LABORATORIUM KLINIK
Untuk Diagnosa Lebih Baik
[ ISSN 0854-7165
| No. 5/2003 ]
HOMOSISTEIN SEBAGAI FAKTOR RISIKO DEMENSIA DAN ALZHEIMER
Daftar Isi Homosistein sebagai Faktor Risiko Demensia dan Alzheimer ............................................... 1 Pemeriksaan Biokimia untuk Dugaan Rhabdomyolysis ........................................ 3 PAPP-A dan Kegunaan Kliniknya ...................... 5
PENDAHULUAN Penyakit Alzheimer bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen dari semua penyebab demensia, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk penyakit ini. Telah diketahui bahwa subyek dengan faktor risiko kardiovaskular dan riwayat stroke memiliki risiko demensia vaskular dan penyakit Alzheimer yang meningkat. Homosistein total plasma telah muncul sebagai suatu faktor risiko vaskular yang utama. Peningkatan kadar homosistein total ada hubungannya dengan peningkatan risiko atherosclerotic sequelae, yang meliputi kematian akibat kardiovaskular, penyakit jantung koroner, aterosklerosis karotid, dan stroke klinik (1).
HOMOSISTEIN PADA DEMENSIA DAN ALZHEIMER Penelitian yang dilakukan oleh Mc Ilroy dkk melaporkan bahwa peningkatan kadar homosistein moderat meningkatkan risiko demensia dan stroke secara signifikan. Peningkatan risiko demensia tidak tergantung Apo E, satu-satunya faktor risiko genetik untuk penyakit Alzheimer yang diketahui (3). Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya telah dilaporkan suatu hubungan yang terbalik antara kadar homosistein total plasma dan fungsi kognitif yang diukur secara simultan. Dua studi kontrol
kasus menemukan bahwa kadar homosistein plasma lebih tinggi pada orang yang menderita penyakit Alzheimer (1). Seshadri dkk melakukan penelitian yang memberikan bukti bahwa pada orang dengan usia lanjut, peningkatan kadar homosistein dalam plasma berkaitan dengan peningkatan risiko yang signifikan di mana penyakit Alzheimer atau demensia tipe lain akan berkembang selama delapan tahun observasi. Pada penelitian mereka, risiko ini meningkat seiring dengan kadar homosistein plasma, sehingga penelitian ini menjadi penunjang lebih lanjut bagi validitas hubungan ini. Para peneliti mengobservasi bahwa kenaikan kadar homosistein plasma sebesar 5 m mol/L menaikkan risiko penyakit Alzheimer sebesar 40 persen. Besarnya efek ini sama dengan efek homosistein pada penyakit vaskular simtomatik, dan efek ini tidak tergantung pada faktor risiko demensia lain, termasuk genotipe apolipoprotein E dan kadar vitamin B (1,2). Kadar homosistein meningkat seiring dengan usia. Akan tetapi, walaupun pada penelitian ini sudah disesuaikan terhadap usia, kadar homosistein masih merupakan faktor prediksi untuk risiko demensia. Kelemahan studi ini adalah bahwa kadar homosistein diukur pada subyek yang tidak puasa dan kadar vitamin B tidak diukur pada semua subyek (2). Walaupun hubungan antara homosistein plasma dan demensia telah menjadi subyek bagi berbagai penelitian
1
sebelumnya, tetapi penelitian yang dilakukan oleh Seshadri ini merupakan studi prospektif pertama yang menunjukkan hubungan yang kuat dengan risiko. Selain itu, nilai base-line untuk homosistein dan vitamin B diperoleh rata-rata delapan tahun sebelum perkembangan demensia. Hubungan antara kadar homosistein dengan risiko demensia berikutnya dan tidak adanya hubungan dengan kadar vitamin B menyatakan, tetapi tidak membuktikan, bahwa homosistein dengan cara tertentu secara langsung meningkatkan perkembangan penyakit Alzheimer dan demensia lain (2).
