1
HETEROGENITAS MASYARAKAT YATSRIB AHMAD YUZKI FARIDIAN NAWAFI’ SURANTA Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Juli 2013 Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas tentang heterogenitas masyarakat Yatsrib dengan menggunakan metode sejarah dan menggunakan analisa deskriptif-analisis. Heterogenitas masyarakat Yatsrib dapat dilihat melalui perbedaan penduduk serta aspek sosial dan budaya yang tercipta dalam masyarakat. Perbedaan ini kemudian membawa dampak baik dan buruk yakni munculnya kerjasama dan perselisihan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah masyarakat Yatsrib merupakan masyarakat majemuk yang terbuka dengan hal baru dan mudah menerima perbedaan. Kata kunci: Masyarakat, Sosial, Budaya, Yatsrib. Heterogeneity of Yatsrib Community Abstract This research analyses about the heterogeneity of Yatsrib people using historical method and analytical description. Heterogeneity of Yatsrib can be seen from the differences of the people and the sosio-cultural aspects that are created in the society. Then, this difference cause both good and bad impact that is the emergence of cooperation and dispute. The result from this study shows that Yatsrib people are a pluralist society. They are open-minded and accept the differences easily. Keywords: Community; Social; Culture; Yatsrib
1. Latar Belakang Yatsrib adalah kota sebelum Islam dengan penduduk yang heterogen. Kota ini memiliki beberapa kabilah yang mendiaminya. Kota yang banyak disebut oleh para sejarawan dengan kota bentukan baru ini adalah kota yang dibentuk dan dibangun oleh penduduk yang pindah dan datang dari tempat lain, baik karena alasan ekonomi atau konflik. Di antara
Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
2
penduduk yang melakukan eksodus ke kota ini adalah kaum Amalek, Yahudi dan Arab dari selatan (Misrawi, 2009: 117). Kota yang sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw [selanjutnya ditulis Nabi Muhammad] disebut dengan Yatsrib ini memiliki asal-usul yang masih dalam perdebatan para ahli sejarah. Beberapa teori mengungkapkan bahwa kota ini telah dikenal pada enam abad sebelum masehi dengan bukti Ptolemy (90- 168 M), seorang ahli geografi dari Mesir-Yunani, menyebut kota ini dengan Iathrippe dan Iothrippe (Aziz, 2011: 211), ada juga yang menyebut dengan Jathripa oleh Stefanus dari Byzantium, sedangkan orang Yahudi yang terpengaruh kebudayaan Armenia menyebut dengan Medinta. Kembali Aziz (2011: 211), mengungkapkan bahwa asal-usul kota ini berasal dari nama seseorang yang sejak awal mendiami kota ini yakni Yatsrib bin Qaniyah bin Mikhail bin Aram bin Ubail bin Ush bin Aram bin Sam bin Nuh yang berasal dari keturunan bani Ubail. Masyarakat yang mendiami Yatsrib terdiri atas kaum Yatsrib yang disebut sebagai masyarakat pertama yang tinggal di kawasan tersebut, kemudian kaum Amalek serta dua kabilah besar, yakni kabilah Arab dan Yahudi. Kabilah Arab meliputi Aus dan Khazraj sedangkan kabilah Yahudi meliputi Bani Quraydha, Bani Nadhir dan Bani Qainuqa’, meskipun bani yang terakhir ini dianggap kurang berperan dan kurang penting (Aziz, 2011: 211). Kaum Amalek merupakan kaum yang melakukan penyebaran di seluruh Jazirah Arab. Pusat Amalek berada di Mesir hingga pada masa Nabi Musa as [selanjutnya ditulis dengan Nabi Musa]. Kemudian mereka berpindah ke selatan tepatnya di kota Shan’a di Yaman. Kota ini pernah dikenal dengan sebutan kota Amalekit. Selanjutnya kaum ini berpindah lagi ke kawasan utara tepatnya di Yatsrib dengan alasan bahwa tanah Yatsrib subur dan cocok untuk pertanian (Misrawi, 2009: 158). Kabilah Aus dan Khazraj ini dahulunya adalah para migran dari selatan tepatnya dari kawasan Yaman karena pada masa tersebut pemukiman mereka di Yaman diterjang oleh banjir besar. Meskipun dua kabilah ini dikenal sering bertikai dan merupakan seteru abadi pada masa sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, namun perlu diketahui mereka adalah saudara kandung Aus dan Khazraj adalah anak dari Haritsah bin Tha’labah bin Amr Muzaiqiya bin al-Asad yang juga nenek moyang dari kabilah Azad Ghassan di utara (Aziz, 2011: 212). Kabilah Yahudi di Yatsrib merupakan para migran dari Palestina akibat hegemoni kerajaan Romawi atas beberapa daerah seperti Mesir, Suriah dan Palestina. Perpindahan itu Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
3
terjadi pada satu masehi atau teori lain mengungkapkan, bahwa mereka adalah suku Arab yang beralih ke Judaisme. Mereka di Yatsrib tinggal di kawasan utara yang dikenal subur seperti wilayah Khaibar, Fadak, Wadi al-Qura serta Tabuk (Syalabi, 1973: 47). Kabilah-kabilah di Yatsrib telah mengenal beberapa agama atau kepercayaan, seperti Hanifiyyah, Pagan, Yahudi dan Kristen. Hanifiyyah yang pemeluknya disebut dengan hanif (jamak: hunafa’). Syalabi (1973:47) menyatakan bahwa para hanif ini banyak disebut oleh para ahli sejarah sebagai penerus ajaran Nabi Ibrahim as [selanjutnya ditulis dengan Nabi Ibrahim]. Namun, tidak jelas bagaimana proses intregasi ritual agama ini, hanya saja yang bisa dilihat dari para penganut ajaran ini adalah mereka percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tidak menyembah berhala, mengajarkan kebaikan, berhaji ke Ka’bah, mandi besar saat junub, melakukan semedi, menyembelih hewan kurban serta menjalankan puasa (Aziz, 2011: 170-172).
