Homo Islamicus Uzair Suhaimi uzairsuhaimi.wordpress.com
Dalam kalimat pertama salah satu bukunya yang terkenal yaitu Undestanding Islam1, Schuon mendefinsikan Islam sebagai ajaran mengenai “Tuhan apa adanya dan manusia apa adanya”. Walaupun terkesan “enteng”, definisi itu sangat tepat dan padat karena mencakup dua tema besar ajaran Islam yaitu Tuhan (Allah SWT) dan manusia sebagaimana terkandung dalam surat pertama Al-Qur’an yang pertama yaitu Al-Fatihah2. Dia memaknai Tuhan apa adanya kira-kira sebagai Dia yang Mutlak dalam diri-Nya, makna yang tersirat dalam kata Hua3. Wallâhu’alam. Mengenai istilah manusia apa adanya Schuon menjelaskannya kira-kira sebagai manusia yang secara normatif sesuai dengan cetak_biru penciptanya, manusia yang belum “tercemari” --bahkan berentangan dengan-- budaya modern. Artikel ini memfokuskan pada makna manusia dalam pengertian ini yang oleh Nasr disebut sebagai homo Islamicus4. Manusia Modern: Antromorfisme Homo Islamicus dapat dibandingkan dengan lawannya yaitu manusia modern5. Sayangnya, yang terakhir ini tidak mudah didefinisikan karena dua hal. Pertama, kita berada di dalam dunianya, dunia modern, sehingga diperlukan refleksi untuk mengambil jarak kognitif. Kedua, sejauh penulis ketahui, litertur mengenai modernitas pada umumnya memiliki tema tertentu (tematis) dalam pengertian bersifat sepotong-sepotong (parsial) sehingga jika dilihat secara keseluruhan tema modernitas akan tampak sangat beragam dengan rentang mulai dari dunia kekinian (contempory) sampai hanya sekadar istilah sederhana seperti “inovatif” atau “kreatif”. Prinsip dasar atau nilai kebanaran ultimanya jarang sekali didiskusikan dalam literatur. Kelangkaan dalam hal kejelasan,
1
Versi Bahasa Indonesia berjudul Memahami Islam.
2
Empat ayat pertama surat itu terkait dengan Tuhan YME, 2 ayat berikutnya dengan manusia, 1 ayat sisanya dengan jalan menuju Tuhan YME yaitu “jalan lurus”, “jalan dibenci” dan “jalan sesat”. 3
Dalam bukunya yang lain yaitu The Tranfiguration of Man (versi Bahasa Indonesia: Tranfigurasi Manusia) Schuon menjabarkan makna Hua. Artikel relevan dapat diakses dalam situs ini yang berjudul “Dia Allah: Misteri Keberadaan, Misteri Ketuhanan” dalam kategori Refleksi. 4
Lihat Sayyid Nasr dalam “Reflection on Islam and Modern Life”, online library articles, www.worldwisdom.com. Semua kutipan Nasr dalam artikel ini merujuk pada artikel yang berjudul itu. 5
Kata modern pertamakali digunakan 1585 terkait dengan, atau ciri dari kekinian atau masa lalu yang belum lama (contemprary); atau melibatkan teknik, metode, atau idea baru (up-to date) (www.merriamwebster/dictionary).
