HIGIENITAS MAKANAN DALAM EKOWISATA KULINER di KABUPATEN KUNINGAN
RAHMI SWARA PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesisi berjudul Higienitas Makanan dalam Ekowisata Kuliner di Kabupaten Kuningan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir ditesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Febuari 2017 Rahmi Swara Putri NIM E352124031
RINGKASAN RAHMI SWARA PUTRI. Higienitas Makanan dalam Ekowisata Kuliner di Kabupaten Kuningan. Dibimbing oleh RICKY AVENZORA dan TUTUT SUNARMINTO. Kabupaten Kuningan merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang sedang berkembang di Jawa Barat. Wisatawan harus mendapatkan jaminan higienitas makanan yang dikonsumsi maupun oleh-oleh yang dibelinya. Penelitian dilakukan di Kuningan pada Mei-Juli 2015, bertujuan untuk mempelajari pengetahuan wisatawan tentang higiene, sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan, persepsi wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan, higienitas di produsen oleh-oleh khas yang belum memiliki nomor P-IRT (non P-IRT). Responden wisatawan dipilih secara acak sebanyak 100 orang yang diminta untuk mengisi kuisioner, sedangkan responden para penyedia kuliner (produsen non PIRT dan rumah makan) dipilih berdasarkan dokumentasi dari Dinas Pariwisata dan Dinas Perdagangan. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Fokus penelitian adalah : a) pengetahuan wisatawan terhadap higiene, b) sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan, c) persepsi wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan, d) higienitas rumah makan, e) higienitas produsen kuliner khas Kuningan yang belum memiliki nomor P-IRT (non P-IRT), f) higienitas rumah makan, g) pengembangan wisata kuliner Kuningan dan h) usulan program. Data responden yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data responden dianalisis secara Likert dan dideskripsikan secara kualitatif, beberapa dianalisis statistik (Chi-square dan Kruskall wallis) dan selanjutnya dilakukan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wisatawan telah memiliki pengetahuan yang baik tentang higiene serta menerapkannya dalam pemilihan tempat makan. Kuliner khas Kuningan umumnya dinilai unik, langka, citra rasanya enak, memiliki fungsi sosial, akses untuk mendapatkannya mudah dan bukan merupakan kuliner musiman. Keterampilan membuat kuliner diperoleh produsen secara temurun dan terkonsentrasi di kampung/desa tertentu namun masih dalam kondisi yang kurang dalam hal higiene. Kendala produsen kuliner non P-IRT dalam implementasi aspek higiene adalah kurangnya modal sehingga sarana dan kegiatan yang dilakukan masih banyak yang negatif bagi higiene. Beberapa faktor negatif bagi higiene adalah lingkungan, bangunan, fasilitas kebersihan, peralatan kebersihan, pengendalian hama, ruang produksi, cara membungkus, dan personal higiene. Higienitas rumah makan yang terdapat di Kuningan sudah memiliki beberapa faktor positif terhadap higiene. Hasil analisis SWOT menunjukkan diperlukannya upaya pemberdayaan oleh pemerintah dan peningkatan nilai investasi dalam pengembangan ekowisata kuliner di Kuningan. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi secara langsung terhadap pengembangan ekowisata kuliner yang higiene serta membangun kampung wisata kuliner sebagai ikon wisata kuliner di kabupaten Kuningan. Kata Kunci: Kuningan, higiene, persepsi, produsen non-PIRT, pengembangan.
SUMMARY RAHMI SWARA PUTRI. Food Hygiene on Culinary Tourism in Kuningan West Java. Supervised by RICKY AVENZORA and TUTUT SUNARMINTO. Kuningan Region is one of the tourist developing destinations in West Java. The tourist should get a guarantee hygienic on food and typically culinary that they are consumed or purchased. The research were conducted in Kuningan on Mei-Juli 2015, in order to study the tourists hygiene knowledge, its behavior on choosing the restaurant, its perceptions on Kuningan typical culinary, and hygiene of restaurant and non P-IRT (not yet having number registered as a product of household industry) culinary producer. The data of hygienic knowledge and culinary perception were collected from 100 tourists randomly selected. The respondents of restaurants and non P-IRT typical culinary producers were selected based on documentation from Kuningan Bureau of Industry and Trade (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kuningan). The focus of this research are : a) tourists hygiene knowledge, b) its behavior on choosing the restaurant, c) its perceptions on typical culinary, d) hygiene of restaurant and non P-IRT culinary producer, e) the effort to develop Kuningan culinary tourism and (f) proposed programme. The data collected from tourist were analyzed by the Chi-square and Kruskal Wallis test; meanwhile data from restaurants and non P-IRT producer were analyzed using Likert method and descriptive qualitative. SWOT analysis were performed from all data. The results indicated that the tourists have had a good knowledge of hygiene and applied its on choosing restaurant. Typically Kuningan culinary generally considered as unique, rare, delicious, possessed a social function, easy to access, and its not a seasonally culinary. The skill to produced culinary is obtain hereditary and concentrated in certain kampong/villages but its still unfavorable in term of hygiene. The constrains facing by non P-IRT culinary producers for the implementation of hygiene aspects are lack of the capital so that many of their facilities and activities were still negative for higiene. Some of that negative factors for hygiene were environmental, building, cleaning facilities and utensils, pest control, production room, product packaging and personal higiene. Restaurants hygiene were already have several positive factors on hygiene. The results of SWOT analysis showed that empowerment by the government and increased on investment value were very important to enhanced culinary tourism in Kuningan. This research is expected can be directly contribute on the development of hygienic culinary ecotourim in Kuningan and is proposed to developed "Culinary Tourism Kampong" as a culinary icon in Kuningan.
Keyword: Kuningan, hygiene, perception, restaurant, non-PIRT culinary producer.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HIGIENITAS MAKANAN dalam EKOWISATA KULINER di KABUPATEN KUNINGAN
RAHMI SWARA PUTRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Managemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Harnios Arief, MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei-Juli 2015 ini adalah Higienitas Makanan dalam Ekowisata Kuliner di Kabupaten Kuningan. Terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, keluarga besar Tasik dan Kuningan atas segala dukungannya. Kepada Bapak Dr.Ir. Ricky Avenzora, M.ScF dan Bapak Dr.Ir. Tutut Sunarminto, M.Si selaku pembimbing terima kasih atas segala kesabaran dan bimbingannya. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Rachmad Hermawan, M.ScF dan Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc sebagai tim penguji. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada dinas-dinas terkait yang ada di Kabupaten Kuningan, para wisatawan, produsen kuliner non PIRT dan rumah makan yang telah membantu selama pengumpulan data. Kepada rekan-rekan di Ekowisata, terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat untuk kemajuan ekowisata kuliner di Kuningan pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Bogor, Febuari 2017 Rahmi Swara Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Wisata Kuliner Potensi dan nilai ekonomi wisata kuliner Aspek-Aspek Penting dalam pengembangan kuliner Higienitas Makanan Pengembangan Wisata Kuliner Wisata Kuliner di Kabupaten Kuningan
6 14 7 8 11 13 21
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Pendekatan Penelitian Tehnik Pengumpulan Data Analisis Data
13 64 145 145 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Wisatawan Higienitas Makanan di Produsen Kuliner non P-IRT Higienitas Makanan di Rumah Makan Strategi Pengembangan Ekowisata Kuliner yang higiene Usulan Program
18 70 73 93 120 130
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
72 72
DAFTAR PUSTAKA
72
LAMPIRAN
13
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Posisi yang Dikaitkan Dengan Bundle of Rights Tata Letak Jenis Pura Desa Pekraman di Bali Jumlah Responden Penelitian Data yang Dikumpulkan Diagram matriks SWOT dan kemungkinan strategi yang sesuai Luas Lahan Menurut Penggunaan Lahan di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Luas Lahan Menurut Penggunaan Lahan di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Profil Responden di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Rata-rata Luas Kepemilikan Lahan Responden di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Status Kepemilikan Lahan Responden di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Penilaian Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan dari Aspek Kepemilikan Rata-rata Biaya Produksi Usaha Tani Pada Lahan Pertanian, Perkebunan dan kehutanan di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Rata-rata Pendapatan Usahatani Pada Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Penilaian Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan dari Aspek Ekonomi Pengelompokkan Produk Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Lahan Hutan Rakyat Penilaian Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan dari Aspek Ekologi Penilaian Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan dari Aspek Sosial Budaya Karakteristik Lahan dan Rumah Hunian Masyarakat Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman dari Aspek tata Ruang Wilayah Penilaian Perizinan Peruntukkan Lahan Pemukiman Karakteristik Bentuk bangunan Pemukiman Responden di Desa pedawa dan Desa Cempaga Karakteristik Struktur dan Bahan Bangunan Pemukiman Responden di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman dari Aspek Ekonomi Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman Dari Aspek Ekologi Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman Dari Aspek Sosial Budaya Klasifikasi Seka Dalam Aspek Kehidupan di Lahan Pemukiman Penilaian Faktor Internal dan Eksternal Pemanfaatan Lahan Kultural
35 53 65 66 68 69 72 73 74 74 75 77 77 78 85 86 88 94 95 96 99 100 102 109 113 116 131
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Kerangka Pikir Penelitian Motivasi Hirarki Kebutuhan Maslow Garis Sempadan Jalan dan Bangunan Amplop Bangunan (Building Envelope) Skema Hubungan Antara Tujuan Aktivitas Manusia Dengan Dampak Lingkungan Ciri-Ciri Fisik Desa Bali Pegunungan (Aga) Peta Lokasi Penelitian Posisi Organisasi pada Berbagai Kondisi Peta Wilayah Desa Pedawa Peta Wilayah Desa Cempaga Jenis Pemanfaatan Lahan Kultural di Desa Pedawa dan Desa Cempaga Persepsi Responden terhadap Manfaat Lahan dari Sisi Pemenuhan Kebutuhan Hidup Responden Kegiatan Usaha Tani Pada Lahan Perkebunan dan Lahan Pertanian Kegiatan Usaha Sampingan Masyarakat Persentase Pendapatan Usaha Pokok yang Disisihkan Untuk Modal Usaha Sampingan Jenis Pupuk dan Pestisida yang Digunakan Petani Pada lHan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Jenis Tanaman yang Di Usahakan Petani Pada lhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Teknik Pengolahan Lahan Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Penilaian Manfaat Kognitif Lahan Pertanian, Perkebunan, dan kehutanan Penilaian Manfaat Afektif Lahan Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Penilaian Manfaat Motorik Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Penilaian Manfaat Religi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Penilaian Manfaat Kesenian Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Penilaian Manfaat Perlindungan Benda atau Bangunan Bersejarah Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Penilaian Manfaat Penginderaan dari Diskriminasi dan Kecemburuan Sosial Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman yang Berkelanjutan dari Aspek Tata Ruang Wilayah Tata Ruang Bangunan Lahan Tempat Tinggal Penerapan Konsep Tri Mandala Pada Lahan Pemukiman Masyarakat Penerapan Konsep Tri Angga Pada Bangunan Tempat Tinggal Masyarakat Penilaian Kemampuan Lahan Pemukiman Dalam Menampung Penghuni Penilaian Kondisi Aksesibilitas Pemukiman Penilaian Jarak Lokasi Pemukiman Dengan Pusat Perekonomian
6 10 41 43 45 63 64 69 70 71 72 79 79 80 81 82 84 87 89 89 90 91 91 92 92 95 97 98 101 102 103 104
33 Penilaian Kedekatan Lahan Pemukiman Dengan Kawasan Rawan Bencana Alam 34 Kondisi infrastruktur dan Fasilitas Umum Pada Lahan Pemukiman 35 Penilaian Kondisi Infrastruktur Pada Lahan pemukiman 36 Penilaian Kondisi Fasilitas Umum Pada Lahan pemukiman 37 Penilaian Kondisi Drainase dan Sanitas Pada Lahan Pemukiman 38 Penilaian Kedekatan Lahan Pemukiman Dengan Destinasi Pariwisata 39 Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman Terhadap Kualitas dan Nilai Manfaat Natural Lansekap 40 Baliho dan Spanduk Bertemakan Konservasi Flora dan Fauna Liar 41 Penilaian Pemanfaatan Lahan pemukiman Terhadap Kualitas dan Nilai Manfaat Kultural Lansekap 42 Spanduk Bertemakan Kebersihan Lingkungan Pemukiman 43 Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman Terhadap Ekologi Manusia 44 Kondisi Sistem Perlengkapan Hidup Tradisional Masyarakat 45 Penilaian Pemanfaatan Pemukiman Terhadap Sistem Perlengkapan Hidup 46 Kondisi Organisasi Sosial Masyarakat 47 Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman Terhadap Sistem Organisasi Sosial 48 Kondisi Kesenian Masyarakat Pada Lahan Pemukiman 49 Penilaian Pemanfaatan Lahan Pemukiman Terhadap Sistem Pengetahuan 50 Kondisi Religi Masyarakat Pada Lahan Pemukiman 51 Polarisasi Persepsi Stakeholder Terkait Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Pemukiman 52 Polarisasi Persepsi Stakeholder Terkait Ekowisata dan Dampak Ekowisata 53 Polarisasi Motivasi Stakeholder Terkait Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Pemukiman, dan Ekowisata 54 Polarisasi Preferensi Stakeholder Terkait Pembangunan Usaha Tani dan Pemukiman 55 Posisi Lahan Kultural Bali Aga dalam Analisis SWOT 56 Sisa Penanaman Pohon Aren di Wilayah Bali Aga 57 Pembuatan Rumah Adat oleh Masyarakat di Wilayah Bali Aga
104 105 106 106 107 108 109 110 111 111 112 113 114 115 116 118 119 120 124 126 128 130 132 133 137
DAFTAR LAMPIRAN 1 Persepsi Stakeholder terhadap Pemanfaatan Lahan Kultural 2 Motivasi Stakeholder terhadap Pemanfaatan Lahan Kultural 3 Preferensi Stakeholder terkait Pemanfaatan Lahan Kultural
153 154 155
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini muncul suatu tren baru dalam dunia kepariwisataan, yakni wisata kuliner (culinary tourism) yang pertama kali dipopulerkan oleh Lucy Long pada tahun 1998 untuk mengungkapkan gagasan dalam merasakan kebudayaan masyarakat lain melalui makanan (Wolf, 2006). Wisata kuliner merupakan bagian dari wisata budaya karena masakan (cuisine) merupakan ekspresi dari budaya suatu masyarakat. Hidangan menjadi tujuan dan sarana dalam wisata kuliner karena tujuan utama dari wisatawan adalah untuk berkuliner atau mencicipi makanan khas serta terkenal dari daerah tujuan wisata tersebut. Para wisatawan tidak mempunyai panduan khusus dan biasanya hanya mendapat referensi dari teman atau kenalan yang biasanya bertempat tinggal di tempat tujuan wisata tersebut atau dari wisatawan lain yang pernah mengunjungi daerah tersebut (Hall. 2003). Pemilihan destinasi dipengaruhi oleh ketertarikan mereka pada makanan setempat yang ada. Karena itu, jenis makanan dan minuman yang khas di suatu daerah penting untuk dipertahankan dan dikembangkan karena para wisatawan akan menyukai aneka barang dan makanan yang khas, unik, dan bermutu sehingga memberikan kesan bagi mereka. Indonesia punya potensi besar dalam mengembangkan gastronomi berkat keunikan dan keanekaragaman yang bersumber dari etnik dan budaya suku yang ada di bumi nusantara ini. Indonesia sedang menuju destinasi wisata kuliner terfavorit di dunia yang berdaya saing melalui serangkaian upaya yang terus dilakukan (Menpar. 2015). Upaya menu itu, termasuk promosi ke luar negeri dan di dalam negeri serta meningkatkan rasa cinta dan minat masyarakat terhadap kuliner tradisional nusantara.Lima destinasi wisata kuliner unggulan 2015 diluncurkan di Jakarta sebagai salah satu upaya mengembangkan potensi gastronomi Indonesia. Selain itu juga untuk mengidentifikasi langkah pelestarian makanan tradisional serta pengembangan usaha makanan Indonesia menghadapi era globalisasi (Kemenpar. 2015). Demi hal itu, Kementerian Pariwisata tahun ini menetapkan lima destinasi wisata kuliner unggulan yakni Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang dan Bali. Penetapan itu didasarkan pada enam faktor kelayakan. Enam kelayakan itu yakni produk dan daya tarik utama, pengemasan produk dan even, kelayakan pelayanan, kelayakan lingkungan, kelayakan bisnis, serta peranan pemerintah dalam pengembangan destinasi wisata kuliner. Arif Yayah menetapkan Bandung bersama empat kota/daerah lainnya yakni Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Bali, ditetapkan sebagai destinasi wisata kuliner Indonesia oleh Kementerian Pariwisata. Kedepan, kota-kota itu diharapkan bisa masuk dalam situs warisan dunia UNESCO sehingga makin memberi dampak positif bagi negara. Menpar (2015) menyatakan bahwa sektor kuliner memberikan kontribusi kepada pendapatan negara sebesar Rp 208,6 triliun dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 4,5 persen pada tahun 2013 lalu. Sementara penyerapan tenaga kerja di sektor kuliner ini mencapai 3,7 juta orang dengan rata rata pertumbuhan mencapai 26 persen.
2
Bahkan unit usaha yang tercipta di sektor ini mencapai 3 juta dengan ratarata pertumbuhan 0,9 persen. "Ini menunjukkan bahawa kuliner Indonesia dapat menjadi salah satu penggerak ekonomi masyarakat. Arif Yayah menegaskan pada tahun 2015 ini diperkirakan jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai 10 juta wisman dengan perolehan devisa sekitar 10 miliar dolar AS. Dari perolehan devisa ini sekitar 30 persen berasal dari kuliner atau sekitar 30 miliar dolar AS. Sedangkan pada tahun 2019 mendatang target wisman mencapai 20 juta orang dengan perolehan devisa mencapai 20 miliar dolar. Dari perolah devisa ini sekitar 6 miliar dolar berasal dari kuliner. Wisata kuliner diharapkan mampu menjadi unsur utama yang berfungsi sebagai perekat terhadap rangkaian berwisata, mengingat kepariwisataan merupakan sektor yang multiatribut dan prospektif sebagai pintu gerbang citra pariwisata Indonesia (Menpar. 2015). Enam kelayakan itu yakni; produk dan daya tarik utama; pengemasan produk dan even; kelayakan pelayanan; kelayakan lingkungan; kelayakan bisnis; serta peranan pemerintah dalam pengembangan destinasi wisata kuliner (Kemenpar. 2015). Para wisatawan akan memilih kuliner yang baik dari segi higienitas karena mereka akan memperhatikan kesehatan saat berwisata kuliner. Hal ini tentunya akan menyebabkan permintaan terhadap kuliner yang higienis lebih tinggi dibandingkan yang terlihat kurang higienis. Kuliner khas daerah harus dilestarikan keberadaannya melalui penyediaan kuliner yang higienis untuk para pecintanya. Kabupaten Kuningan yang merupakan salah satu kota kecil di Jawa Barat memiliki beberapa jenis kuliner khas. Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda pada tahun 2012 menyatakan bahwa kuliner khas Kuningan layak untuk dikembangkan sebagai wisata kuliner dan Kuningan juga siap untuk mengembangkan wisata kuliner. Ekowisata kuliner di Kuningan telah mulai berkembang hingga menjadi perhatian wisatawan yang berkunjung. Jenis kuliner yang potensial tersebut diantaranya tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar. Diharapkan jenis kuliner tersebut mampu menarik wisatawan kuliner bahkan mampu merambah dunia internasional. Perumusan Masalah Hiegine merupakan faktor terpenting dari keamanan pangan yakni kondisi pangan yang aman untuk dikonsumsi. Keamanan pangan dibagi dua yakni aman secara rohani dan aman secara jasmani. Aman secara rohani berhubungan dengan kehalalan, sedangkan aman secara jasmani meliputi higiene yakni pangan tersebut bebas dari bahaya cemaran baik cemaran fisik maupun cemaran kimia (Mahmudatussa'adah, 2008). Menurut Departemen Kesehatan, higiene sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan. Penanganan makanan secara higiene bertujuan untuk mengendalikan keberadaan patogen dalam makanan (Depkes RI, 2004) sehingga aman untuk dikonsumsi. Masalah yang dihadapi higiene kuliner lokal diantaranya rendahnya pengetahuan produsen kuliner tentang higiene, perilaku yang kurang baik dari produsen dalam menangani produk kulinernya, terbatasnya modal produsen untuk
3
membangun sarana produksi dan tempat penjualan kuliner yang higine, perlunya dukungan dari Pemda setempat untuk meningkatkan pengetahuan tentang higiene. Pangan tradisional pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya atau cemaran tersebut seringkali terdapat dan ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higiene yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Wibowo, 2013). Penerapan higiene pada pengolahan makanan sering terabaikan akibat kelalaian, padahal akibat dari kelalaian ini berdampak buruk terhadap manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut. Peningkatan kejadian penyakit akibat pangan (foodborne disease) dan kejadian-kejadian pencemaran pangan terjadi tidak hanya di berbagai negara berkembang dimana kondisi higiene umumnya buruk, tetapi juga di negara-negara maju. Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami keracunan pangan setiap tahunnya. Data penyakit akibat makanan menunjukan 80% kasus yang terjadi disebabkan oleh buruknya higiene pada waktu pengolahan makanan (BPOM, 2004). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa rasio antara kejadian keracunan yang dilaporkan dengan kejadian yang terjadi di masyarakat adalah 1:10 untuk di negara maju dan 1:25 untuk negara berkembang (WHO, 1998). Hasil penelitian menyebutkan, dari 1000 kejadian keracunan makanan, sebagian besar kasus terjadi pada makanan yang dimasak di rumah tangga yaitu sebesar 19,7%, di restoran sebesar 17,1% serta yang terjadi pada saat acara pesta makan yaitu sebesar 12,2%. Sepanjang tahun 2004 di Indonesia terjadi 152 kali kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan dengan jumlah penderita mencapai 7.295 orang, dan yang meninggal sebanyak 45 (BPOM, 2005). Selanjutnya dari hasil monitoring kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan tahun 2005, dilaporkan ada 184 KLB keracunan makanan dengan jumlah korban yang sakit sebanyak 8.949 orang, dan yang meninggal dunia sebanyak 49 orang (Dinkes Tanggerang Selatan, 2013). Studi pustaka menunjukkan adanya laporan tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) atau outbreak terkait makanan yang melibatkan wisatawan domestik maupun mancanegara di Bali. Kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan terjadi pada 20 wisatawan China pada 22 Mei 2013 setelah mengonsumsi makanan di berbagai tempat makan di wilayah Kuta (Dinkes Kab. Badung, 2013). Kejadian serupa juga terjadi pada 24 Juli 2014 yang menimpa 18 wisatawan China di Kedonganan, Kuta (Dinkes Kab. Badung, 2014). Selain itu, Depkes (2000) menunjukkan data bahwa sekitar 70 % kasus keracunan makanan di dunia disebabkan oleh makanan siap santap yaitu makanan yang sudah diolah, terutama oleh usaha katering, rumah makan, kantin,restoran maupun makanan jajanan. Penelitian mengenai higiene secara makro kuliner khas Kuningan dari sudut pandang manajemen wisata kuliner masih sangat jarang, sehingga untuk meningkatkan potensi wisata kuliner Kuningan penelitian higiene sangat diperlukan. Dalam penelitian ini akan dilakukan pengkajian tentang pengelolaan ekowisata kuliner di Kabupaten Kuningan terutama dari segi higienitas serta strategi pengembangan ekowisata kuliner tersebut. Dari hasil penelitian diharapkan akan diperoleh model pembangunan ekowisata kuliner yang higiene dan pembangunan kampung wisata kuliner
4
menuju kota wisata kuliner di Kabupaten Kuningan agar wisatawan tertarik dengan kuliner Kuningan, mempertahankan keberadaan kuliner tersebut dan meningkatkan potensinya dalam menarik para wisatawan. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk: 1) menganalisa pengetahuan wisatawan mengenai higiene, sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan dan persepsi wisatawan mengenai kuliner khas Kuningan, 2) menganalisisa aspek higienitas di industri rumah tangga pembuat oleh-oleh non P-IRT di Kabupaten Kuningan dari sudut pandang pengembangan ekowisata kuliner dan 3) menyusun strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan wisata kuliner di Kuningan. Sasaran penelitian ini adalah para penyedia kuliner di Kuningan dapat memperhatikan aspek higiene dengan baik sehingga kuliner tradisional Kuningan akan lestari dan lebih dikenal wisatawan yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan animo wisatawan untuk berkunjung ke Kuningan. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini diharapkan berkontribusi secara langsung dalam pengembangan wisata kuliner yang higiene dan pembangunan kampung wisata kuliner yang akan menjadi kota wisata kuliner di Kabupaten Kuningan. Ruang Lingkup Penelitian Kuningan merupakan salah satu jalur wisata unggulan Jawa Barat diantaranya karena adanya Gedung Linggarjati dan wisata air panas Sangkanhurip (Veni, 2013). Pemda setempat mengharapkan adanya peningkatan kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kuningan setiap tahunnya di setiap objek wisata yang ada (Disparbud Kab Kuningan, 2013). Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan ke Kuningan cenderung meningkat setiap tahunnya. Jumlah kunjungan wisatawan ke rumah makan/restoran di Kabupaten Kuningan pada tahun 2010 sebanyak 513.261 orang, tahun 2011 naik menjadi 581.042 orang, dan tahun 2012 meningkat menjadi 600.703 orang. Sebagian besar objek wisata di Kabupaten Kuningan telah terhubungkan oleh jaringan jalan yang cukup memadai baik melalui jalur Majalengka maupun Cirebon. Dibukanya askes jalan tol Cipali dan bandara internasional Kertajati adalah peluang emas bagi Kabupaten Kuningan di Majalengka diyakini lebih mempermudah akses menuju Kuningan sehingga diharapkan Kuningan akan lebih banyak dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Wisata kuliner di Kabupaten Kuningan cukup potensial untuk dikembangkan. Dalam pengembangan wisata kuliner diperlukan penyediaan makanan dan oleh-oleh khas yang aman untuk dikonsumsi sehingga para wisatawan merasa nyaman untuk mengkonsumsi makanan. Para wisatawan memerlukan kuliner baik untuk dimakan maupun untuk dibawa sebagai oleh-oleh khas dari daerah yang dikunjunginya.