HIPERHOMOSISTEINEMIA Homosistein merupakan produk intermediate pada metabolisme asam amino yang mengandung sulfur. Pada pertemuan jalur remetilasi dan transsulfurasi, homosistein dapat dikonversikan menjadi metionin dan sistein. Penyebab hiperhomosisteinemia diantaranya adalah kelainan metabolisme inborn error yang jarang yang mengganggu transsulfurasi (defisiensi cystathionine b-synthase atau homosistinuria) dan keadaan defisiensi vitamin B yang mengganggu remetilasi (defisiensi folat atau vitamin B12). Pada defisiensi folat dan vitamin B12, kadar homosistein plasma meningkat sebagai akibat langsung dari defisiensi kofaktor yang dibutuhkan untuk reaksi transfer satu karbon (2). Hiperhomosisteinemia dapat mempercepat perkembangan demensia dengan beberapa cara, seperti melalui perkembangan mikroangiografi serebral, disfungsi endotel, dan stres oksidatif, seperti halnya peningkatan neurotoksisitas tergantung peptida bamiloid dan apoptosis neuronal (2). Metabolit homosistein, seperti asam homosisteat, memiliki efek eksitotoksisitas neuronal dengan menstimulasi reseptor glutamatergic N-methyl-D-aspartate. Efek ini beberapa kali lebih kuat daripada glutamat dan menyebabkan peningkatan Ca 2+ intraselular, aktivasi protein proapoptosis, dan kematian sel (2,3). Selain itu, efek homosistein pada aterotrombosis dalam pembuluh darah serebral menyebabkan iskemia sistem saraf pusat, hipoksia neuronal, dan injury (2). Penelitian Seshadri dkk memberikan pandangan mengenai mekanisme penyakit-penyakit yang sangat membahayakan ini, tetapi mereka juga menyarankan suatu strategi pengobatan yang potensial. Pemberian folat, vitamin B12 atau betaine pada diet normal akan menurunkan kadar homosistein dalam plasma pada kebanyakan orang. Perlu dipikirkan kemungkinan bahwa konsumsi vitamin-vitamin ini dapat mencegah perkembangan penyakit Alzheimer dan demensia lain. Tetapi, belum ada uji yang prospektif untuk
2
Gambar 1. Mekanisme potensial bagaimana homosistein menyebabkan neuronal injury
membuktikan bahwa demensia dapat dicegah dengan menurunkan kadar homosistein dengan suplemen vitamin B. Kemampuan vitamin B untuk menurunkan risiko penyakit serebrosvaskular juga belum terbukti. Studi yang penting ini memberikan landasan bagi penelitian selanjutnya untuk menguji efek folat, vitamin B, dan terapi lain yang mungkin pada kelainan-kelainan neurologis yang membahayakan ini (2).
PENUTUP Hiperhomosisteinemia saat ini dikenal hanya sebagai indikator kerentanan terhadap penyakit dan terapi yang dapat menurunkan kadar homosistein tidak menjamin menurunkan kejadian stroke atau demensia. Nilai pengukuran tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi sebelum pemeriksaan dan pada penanganan sampel. Oleh karena itu sebelum melakukan pemeriksaan, pasien diharuskan puasa terlebih dahulu (4). Faliawati Moeliandari RUJUKAN : 1. Seshadri S, Beiser A, Selhub J, Jacques PF, Rosenberg IH, DAgostino RB, et al. Plasma Homocysteine As A Risk Factor For Dementia And Alzheimers Disease. N Engl J Med 2002; 346: 476-483. 2. Loscalzo J. Homocysteine and Dementias. N Engl J Med 2002; 346: 466-468. 3. McIlroy SP, Dynan KB, Lawson JT, Patterson CC, Passmore P. Moderately Elevated Plasma Homocysteine, methylenetetrahydrofolate Reductase Genotype, and Risk for Stroke, Vascular Dementia, and Alzheimer Disease in Northern Ireland. Stroke 2002, 33 : 2351-235.
4. Korczyn AD. Homocysteine, Stroke and Dementia. Stroke 2002; 33: 2343-2344.
PEMERIKSAAN BIOKIMIA UNTUK DUGAAN RHABDOMYOLYSIS PENDAHULUAN Pada saat strategi yang berdasarkan terapi farmakologis jangka panjang dipertimbangkan untuk mengontrol faktor risiko kardiovaskular seperti hiperkolesterolemia, sangat relevan untuk memperkirakan rasio risiko/ manfaat yang efektif dari efikasi obat atau kelompok obat (3). Beberapa percobaan klinis memberikan bukti konklusif bahwa statin menginduksi regresi aterosklerosis vaskular dan menurunnya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan atau tanpa penyakit kardiovaskular. Studistudi banyak yang meragukan keamanan dan tolerabilitas statin. Pada kenyataannya, efek samping yang biasa yang berhubungan dengan terapi statin relatif jarang dan seringkali bersifat sementara (gejala gastrointestinal, sakit kepala, rash). Akan tetapi, efek samping yang jarang tapi relevan secara klinis meliputi toksisitas untuk hati dan otot (3). Rhabdomyolysis merupakan keadaan umum di mana injury terhadap otot skelet menghasilkan kebocoran kandungan miosit ke dalam cairan ekstravaskular dan jika cukup berat, terjadi pasase myoglobin ke dalam urin dan membuat urin menjadi berwarna coklat (2).
