elektrofisiologi yaitu EEG, somatosensory evoked potential (SEP) dan pencitraan adalah alasan utama penggunaan biomarker spesifik untuk kerusakan di SSP. Salah satu biomarker
Universitas Indonesia
13
yang banyak diteliti saat ini adalah enzim dan protein spesifik seperti NSE dan protein S-100b. Beberapa biomarker potensial lain adalah glial fibrillary acidic protein (GFAP), myelin based protein (MBP) serta biomarker imunologis seperti IL-6, VCAM, e-Selectin dan p-Selectin.7, 14
2.5.1 Neuron Specific Enolase (NSE) dan Protein S-100b Neuron spesific enolase (NSE) dan protein S-100b adalah biomaker kerusakan otak yang sering digunakan.14 Keduanya adalah enzim yang dikeluarkan kedalam sirkulasi apabila terjadi kerusakan di sel glia atau sel neuron di SSP. Peningkatan keduanya dalam darah dihubungkan dengan kerusakan atau trauma di SSP pada kadar tertentu. NSE adalah glikoprotein dimer yang terdapat dalam sel neuron dan neuroektodermal.13 Pasca henti jantung, baik pada pasien dewasa dan anak, peningkatan kadar NSE dalam darah mempunyai nilai prognostik luaran neurologis buruk.13,
52,53
Lebih jauh, NSE memegang peran dalam identifikasi
trauma kepala yang disengaja atau inflicted traumatic brain injury (iTBI) pada bayi.54 Penelitian Berger dkk, menemukan peningkatan kadar enzim dalam serum berhubungan dengan keadaan hipoksik-iskemik karena henti jantung atau henti nafas pada populasi anak.55 Protein S-100b adalah salah satu protein calcium binding, ditemukan pada sel glia (glial-specific) dan sel Schwann di SSP. Dalam konsentrasi nanomolar per liter protein ini membantu proliferasi dan diferensiasi sel neuron (neurotrophic factor).55 Sebaliknya pada konsentrasi mikromolar per liter mempercepat kematian sel neuron dan sel glia. Pada anak ditemukan heterogenitas kadar protein S-100b yang disebabkan oleh pengaruh tumbuh kembang anak, integritas sawar darah otak, umur dan penyakit dasar (underlying disease). Spinella dkk, menunjukkan bahwa pada anak sehat mempunyai rerata kadar protein S-100b adalah 0,3 μg/L, akan menurun sebesar 0,15 μg/L per tahun.56 Peningkatan kadarnya dihubungkan dengan luaran berat-ringannya sekuela neurologis pada anak dengan meningitis dan trauma kepala. Pasca henti jantung pada pasien anak, peningkatan kadar protein S-100b dalam darah berhubungan dengan kematian pada 48 jam pertama pasca henti jantung. 55 Lebih
Universitas Indonesia
14
jauh, penelitian Routsi menyebutkan bahwa protein S-100b berkaitan dengan hipoperfusi jaringan pada pasien sepsis tanpa ditemukan gangguan neurologis.57 Baik NSE maupun protein S-100b sampai saat ini masih mengundang kontroversi dalam pemakaiannya sebagai biomarker.14 Banyak data penelitian yang mendukung peningkatan kedua biomarker tersebut pada pasien-pasien dengan cedera otak, pasca henti jantung, stroke dan sepsis. Tetapi, kedua biomarker tersebut ternyata tidak hanya ditemukan di SSP. Kadarnya meningkat pada iskemia jaringan diluar SSP, gangguan ginjal dan hati serta keganasan.55-57 Telaah oleh Peduci dkk, menyatakan bahwa NSE banyak ditemukan dalam sel eritrosit, sehingga peningkatannya tidak selalu diakibatkan adanya kelainan di SSP. Bahkan kemungkinan besar dipengaruhi oleh hemolisis. Peningkatan protein S-100b dalam darah juga dikaitkan karena pengaruh trauma/fraktur yang telah dibuktikan pada hewan percobaan. Protein S-100b juga banyak ditemukan dalam jantung, meningkat nilainya pada pasca operasi dan resusitasi jantung.
2.5.2 Neuron Specific Enolase dan Protein S-100b pada Sepsis Penelitian mengenai NSE dan protein S-100b belum banyak dilakukan pada pasien dengan sepsis. Nguyen dkk, meneliti 170 pasien dewasa dengan sepsis berat dan syok septik menemukan peningkatan NSE dan protein S-100b plasma masing-masing sebesar 42% dan 53%.14
Terdapat hubungan antara nilai
maksimum sepsis-related organ failure assessment (SOFA) dengan tingginya kadar kedua biomarker tersebut. Penurunan kesadaran ternyata lebih banyak terlihat pada pasien dengan peningkatan protein S-100b. Iskemia otak berat atau lesi hemoragi berhubungan dengan kadar protein S-100b lebih dari 4 mikrogram per liter. Angka kematian pada penelitian ini juga berhubungan dengan tingginya kadar protein S-100b plasma. Sebaliknya, kadar neuron spesific enolase dan penilaian klinis melalui GCS tidak menemukan hubungan yang signifikan. Nilai ambang (cut off point) protein S-100b dan NSE untuk terjadinya kematian kurang dari 72 jam dan lebih dari 72 jam adalah lebih dari 0,65 μg/L dan 16,7 μg/L (Gambar 2.2). Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kadar protein S100b merupakan prediktor terjadinya kematian awal pada perawatan di ruang
Universitas Indonesia
15
intensif. Dalam hal ini, protein S-100b lebih baik dalam menilai beratnya ensefalopati serta kerusakan otak dibandingkan dengan kadar NSE dan GCS.
Gambar 2.2 Kurva ROC dengan Nilai Ambang Protein S-100b dan NSE dalam Prognosis Mortalitas Lebih dari 72 jam (kiri) dan Mortalitas Kurang dari 72 jam (kanan).14 Gambar kiri: Pada kadar protein S-100b 0,65 µg/L, prognosis mortalitas didapatkan sensitivitas sebesar 31% dan specifisitas 88%. AUC 0,6 (IK95% 0,49-0,68). Pada kadar NSE 16,7 µg/L, prognosis mortalitas didapatkan sensitivitas sebesar 31% dan spesifisitas 82%. AUC 0,51 (IK95% 0,42-0,61). Gambar kanan: Pada kadar protein S-100b 0,65 µg/L, prognosis mortalitas didapatkan sensitivitas sebesar 83% dan specifisitas 72%. AUC 0,83 (IK95% 0,7-0,97). Pada kadar NSE 16,7 µg/L, prognosis mortalitas didapatkan sensitivitas sebesar 75% dan spesifisitas 80%. AUC 0,83 (IK95% 0,75-0,95).
Lanjutan penelitian kohort pada populasi anak dengan syok septik kemudian dilakukan oleh Hsu.7 Tiga puluh tujuh pasien anak dengan syok septik diteliti menggunakan 3 biomarker yaitu protein S-100b yang diukur pada darah dan urin, NSE dan glial fibrillary acidic protein (GFAP). Pemeriksaan biomarker dilakukan setiap hari dengan pemantauan rekaman continous EEG (cEEG) pada hari ke 1,2,4, 5 dan 7. Anak dengan demam yang datang ke instalasi gawat darurat diambil sampelnya dan digunakan sebagai kontrol. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan pada anak dengan syok septik mempunyai rerata kadar protein S-100b dan NSE serum lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol ( S100b: 10,5 μg/L ± 2,4 versus 0.9 μg/L± 0,1, dengan p <0.001; NSE: 96,6 μg/L ± 8,9 versus 4,0 μg/L± 1,3, p <0,001). Pengukuran harian kadar protein S-100b dan NSE dalam darah menunjukkan peningkatan, dengan puncaknya pada hari ke 5-7. Rekaman cEEG menunjukkan gambaran yang sesuai dengan ensefalopati sedang
Universitas Indonesia
16
sampai berat pada semua anak dengan syok septik. Sebaliknya, glial fibrillary acidic protein (GFAP) serum hanya terukur pada 5 pasien. Meski dengan sample kecil, penelitian menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan NSE dan protein S100b pada pasien anak dengan sepsis berat dan syok septik.