1
ketepatan dan ketajaman mengenai prinsip dasar dan kebenaran ultim6 seringkali menyebabkan diskusi mengenai modernitas –khususunya jika dikaitkan dengan agama-- menjadi “panas”, emosional, dan kurang produktif. Kekecualian dari ini adalah pandangan mazhab tradisional7. Bagi mereka modernitas tidak ada kaitannya dengan kekinian, kebaharuan (up-to-date), atau keberhasilan “menaklukkan” atau mendominiasi dunia alamiah. Bagi mereka modern berarti segala sesuatu yang, seperti dinarasikan oleh Nasr, ... cut off from the transendent, from the immutable principles which in reality goven everythings and which are made known to man through revelation in its most universal sense. Modernism is thus contrasted with tradition (al-din). ... terputus dari yang transenden, dari prinsip-prinsip yang takterbantahkan yang dalam realitas mengendalikan semua hal, sesuatu yang dapat diketahui oleh manusia melalui wahyu dalam pengertiannya yang paling universal. Modernisme dengan demikian berbeda dengan tradisi (agama). Apa yang teputus? Yang terputus adalah keajegan dalam cara pandang dunia (world view) khususnya mengenai posisi manusia di dalam jagat raya kesadaran. Menurut Nasr, selama “ratusan ribu tahun” hidup di muka bumi manusia mempertahankan tanpa_putus pandangannya mengenai hubungannya dengan Tuhan dan alam dilihat sebagai ciptaan dan ayat (teofani) Tuhan. Pandangan tradisional yang sudah berumur “ratusan ribu tahun ini’ oleh manusia modern “diputus” sejak sekitar abad ke-168 dengan menetapkan manusia sebagai satu-satunya kriteria kepastian kebenaran. Modern thought, ..., became profoundly anthropormic the moment man was made the criterion of reality. When Descartes utterred “I think, therefore I am” (cogito ergo sum), he placed his individual awareness of his own limited to self as the criterion of existence for certainly the “I” in Decrates assetion was not to be devine “I” who through Hallj exclaimed “I am the 6
Kelangkaan semacam ini khas dalam cakrawala pikir manusia modern.
7
Istilah ini sekadar untuk memudahkan. Istilah yang lebih tepat mungkin mazhab perenialis yang dipopulekan oleh Schuon. Mazhab ini mengedepankan hakikat kebenaran abadi yang tanpa bentuk tetapi kemudian diberi “bentuk tertentu” oleh suatu agama dan tradisi.
8
Era modern dimulai kira-kira abad ke-16; jadi, belum lama (baru sekitar setengah milenium yang lalu) dalam rentang sejarah panjang umat manusia. Era ini diawali oleh peristiwa kejatuhan Konstantinopel tahun 1153, kejatuhan Muslim Sepanyol dan penemuan Benua Amerika tahun 1492, dan reformasi Protetan Luther tahun 1517 (www.wikipedia/wiki/Modern_history).
2
Truth” (ana’l Haqq), the Divine “I” which according to tradition doctrine alone has the the right to say “I”. Alam pikiran Modern, ..., menjadi sangat antroformis dengan menjadikan manusia sebagai kriteria kebenaran. Ketika Descates9 mengatakan “Aku berpikir, maka Aku ada”, dia meletakan kesadaran individualnya terbatas pada diri sebagai kriteria kepastian; “Aku” dalam penegasan Descartes bukan “Aku” ilahiah sebagaimana yang dikumandangkan Hallaj10 “Aku adalah Kebenaran”, “Aku” ilahiah yang dalam pandangan tradisional hanya yang berhak mengatakan “Aku”. Kutipan berikut ini mungkin memperjelas: What happenned in the post-medieval period in the West was that higher levels of reality became eliminated on both subjective and the objectives domains. There was nothing higher in man than his reason and nothing higher in the objective worlds. Apa yang terjadi dalam setelah periode kegelapan (yakni sebelum era modern) di Barat adalah bahwa realitas yang lebih tinggi dihilangkan dalam kesadaran subjektif maupun objektif. Tidak ada di dalam manusia yang lebih tinggi dari pada pikirannya dan tidak ada dunia objektif yang lebih tinggi. Dari dua kutipan di atas jelas mode pemikiran modern memposisikan pikiran manusia (human reason) sebagai satu-satunya acuan kebenaran subyektif maupun obyektif. Ini sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan tradisional yang menganggap locus dan wadah pengetahun bukan semata-mata pikiran manusia tetapi Intelek Ilahiah (the Divine Intelect). Seperti ditegaskan Nasr, pengetahuan yang benar bukan didasarkan pada pikiran manusia tetapi pada Intelek milik realitas tingkat supra-manusia yang juga berfungsi memberikan pencerahan kepada pikiran manusia. Homo Islamicus Mode pemikiran homo Islamicus untuk mudahnya dapat dianggap sebagai lawan atau anti-tesis dari mode pemikiran modern. Mode pemikiran ini 9
Pada tataran filosofis Descartes dapat dianggap sebagai “Nabi” manusia modern.