5
Penyediaan oleh-oleh khas harus berorentasi pada keamanan produk yang salah satu faktor penentunya adalah higiene dari produk tersebut. Industri-industri kecil produsen kuliner khas yang merupakan ujung tombak penyedia makanan dan oleh-oleh khas harus memiliki pengetahuan mengenai higiene dari kuliner yang diproduksinya karena akan mempengaruhi kelangsungan hidup kuliner khas tersebut maupun industri yang menghasilkannya. Berpotensi menghasilkan pendapatan daerah yang cukup bagus bagi pengusaha daerah Sementara itu, Kuningan memiliki berbagai jenis oleh-oleh khas yang sudah terkenal dan turun temurun keberadaannya. Oleh-oleh khas tersebut diantaranya tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar. Berkaitan dengan pentingnya higiene makanan pada restoran atau rumah makan, maka Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1098 tahun 2003 mengeluarkan peraturan tentang persyaratan higiene rumah makan dan restoran. Unsur higienitas pemimpin, lokasi dan bangunan rumah makan, fasilitas dan kegiatan kebersihan, pengendalian hama, penyediaan dan sarana air bersih, proses pengolahan makanan, pembagian ruangan, cara dan alat penyimpanan bahan makanan, pengadaan bahan mentah, penyajian makanan dan personal higiene yang dinilai meliputi yang harus menjadi panduan para pelaku penyedia kuliner pada umumnya. Sedangkan berkaitan dengan pentingnya higiene makanan pada industri rumah tangga, maka Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan mengeluarkan peraturan Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 Tentang Cara Produksi Pangan yang baik untuk Industri Rumah Tangga. Peraturan tersebut meliputi: pemimpin, lokasi dan lingkungan produksi, bangunan dan fasilitas IRT, peralatan produksi, suplai dan sarana penyediaan air, fasilitas dan kegiatan kebersihan, pengendalian dan pemberantasan hama, pemilihan bahan baku, ruang produksi, ruang penjemuran, cara memasak, cara membungkus makanan, cara dan ruang penyimpanan produk, gudang bahan makanan dan personal higiene. Penelitian yang mengungkap pengetahuan higiene, sikap pemilihan tempat makan, higiene rumah makan dan oleh-oleh khas Kuningan belum banyak dilakukan. Penelitian higiene makanan dalam rangka wisata kuliner di Kuningan penting untuk dilakukan untuk mempertahankan keberadaan dan meningkatkan potensi kuliner khas Kuningan dalam menarik para wisatawan kuliner untuk berkunjung ke Kuningan. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Fokus penelitian adalah : a) pengetahuan wisatawan terhadap higiene, b) sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan, c) persepsi wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan, d) higienitas rumah makan, e) higienitas produsen kuliner khas Kuningan yang belum memiliki nomor P-IRT (non P-IRT) dan f) pengembangan wisata kuliner Kuningan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data terkait akan dianalisis menggunakan metode LIKERT, Chi-Square ataupun Kruskall Wallis dan selanjutnya dilakukan analisis SWOT.
6
Responden wisatawan
Pengetahuan tentang higiene makanan
Sikap dalam pemilihan tempat makan
Persepsi terhadap kuliner Kuningan
Higiene Rumah makan
Produsen kuliner non P-IRT Pengumpulan data Analisis data SWOT
Strategi Pengembangan ekowisata kuliner Kesimpulan Gambar 1. Alur Pikir Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekowisata Kuliner Dewasa ini pariwisata memiliki banyak cabang sesuai motif wisatawan dalam melakukan suatu kegiatan wisata, salah satunya adalah ekowisata. Ekowisata adalah konsep perjalanan wisata yang bertanggung jawab dan menyenangkan dan bersifat edukatif tanpa paksaan ke suatu objek wisata (alam) yang menjunjung 3 pilar keberlanjutan yakni 1) pilar ekologi, 2) pilar sosial budaya, 3) pilar ekonomi (Avenzora, 2008). Terdapat 5 karakteristik suatu perjalanan ekowisata yaitu 1) harus dilaksanakan dalam waktu luang, 2) bersifat petualangan (voluntary), 3) menyenangkan, 4) tidak terkait dengan aturan tertentu dan 5) tidak untuk mencari nafkah (Clawson and Knetsch. 1969). Salah satu cabang ekowisata adalah wisata kuliner. Kuliner adalah makanan dan aspek yang terkait dengan makanan mulai dari proses pengadaan, persiapan, dan pengolahan bahan pangan menjadi makanan dan penyajiannya untuk siap dikonsumsi. Kuliner yang ada di suatu tempat dapat menarik minat turis dosmetik
7
dan mancanegara untuk mengkonsumsinya, sehingga terbuka lapangan kerja dan mata pencarian di bidang kuliner, yang pada akhirnya membuat ketahanan ekonomi dan ketahanan pangan masyarakat meningkat (Marliyati. 2013 dalam Avenzora. 2013). Menurut Wolf (2006) dari International Culinary Tourism Association, istilah wisata kuliner (culinary tourism) pertama kali dipopulerkan oleh Lucy Long pada tahun 1998 untuk mengungkapkan gagasan dalam mengalami (experiencing) kebudayaan masyarakat lain melalui makanan. Wisata kuliner merupakan bagian dari wisata budaya karena masakan (cuisine) merupakan ekpresi dari budaya suatu masyarakat. Konsep eco-culinary tourism dapat menjadi salah satu diversifikasi produk ekowisata yang penting dan prospektif. Jamie Kennedy, seorang ahli masak kenamaan sebagaimana dikutip oleh Binnational Tourism Alliance (2007; dalam Avenzora. 2008) menyatakan “people these days want fresh local produce, the provenance of food is becoming an ever more important aspect of the food we eat”. Dalam hal ini, makanan merupakan salah satu aspek penciri identitas masyarakat lokal karena setiap masyarakat mempunyai makanan-makanan khas, yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Makanan juga penting untuk mengenal lingkungan alam dari masyarakat, sebagaimana terkandung dalam konsep ekologi manusia. Wisata kuliner dapat juga disebut wisata makanan (food tourism) yang secara umum dapat didefinisikan sebagai kunjungan ke produsen makanan, festival makanan, restoran dan lokasi spesifik untuk mencicipi makanan atau menikmati/mempelajari produksinya. Dengan demikian makanan, produksi makanan dan atribut khusus makanan daerah menjadi dasar dan faktor pendorong utama dalam perjalanan wisata (Hall dan Mitchell. 2003). Kebutuhan akan makanan menjadi faktor utama dalam mempengaruhi perilaku perjalanan dan pengambilan keputusan itu sebagai bentuk perjalanan minat khusus. Wisata makanan dapat berupa wisatawan biasa atau wisata kuliner, gourmet gastronomi, sebagai bentuk rekreasi dari food tourism yang lebih serius (Hall dan Mitchell. 2003). Kegiatan yang dilakukan saat ekowisata kuliner ialah berkuliner atau mencicipi makanan khas serta yang terkenal dari daerah tujuan wisata tersebut dimana makanan dan masakan menjadi daya tarik utamanya (KirshenblattGimblet. 2003 dalam Marliyati. 2013). Hidangan menjadi tujuan dan sarana dalam wisata kuliner. karena tujuan utama dari wisatawan adalah untuk berkuliner atau mencicipi makanan khas serta terkenal dari daerah tujuan wisata tersebut. Tidak seperti jenis wisata yang lainnya, dalam berwisata kuliner umumnya para wisatawan tidak mempunyai panduan khusus dan biasanya hanya mendapat referensi dari teman atau kenalan yang biasanya bertempat tinggal di tempat tujuan wisata tersebut atau dari wisatawan lain yang pernah mengunjungi daerah tersebut (Hall. 2003). Wisata kuliner berhubungan dengan makanan merupakan kebutuhan yang berbeda diantara wisatawan. Para wisatawan menghabiskan atau mengkonsumsi makanan yang merupakan bagian dari pengalaman perjalanan wisata mereka. Pemilihan destinasi dipengaruhi oleh ketertarikan mereka pada makanan setempat yang ada. Pin (2006) menjelaskan makanan dan minuman adalah inti dari pengalaman berwisata dan memahami budaya masyarakat di sekitar destinasi
8
yang dikunjungi. Selain itu makanan dan minuman membantu dalam mengindentifikasi identitas nasional dan regional/lokalitas. Makanan dan minuman juga dapat meningkatkan pengeluaran wisatawan di destinasi pariwisata. Potensi dan nilai ekonomi wisata kuliner Menurut Hall dan Sharples (2003) makanan adalah elemen penting dalam pengalaman wisata. Makanan atau masakan merupakan hal yang penting bagi berbagai jenis pariwisata (alam, budaya dan minat khusus) karena semua orang pasti perlu makan (Kirshenblatt-Gimblet. 2003). Makanan termasuk minuman merupakan hal yang penting bagi kegiatan pariwisata, karena: 1) merupakan bagian dari pengalaman dalam berwisata; 2) membantu menjelaskan identitas masyarakat di daerah yang dikunjungi itu; 3) dapat menambah peluang expenditure (pengeluaran) wisatawan di daerah kunjungan dan dapat menambah income bagi masyarakat di daerah itu. Suatu daerah tujuan wisata harus mampu beradaptasi terhadap semua tuntutan perubahan dengan selalu mendengarkan suara dari berbagai pihak yang berkepentingan khususnya wisatawan yang memiliki persepsi dan preferensi yang berbeda dalam memilih obyek-obyek wisata yang akan dikunjunginya (Nursusanti. 2005). Masakan lokal mencerminkan sejarah dan kebudayaan daerah dan dapat dijadikan atraksi untuk banyak turis. Yang penting diperhatikan adalah makanan yang disajikan harus berkualitas untuk turis, adanya promosi tentang keunikan masakan daerah sehingga turis akan menikmati atau paling tidak mencoba masakan lokal (Inskeep. 1991). Studi terhadap pengunjung terhadap tempat kuliner menunjukkan bahwa mereka memiliki motivasi kunjungan yaitu: 1) keunikan kuliner, 2) kelangkaan kuliner, 3) citarasa kuliner, 4) fungsi sosial kuliner, 5) aksebilitas kuliner, 6) seasonality, dan 7) sensitifitas kuliner (Avenzora. 2008). Indonesia punya potensi besar dalam mengembangkan gastronomi berkat keunikan dan keanekaragaman yang bersumber dari etnik dan budaya suku yang ada di bumi nusantara ini. Indonesia sedang menuju destinasi wisata kuliner terfavorit di dunia yang berdaya saing melalui serangkaian upaya yang terus dilakukan (Menpar. 2015). Upaya menu itu, termasuk promosi ke luar negeri dan di dalam negeri serta meningkatkan rasa cinta dan minat masyarakat terhadap kuliner tradisional nusantara.Lima destinasi wisata kuliner unggulan 2015 diluncurkan di Jakarta sebagai salah satu upaya mengembangkan potensi gastronomi Indonesia. Selain itu juga untuk mengidentifikasi langkah pelestarian makanan tradisional serta pengembangan usaha makanan Indonesia menghadapi era globalisasi (Kemenpar. 2015). Demi hal itu, Kementerian Pariwisata tahun ini menetapkan lima destinasi wisata kuliner unggulan yakni Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang dan Bali. Penetapan itu didasarkan pada enam faktor kelayakan. Enam kelayakan itu yakni produk dan daya tarik utama, pengemasan produk dan even, kelayakan pelayanan, kelayakan lingkungan, kelayakan bisnis, serta peranan pemerintah dalam pengembangan destinasi wisata kuliner. Arif Yayah menetapkan Bandung bersama empat kota/daerah lainnya yakni Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Bali, ditetapkan sebagai destinasi wisata kuliner Indonesia oleh Kementerian Pariwisata. Kedepan, kota-kota itu diharapkan bisa
9
masuk dalam situs warisan dunia UNESCO sehingga makin memberi dampak positif bagi negara. Menpar (2015) menyatakan bahwa sektor kuliner memberikan kontribusi kepada pendapatan negara sebesar Rp 208,6 triliun dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 4,5 persen pada tahun 2013 lalu. Sementara penyerapan tenaga kerja di sektor kuliner ini mencapai 3,7 juta orang dengan rata rata pertumbuhan mencapai 26 persen. Bahkan unit usaha yang tercipta di sektor ini mencapai 3 juta dengan ratarata pertumbuhan 0,9 persen. "Ini menunjukkan bahawa kuliner Indonesia dapat menjadi salah satu penggerak ekonomi masyarakat. Arif Yayah menegaskan pada tahun 2015 ini diperkirakan jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai 10 juta wisman dengan perolehan devisa sekitar 10 miliar dolar AS. Dari perolehan devisa ini sekitar 30 persen berasal dari kuliner atau sekitar 30 miliar dolar AS. Sedangkan pada tahun 2019 mendatang target wisman mencapai 20 juta orang dengan perolehan devisa mencapai 20 miliar dolar. Dari perolah devisa ini sekitar 6 miliar dolar berasal dari kuliner. Wisata kuliner diharapkan mampu menjadi unsur utama yang berfungsi sebagai perekat terhadap rangkaian berwisata, mengingat kepariwisataan merupakan sektor yang multiatribut dan prospektif sebagai pintu gerbang citra pariwisata Indonesia (Menpar. 2015). Enam kelayakan itu yakni; produk dan daya tarik utama; pengemasan produk dan even; kelayakan pelayanan; kelayakan lingkungan; kelayakan bisnis; serta peranan pemerintah dalam pengembangan destinasi wisata kuliner (Kemenpar. 2015). Para wisatawan akan memilih kuliner yang baik dari segi higienitas karena mereka akan memperhatikan kesehatan saat berwisata kuliner. Hal ini tentunya akan menyebabkan permintaan terhadap kuliner yang higienis lebih tinggi dibandingkan yang terlihat kurang higienis. Kuliner khas daerah harus dilestarikan keberadaannya melalui penyediaan kuliner yang higienis untuk para pecintanya. Makan minum merupakan produk yang memiliki nilai penting dalam industri pariwisata. Kontribusi produk makanan dan minuman makin signifikan mendukung pariwisata dengan berkembangnya wisata makanan (food tourism) yang menekankan pada kegiatan/petualangan mengkonsumsi berbagai jenis menu makana/minuman khas daerah. Beberapa tayangan wisata dan wisata boga di TV seperti wisata kuliner, Jalan Jajan (Trans TV), Koper dan Ransel (Trans TV), Jejak Petualang (RCTI), oleh-oleh dan food and beverage (SBO) makin mendorong masyarakat untuk melakukan perjalanan wisata dan secara khusus mencoba berbagai menu lokal. Tayangan wisata kuliner yang marak di televisi juga mendorong masyarakat mengenal masakan daerah (Nurhidayati. 2013). Untuk mengangkat kuliner lokal sebagai atraksi wisata diperlukan strategi yang komprehensif yakni: 1) mengidentifikasi jenis-jenis makanan lokal yang memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai ikon dan daya tarik wisatawan; 2) memetakan situasi dan kondisi yang melingkupi perkembangan menu lokal di daerah seperti popularitas jenis makanan di wilayah setempat, penyediaan makanan di restoran/depot/warung, teknologi memasak setempat, dan cara menu ditampilkan/dipresentasikan; 3) tipologi pasar food tourism dan 4) merancang bentuk kegiatan food tourism (meliputi atraksi, event) yang diintegrasikan dengan daya tarik wisata setempat (Nurhidayati. 2013).
10
Di San Fransisco belanja wisata untuk makanan dan minum mencapai 28 % dari seluruh total belanja wisata, dan di New Mexico mencapai 25,5 %. Prosentase tersebut menunjukkan pentingnya peran belanja makanan dan minuman dalam kegiatan wisata. Di Bali belanja wisata untuk makan dan minum mencapai 12%. Di Indonesia secara umum urutan pengeluaran terbesar adalah akomodasi yaitu 21,77% dari total pengeluarannya, diikuti pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 10,96%, belanja 10,36% dan penerbangan domestic sebesar 10,14% (Saptatyningsih, 2003 dalam Nurhidayati. 2013). Jemie Kennedy dalam Bhinnational Tourism Alliance (2007), menyatakan; para wisatawan ingin sekali menikmati makanan segar, hasil masakan masyarakat yang dikunjungi, sumber makanan itu bahkan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi mereka dibandingkan makanan yang mereka makan. Dengan demikian, makanan merupakan salah satu aspek identitas masyarakat penerima wisatawan karena setiap masyarakat memiliki makanan khas. Adapun prinsip wisata kuliner adalah: 1. Membangkitkan kesadaran publik tehadap kuliner suatu tempat/daerah sehingga kuliner tersebut menjadi identitas masyarakat setempat. Masyarakat luar diajak untuk berkunjung ke sana untuk menikmati masakan itu sehingga terjadi pemerataan pendapatan yang merupakan sumber kesejahteraan bagi masyarakat. Kuliner sebagai bagian dari sumber daya budaya akan musnah jika tidak dilakukan pelestarian, dan pelestarian tidak akan terjadi apa bila masakan itu tidak bermanfaat dari sudut ekonomi yang memberikan penghasilan bagi masyarakat. Oleh karena itu kesadaran masyarakat untuk pelestarian kuliner daerah harus dilakukan terutama melalui pengenalan kuliner tersebut kepada wisatawan. 2. Memelihara hubungan dinamis. 3. Dalam kegiatan pariwisata kuliner dilakukan upaya-upaya pengenalan potensi kuliner kepada wisatawan sehingga keberadaan kuliner tersebut menjadi lebih bermakna. 4. Menjamin pengalaman baru bagi wisatawan. 5. Pembangunan wisata kuliner di suatu daerah diarahkan harus mampu menjamin terciptanya pengalaman baru bagi wisatawan. Pengalaman baru tersebut terfokus pada kepuasan terhadap rasa masakan, kesenangan terhadap nuansa pelayanan, kenyamanan menyangkut tempat dan kenangan menyangkut kesegaran dan variasi menu masakan. 6. Melakukan promosi yang bertanggung jawab. 7. Prinsip promosi yang bertanggung jawab dimaksudkan pariwisata kuliner tidak boleh melakukan penawaran melalui promosi hal-hal yang belum tersedia disana. Aspek-aspek penting dalam pengembangan kuliner Pengembangan pariwisata kuliner hendaknya memperhatikan aspek-aspek berikut: 1). Dalam rangka pemberian Surat Izin Usaha (SIU) perlu persyaratan adanya Surat Keterangan Kelayakan Kebersihan dari Dinas Kesehatan Daerah, yang mencakup prinsip-prinsip kesehatan dalam hal penyimpanan, pengelolaan, pengolahan dan penyajian makanan; 2). Pengelola usaha kuliner perlu menjaga/mencegah munculnya penyakit yang diakibatkan oleh kurangnya
11
perhatian terhadap higine yaitu menyangkut kebersihan dan kesehatan makanan; 3). Pengelola usaha kuliner harus selalu mementingkan kondisi kualitas bahan makanan terutama bahan makanan lokal yang ditandai dengan kondisi yang tidak rusak dan tidak terkotaminasi dengan bahan-bahan berbahaya; 4) Pengelola usaha kuliner harus berhati-hati dengan penggunaan bahan-bahan pengawet makanan, pewarna, pelezat dan lainnya 5). Pengelola usaha kuliner harus menjaga agar dalam proses pengolahan makanan terhindar/jauh dari barang-barang yang mengandung racun, bibit penyakit, bahan-bahan yang sudah busuk/rusak, basi dan sebagainya. Dalam pengembangan eco-culinary tourism, masyarakat lokal yang berusaha di bidang tersebut harus mengerti prinsip-prinsip kesehatan dalam mengelola, menyajikan dan menyimpan makanan. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat lokal yang menjadi pelaku usaha eco culinary tourism antara lain higiene dan estetika. Makanan tradisional yang menjadi daya tarik utama eco culinary tourism harus berkualitas tinggi dan aman untuk disajikan kepada wisatawan (Marliyati. 2013; dalam Avenzora, 2013) Pengembangan Wisata Kuliner di Indonesia Makanan tradisional juga dapat berdampak positif dalam perkembangan kepariwisataan, khususnya “Wisata Boga“, yang dikemas sekarang dengan nama “Wisata Kuliner“ agar lebih menarik. Kekayaan sumber bahan makanan tradisional perlu dimanfaatkan, dilestariakan dan dikembangkan, karena menjadi salah satu daya tarik wisata. Agar lebih menarik dan wisatawan tidak ragu-ragu akan mutu makanan tradisonal, maka perlu diperhatiakan dan dijaga masalah masalah teknik pengolahan yang higienis, kebersihan terjaga, kemasan dan penyajian yang antik artistik. Dengan demikian perlu usaha-usaha pelestarian dan pengembangan wisata kuliner. Perlu diperhatiakan bahwa dalam usaha pelestarian dan pengembangan makanan tradisional dipilih sesuai dengan norma-norma dan nilai yang berlaku di masyarakat (Timbul Haryono. 1996) Mengingat makanan merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia maka kualitas makanan harus dijaga sesuai dengan syarat-syarat kesehatan (Mulia.2005). Penyakit bawaan makanan (foodborne illness) merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang paling banyak dijumpai di zaman ini. Penyakit ini biasanya bersifat toksik maupun infeksius, disebabkan oleh agenagen penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi (WHO. 2006). Pada tahun 2008 Badan POM telah mencatat 197 kasus keracunan pangan di seluruh Indonesia dengan 9.022 penderita. Jumlah kasus tertinggi keracunan makanan terjadi di Jawa Barat sebanyak 3.166 (35,40%), Jawa Tengah 1.240 (13,87%) dan Kalimantan Tengah sebanyak 860 (9,62 %) (BPOM, 2008). Menurut Supraptini dan Djarismawati (2003) pada tahun 2000, berdasarkan laporan bulanan kejadian luar biasa (KLB) Sub.Dit. Pengamatan Episemiologi Penyakit (PEP) Ditjen PPM-PL Dep.Kes.RI, ada 2010 kasus keracunan makanan dengan korban meninggal 19 orang. Kejadian diare menimpa wisatawan Jepang yang berkunjung ke Bali tahun 1995 yang sempat berakibat buruk bagi dunia pariwisata Indonesia, yaitu dengan pembatalan ribuan kunjungan wisatawan mancanegara asal Jepang yang sedianya akan datang ke Indonesia.