Universitas Indonesia
17
KERANGKA KONSEP
Tersangka Infeksi
Umur Kelamin
Virulensi
Penyakit dasar
Imunodefisiensi
Fokus infeksi
Genetik
SIRS
Prokalsitonin +
SEPSIS
Kultur + Serologi +
Gangguan metabolik Gangguan hemodinamik Koagulopati
Aktivasi endotel sawar darah otak Kerusakan sawar darah otak Peningkatan permeabilitas sawar darah otak
Iskemia & hipoksemia jaringan sel di SSP
Peningkatan zat neurotoksik Peningkatan sitokin-sitokin sistemik di SSP Perubahan neurotransmiter
Kerusakan sel neuron dan sel glia di SSP
Elisa NSE
Peningkatan NSE dan protein S-100b darah
Penurunan kesadaran (GCS)
Elisa S-100b
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Ruang lingkup penelitian
Universitas Indonesia
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik potong lintang mengenai gambaran klinis serta kadar biomarker NSE dan protein S-100b dalam darah pada anak dengan sepsis. 3.2
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, RSUD Tangerang dan RSUD Cengkareng. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Maret 2011. 3.3
Populasi Target Penelitian
Populasi target penelitian ini adalah pasien anak dengan sepsis di Indonesia. Populasi terjangkau adalah pasien anak dengan sepsis yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, RSUD Tangerang dan RSUD Cengkareng selama kurun waktu penelitian. 3.4
Kriteria Penerimaan
3.4.1 Kriteria inklusi Pasien anak (usia 2 – 18 tahun) dengan sepsis yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM,
RSUD Tangerang dan RSUD Cengkareng,
selama periode penelitian. Penentuan sepsis sesuai dengan kriteria sepsis berdasarkan Konsensus Internasional Sepsis Pediatrik tahun 2002. Konfirmasi infeksi dilakukan dengan peningkatan kadar biomarker prokalsitonin dan atau kultur darah, serologi Dengue, serologi Demam Typhoid dan kultur jamur positif. 3.4.2 Kriteria eksklusi Meningitis, ensefalitis, abses serebri, tumor serebri atau kelainan lain di SSP. Pasien dengan cedera kepala atau trauma lain Pasien dengan tumor paru Pasien dengan kelainan jantung, pasca bedah jantung yang mendapat terapi Pasien dengan atau pasca-hemodialisis Tidak mendapatkan persetujuan dari orangtua atau wali. 18 Universitas Indonesia
19
3.5 Metode Pengambilan Sampel Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel diambil secara consecutive sampling sampai jumlah pasien terpenuhi. 3.6 Estimasi Besar Sampel Perkiraan besar sampel untuk mengetahui korelasi berdasarkan rumus korelasi dari Fisher. (Rumus 3.1) n=
3.1
+3
+3
n=
+3
,7 = 31
Dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% ( Zα
), power sebesar 80% ( Zβ
= 0,674) dan r (tingkat korelasi yang diketahui)56 = 0,5 maka besar sampel berdasarkan perhitungan untuk penelitian ini adalah sebesar 31 subyek. 3.7
Prosedur Penelitian
1. Setiap pasien anak dengan sepsis atau tersangka sepsis dilakukan pencatatan
meliputi data demografi dan klinis yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan neurologis serta penelusuran rekam medis meliputi riwayat penyakit sebelumnya serta data laboratorium berupa darah perifer lengkap, data prokalsitonin dan atau pemeriksaan kultur dan serologi. 2. Semua pasien anak yang memenuhi kriteria inklusi dimintakan izin dari orang
tua atau wali setelah sebelumnya mendapatkan penjelasan mengenai manfaat dan akibat sehubungan dengan penelitian ini. Orangtua atau wali yang menyetujui dan bersedia anaknya diikutsertakan dalam penelitian diminta menandatangani formulir izin penelitian. 3. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan biomarker NSE dan
protein S-100b. Sampel darah diambil sebanyak 3 ml darah beku. 4. Sampel darah langsung dikirim ke laboratorium klinik Prodia. Sampel di-
sentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 3 menit, supernatant plasma
Universitas Indonesia
20
diambil dan disimpan pada suhu -70 C. Di akhir waktu penelitian seluruh sampel diuji bersama-sama untuk pemeriksaan NSE dan protein S-100b. 5. Pengukuran NSE menggunakan tes reagensia dari Nexus Dx™ NSE (Nanogen
Inc, San Diego, CA) dengan metode sandwich ELISA. 6. Pengukuran kadar protein S-100B menggunakan tes reagensia dari Nexus Dx
™ S-100 (Nanogen Inc, San Diego, CA) dengan metode sandwich ELISA. 7. Semua data tersebut kemudian dicatat pada formulir penelitian dan database
elektronik. 3.8
Bagan Alur Penelitian Pasien anak dengan sepsis Klinis (Suhu, Nadi, Pernafasan, Tekanan darah) Darah tepi ( Leukosit > 15.000/mm3) Procalcitonin ( > 2 μg/L) Kultur darah/jaringan (bakteri/jamur) Serologi virus
Informed Consent Penelitian
Tidak setuju
Keluar dari peneltian Setuju GCS hari ke 1 dan ke 3 Status neurologis hari 1 dan ke 3 S-100b darah (sampel disimpan pada suhu minus 70 C) Neuron specific enolase darah (sampel disimpan pada suhu minus 70 C)
Pencatatan Analisa hasil
Gambar 3.1. Diagram Alur Penelitian 3.9
Identifikasi Variabel
Variabel dependen adalah luaran kematian, variabel independen adalah skor GCS, kadar NSE, kadar protein S-100b.
Universitas Indonesia
21
3.10 Pengolahan dan Analisis Data Data entry : Data kemudian dimasukkan ke dalam program komputer Microsoft Excel 2010 dan program SPSS 17.0 agar dapat diolah sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data : Perhitungan data deskriptif meliputi demografi, profil GCS, NSE, protein S-100b dibantu oleh program komputer Microsoft Excel 2010. Selanjutnya, dilakukan analisis korelasi dan hubungan antar nilai-nilai tersebut. 3.11 Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi. 3.12 Batasan Operasional Kriteria umur adalah 2 tahun – 18 tahun. Umur pada penelitian ini ditentukan dalam tahun, dihitung berdasarkan selisih tahun antara tanggal penelitian dilakukan dengan tanggal lahir. SIRS adalah tanggap inflamasi sistemik berupa kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan minimal 2 dari 4 parameter meliputi perubahan dari suhu, frekuensi denyut jantung, frekuensi nafas dan jumlah leukosit. Kriteria SIRS pada penelitian ini disesuaikan dengan Konsensus Internasional Sepsis Pediatrik tahun 2005.6 (lampiran 10) Infeksi adalah terdapatnya pertumbuhan organisme (bakteri, virus, parasit, jamur atau organisme lain) di dalam tubuh. Sepsis adalah SIRS dengan ditemukan adanya bukti infeksi baik bakteri, virus, jamur atau organisme lainnya. Pada penelitian ini pembuktian infeksi adalah infeksi bakteri dengan kadar prokalsitonin diatas 2 ng/L23 dan atau kultur positif, infeksi virus/parasit dengan serologi virus atau serologi parasit positif serta infeksi jamur sistemik dibuktikan dengan kultur darah jamur positif. Kriteria sepsis sesuai dengan Konsensus Internasional Sepsis Pediatrik tahun 2005.6 (lampiran 10) Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan gangguan kardiovaskuler atau gangguan pernafasan atau
dua atau lebih gangguan organ multi fungsi.6
(lampiran 10)
Universitas Indonesia
22
Syok septik adalah sepsis berat yang tidak perbaikan dengan resusitasi cairan. (lampiran 10) Fokus infeksi adalah tempat atau asal dari proses infeksi di suatu organ yang mungkin dapat menyebar ke organ lain secara sistemik. Penyakit dasar adalah penyakit atau gangguan yang terjadi sebelum keadaan sepsis. Pada penelitian ini data penyakit dasar diperoleh dari anamnesis dan atau rekam medis pasien. Kesadaran adalah tingkat kesiagaan terhadap stimulus eksternal maupun internal. Pada penelitian ini kesadaran dinilai berdasarkan modifikasi skala koma Glasgow untuk anak yaitu modified Glasgow coma scale for infants and children. Skala berdasarkan atas 3 parameter : eye (E), motor (M), verbal (V). Skor minimal 3 dan maksimal 15. (lampiran 12)49 Penurunan kesadaran adalah menurunnya kualitas kesadaran berdasarkan skor skala koma Glasgow dibagi menjadi: penurunan kesadaran ringan atau tanpa penurunan kesadaran (GCS diatas 13), penurunan kesadaran sedang (GCS 9 12) dan penurunan kesadaran berat ( dibawah 8). Perbaikan penurunan kesadaran adalah apabila terjadi perubahan dari penurunan kesadaran berat atau sedang
di hari pertama ke penurunan
kesadaran ringan di hari ketiga atau penurunan kesadaran ringan
yang
menetap (skor tetap diatas 13) selama 3 hari pengamatan. Perburukan penurunan kesadaran apabila terjadi perubahan dari penurunan kesadaran ringan atau sedang di hari pertama ke penurunan kesadaran sedang atau berat di hari ketiga atau penurunan kesadaran sedang atau berat yang menetap selama 3 hari pengamatan. Hari pertama adalah rentang waktu dalam 24 jam pertama sejak subyek dinyatakan tersangka sepsis atau sepsis. Hari ke tiga adalah rentang waktu 24 jam setelah 72 jam subyek dinyatakan tersangka sepsis atau sepsis. NSE adalah enzim glikolitik yang terdapat dalam neuron di SSP. Peningkatannya kadar dalam darah dihubungkan dengan kerusakan di SSP. Pada penelitian ini kadar NSE darah dengan nilai ambang batas diatas 12,6 μg/L sebagai tidak normal.14 Prinsip deteksi protein S-100b pada penelitian ini
Universitas Indonesia
23
menggunakan teknik Sandwinch ELISA dengan reagensia dari Nexus Dx™ NSE. (Lampiran 13) Protein S-100b adalah protein yang terdapat di sel glia (glial specific), terutama di sel astrosit. Peningkatannya kadar dalam darah dihubungkan dengan kerusakan di SSP. Pada penelitian ini, kadar protein S-100b dalam darah dengan nilai ambang batas diatas 0,6 μg/L sebagai tidak normal.14 Prinsip deteksi protein S-100b pada penelitian ini menggunakan teknik Sandwinch ELISA dengan reagensia dari Nexus Dx ™ S-100. (Lampiran 13)
3.13 Etika Penelitian Permohonan persetujuan etik penelitian sudah diajukan kepada Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan disetujui melalui surat nomor 414/PT02.FK/ETIK/2010 (Lampiran 6). Sebelum subjek di ikut-sertakan dalam penelitan, persetujuan akan diminta dari orangtua/wali setelah sebelumnya diberikan penjelasan mengenai tujuan, prosedur, manfaat, serta risiko penelitian (informed consent).
Universitas Indonesia
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1
Subyek Penelitian
Selama waktu penelitian (Juli 2010 – Maret 2011), terdapat 35 anak dengan sepsis berumur 2 – 18 tahun di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM RSUD Tangerang dan RSUD Cengkareng yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel darah tidak dapat diperoleh pada 3 subyek dan 2 subyek menolak ikut dalam penelitian, sehingga terdapat 30 subyek yang diikutsertakan. Sebelas subyek adalah pasien rawat inap yang dirawat di PICU, 18 adalah pasien rawat inap yang dirawat di bangsal kelas 2 dan 3 Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, RSUD Tangerang dan RSUD Cengkareng serta 1 kasus baru di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM (Gambar 4.1).