Agama Yahudi yang banyak dianut oleh beberapa kabilah di Yatsrib merupakan agama pendatang. Para ilmuwan muslim masih banyak bersilang pendapat tentang asal-usul kedatangan agama ini ke Yatsrib. Agama ini masuk ke Yatsrib seiring dengan masuknya orang-orang Yahudi yang menetap di kawasan ini. Sedangkan, agama Kristen merupakan agama kecil yang dianut oleh para penduduk di Yatsrib dan Mekkah. Agama ini berkembang melalui para misionaris yang menjadi uskup di wilayah Najran, Hauran dan Ghassan, dengan melakukan pendekatan kepada para badui Arab. Para misionaris ini merupakan bentuk perpanjangan tangan kekaisaran Romawi yang berada di Damaskus yang berusaha menanamkan pengaruh mereka ke wilayah Arab (Aziz, 2011: 169-170). Bahasa atau sastra merupakan produk kebudayaan yang berkembang di Yatsrib. Orang Arab dikenal sebagai para penyair yang unggul. Mereka mampu membuat puisi (syi’ir) dan prosa yang merupakan sebuah kebudayaan yang tinggi pada masa tersebut. Kemampuan mereka dalam menyusun kata (uslub al-kalam) serta membuat perumpamaan (amtsal) sudah tidak dapat diragukan lagi. Hal ini terbukti dengan banyaknya para penyair yang muncul seperti Umru al-Qais dan al-Nabighah. Tema-tema puisi mereka tidak jauh dari unsur fanatisme kabilah di mana mereka membuat sebuah puisi untuk memuji kabilah mereka atau para pejuang serta pemimpin kabilah mereka, tidak jarang juga dibuat untuk merendahkan kabilah lain (Margadinata dan Fitriani, 2008: 94-97). Mata pencaharian kabilah-kabilah di Yatsrib dapat dikategorikan menjadi dua praktek kegiatan yakni pertanian dan perdagangan. Pertanian di Yatsrib merupakan kegiatan Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
4
perekonomian utama yang dilakukan oleh penduduknya. Kondisi tanah Yatsrib yang cukup subur dengan kandungan mineral debu vulkanik gunung berapi ditambah banyaknya oase yang tersebar luas menjadikan Yatsrib sebagai kota hijau dan kota pertanian terbaik di kawasan Hijaz. Hasil bumi yang diproduksi dari tanah Yatsrib adalah kurma, gandum, serta sayur-mayur. Perdagangan merupakan mata pencaharian yang banyak dilakukan oleh orang Arab pada saat itu. Seperti kawasan yang lain di Jazirah Arab, Yatsrib juga memiliki pasar yang cukup ramai dikunjungi oleh para kafilah dagang luar kota. Dari pasar Yatsrib, selanjutnya mereka akan berpindah ke pasar Ukaz di Nejed yang dilindungi kabilah Quraisy (Aziz, 2011: 190). Suku Aus dan Khazraj juga merupakan kabilah yang hidup dari pola perekonomian perdagangan ini, di samping mereka juga menguasai beberapa wilayah subur yang terdapat oase di dalamnya. Merujuk terhadap pemaparan tentang kondisi kabilah-kabilah di Yatsrib terlihat begitu kompleks kehidupan mereka, dimulai dari munculnya kabilah-kabilah serta asal muasal terbentuknya komunitas masyarakat heterogen di sana. Kondisi sosial budaya juga memberikan porsi tersendiri untuk dikaji. Pola interaksi dalam masyarakat yang heterogen di Yatsrib terlihat cukup tentram meskipun memang terjadi beberapa konflik. Sehingga penulis merasa perlu untuk meneliti dan mengkaji Yatsrib dari aspek-aspek yang telah dijabarkan di atas sebagai pondasi awal memahami sejarah Yatsrib pada masa Nabi Muhammad. Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengungkapkan sejarah masyarakat di Yatsrib dan kemudian mengungkapkan interaksi yang muncul dalam kegiatan sosial budaya mereka dan dampak apa yang muncul atas interakasi yang terjadi di dalam masyarakat. Sesuai dengan latar belakang di atas, penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Etnis apa saja yang ada di Yatsrib serta asal usul etnis tersebut? 2. Bagaimana kondisi sosial dan budaya masyarakat Yatsrib? Penulis dalam memaparkan hasil penelitian tentang suku bangsa di Yatsrib memiliki batasan-batasan terhadap rumusan masalah yang akan digunakan sebagai pembahasan topik penelitian. Dalam mendeskripsikan kabilah-kabilah yang berada di Yatsrib beserta asal usulnya penulis akan membatasi pada masa sebelum Islam. Sehingga akan muncul pembahasan terhadap sejarah kaum Yatsrib, Amalek, Yahudi dan suku Arab dalam hal ini Aus dan Khazraj. Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
5
Di dalam memaparkan kondisi sosial dan budayanya, penulis akan membatasi pada masalah stratifikasi sosial dan fanatisme keluarga. Kemudian dalam masalah budaya penulis hanya akan membahas tiga unsur kebudayaan dari tujuh unsur yang disampaikan Kuntjaraningrat. Ketiga unsur tersebut adalah bahasa, mata pencaharian, dan religi. Dalam pembahasan bahasa, penulis akan membatasi dalam aspek penggunaan bahasa Arab dan beberapa karya sastra; kemudian terkait mata pencaharian penulis akan memaparkan dua hal yakni pertanian dan perdagangan sebagai dua kegiatan ekonomi yang paling menonjol di Yatsrib. Sedangkan dalam hal sistem religi, penulis akan membahas empat religi yang berkembang di Yatsrib yakni Hanifiyyah, Pagan Arab, Yahudi, dan Kristen. Kemudian akan dijelaskan dampak dari interaksi yang terjadi di dalam masyrakat Yatsrib Landasan teori yang digunakan untuk meneliti masyarakat Yatsrib adalah teori identitas etnis dan kabilah. Identitas melekap pada setiap individu yang lahir yang akan terus ia bawa hingga ia mati hal ini berarti bahwa setiap individu mempunyai satu identitas etnis yang melekat selamanya namun kemudian pandangan ini digantikan dengan pendapat lain yang menyatakan bahwa setiap individu tersedia serangkaian ruang referensi simbolis atau nyata yang merupakan tanda-tanda identitas yang dapat dipilih untuk menghadapi situasi tertentu (Perret, 2010: 17). Dalam meneliti masyarakat dengan identitas etnis yang berbedabeda perlu diketahui secara pasti bahwa pengelompokan mereka berdasarkan etnis merupakan sebuah pengelompokan yang benar sesuai pengertian etnis yang melekat pada diri suatu individu atau kelompok. Perret (2010: 15) menegaskan bahwa identitas etnis ini terbentuk menurut hubungan saling ketergantungan yang berlangsung di antara ruang-ruang dan disepanjang jaringan-jaringan yang menghubungkan dua atau beberapa kelompok manusia. Teori kedua yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kabilah. Kabilah merupakan salah satu dari unit masyarakat Arab, unit masyarakat ini dimulai dari yang tertinggi atau terbesar kemudian ke unit masyarakat terkecil yakni sebagai berikut; al-sya’b (jamak: al-syu’ub) – kabilah (qabilah, jamak: al-qaba’il) – imarah – al-bathn – al-fakhdz – al-fashilat (Jawad Ali: 318). Hitti (2008: 26) menyebut kabilah dengan tribe (suku) yang diposisikan berada di atas clan (klan) atau yang ia sebut dengan istilah qaum (kaum). Klan merupakan kesatuan hidup yang terdiri dari beberapa atau sejumlah keluarga yang masih dalam satu keturunan. Mereka tinggal bersama di dalam sebuah tenda besar yang kemudian membentuk hay. Sedangkan tribe (qabilah,kabilah) adalah satu kesatuan hidup atau kelompok Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