Table 1. Possible causes of rhabdomyolysis (3) Traumatic events (vascular injuries, burns, direct muscle trauma) Alcohol abuse Drug abuse (cocaine, amphetamine, heroin) Genetic abnormalities in carbohydrate and lipid metabolism Hypothyroidism Infections Medical therapies (corticosteroids, statins, fibrates, antidepressants, benzodiazepines, antipsychotic agents, anaesthetics) Low potassium, sodium, phosphate Hypothermia Hyperthermia
PERUBAHAN BIOKIMIA PADA RHABDOMYOLYSIS Pada semua kasus kelemahan otot, elektrolit serum harus diperiksa bersama dengan creatine kinase (CK). Berbeda dengan pada rhabdomyolysis, CK serum dan myoglobin sering ditemukan normal pada pasien dengan myopathy (1). Sel otot yang rusak akan membocorkan creatine kinase ke dalam plasma. Enzim ini ada dalam beberapa isoform. CK-MM atau CK total digunakan sebagai indeks kerusakan otot skeletal. Kerusakan sel otot juga dapat membocorkan myoglobin (1).
MYOGLOBIN
Rhabdomyolysis telah didefinisikan bermacam-macam. Definisi yang paling tepat adalah injury terhadap sarcolemma (membran) sel otot polos yang menghasilkan kebocoran komponen selular ke dalam darah atau urine. Istilah rhabdomyolysis dan myoglobinuria sering dipertukarkan (2).
Myoglobin dikatabolisme dengan filtrasi glomerulus, absorpsi tubulus ginjal proksimal melalui endositosis dan proteolisis. Seperti halnya semua protein dengan berat molekul rendah, sejumlah kecil dan konstan protein yang disaring akan diekskresikan (biasanya 0,01-5%), kadar protein yang signifikan muncul dalam urin hanya pada saat kapasitas tubulus ginjal dilampaui. Pada saat hal ini terjadi kadar dalam plasma adalah antara 3-15 mg/ L. Perturbasi terhadap GFR, absorpsi tubulus ginjal dan kecepatan aliran urin yang dapat terjadi pada rhabdomyolysis akan merubah nilai ini, disebabkan karena afinitas pengikatan protein yang rendah dari myoglobin dalam plasma (2).
Rhabdomyolysis merupakan sindrom yang reversible tapi jika tidak ditangani akan berakibat fatal. Dia dapat diakibatkan oleh beberapa macam penyakit dan gangguan, yang ditemukan bersamaan pada pasien pengguna statin (3).
Immunoassay untuk myoglobin dalam serum sudah tersedia, dan dengan modifikasi yang tepat juga dapat digunakan untuk bahan urin. Myoglobin stabil dalam serum, akan tetapi pH urin harus diatur antara 8,5-9,0 sesegera mungkin setelah pengumpulan sampel, jika
RHABDOMYOLYSIS
3
tidak akan terjadi kehilangan aktivitas imunologisnya. Kadar normal myoglobin dalam serum biasanya kurang dari 100 mg/L dan dalam urin adalah kurang dari 10 mg/ L, tapi pada rhabdomyolysis kadarnya dalam serum dapat mencapai 750 mg/L dan dalam urin dapat mencapai 80 mg/L. Myoglobin memberikan warna merah-coklat pada urin pada kadar di atas 300 mg/L atau 1 g/L (2).
PELEPASAN MYOGLOBIN DAN CK SETELAH INJURY Beberapa penelitian pada manusia telah menemukan adanya pelepasan myoglobin dan CK setelah muscle injury. Dalam serum, myoglobin akan terurai dengan waktu paruh 1-3 jam dalam keadaan GFR normal, dan lebih lama apabila GFR berkurang. Serum CK menurun dengan waktu paruh 36 jam. Kedua pemeriksaan dapat berlaku sebagai gross indicator untuk besarnya kerusakan otot. Perlu diketahui waktu pengambilan sampel setelah injury (2).