35 subyek umur 2-18 tahun dengan sepsis
dikeluarkan
3 subyek: sampel darah tidak dapat diperoleh 2 subyek : menolak
30 subjek diteliti
Sample darah NSE & S-100b 30 subyek
GCS & pemeriksan neurologis 30 subyek
GCS & pemeriksan neurologis h+3 30 subyek
Gambar 4.1 Subyek Penelitian 4.2
Karakteristik Subyek
Subyek penelitian terdiri 11 anak laki-laki dan 19 perempuan dengan rentang usia 2 – 16 tahun. Tujuh belas subyek berada pada kelompok umur prasekolah (2-5 tahun), 12 subyek pada kelompok umur sekolah dan 1 subyek pada kelompok umur remaja. Status gizi subyek ditemukan 1 subyek dengan gizi buruk, 13 subyek dengan gizi kurang, 12 dengan gizi baik, 3 subyek dengan gizi lebih dan 1 subyek dengan obes (Tabel 4.1). 24 Universitas Indonesia
25
4.3
Gambaran Klinis Subyek dengan Sepsis
Menurut derajat berat-ringannya sepsis terdapat 19 subyek dengan sepsis tanpa disfungsi organ, 5 subyek dengan sepsis berat dan 6 subyek dengan syok septik. Fokus infeksi sebagian besar subyek berasal dari traktus respiratorius berupa pneumonia dengan atau tanpa efusi pleura sebanyak 13 subyek, infeksi saluran kemih sebanyak 6 subyek, demam berdarah Dengue sebanyak 5 subyek, infeksi saluran cerna sebanyak 5 subyek dan 1 subyek pasca operasi abdomen. Sebagian besar subyek pada penelitian ini menderita sepsis tanpa disertai penyakit dasar (underlying disease). Berbeda dengan keadaan sepsis berat atau syok septik sebagian besar subyek memiliki penyakit dasar yang menyertai sepsis. Lima subyek menderita penyakit dasar berupa keganasan atau tumor yang meliputi rhabdomyosarcoma, neuroblastoma, tumor intrameduler dan tumor sinus endodermal, selebihnya 6 subyek masing-masing dengan penyakit dasar talasemia, tuberkulosis paru, cerebral palsy, Sindrom Guilain Barre, HIV dan pasca operasi berulang. Dua belas subyek memerlukan penggunaan inotropik, berbanding dengan 18 subyek tanpa penggunaan inotropik. Bantuan ventilator berperan pada 8 subyek penelitian, sedangkan 22 subyek tidak memerlukan bantuan ventilator. Pemantauan selama perawatan, hari rawat rata-rata subyek adalah sebesar 11,5 ± 7,6 hari. Selama penelitian ini, 5 subyek meninggal dunia dalam perawatan sedangkan sisanya dapat dipulangkan pasca perawatan. 4.4
Gambaran Laboratorium Subyek dengan Sepsis
Gambaran darah tepi pada subyek dengan sepsis, 21 subyek diantaranya mempunyai kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dL atau menderita anemia dengan nilai rerata Hb adalah 10,9 ± 2,5 g/dL. Leukositosis ditemukan pada 21 subyek, 4 subyek normal dan 5 subyek leukopenia, dengan rerata nilai leukosit sebesar 18.016 ± 10.120 /mm³. Trombositopenia terjadi pada 13 subyek, normal pada 8 subyek dan trombositosis pada 9 subyek. Nilai rerata hitung trombosit adalah 209.800 ± 147.952 /mm³. Biomarker prokalsitonin pada 26 subyek mempunyai nilai diatas ambang 2 μg/L dengan nilai minimum 0,3 μg/L, maksimum 1424 μg/L dan median 6,6 μg/L ( Tabel 4.1 ).
Universitas Indonesia
26
Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Karakteristik Umur [(median, range)] tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok umur Prasekolah (2 – 5 tahun) Usia sekolah (6 - 12 tahun) Remaja (12 – 18 tahun) Status gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi cukup Gizi lebih Obes Derajat sepsis Sepsis tanpa disfungsi organ Sepsis berat Syok sepsis Fokus infeksi Pneumonia / efusi pleura Demam berdarah Dengue Infeksi saluran kemih Infeksi saluran cerna Pasca operasi abdomen Penyakit dasar Tumor / keganasan Pasca operasi Sindrom Guilan Barre Thalasemia Cerebral palsy HIV Tuberculosis paru Tanpa penyakit dasar Anemia ( Hb < 12 g/dL ) Tanpa anemia Anemia Hitung leukosit Normal Leukositosis Leukopenia Hitung trombosit Normal Trombositopenia Trombositosis Prokalsitonin ( PCT > 2 μg/L) Normal Abnormal Inotropik Tanpa inotopik Menggunakan inotropik
Jumlah ( n = 30) 6,4 (5,5 -16) 11 19 17 12 1 1 13 12 3 1 19 5 6 13 5 6 5 1 5 2 1 1 1 1 1 18 9 21 4 21 5 9 13 8 4 26 18 12
Universitas Indonesia
27
Tabel 4.1 Karakteristik Subyek (lanjutan) Ventilator Tanpa ventilator Menggunakan ventilator Luaran Hidup Meninggal
22 8 25 5
Pemeriksaan kultur darah dan jaringan, tumbuh kuman pada 7 subyek yang terdiri dari spesies Klebsiela pneumonia sebanyak 4 isolat dan 3 isolat masing-masing untuk Acinetobacter sp, Staphylococcus epidermidis, dan Pseudomonas sp. Kultur darah jamur ditemukan 1 isolat dengan spesies C. albicans. Kultur urin tumbuh pada 10 isolat dengan spesies kuman E.coli dengan 6 isolat, 3 isolat tumbuh jamur C. albicans dan 1 isolat C. tropicalis. Uji serologi Anti-Dengue IgM ditemukan positif pada 5 subyek dengan sepsis (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Gambaran Patogen pada Subyek dengan Sepsis Kultur darah Patogen E. coli Klebsiela pneumonia Acinetobacter sp Staphylococcus epidermidis Pseudomonas aeruginosa Candida albicans Candida tropicalis Dengue
4.5
Kultur urin ( >105 koloni/ml)
4 1 1 1 1
6 3 1 -
Serologi
5
Glasgow Coma Scale dan Manifestasi Neurologis
Glasgow coma scale (GCS) pada subyek dikelompokkan menjadi penurunan kesadaran berat ( GCS < 8), penurunan kesadaran sedang (GCS 9 – 12) dan tanpa penurunan kesadaran (GCS 13 – 15). Penilaian yang dilakukan pada hari pertama, 19 subyek dengan kesadaran baik, 2 subyek dengan penurunan kesadaran sedang dan 9 subyek dengan penurunan kesadaran berat. Di hari ketiga perawatan, GCS subyek dinilai kembali, jumlah subyek dengan penurunan kesadaran ringan berkurang menjadi 17 subyek, 5 subyek dengan penurunan kesadaran sedang dan perbaikan klinis subyek dengan penurunan kesadaran berat menjadi 8 subyek (Tabel 4.3).
Universitas Indonesia
28
Tabel 4.3 Penurunan Kesadaran Berdasarkan GCS Hari Pertama dan Ketiga Penurunan Kesadaran
Jumlah ( n = 30)
Hari Pertama Ringan Sedang Berat Hari Ketiga Ringan Sedang Berat
19 2 9 17 5 8
Erat kaitannya dengan penurunan kesadaran yang didasarkan pada komponen EMV, gangguan neurologis yang ditemukan adalah kelumpuhan extremitas yang bersifat lower motor
neuron, upper motor neuron dengan
spastisitas. Ditemukan 2 pasien dengan kejang umum dan tidak ditemukan gangguan paresis nervus kranial. Pengaruh sedasi menyulitkan penilaian gangguan neurologis, selain itu intubasi menyebabkan penilaian verbal tidak sesuai dengan seharusnya. Pola distribusi gangguan neurologis di hari pertama dan ketiga dihubungkan dengan skor GCS ditampilkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Gangguan Neurologis Dihubungkan dengan Penurunan Kesadaran Penurunan Kesadaran Hari pertama Ringan Sedang Berat Hari ketiga Ringan Sedang Berat
Paralisis UMN
Paralisis LMN
Kejang
0 1 0
0 2 10
1 1 0
0 1 0
0 3 9
0 0 0
Kualitas penurunan kesadaran dinilai berdasarkan perbaikan atau perburukan secara klinis selama 3 hari pengamatan dari tabel diatas. Sembilan belas subyek mengalami perbaikan penurunan kesadaran atau hanya mengalami penurunan ringan selama 3 hari pengamatan. Sebelas subyek mengalami perburukan penurunan kesadaran atau tidak mengalami perubahan skor GCS selama 3 hari pengamatan.
Universitas Indonesia
29
Hari pertama perawatan, 16 dari 19 subyek sepsis tanpa disfungsi organ hanya ditemukan penurunan kesadaran ringan, 1 subyek dengan penurunan kesadaran sedang dan 2 subyek dengan penurunan kesadaran berat. Pada subyek dengan sepsis berat, 2 subyek mengalami penurunan kesadaran ringan, 1 subyek menderita penurunan kesadaran sedang dan 2 subyek menderita penurunan kesadaran berat. Selanjutnya, 1 subyek dengan syok sepsis dengan penurunan kesadaran ringan serta 5 subyek dengan penurunan kesadaran berat. Di hari perawatan ketiga, terjadi penurunan kualitas kesadaran pada subyek sepsis tanpa disfungsi organ menjadi 14 subyek dari 16 subyek dengan penurunan kesadaran ringan dan 3 subyek dengan penurunan kesadaran sedang. Perbaikan klinis kesadaran terjadi 1 subyek dengan penurunan kesadaran berat menjadi 2 subyek dengan penurunan kesadaran berat (Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Distribusi Penurunan Kesadaran Berdasarkan Derajat Sepsis Penurunan kesadaran Hari pertama Ringan Sedang Berat Hari ke-tiga Ringan Sedang Berat
4.6
Sepsis
Sepsis berat
Syok sepsis
16 1 2
2 1 2
1 0 5
14 3 2
2 2 1
1 0 5
Hubungan Biomarker Kerusakan Otak dengan Glasgow Coma Scale
4.6.1 Neuron Specific Enolase (NSE) Biomarker kerusakan otak, NSE dalam penelitian ini, mempunyai nilai median 8,10 μg/L yang berbeda dengan median subyek normal yaitu 4,20 μg/L. Diambil nilai median disebabkan sebaran data yang di uji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov menghasilkan sebaran yang tidak normal. Enzim ini ditemukan meningkat pada 12 dari 30 subyek. Dari 12 subyek tersebut, 1 subyek tanpa hemolisis mempunyai nilai ekstrim diatas 100 μg/L dan dikeluarkan dari analisis. Analisis bivariat dimulai dengan analisis hubungan antara NSE dengan penurunan kesadaran pada hari pertama dan ketiga, derajat sepsis dan luaran kematian. Selanjutnya, dilakukan analisis korelasi dan perhitungan nilai prediktif dengan kurva ROC.
Universitas Indonesia
30
Berdasarkan penurunan kesadaran terdapat 12 subyek dengan penurunan kesadaran ringan, 2 subyek dengan penurunan kesadaran sedang dan 3 subyek dengan penurunan kesadaran berat mempunyai kadar NSE dalam batas normal. Kadar NSE diatas normal ( > 12,6 μg/L) ditemukan pada 2 subyek dengan penurunan kesadaran ringan, 4 subyek dengan kesadaran sedang dan 6 subyek dengan penurunan kesadaran berat. Tabel 4.6 adalah uji chi-square yang menemukan hubungan bermakna antara penurunan kesadaran hari pertama dengan kadar NSE (RR=0,33 p = 0,008 IK95% 0,15 - 0,73). Selanjutnya, uji chisquare menemukan hubungan bermakna antara penurunan kesadaran hari ke tiga dengan kadar NSE (RR = 0,41 p = 0,035 IK95% 0,09 – 0,80) (Tabel 4.7).
