PENGARUH PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KONSEP BAHAN KIMIA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 METRO HRA Mulyani Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Metro E-mail:
[email protected] Abstract: This study is a quasi experimental study using contextual learning and conventional learning. The purpose of this study was to determine the effect of the application of the concept of contextual learning the mastery of chemicals in everyday life and critical thinking skills. The hypothesis of this study is that there is the effect of applying the concept of contextual learning to mastery of chemicals in everyday life and critical thinking skills. The instrument of this study is a conceptual form of multiple-choice tests and to determine the enhancement of critical thinking skills used essay tests given before and after learning. Analysis of research data using descriptive analysis that is inserting data into the tabulation to find the average pretest and posttest and normalized gain. Hypothesis testing is done to test the difference in average normalized gain of experimental class and control class. The advantages of the use of contextual learning in improving the mastery of concepts and critical thinking skills are reviewed based on comparison of normalized gain (g) between the control group and the experimental group. The conclusion of this study that the use of contextual learning model can significantly improve the mastery of concepts and critical thinking skills of students compared with the use of conventional learning models. Keywords: Contextual learning, mastery of concepts, critical thinking skills
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan IPA (sains) memiliki potensi besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini akan dapat terwujud jika pendidikan IPA (sains) mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaftif terhadap perubahan
dan perkembangan zaman (Mudzakir, 2005). Salah satu indikator keberhasilan siswa menguasai berpikir logis, berpikir kreatif, dan teknologi dapat dilihat dari hasil literasi sains siswa. PISA (Programme for International Student Assesment) mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka mengerti serta membuat keputusan
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
114
tentang alam dan perubahan yang terjadi pada alam sebagai akibat manusia (Witte, 2003). Hasil temuan tim literasi sains Indonesia menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia pada bidang literasi sains. Kesulitan-kesulitan ini disebabkan suasana belajar menoton, metode pembelajaran yang digunakan kurang bervariasi dan hanya berpegang teguh pada diktat-diktat atau buku-buku paket saja. Akibatnya pelajaran kimia yang diharapkan dapat membangun manusia yang cakap berlogika dan memahami lingkungannya tidak tercapai. Hal ini relevan dengan Hasil penelitian Kracjik (2001), Anderson (1992), Hopstein (2000) dan Holbrook (2005) terhadap pembelajaran kimia. Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa dimata siswa pembelajaran kimia tidak populer, tidak relevan, tidak meningkatnya kemampuan kognitif siswa. Di samping itu arahan pembelajaran mensenjangkan antara harapan siswa dengan guru. Tidak adanya perubahan, karena guru takut melakukan perubahan. Pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, dan ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran. Hal ini ada hubungannya dengan pembelajaran kimia yang menitikberatkan pengembangan kurikulumnya kepada kurikulum inti. Menurut Holbrook (2005) dalam kurikulum seperti ini yang dipelajari adalah konsep-konsep dasar seperti struktur atom, ikatan kimia, penulisan rumus kimia dan persamaan reaksi, disusul dengan sistem periodik unsur, rangkaian deret homolog, atau sistem reaksi redoks. Kurikulum seperti tersebut di atas tidak menguntungkan, karena siswa tidak
belajar tentang kimia yang dijumpai di luar. Hubungan ilmu kimia dengan kehidupan siswa sehari-hari kurang dipelajari dengan strategi pembelajaran yang ada dan karenanya keterkaitkan ilmu kimia dalam hidup sehari-hari tidak tergali. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran ilmu kimia tidak relevan dalam pandangan siswa dan tidak disukai siswa (Osborne dan Collin, Sjoberg dalam Holbrook, 2005). Untuk menjembatani hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan langkah sistematis dengan melakukan perbaikan strategi pembelajaran di sekolah. Langkah awal dilakukan dengan melakukan observasi terhadap guru IPA (sains) yang sedang mengajar. Observasi dilakukan terhadap guru mata pelajaran IPA di SMP Negeri 4 Metro. Hasil pengamatan peneliti ketika guru mata pelajaran IPA di kelas VIII ini bahwa aktivitas belajar siswa yang belum optimal yang didasarkan pada minimnya siswa yang mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru maupun temannya sendiri, bahkan sebagian siswa mengantuk tak bersemangat dan ketika ditanya oleh guru dari 35 orang kelas VIII yang mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan guru hanya satu dua orang saja, itupun jawabannya terkadang jauh melenceng dari pertanyaan. Dari hasil diskusi diputuskan bahwa tindakan yang akan dilakukan yaitu mengubah desain dan strategi pembelajaran dari yang bersifat menoton kepada pembelajaran yang efektif yaitu dengan ciri prosesnya adalah pembelaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan serta kontekstual yang disingkat dengan PAKEM C, dalam hal ini dipilih yaitu pembelajaran Contexual Teaching and Learning (CTL).