PENGUKURAN PROGNOSTIK DALAM RHABDOMYOLYSIS Pada beberapa studi, serum CK sebaik serum myoglobin dalam menentukan derajat muscle injury. Bukti bahwa rhabdomyolysis telah terjadi atau sedang terjadi ditunjukkan oleh peningkatan CK yang tidak ada kaitannya dengan cardiac source (2).
STATIN DAN RHABDOMYOLYSIS Hydroxymethyl glutaryl coenzyme A reductase inhibitors (statin) memberikan manfaat yang besar untuk individu dengan risiko tinggi untuk PJK. Pada beberapa studi statin telah menunjukkan dapat mengurangi kolesterol total sebesar 17-29% dan LDL antara 24-61%, yang berhubungan dengan pengurangan kejadian PJK dan penyakit serebrovaskular (4). Obat-obat ini mempunyai profil keamanan yang bagus. Meskipun demikian, perbedaan sifat fisikokimia dan farmakokinetik antara statin dapat memberikan keamanan jangka panjang yang berbeda secara signifikan. Efek samping jangka panjang yang berhubungan dengan penggunaan statin contohnya adalah hepatotoksisitas dan myopathy (3,4). Penarikan cerivastatin dari pasaran pada tahun 2001 karena kasus rhabdomyolysis berat, menyebabkan adanya perhatian yang besar terhadap keamanan seluruh kelompok statin. Saat ini, semua kasus rhabdomyolysis yang ada hubungannya dengan penggunaan statin telah dilaporkan ke Food and Drug Administration (FDA). Rhabdomyolysis fatal diantara pengguna statin
4
merupakan kejadian yang jarang, angka yang dilaporkan adalah kurang dari 1 per 1.000.000 pada semua pemakai statin selain cerivastatin (3). Keamanan dan tolerabilitas statin yang ada mendukung penggunaaannya sebagai pengobatan first-line pada pasien-pasien dengan risiko tinggi PJK, karena manfaat klinisnya lebih besar dibandingkan dengan risiko myopathy yang kecil. Meskipun demikian, klinisi harus waspada terhadap efek samping yang mungkin ada hubungannya dengan pengobatan statin, terutama pada pasien dengan risiko tinggi PJK dan membutuhkan terapi beberapa obat dalam jangka panjang (3). Peningkatan Enzim Transaminase, Myopathy dan Rhabdomyolysis Sejauh ini efek samping paling penting yang dilaporkan adalah peningkatan enzim hati dan myopathy. Postmarketing surveillance awal dari beberapa statin menunjukkan adanya peningkatan transaminase (SGOT dan SGPT lebih besar dari 3x batas atas normal) sampai 1%. Kenaikan ini tergantung dari dosis. Kebanyakan abnormalitas hati ini terjadi selama 3 bulan pertama terapi dan membutuhkan pengobatan (3). Insidensi myopathy adalah kecil (kurang dari 0,1%) pada pasien yang menggunakan statin tanpa pemberian beberapa obat secara bersamaan, yang meningkatkan risiko myopathy. Semua obat penurun lipid ada hubungannya dengan risiko myopathy yang lebih besar, yang paling banyak buktinya adalah fibrat. Data di UK menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan statin mempunyai risiko relatif untuk myopathy sebesar 7,6 dibandingkan dengan populasi umum, sementara fibrat mempunyai risiko relatif 43,3 (3). Myopathy merupakan diagnosis klinis peningkatan creatine phosphokinase lebih dari 10 kali batas atas normal dan dikarakterisasi oleh mialgia kuat disertai fatigue. Gejala-gejala berkembang ke rhabdomyolysis selama pasien melanjutkan pemakaian obat (3).