12
Makanan dan minuman merupakan penting dalam wisata. Makanan dan minuman adalah pendorong utama untuk melakukan perjalanan, karena 75 % dari wisatawan santai (leisure traveler) termotivasi untuk mengunjungi sebuah destinasi karena kegiatan kuliner (Food travel monitor report, 2016). Sebanyak 86 persen responden mengaku jika mereka memiliki pengalaman makanan dan minuman yang positif dalam perjalanannya, maka akan lebih mungkin untuk kembali ke tujuan yang sama. Terlepas dari penghasilan, pelaku wisata kuliner memprioritaskan pengeluaran untuk makanan dan minuman, mengarahkan lebih dari 50 persen anggaran mereka untuk kegiatan makanan dan minuman dibandingkan dengan wisatawan non-kuliner. Pelaku wisata kuliner (34 persen) lebih termotivasi untuk mengunjungi sebuah destinasi karena adanya unggahan tentang makanan atau minuman di media sosial dibandingkan denngan wisatawan non-kuliner (23 persen). Dan setidaknya pada setengah dari perjalanan mereka, 64 persen dari pelancong memilih untuk berbagi pengalaman makanan dan minuman mereka di media sosial. Pelaku wisata kuliner ternyata juga lebih aktif daripada wisatawan non-kuliner, yang berarti bahwa mereka lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam kegiatan non-makanan ketika mereka melakukan perjalanan. Wisatawan kuliner lebih mungkin ditemukan sedang jalan-jalan (91 persen), belanja (87 persen), dan mengunjungi atraksi sejarah atau budaya (85 persen) saat bepergian (Rezkisari. 2016). Wisata kuliner di Kabupaten Kuningan Kuningan adalah salah satu daerah wisata yang sedang berkembang di Provinsi Jawa Barat. Potensi dentidasi wisata Kuningan sangat beragam diantaranya wisata alam (Kebun Raya Kuningan, wisata air panas Sangkanhurip), wisata budaya atau sejarah (Upacara seren taun, Gedung Perjanjian Linggarjati, wisata museum purbakala Cipari), wisata kuliner dan wisata minat khusus. Potensi wisata tersebut tentunya harus dikembangkan karena merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan dorongan motivasi wisatawan nusantara untuk melakukan kunjungan wisata ke Kuningan Salah satu upaya mewujudkan suatu daerah menjadi tujuan wisata adalah perlunya dikembangkan upaya-upaya pemberdayaan seluruh potensi yang ada untuk ditampilkan sebagai daya tarik wisata. Upaya eksploratif perlu dilakukan guna menggali segala potensi yang terpendam. Untuk itu, penelitian tentang pengembangan daya tarik ekowisata kuliner di Kabupaten Kuningan Jawa Barat perlu dilakukan. Wisata kuliner merupakan suatu peluang untuk menambah khasanah daya tarik wisata di Kabupaten Kuningan Jawa Barat sehingga dapat diwujudkan pengembangan kepariwisataan yang berkualitas dan berkelanjutan. Berdasarkan berbagai sumberdaya yang dimiliki maka Kuningan memiliki visi yakni: “Kuningan Lebih Sejahtera Berbasis Pertanian dan Pariwisata Yang Maju Dalam Lingkungan Lestari dan Agamis Tahun 2013” (RIPDDA. 2007). Kuningan memiliki beragam kuliner yang khas yang telah ada sejak lama secara turun temurun. Kuliner camilan khas Kuningan diantaranya: 1. Tape/Peuyeum ketan. Merupakan kuliner khas Kuningan yang banyak diminati wisatawan. Sentral peyeum ini terdapat di Cibereum. Yang khas dari peuyeum ini adalah
13
bungkusnya yang terbuat dari daun jambu air, sehingga muncul aromanya yang khas yang berbeda dengan peuyeum ketan dari daerah lain. Penganan ini biasanya disediakan saat hari raya maupun acara khusus seperti pesta pernikahan dan lain=lain. Tape dijual dalam berbagai kemasan plastik dalam bentuk cup maupun ember (biasanya berwarna hitam). Harganya cukup murah. Untuk ember yang besar yang berisi sekitar 100 bungkus peuyeum harganya Rp 55.000, sedangkan ember yang lebih kecil dengan isi 60 bungkus peuyeum ketan dibanderol Rp 35.000. Saat arus mudik dan arus balik banyak produk peuyeum ketan yang dibeli. Salah seorang pedagang menyebutkan saat arus mudik dan balik penjualannya mencapai 500 ember ukuran besar dan kecil. Peuyeum ketan memang merupakan idola para wisatawan sebagai buah tangan untuk keluarga dan kerabat yang ada di rumah. 2 . Keripik gadung Keripik gadung merupakan jenis kuliner lainnya yang khas Kuningan. Keripik gadung terbuat dari sejenis umbi yang bernama gadung. Gadung (Discorea hispida) banyak tumbuh di ladang-ladang perkebunan di Kuningan. Tidak semua orang dapat mengolah gadung menjadi keripik, karena jika tidak diolah dengan benar bisa menjadi beracun. Untuk menghilangkan racunnya umbi gadung yang sudah dibersihkan dan diiris tipis kemudian diperam dengan abu baru dijemur. Keripik Gadung rasanya khas dan tidak terlalu keras, teksturnya berbeda dengan keripik umbi ataupun keripik ketela pohon. Keripik gadung rasanya tidak jauh berbeda dengan keripik kentang. 3. Ketempling/kecimpring/gemblong Gemblong/kecimpring terbuat dari ketela pohon yang diolah dengan berbagai bahan lain sehingga menjadi keripik yang gurih. Rasa rempah yang khas dan tekstur keripik yang renyah membuat gemblong mempunyai cita rasa tersendiri, enak dinikmati bersama baso, soto, mie ayam ataupun mie goreng. 4. Opak bakar Opak terbuat dari ketan. Opak bakar Kuningan memiliki cirri yanh khas yakni berbentuknya persegi empat, tipis, rasanya gurih
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kuningan. Penelitian dimulai pada bulan Mei hingga Juli 2015, yang kegiatannya meliputi survei awal, pengumpulan data, pengolahan data, hingga penulisan tesis. Fokus penelitian adalah a) pengetahuan wisatawan terhadap higiene, b) sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan, c) persepsi wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan, d) higienitas rumah makan, e) Higienitas produsen kuliner khas Kuningan yang belum memiliki nomor P-IRT (non P-IRT), f) strategi pengembangan wisata kuliner dan g) usulan program.
14
Teknik Pengambilan Sampel Sampel responden penelitian adalah 1). Sebanyak 100 orang responden wisatawan yang berkunjung ke Kuningan yang diambil secara acak. Data yang diharapkan adalah pengetahuan responden tentang higiene, sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan dan persepsinya tentang empat jenis kuliner khas Kuningan yaitu tape ketan, ketempling, keripik gadung dan opak bakar dan 2). Produsen kuliner khas Kuningan (tape ketan, ketempling, opak bakar dan keripik gadung) yang belum memiliki nomor P-IRT (non P-IRT) yakni 20 IRT tape ketan, 11 IRT ketempling, 9 IRT opak bakar dan 2 IRT keripik gadung. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data responden adalah observasi (melalui pengisian lembar observasi dan pengisian kuisener), wawancara dan dokumentasi. Adapun acuan yang digunakan dalam penyusunan kuisener dan lembar observasi adalah 1). Avenzora (2008): Metode One ScoreOne Indicator Scoring System Skor = 1-7 untuk penilaian potensi kuliner dan 2). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : Hk. 03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 Tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) dengan beberapa penyesuaian. Pendekatan Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang terfokus pada: a) Pengetahuan wisatawan terhadap higiene, b) Sikap Pemilihan Tempat, c) Persepsi wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan dan d) Higienitas produsen kuliner khas Kuningan yang belum memiliki nomor P-IRT (non P-IRT). Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu (1) Data pengetahuan wisatawan terhadap pengetahuan higiene (2) Data sikap dalam pemilihan tempat makan, (3) Data presepsi wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan, (4) higiene a produsen kuliner non P-IRT dan (5) higiene rumah makan yang dituangkan dalam bentuk kuisioner tertutup (close ended quisioner) dan lembar observasi. Data pengetahuan higiene wisatawan dianalisis menggunakan metode analisis Chisquare, sedangkan untuk sikap pemilihan tempat makan menggunakan metode analisis Kruss Kalwalis. Sementara persepsi wisatawan dan higiene produsen kuliner non-P-IRT menggunakan skala Likert. Dalam penelitian ini, rentang skala yang digunakan adalah 1-7 (merupakan pengembangan dari skala Likert 1-5). Penggunaan skala 1-7 diterapkan kerena sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang mengartikulasikan suatu nilai dengan sangat detail (Avenzora 2008:250b), kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif selanjutnya seluruh data dilakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threaty).
15
Tabel 1. Responden dan Aspek Penelitian Fokus Penelitian Wisatawan
Jenis Data Primer
Rumah makan
Primer
Sekunder
Industri rumah tangga pembuat kuliner khas Kuningan yang belum memiliki nomor PIRT (non PIRT)
Primer
Sekunder
Data yang dikumpulkan Pengetahuan wisatawan tentang higiene, sikap dalam pemilihan tempat makan, persepsi terhadap oleholeh khas Kuningan Keadaan umum lokasi, higienitas
Cara Pengambilan Sumber Data Data Observasi lapang, 100 orang kuisioner wisatawan, dipilih secara acak
Wawancara, lembar pengisian observasi (acuan: Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1098 tahun 2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran Data kunjungan Analisis dokumen wisatawan ke rumah makan
Rumah Makan Cipondok dan Rumah Makan Kita
Dokumen Disparbud Kabupaten Kuningan Produsen oleh-oleh non-PIRT: 20 tape ketan, 11 ketempling, 9 opak bakar dan keripik gadung.
Keadaan umum Wawancara, lokasi, higienitas pengisian lembar observasi(acuan: Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : Hk. 03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 Tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) Informasi dari Analisis dokumen Dokumen Disperindag berupa jumlah responden pada setiap produsen non P-IRT
Analisis Data Statistik square, Kruskall Wallis, deskriptif kualitatif
chi
Deskriptif kualitatif, skala Likert modifikasi Avenzora (2008)
Deskriptif kualitatif skala Likert modifikasi Avenzora (2008)
16
Analisis Data Pengetahuan Wisatawan Tentang Higiene Data yang diambil adalah data pengetahuan wisatawan tentang higiene. Data dianalisis menggunakan Chis quare dengan tingkat margine eror 5%,10% dan 15%. Data selanjutnya dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat pendidikan Tabel 2 Indikator pengetahuan responden wisatawan tentang higiene. 1. 2.
Pertanyaan Apakah saudara pernah mendengar istilah higiene dan sanitasi makanan? Apakah pengertian sanitasi dan higiene makanan?
3.
Apakah manfaat mencuci tangan sebelum menjamah makanan?
4.
Apakah manfaat memotong kuku yang panjang apabila ingin menangani makanan?
5.
Sebaiknya air apa yang digunakan untuk mencuci bahan makanan dan peralatan pengolahan makanan? Bila saudara menderita sakit TBC, Thyphus dan disentri, bolehkah tetap ikut menangani makanan?
6.
7.
Bila kulit saudara sedang gatal-gatal, luka atau tergores, bolehkah tetap ikut menangani makanan?
8.
Bagaimana seharusnya cara menjamah makanan yang telah matang?
9.
Bagaimana seharusnya cara menyimpan makanan matang?
Pilihan jawaban a) Pernah b) Tidak a) Upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan dan citarasa b) Upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan orang, tempat dan perlatan c) Upaya kesehatan dengan cara memelihara, melindungi kebersihan orang, tempat, peralatan dan citarasa a) Agar tangan kelihatan bersih b) Agar tangan menjadi segar c) Agar tangan tidak mengotori makanan a) Agar kelihatan rapi b) Agar tidak menggangu saat kerja c) Agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan penyakit a) Air bersih yang mengalir dari pipa kran b) Air bersih di dalam ember c) Air bersih di dalam bak a) Tetap bolehikut menangani makanan seperti bisa b) Tidak boleh ikut menangani makanan c) Boleh menangani makanan asal sudah minum obat a) Tetap boleh menangani makanan seperti bisa b) Tidak boleh ikut menangani makanan c) Tetap boleh ikut menangani makanan asal ditutup dengan perban yang tahan air a) Langsung dengan tangan b) Menggunakan alat c) Menggunakan alat dan sarung tangan a) Dengan memperhatikan suhu dan waktu penyimpanan b) Di tempat yang aman dan tertutup c) Di tempat yang aman dan terbuka
Sikap Wisatawan dalam Pemilihan Tempat Makan Pengetahuan higiene yang baik dapat tercermin dalam sikap wisatawan. Data dianalisis menggunakan Uji Kruskall Walls dengan tingkat margine error 5%,10% dan 15%. Selanjutnya data dikelompokkan berdasarakn jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.
17
Tabel 3. Indikator Sikap Responden Wisatawan dalam Pemilihan Tempat Makan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pertanyaan Anda lebih suka makan di tempat makan yang mempunyai tempat cuci tangan tersendiri (wastafel) Anda merasa risih apabila tempat makan / warung makan yang anda datangi banyak lalat Walaupun harga makanannya agak mahal, anda akan cenderung makan di tempat makanan yang bersih dan enak dilihat Tidak masalah makan di tempat yang tempat pencuciannya menggunakan ember berisi air yang digunakan berulang-ulang Walaupun tempat makan agak gelap dan dipinggir jalan raya yang ramai, selama makanan yang disajikan enak, tidak menjadi masalah jika anda makan di tempat itu Anda menjadi jera / kapok makan di suatu tempat ketika anda melihat penjual/penghidang makanannya sering batuk, pegang kaki, merokok atau yang lainnya: Selera makan anda tidak berubah ketika melihat lingkungan tempat makan kotor Keinginan makan anda menjadi hilang ketika di suatu tempat makan anda melihat meja dan kursi tempat itu tidak bersih Anda lebih suka makan di tempat yang murah tapi kurang bersih dibanding makanan yang mahal tapi lingkungannya bersih Penilaian tentang kebersihan makanan telah terbentuk ketika anda pertama kali melihat makanan yang dihidangkan
Jawaban Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Analisis SWOT Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi organisasi (Rangkuti 1998). Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis ini digunakan untuk membangun strategi dari analisis kondisi faktual dan analisis kesenjangan yang terjadi antara para stakeholder beserta hasil identifikasi fenomena sosial yang terjadi. Strategi dibangun melalui analisis matriks IFA/EFA berupa analisis faktor-faktor internal yaitu para produsen kuliner dan faktor-faktor eksternal responden wisatawan, pemerintah daerah dan para investor. Dari strategi yang dibangun dan dirumuskan, maka akan mampu diperoleh sebuah model pengembangan higienitas makanan dalam ekowisata kuliner dan pembangunan kampung wisata kuliner yang menuju kota wisata kuliner.
18
Tabel 4 Diagram matriks SWOT dan Kemungkinan Strategi yang Sesuai IFA/EFA Opportunities (O)
Strenghts (S) Strategi SO: Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan berada pada Kuadran I Treath Strategi ST: Menciptakan strategi yang (T) menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Digunakan jika organisasi berada pada Kuadran II Sumber: Marimin (2004)
Weaknesses (W) Strategi WO: Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika organisasi berada pada Kuadran III Strategi WT: Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Digunakan jika organisasi berada pada kuadran IV
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Wisatawan Karakteristik Demografi Dalam upaya analisis, perencanaan dan pemasaran pariwisata, karakteristik demografi wisatawan sangat penting untuk diketahui. Karakteristik demografi (sosio-demografi) adalah karakteristik berdasarkan diantaranya pada jenis kelamin, umur dan tingkat pendidikan. Pembagian wisatawan berdasarkan karakteristik sosio-demografis sangat berhubungan dengan pola berwisata. Sebagai contoh jenis kelamin maupun kelompok umur berkaitan dengan pilihan jenis wisata yang dilakukan (Seaton dan Bennet, 1996) Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 100 orang wisatawan lokal yang dipilih secara acak, mereka sedang berkunjung ke lokasi kuliner di Kuningan. Hasil rekapitulasi data menunjukkan sebanyak 60% responden adalah wisatawan dari Jawa Barat, 31% dari Pulau Jawa selain Jawa Barat dan 9% wisatawan dari Luar Pulau Jawa. Hal ini menggambarkan Kuningan sudah cukup dikenal sebagai daerah tujuan wisata terlihat dari daerah asal wisatawan yang berkunjung ke Kuningan yang cukup beragam. Jumlah kunjungan wisatawan ke Kuningan memang cenderung meningkat setiap tahunnya. Data dari Disparbud Kuningan menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan ke rumah makan/restoran di Kabupaten Kuningan pada tahun 2010 sebanyak 513.261 orang, tahun 2011 naik menjadi 581.042 orang, dan tahun 2012 meningkat menjadi 600.703 orang. Responden terdiri dari laki-laki 61% dan perempuan 39%. Hal ini diduga karena pria lebih dinamis dan lebih banyak kegiatan di luar kota. Wisata menjadi kegiatan yang didominasi oleh kaum laki-laki walaupun demikian seiring isu kesetaraan gender, wisatawan wanita pun menunjukan perkembangan yang menggembirakan (Kotler, 2006 dan Cooper, 2005 dalam Ismayanti, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa wisatawan mayoritas berasal dari latar belakang pendidikan yang relatif baik. Kelompok umur responden yang terbanyak adalah usia <31 tahun, pada usia ini keinginan berwisata nampaknya cukup besar. Jumlah responden semakin sedikit seiring bertambahnya usia responden (Tabel 4).
19
Berdasarkan latar belakang pendidikan, reponden terbanyak adalah dengan tingkat pendidikan >SMA (52%) diiikuti tingkat pendidikan SMA (41%) dan < SMA sebesar 7% (Tabel 4). Tabel 5. Profil Responden Wisatawan No.
1.
Uraian
Asal
2.
Umur (tahun)
3.
Jenis Kelamin
4.
Tingkat Pendidikan
Sumber: Data Primer (2016)
Jawa Barat Pulau Jawa selain Jawa Barat Luar P. Jawa <31 31-50 >50 Laki-laki Perempuan <SMA SMA >SMA
∑ Responden (orang) 60
Total Persentase Responden (%) (orang) 60
31
31
9 48 35 17 61 39 7 41 52
9 48 35 17 61 39 7 41 52
100
100 100 100
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Wisatawan Terhadap Higienitas Kuliner Pengetahuan Wisatawan Tentang Higiene Informasi mengenai persepsi dan sikap wisatawan merupakan hal yang sangat penting dalam membuat perencanaan dan program berkaitan dengan upaya meningkatkan kunjungan wisatawan (Suherlan dan Hidayah, 2015). Pengetahuan wisatawan tentang higiene adalah pemahaman wisatawan tentang seberapa pentingnya higiene dalam kehidupan mereka. Hasil rekapitulasi data kuisioner tertera pada Tabel 5. Tabel 6. Hasil Rekapitulasi Data Kuisioner Pengetahuan Responden Tentang Higiene. No
Pertanyaan
Jawaban
1.
Mendengar istilah higiene
Pernah Tidak Pernah Upaya memelihara kebersihan dan cita rasa Upaya memelihara kebersihan orang, tempat, peralatan Upaya kesehatan dengan cara memelihara, melindungi kebersihan orang, tempat, peralatan dan citara
2.
Pengertian Higiene dan Sanitasi
Nilai ∑ % Resp. 90 90 10 10 57
57
38
38
5
5
Jumlah (%) 100
100
20
Tabel 6. Hasil Rekapitulasi Data Kuisioner Pengetahuan Responden Tentang Higiene (Lanjutan). No 3.
4.
5.
6.
7.
8
9
Pertanyaan
Jawaban
Agar tangan kelihatan bersih Agar tangan menjadi segar Agar tangan tidak mengotori makanan Agar kelihatan rapi Agar tidak mengganggu saat Manfaat kerja Memotong Kuku Agar tidak menjadi tempat/sarang penyakit Jenis air untuk Air bersih yang mengalir dari mencuci bahan pipa kran makanan dan Air bersih didalam ember peralatannya Air bersih didalam bak Tetap boleh ikut menangani Pendapat bila makanan seperti biasa sedang sakit TBC, thyphus Tidak boleh ikut menangani dan disentri makanan dalam Boleh menangani makanan menangani asal sudah minum obat makanan Tetap boleh ikut menangani Pendapat bila makanan seperti biasa kulit sedang gatal-gatal, luka Tidak boleh ikut menangani atau tergores makanan dalam Tetap boleh menangani asal menangani ditutup pembalut tahan air makanan Langsung dengan tangan Cara menjamah Menggunakan alat makanan matang Menggunakan alat dan sarung tangan Dengan memperhatikan suhu Cara menyimpan dan waktu penyimpanan makanan matang Di tempat aman dan tertutup Di tempat aman dan terbuka Manfaat Mencuci Tangan
Sumber: Data Primer Diolah (2016)
∑Resp 7 2
Nilai % 7 2
91
91
4
4
7
7
89
89
84
84
10 6
10 6
11
11.00
86
86.00
3
3.00
10
10
78
78
12
12
16 62
16 62
22
22
32
32
62 6
62 6
Jumlah (%) 100
100
100
100
100
100
100
Hampir semua responden (90%) sudah pernah mendengar istilah higiene dan sanitasi makanan. Responden (sebanyak 57%) menyebutkan bahwa higiene dan sanitasi makanan adalah upaya memelihara kebersihan dan cita rasa. Depkes (2003) menyebutkan bahwa higiene adalah upaya kesehatan dengan cara upaya memelihara dan melindungi subjeknya. Pengetahuan wisatawan tentang higiene nampak sudah cukup baik, meskipun masih harus ditingkatkan. Para wisatawan juga sudah sangat menyadari pentingnya mencuci tangan. Pengetahuan yang baik dari responden tentang higiene juga terlihat dari data yang menyebutkan bahwa sebanyak 89% menyatakan manfaat memotong kuku yang
21
panjang apabila ingin mengani makanan adalah agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan penyakit. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 84% responden menyebutkan bahwa air yang digunakan untuk mencuci bahan makanan dan peralatan penjamah makanan adalah air bersih yang mengalir dari pipa kran. Berkaitan dengan penyakit, sebanyak 86% responden menyebutkan bahwa penjamah makanan yang menderita sakit TBC, Thyphus dan disentri tidak boleh ikut menangani makanan. Begitu juga bila kulit sedang gatal-gatal, luka atau tergores wisatawan menyatakan tidak boleh ikut menangani makanan (78%), dan hanya 12% yang menyatakan boleh ikut menangani makanan asal luka ditutup dengan bahan yang kedap air, sedangkan 10% lainnya menyatakan boleh tetap ikut menangani makanan seperti biasa. Dalam hubungannya dengan cara pengambilan makanan yang telah matang, para responden juga menunjukkan kesadarannya akan higiene. Sebanyak 62% responden menyatakan bahwa cara mengambil makanan yang telah matang seharusnya menggunakan alat. Sebanyak 22% menyatakan harus menggunakan alat dan sarung tangan serta sisanya yakni 16% menyatakan boleh langsung menggunakan tangan. Pengetahuan responden tentang cara penyimpanan makanan matang menunjukkan bahwa 62% responden wisatawan menyatakan bahwa penyimpanan seharusnya di tempat yang aman dan tertutup, sebanyak 32% harus memperhatikan suhu dan kelembaban dan hanya 6% yang menyatakan penyimpanan harus ditempat terbuka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para wisatawan telah memiliki pengetahuan yang baik tentang higiene. Hal ini harus menjadi dasar bagi para penyedia kuliner di Kuningan untuk menyediakan kuliner yang higienis. Wisatawan akan memperhatikan kebersihan kuliner yang dinikmatinya, kebersihan dan kenyamanan ruangan, kebersihan tempat penyajian makanan, penggunaan bahan makanan yang sehat, dan aman serta keindahan dalam penyajiannya (BPOM Banda Aceh, 2014). Hasil rekapitulasi data pada Tabel 5 kemudian dikelompokkan berdasarkan masing-masing jenis kelamin, umur dan tingkat pendidikan (Tabel 6). Data selanjutnya dianalisis statistik, hasil analisis statistik tertera pada Tabel 7. Avenzora (2016, komunikasi pribadi) menyatakan bahwa dalam studi sosial, selang kepercayaan dalam suatu uji statistik tidaklah harus mengikuti standar margin error seperti dalam studi eksakta. Jika dalam studi eksakta umumnya dinyatakan dalam selang tingkat kepercayaan ≥ 90%, maka dalam studi sosial nilai tersebut bisa diturunkan hingga 68%. Atas hal itu, maka analisa statistik dilakukan pada margin error 5%, 10% dan 15%. Hasil analisis pada kelompok jenis kelamin pada margin error 5% umumnya menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan jawaban pertanyaan yang diajukan, kecuali pada jawaban pertanyaan nomor 9 (cara menyimpan makanan matang). Responden laki-laki (42%) menjawab cara menyimpan makanan matang adalah di tempat aman dan tertutup, sedangkan yang perempuan (20%) menjawab cara menyimpan makanan matang adalah dengan memperhatikan suhu dan waktu penyimpanan. Pada margin error 10%, perbedaan yang nyata masih sama dengan jawaban pada margin error 5% yakni pada pertanyaan nomor 9. Sedangkan pada margin error 15%, perbedaan nyata nampak pada jawaban pertanyaan nomor 6 (pendapat bila sedang sakit TBC, thyphus dan
22
disentri dalam menangani makanan), nomor 7 (pendapat bila kulit sedang gatalgatal, luka atau tergores dalam menangani) dan nomor 9 (cara menyimpan makanan matang). Pada kelompok umur, hasil analisis pada margin error 5% menunjukkan tidak ada hubungan nyata antara kelompok umur dengan jawaban pertanyaan. Tetapi pada margin error 10% nampak adanya perbedaan nyata pada jawaban pertanyaan yakni pada nomor 6 (pendapat bila sedang sakit TBC, thyphus dan disentri dalam menangani makanan) dan nomor 8 (cara mengambil makanan matang). Pada margin error 15%, jawaban pertanyaan yang menunjukkan perbedaan nyata bertambah menjadi 3 buah yakni pada jawaban nomor 4 (manfaat memotong kuku), nomor 6 (pendapat bila sedang sakit TBC, thyphus dan disentri dalam menangani makanan) dan nomor 8 (cara mengambil makanan matang). Sedangkan, pada kelompok tingkat pendidikan, pada margin error 5%, nampak perbedaan nyata pada jawaban pertanyaan nomor 2 (pengertian higienitas). Sedangkan pada margin error 10% dan margin error 15%, jawaban pertanyaan yang berbeda nyata sama banyaknya yakni pada jawaban pertanyaan nomor 1 (pernah mendengar istilah higiene makanan) dan pertanyaan nomor 2 (pengertian higienitas makanan).