6
berdasar satu keturunan yang terdiri atas beberapa clan. Dan sebutan banu (anak dari, children of) merupakan gelar yang mengawali nama rumpun mereka (Hitti, 2008: 89). Untuk memudahkan dalam menuangkan hasil penelitian sejarah maka penulis menggunakan empat langkah yang dikutip dari Dudung Abdurrahman (1999: 44). Langkah tersebut sebagai berikut; pertama heuristik langkah ini berarti proses pengumpulan data atau pengumpulan objek yang berasal dari suatu dan mengumpulkan bahan-bahan tertulis. Kedua verifikasi atau kritik selanjutnya aufassung atau intepretasi pada tahap ini penulis melakukan kesimpulan atas data dan fakta yang diperoleh dari data-data otentik tentang sejarah Yatsrib. Langkah terakhir adalah historiografi atau darstellung yakni proses penyusunan kembali menjadi sebuah kisah baru dalam bentuk tulisan. Kajian tentang masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad telah banyak dilakukan oleh para peneliti sejarah Nabi Muhammad di seluruh dunia. Sebagai bagian dari kajian sejarah tentunya kajian ini akan meneliti studi sejarah masyarakat Madinah. Namun dalam penelitian yang dilakukan penulis memfokuskan diri terhadap masyarakat Madinah sebelum datanganya Nabi Muhammad kewilayah ini. Kajian ini melahirkan banyak penelitian terhadap berbagai sudut pandang sejarah Nabi Muhammad di Madinah. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Abdul Aziz (2011), Aziz dalam penelitianya yang kemudian ia bukukan dengan judul Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam, memfokuskan diri pada perkembangan politik Islam di Madinah. Bahwa ia ingin memberikan sudut pandang yang berbeda terhadap proses pengaruh agama Islam terhadap pembentukan negara (state formation) khususnya Negara Madinah. Kemudian Ramadaniaty Chadijah (1992), ia dalam penelitian skripsinya yang berjudul Usaha-Usaha Nabi Muhammad dalam Mengislamkan Masyarakat Madinah, mengatakan bahwa penduduk Madinah merupakan masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari model masyarakat yang terdiri dari dua golongan yakni penduduk asli atau kaum badui dan penduduk perkotaan. Kebudayaan di Madinah sudah cukup maju akibat adanya akulturasi budaya yang dibawa oleh para pendatang. 2. Sejarah Masyarakat Yatsrib Sejarah telah mencatat terdapat empat fase masyarakat yang mendiami Yatsrib dan membangun kota ini menjadi kota yang maju dan berkembang yaitu Yatsrib, Amalaek, Yahudi dan kemudian Arab. Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
7
2.1 Yatsrib Yatsrib merupakan sebuah kawasan yang cukup dikenal pada masa kuno di sekitar Jazirah Arab. Ptomely telah mencatat keberadaan kota ini dan menyebut kota ini dengan Iathrippe dan Iothrippe. Sedangkan Ishthiofanus menyebut kota ini dengan Iathrippapolis (Misrawi, 2009: 120). Menurut Madjid, orang-orang Yunani telah mengenal kota ini dengan sebutan Yetroba (Madjid, 2008: 19). Hal yang menyebabkan kota ini cukup terkenal adalah karena tempat ini disebut-sebut sebagai kawasan yang aman dan jauh dari konflik. Berbeda dengan wilayah-wilayah lain yang terlibat banyak konflik di antara kabilah penghuni wilayah mereka seperti yang terjadi di Mekkah (Misrawi, 2009: 117). Orang yang pertama kali datang ke kawasan ini adalah Yatsrib (Misrawi 2009: 21). Yatsrib adalah nama keturunan Nabi Nuh as [selanjutnya ditulis dengan Nabi Nuh] sebagai orang yang pertama menempati kawasan ini. Ia adalah Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Iram bin ‘Abil bin ‘Iwadh bin Iram bin Sam bin Nuh dari keturunan Bani Ubail yang diperkirakan berada di kawasan ini pada 2600 SM (Misrawi, 2009: 120). Ada juga sejarawan yang melihat nama ini dalam sudut pandang makna bahasa. Kata Yatsrib berasal dari akar kata tsa-ra-ba yang berarti mencela (Munawwir, 1997: 147), mencerca (mulamah), rusak (fasad) dan menjelek- jelekan (Ibrahim, 2007: 46). Seperti yang ditemukan dalam surat Yusuf ayat 29 la tastsriba ‘alaikum al-yawma. Kemudian kata ini menderivasi menjadi at-tsarbu yang bermakna lemak yang berada di perut. Dalam versi yang lain kata at-tsarbu memiliki arti tanah yang di atasnya terdapat batu api yang berwarna putih (Misrawi, 2009: 117). 2.2 Amalek Orang-orang Amalek adalah para imigran yang berasal dari Babilonia yang berada di Mesopotamia. Proses perpindahan mereka diketahui sejak zaman pemerintahan Raja Namrud (Yahya, 1985: 194). Mereka adalah keturunan Imlik bin Lodz bin Sam bin Nuh yang berasal dari Arab Utara (Aziz, 2011: 211). Misrawi menyebut mereka sebagai sebuah dinasti yang berpusat di Mesir. Sedangkan Hafiz (1986 : 15) menyebutkan mereka berasal dari Syam. Wilayah mereka disebutkan hingga beberapa kawasan di Jazirah Arab seperti Suriah, Yaman, Makkah dan Yatsrib. Dinasti ini juga pernah menguasai Shan’a sebuah wilayah di kawasan Yaman, hal ini karena kota Shan’a dulunya dikenal dengan nama Amalekit (Misrawi, 2009: Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
8