PENUTUP Rhabdomyolysis merupakan sindrom yang reversible tapi jika tidak ditangani akan berakibat fatal. Dia dapat diakibatkan oleh beberapa macam penyakit dan gangguan, yang ditemukan bersamaan pada pasien pengguna statin. Karena hiperkolesterolemia merupakan kondisi kronik, keamanan pemakaian statin jangka panjang menjadi penting. Reaksi yang tak diinginkan yang melibatkan otot skelet merupakan yang paling umum (insidensi yang
dilaporkan 1-7%). Penarikan cerivastatin karena adanya kematian yang disebabkan oleh rhabdomyolysis (25% diantaranya berkaitan dengan terapi kombinasi gemfibrozil-cerivastatin) telah menimbulkan perhatian pada miotoksisitas yang dihubungkan dengan statin dan terutama dengan kombinasi statin-fibrat. Beberapa pemeriksaan seperti enzim transaminase (SGOT dan SGPT), creatine kinase (CK) dan myoglobin dapat digunakan untuk memantau kemungkinan terjadinya efek samping obat yang dapat menyebabkan rhabdomyolysis. Marita Kaniawati Rujukan : 1. Gaw A, Cowan RA, OReilly DSJ, Stewart MJ, Shepherd J. An Illustrated Colour Text. Clinical Biochemistry. Churchill Livingstone, London, 1998, p.136-137. 2. Beetham R. Biochemical investigation of suspected rhabdomyolysis. Ann Clin Biochem 2000; 37 : 581-587. 3. Bolego C, Baetta R, Bellosta S, Corsini A, Paoletti R. Safety considerations for statins. Curr Opin Lipidol 2002 ; 13 : 637-644. 4. Evans M, Rees A. The myotoxicity of statins. Curr Opin Lipidol 2002 : 13 : 415-420.
PREGNANCY-ASSOCIATED PLASMA PROTEIN A (PAPP-A) DAN KEGUNAAN KLINIKNYA PENDAHULUAN PAPP-A digambarkan pertama kali oleh Lin dkk pada tahun 1974 sebagai komponen serum dengan berat molekul tinggi yang diperoleh dari individu pada trimester akhir kehamilan. PAPP-A merupakan metaloglikoprotein mengandung Zn, besar dan dimerik, dengan berat molekul 800 kDA dan mobilitas elektroforetik a2. Setiap subunit terdiri dari 1.547 residu asam amino dan pada kehamilan dihasilkan dari suatu prekursor yang lebih besar berasal dari plasenta (1). Penelitian terbaru tentang PAPP-A pada plak aterosklerosis tidak stabil, dengan peningkatan PAPP-A dalam sirkulasi, menyatakan peran baru PAPP-A sebagai penanda sindroma koroner akut. Akan tetapi sampai saat ini, kegunaan klinik utama terbatas pada tiga hal : Sebagai penanda chromosomal aneuploidy Sebagai indikator untuk kegagalan kehamilan awal dan komplikasi kehamilan Sebagai penanda untuk sindroma Cornelia de Lange (1).
PAPP-A DAN CHROMOSOMAL ANEUPLOIDY Frekuensi alami abnormalitas kromosomal saat kelahiran, tanpa adanya ujisaring prenatal, diperkirakan sekitar 6 per 1000 kelahiran. Yang paling sering terjadi adalah trisomy 21 (Down Syndrome), risikonya meningkat secara dramatis dengan usia kehamilan. Kejadian trimester kedua dari trisomy 21 pada janin adalah 1 dalam 500. Trisomy autosomal lain yang umum termasuk trisomy 18 (Edwards syndrome) memiliki angka kejadian 1 dalam 6.500 dan trisomy 13 (Pataus syndrome) memiliki angka kejadian 1 dalam 12.500 (1). Sejak awal tahun 1990, ujisaring prenatal, yang asalnya ditujukan untuk deteksi trisomy 21, telah menjadi bagian standar dari praktek obstetrik, terutama melalui pengukuran penanda biokimia serum maternal pada trimester kedua (kehamilan 15-20 minggu). Penandapenanda ini termasuk kombinasi dari 2 atau 3 pemeriksaan berikut : alphafetoprotein (AFP), total hCG, b-hCG bebas dan estriol tak terkonyugasi. Pada kehamilan dengan janin trisomy 21, kadar serum maternal AFP dan estriol tak terkonyugasi cenderung lebih rendah dari normal (median MoM 0,7), sementara kadar b-hCG bebas meningkat 2,2 MoM atau total hCG meningkat 2,0 MoM (1). Pada beberapa pusat kesehatan, ujisaring untuk trisomy 18 juga dilakukan menggunakan protokol penanda yang sama, dengan kadar serum maternal janin trisomy 18 pada semua penanda secara rata-rata lebih rendah dari normal. Secara umum, ujisaring dapat mengidentifikasi kurang lebih 60% dari kasus, dengan positif palsu 0,51% (1). Banyak penelitian di masa lalu telah difokuskan pada ujisaring dalam kehamilan yang lebih dini (10 sampai 14 minggu). Brambati dkk merupakan yang pertama yang menunjukkan bahwa kadar PAPP-A