P5 b
c 0 2 4
c 2 4 0
2 4
c
a 1 6 4
a 6 5 0
2 9
a
b 6 35 45
b 39 26 21
36 50
P6 b
c 0 0 3
c 2 1 0
1 2
c
a 1 4 5
a 7 3 0
3 7
a
b 6 31 41
b 31 27 20
28 50
P7 b
c 0 6 6
c 9 2 1
8 4
c
a 1 5 10
a 4 9 3
8 8
a
b 6 24 32
b 31 15 16
22 40
P8 b
c 0 12 10
c 12 8 2
9 13
c
a 1 14 17
a 16 12 4
18 14
a
b 6 25 31
b 27 18 17
20 42
P9 b
c 0 2 4
c 4 2 0
1 5
c
P8
P7
Cara menyimpan makanan matang : a. Dengan memperhatikan suhu dan waktu penyimpanan, b. Di tempat aman dan tertutup dan c. di tempat aman dan terbuka
a 0 0 4
a
P9
c 7 33 51
a 1 3 0
c
Jenis kelamin 4 34 32 5 3 55 52 5 Umur (tahun) b c a b 3 43 39 6 3 26 24 4 1 20 21 0 Tingkat pendidikan b c a b 0 7 5 2 5 36 35 4 2 46 44 4
P4 b
Manfaat memotong kuku : a. Agar kelihatan rapi, b. Agar tidak mengganggu saat kerja dan c. Agar tidak menjadi tempat/sarang penyakit Jenis air untuk mencuci bahan makanan :a. Air bersih yang mengalir dari pipa kran, b. Air bersih didalam ember dan c. Air bersih di dalam bak Hubungan Penyakit dalam penyajian makanan : a. Tetap boleh ikut menangani makanan seperti biasa, b. Tidak boleh ikut menangani makanan dan c. boleh menangani makanan asal sudah minum obat Keadaan penyaji dalam menangani makanan : a. Tetap boleh ikut menangani makanan seperti biasa, b. Tidak boleh ikut menangani makanan dan c. tetap boleh menangani asal ditutup pembalut tahan air Cara menjamah makanan matang : a. Langsung dengan tangan, b. Menggunakan alat dan c. Menggunakan alat dan sarung tangan
b 0 2 0
c 41 29 21
1 3
a
Manfaat mencuci tangan : a. Agar tangan kelihatan bersih, b. Agar tangan menjadi segar dan c. Agar tangan tidak mengotori makanan
a 0 6 1
b 1 1 0
35 56
c
P4 P5 P6
c 0 2 3
a 5 2 0
0 2
P3 b
P3
b 1 18 20
c 3 2 0
4 3
a
Higienitas dan sanitasi adalah a). Upaya memelihara kebersihan cita rasa, b. upaya memelihara kebersihan orang, tempat dan peralatan dan c.upayakesehatan dengan cara memelihara, melindungi kebersihan orang, tempat, peralatan dan citarasa
a 6 21 29
b 19 15 5
3 2
c
P2
b 2 6 2
a 5 < SMA 35 SMA 50 >SMA Keterangan:
a 25 15 16
19 20
P2 b
Wisatawan pernah mendengar istilah higine :a. Pernah dan b. Tidak
b 7 3 0
a 40 29 21
<31tahun 31-50 tahun >50 tahun
17 39
a
P1
5 5
34 56
b
Perempuan Laki-laki
P1
a
Kelompok/ pertanyaan/ jawaban
Tabel 7. Hasil Rekapitulasi Data Kuisioner Berdasarkan Masing-Masing Kelompok Jenis Kelamin, Umur dan Tingkat Pendidikan.
23
Jenis Kelamin
Umur
Pendidikan
1
2
3 15
10
5
15
10
5
15
10
Margin Error (%) 5
0.049* 0.049*
0.054*
0.049*
0.054 0.054*
0.513
0.165
0.513
0.165 0.513
0.323
0.452 0.165
0.323
0.323
0.452 0.452
P2
P1
0.158
0.158
0.158
0.362
0.362
0.362
0.516
0.516
0.516
P3
0.464
0.464
0.464
0.118*
0.118
0.118
0.734
0.734
0.734
P4
0.427
0.427
0.427
0.336
0.336
0.336
0.310
0.310
0.310
P5
0.859
0.859
0.859
0.064*
0.064*
0.064
0.105*
0.105
0.105
P6
0.552
0.552
0.552
0.270
0.270
0.270
0.120*
0.120
0.120
P7
0.387
0.387
0.387
0.075*
0.075*
0.075
0.557
0.557
0.557
P8
0.700
0.700
0.700
0.312
0.312
0.312
0.040*
0.040*
0.040*
P9
P8 P9
P7
P5 P6
Jenis air untuk mencuci bahan makanan :a. Air bersih yang mengalir dari pipa kran, b. Air bersih didalam ember dan c. Air bersih di dalam bak Hubungan Penyakit dalam penyajian makanan : a. Tetap boleh ikut menangani makanan seperti biasa, b. Tidak boleh ikut menangani makanan dan c. boleh menangani makanan asal sudah minum obat Keadaan penyaji dalam menangani makanan : a. Tetap boleh ikut menangani makanan seperti biasa, b. Tidak boleh ikut menangani makanan dan c. tetap boleh menangani asal ditutup pembalut tahan air Cara menjamah makanan matang : a. Langsung dengan tangan, b. Menggunakan alat dan c. Menggunakan alat dan sarung tangan Cara menyimpan makanan matang : a. Dengan memperhatikan suhu dan waktu penyimpanan, b. Di tempat aman dan tertutup dan c. di tempat aman dan terbuka
Keterangan: - Tanda * pada masing-masing kelompok responden yang sama pada pertanyaan yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap jawaban pertanyaan tersebut. P1 Wisatawan pernah mendengar istilah higine :a. Pernah dan b. Tidak P2 Higienitas dan sanitasi adalah a). Upaya memelihara kebersihan cita rasa, b. upaya memelihara kebersihan orang, tempat dan peralatan dan c. upayakesehatan dengan cara memelihara, melindungi kebersihan orang, tempat, peralatan dan citarasa P3 Manfaat mencuci tangan : a. Agar tangan kelihatan bersih, b. Agar tangan menjadi segar dan c. Agar tangan tidak mengotori makanan P4 Manfaat memotong kuku : a. Agar kelihatan rapi, b. Agar tidak mengganggu saat kerja dan c. Agar tidak menjadi tempat/sarang penyakit
Pengetahuan higiene kelompok/ Pertanyaan 1-9
No
Tabel 8. Nilai Asymptotic Significance (2-Sided) Menggunakan Chi-Square Test Pengetahuan Wisatawan Tentang Higiene Berdasarkan Masing-Masing Kelompok Jenis Kelamin, Usia dan Tingkat Pendidikan Pada berbagai Tingkat Margin Error
24
25
Sikap Wisatawan dalam Pemilihan Tempat Makan Pengetahuan yang baik tentang higiene dapat terlihat juga dari sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan. Sikap wisatawan dalam pemilihan tempat makan adalah sikap wisatawan dalam memilih tempat untuk mereka menikmati makanan. Hasil penilaian sikap responden dalam pemilihan tempat makan tertera pada Tabel 9. Tabel 9. Penilaian Sikap Responden Dalam Pemilihan Tempat Makan No. 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10
Pertanyaan Anda lebih suka makan di tempat makan yang mempunyai tempat cuci tangan tersendiri (wastafel) Anda merasa risih apabila tempat makan / warung makan yang anda datangi banyak lalat Walaupun harga makanannya agak mahal, anda akan cenderung makan di tempat makanan yang bersih dan enak dilihat Tidak masalah makan di tempat yang tempat pencuciannya menggunakan ember berisi air yang digunakan berulangulang Walaupun tempat makan agak gelap dan dipinggir jalan raya yang ramai, selama makanan yang disajikan enak, tidak menjadi masalah jika anda makan di tempat itu Anda menjadi jera / kapok makan di suatu tempat ketika anda melihat penjual/penghidang makanannya sering batuk, pegang kaki, merokok atau yang lainnya Selera makan anda tidak berubah ketika melihat lingkungan tempat makan kotor Keinginan makan anda menjadi hilang ketika di suatu tempat makan anda melihat meja dan kursi tempat itu tidak bersih Anda lebih suka makan di tempat yang murah tapi kurang bersih dibanding makanan yang mahal tapi lingkungannya bersih Penilaian tentang kebersihan makanan telah terbentuk ketika anda pertama kali melihat makanan yang dihidangkan
Ya
Jawaban Tidak
Total Responden
97
3
100
97
3
100
91
9
100
15
85
100
23
77
100
83
17
100
27
73
100
89
11
100
16
84
100
74
26
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden terbanyak (97%) menyatakan mereka akan memilih tempat makan yang memiliki tempat cuci tangan tersendiri. Wisatawan juga merasa risih apabila tempat makanan yang dikunjungi banyak lalat (97%). Hal yang menarik adalah responden umumnya (91%) menyebutkan bahwa mereka cenderung akan makan di tempat makan yang bersih dan enak dilihat walaupun harga makanannya agak mahal. Kesadaran wisatawan terhadap higiene juga terlihat pada data yang menunjukkan bahwa (23%) responden menyatakan kapok/jera makanan di suatu
26
tempat yang menjual sering batuk, pegang kaki, merokok atau yang lainnya. Selain itu sebanyak (83%) responden menyatakan selera makanannya akan berubah ketika melihat lingkungan tempat makan kotor. Sebanyak (89%) responden juga menyatakan bahwa keinginan makanan menjadi hilang ketika melihat meja dan kursi tempat itu tidak bersih. Para wisatawan (74%) penilaian tentang kebersihan makanan telah terbentuk ketika anda pertama kali melihat makanan yang dihidangkan. Data selanjutnya dikelompokkan berdasarkan masing-masing jenis kelamin, umur dan tingkat pendidikan (Tabel 9). Hasil analisis statistik menggunakan uji Kruskall-Wallis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kelompok jenis kelamin dan usia dalam pemilihan tempat makan. Baik responden perempuan maupun laki-laki, begitu juga responden dengan perbedaan usia memiliki sikap yang sama baiknya dalam pemilihan tempat makan. Sedangkan pada kelompok tingkat pendidikan, hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap dalam pemilihan tempat makan (Tabel 10).
4
3
2
1
No.
Pertanyaan Anda lebih suka makan di tempat makan yang mempunyai tempat cuci tangan tersendiri (wastafel) Anda merasa risih apabila tempat makan / warung makan yang anda datangi banyak lalat Walaupun harga makanannya agak mahal, anda akan cenderung makan di tempat makanan yang bersih dan enak dilihat Tidak masalah makan di tempat yang tempat pencuciannya menggunakan ember berisi air yang digunakan berulang-ulang
Jawaban (%)
16.4
88.5
96.7
95.1
Ya
83.6
11.5
3.3
4.9
Tidak
Laki-laki
87.2
94.9
97.4
100
Ya
12.8
5.1
2.6
0.0
Tidak
Perempuan
Jenis kelamin
19
89
94
96
Ya
81
11
6
4
Tidak
< 31
6
97
100
100
Ya
94
3
0
0
Tidak
31-50
Usia
17
83
100
94
Ya
83
17
0
6
Tidak
>50
14
86
100
86
Ya
86
14
0
14
Tidak
<SMA
Tabel 10. Hasil Penelitian Terhadap Sikap Responden Dalam Pemilihan Tempat Makan.
12
90
98
100
Ya
88
10
2
0
Tidak
SMA
12
94
96
100
Ya
Tingkat pendidikan
88
6
4
0
Tidak
>SMA
27
7
6
5
No
Pertanyaan Walaupun tempat makan agak gelap dan dipinggir jalan raya yang ramai, selama makanan yang disajikan enak, tidak menjadi masalah jika anda makan di tempat itu Anda menjadi jera / kapok makan di suatu tempat ketika anda melihat penjual/penghidang makanannya sering batuk, pegang kaki, merokok atau yang lainnya Selera makan anda tidak berubah ketika melihat lingkungan tempat makan kotor
Jawaban (%)
24.6
85.2
21.3
Ya
75.4
14.8
78.7
30.8
76.9
17.9
Ya
69.2
23.1
82.1
Tidak
Jenis kelamin Perempuan
Tidak
Laki-laki
21
81
36
Ya
< 31
6
79 69
19 91
64
Ya
31
9
94
Tidak
31-50
Usia
39
39
22
Ya
61
61
78
Tidak
>50
57
57
57
Ya
43
43
43
Tidak
<SMA
22
22
83
Ya
78
78
17
Tidak
25
25
83
Ya
SMA
Tingkat pendidikan
Tabel 10. Hasil Penelitian Terhadap Sikap Responden Dalam Pemilihan Tempat Makan (Lanjutan)
75
75
17
Tidak
>SMA
28
10
9
8
No
75.4
16.4
91.8
Ya
24.6
83.6
8.2
Tidak
Laki-laki
69.2
15.4
84.6
Ya
32.6
30.8
84.6
15.4
Tidak
Perempuan
6 6 38.9 1.1 7.4 (Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian 2015)
Pertanyaan Keinginan makan anda menjadi hilang ketika di suatu tempat makan anda melihat meja dan kursi tempat itu tidak bersih Anda lebih suka makan di tempat yang murah tapi kurang bersih dibanding makanan yang mahal tapi lingkungannya bersih Penilaian tentang kebersihan makanan telah terbentuk ketika anda pertama kali melihat makanan yang dihidangkan Rata-rata
Jawaban (%)
Jenis kelamin
6.8
26
17
89
Ya
5 43.2
74
83
11
Tidak
< 31
62.6
51
9
97
Ya
37.4
49
91
3
Tidak
31-50
Usia
55.0
61
28
67
Ya
45.0
39
72
33
tidak
>50
65.7
71
57
71
Ya
34.3
29
43
29
Tidak
<SMA
58.0
56
20
78
42.0
44
80
22
Tidak
SMA
58.1
37
17
92
Ya
Tingkat pendidikan
Ya
Tabel 10. Hasil Penelitian Terhadap Sikap Responden Dalam Pemilihan Tempat Makan (Lanjutan)
41.9
63
83
8
tidak
>SMA
29
30
Hasil analisis statistik (Tabel 10) menggunakan uji Kruskall-Wallis pada kelompok jenis kelamin menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan pemilihan tempat makan baik pada margin error 5%, 10% maupun 15%. Responden perempuan maupun laki-laki, memiliki sikap yang sama baiknya dalam pemilihan tempat makan. Pada kelompok umur, hasil analisa statistik juga menunjukkan tidak ada perbedaan nyata dalam pemilihan tempat makan baik pada margin error 5%,10% maupun 15%. Kelompok umur menunjukkan pengetahuan yang sama baiknya dalam pemilihan tempat makan. Sedangkan pada kelompok tingkat pendidikan, hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap dalam pemilihan tempat makan pada semua margin error (Tabel 11). Tabel 11. Nilai Asymptotic Significance Hasil Analisis Statistik Kruskall-Wallis Terhadap Sikap Wisatawan dalam Pemilihan Tempat Makan Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelompok Usia dan Tingkat Pendidikan No 1 2 3
Kelompok Responden JenisKelamin Umur Pendidikan
Margin error (%) 5 10 15 5 10 15 5 10 15
Nilai perbedaan 0,460 0,460 0,460 0,768 0,768 0,768 0,021* 0,021* 0,021*
Keterangan Tidak ada perbedaan nyata Tidak ada perbedaan nyata Tidak ada perbedaan nyata Tidak ada perbedaan nyata Tidak ada perbedaan nyata Tidak ada perbedaan nyata Ada perbedaan nyata Ada perbedaan nyata Ada perbedaan nyata
Keterangan: - Tanda *pada masing-masing kelompok responden yang menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada margin error yang sama
Persepsi Wisatawan TerhadapKuliner Khas Kuningan Avenzora (2008) menerangkan bahwa dalam penilaian potensi suatu objek wisata setidaknya perlu untuk menilai 7 macam aspek nilai yang terkait dan berasosiasi dalam potensi suatu objek wisata, yaitu 1) keunikan, 2) kelangkaan, 3) keindahan, 4) seasonalitas, 5) aksebilitas, 6) sensitifitas dan 7) fungsi sosial. Dalam hal indikator potensi kuliner, Avenzora (2008) menyebutkan hal yang perlu dinilai adalah 1) keunikan, 2) kelangkaan, 3) citra rasa, 4) fungsi sosial, 5) aksesibilitas, 6) seasonality dan 7) sensitifitas kuliner tersebut. Wisatawan akan memberikan penilaian sesuai persepsi mereka mengenai kuliner tersebut. Morgan et al.(2002) menyebutkan bahwa persepsi wisatawan tentang kuliner khas dari suatu daerah penting diketahui dalam rangka membangun merek suatu daerah. Selanjutnya dikatakan bahwa kekayaan sumber bahan makanan merupakan aset budaya yang perlu dilestarikan, dimanfaatkan dan dikembangkan. Pada akhirnya, keberadaan wisata kuliner yang unik dan khas akan memberikan dampak positif terhadap kunjungan wisatawan yang akan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat (Morgan et al. 2002). Kajian mengenai persepsi wisatawan terhadap produk wisata kuliner Kuningan sangat terbatas. Berikut ini uraian deskripsi hasil penelitian persepsi
31
wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan yaitu tape ketan, ketempling, keripik gadung dan opak bakar. Persepsi wisatawan terhadap keunikan kuliner Kuningan
Presentase(%)
Aspek keunikan menggambarkan nilai eksistensi suatu objek atau event dalam konteks kepariwisataan (Avenzora, 2008). Aspek keunikan dalam kuliner Indonesia memiliki banyak variasi bahan makanan, teknik pengolahan, dan bumbu (Wibowo, 2003). Aspek keunikan dinilai dari jenis, komposisi, bentuk, warna, porsi dan tata cara penyajian dan tata cara memakan kuliner tersebut yang spesifik (Avenzora, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tape ketan, keripik gadung dan opak bakar dinilai sangat unik oleh responden dengan persentase masing-masing 62%, 43% dan 45%. Tape unik pada kemasannya yang berupa daun jambu; sementara keripik gadung dinilai unik karena bahan bakunya. Opak bakar dinilai sangat unik pada aspek komposisi, bentuk, warna, porsi dan tata cara penyajian/kemasan. Sementara itu, ketempling dinilai wisatawan unik dari bentuknya dengan persentase 37% (Gambar 2). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
62
6
7
10 8 10
2 5
1 2 2 4
6
Sangat Tidak Tidak Unik Unik
Agak Tidak Unik
Biasa Saja
0
1 3
3
11
17
21
13
Agak Unik
17 15
45
43
37
29 20
Unik
Sangat Unik
Penilaian Terhadap Indikator Keunikan Tape ketan
Keripik Gadung
Ketempling
Opak bakar
Gambar 2. Persepsi Wisatawan Terhadap Keunikan Kuliner Di Kabupaten Kuningan Persepsi wisatawan terhadap kelangkaan kuliner Kuningan Aspek kelangkaan merupakan representasi komperatif dari intangible value (nilai yang tak berwujud) suatu objek wisata terhadap objek sejenis lainnya (Avenzora,2008). Lebih lanjut Avenzora (2008) menggambarkan kelangkaan berdasarkan jenis kuliner tersebut spesifik daerah, eksistensinya sudah lama, sulit dibuat masyarakat lain, proses regenerasi keahlian membuat makanan tersebut sulit dan eksistensi kuliner tersebut mempunyai momentum dan histori yang sangat kuat dengan masyarakat setempat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa responden terbanyak menyatakan tape ketan dan keripik gadung sangat langka dengan persentase masing-masing 57% dan 50%. Sementara ketempling dan opak bakar dinilai langka dengan
32
Presentase (%)
persentase masing-masing 31%. Eksistensi tape ketan mempunyai momentum dan histori yang sangat kuat dengan eksistensi sosial masyarakat setempat. Sedangkan untuk gadung perlu dinilai sangat langka karena perlu keahlian khusus untuk membuat keripik gadung yang aman untuk dikonsumsi, mengingat umbi gadung mengandung racun apabila tidak diolah dengan baik. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
57 31 31 7
2 5 5
4 3 6 6
5 1 1 1
Sangat Tidak Tidak Langka Agak Tidak Langka Langka
4
11 9 9
Biasa Saja
13
15 18 18
Agak Langka
10
50 30 30
18
Langka
Sangat Langka
Penilaian Terhadap Indikator Kelangkaan Tape ketan
Keripik Gadung
Ketempling
Opak bakar
Gambar 3 Persepsi Wisatawan Terhadap Kelangkaan Kuliner di Kabupaten Kuningan Persepsi wisatawan terhadap citra rasa kuliner Kuningan Citra rasa diantaranya menggambarkan penerimaan wisatawan terhadap rasa kuliner, keinginan untuk mencicipnya lagi, tidak mengganggu indra pencicip dan pencernaan dan meningkatkan selera makan serta tidak ada citra rasa yang ekstrim (Avenzora, 2008). Hasil penelitian terhadap citrarasa kuliner tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar menunjukkan bahwa responden terbanyak menyatakan citra rasanya lezat dengan persentase masing-masing 31%. Kuliner dapat diterima oleh semua golongan atau lapisan masyarakat, menimbulkan keinginan untuk mencicip pada suatu saat nanti dapat dan meningkatkan selera makan/minum para pencicip.
Presentase (%)
33
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
5 5 5 5
6 6 6 6
Sangat Tidak Tidak Lezat Lezat
1 1 1 1 Agak Tidak Lezat
9 9 9 9 Biasa Saja
31 31 31 31
30 30 30 30
Lezat
Sangat Lezat
18 18 18 18
Agak Lezat
Penilaian Terhadap Indikator Citra Rasa Tape ketan
Keripik Gadung
Ketempling
Opak bakar
Gambar 4. Persepsi Wisatawan Terhadap Citra Rasa Kuliner Di Kabupaten Kuningan. Persepsi wisatawan terhadap fungsi sosial kuliner Kuningan Aspek sosial penting untuk diketahui karena adanya potensi berbagai dampak sosial dalam kegiatan wisata (Avenzora, 2008). Penilaian terhadap indikator fungsi sosial kuliner diantaranya meliputi : kuliner tersebut diyakini dan dipercaya masyarakat setempat mempunyai sejarah yang sangat kuat dengan cikal bakal dan perkembangan masyarakat setempat, merupakan salah satu sumber elemen kehidupan sosial budaya, sumber elemen budaya pada berbagai upacara budaya, digunakan sebagai sumber ekonomi utama bagi kehidupan sosial ekonomi, dan merupakan salah satu identitas regional bagi masyarakat setempat (Avenzora, 2008). Hasil penelitian terhadap fungsi sosial kuliner menunjukkan bahwa tape, keripik gadung, ketempling dan opak bakar diyakini merupakan salah satu identitas regional bagi masyarakat setempat, diyakini dan dipercaya masyarakat setempat mempunyai sejarah yang sangat kuat dengan cikal bakal dan perkembangan berkehidupan komunitas masyarakat tersebut.
Presentase (%)
34
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
5 5 5 5
6 6 6 6
1 1 1 1
Sangat Tidak Tidak diyakini Agak Tidak diyakini diyakini
9 9 9 9 Biasa Saja
31 31 31 31
30 30 30 30
Diyakini
Sangat Diyakini
18 18 18 18
Agak diyakini
Penilaian Terhadap Indikator Fungsi Sosial Tape ketan
Keripik Gadung
Ketempling
Opak bakar
Gambar 5. Persepsi Wisatawan Terhadap Fungsi Sosial Kuliner di Kabupaten Kuningan Kuliner juga digunakan sebagai salah satu sumber elemen ekonomi utama bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dewasa ini, di Kuningan tape ketan identik dengan desa Tarikolot Cigugur, ketempling identik dengan daerah Ciawi gebang dan gadung identik dengan kelurahan Citangtu. Persepsi wisatawan terhadap aksesibilitas kuliner Kuningan.