158). Para sejarawan juga menggolongkan mereka sebagai bangsa Arab asli atau yang biasa disebut dengan al-Arab al-Baidah (Shafii, 1988: 77). Sedangkan dalam kitab perjanjian lama juga diterangkan tentang sejarah kaum Amalek ini. Amalek adalah nama seorang anak cucu Esau. Ayahnya bernama Eliphaz dan ibunya bernama Timnah, seorang gundik (selir) (Kejadian 36: 12). Amalek merupakan anak terakhir dari tujuh bersaudara keturunan Eliphaz yaitu Teman, Omar, Zefo/Zefi, Gaetam, Kenas, Timna, dan Amalek. Amalek menjadi kepala kaum, begitu juga kelima saudaranya kecuali Timna. Telah disebutkan dalam Kitab Kejadian 36:15 bahwa terdapat kepala kaum Teman, kepala kaum Omar, kepala kaum Zefo, kepala kaum Kenas, kepala kaum Gaetam, dan kepala kaum Amalek. Kaum atau Suku Amalek dipimpin oleh seorang raja yang bernama Agag atau Gog. Agag itu sendiri bukanlah nama satu orang raja, namun Agag merupakan sebuah gelar untuk raja-raja yang telah memerintah kaum Amalek (Ester 3:1). Beberapa keluarga Amalek yang melakukan migrasi ke Yatsrib adalah Bani Haf, Bani Sa’ad bin Hazan, Bani Mathar, Bani Azraq, Badil, Rahil serta Ghafar. Sedangkan Hafiz (1986: 18) hanya menyebutkan dua bani yang tinggal di pedalaman Yatsrib yakni Bani Haffin dan Bani Matrawil. Para keluarga Amalek yang datang ke Yastrib merujuk pada pendapat pertama bukan pendapat Hafiz, terbagi atas dua kelompok, yakni kelompok yang dipimpin oleh al-Arqam bin Abu al-Arqam yang dikenal otoriter dan keras, kemudian kelompok selanjutnya dipimpin oleh suku Shu’al dan Faleh. Kelompok ini menuju Yatsrib dari Mesir pada 1600 SM (Misrawi, 2009: 158-159). Kelompok ini mengusai Yatsrib setelah kota ini ditinggalkan oleh para pengikut Nuh yang bermigrasi ke Juhfah atau dalam versi lain mereka menguasai Yatsrib setelah mampu mengusir para pengikut Nuh yang mendiami wilayah tersebut (Aziz, 2011: 211). Amalek sendiri berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri atas dua suku kata yaitu ‘Am yang berarti bangsa dan Malek, yang merupakan sebuah nama suku yang berada di kawasan Aqobah (Misrawi, 2009: 159). Orang-orang Amalek dikenal sebagai orang yang kejam dan keras, mereka juga dikenal sebagai manusia yang memiliki postur tubuh yang tinggi serta berumur panjang. Hal ini seperti yang disebutkan al-Qur’an mengenai para pengikut Nuh yang memiliki umur hampir seribu tahun (QS. al- Ankabut:14). Sehingga mereka mampu menjelajahi wilayah yang luas dan menetap dalam satu kawasan yang cukup lama hingga beranak-pinak. Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
9
2.3 Yahudi Orang-orang Yahudi di Yatsrib terdiri dari tiga keluarga besar yakni Bani Qainuqa’, Bani Quraydha dan Bani Nadhir. Bani Qoinuqo’ adalah bani Yahudi yang tergolong sebagai pendatang pertama kaum Yahudi di Yatsrib (Yahya, 1985: 340). Kemudian pada gelombang kedua mulai berdatangan Bani Quraydha, Bani Nadhir dan Bani Yahdal beserta beberapa puluh kelompok Yahudi yang lain. Kedatangan orang-orang Yahudi yang baru ini membuat semakin kuatnya posisi orang-orang Yahudi di Yatsrib. Kelompok tersebut berjumlah delapan belas kelompok kecil yang juga menetap di Yatsrib. Mereka adalah Bani Anif, Bani Qashish, Bani Hadal, Bani’Amru, Bani Murid, Bani Nabi Muhammad, Bani Muawiyah, Bani Za’ura, Bani Zaid at-Lat, Bani Hajar, Bani Za’labah, Bani Ikrimah, Bani Marawah (Misrawi, 2009: 169). Kaum Yahudi yang baru datang ini kemudian menemukan sebuah lembah yang sangat subur dengan sumber mata air yang berlimpah, lembah tersebut disebut dengan lembah Bathan dan Mahzuz. Mereka membagi dua wilayah ini agar tidak terjadi pertikaian di antara mereka. Sehingga Bani Nadhir menetapi lembah Bathan sedangkan Bani Quraydha dan Bani Yahdal menetap di lembah Mahzuz (Misrawi, 2009: 168). Kelompok Yahudi yang lain memilih tinggal di utara kota yakni kawasan Khaibar, Fadak, Wadi al-Qura, Tyma dan Tabuk (Aziz, 2011: 211). Asal-usul kedatangan orang-orang Yahudi dapat dibagi menjadi empat tahapan. Tahap yang pertama adalah pada masa Nabi Musa. Setelah Nabi Musa mampu menaklukan Mesir dan menuju Palestina pada 1225 SM, maka mulai tersebarlah orang-orang Yahudi ke penjuru Jazirah Arab (Hitti, 2008: 50-51). Penyebaran orang-orang Yahudi tersebut tidak hanya di kawasan yang dekat dengan Palestina saja namun juga hingga ke kawasan Yaman dan Yamamah di selatan Jazirah Arab (Yahya, 1985: 292). Tahap yang kedua adalah pada masa Raja Nebukadnezar II atau Bukhtunashshar (Bukhtanasar) pada 606 SM (Yahya, 1985: 306). Ia adalah raja Babilonia yang kemudian menyerang kerajaan kecil Yahudi yang dipimpin oleh Raja Yahuyaqim. Penyerangan ini membawa juga Nabi Daniel sebagai tawanan. Kekejaman pemerintah Babilonia terhadap kaum Yahudi ini terlihat dari kepungan mereka terhadap kerajaan kecil ini selama lebih dari sembilan belas bulan dan menghancurkan kerajaan Sulaiman. Dengan penghancuran yang dilakukan Raja Nebukadnezar terhadap kerajaan Yahudi di Palestina ini maka sebagian orang Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
10
Yahudi banyak melakukan migrasi ke beberapa kawasan di selatan termasuk kawasan Hijaz (Yahya, 1985: 310). Tahap ketiga pada masa Titus memerintah Romawi. Pada masa ini banyak dari orangorang Yahudi yang bermigrasi dari Kanaan di Palestina ke wilayah selatan termasuk Yatsrib. Mereka terusir dan terbunuh karena Titus merupakan Raja Romawi yang memerintahkan untuk menghancurkan orang-orang Yahudi di Palestina. Kejadian ini terjadi kurang lebih pada 70 M (Aziz, 2011: 168). Kemudian pada 132 M ketika Kaisar Adrianus menguasai Palestina (Yahya, 1985: 339). Kekaisaran Romawi banyak membunuh orang-orang Yahudi di Suriah hingga Palestina yang pada saat itu dua wilayah tersebut berada dalam otoritas kerajaan Romawi (Yahya, 1985: 337-338). Tahap keempat adalah pada masa Raja Zu al-Nuwas dari kerajaan Himyar di Yaman. Ia adalah penganut agama Yahudi. Setelah Zu al-Nuwas mampu memberontak di dalam kerajaan Saba’, ia memerintahkan para pemeluk Kristen untuk berpindah agama menjadi Yahudi dan perintah ini disertai dengan pembantaian bagi pemeluk Kristen yang tidak mematuhi (Aziz, 2011: 168). Orang-orang Yahudi ini yang semula menetap di Yaman di bawah naungan kerajaan Himyar banyak melakukan perdagangan ke utara melewati jalur Laut Merah kemudian mereka singgah di kawasan Yatsrib. Dari persinggahan ini banyak dari orang-orang Yahudi yang tergabung dalam kafilah dagang ini memilih untuk menetap di Yatsrib (Hafiz, 1986: 26, 232). 