berkurang pada kehamilan dengan trisomy 21 (median Mom 0,45) (1). Serum PAPP-A yang rendah bukan hanya merupakan indikator untuk trisomy 21. Pada kasus trisomy 18 dan 13, kadar PAPP-A juga menurun pada trimester pertama. Ketika digunakan bersama dengan b-hCG bebas (ketika kadar menurun sampai sekitar 0,3 MoM) dan nuchal translucency/NT (ketika kadar meningkat), algoritma yang cocok dapat mendeteksi 90% kasus trisomy 13 dan 18 dengan nilai positif palsu 1%. Kadar PAPP-A juga sangat rendah pada kasus triploidy (1). Kadar serum PAPP-A tetap rendah sampai trimester kedua pada kasus trisomy 18. Saat ini, PAPP-A merupakan penanda biokimia yang terbaik. Telah dinyatakan bahwa program ujisaring dua tahap menggunakan PAPP-A sebagai uji second-line dapat mengidentifikasi 80% kasus trisomy 18, dengan angka positif palsu 0,1% (1).
5
KOMPLIKASI KEHAMILAN Pada awal tahun 1980 penggunaan PAPP-A didasarkan pada penemuan bahwa kadar PAPP-A yang rendah dihubungkan dengan kelangsungan hidup janin yang buruk. Hubungan ini ditunjukkan pada program ujisaring prenatal, di mana serum PAPP-A yang rendah tanpa adanya pemeriksaan ultrasound meningkatkan kecurigaan kematian janin. Studi-studi juga telah menunjukkan bahwa serum maternal PAPP-A yang rendah dihubungkan dengan wanita yang keguguran berurutan, menderita hipertensi akibat kehamilan dan mengalami keterbatasan pertumbuhan (1).
SINDROMA CORNELIA DE LANGE Sindroma Cornelia de Lange merupakan malformasi perkembangan yang ditandai diantaranya oleh keterlambatan perkembangan mental dan pertumbuhan, dan kerusakan jantung kongenital. Kejadiannya diperkirakan pada 1 dari 40.000 kelahiran dengan risiko muncul kembali 1%. Laporan kasus dari awal tahun 1980 menunjukkan kadar PAPP-A yang rendah pada serum maternal yang dikumpulkan antara usia kehamilan 20 dan 35 minggu. Akhir-akhir ini, Aitken dkk menganalisis 19 kasus dan mampu mengkonfirmasi kadar PAPP-A rendah (nilai tengah MoM 0,21) pada trimester kedua, dan menghasilkan perkiraan keganjilan janin yang terkena berdasarkan kadar PAPP-A (1).
PAPP-A SEBAGAI PENANDA SINDROMA KORONER AKUT Pasien dengan sindoma koroner akut mempunyai risiko untuk komplikasi yang serius dan kematian. Outcomenya dapat diperbaiki dengan diagnosis yang akurat dan cepat, diikuti dengan pengobatan yang tepat (2). Tes diagnostik untuk myocardial injury meliputi technetium-99m sestamibi scanning untuk mengidentifikasi gangguan pada perfusi miokard, EKG untuk mengidentifikasi abnormalitas gerakan dinding ventrikel kiri, dan pengukuran kadar CKMB, myoglobin, troponin I dan troponin T untuk mengidentifikasi nekrosis miokard. Setiap tes menggambarkan tahapan yang berbeda dari oklusi koroner ke iskemia miokard : kerusakan aliran arteri koroner, disfungsi miokard iskemik, dan akhirnya nekrosis jaringan miokard. Tersedianya penanda dini instabilitas plak yang sensitif dan spesifik, yang kadarnya menjadi meningkat sebelum atau pada saat tidak ditemukannya peningkatan penanda injury sel miokard lain, akan memperbaiki pembuatan
6
keputusan diagnostik dan terapetik, dan mungkin juga memperbaiki nilai pemeriksaan-pemeriksaan tradisional (2). Dihipotesiskan bahwa PAPP-A, yang ditemukan pada pria dan wanita, mungkin merupakan penanda seperti yang disebutkan di atas, dan dapat mengidentifikasi pasien dengan plak aterosklerotik yang tidak stabil. PAPP-A merupakan molekul proaterosklerotik yang potensial dan akhir-akhir ini terbukti merupakan aktivator spesifik untuk IGF-1, suatu mediator untuk aterosklerosis (2). Penggunaan terbaru yang potensial untuk pengukuran PAPP-A telah dinyatakan sebagai hasil identifikasi PAPPA pada plak aterosklerotik dan peningkatan yang bersesuaian dengan kadar PAPP-A dalam sirkulasi. Dalam hal ini, dibutuhkan pemeriksaan dengan sensitivitas tinggi. Satu studi yang menggunakan kadar batas 10 mIU/L (2.000 kali lebih kecil dibandingkan dengan kadar pada kehamilan 11 minggu), menunjukkan sensitivitas untuk identifikasi sindrom koroner akut sebesar 89,2% dan spesifisitasnya sebesar 81,3%. Sensitivitasnya 94,1% pada kasus infark miokard dan 85% pada kasus angina tidak stabil (1).