Presentase (%)
Aspek aksesibilitas menggambarkan rentang kondisi dan proses yang harus dilakukan wisatawan dalam mendatangi tempat objek tersebut berada, apakah mudah atau sulit dijangkau (Avenzora, 2008). Diduga, semakin mudah akses wisatawan untuk mendapatkan kuliner yang diinginkannya akan semakin popular kuliner tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan adanya kemudahan akses untuk mendapatkan kuliner tape ketan, gadung, ketempling dan opak bakar. Kuliner tersebut mudah ditemukan, lokasi penjualan umumnya terdapat di pinggir jalan raya. Hal ini merupakan keunggulan yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam pengembangan wisata kuliner. 100 80 60 40 20 0
5 5 5 5
6 6 6 6
1 1 1 1
Sangat Tidak Tidak mudah Agak Tidak mudah ditempuh mudah ditempuh ditempuh
9 9 9 9 Biasa Saja
18 18 18 18 Agak mudah ditempuh
31 31 31 31
30 30 30 30
mudah ditempuh
Sangat mudah ditempuh
Penilaian Terhadap Indikator Aksesibiltas Tape ketan
Keripik Gadung
Ketempling
Opak bakar
Gambar 6. Persepsi Wisatawan Terhadap Aksesbilitas Kuliner di Kabupaten Kuningan.
35
Persepsi wisatawan terhadap seasonality (musiman) kuliner Kuningan.
Presentase (%)
Avenzora (2008) menerangkan seasonalitas sebagai waktu ketersediaan suatu objek untuk bisa diakses wisatawan dalam hal memenuhi kepuasan berwisatanya. Lebih lanjut diterangkan bahwa makin tinggi nilai seasonalitas berarti semakin jarang objek tersebut bisa tersedia untuk wisatawan. Namun dalam keseharian banyak masyarakat memaknainya secara terbalik. Untuk menghindari kerancuan dalam penilaian, maka indikator-indikator yang dipakai dalam metode penilaian dirancang sedemikian rupa sejalan dengan pemahaman umum masyarakat, yaitu semakin tinggi nilai berarti semakin mudah tersedia bagi kebutuhan wisatawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuliner tape ketan, ketempling, gadung dan opak bakar bukan merupakan kuliner musiman karena selalu tersedia setiap saat. 100 80 60 40 20 0
5 5 5 5
6 6 6 6
1 1 1 1
Sangat Tidak Tidak mudah Agak Tidak mudah didapatkan mudah didapatkan didapatkan
9 9 9 9 Biasa Saja
31 31 31 31
30 30 30 30
Agak mudah mudah didapatkan didapatkan
Sangat mudah didapatkan
18 18 18 18
Penilaian Terhadap Indikator Seasonality Tape ketan
Keripik Gadung
Ketempling
Opak bakar
Gambar 7. Persepsi Wisatawan Terhadap Seasonality (Musiman) Kuliner Di Kabupaten Kuningan Persepsi wisatawan terhadap sensitifitas kuliner Kuningan. Aspek sensitifitas merupakan representasi tata nilai sustainable tourism (wisata berkelanjutan) dalam menilai pengaruh kegiatan wisata terhadap keberlanjutan objek itu sendiri maupun elemen lingkungan sekitarnya (Avenzora, 2008). Indikator yang diamati meliputi kemudahan untuk mengenali kandungan bahan makana tersebut apakah melanggar nilai-nilai agama atau kepercayaan masyarakat, citra rasa yang tidak berubah karena perbedaan cara penyajian, tidak menimbulkan alergi atau gangguan pencernaan dan tidak mengganggu ekologi/lingkungan masyarakat setempat (Avenzora, 2008). Hasil penelitian terhadap sensitifitas kuliner tape ketan, gadung, ketempling dan opak bakar menunjukkan bahwa responden menilai kuliner tersebut sensitif. Untuk tape ketan konsumen umumnya khawatir munculnya kadar alkohol yang tinggi apabila tape sudah menjadi terlalu matang, apalagi bila tape yang matang tersebut disimpan di suhu ruang. Oleh sebab itu, para produsen dan penjual tape selalu menyarankan kepada para pembeli untuk menyimpan tape yang sudah matang di lemari es untuk menjaga kualitasnya (tidak muncul alkohol dalam kadar yang tinggi). Sementara untuk gadung, meskipun rasa keripik gadung
36
Presentase (%)
khas, tetapi konsumen masih memiliki rasa khawatir dengan racun yang terkandung pada umbi gadung pada saat umbi gadung tersebut belum diolah. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
31 31 31 31
30 30 30 30
Sensitif
Sangat sensitif
18 18 18 18 5 5 5 5
6 6 6 6
1 1 1 1
Sangat tidak Tidak sensitif Agak tidak sensitif sensitif
9 9 9 9 Biasa saja
Agak sensitif
Penilaian Terhadap Indikator Sensitifitas Tape ketan
Keripik Gadung
Ketempling
Opak bakar
Gambar 8. Persepsi Wisatawan Terhadap Sensitifitas Kuliner di Kabupaten Kuningan. Hasil pengamatan mengenai persepsi wisatawan terhadap kuliner khas Kuningan menunjukkan bahwa kuliner khas kuningan yaitu tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar, berpotensi untuk dikembangkan. Hal ini sejalan dengan wawancara secara langsung pada tahun 2015 kepada beberapa pemilik toko oleh-oleh di Kuningan yang menyebutkan bahwa jenis oleh-oleh yang paling banyak diminati adalah tape ketan dan opak bakar. Sementara ketempling dan keripik penjualannya juga cukup baik. Hasil penelitian Dewi (2013) juga menunjukkan penjualan oleh-oleh Kuningan cukup baik setiap bulannya, penjualan tape berkisar 300-2000 ember/bulan/toko, opak terjual 20900 bungkus/bulan/toko sedangkan ketempling berkisar 60-450 kg/bulan/toko. Asdiana (2014) menyatakan bahwa makanan dan minuman menjadi faktor penentu tujuan wisata bagi lebih dari sepertiga wisatawan (36 %) di Asia Pasifik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa makanan merupakan prioritas tersendiri dalam budget para wisatawan di Australia, China, Hongkong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sementara itu, sebanyak 43% wisatawan mengalokasikan hingga setengah dari total budget mereka untuk belanja makanan dan minuman. Sebanyak 49% wisatawan setuju bahwa keberagaman kuliner merupakan faktor yang paling penting, diikuti dengan keunikan kuliner yang ditawarkan, pilihan makanan yang lokal yang khas, serta pengalaman wisata budaya kuliner, seperti menghadiri pasar jajanan atau festival makanan.Bagi wisatawan Indonesia, mayoritas mengutamakan keberagaman kuliner serta keunikan kuliner lokal dalam memilih tujuan destinasi kuliner mereka.
37
Higienitas Rumah Makan Keadaan Umum Lokasi Penelitian Rumah makan adalah jasa usaha pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan yang permanen/semi permanen, dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, penyajian dan penjualan makanan dan minuman bagi umum di tempat usahanya (Depkes RI, 2002). Di Kuningan terdapat beberapa rumah makan yang menjadi tujuan kunjungan wisatawan, para pemudik maupun masyarakat setempat. Rumah makan tersebut menyajikan hidangan yang umum terdapat di rumah makan Sunda. Diantara rumah makan yang ramai dikunjungi adalah Rumah Makan Cipondok dan Rumah Makan Kita. Kedua rumah makan tersebut merupakan responden Rumah Makan yang diteliti higienitasnya secara makro dalam penelitian ini. Rumah Makan Cipondok terletak di luar kota Kuningan berjarak sekitar 4 km dari pusat kota Kuningan tepatnya di Jalan Raya Kadugede Cipondok, Kabupaten Kuningan. Jalan Raya tersebut menghubungkan pusat kota Kuningan dengan lokasi wisata Waduk Darma yang merupakan salah satu ikon ekowisata di Kuningan juga merupakan jalur utama menuju kota tetangga yakni Majalengka, Ciamis dan Cirebon. Rumah Makan Cipondok tidak pernah sepi pengunjung. Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan menunjukkan rumah makan Cipondok mendapatkan angka kunjungan wisatawan tertinggi dibandingkan rumah makan lainnya yakni pada tahun 2010 sebanyak 69.999 orang, tahun 2011 naik menjadi 73.558 orang, tahun 2012 naik menjadi 77.370 orang, tahun 2013 naik menjadi 78.145 orang, tahun 2014 81.165 orang dan pada tahun 2015 pada bulan Januari sampai April pengunjungnya sudah mencapai 222.598 orang. Sementara itu, Rumah Makan Kita terletak di pusat kota Kuningan tepatnya di jalan Jendral Sudirman No. 5 Kuningan. Rumah Makan ini merupakan rumah makan di dalam kota Kuningan yang banyak pengunjungnya. Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan menunjukkan pengunjung Rumah Makan Kita pada tahun 2013 sebanyak 12.653 orang, tahun 2014 sebanyak 16.263 orang dan tahun 2015 pada periode Januari-April 2015 sebanyak 8.878 orang. Higienitas Rumah Makan Hasil penelitian menunjukkan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Kuningan memiliki pengetahuan yang baik tentang higiene. Pengetahuan yang baik tersebut juga tergambar dalam sikap mereka saat menentukan tempat makan. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian para pengelola rumah makan setempat untuk selalu menyediakan makanan yang higiene untuk konsumennya. Faktor higiene rumah makan yang diamati dalam penelitian ini diantaranya mencakup: pemimpin, lokasi dan bangunan rumah makan, fasilitas dan kegiatan kebersihan, pengendalian hama, penyediaan dan sarana air bersih, proses pengolahan makanan, pembagian ruangan, cara dan alat
38
penyimpanan bahan makanan, pengadaan bahan mentah, penyajian makanan dan personal higiene. Pemimpin Pemilik rumah makan disini juga adalah pemilik rumah makan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemimpin rumah makan yang diamati juga merupakan pemilik rumah makan tersebut. Pemimpin rumah makan nampak sudah melaksanakan tugasnya dengan baik (Tabel 12). Tabel 12. Hasil Penelitian Terhadap Indikator Pemimpin
No. 1 2
Indikator Mendorong (memotivasi) bawahan untuk dapat kerja dengan giat dan tekun Membina bawahan agar dapat memikul tanggung jawab tugas secara baik Menciptakan iklim kerja yang baik dan harmonis
Skor Rumah Rumah Makan Makan Cipondok Kita 6 6 6
6
6
6
Menjadi penggerak yang baik dan dapat menjadi sumber kreatifitas Membina bawahan agar dapat bekerja secara efektif dan efisien Pemilik pernah mengikuti kurus/temu karya tentang higiene Pemimpin memberikan pengetahuan tentang higiene kepada semua karyawan Pemilik mengikutsertakan salah seorang karyawan untuk mengikuti kursus/pelatihan tentang higiene
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Pemimpin dan karyawan mengetahui tentang produk halal 10 Pemimpin/pengelola menyediakan fasilitas kebersihan di lingkungan usaha 11 Pemilik menerapkan hasil pelatihan higiene terhadap proses produksi
6
6
4
4
6
6
3 4 5 6 7 8 9
Keterangan: 1: Tidak pernah dilaksanakan, 2: Jarang dilaksanakan. 3: Agak jarang dilaksanakan,4:Biasa saja, 5: Agak sering dilaksanakan, 6: Sering dilaksanakan, 7:Selalu dilaksanakan
Lokasi dan bangunan Rumah Makan Hasil penilaian lokasi dan bangunan rumah makan menunjukkan lokasi dan bangunan sudah mendukung higiene dengan baik. Akan tetapi terdapat pula hal yang kurang mendukung yakni perkarangan (tempat parkir)
39
kurang terpelihara kebersihannya. Ventilasi ruangan sebaiknya ditambah. Lantai harus dibersihkan setiap saat, begitu pula dapur harus dibersihkan setiap selesai digunakan. Sementara itu, atap dan langit-langit perlu diperbaiki dan dibersihkan (Tabel 12). Tabel 13. Hasil Penelitian Indikator Lokasi dan Bangunan Rumah Makan
No. 1 2 3 4 5 6
7
8 9
Indikator Tidak berada pada arah angin dari sumber pencemaran debu, asap dan pencemaran lainnya Lingkungan bebas semak belukar/rumput liar Terdapat tempat sampah di lingkungan restoran Terpisah dari tempat tinggal Jalan terpilihara dengan bersih Tempat parkir: halaman restoran diberi papan nama perusahaan dan mencantumkan nomor pendaftaran layak higiene dan sanitasi makanan yang mudah dilihat Saluran pembuangan air kotor di halaman (yang berasal dari dapur dan kamar mandi) harus tertutup dan tidak menjadi tempat jalan masukknya tikus ke dalam bangunan , pembuangan air hujan lancar Pembagian ruangan: ada dapur dan ruang makan, ada toilet/jamban, ada gudang bahan makanan, ada ruang administrasi dan ada mushola Pintu masuk: menutup dan membuka arah luar, terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan dan membuka secara otomatis
Skor Rumah Rumah Makan Makan Cipondok Kita 6 6 6 6 6 4 6
6 6 6 4 6
6
6
6
6
6
6
Keterangan: 1: Tidak pernah terdapat, 2:Jarang terdapat. 3: Agak jarang terdapat,4:Biasa saja, 5: Agak sering terdapat, 6: Sering terdapat, 7:Selalu terdapat
Fasilitas dan kegiatan kebersihan Fasilitas kebersihan adalah sarana fisik bangunan dan perlengkapannya digunakan untuk memelihara kualitas lingkungan atau mengendalikan faktor lingkungan fisik yang dapat merugikan kesehatan manusia antara lain sarana air bersih, jamban, peturasan, saluran limbah, tempat cuci tangan, bak sampah, kamar mandi, lemari pakaian kerja, peralatan pencegahan terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya serta peralatan kebersihan Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan fasilitas dan kegiatan kebersihan di rumah makan sudah cukup tersedia dan cukup dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kebersihan toilet, kapasitas tempat sampah, tempat cuci tangan khusus karyawan dan adanya lap
40
tangan. Ketersediaan air bersih juga sudah mencukupi yaitu dari sumur dan PDAM. Tempat cuci tangan atau wastafel cukup tersedia dilengkapi dengan sabun pencuci tangan dan lap tangan. Hasil observasi juga menunjukkan saluran air limbah sudah baik karena terbuat dari bahan kedap air dan dengan sistem yang tertutup. Air limbah mengalir dengan lancar. Letak toilet juga terpisah dengan dapur dan ruang makan. Tempat sampah terdapat pada setiap ruangan seperti di dapur, tempat cuci peralatan, dan ruang makan. Tempat sampah terbuat dari bahan kedap air dan mempunyai tutup. Sampah diangkut setiap 24 jam sekali (jam 10 malam saat rumah makan akan ditutup). Pengendalian hama Pengendalian hama (pest control) adalah upaya pengendalian populasi hama serangga dan tikus untuk menciptakan lingkungan yang higiene agar tidak menimbulkan gangguan dan penyakit bagi manusia dan mencegah kerusakan bangunan beserta isinya akibat serangan hama. Hasil pengamatan menunjukkan pengendalian hama di rumah makan yang diamati agak tidak diperhatikan dengan baik. Hal ini terlihat dari tempat keluar masuknya hama tidak tertutup dengan rapi, banyaknya sisa bahan makanan yang tercecer di dapur, sehingga terlihat adanya lubang tikus dan lalat yang beterbangan. Penyediaan dan sarana air bersih Air bersih jumlahnya harus cukup memadai untuk seluruh kegiatan dan tersedia pada setiap tempat kegiatan. Air bersih yang tercemar akan mempengaruhi kegiatan masak memasak dan pada akhirnya akan menimbulkan penyakit yang berbahaya misalnya diare (Prasetya, 2015). Hasil penelitian terhadap sarana sanitasi air bersih menunjukkan bahwa responden sudah memiliki sanitasi air bersih yang memadai. Sumber air bersih yang digunakan untuk mengolah makanan berasal dari air PDAM dan sumur gali yang umumnya kualitas dan kuantitasnya baik dan aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian Gurning (2000) yang menunjukkan bahwa di rumah makan di terminal Kota Semarang 55% sarana air bersihnya sudah dalam kategori baik. Proses pengolahan makanan Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan yang siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti kaidah prinsip-prinsip higiene sanitasi (Depkes RI, 2004). Bagi para pengelola jasa pelayanan makanan, makanan harus merupakan titik pandang yang perlu pencermatan (Bartono, 2006). Para turis sangat memperhatikan kebersihan ruangan, kenyamanan ruangan, penggunaan bahan makanan yang sehat dan aman serta penyajian makanan yang memperindah penampilan dari makanan (Manalu, 2008). Proses pengolahan
41
makanan yang diamati meliputi pemilihan bahan baku, pencucian bahan makanan dan peralatan produksinya. Bahan baku makanan perlu mendapat perhatian terutama bahan-bahan makanan yang mudah membusuk/rusak seperti daging, ikan, susu, telur, sayuran dan buah. Salah satu upaya mendapatkan bahan makanan yang baik adalah menghindari penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas (liar) karena kurang dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Bahan baku yang diamati dalam penelitian ini meliputi beras, ikan, udang, buah-buahan, umbi-umbian, telur dan makanan kering. Hasil penelitian menunjukkan secara umum bahan baku yang digunakan di rumah makan sudah memenuhi syarat sebagai bahan baku yang baik. Hal yang perlu diperhatikan adalah buah-buahan yang meskipun sudah berkualitas baik (tidak busuk, tidak berbau formalin, tidak nampak bekas pestisida dan tidak ada bekas hama) akan tetapi tingkat kematangannya umumnya kurang diperhatikan. Proses pencucian makanan yang diamati dalam penelitian ini meliputi pencucian beras, ikan, udang, buah-buahan, umbi-umbian dan telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencucian bahan makanan di rumah makan yang diamati umumnya telah dilakukan dengan baik, kecuali pada ikan. Ikan harus dicuci lebih bersih dengan cara membuang insang dan isi perutnya. Hasil pengamatan menunjukkan peralatan produksi telah mendukung higiene karena peralatan sudah cukup baik, yakni: keadaannya bersih, utuh, permukaan yang kontak langsung tidak ada sudut mati, tidak mengandung zat beracun dan juga peralatan dirawat dengan baik. 7 Keadaan bersih
6
Skor
5
Baik dan utuh
4
Permukaan yang kontak langsung tidak ada sudut mati
3
Tidak mengandung zat beracun
2 1
Peralatan dan wadah yang masih digunakan dirawat baik
0 Rumah makan Cipondok
Rumah makan kita
Rumah Makan yang Menjadi Objek Penelitian
Keterangan: 1: Tidak pernah terdapat, 2:Jarang terdapat. 3: Agak jarang terdapat,4:Biasa saja, 5: Agak sering terdapat, 6: Sering terdapat, 7:Selalu terdapat
Gambar 9. Hasil Penelitian Indikator Peralatan Produksi Pembagian Ruangan Dapur
42
Dapur adalah suatu unit yang memiliki fungsi sebagai tempat untuk melakukan pengolahan bahan baku menjadi makanan yang siap disajikan. Hal yang sangat penting bagi dapur suatu rumah makan adalah kebersihannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dapur terlihat sudah mendukung higiene (Tabel 14). Akan tetapi beberapa hal perlu diperbaiki diantaranya ruang dapur harus bebas serangga, tikus dan hewan lainnya serta langit-langit juga perlu lebih bersih.
Tabel 14 Hasil Penelitian Indikator Dapur Rumah Makan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Indikator Ukuran dapur dan penerangannya memadai Ruang dapur harus bebas dari seranga, tikus dan hewan lainnya Ruangan dapur terpisah dengan ruangan lainnya Lantai: bersih, berwarna terang, tidak licin dan kedap air Langit-langit: bersih, berwarna terang, rata, kedap air, tidak mengelupas Dinding: bersih, berwarna terang, rata, kedap air, tidak mengelupas Terdapat tempat pencucian peralatan, tempat penyimpanan bahan makanan, tempat pengolahan dan tempat persiapan Tersedianya sedikitnya meja peracikan, peralatan, lemari penyimpanan, rak-rak peralatan dan bak-bak pencucian Ada cungkup dan cerobong asap Terpasang tulisan pesan-pesan higiene
Skor Rumah Rumah makan makan Cipondok Kita 6 6 6 6 6 5
6 5
5
5
6
6
5
5
6
6
5 5
5 5
Keterangan: 1: Tidak pernah terdapat, 2:Jarang terdapat. 3: Agak jarang terdapat,4:Biasa saja, 5: Agak sering terdapat, 6: Sering terdapat, 7:Selalu terdapat
Ruang Makan Rumah makan yang diamati umumnya memiliki ruang makan yang sudah cukup baik, meskipun beberapa hal masih harus diperhatikan (Gambar 10). Ruang makan sudah memiliki kursi yang memadai, ruangan cukup luas, terpisah dengan ruangan lain, bebas serangan hama, tersedia fasilitas cuci tangan juga lantai, dinding dan langit-langit bersih dan berwarna terang. Akan tetapi, meja dan kursi nampak agak tidak bersih juga etalase makanan yang kurang tertutup.
Skor
43
7
Kursi memadai
6
Luas
5
Pintu terbuka keluar
4
Meja dan kursi bersih
3
Etalase makanan tertutup
2
Terpisah dengan ruangan lain Bebas serangan hama
1
Tersedia fasilitas cuci tangan
0 Rumah makan Cipondok
Rumah makan kita
Rumah Makan yang Menjadi Objek Penelitian
Lantai, dinding dan langit-langit: bersih, berwarna terang
Keterangan: 1: Tidak pernah terdapat, 2:Jarang terdapat. 3: Agak jarang terdapat,4:Biasa saja, 5: Agak sering terdapat, 6: Sering terdapat, 7:Selalu terdapat
Gambar 10. Hasil Penelitian Indikator Ruang Makan Cara dan Alat Penyimpanan Bahan Makanan Cara dan alat penyimpanan bahan makanan berpengaruh terhadap higienitas makanan. Penyimpanan dilakukan agar bahan makanan tidak mudah rusak dan kehilangan nilai gizinya. Sebelum disimpan, bahan makanan harus dibersihkan dengan cara dicuci, dikeringkan, dibungkus lalu disimpan dalam ruangan yang bersuhu rendah (Kusmayadi, 2008). Penyimpanan makanan dalam freezer tidak membunuh bakteri melainkan hanya menghambat pertumbuhannya. Apabila makanan dikeluarkan dari freezer dan temperatur menjadi tinggi, maka bakteri akan mulai memperbanyak diri kembali, bakteri baru berhenti tumbuh apabila makanan disimpan pada temperatur di bawah 30C (Moehyi, 1992). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan bahan makanan diantaranya: 1) makanan yang disimpan diberi tutup khususnya bahan kalengan apabila telah dibuka sebelumnya, 2) rak tempat penyimpanan harus dalam keadaan bersih, dan 3) pengambilan bahan-bahan apabila akan diolah harus dilakukan dengan cara mengambil bahan-bahan yang terletak paling atas (Sukresno dan Napitupulu, tanpa tahun). Hasil penelitian menunjukkan penyimpanan bahan makanan telah dilakukan dengan baik (Tabel 15).