Tabel 4.6 Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Pertama dengan Kadar NSE Penurunan kesadaran hari pertama Ringan Sedang/Berat
NSE Normal Abnormal
12 2
5 10
P 0,008
Tabel 4.7 Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Ketiga dengan Kadar NSE Penurunan kesadaran hari ketiga Ringan Sedang/Berat
NSE Normal Abnormal
12 4
5 8
P 0,035
Berdasarkan derajat sepsis, peningkatan NSE terdapat pada 7 subyek dengan sepsis tanpa disfungsi organ, 2 subyek dengan sepsis berat dan 3 subyek dengan syok sepsis. Sementara, kadar NSE normal didapat pada 11 subyek dengan sepsis tanpa disfungsi organ, 3 subyek dengan sepsis berat dan 3 subyek dengan syok septik. Uji mutlak Fisher tidak menemukan hubungan bermakna antara derajat sepsis dengan kadar NSE dengan p = 0,71 (Tabel 4.8).
Tabel 4.8 Hubungan Antara Derajat Sepsis dengan Kadar NSE NSE
Ringan Normal Abnormal
11 7
Derajat sepsis Sepsis berat/syok septik 6 5
P 0,71
Universitas Indonesia
31
Uji bivariat terakhir adalah mencari hubungan antara luaran kematian dengan peningkatan kadar NSE. Uji mutlak Fisher tidak menemukan hubungan antara luaran kematian dengan kadar NSE (Tabel 4.9).
Tabel 4.9 Hubungan Antara Luaran Kematian dengan Kadar NSE Luaran NSE
Hidup Normal Abnormal
Meninggal
15 9
3 2
P 1,00
Gambar 4.2 adalah analisis korelasi antara parameter klinis yaitu skor GCS dengan NSE pada hari pertama dan ketiga dan Dua analisis korelasi tersebut menunjukkan adanya hubungan korelasi negatif. Korelasi pada hari pertama dengan metode Spearman Rho menghasilkan korelasi negatif sedang dengan nilai r = -0,653, p = 0,001, sedangkan pada hari ketiga juga menghasilkan korelasi negatif sedang dengan nilai r = - 0,439 dan p = 0,015. Analisis dilanjutkan untuk mengetahui nilai prediksi kadar NSE dengan perbaikan/perburukan kesadaran dengan nilai ambang skor GCS kurang dari 12. Kedua nilai di-plot dengan menggunakan kurva ROC dan grafik silang antara sensitifitas dan spesifisitas. Gambaran kurva ROC menghasilkan AUC 82,8% dengan p=0,03 IK95% 0,68 – 0,98. Nilai ambang kadar NSE dengan skor GCS dibawah 12 adalah 8,1 μg/L dengan sensitifitas 83,3% dan spesifisitas 76,5% (Gambar 4.3).
Gambar 4.2 Grafik Korelasi Antara Skor GCS dengan Kadar NSE pada Hari Pertama dan Ketiga Universitas Indonesia
32
Gambar 4.3 Grafik Kurva ROC Antara NSE dengan Skor GCS Kurang dari 12 (kiri), Serta Titik Potong-nya (kanan) 4.6.2 Protein S-100b Sebagai biomarker kerusakan otak, protein S-100b ditemukan meningkat pada 6 dari 30 subyek dengan median 0,02 μg/L. Digunakan nilai ambang sebesar 0,02 μg/L, berdasarkan pertimbangan klinis bahwa dari seluruh subyek sepsis tanpa disfungsi organ memiliki kadar S-100b yang kurang dari 0,02 μg/L. Tidak seperti NSE, sampel yang mengalami hemolisis tidak mempengaruhi interpretasi hasil. Perhitungan uji kemaknaan hubungan antara derajat penurunan kesadaran hari pertama dan hari ketiga dengan kadar protein S-100b tidak menunjukkan hubungan bermakna (Tabel 4.10) (Tabel 4.11).
Tabel 4.10 Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Pertama dengan Kadar S-100b S-100b Normal Abnormal Uji mutlak Fisher, 2 arah
Penurunan kesadaran hari pertama Ringan Berat/sedang 14 10 1 5
P 0,17
Tabel 4.11 Hubungan Antara Penurunan Kesadaran Hari Ketiga dengan Kadar S-100b S-100b Normal Abnormal Uji mutlak Fisher, 2 arah
Penurunan kesadaran hari ketiga Ringan Berat/sedang 16 8 1 5
P 0,06
Universitas Indonesia
33
Demikian pula hubungan antara perbaikan penurunan kesadaran dengan kadar protein S-100b tidak menunjukkan hubungan bermakna, walaupun dengan nilai p = 0,016 tetapi IK95% berada di antara 0,04 – 1.35 atau melewati angka 1 (Tabel 4.12). Tabel 4.12 Hubungan Antara Perbaikan GCS dengan Kadar S-100b S-100b Normal Abnormal Uji mutlak Fisher 2 arah
Ya 18 1
Perbaikan kesadaran Tidak 6 5
P 0,016
Kadar S-100b diatas normal, berdasarkan derajat sepsis ditemukan pada 1 subyek dengan sepsis berat dan 4 subyek dengan syok sepsis. Sembilan belas subyek dengan sepsis tanpa disfungsi organ, 4 subyek dengan sepsis berat dan 2 subyek dengan syok sepsis, kadar S-100b ditemukan dalam batas normal. Berdasarkan analisis bivariat dengan uji mutlak Fisher, terdapat hubungan bermakna antara kadar S-100b dengan derajat sepsis (RR=0,24 IK95% 0,12 – 0,48) (Tabel 4.13).
Tabel 4.13 Hubungan Antara Derajat Sepsis dengan Kadar S-100b S-100b
Ringan
Normal Abnormal
Derajat Sepsis Sedang/Berat
19 0
6 5
P
0,003
Peningkatan biomarker kerusakan otak dihubungkan dengan luaran yang buruk pada subyek dengan sepsis. Analisis bivariat menunjukkan hubungan bermakna hubungan antara protein S-100b dengan luaran kematian (RR=0,13 dengan IK95% 0,03 - 0,60) (Tabel 4.14).
Tabel 4.14 Hubungan Antara Luaran Kematian dengan Kadar S-100b Luaran S-100b Normal Abnormal
Hidup 23 2
Meninggal
P
1 4
0,003
Universitas Indonesia
34
Uji korelasi dilakukan untuk melihat korelasi antara peningkatan protein S-100b dengan skor GCS hari pertama dan ketiga dengan metode Spearman Rho. Ditemukan hubungan korelasi negatif sedang dengan r =-0,493 p=0,007 pada hari pertama dan r = -0,505 p =0,005 pada hari ketiga (Gambar 4.4). Kurva ROC dibuat untuk mengetahui nilai prediksi kadar protein S-100b dengan perbaikan/perburukan kesadaran dengan nilai ambang skor GCS kurang dari 12, menghasilkan AUC 65,6% dengan p=0,149 IK95% 0,45 – 0,86. Nilai ambang adalah 0,03 μg/L dengan sensitifitas 38,5% dan spesifisitas 94,1%. Akan tetapi, dengan nilai p > 0,05, bias pengukuran dalam kurva ROC untuk S-100b dinilai cukup besar atau tidak signifikan (Gambar 4.5).
Gambar 4.4 Grafik Korelasi Antara Skor GCS dengan Kadar S-100b pada Hari Pertama dan Ketiga
Gambar 4.5 Grafik Kurva ROC Antara S-100b dengan Skor GCS Kurang dari 12 (kiri), Serta Titik Potong-nya (kanan) Universitas Indonesia
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif analitik untuk mengetahui hubungan antara skor GCS dengan biomarker kerusakan otak pada anak dengan sepsis umur 2 - 18 tahun. Studi ini mengambil sampel pasien rawat inap di bangsal perawatan dan unit rawat intensif di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, RSUD Tangerang dan RSUD Cengkareng. Pada pelaksanaan penelitian selama 9 bulan sampel yang didapat sebesar 30 pasien. Pengambilan sampel pada 6 bulan pertama dilakukan di FKUI-RSCM, kemudian dilakukan pengambilan sampel tambahan di dua RSUD selama 3 bulan.