Penelitian PAPP-A yang dilakukan Genis dan kawan-kawan (2)
Telah diperiksa kadar ekspresi PAPP-A pada delapan plak koroner yang tidak stabil dan empat plak stabil dari delapan pasien yang meninggal mendadak yang disebabkan jantung. Juga telah diukur kadar sirkulasi PAPP-A, C-Reactive Protein, dan IGF-I pada 17 pasien dengan infark miokard akut, 20 dengan angina tidak stabil, 19 dengan angina stabil, dan 13 kontrol tanpa aterosklerosis. Hasil penelitian Genis dkk menunjukkan bahwa PAPP-A banyak diekspresikan pada sel plak dan matriks ekstraselular dari plak tidak stabil yang terkikis dan koyak, tetapi tidak diekspresikan pada plak stabil. Kadar PAPP-A yang bersirkulasi secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan angina tidak stabil atau infark miokard akut daripada pasien dengan angina stabil dan kontrol (p<0,001). Nilai batas PAPP-A sebesar 10mIU/L mengidentifikasi pasien yang memiliki sindroma koroner akut dengan sensitifitas 89,2% dan spesifisitas 81,3%. Kadar PAPP-A berkorelasi dengan kadar C-Reactive Protein dan IGF-1 bebas, tetapi tidak dengan penanda myocardial injury (troponin I dan CKMB isoform). Genis dkk menemukan adanya hubungan antara penyakit koroner yang tidak stabil dengan kadar PAPP-A. Buktibukti histologis mengenai hubungan antara PAPP-A dan sindrom koroner akut berasal dari evaluasi plak pada pasien yang meninggal tiba-tiba karena penyakit jantung. Dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik ditemukan bahwa PAPP-A diekspresikan dalam
jumlah yang banyak baik pada plak yang koyak atau yang mengalami erosi, dan hanya sedikit ditemukan pada plak yang stabil. Diduga bahwa PAPP-A dihasilkan oleh selsel teraktivasi pada plak yang tidak stabil dan dilepaskan ke dalam matriks ekstraselular. Apakah PAPP-A dapat mendegradasi matriks ekstraselular, masih belum jelas. Metaloproteinase lain ada hubungannya dengan daerah bahu lesi aterosklerotik yang kaya-makrofag dan secara tidak langsung terlibat dalam koyaknya plak. Penemuan PAPP-A dalam kadar yang tinggi pada plak aterosklerotik tidak stabil mendorong para peneliti untuk memperkirakan kadar PAPP-A yang bersirkulasi pada pasien dengan sindrom koroner akut. Kadar PAPPA yang bersirkulasi secara signifikan meningkat pada pasien dengan angina tidak stabil dan pasien infark miokard. Nilai PAPP-A 10 mIU/L secara akurat mengidentifikasi pasien dengan sindrom koroner akut.