44
Tabel 15. Hasil Indikator Cara Penyimpanan Bahan Makanan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Indikator Setiap bahan makanan yang disimpan diatur ketebalannya Setiap bahan makanan ditempatkan secara terpisah menurut jenisnya, dalam wadah (container) masingmasing. Makanan disimpan di dalam ruangan penyimpanan sedemikian hingga terjadi sirkulasi udara dengan baik agar suhu merata keseluruh bagian. Penyimpanan di dalam lemari es Penyimpanan makanan kering: Suhu cukup sejuk, udara kering dengan ventilasi yang baik Ruangan bersih, kering, lantai dan dinding tidak lembab Makanan diletakkan dalam rak-rak yang tidak menempel pada dinding, lantai dan langit-langit Rak mudah dibersihkan dan dipindahkan Setiap barang yang dibeli harus dicatat
Skor Rumah Rumah Makan Makan Cipondok Kita 5 5 5
5
5
5
5 5
5 5
5
5
5
5
5 5
5 5
Keterangan: 1: Tidak pernah dilakukan, 2:Jarang dilakukan. 3: Agak jarang dilakukan,4:Biasa saja, 5: Agak sering dilakukan, 6: Sering dilakukan, 7:Selalu dilakukan
Pengadaan Bahan Mentah Bahan mentah perlu diperhatikan karena merupakan bahan baku dari makanan yang akan disajikan. Bahan mentah perlu dijaga supaya rusak, terhindar pencemaran baik yang terbawa bahan makanan maupun faktor lingkungan yang akan masuk ke bahan makanan. Hasil pengamatan menunjukkan secara umum bahan mentah yang digunakan mendukung higiene. Bahan mentah (baku) dibeli dari pedagang langganan. Beberapa dikirim langsung oleh pemasok diantaranya bahan mentah berupa beras, ikan, ayam, telur, daging, polong-polongan, dan bumbu. Sayur dan buah dibeli oleh karyawan langsung ke pasar. Ikan segar umumnya ikan air tawar (mujair, mas) dikirim pedagang menggunakan plastik beroksigen. Daging dan ayam dikirim dalam keadaan segar menggunakan box yang diberi es. Penyajian Makanan Penyajian makanan yang menarik akan memberikan nilai tambah bagi konsumen. Penggunaan pembungkus seperti plastik, kertas atau boks plastik harus dalam keadaan bersih dan tidak berasal dari bahan-bahan yang dapat menimbulkan racun. Makanan yang disajikan pada tempat yang bersih,
45
Skor
peralatan yang digunakan bersih, penyaji berpakaian bersih dan rapi menggunakan tutup kepala dan celemek serta tidak boleh terjadi kontak langsung dengan makanan yang disajikan (Kusmayadi, 2008). Beberapa hal perlu diperhatikan dalam penyajian makanan, yakni: wadah, edible part, panas, alat bersih, baik dan handling (Dinkes. 2015). Peralatan yang digunakan harus dalam kondisi baik dan bersih, petugas yang menyajikan harus sopan serta senantiasa menjaga kesehatan dan kebersihan pakaiannya. Setiap jenis makanan ditempatkan dalam wadah terpisah dan diusahakan tertutup. Setiap bahan yang disajikan dalam penyajian adalah merupakan bahan makanan yang dapat dimakan (edible part). Harus dihindari pemakaian bahan yang membahayakan kesehatan seperti stapler besi, tusuk gigi atau bunga plastik. Makanan diusahakan tetap dalam keadaan panas (soup, gulai dan sebagainya) jadi harus ditempatkan dalam food warmer. Peralatan yang digunakan sepeti wadah dan tutupnya, dus, pring, gelas, mangkuk harus bersih dan dalam kondisi baik. Bersih artinya sudah dicuci dengan cara yang higienis. Baik artinya utuh, tidak rusak atau cacat dan bekas pakai. Penanganan makanan maupun alat makan tidak kontak langsung dengan anggota tubuh terutama tangan dan bibir untuk mencegah pencemaran dari tubuh dan memberi penampilan yang sopan, baik dan rapi Hasil penelitian menunjukkan tempat penyajian dan wadah yang dipakai cukup bersih, makanan disajikan dalam keadaan hangat. Akan tetapi, etalase makanan jadi tidak selalu dalam keadaan tertutup gorden sehingga berpotensi masuknya lalat atau debu yang dapat mengkontaminasi makanan. 7 6 5 4 3 2 1 0
Hangat Wadah dalam keadaan bersih cara membawa tertutup
Rumah makan Cipondok
Rumah makan kita
Pinggan yang berisi makanan tidak tertumpuk
Rumah Makan yang Menjadi Objek Penelitian
Keterangan: 1: Tidak pernah dilakukan, 2:Jarang dilakukan. 3: Agak jarang dilakukan,4:Biasa saja, 5: Agak sering dilakukan, 6: Sering dilakukan, 7:Selalu dilakukan
Gambar 11. Hasil Penelitian Indikator Penyajian Makanan Personal higiene Personal higiene adalah kebersihan dari masing-masing karyawan rumah makan (penjamah makanan), mulai dari karyawan bagian persiapan, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan maupun dalam penyajian makanan. Sikap dan tindakan seorang penjamah mempengaruhi kualitas makanan yang disajikan. Penjamah yang sedang sakit flu, demam dan diare sebaiknya tidak dilibatkan dahulu dalam proses pengolahan makanan; jika terjadi luka penjamah harus menutup luka dengan pelindung kedap air misalnya plester atau sarung tangan plastik (Kusmayadi, 2008).
46
Hasil penelitian menunjukkan higiene perorangan para penjamah makanan di rumah makan yang diamati sudah agak baik. Hasil pengamatan langsung dan wawancara tentang riwayat penyakit menular, tidak seorang pun responden yang sedang dalam keadaan sakit. Hal ini sangat penting karena penjamah makanan dapat menjadi sumber pencemaran terhadap makanan, terutama apabila penjamah makanan sedang menderita suatu penyakit. Pemeriksaan kesehatan karyawan dilakukan meskipun tidak secara berkala. Namun, karyawan agak tidak terbiasa menggunakan celemek saat bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Susanna (2003) yang menyatakan 85 % penjamah makanan tidak mengenakan celemek pada saat bekerja sertapenelitian Arisman (2000) di Palembang yang menyatakan hanya 6,6% penjamah makanan yang mengenakan celemek pada saat memasak. Celemek merupakan kain penutup baju yang digunakan sebagai pelindung agar baju tetap bersih. Menurut Moehyi (1992) pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan hygiene pengolahan makanan karena tidak terdapat debu atau kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pencemaran makanan. Sebagian besar responden mencuci tangan pada saat hendak menjamah makanan. Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum melayani pembeli merupakan sumber kontaminan yang cukup berpengaruh terhadap kebersihan bahan makanan karena dapat menimbulkan kontaminasi silang (cross contamination). Tabel 16. Hasil Penelitian Personal Higiene
No. 1 2 3 4
5 6 7
Indikator Karyawan harus selalu menjaga kebersihan badannya Kayawan seharusnya mengenakan pakaian kerja/celemek lengkap dengan penutup kepala, sarung tangan, dan sepatu kerja Karyawan harus menutup luka dengan perban Karyawan harus selalu mencuci tangan sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah, atau bahan yang kotor dan sesudah keluar dari toilet Selalu membersihkan diri (mencukur rambut, kumis atau jenggot, mandi, kuku) sebelum bekerja Selalu bekerja dengan penuh perhatian (tidak berbicara dan tidak mengunyah pangan atau merokok sambil bekerja) Selalu menjaga lingkungan kerjanya tetap bersih
Skor Rumah Rumah Makan Makan Cipondok Kita 6 6 3
3
3 6
3 6
3
3
6
6
3
3
47
8 9 10 11
Tidak menggunakan make up dan deodorant yang berlebihan harus dihindari Perhiasan dan aksesori tidak dilepas sebelum pekerja memasuki daerah pengolahan makanan Celemek harus bersih dan tidak boleh digunakan sebagai lap tangan Pekerja yang berambut panjang harus mengikat rambutnya dan disarankan menggunakan topi atau hairnet
Keterangan:
6
6
6
6
3
3
3
3
1: Tidak pernah diterapkan, 2:Jarang diterapkan. 3: Agak jarang diterapkan,4:Biasa saja, 5: Agak sering diterapkan, 6: Sering diterapkan, 7:Selalu diterapkan
Higienitas rumah makan merupakan hal yang sangat penting. Hasil penelitian Wijaya (2014) menunjukkan wisatawan lebih suka makan makanan lokal Indonesia di restoran hotel daripada di tempat-tempat lain seperti restoran kecil dan warung makanan jalanan karena mereka berpersepsi negatif tentang standar kebersihannya. Standar kebersihan di restoran hotel dianggap lebih tinggi. Lee et.al. (2015) menyatakan bahwa citra tempat makan akanrusak jika makanan yang tersedia tidak aman dikonsumsi dan kotor tanpa ada upaya untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Dalam hal ini Thailand dan Singapura sangat memperhatikan kualitas makanan tradisional, dari segi kebersihan dan keamanan pangan dengan memberikan sertifikat dan label pada setiap rumah makan. Hal ini merupakan pengakuan pemerintah terkait bahwa rumah makan tersebut aman untuk dikunjungi turis dan bagian dari promosi makanan tradisional dalam paket-paket wisata (Wongso,1993). Higiene di Produsen Oleh-oleh yang Belum Memiliki Nomor P-IRT (Non P-IRT) Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dalam memenuhi kebutuhan wisatawan akan oleh-oleh, maka ketersediaan kuliner yang higienis sangat penting. Wisatawan harus mendapatkan jaminan bahwa produk oleh-oleh yang dibelinya aman untuk dikonsumsi. Higiene di tempat pembuat oleh-oleh sangat penting untuk diperhatikan terutama higiene di tempat pembuat oleh-oleh yang belum memiliki nomorP-IRT. Industri Rumah Tangga Pangan (IRT-P) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal (rumah) dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. (BPOM, 2012). Dinas Kesehatan setempat akan memberikan nomor P-IRT bagi IRT yang produknya sudah memenuhi syarat higiene dan sanitasi yang telah ditentukan. Hal ini untuk menjamin kualitas produk yang dihasilkan. Di Kuningan masih banyak terdapat industri rumah tangga pembuat oleh-oleh yang belum memiliki nomor P-IRT.Untuk kenyamanan wisatawan dan kelangsungan usaha maka higiene dari produk yang dhasilkan usaha non P-IRT tersebut tentunya harus mendapatkan perhatian. Dewasa ini, industri
48
rumahan oleh-oleh menjadi salah satu pilihan usaha yang menarik bagi wirausahawan di Kabupaten Kuningan. Kepala Disperindag Kuningan (komunikasi pribadi, 2015) menyatakan terjadi peningkatan jumlah usaha kecil di bidang makanan seiring bertambahnya jumlah wisatawan ke kota Kuningan. Penelitian dilakukan terhadap industri rumah tangga pangan yang belum memiliki nomor P-IRT 9non-P-IRT) sebanyak 20 non-P-IRT tape ketan, 11 non P-IRT ketempling, 9 non- IRT opak bakar dan 2 non P-IRT keripik gadung yang tersebar di beberapa lokasi sesuai data dari dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kuningan. Higiene non P-IRT Oleh-oleh Tape Ketan, Keripik Gadung, Ketempling dan Opak Bakar di Kabupaten Kuningan Dalam pengembangan eco culinary tourism, masyarakat lokal yang menjadi pelaku usaha eco-culinary tourism, harus memperhatikan antara lain higine, sanitasi dan estetika. Higienitas berkaitan dengan upaya penjagaan/pencegahan terhadap timbulnya suatu penyakit yang disebabkan kurang diperhatikannya aspek kebersihan dan kesehatan suatu hidangan makanan, meliputi kualitas bahan makanan dan hasil pengolahan makanan. Bahan makanan harus dalam kondisi baik, segar, tidak rusak atau berubah bentuk baik warna dan rasanya, serta tidak mengandung bahan yang dilarang (Pinata dan Cecep, 2008). Penelitian higiene pada proses pembuatan oleh-oleh khas Kuningan (tape ketan, ketempling, keripik gadung dan opak bakar) ke beberapa tempat usaha pembuatan oleh-oleh tersebut yang belum memiliki nomor P-IRT meliputi aspek: pemimpin, lokasi dan lingkungan produksi, bangunan dan fasilitas IRT, peralatan produksi, suplai dan sarana penyediaan air, fasilitas dan kegiatan kebersihan, pengendalian dan pemberantasan hama, pemilihan bahan baku, ruang produksi, ruang penjemuran, cara memasak, cara membungkus makanan, cara dan ruang penyimpanan produk, gudang bahan makanan dan personal higiene. Hasil pengamatan terhadap higiene di tempat pembuatan oleh-oleh yang belum memiliki nomor P-IRT (Non-P-IRT) diuraikan berikut: Pemimpin Pemimpin di usaha oleh-oleh ini adalah juga pemilik usaha tersebut. Hasil pengamatan terhadap pemimpin di usaha kuliner tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar menunjukkan adanya perbedaan karakter pemimpinnya. Di semua usaha oleh-oleh yang diamati nampak hal yang baik dari pemimpin yakni pemimpin membina bawahan agar dapat memikul tanggung jawab tugas masing-masing secara baik, mampu menciptakan iklim kerja yang baik dan harmonis serta semua pemimpin, karyawan mengetahui tentang produk halal (skor 6). Akan tetapi terdapat pula hal yang masih perlu diperbaiki karena pemimpin umumnya tidak pernah mengikuti kursus (kecuali usaha gadung), tidak mengikutkan salah seorang karyawan untuk pelatihan
49
higiene dan tidak menyediakan fasilitas kebersihan yang memadai disekitar lingkungan usaha (Tabel 16). Tabel 17. Hasil Penelitian Karakteristik Pemimpin No. 1 2
Indikator Mendorong (memotivasi) bawahan untuk dapat bekerja dengan giat dan tekun Membina bawahan agar dapat memikul tanggung jawab tugas
Tape 5
Gadung 6
5
6
Skor Ketempling Opak 5 2 5
6
50
Tabel 17. Hasil Penelitian Karakteristik Pemimpin (Lanjutan) No.
Indikator
3
Membina bawahan agar dapat bekerja secara efektif dan efisien Menciptakan iklim kerja yang baik dan harmonis Mendorong (memotivasi) bawahan untuk dapat bekerja dengan giat dan tekun Menjadi penggerak yang baik dan dapat menjadi sumber kreatifitas Pemiliki/pengusaha pernah mengikuti kursus/temu karya Pemimpin atau pengelola memberikan pengetahuan tentang higiene kepada semua penjamah makanan Pemilik atau pengelola mengikutkan salah seorang karyawan untuk mengikuti kursus higiene Semua pemimpin, karyawan mengetahui tentang produk halal Menyediakan fasilitas higiene di lingkungan usaha
4 5 6 7 8
9
10 11
Skor Ketempling Opak
Tape
Gadung
5
6
5
2
6
6
5
6
5
6
5
2
5
3
2
2
2
6
2
2
4
3
2
6
2
3
2
2
5
6
5
6
2
3
2
2
Keterangan: 1: Tidak pernah memiliki jiwa kepemimpinan, 2:Jarang memiliki jiwa kepemimpinan. 3: Agak jarang memiliki jiwa kepemimpinan,4:Biasa saja, 5: Agak sering memiliki jiwa kepemimpinan, 6: Sering memiliki jiwa kepemimpinan, 7:Selalu memiliki jiwa kepemimpinan
Lokasi dan Lingkungan Produksi Lokasi IRTP perlu diperhatikan keadaan dan kondisi lingkungannya untuk mencegah adanya pencemaran dan melindungi pangan yang diproduksinya. Lokasi IRTP seharusnya dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau, asap, kotoran, dan debu sementara lingkungan seharusnya selalu dipertahankan dalam keadaan bersih dengan berbagai cara, seperti : sampah dibuang dan tidak menumpuk, tempat sampah selalu tertutup, dan jalan dipelihara supaya tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik (Anonim, 2012). Jarak minimal usaha pengolahanmakanan dari tempat-tempat sumber pencemar adalah 100 meter; apabila tempat pengolahan makanan berjarak kurang dari 100 meter dari sumber pencemar maka dapat
51
mengakibatkan terjadinya proses pencemaran pada makanan dan terjadinya kontaminasi silang pada makanan yang dihasilkan (Giyarto, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan produksi tape ketan, keripik gadung, ketempling, dan opak bakar umumnya agak tidak baik dalam menunjang higiene meskipun di sekitar lingkungan produksi masih nampak hewan peliharaan (kucing dan ayam) berkeliaran. Tempat pembuangan sampah dan penumpukan barang bekas terletak tidak jauh dari lingkungan produksi. Tempat sampah selalu tertutup dan selokannya berfungsi dengan baik. Lingkungan produksi berada di daerah sekitar tempat pembuangan sampah baik sampah padat maupun sampah cair atau daerah penumpukan barang bekas dan daerah kotor lainnya serta tempat sampah tidak selalu tertutup. Di bagian belakang tempat produksi terdapat semak belukar, terlihat pula genangan air bekas mencuci singkong di sekitar lingkungan produksi. Di lingkungan produksi juga ditemukan semut karena lingkungan kurang dijaga kebersihannya. Lingkungan dipertahankan dalam keadaan bersih agar tidak berdebu dan selokan dipelihara. Tabel 18. Hasil Penelitian Karakteristik Lingkungan Produksi No. 1 2 3 4 5
6 7
Indikator Lokasi yang memiliki kemudahan akses jalan masuk Prasarana jalan yang memadai Tidak Bebas pencemaran, semak belukar dan genangan air Tidak bebas dari sarang hama, khususnya serangga dan binatang pengerat Berada di daerah sekitar tempat pembuangan sampah baik sampah padat maupun sampah cair atau daerah penumpukan barang bekas dan daerah kotor lainnya IRT tidak berada di daerah pemukiman penduduk yang kumuh. Lingkungan dipertahankan dalam keadaan bersih
Skor Ketempling Opak
Tape
Gadung
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
52
Tabel 18. Hasil Penelitian Karakteristik Lingkungan Produksi (Lanjutan) No. 8 9 10
Indikator Sampah dibuang dan tidak menumpuk Tempat sampah harus selalu tertutup Jalan dipelihara supaya tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik
Keterangan:
Tape
Gadung
Skor Ketempling
3
3
3
3
3
3
3
3
5
5
5
5
1: Tidak pernah diterapkan, 2:Jarang diterapkan. 3: Agak jarang diterapkan,4:Biasa saja, 5: Agak sering diterapkan, 6: Sering diterapkan, 7:Selalu diterapkan
Bangunan dan Fasilitas Industri Rumah Tangga (IRT) Bangunan dan fasilitas IRT yang baik akan dapat menjamin pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia, serta mudah dibersihkan. Hasil penelitian menunjukkan bangunan untuk produksi tape ketan, ketempling, opak bakar, dan keripik gadung merupakan bangunan yang masih tradisional dan masih perlu diperhatikan untuk lebih mendukung higiene. Ruangan yang tersedia agak luas. Lantai tidak terbuat dari bahan yang kedap air dan tidak mudah dibersihkan, begitu pula dindingnya, langit-langit, atap, pintu, ventilasi dan jendela. Lantai yang terbuat dari bahan yangmudah rusak dapat menyebabkan lantai berlubang dan memungkinkan terjadi kotoran yang juga dapat menjadi tempat perkembangan mikroorganisme yang merugikan (Indrayani, 2010). Kondisi dinding yang kotor dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang pada produk makanan yang akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Dinding harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir, dan kotoran lainnya. Dinding atau pemisah ruangan seharusnya mudah dibersihkan. Hasil penelitian agak tidak sesuai dengan persyaratan yang ditentukan BPOM (2012) yang menjelaskan bahwa langit-langit sebaiknya di desain dengan baik untuk mencegah penumpukan debu, pertumbuhan jamur, pengelupasan, bersarangnya hama. Atap harus terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan sederhana designnya untuk mencegah penumpukan debu, pertumbuhan jamur, pengelupasan, bersarangnya hama serta memperkecil terjadinya kondensasi (Widyati, 2002). Peralatan Produksi Peralatan yang digunakan untuk pengolahan dan penyajian makanan harus tidak menimbulkan gangguan terhadap kesehatan secara langsung atau tidak langsung (Depkes, 2006). Hasil observasi menunjukkan tape ketan diproduksi menggunakan berbagai peralatan tradisional. Hal ini sengaja
Opak
53
dilakukan produsen untuk mendapatkan citarasa yang khas.Peralatan yang digunakan diantaranya dandang (terbuat dari tembaga atau aluminium) dan kukusan bambu berbentuk kerucut (bahasa sunda: aseupan) untuk mengukus beras ketan; lembaran plastik, centong plastik dan kipas angin untuk mendinginkan nasi ketan; ember plastic warna hitam untuk mengemas tape yang sudah dibungkus dan lakban untuk merapatkan tutup ember. Alat pembakarannya adalah tungku tradisional dan kayu bakar. Hasil penelitian menunjukkan peralatan yang digunakan terjaga dengan baik kebersihannya sehingga mendukung higiene tape yang dihasilkan. Peralatan yang digunakan dalam produksi keripik gadung adalah pisau dan nampan kayu untuk mengupas dan mengiris umbi, rak bambu untuk menjemur, bak air untuk mencuci keripik yang sudah diberi abu. Untuk menggoreng keripik digunakan kompor gas, wajan dan asesorisnya. Hasil penelitian menunjukkan peralatan yang digunakan terjaga dengan baik kebersihannya. Peralatan yang digunakan untuk membuat ketempling adalah pisau, alat parut singkong, alat pengepres hasil parutan singkong,alat untuk menepung hasil parutan singkong, kotak bambu untuk menguleni ramuan ketempling, kompor, wajan dan perlengkapannya. Hasil penelitian menunjukkan peralatan di produsen ketempling juga cukup mendukung higiene. Sementara itu, hasil penelitian di produsen opak bakar terlihat hal yang agak tidak mendukung higiene yakni alat pembakarannya kurang rutin dibersihkan sehingga banyak arang yang menempel di alat pembakaran tersebut. Widyati (2002) menjelaskan bahwa pencucian alat dapur seharusnya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Apabila pada peralatan produksi terdapat rontokan bahan tersimpan dicelah atau bekas goresan, maka akan menjadi media pertumbuhan mikroba yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi pada bahan pangan, dapat mengganggu proses, dan membahayakan konsumen. Peralatan yang digunakan untuk pengolahan makanan harus dalam keadaan utuh, tidak retak, tidak pecah,tidak rusak dan tidak berkarat.
Indikator
7 6
Kuat
5
Tidak berkarat
4
Mudah dibongkar pasang
3
Permukaan yang kontak langsung dengan pangan seharusnya halus
2
Tidak mengelupas
1
Bersih
0 Tape
Gadung
Ketempling
Opak
Kedap air
Kuliner Kuningan
Keterangan:
1: Tidak pernah diterapkan, 2:Jarang diterapkan. 3: Agak jarang diterapkan,4:Biasa saja, 5: Agak sering diterapkan, 6: Sering diterapkan, 7:Selalu diterapkan
54
Gambar 12. Hasil Penelitian Indikator Peralatan Produksi IRT Suplai dan Sarana Penyediaan Air Sumber air bersih untuk proses produksi sebaiknya cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan/atau air minum. Air yang digunakan untuk proses produksi harus air bersih dan sebaiknya dalam jumlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan proses produksi (Anonim, 2012). Air yang digunakan harus airbersih dalam jumlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan proses produksi (BPOM, 2012). Suplai air (Gambar 15) di produsen tape nampak cukup memenuhi syarat. Dari 7 indikator yang diamati sebanyak 6 indikator menunjukkan nilai tinggi (skor 5-6) akan tetapi satu indikator lainnya menunjukkan nilai rendah (skor 3) karena air tidak tersedia dalam jumlah cukup. Di produsen gadung, ketersediaan air menunjang higiene (semua indikator mendapat nilai 6), hal ini karena pada pengolahan keripik gadung, air merupakan kebutuhan utama untuk melarutkan racun di umbi. Sementara itu, di produsen ketempling, suplai air juga cukup menunjang higiene. Kelemahan suplai air di produsen ketempling adalah jumlah air agak tidak tercukupi. Di produsen opak bakar, suplai air juga agak tidak mendukung karena jumlah air agak tidak cukup. 7 Air harus bersih 6 Jumlah cukup
Indikator
5
3
Sumber dan pipa air untuk keperluan selain pengolahan pangan harus terpisah Tidak berwarna
2
Tidak berasa
4
1
Tidak berbau
0 Tape
Gadung
Ketempling
Kuliner Kuningan
Keterangan:
Opak
Pipa sumber air terbuat dari pralon
1: Tidak pernah diterapkan, 2:Jarang diterapkan. 3: Agak jarang diterapkan,4:Biasa saja, 5: Agak sering diterapkan, 6: Sering diterapkan, 7:Selalu diterapkan
Gambar 13. Hasil Penelitian Karakteristik Suplai Air Fasilitas dan Kegiatan Kebersihan Fasilitas kebersihan adalah adalah sarana fisik bangunan dan perlengkapannya yang digunakan untuk memelihara kualitas lingkungan atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan fisik yang dapat merugikan
55
kesehatan manusia antara lain sarana air bersih, jamban, peturasan, saluran limbah, tempat cuci tangan, bak sampah, kamar mandi, lemari pakaian kerja (locker), peralatan pencegahan terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya serta peralatan kebersihan (Menkes, 2003). Permenkes RI No 1096/MENKES/PER/VI/2011 menyebutkan bahwa di tempat pengolahan pangan harus dipenuhi adanya fasilitas tempat mencuci tangan. Kepmenkes RI No. 1098 Tahun 2003 mensyaratkan kondisi toilet harus dalam kondisi bersih. Hasil penilitian menunjukkan fasilitas kebersihan dan kegiatan kebersihan di produsen tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar yang diamati nampak agak tidak memadai. Walaupun di setiap industri rumah tangga terdapat alat cuci /pembersih seperti sikat, pel, deterjen, dan bahan sanitasi namun tidak terawat dengan baik. Tidak tersedia air panas yang dapat digunakan untuk membersihkan peralatan tertentu. Tidak tersedia tempat cuci tangan khusus.Para karyawan mencuci tangan di bak pencucian peralatan. Pintu toilet/jamban tidak selalu dalam keadaan tertutup. Proses pembersihan tidak dilakukan secara rutin dan tidak terdapat petugas yang bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan. Toilet yang tersedia pada beberapa IRT berukuran sangat kecil dan kondisinya sangat kotor banyak terdapat lumut di dinding toilet dan lantainya ada yang rusak (retak dan berlubang). Pengendalian dan Pemberantasan Hama Hama (tikus, serangga dan lain-lain) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengendalian hama di produsen tape ketan nampak agak tidak baik. Dari 9 indikator hanya satu indikator yang mendapatkan skor 6, sedangkan 8 indikator lainnya mendapatkan skor rendah (3). Di produsen keripik gadung pengendalian hama dilakukan dengan cukup (skor 5). Di produsen ketempling pengendalian hama agak tidak dilakukan dengan baik (skor 3). Begitu pula di opak bakar, hanya satu indikator yang diterapkan yakni tidak ditemukannya hewan peliharaan yang berkeliaran. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, pengendalian hama perlu mendapatkan perhatian sehingga produksi yang dihasilkan higienis.