5.1
Manifestasi Neurologis pada Sepsis
Manifestasi neurologis pada pasien dengan sepsis umumnya berupa penurunan kesadaran yang dinilai secara klinis melalui skor GCS yang dikaitkan dengan ensefalopati sepsis. Selanjutnya, Eidelman42 menjelaskan bahwa penurunan skor GCS dari 15 ke skor GCS kurang dari 8 dihubungkan dengan peningkatkan luaran kematian dari 16% menjadi 63% dan merupakan prediktor independen terjadinya kematian. Temuan pada penelitian ini serupa dengan ulasan dari Eidelman, dimana terdapat 6 subyek dari 8 dengan gangguan kesadaran berat berakhir dengan luaran kematian. Hubungan GCS dengan luaran kematian pada penelitian ini menemukan hubungan bermakna dengan RR sebesar 0,07 dengan IK95% 0,01 – 0,45 (tabel tidak ditampilkan). Selain penurunan kesadaran, kadang ditemukan pula gejala motorik lain berupa paresis/paralisis dan kejang, dan jarang sekali ditemukan gejala paralisis syaraf kranial, kaku ku duk, tremor atau asterixis.26,43,45 Penemuan klinis pada penelitian ini adalah gangguan polyneuropathy yang merupakan kelumpuhan axonal tipe lower motor neuron. Manifestasi kejang ditemukan pada 2 subyek dengan sepsis tanpa disfungsi organ dan 1 subyek dengan sepsis berat pada penelitian ini. Tidak ditemukan gejala lainnya berupa gangguan syaraf kranial, tremor maupun asterixis. Berbeda dengan penelitian lain, terdapat gangguan upper motor neuron yang terjadi pada 1 subyek dari 12 subyek dengan sepsis berat. Subyek ini mungkin menderita kelumpuhan yang mungkin disebabkan oleh penyakit dasarnya. 35 Universitas Indonesia
36
5.2
Biomarker Kerusakan Otak
5.2.1 Neuron Specific Enolase (NSE) Beralih kepada biomarker kerusakan otak yaitu NSE, kesimpulan penelitian dari Hsu yang meneliti 37 subyek dengan sepsis berat dan syok sepsis menyatakan terdapat peningkatan NSE dan S-100b pada sepsis berat dan syok sepsis.7 Berbeda dengan Hsu, penelitian ini menemukan peningkatan NSE tidak seluruhnya terjadi pada subyek dengan sepsis berat atau syok sepsis saja. Pada beberapa subyek sepsis tanpa disfungsi organ kadar NSE lebih tinggi dari nilai ambang sebesar 15,7 μg/L, bahkan pada 1 subyek mencapai kadar lebih dari 100 μg/L yang dikeluarkan dari penelitian ini. Apabila ditilik lebih jauh dari beberapa penelitian, peningkatan NSE tidak spesifik berasal dari SSP. Eritrosit adalah sumber dari NSE yang akan meningkat bila terjadi hemolisis.55-57 Walaupun sampel secara makroskopis tidak terlihat hemolisis, mikro-hemolisis dapat memengaruhi kadar NSE dalam darah. Seperti diketahui, hemolisis baik makro maupun mikro dapat terjadi pada sepsis yang berpotensi meningkatkan kadar NSE dalam darah.59 Pada penelitian ini, hubungan hemolisis yang
ditunjukkan oleh
anemia dicoba
dihubungkan dengan kadar NSE melalui uji chi-square. Hasil uji chi-square ternyata menemukan hubungan yang bermakna antara anemia dan kadar NSE (tabel perhitungan tidak ditampilkan). Seperti halnya anemia, hubungan antara leukosit dengan kadar NSE juga dihubungkan. Hal ini mungkin terjadi dengan anggapan berdasarkan patofisiologi, kenaikan kadar NSE berhubungan dengan aktivitas pro dan anti inflamasi yang diperantarai oleh berbagai sitokin-sitokin, seperti IL-6, TNF-α dan leukosit di sirkulasi sistemik dan SSP.31-36 Pengujian dengan chi-square, menemukan hubungan yang bermakna antara leukosit dengan kadar NSE (tabel perhitungan tidak ditampilkan). Sebaliknya hasil analisis bivariat antara derajat sepsis dengan kadar NSE tidak menemukan hubungan bermakna antara derajat sepsis dan kadar NSE. Belum ada studi mengenai hubungan antara derajat sepsis dengan kadar NSE sampai saat ini. Akan tetapi mengingat dasar patofisiologi dan data penelitian ini dimana yang terbanyak adalah subyek dengan sepsis tanpa disfungsi organ, kemungkinan rangkaian proses peningkatan pro dan anti inflamasi di susunan syaraf pusat telah berjalan sejak awal sepsis. Besar efek dari peran
Universitas Indonesia
37
mediator-mediator pro dan anti-inflamasi baik di susunan syaraf pusat maupun di sistemik tidak memengaruhi kadar NSE. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan ini di kemudian hari. Perhitungan hubungan korelasi antara skor GCS dengan kadar NSE menemukan korelasi antara skor GCS hari pertama dan ketiga dengan kadar NSE pada penelitian ini. Analisis tabel 2x2 dengan uji non-parametrik chi-square juga menemukan hubungan antara gangguan kesadaran dengan nilai NSE pada hari pertama dan ketiga. Kuantifikasi dengan menggunakan kurva ROC untuk mengetahui nilai prediksi gangguan kesadaran dengan kadar NSE, didapatkan kadar 8,1 μg/L ( sensitivitas 83,3 % dan spesifisitas 76,1%, IK95% 0,68 – 0,98 ) berhubungan dengan skor GCS kurang dari 12 atau perubahan gangguan kesadaran menjadi sedang sampai berat. Hubungan antara biomarker kerusakan otak dengan skor GCS sampai saat ini masih berlawanan. Nguyen dkk, dalam diskusinya menyatakan sebagian peneliti melihat ada hubungan antara skor GCS dan kadar NSE dan S-100b akan tersebut.14
tetapi sebagian lain menolak hubungan
Rundgren dkk,60 dari hasil penelitiannya tentang hubungan antara
henti jantung dan kadar biomarker NSE menyatakan bahwa kadar NSE berhubungan dengan luaran neurologis yang buruk setelah 48 dan 72 jam pasca henti jantung. Ia menawarkan kemungkinan NSE sebagai biomarker prediktor luaran neurologis yang lebih baik daripada protein S-100b, pada pasien dengan koma atau dalam pengaruh sedasi.
5.2.2 Protein S-100b Protein S-100b adalah calcium binding di sel glia, yang peningkatannya berhubungan dengan kematian sel neuron dan glia55. Penemuan pada penelitian ini, kadar S-100b dalam darah dibawah kadar rata-rata yang disebutkan dalam batasan operasional dan dari berbagai penelitian yaitu 0,5 μg/L.7,14 Dalam pengolahan data, hasil pengukuran di-korelasi dengan skor GCS, sedangkan data nominal dilakukan uji kemaknaan menggunakan uji non-parametrik. Diduga kendala teknis berupa pengadaan kit protein S-100b yang mendekati tanggal kadaluarsa adalah penyebab bias pengukuran sampel subyek penelitian ini. Penyebab lain adalah waktu paruh dari protein S-100b yang kurang dari 24 jam,
Universitas Indonesia
38
sehingga kadar protein S-100b telah jauh menurun dari nilai seharusnya. Nilai ambang baru berdasarkan gambaran klinis dan nilai tengah ditetapkan sebesar 0,02 μg/L. Lima subyek dengan sepsis berat dan syok septik ditemukan meningkat kadar S-100b, berkisar antara 1,5 sampai 10 kali lipat nilai ambang. Uji statistik non-parametrik dengan uji mutlak Fisher tidak menemukan hubungan bermakna antara gangguan kesadaran dengan kadar S-100b. Sebaliknya, uji korelasi menemukan korelasi negatif sedang antara kadar S-100b dengan skor GCS. Perhitungan nilai prediksi dmenggunakan kurva ROC tidak menemukan kadar prediksi yang bermakna. Arti secara klinis, penilaian skor GCS di hari pertama dan hari ketiga masih berhubungan dengan peningkatan kadar protein S-100b, tetapi tidak terlalu kuat hubungan korelasinya. Berbeda dengan NSE, korelasi S100b dengan GCS lebih mengarah pada kematian sel glia, derajat inflamasi dan disfungsi organ serta kerusakan integritas sawar darah otak,4,7,14 yang dapat menyebabkan
kematian.
Bersesuaian
dengan
hal
tersebut
apabila
bila
dihubungkan dengan derajat sepsis, terdapat hubungan bermakna antara derajat sepsis dengan kadar S-100b dalam penelitian ini. Hsu dkk,7 menduga hubungan ini terjadi karena, selain kerusakan sawar darah otak - gangguan bersihan (cleareance) di ginjal karena gangguan organ multiple pada sepsis yang turut berperan dalam peningkatannya. Luaran kematian dari beberapa penelitian dengan berbagai setting klinis menghubungkan dengan kenaikan kadar S-100b.7,12,13,14 Penelitian ini melalui uji statistik menghasilkan kesimpulan yang sama, dengan nilai RR sebesar 0,13 untuk kenaikan S-100b. Berbeda dengan NSE, protein S-100b tidak dipengaruhi hemolisis tetapi kadarnya dipengaruhi oleh umur, penyakit dasar dan tahap perkembangan anak. Integritas sawar darah otak juga dihubungkan dengan peningkatan kadarnya dalam darah, dari beberapa penelitian peningkatan-nya merupakan prediktor luaran kematian.5,7,14
5.3 Kelemahan dan Kelebihan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan berbagai kelemahan yang tidak dapat dihindari. Salah satu kelemahan adalah tidak
Universitas Indonesia
39
digunakannya pengukuran serial kadar biomarker kerusakan otak pada subyek penelitian sejalan dengan penilaian klinis. Beberapa penelitian menegaskan hal ini, bahwa pengukuran kadar biomarker seharusnya melihat trend melalui pengukuran secara serial dan lebih dipercaya dibandingkan dengan pengukuran sesaat. Cara ini sekaligus menurunkan kesalahan analisis laboratorium.61-63 Berbeda dengan penelitian ini, kesulitan dalam faktor non-teknis penelitian yaitu informed consent keluarga dalam pengambilan sampel darah terutama pada subyek-subyek di luar RSCM tidak memungkinkan pengukuran secara serial. Tidak digunakan pemeriksaan pembanding lain yaitu EEG dan atau pencitraan (MRI, CT-Scan) juga merupakan salah satu kekurangan dalam penelitian ini. EEG atau cEEG sampai saat ini masih merupakan baku emas untuk mendeteksi ensefalopati serta derajatnya atau untuk mengetahui adanya bangkitan kejang yang tidak terlihat. Kekurangan ini disebabkan oleh kesulitan pengadaan alat cEEG tersebut, faktor interferensi, serta kesulitan dalam transportasi subyek dari ruang ICU yang berdampak kepada mampu laksana penelitian ini. Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan pencitraan dengan MRI yang digunakan selain sebagai alat diagnosis banding juga untuk mengetahui lesi-lesi iskemik di susunan syaraf pusat dengan ketepatan yang cukup bailk. Sekali lagi, hal ini tidak dapat dilakukan dalam penelitian ini. Prosedur penelitian meliputi pengambilan, penanganan, transportasi sampel, pengadaan kit biomarker menjadi masalah tersendiri yang menghasilkan bias pengukuran pada penelitian ini. Tidak kurang, mis-komunikasi antara penelti dan pelaksana lapangan selama penelitian ini - menyulitkan peneliti dalam memenuhi persyaratan penelitian dan validitas hasil penelitian. Sampai saat ini penelitian mengenai hubungan antara manifestasi neurologis dengan biomarker kerusakan otak pada sepsis, atau berbagai setting klinis lainnya, belum pernah dilakukan baik pada populasi anak dan dewasa di Indonesia. Berbeda dengan di luar negeri, biomarker kerusakan otak intensif diteliti pada keadaan cedera kepala, pasca operasi jantung, pasca resusitasi jantung paru dan sepsis. Perkembangan penelitian pada populasi anak terutama dengan setting klinis subyek dengan cedera kepala inflicted traumatic brain injury (iTBI), sepsis neonatus dan HIE, pasca resusitasi jantung paru dan pasca operasi jantung
Universitas Indonesia
40
serta sepsis berat/syok sepsis.12-15 Gambaran biomarker yang dihasilkan masih dipengaruhi berbagai faktor sehingga belum memuaskan beberapa peneliti. Konsekuensinya adalah nilai rujukan pada populasi anak belum dapat ditentukan. Besarnya variasi ko-morbiditas pada subyek anak dengan sepsis, diduga sebagai penyebabnya dari variasi ini.13 Selain sebagai kelemahan, metode potong lintang dengan pengambilan sampel satu kali juga merupakan kekuatan penelitian ini. Pengambilan sampel satu kali lebih menyerupai rutinitas dalam perawatan pasien sehari-hari, yang lebih mampu laksana apabila akan dilakukan penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitan ini juga berhasil membuktikan adanya hubungan antara kondisi klinis berupa skor GCS dengan biomarker kerusakan otak, yang sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya. Kondisi klinis derajat sepsis pada penelitian ini ditemukan hubungan dengan biomarker kerusakan otak, yang sampai saat ini belum pernah diteliti. Sehingga diperlukan telaah lebih lanjut melalui penelitian-penelitian lain di kemudian hari.