2.4 Arab Etnis Arab yang mendiami Yatsrib adalah dua kabilah yang berasal dari Yaman yakni Aus dan Khazraj. Mereka merupakan dua kabilah yang bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama yakni keturunan dari Haritsah bin Tsa’labah bin Amr Muzaiqiya bin alAsad yang berasal dari Yaman yang kemudian hijrah ke Yatsrib setelah jebolnya bendungan Ma’rib (Saddu Ma’rib) pada masa kerajaan Sabaiyah diperkirakan pada 120 SM (Syalabi, 1973: 26). Kerajaan ini pada mulanya didirikan oleh Banu Qahthan yang melakukan migrasi dari Babilonia, mereka ini disebut dengan kaum Arab yang asli atau al-‘Arab al-‘Aribah (Yahya, 1985: 195). Titik awal perjalanan migrasi kaum selatan ke utara adalah dengan momentum jebolnya bendungan Ma’rib ini. Bendungan ini merupakan sebuah lembah yang diapit oleh dua gunung yang kemudian ditutup oleh dinding agar air yang telah masuk ke lembah ini Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
11
tidak hilang namun dapat ditampung (Nicholson, 2003: 15-17). Beberapa kabilah Arab di Yaman mulai menyebar di seluruh Jazirah Arab, termasuk di dalamnya adalah kabilah Aus dan Khazraj. Mereka migrasi ke utara hingga berhenti pada kawasan Yatsrib di Hijaz. Pemilihan Yatsrib sebagai tujuan migrasi mereka adalah karena kesuburan Yatsrib yang memungkinkan mereka untuk melakukan aktivitas pertanian di sana sesuai keahlian bawaan mereka sebagai petani. Sedangkan saudara mereka Bani Azad tetap melanjutkan perjalanan hingga berhenti pada sebuah tempat yang bernama Hauran sebuah kawasan dekat dengan Suriah sebelah tenggara kota Damaskus (Yahya, 1985: 177). Kondisi ketika kabilah Aus dan Khazraj tiba di Yatsrib tidak terlalu baik bagi mereka. Hampir seluruh wilayah Yatsrib telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Tidak hanya kewilayahan yang telah mereka kuasai, namun juga segala aspek penopang hidup juga telah mereka kuasai, seperti sumber air dan sumber perekonomian. Haekal mengungkapkan bahwa orang-orang Yahudi memandang bahwa hanya merekalah umat yang unggul pilihan Tuhan dan kaum yang lain berada di bawah mereka. Sudut pandang inilah yang menjadikan mereka memandang rendah orang-orang Arab yang berada di Yatsrib. Mereka menganggap orangorang Arab adalah budak dan orang yang tidak bisa diajak kerjasama (Haekal 1984: 184). 3. Interaksi Sosial dan Budaya Masyarakat Yatsrib Masyarakat Yatsrib terbentuk dalam sebuah tingkatan masyarakat yang terbagi atas kelas-kelas sosial yang didasarkan pada kedudukan dan kemampuan ekonomi mereka di dalam lingkungan masyarakat. Stratifikasi sosial berdasarkan status sosial yang berasal dari kehormatan keluarga. Kelas-kelas tersebut diurutkan dari kedudukan yang paling tinggi atau terhormat. Posisi yang terhormat adalah para pemuka agama (rijal al-din), keluarga dan keturunan para pemimpin suku atau kabilah (sadah) kemudian adalah para keluarga yang terhormat (asyraf). Strata di bawah ini adalah para anggota kesatuan perang yang disebut dengan muharib dan para pedagang biasa yang tidak memiliki latar belakang keluarga dari strata terhormat. Pada posisi ini mereka masih menempati strata sosial yang cukup diperhitungkan. Kemudian strata yang paling rendah adalah strata yang diduduki oleh pekerja kasar, tukang pikul dan para pekerja fisik. Dalam strata sosial tersebut budak (‘abd) dan para pencari perlindungan (mawla, client) menempati posisi sosial yang paling rendah (Ali: 394 dan 399). Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
12
Pola perekonomian yang berbeda-beda dan perbedaan kelas sosial di atas menimbulkan jurang yang dalam antara kaya dan miskin. Dalam pembagian kelas sosial yang merujuk pada perekonomian terdapat lima tingkatan sosial. Yang pertama sebagai tingkatan orang-orang yang terhormat sekaligus kaya raya (mala); tingkatan kedua adalah orang yang terpandang dan berkecukupan (sadah), pada kelas ini status sosial juga ikut berperan. Selanjutnya adalah golongan mawali baik orang Arab atau non Arab sebagai kelas nomor tiga; tingkatan ke empat adalah kelompok shalik atau khula’a, mereka adalah kaum miskin akibat pengucilan dari kabilahnya atau atas dasar pemutusan perjanjian perlindungan dengan kabilah pelindung yang lebih kuat; dan tingkatan yang paling rendah adalah kelompok budak (ariqqa), kelompok ini cukup banyak jumlahnya karena menyangkut dengan pemenuhan hajat tingkatan kelas di atasnya di samping memang sebagai pekerja kasar (Aziz, 2011: 177). Orang Arab yang tergabung dalam kabilah akan menjaga eksistensi kabilahnya. Berusaha menjaga harga diri dan kehormatan kabilahnya mereka menganggap bahwa kabilah mereka adalah kabilah yang paling mulia (afkar al-umam). Sistem kecintaan terhadap kabilah ini tercermin pada sikap fanatisme kekabilahan (‘ashabiyyah qabailiyyah) yang ada pada setiap anggota kabilah. Kemunculan sikap fanatisme ini dikarenakan kabilah itu benar-benar menjaga kehormatan dan naungan terakhir bagi setiap anggota kabilahnya (Hitti, 2008: 34). Fanatisme ini yang pada masa Nabi Muhammad berusaha untuk dihapuskan (Aziz, 2011: 215-216). ‘Ashabiyyah menuntut setiap anggota dari klan tertentu untuk memiliki loyalitas tanpa syarat dan suka rela kepada klannya. Hiiti menyamakan kondisi ini dengan semangat patriotisme fanatik dan chauvinistik. Semangat ini selalu disinggung oleh para penyair kabilah agar para anggota kabilah selalu teringat dengan semangat ini. Salah satu bentuk loyalitas anggota terhadap klan atau kabilahnya adalah mereka para suami bersedia dan rela melepaskan istri mereka untuk anggota klan yang lain (Hitti, 2008: 34). Hubungan klan ini memang pada dasarnya berasal dari golongan darah. Namun, terdapat pula cara lain agar seseorang dapat memiliki status yang sama dalam suatu klan yang secara darah ia bukan bagian dari keturunan klan tersebut. Hubungan ini bisa diperoleh dengan cara makan bersama atau meminum beberapa tetes darah dari klan tertentu atau juga bisa dengan proses mawla, penggabungan serta kerjasama antar klan (Khaldun, 2001: 209). Hal ini biasanya dilakukan oleh seorang budak yang telah dibebaskan oleh majikannya, Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