PAPP-A PADA SUBJEK HIPERLIPIDEMIK ASIMTOMATIK DENGAN RISIKO KARDIOVASKULAR TINGGI Beaudeux dkk menentukan kadar PAPP-A pada pria hiperlipidemik asimtomatik (n = 64, usia 51 + 7 th) dengan status lesi dan intima-media thickness pada arteri karotid dievaluasi dengan USG noninvasif dan dibandingkan dengan kelompok kontrol normolipidemik (n = 25). Tidak ada perbedaan kadar PAPP-A antara subjek hiperlipidemik (8,99 + 2,93 mIU/L) dan kontrol (8,03 + 2,75 mIU/L) juga antara subjek hiperlipidemik yang disertai obstruksi luminal pada arteri karotid (9,26 + 2,53 mIU/L) dan yang tidak disertai obstruksi (8,85 + 3,29 mIU/L). Sebaliknya, pada pasien dengan plak karotid ateromatus, ada hubungan positif antara kadar PAPP-A dan CRP (p<0,05). Selain itu, subjek dengan lesi ekogenik hiperekoik atau isoekoik mempunyai kadar PAPP-A yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan lesi hipoekoik (10,32 + 2,72 vs 8,27 + 2,18 mIU/ L, p<0,05) dan dengan kontrol normolipidemik (p<0,05). Dengan demikian, peningkatan kadar PAPP-A merupakan penanda potensial untuk derajat ekogenisitas plak aterosklerotik karotid pada pasien hiperlipidemik asimtomatik dengan risiko kardiovaskular tinggi (3).
merupakan media yang paling baik. Penampungan pada tabung EDTA menghasilkan penghilangan kandungan zinc pada pusat molekul PAPP-A. Hal ini menyebabkan perubahan konformasional pada protein, membuatnya hampir tidak terlihat pada kebanyakan sistem pemeriksaan. Penampungan pada heparin juga menghasilkan nilai PAPP-A yang lebih rendah (1).
PENUTUP Nilai klinis untuk PAPP-A terus berkembang seiring dengan tersedianya data baru. Sementara kegunaannya telah ditetapkan sebagai alat pengukur risiko untuk abnormalitas janin telah ditetapkan di Eropa, penemuan terakhir menyatakan bahwa PAPP-A juga dapat memprediksi kejadian kardiovaskular. PAPP-A ditemukan pada plak tidak stabil, dan kadar yang bersirkulasi meningkat pada sindroma koroner akut. Peningkatan kadar ini dapat merefleksikan ketidakstabilan plak aterosklerosis. PAPP-A merupakan kandidat penanda baru untuk angina tidak stabil dan infark miokard akut. Marita Kaniawati Faliawati Moeliandari Keterangan: - Pemeriksaan PAPP-A belum disediakan untuk keperluan rutin Rujukan : 1. Spencer K. Pregnancy-Associated Plasma Protein-A and its Clinical Utility. News & Views. Online News Magazine, p. 1-8. 2. Bayes-Genis A, Conover CA, Overgaard MT, Bailey KR, Cristiansen M, Holmes DR, et al. Pregnancy-associated plasma protein A as a marker of acute coronary syndromes. N Engl J Med 2001 ; 345/14 : 1022-1029. 3. Beaudeux JL, Burc L, Imbert-Bismut F, Giral P, Bernard M, Bruckert E et al. Serum PAPP-A. A Potential Marker of Echogenic Carotid Atherosclerotic Plaques in Asymptomatic Hyperlipidemic Subjects as High Cardiovascular Risk. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2003 ; 23 : e7-e10.
OPTIMISASI PEMERIKSAAN PAPP-A Saat ini pemeriksaan menggunakan antibodi monoklonal untuk PAPP-A sudah tersedia. PAPP-A relatif stabil pada suhu kamar dengan kadar yang tidak berubah setelah 7 hari. Beku ulang sampai 5 kali tidak memberi efek pada kadar serum. Untuk keperluan ujisaring, serum
7
Redaksi Kehormatan Prof. DR. Dr. Marsetio Donosepoetro Drs. Andi Wijaya Prof. DR. Dr. FX. Budhianto Suhadi DR. Dr. Irwan Setiabudi Ketua Dewan Redaksi/Penanggung Jawab Dra. Marita Kaniawati Anggota Dewan Redaksi Dra. Dewi Muliaty Dra. Ampi Retnowardani Dra. Lies Gantini Faliawati Moeliandari S.Si Alamat Redaksi Laboratorium Klinik Prodia Jl. Cisangkuy 2, Bandung 40114 Telepon: (022) 7234210 (Hunting) Fax : (022) 7234183 e-mail:
[email protected] website: www.prodia.co.id
Certificate Number: 403247 Certified to QMS Nopember 2003-3500
8