Universitas Indonesia
BAB 6 SIMPULAN & SARAN
6.1
Simpulan
1. Pada penelitian ini sebagian besar subyek dengan sepsis mengalami penurunan kesadaran ringan pada hari pertama dan ketiga dengan manifestasi neurologis yang menonjol yaitu kelumpuhan tipe lower motor neuron. 2. Pada penelitian ini median kadar NSE pada adalah 8,1 μg/L yang lebih tinggi dibandingkan dengan median subyek normal yaitu sebesar 4,2 μg/L. 3. Terdapat korelasi negatif antara NSE dan S-100b dengan skor GCS. Nilai prediksi kadar NSE untuk skor GCS kurang dari 12 di hari ketiga adalah 8,1 μg/L. 4. Terdapat hubungan bermakna antara kadar S-100b dengan derajat sepsis dan kematian.
6.2
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan disain yang lebih baik untuk mengetahui korelasi antara biomarker kerusakan otak dengan berbagai parameter baik neurologis maupun parameter-parameter disfungsi multi organ lainnya. 2. Pada anak dengan sepsis, penggunaan biomarker NSE dapat menjadi prediktor penurunan kesadaran pada perawatan hari ketiga. 3. Apabila dilakukan penelitian mengenai intervensi terapetik pada pasien dengan sepsis, penggunaan biomarker NSE maupun S-100b dapat menjadi salah satu parameter keberhasilan tata laksana pengobatan sampai dengan hari ketiga.
41 Universitas Indonesia
42
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3. 4. 5. 6.
7. 8.
9. 10.
11. 12.
13.
14.
15.
16. 17.
18. 19.
20.
21.
Center for Disease Control. Increase in national hospital discharge survey rates for septicemia: United States 1979 - 1987. Morb Mortal Wkly Rep. 1990;39:31-4. American College of Chest Physician / Society of Critical Care Medicine Consensus Conference. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1992;20:864-74. Balk RA. Severe sepsis and septic shock: Definition, epidemiology, and clinical manifestations. Crit Care Clin. 2000;16:179-92. Watson SR, Carcillo JC, Linde-Zwirble WT, et al. The epidemiology of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Crit Care Med. 2003;167:695 -701. Bagian Rekam Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Data Pasien Rawat Inap 20042008. 2009. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, et al. International Pediatric Sepsis Consensus Conference: Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005;6:2-8. Hsu AA, Fenton K, Weinstein S, Carpenter J, Dalton H, Bell MJ. Neurological injury markers in children with septic shock. Pediatr Crit Care Med. 2008;9:245-51. Sprung CL, Peduzzi PN, Shatney CH, et al. Impact of encephalopathy on mortality in the sepsis syndrome : The Veterans Administration Systemic Sepsis Cooperative Study Group. Crit Care Med. 1990;18:801-6. Hellstrom-Westas L. Continuous electroencephalography monitoring of the preterm infant. Clin Perinatol. 2006;33:633-47. Mewasingh LD, Christophe C, Fonteyne C, Dachy B, Ziereisen F, Christiaens F, et al. Predictive value of electrophysiology in children with hypoxic coma. Pediatr Neurol. 2003;28:178-83. Sharshar T, Carlier R, Bernard F, Guidoux C, Brouland JP, Nardi O, et al. Brain lesions in septic shock: a magnetic resonance imaging study. Intensive Care Med. 2007;33:798-806. Berger RP, Pierce MC, Wisniewski SR, Adelson PD, Clark RS, Ruppel RA, et al. Neuronspecific enolase and S100B in cerebrospinal fluid after severe traumatic brain injury in infants and children. Pediatrics. 2002;109:E31-E7. Topjian AA, Lin R, Morris MC, Ichord R, Drott H, Bayer CR, et al. Neuron-specific enolase and S-100B are associated with neurologic outcome after pediatric cardiac arrest. Pediatr Crit Care Med. 2009;10:479-90. Nguyen DN, Spapen H, Su F, Schiettecatte J, Shi L, Hachimi-Idrissi S, et al. Elevated serum levels of S-100beta protein and neuron-specific enolase are associated with brain injury in patients with severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2006;34:1967-74. Ramaswamy V, Horton J, Vandermeer B, Buscemi N, Miller S, Yager J. Systematic review of biomarkers of brain injury in term neonatal encephalopathy. Pediatr Neurol. 2009;40:21526. Opal SM, Huber CE. Sepsis. Scientific American Medicine. 2001;7:1-13. Simon L, Saint-Louis P, Amre DK, Lacroix J, Gauvin F. Procalcitonin and C-reactive protein as markers of bacterial infection in critically ill children at onset of systemic inflammatory response syndrome. Pediatr Crit Care Med. 2008;9:407-13. Ventetuolo CE, Levy MM. Biomarkers: diagnosis and risk assessment in sepsis. Clin Chest Med. 2008;29:591-603. Linscheid P, Seboek D, Schaer DJ, Zulewski H, Keller U, Muller B. Expression and secretion of procalcitonin and calcitonin gene-related peptide by adherent monocytes and by macrophage-activated adipocytes. Crit Care Med. 2004;32:1715-21. Becker KL, Nylen ES, White JC, Muller B, Snider RH, Jr. Clinical review 167: Procalcitonin and the calcitonin gene family of peptides in inflammation, infection, and sepsis: a journey from calcitonin back to its precursors. J Clin Endocrinol Metab. 2004;89:1512-25. Harbarth S, Holeckova K, Froidevaux C, Pittet D, Ricou B, Grau GE, et al. Diagnostic value of procalcitonin, interleukin-6, and interleukin-8 in critically ill patients admitted with suspected sepsis. Am J Respir Crit Care Med. 2001;164:396-402.
Universitas Indonesia
43
22. Jones AE, Fiechtl JF, Brown MD, Ballew JJ, Kline JA. Procalcitonin test in the diagnosis of bacteremia: a meta-analysis. Ann Emerg Med. 2007;50:34-41. 23. Meisner M. Pathobiochemistry and clinical use of procalcitonin. Clin Chim Acta. 2002;323:17-29. 24. Papadopoulos M, Davies D, Moss R, Tighe D, Bennett E. Pathophysiology of septic encephalopathy: a review. Crit Care Med. 2000;28:3019–24. 25. Sharshar T, Annane D, de la Grandmaison GL, Brouland JP, Hopkinson NS, Francoise G. The neuropathology of septic shock. Brain Pathol. 2004;14:21-33. 26. Sharshar T, Hopkinson N, Orlikowski O, Annane D. Science review: The brain in sepsis – culprit and victim. Crit Care. 2005;9:37-44. 27. Chrousos G. The hypothalamic-pituitary-adrenal-axis and immune-mediated inflammation. N Engl J Med. 1995;332:1351–62. 28. Spyer K. Neural mechanisms involved in cardiovascular control during affective behaviour. Trends Neurosci. 1989;12:506-13. 29. Carrasco G, deKar LV. Neuroendocrine pharmacology of stress. Eur J Phamarcol. 2003;463:235–72. 30. Bal-Price A, Brown GC. Inflammatory neurodegeneration mediated by nitric oxide from activated glia-inhibiting neuronal respiration, causing glutamate release and excitotoxicity. J Neurosci. 2001;21:6480-91. 31. Omari K, Dorovini-Zis K. CD40 expressed by human brain endothelial cells regulate CD4+ T cell adhesion to endothelium. J Neuroimmunol. 2003;134:166-78. 32. Wong D, Dorovini-Zis K. Expression of vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) by human brain microvessel endothelial cells in primary culture. Microvasc Res. 1995;49:32539. 33. Hess DC, Thompson Y, Sprinkle A, Carroll J, Smith J. E-selectin expression on human brain microvascular endothelial cells. Neurosci Lett. 1996;213:37-40. 34. Rieckmann P, Michel U, Albrecht M, Bruck W, Wockel L, Felgenhauer K. Cerebral endothelial cells are a major source for soluble intercellular adhesion molecule-1 in the human central nervous system. Neurosci Lett. 1995;186:61-4. 35. Hess DC, Bhutwala T, Sheppard JC, Zhao W, Smith J. ICAM-1 expression on human brain microvascular endothelial cells. Neurosci Lett. 1994;168:201-4. 36. Lacroix S, Rivest S. Effect of acute systemic inflammatory response and cytokines on the transcription of the genes encoding cyclooxygenase enzymes (COX-1 and COX-2) in the rat brain. J Neurochem. 1998;70:452-66. 37. Wong ML, Rettori V, al-Shekhlee A, Bongiorno PB, Canteros G, McCann SM, et al. Inducible nitric oxide synthase gene expression in the brain during systemic inflammation. Nat Med. 1996;2:581-4. 38. Kafa IM, Ari I, Kurt MA. The peri-microvascular edema in hippocampal CA1 area in a rat model of sepsis. Neuropathology. 2007;27:213-20. 39. Pedersen M, Brandt CT, Knudsen GM, Ostergaard C, Skinhoj P, Skovsted IC, et al. The effect of S. pneumoniae bacteremia on cerebral blood flow autoregulation in rats. J Cereb Blood Flow Metab. 2008;28:126-34. 40. Mori F, Nishie M, Houzen H, Yamaguchi J, Wakabayashi K. Hypoglycemic encephalopathy with extensive lesions in the cerebral white matter. Neuropathology. 2006;26:147-52. 41. Hasselgren PO, Fischer JE. Septic encephalopathy. Etiology and management. Intensive Care Med. 1986;12:13-6. 42. Eidelman LA, Putterman D, Putterman C, Sprung CL. The spectrum of septic encephalopathy. Definitions, etiologies, and mortalities. JAMA. 1996 Feb 14;275:470-3. 43. Ebersoldt M, Sharshar T, Annane D. Sepsis-associated delirium. Intensive Care Med. 2007;33:941-50. 44. Jeppsson B, Freund HR, James JH, et al. Blood-brain barrier derangement in sepsis: cause of septic encephalopathy? Am J Surg. 1981;141:136-42. 45. Young GB, Bolton CF, Archibald YM, et al. The electroencephalogram in sepsis-associated encephalopathy. J Clin Neurophysiol. 1992;9:145-52. 46. Munford RS, Tracey KJ. Is severe sepsis a neuroendocrine disease? Mol Med. 2002;8:43742. 47. Teasdale G, Jennett B. Assessment of coma and impaired consciousness. A practical scale. Lancet. 1974;2:81-4.