13
namun ia masih ingin mendapat hubungan dengan klan majikannya yang terdahulu. Bentuk perlindungan yang lain adalah perlindungan dari klan yang kuat terhadap klan yang lemah yang biasa disebut dengan dakhil (Hitti, 2008: 34). Pemimpin kabilah adalah seorang yang dianggap paling tua dan paling terhormat dari seluruh anggota keluarga tersebut. Pemimpin kabilah biasa disebut dengan syaykh atau sayyid al-qabilah. Dalam menentukan pemimpin kabilah, biasanya para petinggi keluarga dalam kabilah berkumpul dan bermusyawarah (Shafii, 1988: 99). Kepemimpinan ini biasanya diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari pemimpin kabilah sebelumnya. Mereka mencari sosok yang mampu mempersatukan seluruh unit keluarga dalam kabilah dan utamanya mampu menjaga kehormatan dan nama baik kabilah mereka (Hitti, 2008: 34-35). Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin kabilah adalah mereka harus memiliki sikap muru’ah yakni sikap yang pada saat itu sangat dihormati oleh orang orang Arab. Sikap ini mengandung banyak sikap positif beberapa di antaranya adalah sabar, berani, dermawan, berhati mulia, tegas, mampu memberikan keputusan yang baik dan berpengalaman, menghormati dan menjamu tamu, membela yang teraniaya dan memberi perlindungan bagi yang meminta (Aziz, 2011: 176). Di samping beberapa syarat di atas adalah seorang pemimpin kabilah harus memiliki rasa kecintaan kepada kabilahnya melebihi yang lain serta merupakan keturunan asli dari kabilah tersebut (Khaldun, 2001: 199). Bahasa sebagai salah satu produk budaya merupakan sebuah alat komunikasi yang digunakan untuk saling mengerti satu sama lain. Masyarakat Yatsrib yang heterogen dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda ternyata mereka di Yatsrib menggunakan satu bahasa sebagai sarana berkomunikasi satu sama lain. Masyarakat Yatsrib merupakan masyarakat penutur bahasa Arab. Meskipun terdapat banyak percampuran bahasa yang dibawa oleh kelompok-kelompok yang datang dari luar kawasan Arab. Hal ini dapat dilihat dari orang-orang Yahudi dan Kristen yang memilih belajar bahasa Arab dan menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak menggunakan bahasa ibu mereka yakni bahasa Ibrani. Bahasa Ibrani hanya mereka pakai ketika melakukan peribadatan atau pendidikan (Misrawi, 2009: 169). Secara umum, masyarakat Arab merupakan masyarakat yang gemar membuat puisi. Bahkan dikenal bahwa kedudukan seorang penyair itu sangat terhormat di kalangan mereka. Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
14
Karena melalui penyair ini sebuah interaksi diciptakan, sebuah perdamaian diciptakan dan bahkan sebuah peperangan dipicu. Karena puisi adalah sebuah sarana yang paling dikenal oleh mereka untuk mengeluarkan gagasan atau ide serta perasaan yang mereka rasakan (Misrawi, 2009: 180). Dengan kondisi lingkungan yang keras dengan gurun-gurun pasir serta kegemaran berperang cukup memberikan pandangan bagi orang Arab sebagai orang yang kasar, kejam dan keras. Namun sejatinya mereka merupakan orang-orang yang setia dalam persahabztan dan pemurah terhadap tamu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tema puisi mereka tentang sifat ramah tamah (dhiyafah), ketabahan (hamasah) dan sifat yang paling dihormati yakni sifat wibawa (muru’ah) (Hitti, 2008: 31). Beberapa penyair Yahudi yang terkenal adalah Samuel bin Farid bin Adiya, Abu alZabbal, Dirham bin Zayd, Aws bin Awfa, Sammak, Salam bin Misykam, Kinanah bin Abu alHaqiq, Abu Atabah, Abu Yasir, Abu Qarfa’, ‘Amr bin Abu Shakhr bin Abu Jurtsum, Abu Hamdhah, Ka’ab bin Said, Ka’ab bin Asyraf, Syuraih bin Imran, Sa’ya bin Gharidh, Malik bin Umar, Basmir bin Arkan, Samir bin Arkan, Abu Qais ibn Rifa’ah, Abu Dzayyal. Dari semua itu juga terdapat seorang penyair yang cukup dikenal dan memiliki banyak karya puisi yakni Rabi’ bin Abu al-Haqiq (Misrawi, 2009: 181). Mata pencaharian masyarakat Yatsrib secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yakni pertanian dan perdagangan. Pertanian menjadi andalan kota Yatsrib karena kota ini dikaruniai tanah yang subur akibat adanya gunung berapi dan sumber mata air. Yatsrib merupakan kawasan yang subur. Kesuburan wilayah ini disebabkan oleh adanya gunung berapi yang mengelilingi kota tersebut. Wilayah yang subur ini ditunjang oleh banyaknya sumber air yang berada di Yatsrib. Jika dibandingkan dengan Mekkah, maka akan terlihat sekali perbedaanya. Yatsrib terlihat lebih hijau dan subur dari pada Mekkah. Mekkah dipenuhi dengan bukit-bukit batu yang tandus dan hanya terdapat mata air zamzam di pusat kota. Wilayah yang subur di Yatsrib ini dipergunakan oleh para penduduknya untuk mengembangkan pertanian (agropastoralism) (Aziz, 2011: 198). Gunung api yang pertama adalah gunung Waqim atau yang kemudian dikenal dengan gunung Quraydhah. Gunung ini terletak di sebelah timur kota dan menjadikan wilayah di sekitarnya sebagai salah satu kawasan subur di Yatsrib. Nama gunung ini diambil dari nama seorang tokoh yang terkenal pada masa Amalek menguasai Yatsrib jauh sebelum datangnya dua suku Arab. Kabilah-kabilah yang menetap dan tinggal di sekitar gunung ini menurut Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
15