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
115
B.Tinjauan Pustaka 1. Pembelajaran Kontekstual Kegiatan pembelajaran Kimia dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadi belajar, apabila terjadi proses perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman. Dari jabaran kegiatan pembelajaran tersebut, maka dapat diidentifikasikan dua aspek penting yang ada dalam kegiatan pembelajaran IPA (sains) tersebut. Aspek pertama adalah aspek hasil belajar yakni perubahan perilaku pada diri siswa. Aspek kedua adalah aspek proses belajar yakni sejumlah pengalaman intelektual, emosional, dan fisik pada diri siswa. Bertolak dari hal tersebut di atas, maka secara jelas dapat kita lihat bahwa tujuan pokok penyelenggarakan kegiatan pembelajaran IPA (sains) di sekolah haruslah “membelajarkan siswa bagaimana belajar” tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran ini mengandung makna untuk meletakkan landasan bagi belajar seumur hidup. Pada masa sekarang ini, bukanlah waktunya lagi bagi guru untuk menjadi orang pertama-tama yang bertindak sebagai komunikator “fakta-fakta, konsep, dan prinsip-prinsip yang mantap”. Adanya berbagai penemuan penelitian, menyebutkan “fakta, konsep, prinsip” seringkali berumur semakin “pendek”. Oleh karena itu, tujuan pokok pembelajaran IPA (sains) di sekolah
secara operasional adalah membelajarkan siswa agar mampu memproses dan memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap bagi dirinya sendiri. Berdasarkan uraian tentang kegiatan pembelajaran IPA (sains) yang ideal dan realistis penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah, timbul pertanyaan, “apakah yang bisa dilakukan untuk mengidealkan kegiatan pembelajaran IPA (sains) di sekolah?” Salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut adalah penerapan Pembelajaran Kontekstual. Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengkaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks dimana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau gaya/cara belajar. Konteks memberikan arti, relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar. Bagaimana melaksanakan pembelajaran kontekstual? Yulaelawati (2004) mengemukakan bahwa pengajaran dan pembelajaran kontekstual dapat mengikuti strategi sebagai berikut:
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
116
1.
Motivasi Pengenalan Perbincangan Alat bantu mengajar
2.
Pemahaman Penerangan konsep Bacaan Contoh
3.
Kemahiran Aktivitas Penyelesaian Masalah
4.
Penilaian Ingat kembali fakta Penilaian kemajuan
Gambar 1 Alur Pembelajaran Kontekstual 3. Pembelajaran Konvensional Model pembelajaran konvensional tidak dilandasi oleh paham konstruktivisme. Titik tolak pembelajaran tidak dimulai dari pengetahuan awal yang dimiliki siswa (prior knowledge). Pembelajaran ini dimulai dari penyajian informasi, pemberian ilustrasi contoh soal, latihan soal sampai pada akhirnya merasakan apa yang diajarkan telah dimengerti oleh siswa. Menurut Winkel (1987) pengetahuan deklaratif berisi hal-hal yang faktual sedangkan prosedural mengenai cara melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu. Menurut Nasution (1995) Pembelajaran konvensional memiliki kelemahan dan kekuatan. Kelemahan teknik ceramah yang banyak digunakan dalam pembelajaran konvensional adalah
guru tidak mampu mengontrol sejauh mana siswa telah memahami isi uraiannya. Kelemahan lain dari pembelajaran konvensional adalah : (1) kurikulum disajikan secara linier dan dijadikan bahan acaua yang harus diikuti; (2) aktivitas pembelajaran terikat pada buku pegangan (buku teks). Siswa dianggap kosong (kertas putih) dimana guru akan menggoreskan pengetahuan diatasnya; (3) guru bertindak sebagai pusat informasi; (4) penilaian dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar yang terpisah dari proses belajar mengajar; (5) siswa banyak bekerja secara individual. Sedangkan kelebihan dari pembelajaran konvensional menurut sudjana (1990) adalah : (1) bahan ajar yang disampaikan secara tutas; (2) dapat diikuti peserta didik dalam jumlah besar; (3) pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan alokasi
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
117
waktu; (4) target materi relatif mudah dicapai. 4. Penguasaan konsep Siswa menganggap bahawa mata pelajaran IPA sulit dipahami terutama pada konsep-konsep yang abstrak. Rendahnya penguasaan konsep IPA disebabkan oleh penggunaan pola pikir rasional yang rendah pada pembentukan sistem konseptual IPA (Liliasari, 1996) Menurut Dahar (1996), konsep merupakan kategori-kategori yang kita berikan pada stimulus-stimulus yang ada pada lingkungan kita. Konsep-konsep menyediakan skema-skema terorganisasi untuk menentukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori. Konsepkonsep merupakan dasar bagi prosesproses yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisai-generalisasi. Pemahaman konsep adalah cara memahami sesuatu yang sudah terpola dalam pikirannya yang diakses oleh simbol verbal atau tertulis. Seorang siswa memahami suatu konsep, apabila konsep tersebut sudah tersimpan dalam pikirannya. Berdasarkan pola-pola tertentu yang dibutuhkan siswa untuk ditetapkan dalam pikiran mereka sendiri sebagai ciri dari kesan mental untuk membuat suatu contoh konsep dan membedakan contoh dari non contoh (costa, 1988) 5. Keterampilan berpikir kritis. Whitehead (dalam arifin, 2003) menyatakan bahwa hasil yang nyata dalam pendidikan adalah proses berpikir yang diperoleh melalui pembelajaran dari berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya untuk dapat engikuti perubahan yang sangat capat saat ini, siswa tidak hanya perlu memiliki keterampilan proses, tetapi perlu memiliki self-guided inquary, yaitu suatu