Universitas Indonesia
44
48. Huh JW, Raghupathi R. New concepts in treatment of pediatric traumatic brain injury. Anesthesiol Clin. 2009;27:213-40. 49. Reilly PL, Simpson DA, Sprod R, Thomas L. Assessing the conscious level in infants and young children: a paediatric version of the Glasgow Coma Scale. Childs Nerv Syst. 1988;4:30-3. 50. Leteurtre S, Martinot A, Duhamel A, Proulx F, Grandbastien B, Cotting J, et al. Validation of the paediatric logistic organ dysfunction (PELOD) score: prospective, observational, multicentre study. Lancet. 2003;362:192-7. 51. Tiainen M, Roine RO, Pettila V, Takkunen O. Serum neuron-specific enolase and S-100B protein in cardiac arrest patients treated with hypothermia. Stroke. 2003;34:2881-6. 52. Dworschak M, Franz M, Czerny M, Gorlitzer M, Blaschek M, Grubhofer G, et al. Release of neuron-specific enolase and S100 after implantation of cardioverters/defibrillators. Crit Care Med. 2003;31:2085-9. 53. Zingler VC, Krumm B, Bertsch T, Fassbender K, Pohlmann-Eden B. Early prediction of neurological outcome after cardiopulmonary resuscitation: a multimodal approach combining neurobiochemical and electrophysiological investigations may provide high prognostic certainty in patients after cardiac arrest. Eur Neurol. 2003;49:79-84. 54. Berger RP, Dulani T, Adelson PD, Leventhal JM, Richichi R, Kochanek PM. Identification of inflicted traumatic brain injury in well-appearing infants using serum and cerebrospinal markers: a possible screening tool. Pediatrics. 2006;117:325-32. 55. Berger RP, Adelson PD, Richichi R, Kochanek PM. Serum biomarkers after traumatic and hypoxemic brain injuries: insight into the biochemical response of the pediatric brain to inflicted brain injury. Dev Neurosci. 2006;28:327-35. 56. Spinella PC, Dominguez T, Drott HR, Huh J, McCormick L, Rajendra A, et al. S-100beta protein-serum levels in healthy children and its association with outcome in pediatric traumatic brain injury. Crit Care Med. 2003;31:939-45. 57. Routsi C, Stamataki E, Nanas S, Psachoulia C, Stathopoulos A, Koroneos A, et al. Increased levels of serum S100B protein in critically ill patients without brain injury. Shock. 2006;26:20-4. 58. Pavare J, Grope I, Gadovska D. Prevalence of systemic inflammatory response syndrome (SIRS) in hospitalized children: a point prevalence study. BMC Pediatr. 2009; 9: 25-8. 59. Redl H, Pelinka L, Bahrami S, Boltzmann L, To be or not to be-A biomarker of brain damage in sepsis (review). Pediatr Crit Care 2008;9:337-8. 60. Rundgren M, Torbjörn K, Nielsenc N, Cronbergd T, Johnssone P, Fribergf H. Neuron specific enolase and S-100B as predictors of outcome after cardiac arrest and induced hypothermia. Resuscitation. 2009;80; 784-9. 61. Reisinger J, Höllinger K, Lang W. Prediction of neurological outcome after cardiopulmonary resuscitation by serial determination of serum neuron specific enolase. Eur Heart J 2007;28:52–8. 62. Rosén H, Stibrant Sunnerhagen K, Herlitz J, Blomstrand C, Rosengren L. Serum levels of the brain-derived proteins S-100 and NSE predict long-term outcome after cardiac arrest. Resuscitation 2001;49:183–91. 63. Böttiger BW, Möbes S, Glätzer R, et al. Astroglial protein S-100 is an early and sensitive marker of hypoxic brain damage and outcome after cardiac arrest in humans. Circulation 2001;103:2694–8.
Universitas Indonesia
45
Lampiran 1. Organisasi Penelitian
1. Subyek penelitian akan mendapatkan status induk rumah sakit dan status khusus penelitian yang mencatat seluruh data yang diperlukan. 2. Tim peneliti terdiri dari: Pembimbing materi
: Dr. Irawan Mangunatmaja, Sp.A(K) Dr. Antonius Pudjiadi, Sp.A(K)
Pembimbing metodologi : Dr. Sudung O Pardede, Sp.A(K) Peneliti
: Dr. Nahari Arifin
3. Pemeriksaan NSE dan protein S-100b dilaksanakan di Laboratorium Prodia. Sampel darah penelitian diambil peneliti atau diambil oleh petugas laboratorium Prodia. Pemeriksaan penunjang lainnya yang rutin dilakukan pada pasien sepsis seperti darah tepi dan hitung jenis, analisis gas darah, elektrolit, gula darah, dan kultur darah dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Laboratorium Patologi Klinik RSCM, Laboratorium RSUD Tangerang dan
Laboratorium RSUD
Cengkareng. 4. Data penelitian diolah dengan program Micosoft Excell dan SPSS 17.0 serta disajikan dalam bentuk teks, tabel, dan grafik.
46
Lampiran 2. Anggaran Penelitian
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pembuatan proposal penelitian Pembuatan formulir data penelitian Pemeriksaan laboratorium standar untuk sepsis Pemeriksaan prokalsitonin, protein S-100b,NSE Tabung kultur dan EDTA untuk 50 pasien Pengolahan data Pembuatan laporan Biaya tak terduga
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
300.000 30.000 7.500.000 37.500.000 1.800.000 1.000.000 500.000 1.370.000
Jumlah
Rp
50.000.000
47
Lampiran 3. Lembar Penjelasan & Persetujuan Orangtua/Wali
Penjelasan dan Persetujuan Orangtua/Wali Bapak/Ibu yang terhormat, Saat ini Divisi Neurologi dan Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM sedang melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Penanda Kerusakan Otak dengan Skala Koma Glasgow serta Gangguan Syaraf pada Anak Umur 2-18 tahun yang Menderita Infeksi Berat”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan otak dengan menggunakan pemeriksaan skala koma Glasgow untuk kesadaran, pemeriksaan fisis untuk mengetahui gangguan syaraf lainnya serta pemeriksaan laboratorium (protein S-100b, neuron spesific enolase) yaitu suatu penanda kerusakan otak dalam darah. Data ini penting untuk menjadi pedoman penilaian kerusakan sel otak pada anak dengan infeksi berat yang akan memperbaiki cara pengobatan infeksi berat. Untuk penelitian ini kami membutuhkan 50 anak dengan infeksi berat. Apabila anak Bapak/Ibu memenuhi kriteria tersebut kami memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut dalam penelitian ini. Jika bersedia, anak Bapak/Ibu akan diambil darah sebanyak 5 ml dengan cara suntikan di pembuluh darah balik di tangan atau kaki atau dapat melalui kateter infus yang terpasang di pembuluh darah balik besar dengan terlebih dahulu dilakukan suci hama di tempat suntikan. Ketidaknyamanan dalam pengambilan darah melalui suntikan umumnya dapat berupa rasa sakit yang bersifat ringan. Risiko yang mungkin terjadi dapat berupa perdarahan yang tidak berhenti di tempat suntikan, infeksi, serta pembengkakan walaupun hal tersebut sangat jarang terjadi dengan perlakuan suci hama pengambilan darah di ruang perawatan. Pembayaran untuk pemeriksaan ini tidak diperlukan. Bapak/Ibu bebas untuk memutuskan keikutsertaan anak dalam penelitian ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan orang lain menghubungkannya dengan anak Bapak/Ibu. Bila instruksi yang diberikan oleh peneliti tidak ditaati, keiktsertaan anak Bapak/Ibu dapat dibatalkan sewaktu-waktu. Bila membutuhkan penjelasan lebih lanjut, Bapak/Ibu dapat menghubungi dr. Nahari Arifin di nomor telepon 021-68279350. Hormat kami,
Dr. Nahari Arifin Peneliti
48
Lampiran 4. Surat Persetujuan Penelitian
SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA BIOMARKER KERUSAKAN OTAK DENGAN GLASGOW COMA SCALE DAN MANIFESTASI NEUROLOGISNYA PADA ANAK UMUR 2-18 TAHUN YANG MENDERITA SEPSIS 2010 Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :………………………………………………………………………………………… Umur :………………………………………………………………………………………… Alamat :………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………. Telepon :………………………………………………………………………………………… sebagai orangtua/wali dari: Nama :………………………………………………………………………………………… Umur :………………………………………………………………………………………… Jenis kelamin :Laki-laki/ Perempuan* setelah mendapat keterangan dan mengerti sepenuhnya penjelasan yang diberikankepada saya oleh dokter/paramedis tentang penelitian ini, dengan sukarela menyetujui anak saya diikutsertakan dalam penelitian ini. Demikian surat pernyataan ini dibuat tanpa paksaan dari pihak manapun dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, ………………….2010 Yang menyatakan: Saksi Orangtua/wali (Nama jelas:…………………) * coret yang tidak perlu
(Nama jelas: …………..)
49
Lampiran 5. Etika Penelitian
ETIKA PENELITIAN 1. Orangtua subyek penelitian mendapat penjelasan mengenai tujuan, prosedur, dan keonsekuensi keikutsertaan dalam penelitian (keuntungan dan kerugian). 2. Orangtua subyek penelitian setelah mendapat penjelasan berhak untuk menyetujui atau menolak subyek untuk menjadi peserta penelitian. Apabila bersedia,
orangtua
diminta
untuk
menandatangai
surat
kesediaan
berpartisipasi. 3. Orangtua subyek akan diberikan penjelasan mengenai hasil prosedur diagnosis. 4. Identitas dan hasil pemeriksaan terhadap subyek akan dirahasiakan. 5. Sebelum dimulai penelitian akan diajukan ke komite etik untuk mendapat pengesahan.
50
Lampiran 6. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
51
Lampiran 7. Formulir Penelitian
Nomor urut penelitian* Tanggal masuk rawat Hari Rawat
Nomor rekam medik Tanggal masuk penelitian
Identitas Nama pasien Jenis kelamin Tanggal lahir Umur Klinis Diagnosis penyakit dasar
1 2
Pemeriksaan fisis Skor GCS Tanda Vital Status generalis
Nadi
FP
Suhu
TD
:
Sta tus neurologi (h 1) Mata
Pupil
mm mm
RC
+/-
RCTL
+/-
Isokor/anisokor DEM
+ / -
Gerak bola mata Parese kranialis
+/-
Kaku kuduk
+/-
Sentral/perifer
Motorik Refleks fisiologis
KPR
APR
Refleks patologis
Babinsky
Kernig
Laseq
Klonus
Status neurologis (h 3) Skor GCS Mata
Pupil
mm mm
Isokor/anisokor DEM
+ / -
Gerak bola mata Parese kranialis
+/-
Sentral/perifer
RC
+/-
RCTL
+/-
52
Kaku kuduk
+/-
(lanjutan) Motorik Refleks fisiologis
KPR
APR
Refleks patologis
Babinsky
Kernig
Hb
Trombosit
Laseque
Klonus
Laboratorium DPL
Ht Leuko Hit jenis AGD
pH
PCO2
PO2
HCO3
Elektrolit
Na
K
Cl
Ca
Fungsi Hati
SGOT
SGPT
PT
aPTT
Fungsi Ginjal
Ur
Cr
BE
Kultur darah Skor PELOD/MOD* Biormarker Prokalsitonin Protein S-100b* Tata laksana
NSE*
Ventilator
FiO2
Sedasi
Vasoaktif
Ya/tdk
Antibiotik
Luaran Hidup * diisi oleh peneliti Jakarta, ……………………….. Petugas,
(Nama jelas:………………….)