10
Hallaj adalah tokoh sufi yang dihukum pancung karena perkataannya itu yang oleh para ulama ketika itu dianggap terlalu subtil untuk dapat dipahami oleh orang awam sehingga “berbahaya” bagi umat.
3
menempatkan wahyu (revelation) dan intuisi intelektual (dhawq, kashf atau shuhud) sebagai locus dan wadah pengetahuan. Seorang muslim melihat wahyu sebagai sumber utama pengetahuan dan menyadari kemungkinannya memurnikan diri sehingga mencapai “pandangan hati” (eye of the heart, ‘ayn alqalb) yang terletak di pusat keberadaannya, yang memungkinkannya memperoleh visi langsung mengenai realitas “surgawi” (supernal reality). Seperti diungkapkan Nasr, akhirnya, “ia menerima kekuatan pikiran untuk mengetahui tetapi pikiran ini senantiasa terkait dan memperoleh bantuan kekuatan wahyu di satu sisi dan intuisi intektual di lain sisi”. Ekshibit: Kontras antara Manusia Modern dan Homo Islamicus Isu
Manusia Modern
Evolusi
Manusia berevolusi dari ciptaan yang lebih rendah
Homo Islamicus
Sekalipun mengandung unsur nabati dan hewani manusia tidak berasal dari ciptaan lebih rendah. Manusia adalah “mahkota” ciptaan (ashraf al-makhluqat): Tuhan YME “meniupkan” ruh-Nya Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan manusia tidak terbatas pada manusia hanya sesuatu yang terkait dengan kebumian bersifat kebumian (terrestrial) tetapi kebutuhan lain yang lebih subtil (kebutuhan jiwa dan spiritual), (earthly needs). pikiran yang bersumberkan wahyu dan intuisi intelektual. Peran di Penguasa bumi Memerintah bumi bukan atas nama dirinya bumi tetapi sebagai khalifah-Nya yang dituntut pertanggungjawaban. Sumber Pikiran dalam Pikiran tetapi dalam pengertian luas (sesuai pengetahuan pengertian sempit dengan kata fikr dalam Bahasa Arab) yang (reason) terakit dengan meditasi dan kontemplasi, tidak semata-mata pikiran murni. Terminal Bumi sebagai Hidup di bumi sekadar singgah dalam akhir terminal akhir perjalanan ke terminal akhir yang sangat perjalanan jauh. Sumber: Sayyid Nasr dalam “Reflection on Islam and Modern Life”, online library articles, www.worldwisdom.com Dari uraian di atas tampak jelas perbedaan tajam antara mode pemikiran modern dan mode pemikiran homo Islamicus. Bagi yang pertama, manusia dianggap sebagai bebas dari “surga”, menguasai sepenuhnya takdirnya, terikat tetapi juga penguasa bumi. Bagi yang kedua, manusia tidak sepenuhnya bebas dari “surga”, tidak sepenuhnya menguasai takdirnya, dan bukan sepenuhnya 4
penguasa bumi. Demikian tajam perbedaan itu sehingga sangat sulit (kalau tidak mustahil) mengharmonikan keduanya. Daftar Ekshibit menjelaskan kontras keduanya terkait beberapa isu. Sinopsis: Ditinjau dari cara pandang dunia (worldview) dan mode pemikiran, homo Islamicus dan manusia modern berbeda secara mendasar. Upaya mengharmonikannya sangat sulit kalau tidak mustahil. Walláhu’alam ...@
5