Misrawi adalah Aus, Bani Abu Asyhal, Bani Dhafir, Bani Muawiyah, dan dua bani dari Yahudi yakni Bani Quraydhah dan Bani Nadhir (Aziz, 2011: 129). Kemudian gunung Qubba yang terletak di kawasan selatan Yatsrib dan menyambung ke barat dengan Gunung berapi Wabira atau Gunung Bani Bayadhah, karena terdapat Bani Bayadhah yang tinggal di kawasan ini. Gunung ini berada di tiga mil arah barat kota berdekatan dengan lembah Aqiq yang subur. Yatsrib masih banyak memiliki gunung berapi yang lain, seperti Gunung Syawran, Gunung Nar serta Gunung Lila yang berdekatan dengan gunung sebelumnya (Aziz, 2011: 131). Sejak zaman kuno seperti pada masa awal kedatangan orang-orang Yahudi ke wilayah ini, wilayah Yatsrib sudah dikenal sebagai sebuah kawasan pertanian yang terkenal. Orangorang Yahudi Bandi Nadhir dan Bani Quraydzah telah membuat kawasan ini menjadi salah satu pusat pertanian di kawasan Hijaz (Hitti, 2008: 131). Mereka menguasai wilayah subur di utara kota seperti Khaibar, Fadak, Wadi al-Qura, Tayma, dan Tabuk (Aziz, 2011: 211). Perdagangan meskipun menjadi mata pencaharian kedua bagi masyarakat Yatsrib namun peranya tidak bisa dikesampingkan. Melalui perdagangan ini munculnya interaksi dan pertukaran informasi antar kafilah dagang yang hijrah dan berpindah dari satu pasar ke pasar lain di beberapa wilayah di kawasan Jazirah Arab. Yatsrib memiliki posisi yang setrategis karena berada pada jalur perdagangan yang digunakan oleh para kafilah-kafilah dagang dari berbagai wilayah di luar Yatsrib. Pedagang dari Yaman yang hendak ke Suriah akan melalui jalur Laut Merah dan kemudian melewati Yatsrib begitu juga rute sebaliknya dari Suriah ke Yaman (Wakil 1986: 64). Rute ini juga dipakai oleh para kafilah dagang dari Etiopia (Habsyah) yang hendak menuju Suriah, namun sebelum mereka singgah ke Yatsrib terlebih dulu mereka singgah ke Mekkah (Jamhuri, 1984: 3). Bukti lain yang menjadikan Yatsrib sebagai tempat singgah favorit para pedagang adalah para pedagang Persia yang juga melakukan persinggahan di kota ini. Mereka singgah di kota ini sambil melakukan kegiatan perekonomian seperti menukarkan hasil kerajinan dan perdagangan dengan hasil pertanian penduduk Yatsrib. Biasanya para kafilah dagang Persia ini akan menukarkan hasil kerajinan mereka yang berupa anyaman daun kurma (Wakil, 1986: 52). Selain itu, kafilah dari kota tetangga yakni Mekkah juga melakukan singgah di Yatsrib sekaligus membeli hasil komoditas pertanian Yatsrib untuk dijual ke Suriah (Haekal, 1984: 188). Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
16
Orang-orang Yatsrib lebih-lebih dari kelompok Yahudi merupakan para pedagang yang ulung. Mereka memanfaatkan kondisi Yatsrib sebagai kota singgah dengan menjual beberapa barang seperti tenun, persenjataan, emas dan perak, sedangkan komoditas pertanian yang mereka perdagangkan adalah kurma serta sayur mayor (Misrawi, 2009: 170-171). Hal ini karena topografi Yatsrib yang lebih subur dari pada Mekkah sehingga memungkinkan terdapat ladang perkebunan dan pertanian di sana. Banyak dari orang–orang Yahudi Yatsrib yang berprofesi sebagai pedagang. Kelompok Yahudi yang gemar berdagang adalah Bani Quraydha, Bani Nadhir, Bani Qaynuqa’, Bani Masah dan Bani Za’ura (Misrawi, 2009: 168). Mereka juga bagian dari para kafilah dagang yang berpindah-pindah dari satu pasar ke pasar lain yang tersebar di kawasan Jazirah Arab. Beberapa kelompok Yahudi yang tinggal di Taima merupakan kelompok Yahudi yang tergolong makmur karena tempat tersebut merupakan jalur transportasi perdagangan serta memiliki tanah yang cukup subur dengan beberapa sumber mata air (Misrawi, 2009: 175). Kondisi masyarakat yang herogen seperti ini menyababkan banyaknya kepercayaan yang dianut oleh masyarakat seperti Hanifiyyah, Pagan Arab, Yahudi dan Kristen. Dua agama terakhir merupakan agama yang menjadi penyambung proses penerimaan Islam di kemudian hari yang dibawa oleh Muhammad saw. Hanifiyah merupakan ajaran yang lurus yang percaya terhadap satu Tuhan (monotheisme). Ajaran ini disebutkan oleh para sejarawan sebagai ajaran Ibrahim (Madjid, 2008: 10). Para penganutnya merupakan golongan orang-orang shalih yang melakukan beberapa ritual yang diajarkan Ibrahim. Mereka tidak menyembah berhala ataupun dewa-dewa yang lain (Syalabi, 1973: 45). Perkembangan ajaran monotheisme yang dianut para hanif ini merupakan tonggak pertama penerimaan Islam di kemudian hari (Nicholson, 2003: 149). Pada masa jahiliyah ini banyak masyarakat Arab yang menganut agama Pagan. Mereka beribadah dengan menyembah patung-patung yang telah mereka buat sendiri. Menurut Haekal ada tiga penggolongan nama sesembahan orang Pagan berdasarkan asal bahan patung itu dibuat yakni shaman (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shaman adalah patung yang menyerupai manusia yang terbuat dari logam atau kayu. Wathan adalah patung tiuran manusia yang terbuat dari batu. Kemudian nushub adalah batu karang yang disembah tanpa bentuk tertentu (Haekal, 1984: 22). Pola keagamaan ini merata dan menyebar di
Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
17
kalangan masyarakat Arab pada masa tersebut. Hal ini terbukti dengan banyaknya pengikut dari setiap golongan masyarakat di kawasan Arab. Di Yatsrib, dua kabilah yang terkemuka yakni Aus dan Khazraj juga termasuk dalam kabilah yang menganut kepercayaan Pagan. Mereka juga menyembah patung berhala, berhala yang disembah oleh dua kabilah ini adalah Manat (Syalabi, 1973: 46). Patung ini dipahat dari batu dan dibentuk menyerupai sosok seorang perempuan. Patung ini tidak diletakan di kota Yatsrib pada saat itu. Namun, diletakkan pada sebuah kawasan pantai arah Nabi Musallah menuju Qadid antara Yatsrib dan Mekkah (Abdullah, 2010: 601). Orang-orang Aus dan Khazraj tidak menjadi pelayan ibadat secara langsung terhadap berhala Manat tetapi ada kabilah Ghatarif dari Bani Azad yang menjadi penyedia layanan ibadah terhadap berhala ini. Penyebaran agama Yahudi di kawasan Yatsrib sejalan dengan datangnya orang-orang Yahudi yang hijrah dari tanah mereka yakni Palestina. Agama ini telah berkembang di Yatsrib dan daerah-daerah oasis di utara Hijaz (Hitti, 2008: 135). Kaum Yahudi di Yatsrib merupakan golongan yang terhormat dalam bidang agama dan pemikiran, sehingga mereka banyak diminta pendapat terkait masalah kehidupan, agama dan masalah peperangan yang lazim terjadi di antara suku-suku yang berada di Yatsrib (Misrawi, 2009:176). Kemajuan intelektual yang melekat pada diri kaum Yahudi tercermin dalam tata cara mereka mengelola religiusitas dan intelektualitas orang-orang Yahudi di Yatsrib. Mereka adalah satu-satunya golongan yang menggunakan sistem sekolah di Yatsrib. Sekolah tersebut dikenal dengan al-Madaris, Bayt al-Madaris atau al-Madarisy. Dari sekolah ini mereka menciptakan para pemuka agama dan para intelektual muda. Di dalam sekolah ini para Rahib mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan bagi anak-anak Yahudi yang berada di Yatsrib (Misrawi, 2009: 176). Kristen masuk dan dikenal oleh penduduk Yatsrib melalui pergaulan dan komunikasi dalam hal perdagangan. Banyak pedagang Kristen yang melakukan perdagangan di pasarpasar Yatsrib dan Mekkah, kemudian interaksi kembali terjalin ketika para pedagang Yatsrib melakukan perdagangan ke Suriah dan singgah di Ghassan (Watt, 2006: 8-9). Kemudian pada mas Zu Nuwas menguasai Yaman banyak para imigran Kristen yang menetap di Najran kemudian berpindah ke Yatsrib dengan menempati wilayah selatan Yatsrib berdampingan dengan orang-orang Yahudi yang lebih awal menempati kawasan tersebut. Di sini mereka Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