Meninggal
Ya/tdk
Sat
53
Lampiran 8. Definisi SIRS, infeksi, sepsis, sepsis berat dan syok septik
SIRSa Respons inflamasi sistemik berupa kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan minimal 2 dari 4 kriteria berikut, salah satunya harus berupa suhu tubuh atau jumlah leukosit yang abnormal: Suhu tubuhb > 38oC atau < 36oC* Takikardi, yaitu frekuensi denyut jantung > 2SD menurut usia tanpa adanya rangsangan eksternal, penggunaan obat-obatan jangka panjang, atau rangsang nyeri, atau peningkatan frekuensi denyut jantung menetap lebih dari 0,5-4 jam yang tidak dapat dijelaskan ATAU untuk anak < 1 tahun adalah bradikardia, yaitu frekuensi denyut jantung < persentil ke-10 berdasarkan usia tanpa ada refleks vagal, obat penghambat, atau penyakit jantung bawaan, atau depresi menetap lebih dari 0,5 jam yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya** Rerata frekuensi pernapasan > 2SD di atas normal berdasarkan usia atau penggunaan ventilasi mekanik pada proses akut yang tidak berhubungan dengan penyakit neuromuskuler atau pada pasien yang mendapat anestesi umum** Jumlah leukosit meningkat atau menurun berdasarkan usia (tidak disebabkan oleh efek samping kemoterapi yang menyebabkan leukopeni) atau jumlah sel neutrofil imatur > 10% Infeksi Dugaan atau terbukti (kultur positif, pewarnaan jaringan, atau polymerase chain reaction), infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen ATAU sindrom klinis yang berhubungan dengan kemungkinan besar adanya infeksi. Bukti infeksi termasuk temuan positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan, atau uji laboratorium (contohnya terdapat leukosit pada cairan tubuh yang seharusnya steril, perforasi viskus, gambaran pneumonia pada foto toraks, petekie, purpura, atau purpura fulminan). Sepsis SIRS pada keadaan infeksi atau dengan dugaan atau terbukti infeksi. Sepsis berat Sepsis disertai salah satu kondisi berikut: disfungsi kardiovaskuler ATAU sindrom distress pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome; ARDS) ATAU dua atau lebih disfungsi organ. Definisi disfungsi organ dapat dilihat pada lampiran lampiran 12 Syok septik Sepsis dan disfungsi kardiovaskuler. Definisi lengkap dapat dilihat pada lampiran 12
54
Lampiran 9. Tabel Parameter Klinis dan Laboratoris
Kelompok umur
Frekuensi denyut jantung (x/menit)
Frekuensi napas (x/menit)
Jumlah leukosit (/mm3)
Tekanan sistolik (mmHg)
> 34.000 > 19.500 atau < 5.000 > 17.500 atau < 5.000 > 15.500 atau < 6.000 > 13.500 atau < 4.500 > 11.000 atau < 4.500
< 65 < 75
Takikardi
Bradikardi
0 hari-1 minggu 1 minggu-1 bulan 1 bulan-1tahun
> 180 > 180
< 100 < 100
> 50 > 40
> 180
< 90
> 34
2-5 tahun
> 140
NA
> 22
6-12 tahun
> 130
NA
> 18
13- <18 tahun
> 110
NA
> 14
NA: not applicable (tidak ada data)
<100 < 94 < 105 < 117
55
Lampiran 10. Kritrea Disfungsi Organ
Disfungsi kardiovaskuler Walaupun dengan pemberian bolus cairan isotonik intravena > 40 mL/kg dalam 1 jam, tetap didapatkan keadaan berikut: Hipotensi < P5 atau sistolik <2SD menurut umur, ATAU Penggunaan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah pada rentang nilai normal (dopamin > 5 mg/kg/menit atau dobutamin, epinefrin, atau norepinefrin dengan dosis berapapun), ATAU Dua dari keadaan berikut: Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan: defisit basa > 5 mEq/L Peningkatan laktat darah arteri > 2 kali batas atas normal Oliguria: diuresis < 0,5 mL/kg/jam Waktu pengisian kapiler (perfusi) memanjang > 5 detik Perbedaan suhu sentral dan perifer > 3oC Sistem pernapasan PaO2/FiO2 < 300 tanpa adanya penyakit jantung sianotik atau penyakit paru, ATAU PaCO2 > 65 torr atau 20 mmHg di atas PaCO2 normal Terbukti membutuhkan O2 dengan cara menurunkan O2 dan selanjutnya dinaikkan sesuai kebutuhan atau FiO2 50% untuk mempertahankan saturasi 92%, ATAU Membutuhkan ventilasi mekanik non invasif atau invasif non-elektif pada pasien pasca operasi Sistem neurologi Skala koma Glasgow (GCS) < 11, ATAU Perubahan status mental akut ditandai dengan penurunan GCS > 3 poin dari kondisi sebelumnya Sistem hematologi Jumlah trombosit < 80000/mm3 atau penurunan 50% jumlah trombosit dari nilai tertinggi yang dicatat dalam 3 hari (untuk pasien hemato-onkologi kronik), ATAU Rasio IT > 2 Ginjal Kreatinin serum > 2 kali normal sesuai dengan umur atau peningkatan 2 kali kreatinin normal Hati Bilirubin total > 4 mg/dL (tidak digunakan pada bayi baru lahir) Kadar SGPT 2 kali di atas nilai normal berdasarkan umur ARDS harus meliputi rasio PaO2/FiO2 < 200 mmHg, infiltrat bilateral pada paru-paru, onset akut, tidak terdapat tanda-tanda gagal jantung kiri. Acute lung injury sama dengan ARDS namun rasio PaO2/FiO2 < 300 mmHg.
56
Lampiran 11. Tabel Skor PELOD
Sistem organ dan variable Sistem saraf Glasgow coma scale (GCS*) Reaksi pupil Kardiovaskuler Frekuensi denyut jantung (x/menit) < 12 tahun > 12 tahun
Skor 0
1
10
20
12-15 Dan Keduanya (+)
7-11
4-6 Atau Keduanya (-)
3
< 195 < 150 Dan
> 195 > 150 Atau
> 65 > 75 > 85 > 95
35-65 35-75 45-85 55-95
Ginjal Kadar kreatinin berdasarkan usia mmol/L(mg/dL) < 7 hari
< 140 (<1,59)
7 hari – < 1 tahun
< 55 (<0,62)
1 tahun -12 tahun
< 100 (<1,13)
> 12 tahun
< 140 (<1,59)
> 140 (> 1,59) > 55 (> 0,62) > 100 (> 1,13) > 140 (> 1,59)
Tekanan darah sistolik berdasarkan usia (mmHg) < 1 bulan 1 bulan - < 1 tahun 1 tahun - < 12 tahun > 12 tahun
Pernapasan Rasio PaO2 [kPa (mmHg)]/FiO2# PaCO2 [kPa (mmHg)] Ventilasi mekanis£
> 9,3 (> 70) Dan < 11,7 (< 90) Tidak
Hematologi Leukosit (/mL)
> 4500
Trombosit (/mL)
Dan > 35000
Fungsi hati SGOT (IU/L)
Ya
15004400 atau < 35000
< 9,3 ( 70) Atau > 11,7 (> 90) Ya
< 1500
< 950 > 950 Dan atau Waktu Protrombin (PT) > 60 detik < 60 detik atau INR < 1,40 > 1,40 * GCS (Glasgow coma scale) digunakan nilai terendah. Jika pasien mendapat obat sedatif pencatatan perkiraan GCS sebelum sedasi. # Fraksi FiO2 yang dihirup.
< 35 < 35 < 45 < 55
57
Lampiran 12. Modifikasi Glasgow Coma Scale untuk Anak
Aspek yang Glasgow coma scale dinilai Membuka mata
Respons verbal
Modifikasi Glasgow coma scale untuk Anak
Skor
Spontan
Spontan
4
Terhadap rangsang verbal (perintah)
3
Terhadap rangsang nyeri
Terhadap rangsang verbal (suara) Terhadap rangsang nyeri
Tidak ada respons
Tidak ada respons
1
Orientasi baik dan tepat
Sesuai usia, terorientasi, mengikuti obyek, senyum sosial
5
Bingung
Menangis tetapi dapat dibujuk
4
Rewel, tidak kooperatif, tanggap lingkungan Kata-kata tidak tepat Rewel, tangis persisten, dapat dibujuk tapi tidak konsisten Kata-kata tidak jelas, suara yang tidak Menangis tidak dapat dibujuk, spesifik/ tidak jelas tidak tanggap lingkungan, gelisah agitasi Tidak ada respons Tidak ada respons
2
Disorientasi
Respons motoric
3 2
1
Gerak mengikuti perintah
Gerak spontan dan bertujuan
6
Melokalisasi rangsang nyeri
Melokalisasi rangsang nyeri
5
Menghindari rangsang nyeri
Menghindari rangsang nyeri
4
Fleksi abnormal terhadap rangsang nyeri (postur dekortikasi)
Fleksi abnormal terhadap rangsang nyeri (postur dekortikasi)
3
Ekstensi abnormal (postur deseberasi) Ekstensi abnormal (postur deseberasi)
2
Tidak ada respons
1
Tidak ada respons
Nilai total: 15 : kesadaran normal, compos mentis 12-14 : gangguan kesadaran ringan 9-11 : koma moderat <8 : koma berat, mungkin perlu intubasi dan ventilasi
58
Lampiran 13. Data Biomarker NSE Sampel Alat pemeriksa Reagensia Metode Pabrik Kalibrator dan kontrol Bahan kalibrator
: darah beku sebanyak 2 ml : VIDAS : Nexus Dx ™ NSE : Sandwich ELISA : Nanogen Inc, San Diego, CA : NSE Control (Lyophilized) : de-ionized water
Protein S-100b Bahan Alat pemeriksa Reagensia Metode Pabrik Kalibrator dan kontrol Bahan kalibrator
: darah beku sebanyak 2 ml : VIDAS : Nexus Dx ™ S-100 : Sandwich ELISA : Nanogen Inc, San Diego, CA : S-100 Control (Lyophilized) : de-ionized water