kemampuan berpikir kritis yang penting ditekankan dalam pembelajaran. Berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan (Etnis,1999) ini dimaksudkan sewaktu menerima informasi, otak berpikir untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen, melakukan pencarian dan bila diperlukan akan menangguhkan keputusan sampai ia yakin bahwa informasi yang sesuai dengan penalarannya dan didukung oleh bukti atau informasi lainnya. Dalam pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berfikir kritis lebih melibatkan siswa sebagai pemikir bukan seorang yang diajar. Sedangkan pengajar sebagai penolong, fasilitator dan motivator yang membantu siswa dalam belajar dan bukan mengajar (Liliasari, 200). C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Desain penelitian yang digunakan adalah Randommized ControlGroup Pre-Test and Pos-test Design.Dengan menggunakan desai ini terlebih dulu dipilih secara acak dua kelompok siswa, satu kelompok untuk kelas eksperimen dan satu kelompok untuk kelas kontrol. Selanjutnya kedua kelas diberikan tes awal gunanya untuk mengetahui kemampuan awal mereka tentang materi yang dipelajari. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran kontekstual (CTL) sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan dengan menggunakan pendekatan konvensional yaitu metode ceramah yang diselingi tanya jawab. Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 4 Metro Pengambilan sampel, menggunakan teknik cluster random sampling dari enam kelas VIII diambil dua kelas dengan cara di undi. Sampel
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
118
yang dipakai kelas VIIIA dan kelas VIIIF yang masing-masing berjumlah 35 orang siswa. Penelitian ini menggunakan tes awal dan tes akhir untuk memperoleh data penguasaan konsep siswa. Data dianalisa dengan menggunakan Gain-score ternormalisasi selanjutnya dipaparkan secara deskriptif.
8 7 6 5 4 3 2 1 0
eksperimen kontrol
pretes
postes
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1.Rekapitulasi hasil tes penguasaan konsep pada kelas perlakuan. Kelas Eksperimen
Ratarata
Kelas Kontrol
pretes
postes
(g)
Pretes
Postes
(g)
17,26
83,08
0,78
17,14
64,11
0,55
Data pada tabel 2 dapat digambarkan dalam bentuk diagram batang,sbb: 100 80 60 40 20 0
eksperim en
pretespostes gainscore
Gambar 1. Diagram batang perbandingan rata-rata skor pretes dan postes penguasaan konsep kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tabel
Ratarata
2.
Rekapitulasi hasil tes keterampilan berpikir kritis kelas perlakuan
Kelas Eksperimen prete post (g) s es 2,31 7,68 0,72
Kelas Kontrol prete post s es 2,28 5,51
(g) 0,42
Data pada tabel 2 dapat digambarkan dalam bentuk diagram batang,sbb:
gainscore
Gambar 2. Diagram batang perbandingan rata-rata skor pretes dan postes keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis data secara deskriptif melalui tabulasi dan gambar yang menggunakan grafik batang, pembelajaran kontektual memberikan pengaruh yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Pengaruh tersebut terlihat dari nilai pretes, nilai postes dan nilai gain ternormalisasi . Analisis statistik menggunakan uji perbedaan rata-rata (uji t) terhadap nilai gain ternormalisasi juga menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual memberikan peningkatan yang lebih tinggi dalam penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis pada materi bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Metro. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang lebih besar kepada siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Seluruh siswa merasa terlibat aktif dan lebih termotivasi dalam mengikuti pembelajaran. Motivasi juga berdampak pada peningkatan minat dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Hal ini disesuaikan dengan hukum dalam belajar yaitu low of effect (efek yang menyenangkan) dan law of readines (hukum kesiapan). Siswa yang merasa senang dalam mengikuti
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
119
pembelajaran akan memperoleh hasil belajar yang lebihbaik, begitu juga siswa yang mengikuti pembelajaran dengan keadaan siap akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pembelajaran yang diterapkan yaitu pembelajaran yang aktif, inovatif, efektif, menyenangkan serta kontekstual (PAIKEM-C) pada kelas eksperimen. Berbeda halnya dengan kelas kontrol (konvensional) siswa cenderung pasif, kurang aktif, kurang motivasi, kurang minat dalam mengikuti pembelajaran. Jika dilihat dari kemampuan awal siswa, kedua kelas yang diberi perlakuan memiliki kemampuan awal yang sama, tetapi setelah diberi perlakuan yang berbeda memberikan hasil yang berbeda juga. Perbedaan tersebut salah satu faktor penyebabnya adalah perbedaan dalam penerapan model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran.