56
7
Lubang-lubang dan selokan keadaan tertutup
6
hewan peliharaan berkeliaran di ruang produksi
5
Bahan pangan tidak tercecer
Skor
4 IRT memeriksa lingkungannya 3 Sisa bahan makanan yang tidak digunakan dibuang pada tempat sampah Hama diberantas
2 1 0 Tape
Gadung
Ketempling
Opak bakar
Menutup semua akses keluar masuknya hama dengan kasa
Kuliner Kuningan
Keterangan:
1: Tidak pernah diterapkan, 2:Jarang diterapkan. 3: Agak jarang diterapkan,4:Biasa saja, 5: Agak sering diterapkan, 6: Sering diterapkan, 7:Selalu diterapkan
Gambar 14. Karakteristik Pengendalian Hama Pemilihan Bahan Baku Pemilihan bahan baku pembuatan tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar dilakukan menunjang higiene. Hasil observasi secara langsung beras ketan yang digunakan berwarna bening sedikit kekuningan, tidak menggunakan pemutih, tidak mempunyai aroma apek, memiliki tekstur yang tidak mudah patah. Beras yang digunakan bulirnya utuh, tidak meninggalkan serbuk putih dan tidak ada benda asing. Daun katuk yang digunakan sebagai pewarna berwarna hijau, segar terlihat dari tekstur tulang daun yang masih nampak, batang daun tidak mudah patah, daun utuh, muda (cabang-cabang agak lunak). Daun jambu sebagai pembungkus berwarna hijau, tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, tekstur tulang daun jelas, batang daun tidak mudah patah, daun utuh dan cabang-cabang daun jelas. Umbi gadung yang digunakan sebagai bahan baku adalah umbi segar berbentuk bulat, kulit umbi berwarna coklat tua dan daging buahnya berwarna putih. Umbi singkong yang digunakan berukuran besar, berbentuk lurus dengan kulitnya yang sedikit kasar atau merekah. Singkong masih segar, tidak berwarna kebiruan, tidak berair atau berlendir, kulitnya mudah dikupas serta memiliki daging singkong yang berwarna putih. Sementara itu, beras ketan yang digunakan sebagai bahan baku opak bakar berwarna bening agak kekuning-kuningan, tidak menggunakan pemutih, tidak berbau apek, tekstur tidak patah, mempunyai bulir yang utuh, tidak meninggalkan serbuk putih pada saat diremas. Kelapa parut yang digunakan mendukung higiene karena kelapa masih segar, warna daging masih cerah, tidak kusam dan beraroma segar khas kelapa.
57
Ruang Produksi Ruang produksi adalah ruangan yang digunakan untuk meramu bahanbahan yang akan dipakai untuk produksi, memasaknya hingga menjadi kuliner yang siap dikemas. Hasil penelitian menunjukkan masing-masing produsen kuliner memiliki ruang produksi yang agak tidak mendukung. Akan tetapi ruangan produksi yang digunakan nampak belum memenuhi syarat ruang produksi yang baik. Hal ini diantaranya karena ruangan produksi tidak mudah dibersihkan, kurangnya cahaya yang masuk sehingga agak tidak terang, bagian lantai, dinding, langit-langit, lubang angin tidak mudah dibersihkan. Tabel 19. Hasil Penelitian Karakteristik Ruang Produksi No. 1 2 3 4 5
6 7
8 9
10
Indikator Bangunan kuat dan kokoh Ruang produksi luas, Mudah dibersihkan, Terang, Tersedianya tempat untuk mencuci tangan bersih serta dilengkapi dengan sabun dan pengeringnya, Tersedia perlengkapan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (PPPK) Terdapat jarak antara tempat memanggang , menggoreng dan mengukus yang satu dengan yang lainnya Lantai : kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat dan mudah dibersihkan Dinding: kedap air, rata, halus, berwarna terang,tahan lama, tidak mudah megelupas, kuat dan mudah dibersihkan Konstruksi langit-langit: didisain dengan baik,dan terbuat dari bahan tahan lama dan mudah dibersihkan
Keterangan:
Skor Ketempling 4 4 2 2
Tape 4 4 2 2
Gadung 4 4 2 2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1: Tidak pernah diterapkan, 2:Jarang diterapkan. 3: Agak jarang diterapkan,4:Biasa saja, 5: Agak sering diterapkan, 6: Sering diterapkan, 7:Selalu diterapkan
Ruang Penjemuran
Opak 4 4 2 2
58
Ruang penjemuran adalah suatu tempat yang digunakan sebagai tempat menjemur untuk mengeringkan kuliner sebelum diolah lebih lanjut. Kuliner yang harus dijemur sebelum diolah lebih lanjut adalah keripik gadung dan opak bakar. Opak bakar dan keripik gadung basah biasanya ditempatkan di tampah (wadah berbentuk bulat terbuat dari anyaman bambu). Tampah ditaruh berderet di pagar tembok halaman rumah pemilik. Hasil penelitian menunjukkan tempat penjemuran (Tabel 20) cukup mendukung ke arah higiene. Akan tetapi beberapa hal perlu diperbaiki diantaranya lantai penjemuran harus kedap air. Tabel 20. Hasil Penelitian Karakteristik Ruang Penjemuran No. 1 2 3 4 5 6 7
Skor Gadung Opak Suhu saat pengeringan perlu diperhatikan 7 7 Lingkungan bebas pencemaran, genangan air dan 7 7 semak belukar Lingkungan sekitar tidak berada pada tempat 7 7 pembuangan akhir sampah Bahan makanan diletakkan secara teratur dan 7 7 sistematis menurut jenis, golongan dan frekuensi pemakaia Pembersihan dan penyemprotan rak-rak secara 7 7 teratur dan setiap hari Lantai: kedap air 2 2 Terdapat rak-rak untuk menjemur 7 7 Indikator
Keterangan:
1: Tidak pernah diterapkan, 2:Jarang diterapkan. 3: Agak jarang diterapkan,4:Biasa saja, 5: Agak sering diterapkan, 6: Sering diterapkan, 7:Selalu diterapkan
Cara Memasak Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan yang siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti kaidah prinsip-prinsip hygiene sanitasi (Depkes RI, 2004). Dalam proses pengolahan makanan, harus memenuhi persyaratan hygiene sanitasi terutama menjaga kebersihan peralatan masak yang digunakan, tempat pengolahan atau disebut dapur serta kebersihan penjamah makanan (Kusmayadi, 2008). 1. Tape Ketan Cara membuat tape ketan nampak mendukung higiene. Memang dalam pembuatan tape ketan, higiene sangat perlu diperhatikan, karena apabila terjadi kontaminasi, maka tape yang tape yang dihasilkan akan bermutu rendah (tidak enak dan terasa asam) sehingga tidak akan laku dijual. Bahan baku utama pembuatan tape ketan adalah beras ketan dan ragi. Bahan pelengkapnya adalah daun katuk (sebagai pewarna) dan daun jambu (untuk pembungkus tape). Proses pembuatan tape dimulai dengan pembersihan beras dari batu dan gabah untuk selanjutnya dicuci di air
59
mengalir. Pencucian dilakukan beberapa kali hingga bersih. Selanjutnya beras ketan direndam selama 4 jam kemudian dikukus. Beras ketan yang telah dikukus dicampurkan dengan air perasan daun katuk yang telah ditumbuk, setelah itu dikukus kembali sampai matang kira-kira 30 menit. Setelah beras ketan matang diangkat dan didinginkan, lalu diberi ragi dengan cara ditabur (diaduk) secara merata, sehingga menjadi tape mentah yang siap dibungkus. Diambil sejumput tape mentah lalu dibungkus dengan daun jambu air. Daun jambu air sebelumnya dicuci bersih, di lap, dikukus dan didinginkan. Tape ketan yang telah dibungkus selanjutnya dimasukkan dan disusun ke dalam ember (biasanya ember berwarna hitam). Ember berisi tape kemudian ditutup rapat (Gambar 15). Tape siap di pasarkan. Biasanya tape matang dan siap konsumsi pada hari ke 3. Setelah matang tape bisa dimasukkan ke lemari es dan tahan hingga satu bulan.
Gambar 15
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Proses pembuatan tape ketan khas Kuningan: (a) Pencucian beras; (b) Menanak beras; (c) Pemberian ragi; (d) Menyiapkan bahan pembungkusan (daun jambu air); (e) Pembungkusan; dan (f) Pengemasan
2. Keripik Gadung Membuat keripik gadung memerlukan keahlian khusus karena umbi gadung beracun. Apabila proses pembuatan keripik gadung tidak dilakukan dengan benar, maka akan berbahaya bagi konsumen. Bahan baku utama pembuatan keripik gadung adalah umbi gadung. Proses pembuatan keripik gadung dimulai dengan gadung yang sudah tua dikupas kulitnya. Lalu diiris tipis. Setelah itu dilumuri abu (sambil sedikit diremas supaya irisan menjadi layu tetapi tidak sampai patah) sampai semua irisan gadung terlapisi abu.
60
Irisan gadung berlapis abu selanjutnya dibiarkan semalam, kemudian dijemur hingga kering (biasanya selama 2 hari).Setelah itu dimasukkan ke dalam wadah berlubang untuk kemudian dicuci di air mengalir selama 2-3 hari.Setelah bersih, irisan gadung dijemur hingga kering.Setelah kering dapat digoreng, ditiriskan, dibungkus dan siap dipasarkan (Gambar 16). Penggorengan dengan menggunakan minyak goreng perlu mendapat perhatian, karena minyak goreng yang digunakan secara berulang dapat mempengaruhi mutu produk pangan. Menurut Aminah (2009) dalam Aminah dan Isworo (2010), minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng secara berulang akan mempengaruhi rasa, aroma, dan warna bahan pangan yang digoreng, misal tempe. Semakin banyak pengulangan penggorengan, semakin meningkat bilangan peroksida dari minyak goreng yang digunakan.
Gambar 16
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Proses pembuatan keripik gadung khas Kuningan: (a) tanaman gadung; (b) umbi gadung; (c) umbi gadung mentah; (d) proses penggorengan; (e) Pembungkusan; dan (f) proses pendistribusian
3. Ketempling Di usaha ketempling, hasil pengamatan menunjukkan cara membuat ketemplingcukup mendukung higiene.Meskipun demikian, masih ada hal yang harusdiperhatikan yakni umbi singkong yang telah dikupas harus dicuci denganlebih bersih. Bahan baku utama pembuatan ketempling adalah singkong. Umbi singkong dikupas kulitnya, kemudian dicuci. Selanjutnya umbi singkong diparut kemudian dipres. Singkong yang telah dipres lalu digiling kembali sehingga menjadi tepung singkong. Tepung singkong dicampur dengan pati singkong yang telah diberi bumbu dan diuleni hingga kalis jadilah adonan ketempling. Kemudian adonan di cetak bulat tipis kecil-kecil selanjutnya siap
61
digoreng. Proses penggorengan dilakukan dalam minyak panas, digoreng hingga matang, diangkat dan ditiriskan. Setelah dingin kemudian bungkus. Ketempling yang telah dibungkus siap dipasarkan (Gambar 17)
Gambar 17
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Proses pembuatan ketempling khas Kuningan: (a) pengupasan singkong; (b) singkong yang telah dikupas; (c) singkong digiling; (d) proses pengepresan; (e) mencetak ketempling; dan (f) preses penggorengan
Opak Bakar Di usaha opak bakar, higiene juga diperhatikan saat memasak. Proses pembuatan opak bakar dimulai dengan mencuci beras ketan putih hingga bersih. Kemudian beras ketan ditanak hingga menjadi nasi ketan. Selanjutnya nasi ketan dicampur parutan kelapa lalu ditumbuk hingga kalis. Setelah kalis, adonan dipipihkan sampai tipis, dipotong berbentuk persegi panjang (sekitar 5 x 8 cm) dan dijemur di sinar matahari sampai kering. Setelah kering, opak dipanggang menggunakan panggangan kawat di atas bara kulit kelapa hingga berwarna kecoklatan (Gambar 18).
Gambar 18
(a)
(b)
(c)
(d)
Proses pembuatan opak bakar khas Kuningan: (a) pencampuran ketan dengan kelapa; (b) penjemuran; (c) pembakaran; (d) proses pembakaran; dan (e) pembungkusan
Cara Membungkus Makanan
62
Hasil penelitian menunjukkan cara membungkus makanan harus diperbaiki supaya lebih menunjang higiene. Di usaha oleh-oleh yang diamati, karyawan tidak menggunakan sarung tangan saat mengambil makananuntuk dibungkus. Tabel 21. Hasil Penelitian Karakteristik Cara Membungkus Makanan No 1 2 3 4
5 6 7 8 9
Indikator Tidak terhindar dari pencemaran Petugas mencuci tangan sebelum membungkus Peralatan yang digunakan dalam kondisi baik dan bersih Petugas yang membungkus makanan kesehatan dan kebersihan pakaiannya. Membungkus makanan dalam keadaan hangat Barang-barang agar disusun dengan baik sehingga mudah diambil Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing Menggunakan wadah pembungkus sesuia standar keamanan pangan Petugas melakukan proses pembungkusan makanan jadi tidak langsung menggunakan tangan tanpa bantuan alat
Tape 2
Gadung 5
Skor Ketempling 6
2
6
3
3
5
6
3
6
5
6
6
6
5
6
6
3
5
6
6
3
5
5
3
3
5
5
5
5
2
2
2
2
Opak 3
Keterangan: 1: Tidak pernah dilakukan, 2:Jarang dilakukan. 3: Agak jarang dilakukan,4:Biasa saja, 5: Agak sering dilakukan, 6: Sering dilakukan, 7:Selalu dilakukan
Cara dan Ruang Penyimpanan Produk Bahan makanan harus disimpan sesuai kelompok jenisnya. Sementara dalam menjaga kualitas hasil pengolahan makanan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : a) hasil pengolahan makanan tidak mengandung racun atau bibit penyakit, b) tidak rusak bentuk dan nilai gizinya dan c) tidak busuk atau basi seperti berlendir, bau dan berubah warna serta aromanya. Hasil penelitiancara penyimpanan hasil produksi menunjukkan beberapa indikator tampak kurang mendukung higiene. Hal yang perlu diperbaiki
63
diantaranya produk harus terlindung dari karyawan selain petugas yang tidak berkepentingan. Pemilik usaha tidak memiliki ruang penyimpanan khusus karena produk yang dihasilkan langsung dijual ditempat atau biasanya ada pedagang pengumpul yang langsung membelinya. Mereka menyimpan produknya di ruang produksi dan ruang pembungkusan. Pemisahan ruang perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya kontaminasi Bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan yang bersih, sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama, penerangannya cukup, sementara untuk bahan berbahaya harus disimpan dalam ruang tersendiri dan diawasi agar tidak mencemari pangan. Untuk penyimpanan bahan pengemas harus disimpan terpisah dari bahan baku dan produk akhir. Penyimpanan mesin/peralatan produksi yang telah dibersihkan tetapi belum digunakan harus di tempat bersih dan dalam kondisi baik, sebaiknya permukaan peralatan menghadap ke bawah, supaya terlindung dari debu, kotoran atau pencemaran lainnya . Tabel 22. Karakteristik Cara Penyimpanan Hasil Produksi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Indikator Mengetahui kadar suhu suatu makanan Terlindung dari jamahan selain petugas yang tidak berkepentingan Tidak terkena sinar matahari langsung Mudah dijangkau petugas yang berkepentingan Tidak bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya. Tidak melakukan penyimpanan yang berbau tajam dengan makanan yang lain Tertib, aman dan sehat pada setiap proses penyimpanan Bebas dari serangan hama dan binatang pengerat Tidak kena debu atau kotoran Mengklasifikasi barang yang akan disimpan Dijaga kelembapannya
Tape 6
Gadung 6
Skor Ketempling 6
Opak 6
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
3
3
3
3
3 6
3 6
3 6
3 6
6
6
6
6
Keterangan: 1: Tidak pernah dilakukan, 2:Jarang dilakukan. 3: Agak jarang dilakukan,4:Biasa saja, 5: Agak sering dilakukan, 6: Sering dilakukan, 7:Selalu dilakukan
Gudang Bahan Makanan
64
Pemilik kuliner tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar sebenarnya memiliki gudang bahan makanan akan tetapi kondisi gudang bahan makanan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai gudang bahan makanan yang baik. Hal ini karena jumlah bahan makanan tidak disesuaikan dengan ukuran gudang, gudang menyimpan barang lain selain bahan makanan, pencahayaan gudang tidak maksimal, ventilasi kurang, lantai dan dinding tidak kedap air, gudang bahan makanan tidak dilindungi alat pelindung serangga, lembab, kontruksi langit-langit tidak didesain khusus dan pintu serta jendela tidak terlindungi oleh kawat. Personal Higiene Dalam menangani makanan maka kebersihan perseorangan (personal higiene) sangat penting. Kebersihan perseorangan bagi karyawan merupakan kunci keamanan dan kesehatan makanan. Betapapun ketatnya aturan yang ditetapkan pada suatu perusahaan, semuanya itu akan sangat tergantung kepada perilaku manusia-manusia yang mempergunakaannya, yang mengendalikannya, dan yang mengelolanya (Susilo dan Siswati, 2006). Semua tenaga kerja harus ditanamkan tanggung jawab untuk menghindarkan tercemarnya makanan dengan cara menjaga kebersihan diri sendiri dari kebiasaan yang tidak baik, seperti memegang rambut dan hidung di tempat pengolahan, merokok di tempat pengolahan, bersin di tempat pengolahan, hendaklah mengenakan perhiasan seperlunya, mencuci tangan dengan sabun setiap akan memegang makanan (Ekawatiningsih, 2008). Hasil penelitian menunjukkan karyawan dalam keadaan sehat. Karyawan juga menjaga kebersihan badan, rambut dan pakaian. Kuku karyawan pendek, bersih dan tidak berwarna hitam. Apabila luka, karyawan menutup luka dengan perban. Karyawan tidak meludah di depan makanan serta tidak terlihat karyawan yang bersin ke arah pangan. Akan tetapi karyawan tidak menggunakan celemek, tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai kegiatan, terlihat karyawan yang sedang mengupas kulit singkong bekerja sambil makan, minum, merokok juga terlihat karyawan yang menggunakan perhiasan dan tidak mengenakan sarung tangan pada setiap tahap pembuatan kuliner. Hasil observasi dan wawancara langsung tentang riwayat penyakit yang mudah menular, ternyata tidak seorang pun responden yang sedang menderita penyakit mudah menular pada saat penelitian, seperti menderita batuk, pilek, influenza, diare dan penyakit perut sejenis diare. Semua responden tidak memiliki luka atau bisul pada tubuhnya. Luka menyebabkan bakteri pada kulit akan masuk ke bagian dalam kulit dan terjadilah infeksi. Luka koreng atau luka bernanah mempunyai risiko yang besar dalam menularkan penyakit kepada makanan (Depkes RI, 2001). Kuku tangan penjamah makanan yang kotor dapat mengkontaminasi makanan. Menurut Fathonah (2005) kuku tangan sering menjadi sumber kontaminan atau mengakibatkan kontaminasi silang. Celemek merupakan kainpenutup baju dan penutup kepala yang digunakan sebagai pelindung agar pakaian tetap bersih. Menurut Moehyi (1992) pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan higiene. Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum
65
melayani pembeli merupakan sumber kontaminan yang cukup berpengaruh terhadap kebersihan bahan makanan. Depkes RI (2001) menyatakan kebersihan tangan sangat penting bagi setiap orang terutama bagi penjamah makanan. Kebiasaan mencuci tangan sangat membantu dalam mencegah penularan bakteri dari tangan kepada makanan. Penjamah makanan tidak memakai alat untuk mengambil / memegang makanan. Sentuhan tangan merupakan penyebab yang paling umum terjadinya pencemaran makanan. Tabel 23. Hasil Penelitian Karakteristik Personal Higiene No 1 2 3 4 5 6 7
8 9
10 11 12 13 14 15 16
Indikator Dalam keadaan sehat Karyawan diperiksa dan diawasi kesehatannya secara berkala Karyawan menjaga kebersihan badannya. Karyawan memiliki rambut yang tampak bersih dan rapih Karyawan memiliki pakaian yang bersih dan rapih Karyawan kuku yang pendek, bersih dan tidak berwarna hitam Karyawan tidak mengenakan pakaian kerja/celemek lengkap dengan penutup kepala, sarung tangan dan sepatu kerja Karyawan menutup luka dan perban, Karyawan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet/jamban Karyawan bekerja sambil mengunyah Karyawan tidak makan dan minum, Karyawan tidak merokok, Karyawan tidak boleh meludah, Karyawn tidak boleh bersin atau batuk ke arah pangan, Tidak boleh mengenakan perhiasan seperti giwang, cincin, gelang, kalung, arloji dan peniti. Karyawan tidak mengenakan sarung tangan
Tape 6 6
Gadung 6 6
Skor Ketempling 6 6
Opak 6 6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6 6 6 6
6 6 6 6
6 6 6 6
6 6 6 6
6
6
6
6
6
6
6
6
Keterangan: 1: Tidak pernah dilakukan, 2:Jarang dilakukan. 3: Agak jarang dilakukan,4:Biasa saja, 5: Agak sering dilakukan, 6: Sering dilakukan, 7:Selalu dilakukan
66
Strategi Pengembangan Wisata Kuliner di Kuningan Wisata kuliner Kuningan diyakini dapat berkontribusi terhadap perkembangan yang baik dari pariwisata Kuningan. Diketahui aset wisata yang dimiliki Kuningan cukup banyak antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata buatan, wisata sejarah dan wisata kuliner. Aset kuliner Kuningan perlu terus ditingkatkan, diperbaiki, dikembangkan dan dilestarikan sesuai dengan norma-norma dan nilai budaya yang berlaku di Kuningan. Dilakukan analisis SWOT untuk pengembangan wisata kuliner di Kuningan. Keempat faktor SWOT perlu mendapat perhatian yang seksama. Kekuatan (Strenghts) harus diperhatikan sebaik-baiknya. Kelemahan (Weaknesses) harus dihilangkan dengan segera. Kesempatan (Oppportunity) atau peluang hendaknya segera dimanfaatkan. Ancaman (Threats) atau tantangan harus segera diantisipasi (Pearce II and Robinson, 1991). Peluang adalah situasi utama lingkungan yang mendukung suatu usaha. Peluang tersebut diantaranya meliputi: segmen pasar, peraturan-peraturan pemerintah, perubahan teknologi, dan perbaikan hubungan antara produsen dan konsumen. Ancaman adalah situasi utama lingkungan yang tidak mendukung suatu usaha.ancaman meliputi: masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar rendah dan meningkatnya posisi tawar pembeli maupun supplier (Pearce II and Robinson, 1991).Kekuatan suatu usaha dapat berasal antara lain dari: sumber daya, keterampilan, modal, dan citra (image). Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan kemampuan-kemampuan lainnya yang dapat secara serius menghambat kinerja usaha. Sumber-sumber kelemahan dapat berasal dari fasilitas, modal, kemampuan manajemen usaha, keterampilan memasarkan dan citra merek (brand image) (Pearce II and Robinson, 1991). Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian ini, dilakukan analisis SWOT untuk mendapatkan strategi sebagai dasar atau landasan pengelolaan ekowisata kuliner di Kuningan. Berikut ini adalah hasil pengamatan terhadap faktor kekuatan, kelemahan, peluang danancaman ekowisata kuliner di Kuningan. Dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal dapat disusun suatu strategi berdasarkan analisis SWOT (Tabel 23).