18
mendirikan pemukiman dan juga tempat beribadah. Mereka mendirikan gereja St. Chaterine sebagai tempat mereka untuk melakukan ritual keagamaan, tempat tinggal para pendeta dan penampungan para perempuan dan anak-anak (Haekal, 1984: 233). Persinggungan yang terjadi di antara para penguasa Yatsrib dalam hal ini Auz dan Khajraz menyebabkan konflik berkepanjangan hingga membuat jenuh para tokoh dari kedua belah pihak. Konflik internal yang tidak kunjung usai membuat jenuh dua kabilah Arab ini. Mereka terus berusaha untuk mencari sosok di luar kabilah sebagai mediator bagi perdamaian mereka (Hitti, 2008: 110). Hingga pada akhirnya muncullah sosok al-Amin yang terpercaya di Mekkah, seorang Nabi, Rasul dan pemuka mereka, sosok tersebut adalah Nabi Muhammad (Haekal, 1984: 195). Berbekal informasi dan rasa ingin damai maka beberapa utusan tersebut menghadap Nabi Muhammad di Mekkah. Proses pertemuan ini disebut dengan Baiat Aqobah yang berlangsung hingga dua kali (Amstrong, 2011: 197, 200). 4. Kesimpulan Heterogenitas masyarakat Yatsrib ini kemudian membawa dua dampak terhadap kondisi masyarakat Yatsrib yakni dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari heterogenitas masyarakat Yatsrib adalah kemampuan mereka beradaptasi dengan hal dan informasi baru cukup cepat. Seperti penggunaan bahasa yang sama yakni bahasa Arab sebagai sarana berkomunikasi di antara penduduk dengan bahasa ibu yang berbeda. Tukar-menukar informasi kegamaan seperti penyampaian informasi akan adanya seorang Nabi yang disampaikan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen kepada orang-orang Arab di Yatsrib. Kemudian pola-pola kehidupan yang berbindah-pindah yang dibawa oleh para kaum badui lambat laun mereka rubah menjadi pola menetap dengan membentuk sebuah masyarakat kota. Dampak negatifnya adalah munculnya konflik yang berkepanjangan antara penduduk yang mendiami kawasan ini. Konflik yang muncul dirasa lebih banyak karena mewakili berbagai kepentingan masyarakat. Pada awalnya persaingan yang terjadi hanyalah antara orang Arab dan orang Yahudi, hal ini juga dikarenakan masalah lokasi tempat tinggal yang lebih bersifat ekonomis. Pada tahap selanjutnya, konflik yang muncul bersifat horizontal antara orang-orang Arab sendiri karena mulai muncul intrik untuk menjadi penguasa tunggal di Yatsrib. Dengan adanya dua dampak ini menjadi bahan yang kuat untuk proses penerimaan Islam dan perkembangan ajaran agama ini di Yatsrib. Islam berkembang akibat kesadaran Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
19
mereka akan konflik yang berkepanjangan sehingga Nabi Muhammad dapat dengan mudah diterimas sebagai juru damai. Kemajemukan masyarakatnya membuat Islam menjadi agama yang luas dan komperhensif. Daftar Pustaka Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Cet. II. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999. Abdullah, Sami bin al-Maghlouth. Atlas Agama-Agama. Jakarta: Almahira, 2010. Ali, Jawad. al-Mufasshal. jilid IV. Amstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis.terj. Sirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti, 2011. Aziz, Abdul. Chiefdom Yatsrib Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011. Hafiz, Ali. Fusul Min Tarikh al-Madinah al-Munawwarah. Cet.I. Jeddah: Syarikah alMadinah al-Munawwarah li al-Taba’ah wa al-Nasyr, 1986. Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. terj. Ali Audah. Jakarta: Tintamas, 1984. Hamka. Sejarah Ummat Islam. Cet. V. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Hitti, Philip K. History of The Arabs. terj. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008. Ibrahim, Khalil. Mukjizat Kota Madinah. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007. Jamhuri, Sa’id. Negeri Arab Sebelum Islam. Cet.II. Jakarta: PT. Pedoman Ilmu Jaya, 1984. Kitab Perjanjian Lama, Bogor: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997 Margadinata, Wildana., dan Laily Fitriani. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: UIN Malang Press, 2008. Madjid, Nurcholis. Umrah & Haji Perjalanan Religius. Jakarta: Paramadina, 2008. Misrawi, Zuhairi. Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW. Jakarta: Buku Kompas, 2009. Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Cet. ke-14. Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997. Nicholson, Reynold Alleyne. A Literary of The Arab. New Delhi: Adam Publisher and Distributors, 2003. Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Terj. Saraswati Wardhany. Cet. ke-1. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2010. Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013
20
Shafii, Mohammad Mochtar. Sebelum dan Sesudah Wahyu. Cet. II. Kuala Lumpur: Elman Corp, 1988. Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, penj. Muhtar Yahya. Jakarta: PT Jayamurni, 1973. Watt, W. Montgomery. Muhammad Nabi dan Negarawan. Cet. I. terj. Djohan Effendi. Depok: Penerbit Mushaf, 2006. Wakil, Muhammad Sayyid. al-Madinah al-Munawwarah ‘Asimah al-Islam al-Ula, cet.I. Jeddah; Dar al-Mujtama’,1986. Yahya, Muhtar. Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Universitas Indonesia
Heterogenitas masyarakat…, Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, FIB UI, 2013