digunakan adalah pembelajaran kontekstual. 2. Dalam melakukan pembelajaran kontekstual perlu disiapkan secara matang baik desain pembelajarannya maupun alat dan bahan yang diperlukan agar diperoleh hasil yang optimal.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
KESIMPULAN 1. Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) berpengaruh positip terhadap penguasaan konsep bahan kimia dalam kehidupan seharihari pada siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Metro. 2. Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) berpengaruh positip terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada materi bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari pada siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Metro. SARAN 1. Kepada guru umumnya dan guru IPA (sains) khususnya agar dapat mengembangkan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,efektif, dan menyenangkan serta kontekstual (PAIKEM-C) dalam pembelajarannya. Salah satu model yang dapat
Daftar Pustaka Amien, Moh (1978). Mengajar science dengan menggunakan metode discovery-Inquiry. Yogyakarta: FKIE IKIP. Arend. (2000). Classroom Instruction and Management. Mc. Graw Hill. Blosser, P.E. (1992). Using Cooperatif Learning in Science Education. Tersedia pada: http://ericse org.CSMEC Buletin 92-1.htm. Diakses tanggal 10 Juli 2006.
Depdiknas. (2003). Kurikulum, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia 2006. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dimyati dan Mudjiono (1999). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Enoh, Mochamad. (2004). Jurnal Ilmu Pendidikan, Pebruari 2004 Jilid 11 Nomor 1. Funk, James H. dkk (1985). Learning Science Process Skills. Iowa: Kendal/Hunt Publishing Company. Glasson, E. George. (1989). “The Effects of Hands and Teacher Demonstration Laboratory
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
120
Methods on Science Achievement in Relation to Reasoning Ability and Prior Knowledge”. Yeany Jr, Russel H. (ed)., Journal of Research in Science Teaching. New York: John Willey and Sons Inc., vol. 26 Issues 9 Desember 1989. pp. 126-127 Graber, W. Erdermann, T. Dan Schlieker, V. (2002). ”ParCIS: Partnership betwen Chemical Industry and Schools”. Holbrook, J. (2005). Making Chemestry Teaching Relevant. Chemical Education International, 6 (1), 112. Ibrahim, Muslimin dkk. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA University Press. Leonard, Wiliam. H. (1998). An Experimental Test of Extended Descretion Laboratory Approach for University General Biology. Yeany Jr, H. Russel, (Ed)., Journal of Research in Science Teaching. New York: John Willey and Sons, Inc., Vol. 26 Issues 9 December 1989. pp. 86-87. Labschool. (2004). Pendekatan Proses dalam Proses Pembelajaran di Sekolah. http://labs.online/tripod.com/KBM .htm. Mariana, I Made Alit. (1999). Hakikat Pendidikan Science and Society dalam Pembelajaran Sains. Jakarta: Depdikbud.
Bebas Pada Pokok Bahasan Kinematika Gerak Lurus tersedia pada: http: //pps. upi.eu/org/abstrakthesis/abstrakipa /abstrakipa/ 05.html. diakses tanggal 25 juli 2006 Marsudi. (2003). Proses Belajar Mengajar. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Metro. Mudzakir, A. (2005) Chemie im Kontex (Konsepsi Inovatif Pembelajaran Kimia di Jerman). Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia II di Bandung. Nur, Mohammad (1996). Konsep tentang arah pengembangan IPA SMP dan SMU dalam waktu 5 tahun yang akan datang. Jakarta: Proyek Pengadaan Alat-alat IPA dan PKG, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Umum Depdikbud.
Nur, Mohammad. (2002). Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (Contexual Teaching and Learning). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Ramunujan, (2004) Pembelajaran Kooperatif. Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia. http://www.geocities.com/ramanuj an_asasno/koperatif. Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.
Marnita. (2005). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Inkuiri Bebas Bebas
BIOEDUKASI VOLUME 4 NOMOR 2, NOPEMBER 2013
121