67
Tabel 24. Matrik SWOT Untuk Strategi Pengembangan Ekowisata Kuliner Kuningan Faktor internal Kekuatan/Strengths(S) IFAS 1. Produk sudah lama dikenal oleh wisatawan 2. Kuliner kuningan unik, cukup langka, tersedia setiap saat, tidak sensitif dan akses untuk mendapatkannya Faktor eksternal, mudah EFAS 3. Pengrajin memiliki keterampilan/ keahlian secara turun temurun 4. Akses menuju Kuningan mudah Peluang/Opportunit Strategi S0: Strategi y (O): yang menggunakan 1. Peningkatan daya beli kekuatan untuk wisatawan atas kuliner memanfaatkan peluang tersebut 2. Dukungan pemerintah 1. Membuat sentra untuk meningkatkan ekowisata kuliner yang popularitas kuliner menarik dan higienis lokal 2. Melakukan pelatihan 3. Berkembangnya cara produksi yang baik teknologi pengemasan termasuk teknologi dan pemasaran pengemasan dan 4. Berkembangnya daerah pemasarannya kepada tujuan wisata lainnya di penyedia jasa dan Kuningan produsen kuliner. 3. Melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah lain untuk pengembangan wisata daerah Kuningan 4. Meningkatkan mutu, menjamin kehalalan dan kebersihan pangan 5. Mempertahankan dan meningkatkan kualitas produk lokal Kabupaten Kuningan
Kelemahan/Weaknesses (W) 1. Kemasan kurang kreatif dan belum menyertakan label 2. Kemampuan managemen usaha kuliner memiliki banyak kekurangan 3. Kurangnya pengetahuan higiene non P-IRT: lingkungan, peralatan, tempat produksi 4. Kurangnya modal 5. Bahan baku kuliner diperoleh dari luar daerah Strategi W0: Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang 1. Pemda meningkatkan inovasi dan kreatifitas produsen melalui berbagai pelatihan. 2. Pemda mengundang tenaga professional untuk memberikan training GMP (Good Manufacturing Production) 3. Dinas terkait mengadakan pelatihan tentang higiene 4. Adanya kemudahan untuk mendapatkan bantuan modal dari lembaga keuangan pemerintah untuk pengembangan usaha
68
Tabel 24. Matrik SWOT Untuk Strategi Pengembangan Ekowisata Kuliner Kuningan (Lanjutan) Kekuatan/Strengths(S) 1. Produk sudah lama dikenal oleh wisatawan 2. Kuliner kuningan unik, cukup langka, tersedia setiap saat, tidak sensitif dan akses untuk mendapatkannya mudah 3. Pengrajin memiliki keterampilan/ keahlian secara turun temurun 4. Akses menuju Kuningan mudah
Kelemahan/Weaknesses (W) 1. Kemasan kurang kreatif dan belum menyertakan label 2. Kemampuan managemen usaha kuliner memiliki banyak kekurangan 3. Kurangnya pengetahuan higiene non P-IRT: lingkungan, peralatan, tempat produksi 4. Kurangnya modal 5. Bahan baku kuliner diperoleh dari luar daerah Ancaman/Threats Strategi ST: Strategi Strategi WT: Strategi (T): yang menggunakan yang meminimalkan 1. Isu keamanan dan kekuatan untuk mengatasi kelemahan dan menghindari kehalalan pangan ancaman ancaman 2. Fluktuasi harga 1. Meningkatkan kualitas 1. Meningkatkan status bahan baku produk dengan pangan dengan sertifikasi 3. Saingan produk penerapan sistem P-IRT dan label halal makanan dari jaminan mutu, keamanan 2. Menerapakan kebersihan daerah lain dan kehalalan pangan lingkungan sesuai prinsip 4. Perkembangan wisata 2. Meningkatkan hubungan sanitasi pada setiap di kota tetangga yang baik dengan pemasok produksi lebih cepat bahan baku 3. Memperbaiki sistem berkembang 3. Membuka outlet baru di distribusi dan tempat strategis dokumentasi 4. Menjaga dan 4. Meningkatkan kualitas mempertahankan mutu SDM. (kualitas), citrarasa 5. Meningkatkan citra dankekhasan kuliner produk dengan 5. Pemda terkait secara pengemasan dan rutin mengadakan expose pelabelanyang lebih kuliner Kuningan modern dan menarik dikaitkan dengan 5. Memperluas areal tanam peringatan hari besar bahan baku utama tertentu dan di kuliner unggulan melalui promosikan secara luas pembinaan kepada petani melalui berbagai media
69
Usulan Program: Beberapa hal penting yang didapat dari penelitian (seperti yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu) adalah: 1. Wawancara secara langsung (2015) dengan konsumen Rumah Makan yang diamati dalam penelitian ini mengenai higiene, lokasi dan tempat makan, kualitas makanan, harga, tingkat pelayanan dan kepuasan pengunjung menunjukkan bahwa wisatawan menilai rumah makan yang dikunjunginya sudah cukup baik. 2. Persepsi wisatawan tentang kuliner Kuningan menunjukkan bahwa kuliner khas Kuningan yaitu tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar potensial untuk dikembangkan dalam wisata kuliner. Wisatawan menilai kuliner Kuningan cukup unik dan langka, citra rasanya enak, memiliki fungsi sosial, akses untuk mendapatkannya mudah, bukan merupakan kuliner musiman dan tidak sensitif. Keterampilan dalam membuat kuliner tersebut diperoleh secara temurun (kearifan lokal masyarakat setempat). Pembuatan kuliner tersebut terkonsentrasi di kampung atau desa tertentu, sebagai contoh usaha tape terkonsentrasi desa Tarikolot kecamatan Cibeureum dan di Kelurahan Cigugur, Kec. Cigugur, keripik gadung di Kel. Citangtu, Kec. Kuningan, dan ketempling di Kecamatan Ciawi Gebang. 3. Indikator sarana dan kegiatan di rumah makan yang diamati sudah cukup mendukung higiene. Indikator tersebut diantaranya pemimpin, lokasi dan bangunan, fasilitas dan kegiatan kebersihan, penyediaan air bersih, pemilihan bahan baku, peralatan produksi, pembagian ruangan (dapur, ruang makan), penyajian makanan dan personal higiene. Meskipun demikian, beberapa indikator masih terlihat kurang baik dalam menunjang higiene diantaranya pengendalian hama dan pemrosesan bahan makanan terutama dalam hal pencucian ikan. 4. Higiene pembuat oleh-oleh non P-IRT menunjukkan bahwa secara umum indikator sarana dan kegiatan di tempat tersebut masih banyak yang kurang mendukung higiene. Beberapa indikator yang masih terlihat kurang mendukung higiene tersebut diantaranya lingkungan, bangunan, fasilitas kebersihan, peralatan kebersihan, pengendalian hama, ruang produksi, cara membungkus, ruang dan cara penyimpanan, gudang bahan makanan dan personal higiene. Beberapa indikator sudah nampak mendukung higiene, diantaranya suplai air, pemilihan bahan baku, ruang penjemuran dan cara memasak. Mempertimbangkan seluruh hasil ini, maka dianggap perlu untuk mengusulkan beberapa hal yang terdiri dari 1). Pemberdayaan oleh pemerintah dan 2). Peningkatan investasi. Pemberdayaan oleh pemerintah mengandung arti upaya intervensi (campur tangan) pemerintah dalam mendorong pelaku usaha kuliner untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya sehingga meningkat daya saingnya. Pemberdayaan oleh pemerintah ini sangat diperlukan. Keterampilan masyarakat setempat dalam membuat berbagai jenis oleh-oleh (kuliner) khas Kuningan dan keberadaan rumah makan yang higienis sesuai kebutuhan wisatawan merupakan aset Kuningan yang potensil untuk dikembangkan. Diharapkan wisata kuliner di Kuningan dalam berbagai aspek (rumah makan, industri rumah tangga dan jenis kulinernya) dapat lebih
70
menggerakan perekonomian masyarakat setempat. Berkembangnya wisata kuliner diharapkan dapat mendorong masuknya investor untuk menanamkan modalnya dalam wisata kuliner di Kuningan sehingga terjadi peningkatan investasi di bidang ekowisata pada umumnya dan wisata kuliner pada khususnya. Pemberdayaan oleh pemerintah. Pemerintah Daerah melalui dinas terkait diantaranya Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Dinas Pariwisata dan Budaya (Diparbud) dan Dinas Kesehatan (Dinkes) bertindak sebagai fasilitator/pembimbing usaha masyarakat. Hal-hal yang memerlukan pemberdayaan oleh Pemerintah Daerah berkaitan dengan wisata kuliner diantaranya mencakup beberapa hal berikut ini. - Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Beberapa kegiatan dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM diantaranya a) Bimbingan teknis cara produksi yang baik. Pemda dapat mengundang tenaga professional untuk memberikan training GMP (Good Manufacturing Production), mendorong produsen untuk menerapkan GMP di tempat usahanya, memberikan bantuan perlatan produksi, memfasilitasi pembuatan nomor P-IRT, label halal dan hak paten. b). Bimbingan pembuatan kemasan yang menarik, unik, menjamin kualitas produk termasuk bimbingan tehnik pengemasan untuk pengangkutan jarak jauh yang tetap menjamin higiene dan kualitas misalnya teknik vacum, pembuatan bahan kemasan ramah lingkungan tanpa menghilangkan ciri khas dari kemasan yang sudah ada, c). Bimbingan promosi melalui mahasiswa KKN dalam hal pembuatan media promosi, misalnya melalui media yang lebih luas (on-line, iklan), bergabung dengan komunitas kuliner, membuat peta lokasi produsen oleh-oleh, bekerjasama dengan agen-agen usaha untuk memperkenalkan produk, mengundang para pelaku kuliner baik dari luar negeri maupun dalam negeri, d). Bimbingan untuk diversifikasi/pengembangan produk misalnya menciptakan produk dengan bentuk, rasa dan kemasan yang menarik tanpa merubah ciri khas yang sudah lama dikenal oleh wisatawan. Sebagai contoh tape ketan bisa digabungkan dengan yoghurt atau dimasukkan ke dalam coklat, kue kering. Opak bakar dan ketempling dibuat bervariasi bentuknya sesuai rasa yang ditambahkan (misal rasa ikan bentuk ikan, rasa ayam bentuk ayam, rasa buah buah bentuk buah), e) Melakukan berbagai berbagai program magang, inkubator bisnis, klinik usaha dan konsultasi lapangan, f). Mengadakan kursus singkat peningkatan keterampilan manajemen dan kewirausahaan dan g). Menjadikan oleh-oleh khas Kuningan sebagai cenderamata bagi tamu resmi pemeerintah daerah. - Membangun “Kampung Wisata Kuliner”. Beberapa hal penting untuk diperhatikan dalam membangun ”Kampung/Desa Wisata Kuliner”. Pitana dan Rukendi dalam Avenzora (2008) menerangkan bahwa tidak semua wilayah cocok dikembangkan untuk destinasi wisata kuliner. Lebih lanjut disebutkan bahwa daerah yang bisa dianggap memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai destinasi eco cultural tourism dan eco culinary tourism adalah daerah yang memiliki lingkungan ekologi, kebudayaan dan produk masakan atau kuliner yang unik, otentik, orisinal dan beragam. Sentra produsen pembuat oleh-oleh khas Kuningan
71
-
-
-
nampaknya dapat dipertimbangkan dan diuji kelayakannya untuk dibangun menjadi “Kampung Wisata Kuliner Khas”. Konsep yang diterapkan di Agrowisata dapat diterapkan di Kampung Wisata Kuliner ini. Sebagai contoh “Kampung Wisata Tape Ketan”. Di Kampung tersebut, wisatawan dapat melihat secara langsung proses pembuatan tape ketaga dapat ikut membuat tape (terutama dalam proses pembungkusan) yang hasilnya langsung mereka beli sebagai oleh-oleh. Diharapkan, saat mereka telah pulang ketempat asalnya dan menikmati tape yang dikemasnya sendiri, wisatawan dapat mengenang saat mereka berwisata kuliner di Kuningan dan tertarik untuk kembali berkunjung dengan keluarga/teman-temannya. Tempat menginap dan tempat parkir sebaiknya disediakan bagi wisatawan yang ingin menginap dan menikmati suasana kampung wisata untuk berinteraksi langsung dan bertukar pikiran dengan masyarakat setempat. Hal yang sama dapat juga dilakukan di “Kampung Ketempling”, “Kampung Keripik Gadung” dan “Kampung Opak Bakar”. Hal ini diharapkan akan sangat menarik bagi wisatawan. Kampung Wisata diharapkan ramah lingkungan. Masyarakat setempat harus dapat melayani wisatawan dengan baik, ramah tamah dan menjaga kebersihan lingkungan sehingga wisatawan betah. Penyediaan lahan untuk peningkatan ketersediaan bahan baku asal tanaman. Sebaiknya dilakukan upaya pemberdayaan lahan tidur untuk penanaman berbagai jenis tanaman yang menjadi bahan baku kuliner oleh-oleh Kuningan, yakni tanaman: padi jenis ketan, singkong dan umbi gadung. Dalam hal ini juga termasuk penyuluhan tentang pola tanam supaya bahan baku utama selalu tersedia setiap saat, penyuluhan budidaya tanaman secara organik, meningkatkan umur simpan bahan baku baik dalam keadaan kering maupun basah. Penggunaan dana desa juga diharapkan dapat dialokasikan untuk pengembangan Kampung Wisata. Dana desa diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa, perbaikan sarana dan prasarana menuju Kampung Wisata, adanya gapura yang menarik sebagai tanda Kampung Wisata, akses kendaraan, jalan dan penginapan. Bekerjasama dengan pemerintah daerah lain dalam mengadakan tour gabungan antar kabupaten sekitar Kuningan ke objek wisata termasuk wisata kuliner khususnya ke Kampung Wisata. Mengadakan event kuliner khas Kuningan secara rutin dan dipromosikan secara luas. Kuliner khas Kuningan dijadikan cendera mata untuk tamu khusus yang berkunjung ke pemerintah daerah.
Peningkatan investasi. Pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan hibah bagi para pelaku usaha baik dalam bentuk peralatan produksi maupun modal. Pemerintah juga diharapkan dapat menarik dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan besar. Pelaku usaha dapat mengajukan program kredit bagi pelaku UMKM berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dibangun aplikasi terintegrasi antara pemerintah, perusahaan penjamin kredit dan bank untuk memantau
72
ketepatan sasaran program, tata cara pembayaran subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Higienitas merupakan salah satu faktor penting dalam wisata kuliner. Wisatawan telah memiliki pengetahuan yang baik tentang higiene dan menerapkannya dalam pemilihan tempat makan. Wisatawan memiliki persepsi yang baik tentang kuliner khas Kuningan. Presepsi wisatawan tentang kuliner Kuningan menunjukkan bahwa kuliner khas Kuningan yaitu tape ketan, keripik gadung, ketempling dan opak bakar potensial untuk dikembangkan dalam wisata kuliner. Tape ketan, keripik gadung dan opak bakar dinilai sangat unik dan ketempling dinilai unik. Tape ketan dan keripik gadung dinilai sangat langka sementara ketempling dan opak bakar dinilai langka. Citra rasanya enak, memiliki fungsi sosial, akses untuk mendapatkannya mudah, bukan merupakan kuliner musiman dan tidak sensitif. Industri rumah tangga makanan khas Kuningan telah berkembang secara turun temurun dan dikenal luas oleh masyarakat. Usaha makanan khas yang belum memiliki nomor P-IRT dalam kondisi yang kurang dalam hal faktor higiene yang disebabkan oleh keterbatasan modal dan perilaku yang kurang baik dalam menangani produk. Mereka sebenarnya telah memilki pengetahuan higiene yang cukup, akan tetapi tidak dapat menerapkannya karena keterbatasan sarana prasarana yang dimiliki. Beberapa indikator yang masih terlihat kurang mendukung higiene tersebut diantaranya lingkungan, bangunan, fasilitas kebersihan, peralatan kebersihan, pengendalian hama, ruang produksi dan cara pengemasan. Oleh sebab itu diperlukan upaya pemberdayaan oleh pemerintah dan peningkatan nilai investasi. Pembangunan percontohan “Kampung Wisata Kuliner” penting dilakukan untuk menjadi ikon wisata kuliner di Kuningan. Saran Perlu dibangun sentra produsen tape ketan, ketempling, keripik gadung dan opak bakar yang higiene dan mudah dijangkau oleh wisatawan agar wisatawan dapat melihat langsung proses pembuatannya
DAFTAR PUSTAKA
[BPOM] Balai Besar POM Banda Aceh. 2014. Standardisasi Rumah Makan Sektor Pendukung Majunya Pariwisata[Internet]. Aceh (ID): Banda Aceh[22 Oktober 216]dalam http://www.pom.go.id/new/index.php/view/berita/6682/StandardisasiRumah-Makan-Sektor-Pendukung-Majunya-Pariwisata.html. [DISPARBUD] Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. 2015. SumberData Pengunjung restoran dan rumah makan dari tahun 20112015.Kuningan (ID):UPTD
73
Avenzora R. 2008. Ekoturisme-Teori dan Praktek.Banda Aceh (ID):BRR NADNias. Dewi RNI. 2013. Studi Konsentrasi Tepung Tape Ketan Pada Brownies Tape Ketan & Variansnya Terhadap Daya Terima Konsumen Di Kota Kuningan.[Tesis]. Bandung (ID):Universitas Pendidikan Indonesia. Halaman 5 Greig JD, ToddCDE, Bartleson AC, MichaelsSB. 2007. Outbreaks where food workers have been implicated in the Spread of foodborne disease. Part 1. Description of the Problem, methods, and agents involved. Journal of Food Protection. 70(7): 1752–1761 Hall MC, Sarples L, Mitchell R, Macionis N, Cambourne B. 2003. Food Tourism Around the World. Di dalam Hall MC, Liz Sharples, Richard Mitchell, Niki Macionis and Brock Cambourne, editor.Food Tourism Around the World Development, management and markets.London New York (NY):Butterworth-HeinemannAmsterdam Boston Heidelberg Jeinie HM, Nor NM, SharifMSM, Saad M. 2015. Food Hygiene and Safety among Culinary Intern: Questionnaire for FHS Quality. Procedia-Social and Behavioral Sciences222 edisi 23 June 2016:299–305 Jianu C and Golet I. 2012. Study on the hygiene knowledge of food handlers working in small and medium-sized companies in western Romania. JournalFood Control.26(1):151-156 [KEMENKES] Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2012. Peraturan Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tentang Cara Produksi Pangan yang baik untuk Industri Rumah Tangga.Jakarta:BPOM Lee KH and Scott N. 2015. Food Tourism Reviewed Using the Paradigm Funnel Approach. Journal of Culinary Science & Technology.13(2):10.1080/15428052.2014.952480. Manalu FBM. 2008. Kompetensi pemilik rumah makan tradisional kelas c dalam pengolahan makanan di daerah tujuan wisatawan Jakarta Timur. Majalah Ilmiah Panorama Nusantara: V( edisi Juli-Desember 2008). [PERMEN] Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1098. 2003. Peraturan tentang persyaratan higiene rumah makan dan restoran. Jakarta (ID): Menteri Kesehatan Pinata IG. 2006. Pariwisata dan Kebudayaan: Antara Parasitisme dan Simbiosis Mutualisme. Di dalam Pinata IG (cd.) Kepariwisataan Bali dalam Wacana Otonomi Daerah. Jakarta (ID): Puslitbang Kepariwisataan Badan PSD, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Wibowo S. 2013. Peran Makanan Tradisional dalam Pengembangan Wisata Kuliner di Kota Bandung dalam Bintara [Bina Wisata Nusantara]. Jurnal Ilmiah Pariwisata. 18(1):42-57.http://www.stptrisakti.ac.id/puslit/jurnal/JIPariwisata-Vol%2018%20No%201-Maret2013.pdf Wijaya S. 2014. Encounters with Local Food: The Culinary Experiences of International Visitors in Indonesia[Tesis]. Australia (AUS): Victoria University Melbourne. Wongleedee K.2013. Food Safety Management: Concerns from EU Tourists in Thailand.World Academy of Science, Engineering and Technology International Journal of Social, Behavioral, Educational, Economic, Business and Industrial Engineering. 7(1).
74
Wongso WW. 1993. Kiat Memasarkan Khasanah Kuliner Indonesia ke Dunia Internasional. Prosiding Seminar Pengembangan Pangan Tradisional Dalam rangka Penganekaragaman Pangan. Jakarta (ID): Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Badan Urusan Logistik..
75
Lampiran 1 Persepsi Stakeholder Terhadap Pemanfaatan Lahan Kultural (Uji Dunn) Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan
Persepsi
Ekonomi Ekologi Sosial Budaya
Persepsi Ekonomi Ekologi Sosial Budaya
Persepsi Positif Negatif
Persepsi Positif Negatif
Group a a a a b b a b ab Group a a b a b b a a b Group a b ab a b c Group a b b a a b
Stakeholder Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah
N 120 120 30 30 120 120 120 120 30
Pemanfaatan Lahan Pemukiman Stakeholder Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa
Ekowisata
Stakeholder Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah
Dampak Ekonomi Ekowisata Stakeholder Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah
Mean Rank 127,39 140,81 146,65 121,80 144,27 155,16 126,13 145,69 132,20
N 120 120 30 120 120 30 30 120 120
Mean Rank 123,93 129,85 204,36 92,25 159.10 169,85 113,08 114,39 162,21
N 120 120 30 120 120 30
Mean Rank 128,11 142,92 135,35 120,52 138,68 182,66
N 120 120 30 120 120 30
Mean Rank 124,53 144,21 144,50 122,90 130,79 204,71
76
Persepsi Positif Negatif
Persepsi Positif Negatif
Group a a a a a b Group A B B A B C
Dampak Ekologi Ekowisata Stakeholder Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah
N 120 120 30 120 120 30
Dampak Sosial Budaya Ekowisata Stakeholder Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah
N 120 120 30 120 120 30
Mean Rank 131,04 135,68 139,90 123,58 130,17 204,46 Mean Rank 122,41 144,85 150,45 120,23 131,22 213,66
Lampiran 2 Motivasi Stakeholder Terhadap Pemanfaatan Lahan Kultural (Uji Dunn) Motivasi Pemanfaatan lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan Pemanfaatan Lahan Pemukiman Ekonomi ekowisata Ekologi ekowisata Sosial budaya ekowisata
Group a a a a b b a a a a b b a b c
Stakeholder Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Pemerintah Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah
N 120 120 30 120 120 30 30 120 120 120 120 30 120 120 30
Mean Rank 132,08 135,18 138,99 127,50 139,69 150,70 120,80 136,60 138,07 122,21 144,97 150,75 113,27 145,44 184,65
Lampiran 2 Motivasi Stakeholder Terhadap Pemanfaatan Lahan Kultural (Uji Dunn) Motivasi Pemanfaatan lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan Pemanfaatan Lahan Pemukiman
Group a a a a b b
Stakeholder Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah
N 120 120 30 120 120 30
Mean Rank 132,08 135,18 138,99 127,50 139,69 150,70
77
Lampiran 2 Motivasi Stakeholder Terhadap Pemanfaatan Lahan Kultural (Uji Dunn) (Lanjutan) Motivasi Ekonomi ekowisata Ekologi ekowisata Sosial budaya ekowisata
Group a a a b b a b c
Stakeholder Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah
N 120 120 120 120 30 120 120 30
Mean Rank 136,60 138,07 122,21 144,97 150,75 113,27 145,44 184,65
Lampiran 3 Preferensi Stakeholder Terkait Pemanfaatan Lahan Kultural (Uji Dunn) Preferensi Pemanfaatan Lahan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Preferensi
Modal usaha Infrastruktur pertanian Peningkatan SDM Pemasaran Bantuan hibah Kelestarian ekologi Kelestarian sosial budaya
Preferensi
Stakeholder Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Masyarakat Pedawa Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah
N 120 120 30 120 120 30 30 120 120 120 30 120 120 30 120 120 30 120 120 120 30
Preferensi Pemanfaatan Lahan Pemukiman
Infrastruktur dan fasilitas pemukiman Lokasi pemukiman Aksesibilitas pemukiman
Group a a b a b c a b c a a b a b c a a b a b ab Group a b c a b c a b c
Stakeholder Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Masyarakat Cempaga Pemerintah Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa
N 30 120 120 120 30 120 30 120 120
Mean Rank 131,14 133,03 162,78 116,82 145,28 171,03 106,28 128,01 150,29 118,47 126,63 154,74 94,29 146,15 174,04 122,84 133,21 148,72 124,32 132,90 132,90 Mean Rank 98,35 131,32 148,96 107,02 136,31 163,76 83,70 134,97 148,97
78
Lampiran 3 Preferensi Stakeholder Terkait Pemanfaatan Lahan Kultural (Uji Dunn) (Lanjutan) Preferensi
Preferensi Pemanfaatan Lahan Pemukiman
Kelayakan rumah Kelestarian ekologi Kelestarian sosial budaya
Group a a a a b b a b c
Stakeholder Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa Pemerintah Pemerintah Masyarakat Cempaga Masyarakat Pedawa
N 120 120 30 120 120 30 30 120 120
Mean Rank 128,60 139,57 146,80 122,17 143,68 156,03 94,80 127,43 153,73
79
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 28 Juni 1990 sebagai anak sulung dari pasangan Ayahanda I Nyoman Sutabrata S.Sos dan Ibunda Ni Ketut Seriasih S.Pd. Pendidikan SD, SMP, dan SMA ditempuh di Kota Mataram dan menamatkan SMA pada tahun 2008. Penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) pada tahun 2012 di Program Studi Kehutanan, Universitas Mataram. Setelah menyelesaikan studi S1, penulis bekerja selama enam bulan di Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2013 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan.