HERMAWAN KARTAJAYA HERMAWAN KARTAJAYA
SIASAT SIASAT BISNIS BISNIS Menang dan Bertahan di Abad Asia Pasifik
Menang dan Bertahan di Abad Asia Pasifik
DAFTAR ISI I – Competitive Setting 1. Belanja 2. Transaksi Angkasa
hal
6 8
3. Tukang jahit
11
4. Pak Gembong
15
5. Konglomerat Baru
18
6. Bhinneka Tunggal Ika
21
7. Warren Keegan
24
8. Orang-orang Terpilih
27
9. Rosihan Arbie
30
10. Wanita dari Venus, Pria dari Mars
33
11. Global Tribes
36
12. Negara Berkembang
39
13. Sijori
42
14. Horizontalisasi
45
15. Kompetisi Schumpeter
47
16. Indonesia
49
17. Neraca Emas
52
18. Lands`End
55
19. Bintang Indonesia
58
20. Persaingan Global
62
21. Koperasi
63
22. Defisit
65
23. Tukang sate
67
24. Sandra Bullock
69
25. Amerika
71
26. Hewlett-Packard
73
27. LA Light
75
28. MSNBC
77
29. Kisau
79
30. Cabai
81
31. Disclosure
83
32. Pesaing
86
II – Strategy 1. Sampoerna
89
2. Putri Diana
92
3. Asahi
94
4. Julio Iglesias
96
5. Bujangan
98
6. Jalan-jalan
100
7. Hong Bin Lou
102
8. BATS
104
9. Marlboro
106
10. Sharon Stone
108
11. Jacky Cheung
110
12. Delta
112
13. Kafe
115
14. Keluarga Sejahtera
117
15. Gatra
119
III – Tactic 1. Iklan
122
2. Tiga
125
3. 3 S
127
4. Ceruk
129
5. Sari Kuring
131
6. Nomor 108
133
7. Ramsey
135
8. JJ Duit
137
9. Lagoon Tower
139
10. Lady`s Free
141
11. Pasaraya
143
12. Nomor 1
145
13. Ibu Soenarjo
147
14. Hotel Tugu
149
15. Pak Dul
151
16. World Class
153
17. Gung Ho
155
18. Harvard
158
19. Hati
161
20. Telkomsel
164
IV – Value 1. RCTI
166
2. Ericsson
169
3. IBM
171
4. Planet Hollywood
173
5. Cindy Crawford
175
6. Sony
177
7. Pelanggan Bukan Raja Lagi
179
8. Setan Milan
182
9. Harga
185
10. New York, New York
188
11. Dewan Konsumen
191
12. BUMN
193
13. Seiyu
196
14. Sentuhan Midas
199
15. Nike Ardila
202
16. Harley Davidson
204
17. Mantera
207
18. Janji
209
19. PLN
212
20. Indonesianisasi
215
21. Beverly Hills 90210
217
22. Telkom
219
23. Selera
221
24. Gatotkoco
224
25. Tiga serangkai
227
26. Telepon Genggam
229
27. Merpati
231
28. Astra
233
I - COMPETITIVE SETTING
BELANJA
Ini adalah The Buzzword of Today di dunia pemasaran. Saya belum menemukan terminologi yang tepat dan pas dalam bahasa kita, tanpa kata-kata itu kehilangan makna. Saya pikir, apa salahnya untuk sementara menggunakan kata-kata tersebut supaya bisa menghayati maknanya. Sebab, itulah gejala yang memang terjadi saat ini. Kini konsumen makin pintar menilai benefit yang ditawarkan dibandingkan dengan harga yang harus mereka bayar. Konsumen Jepang, misalnya, yang selama bertahun-tahun mau membayar harga lebih tinggi utnuk produk yang sama, sekarang sudah tidak mau lagi. Merekamenuntut kualitas tinggi dengan harga yang wajar. Runtuhnya bubble economy merupakan indikator bahwa mereka tidak mau lagi membeli produk yang sama dengan banyak ekstra-yang sebenarnya tidak mereka butuhkandengan harga tinggi. Mereka jadi sadar bahwa dengan begitu, nilai sebenarnya yang mereka terima rendah. Itulah yang menyebabkan makin tumbuh suburnya discount store di sana yang membeli langsung dari supplier, dan menghindari saluran distribusi tradisonal yang panjang dan berbelit. Untuk memberikan suatu nilai yang tinggi kepada konsumen, para pengecer
berani
memotong
distributor
yang
tidak
memberikan
nilai
tambah
sesungguhnya. Di Tokyo, saya melihat sendiri, bagaimana toko-toko eceran diskon, misalnya Aoki dan Aoyama, menjamur dan tumbuh pesat. Meraka ada di mana-mana dan cuma menjual pakaian laki-laki. Mereka memerangi kemewahan dekorasi interior secara drastis, karena hal terebut tidak memberikan niali sesungguhnya untuk konsumen. Toko mereka rata-rata kecil dan
sederhana, dengan demikian bisa menghemat ongkos. Selain itu, mereka juga berusaha mendesain dan membuat produk terbut berdasrkan kualitas tertentu. Mereka bisa mendikte produsen, karena mereka tahu persis apa yangg benarbenar bernilai untuk konsumen. Selain itu, mereka menguasai akses pada konsumen dengan memiliki banyak toko eceran. Dengan demikian, mereka bisa menggunakan brand-name mereka sendiri. Di New York, saya melihat gejala sebaliknya. Ada iklan dari sebuah produsen jas yang langsung menunjukkan manfaat bagi konsumen dengan membeli produk mereka dibandingkan dengan merek lain. Iklan tersebut mebandingkan materi yang dipakai, desain yang praktis untuk para eksekutif, garansi yang diberikan, dan kenyamanan yang didapat terhadap harga yang dipasang. Dengan begitu, produsen tersebut lantas mengklaim bahwa merek mereka bisa memberi nilai tertinggi bagi konsumen ketimbang merek lain. Berbeda dengan 'iklim' di Indonesia, mereka langsung comparative-ad dalam hal tersebut. Dua hal yang saya ceritakan di atas punya 'perbedaan' sekaligus 'persamaan'. Di Tokyo, usaha untuk memberikan value bagi konsumen dilakukan oleh discount store. Di New Yrok, hal itu dilakukan produsen. Jadi, yang mengambil inisiatif berhak memperoleh brand-equity. Bagaimana dengan Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia ? Apakah konsumen kita masih akan tetap bertahan pada "gensi" atau sebagian besar sudah beralih ke "nilai"? Menurut saya, kita justru harus berpikir sebaliknya. Sebagian besar konsumen kita justru harus berpikir sebaliknya. Sebagian besar konsumen kita justru masih peduli akan "nilai". Para yuppies atau kaum snob di Indonesia jumlahnya belum besar dan mungkin saja mereka tetap kepingin trendy. Dalam arti ingin kelihatan "lain dari yang lain", walaupun harus hidup "di atas kemampuan". Selain itu, memang ada segmen cherry red on top of the icecream, yang jumlahnya relatif kecil dan lebih image-oriented. Tapi yang harus diingat, globalisasi tidak bisa ditahan. Konsep warehouse-retail, contohnya Makro, yang sudah terbukti sukses, akan terus masuk ke Indonesia tanpa bisa di tahan olehregulasi apapun. Dan sudah terbutki, orang-orang yang berada disegmen cherry red itupun suka belanja di Makro. Saya tidak yakin, apakah mereka memang super-value-oriented atau cuma sekadar trendy. Anjuran saya, adalah pekerjaan rumah bagi semua marketer di Indonesia untuk merenungkan gejala yang juga disebutkan Philip Kolter di Hotel Borobudur, Jakarta, Februari 1994, yaitu Super-Value-Marketing.
TRANSAKSI ANGKASA
Pernahkah anda membayangkan akan adanya sebuah perusahaan bernama : Indoneisa-On-Line (IOL) ? Perusahaan ini menawarkan kepada pelanggannya untuk memilih informasi yang disukai. IOL terutama digemari para eksekutif yang sibuk dan kurang waktu. Namun, mereka harus mengakses informasi secara up-to-date. Ketinggalan informasi bisa berarti kehialangan peluang. Lebih parah lagi, kalau informasi penting lebih dulu diketahui pesaing. Itu bisa menimbulkan ancaman. Sebelum ada IOL, para eksekutif terpaksa membaca banyak koran dan majalah. Tiap pagi mereka membaca Kompas dan Bisnis Indonesia. Tiap Selasa membaca GATRA, dan barangkali tiap bulan membaca Swa. Selain itu, dikantor, supaya tahu situasi regional maupun internasional, mereka juga harus meluangkan waktu untuk membaca The Strait Times, Asia Wall Street Journal, dan kadang-kadang USA Today. Untuk majalah luar negeri, umumnya mereka rutin mengikuti World Executive Digest, Fortune, dan The Economist. Itupun seringkali dirasa belum cukup. IOL didirikan untuk menghilangkan kesulitan para eksekutif yang punya waktu sempit, tapi tidak boleh ketinggalan informasi. Dengan jadi pelanggan IOL, para eksekutif tidak perlu pusing lagi. Sebab, perusahaan inilah yang akan berlangganan semua koran, majalah, dan televisi kabel, dan kemudian melakukan customization utnuk tiap pelanggan. Informasi akan dikirim per fax atau modem ke rumah atau di mana pun pelanggan berada. Bayaran yang ditagih sesuai dengan jumlah informaasi yang dikirim. Penagihannya bisa dilakukan dengan pemotongan langsung lewat kartu kredit Inilah yang disebut transaksi angkasa (marketspace transaction). Mengapa disebut begitu? Soalnya, tidak ada transaksi fisik sama sekali. Pelanggan tidak akan menerima koran, majalah, maupun menghadap suatu televisi kabel secara fisik. Merekea cukup melihat informasi tersebut di layar monitor komputer pribadi, dan bisa dicetak bila dimaui. Tidak ada rekenig datang tiap bulan. Pemberitahuan mengenai pembebanan dan pembayaran dilakukan secara elektronik. Prof. Rayport dari Harvard Business School meramalkan bahwa pelan tapi pasti, akan terjadi pergeseran dari marketplace ke marketspace.
Saya sekarang lebih suka membeli buku bisnis dan marketing terbaru ke penerbitnya secara langsung di Amerika. Lantaran namasaya berada dalam mailing-list mereka, maka saya dengan mudah mendapatkan informasi tentang buku-buku terbaru. Dengan hanya mem-fax formulir pesanan dan mencatumkan nomer kartu kredit, maka order bisa bergerak menembus jarak ribuan mil dalam sekejap. Setelah tiga minggu, buku-buku yang saya pesan tiba di rumah, dan harga yang saya bayar hanya harga buku plus ongkos transportasi. Sebelumnya, saya merupakan pelanggan potensial bagi toko buku Gramedia. Sekarang saya tidak pernah lagi ke Gramedia, karena merasa lebih conventient dengan cara baru ini. Dengan demikian, Gramdeia kehilangan seorang pelanggan potensialnya dan kalah oleh pesaing yang berada pada jarak ribuan mil. Sebenarnya Gramedia tidak harus kalah, kalau sudah mengenal pelanggannya lewat data-base. Gramedia sebenarnya punya peluang melayani pelanggan seperti saya, yang bisa menghabiskan jutaan rupiah per bulan dalam belanja buku impor. Itulah salah satu contoh dari kompetisi yang terjadi di market-place yang tradisional dan market-space yang bakal lebih gencar lagi pada masa akan datang. Untuk menjelaskan perbedaan konseptual antara kedua transaksi tersebut, Prof. Rayport menyebut tiga komponen utamayang harus diperhatikan : Content-ContextInfrastructure. Dalam pemasaran tradiosional yang mengandalan marketplace, kita harus menyediakan ketiga elemen utama itu sendiri. Sebuah perusahaan majalah harus mencari informasi sendiri ( content ), menyajikan tata letak yang menarik ( context ), dan mempunyai jalur distribusi ( infrastructure ) sendiri. Sebuah toko buku harus menyediakan buku secara fisik ( content ) , menyusun buku-buku- tersebut secara menarik dan memberikan suasana belanja yang nyaman ( context ), serta menyediakan gedung untuk dipakai sebagai toko buku ( infrastructure ) . Ketiga elemen utama itu seolah tak terpisahkan dan harus terintegrasi untuk menunjang suatu brand-equity. Peran penerbit di Amerikatidak perlu menyediakan buku secara fisik, tapi cukup informasi tentang buku tersebut ( content ), dan tidak perlu mengirim sendiri
buku
tersebut ( infratructure ) . Sekali lagi, mereka cuma jadi perusahaan context. Di sini terlihat bahwa berbeda dengan marketplace transaction, pada transaksi marketspace terjadi " pemisahan" antara ketiga elemen utama tadi. Dalam situasi seperti itu, kita dihadapkan pada pilihan mau jadi perusahaan spesialis di bidang content, seperti Disney Land, yang memproduksi film-film kartun; atau context, seperti HBO, yang
merupakan solution-provider bagi pelanggannya; atau infrastructure, seperti Satelindo yang punya Satelit Palapa.
TUKANG JAHIT
Seorang teman saya sangat bangga karena dia bisa mengekspor mebel ke Taiwan dalam jumlah besar. Saya pernah diajak jalan-jalan ke pabriknya. Dengan muka berseri-seri, ia menunjukkan tentang proses produksi secara lengkap. Hebatnya, satu tahun sebelumnya, ia belum tahu apa-apa tentang mebel. Ceritanya, pada suatu hari ia bertemu dengan seorang warga Taiwan, yang kemudian mengajarinya tentang permebelan. Orang Taiwan ini, waktu itu, sedang mengalamai problem besar. Dulu ia bisa membeli kayu log dari Indonesia, tapi mendadak tidak bisa lagi. Ada larangan ekspor log dari pemerintah Indonesia. Maka, sebuah kerja sama antara warga Taiwan tadi dan kawan saya untuk membuat perusahaan mebel itu jadi klop. Mulai dari nol sampai mengerti mebel, kawan saya itu diajari oleh orang Taiwan tersebut. Pembagian kerja antarmereka sederhana saja: "Kamu yang bikin, saya yang jual." "Kamu punya kayu, saya punya pasar." "Kamu untung, saya pun untung." Kerja sama seperti ini kelihatan seperti win-win. Bahkan win-win-win. Mengapa? Pemerintah Indonesia ikut senang: dapaat emplyoment, dapat pajak, dan sebagainya. Apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Ketika saya bertemu kembali dengan teman tersebut, ia sedang gundah. Ia bercerita panjang lebar bahwa janji mulukmuluk partnernya tentang passar yang besar ternyata janji kosong. Secara legal, ia tidak bisa menuntut apa-apa.. Janji itu tidak tertulis. Susahnya, pada waktu orang Taiwan itu mengalihkan ordernya kepada orang lain, yang bisa memberinya produk yang sama dengan harga lebih murah, teman saya hanya bisa gigit jari. Ia tidak bisa apa-apa karena tidak tahu apa-apa tentang pasar Taiwan. Kisah klasik seperti ini juga sering kita dengar dari orang-orang yang tidak mengerti tambak tapi ikut ramai-ramai masuk industri tersebut. Setelah melakukan investasi besar-besaran, janji pembelian bisa hilang begitu saja. Di Bandung, pekan lalu, ketika saya berbicara tentang "Strategic Marketing Plus 2000", ada orang pengusahan garmen mengeluh tentang pasar di Eropa yang minta
produk makin bervariasi dalam jumlah sedikit-sedikit. Ia tidak bisa melayani permintaan semacam itu, karena tidak mendapat dukungan dari pemasok di sana. Pabrik tekstil maunya menjual dalam skala besar. Sedangkan ia harus melayani permintaan dalam skala kecil. Ketikasaya tanya lebih lanjut, memang benar, pengusaha ini tidak menjual garmennya ke Eropa dengan merek sendiri. Bukan cuma brand yang dipunyai pembeli, melainkan juga desain, warna, dan ukurannya. Jadi, ia benar-benar tukang jahit. Dari tiga kasus di atas bisa terlihat bahwa peddler is powerful than tailor (penjaja lebih berkuasa dari tukang jahit). Mengapa ? Penjaja tahu persis tentang apa yang diminta konsumen . Ia tahu persis pula apa yang merupakan jadi value bagi konsumen. Ia bisa mengubah value tersebut menjdai features, yang harus ada di dalam sebuah produk. Dan tinggal minta tukang jahit untuk membuat produk yang ada features seperti itu. Kalau permintaan konsumen berubah, penjaja tahu lebih dulu peddlers eat, sleep and dream with the market. Sedangkan tailors eat, sleep dan dream in the factory. Itu bedany. Tukang jahit cuma menguasai bagaimana cara membuat, sedangkan penjaja menguasai lapangan. Walau tukang jahit terus-menerus meningkatkan cara mereka menjahit sehingga produktivitas makin tinggi, kurang ada gunanya kalu ia tidak tahu produk apa yang sebenarnya disukai konsumen. Kisah pahit dari orang-orang yang berjasa dibalik produk ini memang sudah merupakan cerita klasik. Tapi ada beberapa orang yang cukup pintar. Ia berjasa dalam pembuatan suatu produk, tapi tidak mau hanya bersembunyi di balik produk tersebut. Ia ingin tampil juga ke permukaan. Bahkan akhirnya bisa lebih dominan ketimbang pemilik produk. Bayangkan Nutra Sweet, pemanis buatan untuk orang-orang yang takut pada kalori tinggi. Nutra Sweet tidak mau bersembunyi dalam produk yang menggunakan jasanya, melainkan juga tampil ke atas. Kalau Anda minum Diet Coke yang ada Nutra Sweet di dalamnya juga sadar akan hal tersebut. Mengapa ? Ada logo Nutra Sweet tercantumg di kaleng Diet Coke. Supaya bisa tampil di situ, Nutra Sweet memberikan diskon tertentu pada waktu Coca Cola melakukan pembelian. Yang
lebih
hebat
lagi
adalah
Intel.
Perusahaan
ini
adalah
pembuat
mikroprosesor- jantung komuter apa saja. Barang inilah yang memproses semua data dan mengubahanya menjadi informasi. Barang ini pula yang menentukan sebuah komputer bisa bekerja cepat atau tidak, akurat atau tidak, dan sebagainya. Tahu akan
pentingnya peran yang dipunyai, Intel selalu minta pada perusahaan komputer mana pun untuk mencatumkan kata Intelinside. Apa akibatnya? Aturan main industri komputer berubah. Dulu, perusahaan hardware yang memegang komando, dan perusahaan software harus menyesuaikan diri dengan perangkat keras. Dan merek micro-processor chip tidak pernah dikenal orang. Sekarang keadaan jadi berbalik. Orang komputer bilang, ada yang disebut Microtel Camp. Microtel adalah kepanjangan dari Microsoft dan Intel. Komputer apa pun mereknya, kalau tidak kompatibel dengan program-program Window, akan sulit dijual. Demikian juga kalu sebuah komputer tidak pakai Intel Chip, orang akan kurang menghargainya. Dua kasus di industri high-tech ini tidak sama dengan kasus sebelumnya. Tapi ada satu pelajaran yang bisa ditarik. Siapa yang pegang brand, dialah yang lebih dominan. Dalam kasus mebel, tambak, dan garmen, nilai tambah terbesar diambil oleh yang punya brand dan tahu pasar. Tukang jahit yang hanya tahu produksi, tapi tidak tahu pasar, cuma mendapat nilai tambah relatif kecil. Margin yang diterima pun dibatasi oleh yang punya brand dan tahu pasar. Bagaimana pula dengan kasus Microtel? Perusahaan pembuat perangkat keras punya brand. Dulu pembuat perangkat lunak dan chip tidak terlalu sadar akan pentingnya
brand.
Maka,
persaingan
komputer
era
dulu
adalah
peperangan
antarperangkat keras. Al Ries, dalam percakapannya dengan saya di New York, bulan lalu, mengatakan, itulah Perang Dunia Komputer. Hasilnya : IBM diserang Apple, HP, Wang, dan sebagainya. Mainframe lawan PC. Sekarang, kata Ries, industri komputer masuk Perang Dunia II. Mengapa ? Sekarang bukan perangkat keras lawan perangkat keras. Juga bukan hanya terjadi perang antara PC, Laptop, dan Palmtop. Lebih dari itu, IBM dan Apple dipaksa tunduk pada perangkat lunak dan mikroprosesor tertentu. Itu terjadi setelah Window dan Intel sebagai brand punya equity tinggi di mata konsumen. Untuk memenangkan perang ini, IBM dan Apple, yang dulu musuh bebuyutan, akhirnya terpaksa bekerja sama dalam sebuah proyek utnuk membuat mikroprosesor yang nanti akan dipakai bersama. Apa tumon ? Itu memang harus dilakukan. Perang kali ini tidak akan mudah dimenangkan oleh kelompok perangkat keras. Baik Bill Gates maupun Andy Groove terus menerus melakukan inovasi utnuk memperkuat brand-equity dari Microsoft dan Intel. Windows 95, walaupun masih ditunda, akan diluncurkan sebagai suatu produk yang hebat. Sedangkan Intel ngotot
dapat Pentium yang, walaupun mengalami beberapa masalah, telah selesai disempurnakan. Kalau Microtel masih akan terus dominan, maka merekalah yang akan mengambil bagian margin yang besar. Ada
sebuah perusahaan sepeda Cina, yang dulu mengekspor sepeda ke
Amerrika di bawah brand-name pembeli, sekarang telah berhasil mengekspor dengan brand sendiri. Pemasarannya dilakukan oleh sebuah perusahaan distribusi Amerika, yang juga mereka beli. Pada mulanya memang berat. Tapi sekarang sudah kelihatan hasilnya. Itulah kisah " tukang jahit " yang pintar mengubah nasib.
PAK GEMBONG
Di Yogyakarta, ada yang namanya Pak Gembong. Ia adalah insinyur peternakan. Tapi, sekarang terkenal karena buka praktek "metafisika". Saya mengenalnya lewat foto yang ditayangkan Dr. Basu Swastha Dharmamesta, Deputi Direktur Program MM, Universitas Gajah Mada. "Ini saingan Pak Hermawan," katanya. Pak Gembong adalah pengasuh ruang konsultasi keluarga, kesehatan, dan bisnis pada Harian Berita Nasional. Ada seorang pengusahan bertanya kepada Pak Gembong, mengapa usahanya mundur terus. Ia merasa produknya cukup bagus dan harganya pun bersaing, tapi tetap tak laku. Ia curiga pada pesaingnya yang, menurutnya, bertindak fair. Soalnya, hampir tiap Jumat, ada taburan beras kuning di depan tokonya. Apa jawab Pak Gembong? " Tenang saja. Orang jahat tidak akan kekal, karena tidak direstui Tuhan. Ini adalah soal yang ada di luar kontrol. Soal metafisika yang sulit dicerna lewat logika biasa." Pak Gembong lantas mempersilahkan si penaya untuk datang ke tempat prakteknya. "Ini mungkin yang disebutkan Pak Hermawan sebagai invisible competitor pada situasi 4c yang disebut chaos-situation itu," kata Basu. Ia mengambil contoh Pak Gembong untuk menjelaskan konsep pemasaran strategi yang tidak cukup hanya memperhatikan konsumen. Pesaing juga harus dinilai tidak hanya dari segi kekuatan dan kelemahannya, tapi juga harus diantisipasi serangan balik dari mereka terhadap strategi yang kita buat. Apalagi kalau kompetisi sudah masuk tahap hyper seperti ditulis Richard D'aveni dalam buku Hypercompetition. Secara lebih sederhana, Al Ries dan Jack Trout sudah menyebutkan tentang the law of unpredictablity dalam buku The 22 Immutable laws of Marketing, yang berbunyi : Unless you write your competitors plans, you can't predict the future. Maksudnya : Anda tidak bisa "bebas" dalam dunia bisnis. Perusahaan Anda tidak berada dalam suatu lingkungan yang vakum di mana perusahaan lain tidak akan bereaksi. Menurur pengamatan saya, banyak perusahaan merancang strategi tanpa mengantisipasi apa yang akan dilakukan pesaing. Target untuk tahun berikut ditentukan dengan seenaknya saja. Setelah itu, mereka susun strategi tertentu untuk mencapai target tersebut. Susahnya, strategi itu
sering kurang mempertimbangkan apa yang akan dilakukan pesaing. Maka, begitu pesaing membalas, strategi yang sudah tetapkan sebelumnya jadi kurang efektif paling tidak, sulit dicapai. Di tengah perjalanan, sering ada revisi. Ini bukan hanya karena situasi taktikal di lapangan berbeda dengan waktu pembuatan strategi di kantor pusat, tapi juga lantaran pesaing mulai bereaksi ketika strategi dijalankan. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah response-time dari pesaing. Sampai berapa lama kira-kira pesaing akan bisa merespon. Douglas Bowman dan Habert Catignon menulis sesuatu yang menarik di Journal of Marketing Research edisi Februari 1995. Mereka mengajarkan untuk meninjau tiga hal kalau Anda mau memperhitungkan respon time pesaing terhadap peluncuran produk baru anda. Ketiga hal itu adalah karektiristik industri bersama posisi perusahaan Anda sendiri, kompleksitas produk dan ketidakstabilan lingkungan, serta pangsa pasar dan pemanfaatan kapasitas dari perusahaan-perusahaan pesaing anda. Dengan melakukan analisis terhadap tiga hal itu, diharapkan Anda bisa memperkirakan, setelah berapa lama, pesaing Anda bisa "menyerang" balik. Ini tidak mudah, memang. Anda akan punya pekerjaan rumah untuk memeriksa switching-cost konsumen, perkembangan teknologi, dan bahkan melakukan intelegensi pemasaran. Apalagi yan harus diperkirakan response-time-nya, bukan cuma peluncuran produk baru. Strategi naik harga, turun harga, ganti atau tambah saluran distribusi baru, promosi, dan sebagainya merupakan strategi yang pasti direaksi pesaing. Maka, setiap strategi yang akan diimplementasikan harus memperkirakan serangan balik pesaing. Sebenarnya, konsep memperhatikan pesaing ini sudah lama dianjurkan Sun-Tzu, penulis buku The Art of War, yang hidup 400 tahun S.M. Ia selalu menekankan untuk know your self and know your enemy . Sun Tzu berpendapat, hanya mengetahui kekuatan dan kelemahan sendiri berarti Anda cuma tahu separuh saja. Sebelum berperang, Anda harus tahu kekuatan dan kelemahan musuh anda. Pada waktu seminar di kampus Gadjah Mada itu, saya menekankan bahwa perubahan sangat cepat, yang dipacu tekhnologiinformasi yang begitu canggih, membuat perilaku customer dan competitor sebuah bisnis retail akan berubah sama sekali. Dan perubahan ini bisa membuat anda tidak melihat pesaing. Sebuah supermarket semodern apapun pada saat ini bisa saja punya saingan semacam perusahaan direct selling, yang menggunakan jaringan internet sebagai infrastruktur untuk berhubungan dengan pelanggan.
Dengan bantuan perubahan infrastruktur lain, seperti Federal Express, UPS, DHL, yang pasti akan lebih maju lagi, perusahaan seperti itu akan mampu melayani pelanggan dengan sangat baik,. Nah, kalau sudah begitu, bisnis eceran pada tahun 2020 bisa jadi lain sama sekali.
KONGLOMERAT BARU
Konglomerat baru. Itulah yang diusulkan Mochtar Riady. CEO ideal pilihan majalah itu punya ide cukup inovatif. Sepert I biasanya, ide Mochtar selalu baru dan penuh daya terobos. Sejak dari tabungan Tahapan Dukuh Lippo ( Lippo Village ), sampai yang terakhir asuransi Warisan, Mochtar selalu inovatif. Kali ini ia bicara soal perlunya ditumbuhkan pengusaha kelas menengah jadi konglomerat baru. Teori yang dipakai sederhana saja. Menghadapi globalisasi, yang akan membuat dunia tanpa perbatasan, Indonesia perlu lebih banyak lagi konglomerat. Pengusaha kecil tidak mungkin bisa tahan ketika berhadapan dengan multinasional. Padahal, persaingan global menuntut ke situ. Mochtar mengacu pada pemerintah Singapura dan Malaysia, yang pada saat ini menggalang perusahaan nasionalnya supaya lebih kuat bertempur di luar negeri. Indonesia, katanya , harus membuat perusahaan “papan tengah” kuat agar bisa menarik perusahaan kecil ke atas. Sungguh suatu ide menarik . Apalagi gagasan itu datang dari orang yang sudah jadi konglomerat dan ingat pada kekuatan ekonomi nasional secara makro. Saya ttidak tahu bagaimana persisnya usaha yang harus dilakukan untuk mengongkretkan ide Mochtar ini. Selama ini kita kita hanya bicara tentang perusahaan swasta, BUMN, dan koperasi sebagai tiga pilar ekonomi nasional. Sepintas persepsi yang ada di benak kita: perusahaan swasta paling efisien, produktif, dan di manajemeni secara baik. BUMN adalah perusahaan yang punya hak monopoli, birokratis, dan kurang efisien: sedangkan koperasi adalah badadn usaha yang dimiliki para pribadi, kecil, tida dimanajemeni dengan baik, dan sulit berkembang. Lantaran kita memAndang pelaku ekonomi secara terkotak seperti ini , maka lantas timbul konotasi bahwa konglomerat hanya perusahaan swasta. BUMN, walau besar dan sering punya hak monopoli, dilihat sebagai wajar-wajar saja. Bukankah Pasal 33 UUD 1945 mengatakan bahwa cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara? Bukankah BUMN punya misi pengabdian masyarakat selain harus tetap dapat untung ? Sedangkan koperasi jadi pelaku ekonomi yang perlu dibina, dibantu, dan dibesarkan supaya bisa sejajar dengan
kedua pelaku ekonomi lain. Pada kenyataannya, melakukan sterotyping seperti ini bisa berakibat misleading. Pertama hanya sedikit sekali perusahaan swasta yang bisa disebut konglomerat. Baik dari ukuran besar usaha maupun banyak jenis usaha, lebih banayak perusahaan swasta menengah, lebih-lebih swasta kecil, dibandingkan dengan yang besar. Apalagi definisi konglomerat sering disalahartikan. Konglomerat adalah perusahaan yang punya usaha berbagai sektor yang tidak ada hubungan satu sama lain. Jadi, konglomerat sebenarnya adalah suatu kelompok perusahaan pada berbagai bidang usaha ( diversified companies ). Jadi, perusahaan sebesar apa pun, kalau hanya bergerak di satu bidang saja bukan konglomerat . Sebaliknya, perusahaan kecil yang punya usaha pencetakan, taksi, dan warung tegal bisa disebut konglomerat. Begitu juga dengan BUMN. Ternyata tidak semua BUMN punya hak monopoli dan manajemennya tidak baik dan kurang produktif. Bank-bank pemerintah pada saat ini tsedang berjuang keras bersaing dengan swasta. BUMN, seperti TELKOM, sedang melakukan reengineering dalam menghadapi perubahan global yang cepat. Begitu juga dengan PT Indosat, yang terus-menerus berusaha meningkatkan pelayanan 001-nya. Di BUMN saya juga melihat ada banyak aset sumber daya manusia yang masih muda-muda dan punya visi jauh ke depan. Mereka sebenarnya punya kemampuan hebat kalau pada suatu saat diberi kesempatan. Bagaimana dengan koperasi? Inilah jenis usaha yang selalu dibina suatu departemen khusus. Menterinya gonta-ganti. Begitu juga dengan nama departemennya. Kali ini, pembinaan koperasi dibarengkan dengan usaha kecil. Koperasi dan usaha kecil boleh dibina. Tapi jangan sampai terjadi over-managed but underled. Nanti malah tidak pernah jadi besar. Lihatt saja, Forrest Gump, yang polio di waktu kecil . Dia justru bisa lari kencang bukan karena dituntun, melainkan karena dibiarkan “jatuh-bangun” oleh ibunya, diberi semangat oleh pacarnya, dan dikejar oleh gerombolan anak-anak nakal. Jadi, menafsirkan ide Mochtar Riady jangan sampai salah. Yang perlu digalang bukan cuma usaha menengah swasta, karena konglomerat bukan monopoli swasta. BUMN dan koperasi juga bisa jadi konglomerat kalu sudah diversifikasikan usaha. Dan, usaha menegah milik siapa pun, yang belum diversified, juga perlu digalang. Untuk bisa memenangkan persaingan global, sebuah perusahaan tidak mesti diversified lebih dulu, bahkan sering justru harus memfokuskan diri sendiri pada bisnis pokok ( core business ).
Satu lagi yang penting, perusahaan menengah tersebut sudah terbukti bisa hidup dan berjuang dalam suatu mekanisme pasar bebas. Bukan tumbuh karena dilindungi.
BHINNEKA TUNGGAL IKA
Masih ingat Lee Iaccoca ? Ia adalah pahlawan yang mengangkat pabrik mobil Chrysler dari lembah kehancuran. Setelah dipecat dari pabrik mobil Ford, tanpa sebab yang jelas, ia membuktikan kepiawaiannya di Chrysler. Iaccoca kemudian menulis beberapa buku tentang gaya manajemen yang dipergunakannya. Pendek kata, ia berhasil mengubah citra diri dari negatif menjadi positif. Tapi , apa yang terjadi waktu Detroit “diserang” Jepang ? Iaccoca ternyata cuma pintar melawan pesaing di Amerika ketimbang musuh dari negara seberang. Orang piawai dari Chrysler yang berkantor di Detroit iitu ternyata bingung melihat Jepang bisa membuat produk dengan kualitas lebih bagus, tapi dengan harga lebih murah. Iaccoca bahkan sempat menuduh konsumen Amerika sudah tidak punya nasionalisme lagi. Konsumen Amerika, katanya, tidak bisa menghargai produk sendiri. Ia lalu mengadakan konferensi pers dan memasang iklan besar—besaran di media massa untuk mengatakan bahwa sebenarnya mobil Amerika tidak kalah dibanding dengan mobil Jepang. Strategi itu ternya tak mempan. Konsumen Amerika, yang sudah tidak percaya kepada produk buatan dalam negeri, mengejek Iaccoca habis-habisan. Setelah itu, ia langsung mengubah strategi. Ia tidak hanya melakukan perbaikan kualitas, melainkan juga melakukan reengineering, terutama dalam percepatan proses pengembangan produk baru. Dulu, Chrysler baru bisa meluncurkan produk baru setelah 60 bulan. Dibutuhkan waktu lima tahun supaya departemen design, engineering, manufacture dan departemen purchasing cukup waktu untuk “bertengkar” dan akhirnya berdamai buat mencapai kesepakatan. Apa yang terjadi? Selera pasar sudah berubah ketika produk baru diluncurkan. Setelah dilakukan reegineering, proses pencarian produk baru tersebut hsnys perlu waktu 39 bulan. Itu sudah terbukti pada Neon. Sebuah mobil murah meriah yang sempat sukses besar di Amerika. Pada waktu mengunjungi pabrik Boeing di Seatle, beberapa tahun lalu, saya juga melihat poster berbunyi : Buy American Product. Waktu itu, Boeing memberi contoh bahwwa Jepang tidak mampu melawan Amerika dalam industri pesawat terbang.
Kampanye seperti itu juga surut kembali tanpa hasil yang nyata. Ketika berkunjung ke Tokyo, akhir tahun lalu, saya makin tidak melihat bedanya dengan cewek-cewek di New York. Cewek-cewek Tokyo, seperti teman-temanya di New York, sangat tergila-gila pada barang-barang bermerek dari Perancis. Buat orang Jepang , yang terkenal nasionalismenya, naik BMW buatan Jerman yang lebih bergengsi daripada naikToyota. Bahkan pernah ada suatu angket yang pernah diselenggarakan di Tokyo dengan cara bertanya kepda cewek-cewek muda. “Anda paling senang kalau diajak kencan dengan mobil apa?” Jawabnya : “BMW putih.” Kalau sempat berkunjung ke butik Channel di Singapura, Anda akan melihat antrean wanita Jepang yang berharap bisa membeli produk tersebut lebih murah dibandingkan dengan di negara sendiri . Sementara itu, di Jerman, yang dulu menyebut diri selalu uber alles, ternyata McDonald’s jadi restoran terlaris. Orang Jerman juga tergila-gila pada sensualitas Demi More di film Disclosure. Mereka juga suka pada Madonna, Michael jackson, bahkan film Flintstone yang bauatan Amerika. Lalu apa? Globalisasi membuat dunia tanpa perbatasan negara. Informasi bisa menerobos ke seluruh pelosok dengan leluasa membuat nilai-nilai jadi berubah. Apa yang dulu salah menjadi benar dan sebaliknya. Karena itu, makin sulit saja memvonis seseorang kurang nasionalistis. Era penuh pilihan, seperti dikatakan Charles Handy, sudah datang. Tapi, John Naisbitt juga memperingatkan bahwa ditengah derasnya arus globalisasi akan timbul arus balik tribalisasi. Lihat saja, katanya, McDonald’s memang makin terkenal di seluruh dunia, tapi makanan lokal juga akan makin dicari orang. Pada waktu orang makin mengejar kemewahan, aktivitas agama pun akan makin menguat kembali . Pada saat-saat batas negara makin kabur, justru rasa nasionalisme akan bangkit kembali. Jadi pada saat ini, dunia akan menjadi makin variatif. Dan konsumen akan makin banya k pilihan. Ingat Naisbitt, saya jadi mengerti mengapa lantas timbul tenggat (deadline)
bahwa semua nama proyek harus
diindonesiakan sebelum Juni 1995. Saya jadi mengerti pula mengapa Menteri Parpostel Joop Ave marah-marah di Kuta ketika melihat semua menu restoran ditulis dalam bahasa asing. Di tengah derasnya arus globalisasi, selalu ada arus nasionalisme yang makin meningkat. Pertanyaannya sekarang : apakah memang diperlukan suatu aturan untuk mengatasi masalah tersebut. Bukankah suatu tesa dan antitesa bisa akan menimbulkan sintesa? Saya tertarik kepada Charles Handy yang berpendapat bahwa we have to build on differences di dalam era penuh pilihan. Ini dimungkinkan karena kita punya filosofi
Bhinneka Tunggal Ika-yang diharapkan bisa menampung kemajemukan sebagai akibat globalisasi dalam nasionalisme Indonesia yang dinamis.
WARREN KEEGAN
Nama Warren Keegan sudah saya kenal sejak menggemari buku-bukunya tentang pemasaran mendunia ( global marketing ). Tahun lalu, saya berjumpa dengan guru besar pada Pace university tersebut di Wharton Business School, Philadelphia. Ketika itu ia diundang
untuk mengisi sesi “Pemasaran Mendunia” dalam program
pendidikan eksekutif yang saya ikuti. Keegan sangat menghayati konsep pemasaran mendunia dan bisa
membumikannya dengan contoh-contoh praktis. Gayanya
membahas suatu kasu juga sangat memukau. Saya suka pada Keegan karena punya pAndangan bahwa : “Marketing is not just a function. Marketing is everything. Marketing is about how to do business.” Sesuatu yang sering saya sebut dalam konsep Marketing Plus 2000. Ketika itu Keegan bercerita tentang bagaimana usaha menghidupkan kembali merek Harley Davidson. Spesialis motor besar ini setengah mati digasak merekmerek Jepang, yang setelah sukses dengan motor kecil lalu masuk ke pasar motor besar . Tapi kemudian mereka berhasil bangkit. Keegan menganggap bahwa Harley berhasil dihidupkan kembali bukan karena teknolgi canggih, melainkan karena manajemen baru yang mengambil alih perusahaan krisis tersebut mengubah visi. Mereka tidak menjual sepeda motor besar lagi. Merekea menjual Harley. Harley harus berbeda dari motor besar lain. Harley ya Harley. Harley tidak bisa dan tidak boleh dibandingkan dengan merek lain. Mereka lalu membentuk komunitas Harley-terkenal sebagai HOG (Harley Owner Group). Lewat HOG itulah manajemen yang sering berkumpul, bergembira, dann bepergian bersama para pemilik lantas mempunyai hubungan belajar mengajar ( learning-relationship) makin mendalam. Pemilik mengajari manajemen tentang model motor yang mereka kehendaki. Sedangkan manajemen “mengisi” mereka tentang filosofi Harley. Selain itu, ada macammacam usaha dilakukan supaya hubungan belajar-mengajar ini bisa berjalan makin intensif sampai akhirnya Harley sebagai merek dipAndang sangat baik. Apa yang terjadi setelah itu? Setelah berhasil bangkit di negara asal, Harley tidak berhenti ampai di situ. Mereka mencari celah di seluruh dunia yang merupakan target pasar mereka. Usaha mendunia inilah yang dibahas lebih menarik lagi oleh
Keegan ketika itu. Tentang bagaimana Harley Davidson berhasil mentransfer semangat Harley pada semua tempat di seluruh dunia. Minggu lalu, di Radio
Trijaya, Jakarta, saya melakukan wawancara
langsung dengan Keegan, yang tinggal di New York City. Itu dalam rangka persiapan kehadirannya ke Jakarta dan Bali. Di Jakarta, Keegan akan berbicara tentang Global Marketing in the borderless World: A Lesson for Indonesia Business pada 18 Mei nanti. Dua hari kemudian, makalah dengan judul yang sama, tapi dalam kontek pariwisata, akan dibahas di Nusa Dua, Bali. Dalam wawancara radio itu, Keegan secara menarik mengatakan bahwa sesungguhnya ada lima tahapan perusahaan mendunia. Sebuah perusahaan masih ditingkat domestik kalau hanya bergerak di dalam negeri. Dan sudah mencapai tahap internasional kalau sudah mulai mengekspor. Tapi masih home-country minded. Belum ada sinergi antarkegiatan di luar negeri. Kalau sinergi sudah ada, perusahaan boleh disebut sebagai perusahaan multinasional. Tahap keempat adalah perusahaan mendunia tercapai kalau sudah menjual produknya (global sourcing) ke pasar dunia. Sedangkan tahap paling piawai adalah perusahaan transnasional, yakni kalau perusahaan sudah melakukan global sourcing dan global market sekaligus. Kesalahan yang sering dialami perusahaan-perusahaan pada negara berpenduduk banyak, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, sama. Mereka “malas” untuk go global. Wong, pasar dalam negeri saja nggak habis-habis, mengapa mesti memikirkan pasar luar negeri yang jauh lebih sulit. Inilah yang juga terjadi pada Harley Davidson-puas jadi “jago kAndang”. Sekuat apa pun di dalam negeri, Anda justru berada di dalam situasi dunia. Masalah yang timbul dari berlakunya AFTA, WTO, APEC, dan sebagainya bukan karena Anda mau bergiat di luar negeri atau tidak. Walau Anda mau tetap di dalam negeri, serangan dari luar bisa datang setiap saat. Pada suatu pagi Anda akan dibangunkan dari tidur oleh bunyi alarm karena ada bahaya datang. Dan Anda belum siap apa-apa. Berpindah dari satu tahap ke tahap lain, sebagaimana digambarkan Keegan, memerlukan mental shift dari seluruh orang yang ada diperusahaan. Mental domestik yang cenderung manja karena sudah sangat akrab dengan situasi di dalam negeri sendiri harus diganti menjadi transnasional secara bertahap. Semua orang dalam dalam perusahan harus mau belajar bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang berbeda tahapan mendunianya. Sebelum menyerang ke luar, ada baiknya mempersiapkan diri di
dalam. Tentu ini perlu waktu, kesabaran, dan disiplin. Jangan mimpi mau menjadi CocaCola atau Sony, yang disebut Keegan sebagai the really dalam waktu singkat.
transnational companay,
ORANG-ORANG TERPILIH
Ada yang menarik ketika majalah Swa dan MarkPlus Professional Service menobatkan empat pemimpin puncak terpuji: Teddy Rachmat dan Rini Suwandi serta Mochtar riady dan Rachman Halim – masing-masing dilangsungkan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta dan di Hotel Hyatt Regency, Suarabaya. Orasi Teddy dan Mochtar samasama mencekam hadirin. Teddy berbicara tentang kerja sama tim di kelompok perusahaan Astra. Ia menguraikan tentang visi Astra tahun 2000 dan strategi dasar untuk mencapainya. Teddy menganggap dirinya sebagai pilot, yang akan mengantar Astra ke tujuan tersebut. Lalu, Rini? Tiga tahun yang lalu, pada waktu Astra sedang oleng, peran Rini sebagai direktur keuangan, yang disebut Teddy sebagai co-pilot, sangat membantu. Astra disebut Teddy sebagai suatu perusahaan yang punya tujuan jangka panjang. Ia menyebut pembinaan sumber daya manusia merupakan hal sangat penting, di samping penetapan strategi bisnis yang tepat. Sedangkan Mochtar, yang sudah berusia 66 tahun tapi masih segar, banyak berbicara tentang pengalaman pribadinya. Definisinya tentang inovatif sederhana saja, yaitu bagaimana menjadi penjaja kelas satu (the first class salesman)-orang yang bisa menjual konsep dengan cara menyakinkan orang lain supaya mau mendukung idenya. Sejak dulu, Mochtar memang selalu punya ide brilyan. Dulu orang berpikir, Mochtar cuma jago di bank. Belakangan orang merasa surprise ketika melihat bagaimana Lippo bisa begitu cepat melaju di bisnis properti. Mochtar memang selalu berusaha berpikir keluar dari paradigma tradisional. Produk-produk baru yang diluncurkannya selalu beda dengan yang lain mulai Tahapan, Lippo City, Lippo Village, Lippo Star Card sampai ke Warisan. Dalam konsep kepemimpinan Kouzes dan Posner, yang ajdi lAndasan pemilihan pemimpin puncak kali ini, dijelaskan ada lima karakter dasar yang penting. Menghadapi tahun 2000, seorang pemimpin harus bisa melihat kesempatan, melakukan eksperimen, dan berani mengambil resiko karena dia diharapkan bisa melakukan perubahan. Kata perubahan (change) jadi kata kunci bagi seorang pemimpin masa depan. Selain itu, ia juga harus punya visi jauh kedepan. Dan bisa membuat orang lain
dalam organisasinya mengerti dan percaya. Tanpa kemampuan seperti itu, sang pemimpin hanya bisa mengajak orang lain untuk “lari di tempat”. Setelah itu, seorang pemimpin harus bisa memantapkan organisasinya, yang terdiri dari berbagai jenis manusia. Masa depan yang akan kita masuki memberi peluang besar pada terjadinya perbedaan. Seorang pemimpin harus mampu membangun di atas perbedaan tersebut. Suatu organisasi yang mantap bukan cuma solid orang-orangnya, melainkan juga punya kapasitas untuk bergerak. Kata kunci di sini empowerment. Seorang pemimpin harus bisa merupakan model bagi orang lain dan bisa membuat prgram-program kecil supaya terkesan ada sasaran antara menuju ke suatu tujuan jangka panjang. Akhirnya, seorang pemimpin harus bisa bicara dengan hati kepada anggotanya. Bukan cuma bisa menghargai suatu pencapaian prestasi orang lain, melainkan juga merayakan suatu keberhasilan. Lima konsep dasar dari Kouzes dan Posner ini jadi relevan pada saat ini, karena situasi persaingan yang makin meningkat. Pada saat suatu situasi industri masih bersifat monopoli, maka suatu organisasi cukup berorientasi pada produksi. Dalam situasi ini, pemimpin yang dibutuhkan adalah orangyang bisa memacu produktivitas. Ini yang disebut model task oriented leadership. Kalau situasi sudah bergeser, pesaing sudah ada tapi masih lemah, maka organisasi biasanya berorientasi pada penjualan. Pada situasi seperti itu, seorang pemimpin harus menjual idenya kepada orang lain. Persaingan yang makin meningkat menyebabkan suatu perusahaan harus berorientasi pada pemasaran. Artinya, organisasi itu harus mengetahui need and want dari konsumen sebelum membuat dan menjual produk atau jasa. Analoginya, pemimpin juga harus melihat situasi anakbuahnya. Karena itu, konsep situational leadership
gaya kepemimpinan harus
disesuaikan dengan situasi kedewasaan bawahan dari Hersey dan Blanchard pernah jadi begitu terkenal. Kalau situasi pesaing terus meningkat, gaya kepemimpinan seperti itu sudah tidak memadai lagi. Suatu organisasi market driven, yang harus melayani pasar yang makin terpecah, memerlukan gaya kepemimpinan lain lagi. Karena itu, Izac Adizes lantas bicara tentang perlunya seorang itergrator dalam perusahaan. Akhirnya, ketika suatu organisasi sudah harus jadi customer driven company sering saya sebut sebagai organisasi 4C maka si pemimpin benar-benar harus bersifat service oriented. Setiap orang harus jadi service provider . Sebuah perusahan baru bisa
memberi pelayanan kepada pelanggan kalau pemimpinnya sendiri merupakan model service provider bagi orang lain. Itulah konsep kepemimpinan Kouzes dan Posner yang terlihat dalam figur Teddy Rachmat dan Mochtar Riady pada waktu membawakan orasi.
ROSIHAN ARBIE
Inilah tokoh pengusahan muda berdarah Minang yang kesohor di Medan: Rosihan Arbie. Ia mengelola satu rumah sakit, satu klinik spesialis, dan satu hotel – Rumah Sakit Permata Bunda, Klinik Spesialis Bunda, dan Hotel Garuda Plaza. Uniknya, ketiga unit usaha ini terletak saling berhadapan di jalan Sisingamangaraja. Usaha ini dirintis ayahnya, Haji Arbie, dari bisnis percetakan. Rosihan, yang sering dipanggil “Pak Dokter”, memang unik. Ia memang dokter, tapi tidak pratek. Untuk mengamalkan ilmunya, Rosihan mengajar mata kuliah farmakologi pada Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Baru berusia sekitar 40 tahun, tapi kelihatan matang. Ia punya naluri bisnis yangg tajam dan pintar bergaul. Pendek kata, ilmunya komplet. Rosihan punya darah Minang, yang hebat dalam sense of enterpreneurship, dan terjun di alam persaingan keras Medan yang bahkan ditakuti para pengusaha besar dari Jawa sekalipun. Di samping itu, ia rajin menyerap ilmu bisnis, manajemen, dan pemasaran mutakhir dari Harvard ataupun Wharton. Saya tertarik terhadap tiga hal pada dirinya: Pertama, ia berusaha melakukan sinergi di antara bisnis rumah sakit dan hotel. Padahal keduanya punya perbedaan cukup mencolok. Usaha yang satu untuk orang sakit, dan usaha lain buat orang sehat. Tapi Rosihan berpikir lain. Ilmu hotel, yang biasa memberi customer service pada tamu, harus ditularkan pada rumah sakit. Karena itu, orang yang datang ke rumah sakit dan klinik spesialisnya dianggap sebagai customer. Konsep customer satisfaction harus diimplementasikan di sana. Para dokter dan perawat dirumah sakit dan kliniknya sering diikutkan seminar tentang how to deliver a good service. Ia, sebagai seorang dokter, juga mengajak Polda Sumatera Utara untuk, menyelenggarakan seminar penyuluhan tentang bahaya ectasy, pil koplo, dan magadon di Hotel Garuda Plaza. Tentu saja ajakan itu disambut baik oleh piha k yangg berwajib. Semua tempat, termasuk sekolah menengah, yang punya resiko ttinggi terhadap hal itu,
akan diundang mengikuti seminar tersebut. “Mumpung belum, jangan sampai Medan jadi Jakarta,” katanya. Acara ini tentunya merupakan pedang bermata dua – merupakan cermin rasa tanggung jawab sosial dan sekaligus PR untuk rumah sakit. Bahkan acara itu sendiri bisa menciptakan traffic di hotel. Kedua, Rosihan pintar melakukan networking dengan pihak ketiga. Organisasinya sendiri dipertahankan lean, mean, and clean. Tapi, jaringan dengan organisasi lain digelar. Sisa waktunya yang sudah sedikit tu masih dipakai Rosihan untukk aktif pada sekita 30 organisasi. Ia duduk pada berbagai kepengurusan organisasi-mulai dari Kadin, asosiasi manajer, Rotary Club, sampai Persatuan Pelanggan Telepon. Ia pintar mengatur waktu untuk menghadiri rapat, seminar, atau acara lain dari organisasi tersebut. Justru lewat jaringan yang begitu luas, maka bisnisnya bisa jalan lebih lancar. Hubungan bukan cuma bisnis, melainkan sudah jadi lebih pribadi. Selain itu, Rosihan juga mebina 90 pengemudi taksi yang bertugas di BAndara Polonia. Ia memberi komisi progesif untuk para pengemudi yang bisa membawa tamu-tamu walk in. Para pengemudi itu dikumpulkan tiga bulan sekali dihotelnya, diberi hadiah, dan diajari salesmanship. Selain komisi, para pengemudi yang membawa tamu paling banyak juga dberi hadiah televisi. Semua pengemudi dan keluarganya, kalau sakit, boleh datang ke rumah sakitnya tanpa perlu taruh uang muka, dan diberi diskon pula. Para pengemudi taksi biasanya sering diberi pengarahan untuk membawa korban kecelakaan, kalu kebetulan ketemu di jalan, ke rumah sakit. Opo ora hebat? Ketiga, Rosihan juga pintar memilih, mengembangkan, dan membina sumber daya manusia di rumah sakit ataupun di hotel. Perawat di rumah sakit diupayakan sama rata dalam julah antara yang memeluk agama Islam, kristen, dan Konghuchu. Ada maksudnya tentu. Supaya di hari Lebaran, Natal, dab Tahun Baru Cina, yang sering melumpuhkan operasi bisnis di Medan, rumah sakit tetap bisa jalan. Mengapa ? Hanya sepertiga yang cuti, dandua pertiga lagi tetap bisa masuk kerja. Hotel
Garuda
Plaza
sekarang
dipimpin
oleh
general
manager
berkebangsaan Filipina. Maksudnya, biar hotel itu bukan bintang lima, tapi punya citra internasional. Maklum, segmen pasar wisatawan mancanegara cukup besar di situ. Rosihan sendiri termasuk seorang hands-on leader. Ia mengerahkan pikiran 24 jam untuk bisnis. Ia juga selalu melakukan pemantauan pribadi ke hotel dan rumah
sakit sampai larut malam. Anda mau tahu kendaraan pribadinya? Punya Mercedez Benz, tapi disimpan di rumah. Kalau nyetir cukup Toyota Starlet. Mengapa Starlet? “Lho, saya kan pengusaha kecil yang harus bisa bergaul dengan semua orang. Kalau naik Mercy, berarti saya pasang jarak dengan orang lain,” katanya. Selain konglomerat, negara kita memerlukan banyak pengusaha menengah, seperti Rosihan, untuk membentuk lapisan kekuatan ekonomi yang tangguh. Dari lapisan menengah inilah diharapkan akan lahir konglomerat baru, seperti yang diimpikan Bankir Mochtar Riady.
WANITA DARI VENUS PRIA DARI MARS
Pada suatu ketika, seorang penduduk Mars mengarahkan teleskopnya ke Venus. Ia melihat penduduk Venus berbeda dari penduduk Mars. Lantas ia meminjamkan teleskopnya kepada orang-orang lain di Mars, dan semuanya tertarik melihat orang-orang Venus tersebut. Setelah itu, mereka serentak memutuskan untuk melakukan suatu ekspedisi ke Venus. Ketika orang Mars dan orang Venus berjumpa, terjadilah suatu keajaiban: mereka saling jatuh cinta. Pada dasarnya, mereka berbeda karena tata cara kehidupan di kedua planet itu memang kontras. Tapi, mereka saling memahami dan berusaha saling mengerti. Kedua mahluk berbeda itu merasa saling melengkapi. Setelah beberapa bulan tinggal bersama, mereka lantas pergi ke bumi. Mahluk yang berasal dari dari dua planet berlainan itu mau hidup di sebuah planet baru. Pada mulanya mereka bisa hidup bersama dengan damai dan penuh cintta seperti di Venus. Tapi akhirnya gaya tarik bumi menyebabkan semuanya jadi berubah . Timbul amnesia selektif. Mereka kembali ingin hidup seperti di Mars dan Venus dulu. Tanpa mau memahami perbedaan di antara keduanya. Itulah kesan John Gray, yang ditulisnya dalam sebuah buku laris yaitu, Men Are from Mars, Women Are from Venus. Anda beruntung dapat membacanya dalam versi bahasa Indonesia yang cukup bagus, karena Penerbit Gramedia telah menterjemahkannya. Membaca buku Gray ini memang mengasyikan. Karena buku ini bicara tentang hubungan yang sebenarnya harus dilahirkan, dijaga, dan ditumbuhkan oleh pasangan suami-istri. Banyak perkawinan jadi berantakan karena hubungan hancur. Kalau ini terjadi, maka kedua pihak dirugikan. Gray mengingatkan supaya pria dan wanita dalam hidup berpasangan harus selalu berusaha mengerti perbedaan masing-masing. Pria, katanya, berasal dari Mars, tempat kehidupan lebih formal sifatnya. Penduduknya kebanyakan menggunakan pakaian seragam. Kerja mereka efisien. Yang dipikirkan selalu adalah pencapaian suatu tujuan. Sedangkan kehidupan di Venus lebih santai. Penduduknya suka mengenakan pakaian yang beraneka ragam. Mereka lebih suka
berkomunikasi satu sama lain, walaupun belum tentu bisa memecahkan suatu masalah. Itulah, tulis Gray, planet asal wanita. Ketika pria menyerbu wanita dengan ekspedisi ruang angkasa dari Mars ke Venus, mereka memang sedang mabuk cinta. Cinta memang ajaib.
Tapi, keadaan
berubah total begitu mereka kawin. Hidup dalam suatu perkawinan adalah suatu kehidupan di bumi. Suatu yang nyata. Bukan hidup di awang-awang lagi. Pada waktu itulah, kalau sang pria dan wanita tidak mau menyadari bahwa mereka memang berbeda, akibatnya fatal. Saya suka pada buku ini bukan cuma karena kiasan yang digunakan cukup bagus. Tapi saya melihat ada analoginya dengan produsen dan konsumen yang harus mengembangkan hubungan terus-meneruss. Bahkan ada resep utnuk meningkatkannya sehingga konsumen bisa jadi pelanggan seumur hidup. Persis seperti pasangan suamiistri yang berpisah mati. Mencari pelanggan baru jauh lebih mahal biayanya. Maka kepuasan pelanggan harus dijaga baik-baik. Pada pelanggan sebenarnya juga terjadi hal yang serupa. Kalau ia gampang berubah sikap dan membeli dari produsen lain, sebenarnya dia menanggung semacam switching-cost. Ia harus berlatih lagi untuk menggunakan produk baru tersebut, dan harus pula mengeluarkan ongkos tambahan. Dan ia juga harus berani menanggung resiko. Pada suatu pasangan suami-istri juga terjadi hal yang sama. Penggantiaqan pasangan selalu punya switching-cost tinggi. Karena itu, hubungan harus terus dijaga seumur hidup. Di UjungpAndang, ada seorang teman saya, Alka Trenggana dan istrinya, yang berusaha menerapkan hal itu. Karena keduanya suka pemasaran, mereka saling
memperlakukan
pasangannya
sebagai
pelanggan
satu
sama
lain.
Memperlakukan sebagai pelanggan berarti suami berusaha mengerti kebutuhan istri, dan sebaliknya. Mereka tidak melaksanakan pembagian tugas di mana husband earns money and wife spend it. Alka, yang berasal dari Mars, adalah pengacara top di kotanya. Ia juga bergiat pada banyaknya organisasi sosial dan kemasyarakatan. Tapi berusaha mengerti kebutuhan istrinya. Sedangkan istrinya, yang berasal dari Venus, memang suka mengasuh anak-anak di rumah. Tapi juga ikut jadi anggota katif dalam suatu doubleincome-family. Ia berusaha untuk tidak bersaing dengan suaminya, karena itu ia memilih jadi agen asuransi. Namun, ia juga tidak segan-segan minta nasihat dari suaminya.
Dalam buku itu, Gray
membuat daftar enam kebutuhan primer pria dan
wanita: Wanita membutuhkan “perhatian”, pria membutuhkan “kepercayaan”; wanita membutuhkan “pengertian”, pria membutuhkan “penerimaan”; wanita membutuhkan “rasa hormat”, pria membutuhkan “penghargaan” ; wanita membutuhkan “ kesetiaan” , pria membutuhkan “kekaguman” ; wanita mebutuhkan “penegasan” , pria membutuhkan “persetujuan”; wanita perlu “jaminan”, pria perlu “dorongan”. Dalam teori pemasaran dikatakan, kalau Anda mau memuaskan pelanggan, ketahuilah lebih dahulu kebutuhannya. Setelah itu, baru puaskan.
GLOBAL TRIBES
“There will be nno Japan, only Japanese,” Pada tahun 2020 nanti hal itu mungkin biasa saja. Sekarang saja cukup banyak orang-orang Jepang menjadi warga dunia. Presiden Peru, Alberto Fujimori, misalnya, adalahh seorang keturunan Jepang. Baru-baru
ini
bahkan
ada
berita
cukup
mengagetkan:
bos
Yaohan
beralih
kewarganegaraan dari Jepang ke Cina, dan sekaligus memindahkan kantor pusat toko serba ada tersebut dari Tokyo ke Shanghai. Alasannya, Cina punya penduduk lebih dari 1 milyar, dan itu cukup untuk membangun suatu critical mass yang dibutuhkan supaya bisa jadi perusahaan transnasional. Dengan makin pudarnya peran nation-state dan makin meningkatnya peran kawasan regional., maka status kewarganegaraan dari suatu negara jadi menurun. Akan makin banyak negara membolehkan orang punya lebih dari satu paspor. Ini tentunya untuk menarik lebih banyak rmodal. Pengarang Joel Kotkin dalam bukunya, Tribes, menulis bahwa era pasca-Perang Dingin yang didominasi kemajuan teknolgi komunikasi akan makin menghilang arti negara. Kalau batas-batas negara makin lenyap secara ekonomi maka suku bangsa yang berasal dari etnis dan ras yang sama akan lebih mudah berhubungan satu sama lain, tanpa terhalangi oleh kewarganegaraan masingmasing. Kalau sebuah perusahaan telah jadi the truly transnational company maka pusat pengambilan keputusan bisa di mana saja. Tidak mesti ada negara asal. Menurut Warren Keegan, guru besar Global Marketing, ada dua “kutub” yang tersebar. Pertama, tempat sumber dari segala macam bahan mentah, termasuk sumber daya manusia. Kedua, pasar tempat sebuah produk atau jasa global dikembangkan dan dijual. Sebuah perusahaan bisa saja didirikan di Jepang. Tapi setelah jadi transnasional, perusahaan tersebut bisa punya pusat pembelian bahan mentah, penjualan saham, dan perekrutan sumber daya manusia di mana saja. Kalau sudah begitu, apa artinya Jepang sebagai suatu negara. Investasi, pembukaan lapangan kerja dan pembayaran pajak sudah tersebar ke mana-mana. Dampaknya, orang Jepang akan berada di mana-mana. Mereka bisa jadi masih warga negara Jepang, sudah pindah
kewarganegaraan, atau bahkan sudah merupakan generasi ke-10 di suatu negara. Tapi mereka gampang percaya satu sama lain karena masih mewarisi nilai-nilai serupa. Kesamaan akar budaya dari suatu etnis ras yang bertebaran di seluruh duniia, menurut Kotkin, akan membentuk suatu jaringan bisnis yang dahsyat. Dengan maikn mendunianya perekonomian, ttidak ada negara yang berbisnis dengan negara lain. Yang ada hanya bisnis antara perusahaan atau antara orang dan orang. Di sinilah suatu jaringan bisnis yang dibentuk global tribes akan sangat menentukan. Ada lima suku bangsa di dunia, menurut riset Kotkin, yang punya potensi utnuk menjalin jaringan bisnis, yaitu orang Yahudi, Inggris, Jepang, Cina dan India. Orang Indonesia tidak menjadi global tribes antara lain karena selalu ingin balik ke tanah air. Di satu sisi, hal itu sangat baik karena mereka dibutuhkan untuk membangun negara. Di sisi lain, kita susah untuk membentuk suatu jaringan bisnis global. Sekalipun suku-suku itu bertebaran dengan alasan berbeda, sedikitnya ada tiga hal yang serupa dari mereka. Di mana-mana mereka tetap punya identitas etnis yang kuat disertai rasa saling tergantung satu sama lain. Di Amerika, misalnya, Anda bisa dengan gampang melihat komunitas Yahudi, masyarakat India, atau keturunan Cina hidup di antara mayoritas Anglo-American. Di Asia Tenggara, komunitas Yahudi boleh dikatakan tidak ada, sedangkan keturunan Cina, masyarakat India, kelompok orang Jepang, dan keturunan Inggris gampang ditemukan. Suatu negara yang mau survive di era globalisasi harus bisa mengantisipasi situasi. Kedaulatan ekonomi suatu negera akan lebih banyak ditentukan oleh seberapa banyak
bisnis
transnasional
melibatkan
negara
tersebut.
Negara
yang
tidak
mengundang pengusaha asing untuk masuk atau tidak mendorong pengusaha nasional membentuk jaringan global di luar negeri akan susah. Mengapa? Mereka tidak akan terlibat dalam transaksi bisnis global yang efisien. Dan hanya cara itulah yang bisa dipakai utnuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Kita di Indonesia beruntung karena Pak Harto berkali-kali mengingatkan bahwa suka atau tidak suka, kita akan menghadapi era globalisasi tersebut. Pengertian ini selalu dilontarkan Kepala Negara utnuk menyadarkan akan perubahan yang terjadi. Tantangan yang ada sekarang adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan konsep global-tribes untuk kepentingan masyarakat kita begitu majemuk.
NEGARA BERKEMBANG
Negara berkembang biasanya punya tiga penyakit utama: teknolgi yang tertinggal, sumber daya alam yang tak terolah, dan sumber daya manusia yang kurang terdidik. Dari tiga variabel tadi, teknolgi adalah satu-satunya yang bisa ditransfer dengan cepat. Sedangkan kondisi sumber daya alam dan sumber daya manusia di antara negara berkembang bisa bervariasi satu sama lain. Bayangkan sebuah matriks yang menggunakan dua variable itu. Sumbu horisontal menunjukkan variable jumlah penduduk dengan ujung sebelah kiri menunjukkan angka yang kecil, dan makin ke kanan maikn besar. Sedangkan sumbu vertikal dipakai untuk merefleksikan jumlah kekayaan alam dengan ujung sebelah bawah menunjukkan miskin, dan makin ke atas makin kaya. Dengan demikian, akan didapatkan empat kuadran berbeda. Indonesia beruntung karena terletak pada kuadran “kanan-atas”. Sumber daya alam melimpah dan jumlah penduduk cukup banyak. Negara yang terletak pada kuadran ini secara alamaiah seharusnya menarik investor asing. Mengapa? Bikin pabrik di sini bisa berarti ada jaminan bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar domestik yang besar. Beberapa negara di afrika dan Asia Tengah, yang punya banyak penduduk, tapi miskin sumber daya alam, berada di kuadran “kanan-bawah”. Inilah posisi paling “sial”. Tidak ada investor yang tertarik datang dengan membawa teknologi yang bisa ditransfer. Apalagi negara seperti ini biasanya disertai dengan tingkat kestabilan politik yang rendah. Kuadran di pojok “kiri-bawah” lebih beruntung daripada kuadran “kananbawah”. Walaupun tidak punya sumber daya alam, jumlah penduduk mereka lebih sedikit. Jadi, beban tidak terlalu berat. Dulu Singapura berada pada keadaan ini. Menyadari posisi mereka kurang menguntungkan, Singapura memutuskan untuk meningkatkan pendidikan sumber daya manusia. Sudah kadung tidak bisa punya suatu pasar yang besar maka penduduk yang sedikit itu harus jadi sumber daya manusia yang disertai sarana infrastruktur fisik yang bagus dari suprastruktur pemerintah yang lebih menarik dari pada penghuni “kanan-atas”. Padahal, secara alamiah, yang seharusnya terjadi sebaliknya.
Pemerintah
suatu
negara
pasti
ingin
memajukan
kesejahteraan
masyarakatnya. Tapi kebijaksanaan ekonomi yang diambil negara itu sangat dipengaruhi oleh karakter negara bersangkutan, yang dila disederhanakan tergambar pada matriks tadi. Negara di kuadran”kiri-atas” karena sudah kaya, biasanya lupa mengembangkan sumber daya manusia yang unggul, besarta infrastruktur. Maka walau angka pengahsilan perorangan per tahun cukup tinggi, negara ini tidak pernah dimasukkan dalam kategori negara maju. Negara “kanan-atas” seperti Indonesia pada awalnya selalu tergoda untuk menjalankan strategi substitusi impor. Ini logis.Investor yang datang membawa modal dan teknologi “menurut” saja waktu disuruh bermitra dengan pengusaha lokal. Hanya saja, ada syarat yang diminta: proteksi. Transfer teknologi belum tentu dilakukan. Apalagi kalau sumberr daya manusia dinegara itu belum siap untuk menerima transfer tersebut. Infrastruktur yang tidak siap dan suprastruktur yang bisa dikompromi biasanya akan melemahkan posisi tawar menawar negara tuan rumah. Sedangkan negara “kiri-bawah” yang siap, seperti Singapura, biasanya sejak awal sudah berpikir untuk mengambil kebijaksanaan berorientasi ekspor. Soalnya, pasar lokal kecil. Investor baru tertarik datang kalau negara tersebut bisa jadi pusat distribusi yang efisien ke pasar di sekitarnya.Tentunya tidak semua negara “kiri-bawah” bisa seperti Singapura. Pada saat globalisasi datang, yang ditAndai makin menghebatnya teknologi komunikasi, informasi, atau transportasi, maka lalu lintas uang, barang, dan orang pun makin terbuka. Mungkin tidak ada yang menduga bahwa keterbukaan ekonomi yang melintas antar negara itu akan datang semakin cepat. Apa dampaknya? Negara yang tidak siap menerima kedatangan globalisasi adalah negara-negara “kanan-bawah” . Mereka harus lebih dulu menyelesaikan situasi politik di dalam negara sebelum bisa ikut menikmati dampak positif globalisasi. Sementara itu negara, “kiri-atas” diuntungkan karena sudah punya uang. Mereka hanya memerlukan perubahan kebijaksanaan pemerintah saja. Mengingat, negara ini kebanyakan adalah monarkhi maka dibutuhkan wawasan sang raja dalam melihat hari depan secara benar. Bagaimana dengan negara “kanan-atas” seperti Indonesia? Saya cuma khawatir
bahwa kebijaksanaan substitusi impor yang diterapkan pada masa awal
pembangunan ekonomi sejak seperempat abad lalu memperlemah kapasitas sumber daya manusia yang ada.Padahal, kemajuan teknologi bisa punya korelasi negatif
dengan peran sumber daya alam suatu pembangunan ekonomi. Sumber daya manusisa melimpah, tapi kurang kompetitif, malah akan jadi pasar sasaran dari luar.
SIJORI
Profesi saya sebagai konsulta mengharuskan saya melayani banyak orang. Lantaran harus bepergian ke mana-mana, saya tahu cukup banyak tentang Indoneisa, yang punya sifat multikultural. Medan, misalnya, sangat berbeda dengan Manado, dan Batam tidak sama dengan Bali. Tapi di antara keempat kota itu ada semacam persamaan yang saya rasakan. Setiap kali ke Medan, saya berjumpa dengan pengusaha, yang selalu bicara tentang peluang pengembangan ke Penang, Singapura, dan daerah-daerah di Thailand Selatan. Pengurus Kadinda Sumatera Utara sibuk menjalin hubungan dengan Kadin Penang dan Kadin Thailand Selatan. Aktivitas saling berkunjung sudah terjadi beberapa kali. Setiap kali ke Manado, saya berjumpa dengan pengusaha yang bicara tentang hal yang sama. Tapi perhatian mereka ke Filipina Selatan, Brunei Darusalam, dan Jepang. Para pengusaha yang tergabung dalam Kadinda Sulawesi Utara, misalnya, juga sudah lama punya kontak dengan rekan-rekan mereka di Davao. Sedangkan Batam saya lihat sebagai suatu suburb area of Singapore. Semua hotel, semua restoran, bahkan semua tempat karaoke didesain sesuai dengan selera orang Singapura. Sebaliknya, banyak produk yang ada ditempat belanja Singapura juga di Batam. Bahkan pusat jajan di Batam punya gaya mirip Newton Circle. Tempat favorit saya di Bali adalah Nusa Dua dan Kuta. Menginap di Nusa Dua dan jalan-jalan di Kuta. Kedua tempat itu bukan seperti di Indonesia.Di Nusa Dua hampir semua orang bicarq bahasa Inggris, Jepang, atau Perancis. Begitu juga di Kuta. Banyak industtri pakaian jadi , restoran, dan toko barang kerajinan tangan yang dipunyai orang Australia, Italia, Jerman, atau Jepang. Hari kemerdekaan australia selalu dirayakan secara meriah di Kuta. Maka ada yang mengatakan bahwa Kuta adalah extended village of Australia. Mengapa bisa begitu? Medan, secara geografis, memang lebih dekat ke Penang, Phuket, dan Singapura dibandingkan dengan Jakarta. Begitu juga dengan Manado dan Filipina Selatan. Untuk pergi ke Davao, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit
dibandingkan dengan ke Jakarta. Sedangkan Batam memang sengaja ”dibuat” untuk memanfaatkan kelebihan kapasitas bisnis Singapura. Sementara itu, bagi orang Australia, terutama yang tinggal di bagian barat, berlibur ke Bali lebih murah ketimbang ke Sidney atau Gold Coast. Lantaran Bali sudah mendunia mak orang-orang dari jauh pun mau datang ke sana untuk menikmati sesuatu yang lain. Hal semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Seattle, yang merupakan salah satu kota pantai barat di Amerika,punya kerjasama regional yang melibatkan empat negara bagian dan tiga provinsi di Kanada. Ketujuh daerah ini bertetangga satu sama lain. Mereka bekerja sama dan saling membagi tugas dalam pengembangan regional. Pembangkit listrik tenaga air, misalnya, hanya perlu dibangun di satu wilayah asalkan bisa memasok seluruh kawasan. Washington dan Ottawa, yang merupakan pusat pemerintahan masing-masing negara, terlalu jauh untuk bisa mengatur mereka. Maka mereka lebih suka mengatur diri sendiri. Kerja sama regional antara sesama daerah bertetangga lintas negara sekarang menggejala di mana-mana. Semuanya terbentuk karena motivasi bisnis, bukan karena politik. Kerja sama itu ada yang secara resmi direstui pemerintah, dan ada yang informal saja. Mereka memang tidak butuh pengakuan pemerintah. Bahkan pemerintah makin tidak mampu menghentikannya. Pemerintah paling-paling tutup mata atau berpura-pura tidak tahu. Kebetulan di batam sudah ada kesepakatan pemerintah tentang Sijori ( Singapura-Johot-Riau). Begitu juga dengan Medan dan Manado, yang juga punya kesepakatan sendiri. Tapi Kuta tidak perlu punya kesepakatan
politik terlebih dahulu
supaya bisa menjadi “kampung” Australia. Itu terjadi dengan sendirinya karena konsumen Australia ingin yang “murah dan baik”, dan di Bali ada pengusaha yang bisa menangkap kesempatan tersebut. Bahkan pemerintah Cina dan Taiwan yang saling bermusuhan pun tutup mata pada kenyataan bahwa sepertiga dari seluruh investasi Provinsi Fujian berasal dari Taiwan. Begitu juga perdagangan antara orang-orang Korea Utara dan Korea Selatan, yang sudah mencapai milyaran dollar per tahun. “Dunia sudah berubah,” ujar Kenichi Ohmae. Dalam buku terbarunya, The End of The Nation State, Ohmae mengatakan bahwa peran nation-state akan diganti oleh regional economics, yang merupakan sekelompok orang dalam jumlah yang pas pada suatu kawasan-bisa lintas negara dan bisa pula tidak. Yang penting, mereka akan menentukan nasib sendiri untuk mencapai kualitas hidup yang lebih bagus. Mereka
akan makin sulit diatur oleh pusat kekuasaan politik. Batas negara akan cuma jadi demarkasi khayal, yang justru bisa menghambat kemakmuran karena birokrasi dan interes politik. Meski pusat politik tidak merestui pun, kawasan ekonomi regional itu akan tetap terjadi karrena konsumen, pengusaha, dan masyarakat sudah makin merdeka dalam arti sesungguhnya.
HORIZONTALISASI
Ketika saya membuka saluran internet di kantor, saya terkejut. Pada harddsic komputer saya sudah ada 41 “surat elektronik”. Tapi tidak seorang pun pengirimnya yang saya kenal. Salah satu surat itu ada yang berasal dari Hotel Santika Beach, Bali. Hotel ini menyampaikan suatu penawaran spesial dengan harga khusus untuk suatu periode tertentu. Di situ juga disebutkan semua paket pelayanan yang akan di berikan . Reservasi bisa lewat telepon, faksimile, atau e-mail. Biro perjalanan dapat komisi khusus. Ada iklan lain lagi yang menawarkan lap-top . Lantas juga ada pembuat perangkat lunak program yang menawarkan jasa. Pokoknya banyak yang jualan di jalan raya informasi itu. Tapi ada juga yang iseng juga. Mengirim pesan untuk siapa saja tanpa keperluan apa-apa. Surat-surat it, kalau memakai istilah pos, bisa dimasukkan kategori surat yang harus dibuang ke keranjang sampah (junk mail) karena tidak Anda kehendaki. Itulah resiko mengakses ke saluran internet. Sekali alamat diketahui, Anda bukan cuma bebas mengakses, melainkan juga diakses. Ingat Peristiwa Oklahoma yang menghebohkan itu? Presiden Bill Clinton juga dapat “surat” dari salah seorang warga Amerika, yang menuduh sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Clinton, kata orang itu, bisa punya alasan utnuk menggunakan keadaan perang di seluruh Amerika, dan dengan demikian punya kesempatan untuk menjadi diktator. Tentu saja Clinton tidak bisa marah dengan tuduhan semacam itu. Ia menjawab balik sambil tersenyum, “Kamu gila !” Itulah yang disebut horizontalisasi. Seorang warga negara bias tidak perlu melalui aturan protokol apa pun untuk meyampaikan pesan kepada presiden. Bintang film bisa saja kesengsem pada orang buntung karena pertukaran surat cinta lewat internet. Konon ada yang bunuh diri karena “pacar” yang biasa mengunjunginya tiap pagi di internet mendadak hilang. Kumpulan artikel saya mulai bisa akses di alamat internet Sekolah Tinggi Tehnik, Surabaya. Semua orang lantas bisa membaca, mencetak, memberi komentar, memuji, dan memaki tanpa perlu menulis surat pembaca yang bisa dikebiri atau bahkan tidak dimuat sama sekali di koran atau majalah.
Proses horizontalisasi yang disebabkan teknologi komputer dan komunikasi itu tidak hanya akan mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia, melainkan juga langsung berakibat pada struktur industri. Dulu industri diasumsikan mengalirkan dari hulu ke hilir secara vertikal. Karena itu penguasaan seluruh jalur industri disebut vertical integration. Dengan makin canggihnya teknologi maka terjadilah proses disintermediasi, yang memungkinkan hilangnya banyak “lapisan” di antara kedua ujung. Pengecer yang punya jaringan sendiri cenderung berhubungan langsung pada produsen dengan memotong jalur para penyalur sehingga terjadilah proses horizontalisasi industri. Produsen sering harus menurut kemauan pengecer sesuai dengan tuntutan konsumen. Lalu pemasok juga harus melayani permintaan produsen. Selanjutnya akan terjadi proses on-line dari hulu sampai ke hilir
yang mempercepat terjadinya
horizontalisasi. Apa yang dipilih konsumen di ujung “pengecer” bisa dideteksi secara langsung. Informasinya diteruskan ke produsen sampai ke pemasok. Dengan demikian semua “pemain” dari hilir sampai hulu terinformasi secara real time. Bagaimana dengan suatu organisasi perusahaan” Organisasi piramid yang punya banya lapisan dan terpilah-pilah atas berbagai fungsi akan roboh. Otoritas hirarki vertikal akan diganti dengan proses pelayanan konsumen yang horizontal. Atasan akan bertindak sebagai supertor dari proses horizontal yang berjalan lintas fungsional. Hanya organisasi perusahaan yang model begini akan bisa hidup, bertahan, dan memang di masa depan. Begitu juga konglomerasi dengan unit usaha yang berjumlah banyak dan berbeda satu sama lain. Kalau mau tetap bertahan, perusahaan besar semacam itu harus dipecah menjadi unit-unit kecil yang independen. Sentralisasi yang vertikal hanya akan memberi independensi, kreativitas, bahkan sinergi di antara semua unit bisnis yang ada. Bersiaplah. Gejala horizontalisasi sedang melAnda segala aspek, baik kehidupan perorangan, masyarakat, pemerintah, industri, maupun bisnis.
KOMPETISI SCHUMPETER
Sudah sejak dulu Joseph Schumpeter, ekonom dari Harvard, mengatakan bahwa persaingan memperebutkan pasar di antara perusahaan yang menggunakan teknologi sama kurang “menarik”. Walau tidak jarang persaingan seperti itu melibatkan banyak uang, sebenarnya konsumen tidak mendapatkan sesuatu yang benar-benar baru. Secara keseluruhan, kualitas hidup manusia cuma bisa ditingkatkan oleh teknologi baru. Karena ituu Schumpeter berpendapat, persaingan baru menarik kalau suatu teknologi baru melahirkan industri baru. Lihat saja bagaimana perusahaan Perancis, Michelin, bisa merajai industri ban mobil dengan menggunakan teknologi radial. Padahal Perancis tidak berjaya di industri mobil. Lalu General Electric memperkenalkan plastik sebagai pengganti metal. Lalu bagaimana Apple dengan personal komputernya merobohkan raksasa IBM, yang percaya akan mainframe. Persaingan antarteknologi yang menghasilkan clash antara industri lama dan industri baru disebut sebagai Schumpeterian Competition. Minggu lalu Proffesor Gary Hamel dar London Business School datang ke Jakarta dan bercerita tentang cara “bersaing di masa depan”. Bagi Hamel, seperti juga Schumpeter, sekadarr bersaing di masa kini kurang menarik. Ia menyatakan, palingpaling Anda cuma bisa rebutan pasar di antara perusahaan yang sudah ada. Hamel memberi contoh bagaimana perushaan-perusahaan Jepang, yang 20 tahun lalu masih kecil dan tidak dianggap sebagai pesaing, pada saat ini mendadak menjadi besar dan ditakuti. Itu bukan kebetulan, melainkan terjadi lewat usaha keras. Semetara perusahaan Amerika hanya ssaling bersaing untuk masanya, perusahaan Jepang sudah bersaing untuk masa depan. Apa yang telah mereka perbuat? Mereka tidak mau turut pada aturan main yang sudah ada. Alasannya, aturan-aturan semacam itu biasanya sudah ditetapkan oleh para pemain besar. Buatlah aturan baru supaya semua bingung. “ Anda sendiri akan bingung karena belum ada aturan semacam itu. Tapi pesaing Anda akan lebih bingung,” kata Hamel. Lihat saja bagaimana JVC, yang relatif kecil, bisa mendikte dunia dengan sistem VHS. JVC mengalahkan sistem V-2000 dari Philips dan Beta dari Sony secara
telak. Ironinya, Ampex, yang pertama menemukan teknologi rekaman video, sama sekali tidak berkutik . Pada saat ini tidak satu
pun VCR buatan Amerika dijual di
Amerika. Kalaupun ada, pasti cuma tempel merek. JVC meperjuangkan mati-matian penggunaan teknologi VHS yang bisa merekam lebih panjang dan lebih bagus, sampai akhirnya diakui seluruh dunia. Ini contoh nyata bagaimana teknologi plus keterampilan yang merupakan inti dari suatu kompetensi bisa merupakan kapabiltas yang hebat, dan akhirnya jadi suatu keunggulan bersaing. Hamel menganjurkan, supaya perusahaan-perusahaan selalu bisa melihat peluang di masa depan, carilah kompetensi inti yang memenuhi tiga syarat : Pertama, harus bisa memberikan disproportionate customer perceived value. Artinya, teknologi bersangkutan bisa memberikan suatu nilai baru, yang benarbenar lainndari yang sudah ada. Kedua harus sulit ditiru orang lain. Ketiga, suatu teknologi harus bisa memberikan kesempatan baru karena melahirkan industri baru. Maka Hamel lebih suka bicara tentang core competence, yang dianggap sebagai inti dari suatu competitive advantage, yang sering digunakan untuk bersaing pada masa kini. Dalam kerangka kerja Marketing Plus 2000, saya berpendapat bahwa teknologi adalah the primary change driver. Hanya suatu perubahan teknologi yang akan membuka sistem ekonomi dan akhirnya memperluas industri. Pertumbuhan industri yang merupakan secondary change driver akan menyebabkan perubahan perilaku pasar dan konsumen. Bersaing untuk masa depan belum ttentu menarik semua orang. Soalnya penuh resiko. Suatu yang masih samar-samar. Aturan main belum jelas. Tapi justru di situ terletak kesempatan. Mana ada kesempatan tanpa resiko. Pada waktu menjadi panelis dalam Seminar Gary Hamel di Jakarta, saya berpendapat, Indonesia harus melompat. Terus terang, saat ini teknologi perusahaanperusahaan kita memang ketinggalan, karena itu harus melakukan koalisi atau aliansi. Ini pekerjaan rumah utnuk perusahaan-perusahaan kita supaya tidak sekadar jadi “ jago kAndang”. Mereka harus mau belajar menggunakan formula masa depan, tidak sekedar memakai formula masa lalu.
INDONESIA
Pada waktu majalah Der Spiegel memuat peringkat negara dalam hal korupsi, dan Indonesia ditempatkan pada urutan bawah, ada anggapan bahwa mungkin saja hal tersebut merupakan move sebelum sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) berlangsung. Tak lama kemudian keluar lagi laporan hampir senada di majalah Fortune. Bedanya, pada waktu pemberitaan Der Spiegel, Menteri Transmigrasi Siswono Judohusodo, yang punya jiwa pengusaha, langsung bereaksi. “Marilah kita terima berita itu dengan lapang dada. Masih banyak yang harus kita perbaiki di sini.” Begitu kira-kira pendapatnya. Pada waktu Fortune menulis, Indonesia sedang sibuk menyambut ulang tahun kemerdekaan emas.Di dalam negeri, rakyat sedang berpesta dengan penjor di mana-mana. Berita di
Fortune itu tidak ada yang menanggapi. Atau mungkin juga
berlaku the law of diminishing impact. Artinya, dampak berita “buruk” kedua tidak sehebat yang pertama. Bantahan terhadap berita d Fortune itu justru datang dari tetangga di seberang. Walau Malaysia berada di peringkat ke-11 (lebih baik ketimbang beberapa negara Asia), berita itu cukup menyulut kemarahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Ia bahkan menuduh balik: “Lobi pengusaha terhadap para Senator di amerika justru lebih buruk,”, katanya. Mahathir menolak peringkat semacam itu, yang jelas-jelas menggunakan stAndar Barat. Orang Barat memang sering tidak pernah bisa mengerti orang Timur. Lihat saja: akalau orang Amerika mau investasi di suatu negara berkembang, yang dikirim untuk melihat situasi lapangan biasanya pengacara, teknisi, dan orang keuangan. Hasilnya? Sang pengacara akan bilang bahwwa negara ituperaturan sering berubahubah. Teknisi akan bilang, kurang ada tenaga kerja terampil yang bisa menunjang produksi sehingga kualitas kurang terjamin. Bagaimana dengan orang keuangan? Ia akan geleng-geleng kepala setelah tahu besarnya biaya taktikal untuk mengurus izinizin. “High cost economy,” katanya. Bagaimana dengan orang Jepang” Mereka akan mengirim ahli statistik, interpreneur, dan prang pemasaran. Ahli statistik akan menunjukkan dengan angkaangka tentang besarnya peluang yang timbul. Sering orang ini justru lebih tahu situasi
negara itu dibandingkan dengan orang lokal. Sang intrapreneur (karyawan yang punya sense of ownership dan sense of business) justru melihat peluang di balik risiko yang ada. Bukankah salah satu huruf Kanji yang dipakai mereka memang bisa berarti peluang dan risiko” Akhirnya orang pemasaran yang menetapkan strategi penetrasi pasar. Kalau sudah begini, kita baru mengerti kenapa laporan yang memuat peringkat negara dengan tingkat korupsi tertinggi itu cuma muncul dari Barat .Tidak dari Timur . Orang Barat tidak mengerti Timur .Hanya orang Timur yang mengerti Timur. Fakta yang sama bisa dianggap risiko atau peluang .Karena itu pula Amerika selalu tertinggal dari orang Jepang dalam melakukan invetasi di negara berkembang mana pun , terutama di Timur . Selain itu orang Amerika sudah biasa pergi ke mana mana dengan lancar .Ada semacam “pribadi superioritas “ dalam diri mereka .They speak with their own language and they pay with their own money . Lihat saja bule-bule di Jakarta, sudah tinggal sampai lima tahun pun, mereka masih susah bercakap berbahasa Indonesia. Mereka seolah minta Anda minta untuk berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Bagaimana dengan orang Jepang? Baru tiga bulan di Indonesia, pada umunya mereka sudah bisa berbahasa Indonesia. Bahkan
mulai bisa makan nasi
padang dan mencoba nikmatnya rokok kretek. Sebelum dikirim ke suati negara, orang Jepang biasanya sudah belajar bahasa, budaya, dan adat-istiadat setempat. Orang Jepang mempelajari pasar dan perilaku konsumen secara langsung, sedangkan orang bule cuma membaca data laporan perusahaan riset pemasaran. Orang
bule
seolah
hanya
mau
mengukr
indikator
bisnis
dengan
menggunakan alat dan stAndar Barat. Persis seperti dituduhkan Mahathir. Sedangkan orang Jepang pintar ,menghasilkan sinergi antara stAndar Barat dan budaya Timur. Karena itu orang Amerika selalu kalah melihat peluang ketimbang orang Jepang. Lihat saja justru di negara-negara yang menduduki “peringkat atas” menurut Der Spiegel dan Fortune, Jepang unggul dalam investasi dan bisa menarik devisa ke negeri mereka. Sedangkan orang Barat cuma bisa mencibir, mengolok, dan menghindar. Terlepas dari semua itu, Indonesia juga harus bertekad untuk bisa memenuhi stAndar Barat. Kita tidak cuma harus menunggu Jepang yang bisa “mengerti” kita. Kita tidak cuma harus menunggu Jepang yang bisa “mengerti” kita. Jepang sendiri makin suka melakukan investasi di negara barat, yang punya pasar lebih kaya, lebih bersih, dan lebih pasti hukumnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus tunduk
pada stAndar global, yang memang ditetapkan Barat. Itulah tantangan kemerdekaan kedua bagi kita setelah merdeka 50 tahun.
NERACA EMAS
Bagi saya, cuma ada tiga peristiwa paling menarik dari serangkaian perayaan Indonesia Emas. Pertama, peluncuran kapal terbang Gatotkoco oleh IPTN. Kedua, kenduri nasional di Lapangan Monas, Jakarta. Ketiga, Sarasehan Pancasila untuk para konglomerat di Bali, yang ditutup dengan Deklarasi Jimbaran. Perayaan lain kurang punya makna dan bobot kalau dibandingkan yang tiga ini. Mengapa? Gatokoco adalah simbol teknologi Indonesia. Sedangkan 1 juta orang yang hadir di kenduri nasional mewakili seluruh rakyat sebagai sumber daya manusia Indonesia. Adapun 96 konglomerat yang berdeklarasi bisa dianggap mewakili pengusaha Indonesia. Teknologi, sumber daya manusia, dan pengusaha adalah tiga elemen pokok yang sangat diharapkan bisa berperan untuk mengisi era Kebangkitan Nasional Kedua ini. Bahkan teknolgi dan sumber daya manusia diharapkan bisa jadi process enabler dar suatu organisasi perusahaan. Tapi setinggi-tinggi Gatotkoco terbang ke angkasa, dia akan turun ke bumi juga. Selain itu, Gatotkoco pasti tidak bisa “menyelam” di cyberspace. Padahal, dalam duna sedang menjungkirbalikan batas-batas negara, keterampilan menelusuri “jalan raya informasi” akan sangat menetukan kejayaan suatu bangsa. Entah kebetulan atau tidak, tepat pada waktu rakyat Indonesia bergembira, terkesima, bahkan terharu menyaksikan sang Gatotkoco bisa terbang dengan mulus ke angkasa, Microsoft meluncurkaqn Windows 95, sebuah kendaraan baru yang mudah dikendarai untuk masuk ke suaatu “jalan raya informasi”. Bedanya menurut alvin Toffler, Gatotkoco, walupun bisa terbang ke udara, adalah produk “gelombang kedua”, sedangkan Windows 95 adalah produk “gelombang ketiga”. Bagaimana dengan Malaysia? Mereka punya Penang yang bisa dianggap sebagai Lembah Silikon Asia Tenggara karena di sana Intel, Hewlett-Packard, dan Motorolla melakukan investasi besar-besaran. Apa kabar dengan sumber daya manusia kita” Ternyata tiap tahun, Indonesia belum menghasilkan 200.000 sarjana. Dari lulusan perguruan tinggi yang ada terbanyak adalah sarjana manajemen dan administrasi, lalu disusul berturut-turut oleh
sarjana pertanian, keguruan, ilmu-ilmu sosial , dan teknik. Jadi sebagian besar tenaga kerja kita masih masuk kategori “tidak berketerampilan”. Tidak mengherankan bila upah minimum regional terbesar ditemukan di sini. Bahkan upah itu masih lebihh rendah dibandingkan dengan upah sejenis di Yugoslavia, yang sedang berperang. Itu bisa dimengerti , karena sebagian besar dari mereka masih punya mental agraris. Toffler menyebut mereka sebagai manusia “gelombang pertama”. Buktinya? Masih perlu adanya pencanangan gerakan disiplin nasional sekadar untuk menggalakkan budaya antre, kebersihan, dan tepat waktu. Diharapkan hal tersebut bisa mengantar sumber daya manusia Indonesia jadi manusia “gelombang kedua” nantinya. Susahnya , dari jumlah sarjana yang relatif sedikit tadi, yang berasal dari jurusan teknik paling kecil pula. Padahal Habibie memerlukan meereka supaya Indonesia juga bisa “menyelam” di cyberspace. Sarjana yang paling banyak kita hasilkan punya cita-cita jadi manajer. Siapa yang bisa menampung mereka? Tentunya peran pengusaha yag diharapkan bisa membuka lapangan kerja. Terlepas dari sinisme yang timbul, baik terhadap Deklarasi Jimbaran maupun terhadap status “jago kandang”, yang pasti mereka adalah manusia “gelombang ketiga”. Dalam buku The Third Wave, Toffler jauh-jauh hari sudah meramal perilaku manusia yang
bisa bertahan pada era informasi. Intinya pengetahuan akan
menggantikan peranan uang dan otot. Informasi yang didapat dengan cara apa pun setelah diolah jadi pengetahuan merupakan modal utama bagi pengusaha. Uang lantas bisa diutang dari bank, dan otot bisa dibeli dengan murah. Manusia “gelombang ketiga” pintar menangkap peluang sebagai dampak perubahan lingkungan yang sangat cepat. Sementara manusia “gelombang pertama” bingung menghadapi perubahan, manusia “gelombang kedua” berusaha mengikuti perubahan, manusia “gelombang ketiga” justru ikut serta membuat perubahan. Itulah “Neraca Emas” kita. Kurang seimbang, memang. Suka tidak suka, harus diterima. Mayoritas sumber daya manusia kita masih berada pada “gelomabng kedua”. Sedangkan jumlah pengusaha kita yang sudah berperilaku seperti manusia “gelomabng ketiga” masih sedikit. Mudah-mudahan ditemukan cara yang bisa mengharmonisasikan ketiga aspek yang sangat tidak seimbang dalam neraca itu.
LANDS’ END
Lands’ End Direct Merchants. Terus terang saya tertarik pada nama ini karena dia datang ke rumah saya lewat sebuag katalog berisi informasi tentang berbagai produk terutama pakaian sehari-hari. Pada katalog ini tertera slogan : Shop in America from almost anywhere on earth. Lands’ End mau bilang bahwa dialah “toko” Amerika yang mengunjungi pembeli pembeli di seluruh dunia. Di mana lokasi toko ini? Lands’ End berada di Dogeville, Wisconsin. Kota ini sulit dicari di peta karena bukan cuma kecil, melainkan secara geografis terletak di tengah kota-kota besar lainn di Amerika, dan punya tradisi sebagai daerah pertanian. Sebenarnya tidak ada korelasi yang jelas antara keterampilan bertani dan produk berkualitas. Tetapi secara pintar Lands’ End mengatakan bahwa para pekerja mereka adalah keturunan para petani lokal. Bisa bekerja keras, selalu murah senyum, penuh persahabatan, jujur, dan mengaku kalau melakukan suatu kesalahan. Maka Lands’ End bisa meraih sukses di Amerika, dan direncanakan diperluas ke seluruh dunia. Dengan foto produk cukup jelas, katalog yang dikirim jelas ingin menunjukkan bahwa barang yang dijual punya kualitas cukup tinggi. Lands’ End juga mengakui bahwaa mereka bukan menjual dengan harga murah, melainkan dengan harga yang layak. Lantas “toko” eceran yang hadir di rumah pembeli ini menyatakan bahwa Lands’ End adalah “berbelanja dengan cara mudah dari apa yang Anda bayangkan”. Soalnya, Anda tinggal mengisi suatu formulir pemesanan barang untuk dikirimkan melalui faksimile, atau melakukannya melalui alamat-alamat d Internet. Dijamin aman karena formulir elektronik itu sudah encrypted. Pemesanan juga bisa dilakukan melalui telepon atau surat biasa. Dan Anda boleh memilih tiga macam cara pengiriman: lewat pos laut, pso udara, atau UPS-bergantung pada kecepatan yang diinginkan dan biaya yang dikeluarkan. Masih ada satu lagi yang menarik. Land’s End memberikan jaminan kepuasan pelanggan. Anda boleh mengambil barang yang dibeli begitu saja kalau ternyata tidak puas. Uang dikembalikan 100 persen. Walupun berjualan lewat kaatalog di Indonesia sudah dmulai, terutama oleh operator kartu kredit, menurut saya, gebrakan Lands’ End cukup layak untuk disimak. Mengapa?
Pertama inilah bukti nyata bahwa aturan Pemerintah yang melarang perusahaan asing masuk ke bisnis eceran jadi tidak efektif. Walaupun secara fisik mereka tidak hadir di sini, mereka bisa masuk “dari rumah ke rumah”. Sekaligus juga dibuktikan bahwa era of invisible competition sudah tiba-suatu era di mana Anda bisa tidak “sadar” bahwa ada pesaing yang mencuri” pelanggan setia Anda. Kedua, eraglobalisasi yang didukung teknologi telekomunikasi canggih membuat pasar di seluruh dunia bisa direbut oleh siapa saja yang kreatif. Land’s End bukan Saks Fifth Avenue, yang berpusat di New York, juga bukan Harrod di London, atau Seibut di Tokyo. Lands’ End adalah perusahaan “kecil” yang sangat fokus. Mereka bisa kreatif melakukan ekspansi pasar lewat cara “menjemput bola”. Suatu cara yang belum tentu mau dijalani para pengecer kelas dunia, yang berpusat di kota-kota megapolitan itu. Ketiga, Lands’ End menawarkan fleksibiltas, baik dalam bentuk pemesanan, pengiriman, maupun sampai pada kepuasan. Mereka sadar bahwa sebuah invisible store harus memberikan hal-hal yang tidak diberikan oleh sebuah real store untuk meningkatkan nilai bagi pelanggan. Unsur paling kuat di antara ketiga bentuk fleksibilitas itu, bagi negara berkembang seperti Indonesia, adalah jaminan pengembalian barang kalau pelanggan tidak puas. Hal tersebut merupakan sesuatu yang pasti belum “berani” dilakukan para pengecer di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Takut disalahgunakan. Soalnya, tidak sedikit mahasiswa kita di Amerika yang suka beli baju mahal sekadar untuk dipakai ke pesta, setelah itu dilipat lagi baik-baik dan dipulangkan kembali ke toko bersangkutan. Tapi Lands’ End juga sudah berpikir bahwa pembeli akan segan memulangkan barang yang sudah dibayar karena ongkos kirim yang mahal dan kekhawatiran kesulitan dalam mendapatkan uang kembali. Masuknya Lands’ End ke Indonesia menunjukkan bahwa masa “pemasaran orang per orang” sudah tiba. Dalam konsep Marketing Plus 2000, saya menyebut perusahaan yang melakukan hal tersebut secara konsekuen sebagai customer driven company atau perusahaan 4C. Baik company, competitor, customer, maupun change sudah sangat aktif pada saat itu. Pada perusahaan seperti ini, marketing mix sudah bukan lagi 4P, melainkan sudah menjelma menjadi 4C pula. Mengingat product yang dijual harus benar-benar jadi customer solution, lalu price yang ditetapkan harus memperhitungkan cost yang dikeluarkan konsumen, kemudian place merupakan outlet bagi produk Anda harus
convienience bagi konsumen, dan promotion yang satu harus diganti dengan communication yang bersifat timbal balik.
BINTANG INDONESIA
Dua minggu lalu, Jumat pukul 13.55 GMT, saya sudah berada di stasiun Waterloo, London. Antre lima menit, pukul 14.00 saya sudah siap di depan pintu gerbang sambil memegang tiket keretaa api supercepat TGV. Pukul 14.10 pintu dibuka, semua orang mulai duduk di tempat masing-masing. Pukul 14.23, tepat seperti yang dijadwalkan, kereta kami berangkat menuju Paris. Jarak London-Paris cuma ditempuh dalam waktu 3 jam 3 menit sehingga pada pukul 18.26, saya sudah tiba di Stasion Paris Nord. Waktu Paris memang satu jam lebih cepat dibandingkan dengan London. Dalam perjalanan menuju Paris, ada dua orang Perancis yang duduk di sebelah saya. Mereka adalah eksekutif yang berangkat ke London dengan kereta yang sama pada pagi hari. Setelah menyelesaikan pekerjaan di London, mereka kembali ke Paris pada hari yang sama. Selama perjalanan di kereta, telepn seluler mereka aktif. Sebentar bicara bahasa Inggris, sebentar lagi bahasa Perancis. Bagaimana Paspor? Tidaj dicap apa-apa. Cuma diperiksa di gerbong oleh polisi: apakah foto di paspor cocok dengan orangnya. Sampai di Paris pun tidak ada pemeriksaan terhadap barang-barang yang dibawa. Di sini saya merasakan sendiri bagaimana batas politik antarnegara sudah tidak berarti apa-apa. Lalu-lintas barang dan orang bisa berlangsung tanpa hambatan. Bahkan Inggris, yang dulu “terpisah” dari daratan Eropa, sekarang telah dihubungkan oleh tiga terowongan bawah laut-dua terowongan khusus disediakan bagi rel TGV untuk kereta yang diberi nama Euro Star, dan terowongan satu lagi sebagai cadangan, yang juga dipergunakan untuk keperluan keamanan. Di Lille, rel kereta Euro Star bercabang dua: satu London dan satu lagi ke Brussel. Pada saat ini Euro Star menjadi saingan berat pesawat terbang ataupun feri. Dengan tarif u` 110 ( sekitar Rp. 380.000,-), Anda sudah bisa duduk di kelas satu. Bukan cuma tempat duduknya yang mirip tempat duduk di kapal terbang, melainkan juga pelayanan konsumsinya. Ada salad, ada sandwich, ada the, ada kopi, bahkan anggur. Kalau sudah begini, London-Paris sudah tidak ada bedanya dengan JakartaBandung, ayng juga bisa ditempuh sekitar 3 jam dengan kereta api. Bedanya, kadang-
kadang toilet di
kereta kita kehabisan air, dan telepon seluler yang dibawa dalam
perjalanan Jakarta-Bandung sering tidak jalan karena blankspot. Saya lantas berkhayal, alangkah hebatnya kalau ada terowongan bawah laut yang menghubungkan Sumatera, Jawa dan Bali. Lantas ada jembatan SurabayaMadura. Untuk pulau-pulau lain, dihubungkan dengan jetfoil yang bisa “terbang” di air. Kalau ini benar-benar terjadi, bukan cuma konsep Wawasan Nusantara akan terwujuf secara konkret, melainkan juga ekonomi nasional akan makin dinamis dan pasar akan bertambah luas secara langsung. Itulah kaitan antara teknologi , ekonomi, dan pasar. Kalau teknologi transportasi dan telekomunikasi makin maju, maka ekonomi makin dinamis dan pasar pun bertambah luas. Hal inilah yang sebenarnya diinginkan Uni Eropa. Kelima belas negara yang tergabung di situ, saat ini, masih banyak mengalami hambatan nonekonomis. Bahasa resmi saja ada enam. Belum lagi mata uang. Sampai sekarang, tidak mudah mebuat sebuah mata uang yang diakui semua negara Eropa. Padahal, kalau Anda masuk ke salah satu negara membawa uang US$ 1, lantas tukar sampai 15 kali (sesuai dengan jumlah negara anggota Uni Eropa), dan uang itu tidak dibelanjakan sama sekali, maka pada waktu pulang nilai uang tadi tinggal sebesar US$ 0,21. Suatu inefisiensi terselubung, kan? Selain itu, tiap negara juga punya latar belakang budaya berbeda, dan dengan organisasi masing-masing pula. Tiap bangsa seolah-olah ingin tampil sebagai bangsa paling hebat. Maka, sangat sulit mencari ibu kota Uni Eropa, apalagi pemimpinnya. Semua mau menjadi ibu kota dan pemimpin. Kita di Indonesia sangat beruntung. Walau punya penduduk beragam, dan dengan jumlah hampir 200 juta jiwa, sejak 1928 kita telah bertekad untuk berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu. Bayangkan saja, apa jadinya kalau Indonesia terpecah-pecah jadi negara Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Irian Jaya dan sebagainya. Betapa beratnya mempersatukan semuanya seperti sekarang ini. Sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia, sulit berlaku di Uni Eropa. Perundingan yang dilakukan dari waktu ke waktu berlangsung sangat alot, karena tidak semua mendukung pembentukan satu Uni Eropa secara tuntas. Kereta supercepat Euro Star adalah satu contoh dari sarna teknologi tinggi yang diharapkan bisa mempercepat tercapainya hal tersebut.
Balik ke Indonesia, persatuan nasional kita akan bertambah kuat secara kongkret kalau ditunjang teknologi canggih seperti itu.Kapan ada kereta supercepat Bintang Indonesia, yang paling sedikit menembus Sela Sunda dan Selat Bali.
PERSAINGAN GLOBAL
Jabatannya, sebagaimana tertulis di kartu namanya, adalah vice chairman. Itulah Michio Torii, 72 thaun, anggota keluarga pendiri Suntory Limited, perusahaan minuman keras terkemuka di Jepang. Senin dua minggu lalu, pada suatu jamuan makan malam di Tashee Resort, Taipe, Pak Tua uyang suka main golf ini nampak berseri-seri. Soalnya, seperti diumumkannya malam itu, mulai April 1996, jabatan Ketua Asia Pasific Marketing Federation (APMF), yang sudah dipegangnya selama lima tahun, akan dipangku oleh wakil dari Australia. Pendek kata, Torii seperti terlepas dari beban berat. Sejak APMF didirikan di Tokyo, pada 1991, Torii sangat aktif menggalang persatuan di antara asosiasi pemasaran di kawasan Asia Pasifik. Saat ini anggota APMF sudah mencapai 15 negara . Indonesia dalam APMF diwakili Association (IMA). Pada pertemuandewan direktur APMF di Taipe, saya ikut hadir bersama Ketua IMA Wisnu Tri Oka. Wadah APMF ini di mata saya cukup menarik karena paralel dengan APEC, sebagai suatu kerangka kerja sama suprastruktur , yang sedang diusahakan jadi pasar bebas sebelum tahun 2020. Dan pemasaran harus selalu melaju bersama dengan makin terealisasinya suatu pasar bebas. Pada saat ini hampir semua pemimpin negara di dunia sudah sadar bahwa siapa yang tidak mau bergabung dalam pasar bebas global akan otomatis tertinggal sendirian. Maka kesepakatan demi kesepakatan terus dicapai untuk mengurangi hambatan perdagangan lintas negara. Bersamaan dengan terjadinya hal itu mucul pula proses regionalisasi, seperti pada Uni Eropa dan Pakta Perdagangan Amerika Utara. APEC jauh-jauh hari telah memproklamasikan diri untuk tidak menjadi suatu blok ekonomi tertutup, melainkan lebih merupakan suatu kesepakatan untuk saling memacu percepatan pembukaan ekonomi di negara-negara Asia Pasifik. Saya yakin, dengan makin aktifnya World Trade Organization (WTO), yang mendorong pertumbuhan perdagangan secara global, akan bisa menjebol blok-blok ekonoi yang tertutup. Uni Eropa dan Pakta Perdagangan Amerika Utara (NAFTA) memang akan memperluas terus wilayah cakupan mereka. Uni Eropa, misalnya akan segera melibatkan negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur. Sedangkan NAFTA diperkirakan akan diperluas sampai ke Amerika Selatan.
Saya pikir, akhirnya tidak ada jalan lain, kecuali semua negara harus mebuka diri kalau ingin mencapai titik kulminasi efisiensi, produktivitas, dan kualitas, bak dalam masalah produksi, pemasaran maupun pembiayaan. Sejalan dengan makin terbukanya suatu negara mencari pembeli di mana pun , konsumen juga akan mencari sumber dari mana saja. Kalau sudah begitu, pemasaran akan berubah peran. Pemasaran tidak hanya akan merupakan salah satu fungsi disamping fungsi-fungsi lain, melainkan juga akan menjadi suatu konsep strategi bisnis yang diperlukan untuk memenangkan persaingan global. Persaingan tidak akan hanya jadi urusan pemasaran, melainkan harus jadi jiwa semua orang, dan keputusan strategis harus merupakan pimpinan puncak suatu perusahaan. Maka Torii, salah seorrang pemimpin puncak di perusahaan Suntory, merasa perlu jadi Ketua Japan Marketing Association (JMA), dan kemudian juga di APMF. Pada pertemuan APMF di Taipe, saya juga berjumpa dengan Cho Hai-Hyung, salah seorang pimpinan puncak Snagyong, perusahaan terkemuka di Korea Selatan. Cho hadir pada pertemuan itu dengan kapasitas sebagai Ketua Korea Marketing Associatiom (KMA). Ini membuktikan, di Jepang dan Korea Selatan, pemasaran sudah dianggap urusan orang “atas”. Sementara Australia, Singapua, Filipina, bahkan Sri Langka, saya lihat sudah punya organisasi pemasaran nasional yang cukup solid untuk meningkatkan profesi pemasar pada negara masing-masing. Di Singapura, misalnya, sudah ada kompetisi straegi pemasaran nasional, yang diselenggarakan secara teratur. Di Australia, hal itu bahkan dilakukan untuk beberapa kategori sekaligus . Percaya atau tidak, di Filipina, ada sebuah Keputusan Prediden untuk menyelenggarakan pekan pemasaran pada minggu terkhir Juli setiap tahun. Pada waktu itu disellenggarakan berbagai kegiatan secara serantak untuk meningkatkan pengertian pemasaran pada masyarakat luas. Sri Langa Institute of Marketing bahkan membantu pemerintah melaksanakan social marketing dengan ikut mensukseskan program keluarga berencana. Bagaimana dengan Indonesia? Sementara pimpinan nasional giat melakukan langkah-langkah deregulasi, sembari juga berkiprah di WTO, para pemasar Indonesia pun harus bangkit untuk terus meningkatkan kompetisisi di dalam negeri, serta bergiat dalam jaringan APMF, World Marketing Association, dan European Marketing Confederation. Inilah kesiagaan yang harus terus ditingkatkan untuk menghadapi persaingan global.
KOPERASI
Ada tiga “kristal” yang saya katakan pada seminar nasional tata niaga cengkeh di Nusa Dua, Bali, minggu lalu. Ketika itu saya jadi moderator sesi terakhir dengan pembicara Jeff Atmajaya, Direktur Induk Koperasi Unit Desa. Dari pagi ada berbagai pembicara yang kitu “urun rembuk” mengenai masalah cengkeh ini, mulai dari menteri perdagangan , wakill asosiasi pabrik rokok kretek (Gappri), wakil BPPC, anggota Komisi IV dan Komisi VII DPR-R, wakil petani, ilmuwan, sampai wartawan. Sampai saat ini pengadaan cengkeh diselenggarakan oleh KUD, Puskud, sampai Inkud. Pemasarannya ke pabrik rokok kretek dilakukan oleh BPPC. Secara de facto ada empat kesenjangan dalam masalah cengkeh ini. Pertama, antara kelebihan produk dan permintaan yang kecil. Kedua, petani, yang jumlahnya banyak dan berada pada posisi “lemah”, berhadapan dengan pabrik rokok kretek, yang jumlahnya sedikit tapi punya posisi “kuat”. Ketiga, lokasi penanaman cengkeh umunya berada di luar pulau Jawa. Keempat, harga cengkeh impor jauh lebih murah dibandingkan dengan cengkeh domsetik. Dalam posisi seperti ini Pemerintah terpaksa melakukan intervensi untuk melindungi si “Lemah”. Tentu saja intervensi berbentuk BPPC ini tidak bisa berlangsung terus. Walau kehadiran badan tersebut sudah direstui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia tidak dapat lari dari kenyataan. “Suka tidak suka, mau tidak mau, siap tidak siap, kita harus memasuki liberalisasi perdagangan,” kata Pak Harto. Indonesia tidak mungkin mau terkucil dari “ pergaulan” internasional. Maka, intervensi Pemerintah ke industri cengkeh hanya bersifat sementara. Dalam seminar di Nusa Dua, BPPC sudah menyatakan siap melimpahkan masalah pemasaran cengkeh pada KUD. Yang penting, organisasi perusahaan yang dianggap cocok untuk perekonomian dengan assa kekeluargaan ini bisa siap secepatnya. Pembicaraan, debat, dan diskusi pada sesi itu akhirnya mengusik saya untuk merumuskan tiga hal. Saya menyebutnya sebagai kristal, karena bukan kesimpulan seminar. Kristal yang saya maksudkan adalah “gumpalan” pemikiran yang tersimpul pada seminar, dan bisa dijadika sebagai masukan untuk Pemerintah.
Kristal pertama ialah adanya empat kesenjangan utama yang menyebabkan industri cengkeh perlu diintervensi Pemerintah. Hal ini hanya bisa berlangsung sementara sambil menunggu tumbuhnya koperasi menjadi suatu organisasi yang kuat. Kristal
kedua,
konsep
intervensi,
yang
tujuannya
bak,
harus
disempurnakan
pelaksanaannya dari waktu ke waktu, sehingga pada waktu intervensi dicabut, para pelaku ekonomi industri cengkeh dapat berperilaku wajar. Kristal ketiga, perlunya dupayakan secepat mungkin kemandirian KUD. Ini paling penting karena UUD kita sudah menyatakan bahwa koperasi adalah bentuk organisasi yang paling cocok untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sementara itu era perdagangan bebas akan menghadapkan koperasi bukan cuma pada soal pabrik rokok kretek, melainkan juga dengan masaslah ekonomi yang lain. Mengenai pabrik rokok, bagaimanapun, mereka masih “keluarga” kita sendiri. Mereka masih bisa dimintai toleransi kalau petani anggota koperasi dalam situasi sulit. Mereka masih mau melakukan kontrak dengan BPPC, walau dengan harga beli yang relatif tinggi dibandingan dengan cengkeh impor. Terlepas
dari
masalah
tata
niaga
cengkeh,
kalau
era
liberalisasi
perdagangan sudah tiba, siap atau tidak siap, koperasi harus menghadapi persaingan global. Tantangan itu akan datang bukan cuma dari “saudara” sendiri, melainkan juga dari perusahaan transnasional, yang punya modal superkuat dan sumber daya manusia yang hebat. Maka, pada waktu menutup sesi terakhir seminar tersebut, saya menambahkan bahwa koperasi berada pada posisi yang tidak mudah. Mengingat masih banyak masalah yang dihadapi koperasi, ya modal, ya gudang, ya sumber daya manusia, ya teknologi. Sementara itu perdagangan bebas global akan segera datang dan menantang.
DEFISIT
Saya tidak tahu apakah jabatan itu disebut sebagai Dirjen Pemasaran, atau bahkan Menteri Pemasaran. Pokoknya saya pikir, Pak Harto butuh seorang pembantu yang memikirkan pemasaran secara makro. Beberapa waktu lalu Pak Harto bicara tentang bahaya kalau masyarakat kita sudah kadung gandrung barang impor. Ia bahkan langsung memikirkan “resep pemasaran” barang-barang hasil produksi dalam negeri, seperti tingkatkan kualitas, ptong jalur distribusi, agar harga yang dibayar konsumen cukup murah. Pak Harto juga minta masyarakat mencintai produk dalam negeri. Barangkali saya termasuk salah seorang yang paling gembira mendengar itu. Bukankah Presiden sudah bicara tentang marketing mix, yaitu product, price, place, da promotion” Formula umum dari Pak Harto itu mesti diterjemahkan dan ditindaklanjuti oleh para menteri supaya bisa benar-benar kelihatan hasilnya. Terus terang, saya ngeri melihat defisit transaksi neraca berjalan kita yang makin meningkat dari waktu ke waktu. Inilah, menurut saya, masalah terbesar yang harus dihadapi menjelang AFTA 2003. Coba lihat. Empat mata dagangan andalan ekspor nonmigas kita semuanya gonjang-ganjing. Penyebabnya tidak lain karena mengabaikan marketing mix. Kayu , tekstil , pakaian jadi, dan sepatu sebagian besar pesanan orang. Kita lebih suka menerima sedikit nilai tambah produksi, tapi rapuh, ketimbang
bersusah
payah
mengetahui
perilaku
konsumen
di
negeri
orang,
mebangunsaluran distribusi, apalagi membangun kekuatan merek sendiri untuk mendapat “nilai tambah pemasaran” yang jauh lebih besar dan langgung. Sebaliknya, kalu kita menelaah angka impor, kita harus menerima kenyataan justru barang konsumsi yang meningkatkan pesat. Sektor makanan dan minuman naik hampir empat kali lipat tahun lalu. Secara umum masyarakat kita memang lebih ingat dengan merek-merek global. Fakta-fakta ini membuktikan bahwa secara makro sebenarnya kita masih dalam keadaan kurang favourable mengahdapinya turunnya bea masuk, yang sudah dijadwalkan sesuai dengan komitmen internasional itu. Anehnya, orang cuma bicara bagaimana supaya efisiensi ditingkatkan dan pungutan-pungutan dihapuskan. Saya
pikir, sebagian besar perusahaan swasta, terutama yang tumbuh lewat mekanisme pasar, sudah belajar sangat efisien sejak lahir. Apalagi efisien ada batas maksimumnya: setelah melewati satu titik tertentu efisien justru berdampak buruk. Bagaimana dengan pungutan resmi ataupun lair? Ini memang harus dihapus tuntas. Namun saya kawatir ini tidak bisa dilaksanakan dalam waktu singkat. Pada saat ini kita sedang berpacu dengan waktu. Tahun 2003 tidak lama lagi. Dan sangat sulit melakukan transformasi pada sebuah perusahaan yang tadinya production oriented menjadi marketing oriented. Padahal, pasar bebas nanti akan menuntut semua perusahaan menjadi market driven, bahkan customer driven company , bentuk perusahaan yang jauh lebih canggih dari sekadar marketing oriented company. Liberalisasi
perdagangan
pemasaran”. Dalam situasi
sudah
tentu
bakal
melahirkan
“perang
seperti itu, hanya perusahaan yang minimal berbentuk
marketing oriented yang bisa survive. Padahal, sangat sedikit perusahaan kita yang seperti itu. Maka, kita membutuhkan seorang pejabat setingkat dirjen, atau bahkan menteri negara, yang bisa menghimbau, menata, dan mengkoordinasikan usaha-usaha memperkuat daya tahan perusahaan nasional secara mikro. Ia juga bisa ditugasi melakukan koordinasi dalam memainkan instrumen makro yang bisa menjadi back-up dari usaha-usaha mikro tersebut. Selain itu dia bisa membantu memasarkan Indonesia sebagai a place you should in vest or visit. Diharapkan pada saat pasar ASEAN dibuka nanti, perusahaan nasional kia bukan cuma kuat bertahan di pasar domestik melainkan juga perkasa menyerang ke luar. Inilah cara ampuh megatasi masalah defisit transasi berjalan.
TUKANG SATE
Hatsumi Muraoka, 511 tahun, adalah tukang sate (yakitori) di Gang Omoide Yoko-cho, Shinju-ku, Tokyo. Di gang tersebut banyak “warung tegal” dengan jualan berbeda: ada sashi-mi, ada su-shi, ada tempura, ada sukiyaki, dan sebagainya. Minggu lalu, saya sempat gandok di situ bersama Indra Yosepha dari Indofood. Kami memang sengaja mencari makanan rakyat, karena lagi bosan pada makanan hotel. Tanpa terasa kami jadi kerasan makan di Gang Omoide. Soalnya, Muraokasan dan istrinya melayani kami dengan supel. Bukan cuma jenis daging dan sayuran yang dipakai, diterangkannya satu per satu kepada kami, melainkan juga bahan bumbu sambal yang digunakannya. Padahal penjelasannya lebih banyak dilakukan dengan bahasa “Tarzan”. Yang membuat kami makin terkesan dengan kedai itu adalah banyaknya foto-foto golf course, seperti di San Fransisco, Quebec, Auckland, Pattaya, bahkan Cape Town, beserta stiker yang tergantung di situ. Ketika saya tanya, ternyata Muraokasan memang suka golf. Ia sudah pergi ke lima benua untuk main golf. Ia sudah pergi ke lima benua untuk main golf. Itu terbukti dari ceritanya yang detail tentang foto-foto yang dipanjang tersebut. “Saya baru saja pulang dari Manila, dua bulan lalu,” ujarnya dengan bangga, “bulan depan saya akan pergi lagi ke Hawaii.“ Setiap kali Muraoka–san pergi bersama istrinya, warung satenya tutup selama dua minggu. Saya dan Indra cuma bisa geleng-geleng kepala. “you enjoy your live very much,” kata saya. Muraoka-san bertanya bagaiman cara hidup saya di Jakarta, dan saya jawab bahwa bekerja hampir setiap hari dari pagi sampai malam. Sabtu sampai sore, dan Minggu libur. Muraoka-san geleng-geleng kepala keheranan. “Have you been to Indonesia ?” tanya saya. “No, not yet. But Bali is my dream,” jawabnya. Muraoka-san berkata bahwa cita-citanya adalah main golf dan diving di Bali. Saya lantas melanjutkan penyelidikan : “What come to your mind, if you think about Bali? Jawabnya spontan, “Beautiful, fun and cheap.” Inilah salah satu cara yang dilakukan dalam image survey tentang suatu brand. Kalau hal itu dilakukan pada sejumlah responden yang representatif, maka akan didapatkan gambaran dari Brand image yang terbentuk.
Setelah puas makin yakitori, minum sake, dan kongko, akhirnya saya dan Indra balik ke hotel berjalan kaki. Ada tiga hal yang bisa dipetik dari warung sate Muraoka-san. Pertama, kami merasa mendapat nilai yang terhingga. Bukan cuma sate dan sake-nya yang enak, melainkan lebih dari itu adalah keramahan Muraoka-san yang membuat kami kerasan. Walau tidak mahir berbahasa Inggris, ia memaksakan diri untuk terus berkomunikasi dengan kami. Tujuannya tentu saja memberikan suatu nilai tambah terhadap makanan dan minuman yang disajikannya. Dalam konsep pemasaran, boleh dikatakan bahwa Muraoka-san is not selling food, but he is selling eating experience. Pengalaman itu sebenarnya akan diingat konsumen, dan bisa membentuk suatu persepsi positif di benak mereka. Sedangkan enaknya makanan paling cuma sebatas mulut. Kedua, orang Jepang sudah menjadi orang terkaya di dunia. Bahkan tukang sate, seperti Murraoka-san, bisa menabung dan bolak-balik ke luar negeri. Buat dia, membelanjakan yen yang didapatnya di Jepang lebih kecil nilainya daripada di luar negeri. Dengan melakukan olah raga golf di luar negeri, yang biayanya lebih murah, berarti Muraoka-san ingin meningkatkan pruchasing power parity dirinya. Artinya, dia justru tidak bisa menikmati hidup kalau membelanjakan semua penghasilannya di Jepang yang “mahal” itu. Ketiga, sekali lagi terbukti bahwa Bali memang jauh lebih ”terkenal” ketimbang Indonesia. Citra yang terbentuk pada Muraoka-san adalah “beautiful, fun and cheap”. Padahal, dia belum pernah punya pengalaman apa pun. Citra positif semacam ini selalu menguntungkan. Sebab hal tersbut akan mempengaruhi potential buyer dalam melakukan pengambilan keputusan pembelian. Juga terbukti bahwa Bali adalah sebuah branded tourist object yang sudah masuk dalam benak konsumen. Nama tersebut bisa keluar secara spontan, walau yang ditanya adalah Indonesia. Dalam konsep brand , Bali setidaknya sudah bisa dianggap masuk tingkat ketiga,, yaitu bukan sekadar sebuah nama, melainkan juga sudah ada brand awareness, bahkan sudah terjadi brand association.
SANDRA BULLOCK
Dalam perjalanan dari Tokyo ke Chicago, minggu lalu, saya sempat menonton film The Net. Sejak melihat film Speed dan While You Were Sleeping, saya menonton akting Sandra Bullock. Kali ini saya melihat darii jarak 20 cm bagaimana artis lincah itu dikejar-kejar bajingan. Soalnya, film The Net disajikan perusahaan penerbangan Japan Airlines (JAL) pada layar LCD kecil. Singapore Airlines (SIA) memasang personal monitor pada setiap tempat duduk di beberapa pesawat besarnya, sedangkan cara JAL lain lagi. Penumpang JAL kelas satu atau kelas eksekutif bisa pinjam video walkman, yang menggunakan pta kesil 8 mm, di mana layar LCD menyatu dengan video player. Pada pesawat yang dipasangi personal monitor, penumpang cukup dipinjami video compo. Dan pemutar pita video, yang bisa langsung dihubungkan dengan layar LCD, melekat di kursi. Selain itu, Anda bebas memilih film yang mau ditonton, karena JAL menyiapkan 15 judul film, dan waktu menontonnya. Anda juga bisa menyetop film tersebut, sekalipun baru diputar separuh, bila mau ke toilet atau mau tidur dulu. Tentu saja Anda bisa mengulangi adegan yang disukai. Sedangkan di SIA, Anda harus mengikuti jadwal pemutaran yang sudah ditentukan awak pesawat. Walau SIA juga memutar beberapa film sekaligus, Anda lebih punya kebebasan memilih di JAL. Kelebihan lain JAL, Anda juga bisa meminjam Mega Jet atau Joy Turbo berikut beberapa kaset video game. Sementara di SIA, mainan seperti itu sudah built ini dalam personal monitor yang disediakan. Dengan cara seperti itu JAL seolah-olah ingin memberi kesempatan kepada penumpang untuk beraktualisasi diri melakukan kontrol secara langsung terhadap apa yang ingin mereka perbuat. Konsep yang sama sebenarnya sudah lama terjadi di supermarket. Tidak seperti pasar tradisional, di mana Anda dilayani, di supermarket, Anda bebas mengambil barang yang mau dibeli. Bagaimanapun, dilayani pramuniaga menyebabkan pembeli jadi sungkan. Berdasarkan hasil riset, toko eceran yang membiarkan pelanggan mengambil sendiri barang yang dibutuhkan bisa meningkatkan volume penjualan sampai dua kali lipat dibandingkan dengan toko tradisional.
Di Surabaya, ada restoran besar Sea Master. Di situ, Anda bisa “berbelanja” dulu daging, ikan, ataupun sayuran yang akan dimakan. Setelah itu cara masaknya pun Anda menentukan: mau digoreng, mau dipanggang, dan sebagainya. Begitu juga saus yang dipakai. Dengan demikian Anda bisa “mengontrol” juru masak terhadap apa yang akan dimakan. Kenapa konsumen yang diberi kesempatan beraktualisasi diri jadi lebih puas. Abraham Maslow dalam Teori Hirarki Kebutuhan menyatakan bahwa self actualisation need berada pada peringkat paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari self esteem need. Perangkat personal monitor, butik, restoran barangkali cuma memenuhi “kebutuhan untuk dihormati” itu. Tapi belum kebutuhan untuk aktualisasi diri. Teknologi telekomunikasi yang makin canggih akan memungkinkan konsumen bisa melakukan pengontrolan. Lihat saja, pada saat ini, Anda bisa segera mendapatkan jadwal acara stasiun televisi Amerika, CNN, dengan menekan nomor faks kantor regional mereka di Hong Kong. Inilah yang namanya fax on demand. Di beberapa wilayah Amerika, bahkan beberapa perusahaan Singapura, sudah ada yang namanya video on demand. Tidak seperti jaringan televisi HBO, di mana Anda harus “tunduk” pada jadwal yang ada, lewat sistem video on demand, Anda bisa menentukan apan mau memutar film favorit di rumah sendiri. Tentu saja tanpa perlu punya video recorder atau pita kasetnya, tapi cukup berlangganan dengan suatu pusat jasa yang memberikan pelayanan vdeo on demand. Begitu juga degan informasi. Tidak lama, Anda tidak perlu berlangganan banyak koran dan majalah, yang barangkali sebagian besar isinya tidak Anda perlukan. Tapi cukup berlangganan pada suatu pusat jasa, dan minta semua jenis berita yang Anda inginkan. Itulah
situasi
persaingan
yang
mengahruskan
sebuah
perusahaan
menyediakan diri untuk di-drive pelanggannya supaya bisa beraktualisasi diri.
AMERIKA
Presiden Bill Clintor dengan gembira mengumumkan bahwa Amerika sudah kembali menjadi produsen mobil terbesar di dunia. Soalnya, kedudukan sebagai global market leader itu sudah bertahun-tahun direbut Jepang. Dan sudah bertahun-tahun pula Amerika cuma bisa gigit jari melihat bukan cuma pasar luar negeri, melainkan juga pasar domestik mereka, digerogoti Jepang. Akibatnya, banyak produsen mobil di Amerika terpaksa gulung tikar, dan timbullah pengangguran. Lalu Amerika pun mengamuk. Mereka mau mengambil tindakan balasan. Ada tindakan makro, yang disebut Yendaka, penaikan nilai yen secara “paksa” supaya harrga mobil Jepang di Amerika jadi mahal. Juga ada yang namanya voluntary restraint, permintaan untuk menahan diri secara sukarela kepada produsen Jepang dengan mengurangi ekspor ke Amerika sampai dengan batas tertentu. Bahkan pernah ada aturan supaya mobil Jepang yang masuk ke Amerika memakai merrek Amerika agar dapat keringanaan bea masuk. Pada produsen Amerika kemudian juga ikut mengamuk pada konsumen sendiri. Mereka mengatakan, kosnumen Amerika tidak punya nasionalisme. Pabrik kapal terbang Boeing bahkan melakukan kampanye besar-besaran dengan tema Buy American Products. Lee Iaccoca, bos Chrysler, pernah marah-marah secara terbuka dengan menyatakan bahwa orang Amerika tidak menghargai kualitas mobil buatan sendri. Tapi itulah orang Amerika. Dari kecil merekqa sudah dididik untuk jadi orang independen, yang punya pendirian sendiri, dan tidak terpengaruh orang lain. Maka, selama mobil-mobil Amerika masih dianggap “jelek”, selama itu pula mereka tidak akan mau beli. Selain marah-marah di dalam negeri, para produsen mobil Amerika juga pernah bikin rombongan bersama pejabat pemerintah ke Jepang. Maksudnya, menuntut pembukaan pasar Jepang. Persis kayak cerita Komodor Perry dulu. Jepang dituduh punya sistem perdagangan tertutup, dan saluran distribusi berlapis, sehingga mobil impor sulit masuk pasar mereka.
Apa sebenarnya yang terjadi. Ternyata mobil Amerika yang mau dijual ke pasar Jepang semuanya setir kiri. Padahal, sistem lalu lintas Jepang mirip di Indonesia, sistem setir kanan. Jadi mana bisa mereka pakai setir kiri. Inilah uniknya orang amerika. Mereka bikin konsep pemasaran, tapi mereka pula yang tidak mempraktekkannya. Sudah jelas pemasaran tidak mengajarkan bahwa produk hanyalah alat utnuk memuaskan kebutuhan, kemauan, dan harapan konsumen. Produsen memang bisa saja membuat produk baru, yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh konsumen.Tapi jangan harap produsen bisa mengubah sistem lalu lintas suatu negara begitu saja. Lantas banyak orang berpendapat bahwa Amerika cuma hebat kalau disuruh berjualan di pasar domestik saja. Tapi jelek di luar negeri. Soalnya, mereka terlalu “malas” untuk mempelajari budaya orang lain. They can go everywhere, talk with their own language, and pay with their own money. Inilah yang disebut American superiority. Lihat saja, berapa orang Amerika, yang sudah tinggal tahunan di Jakarta, bisa berbicara bahasa Indonesia. Dan banyak orang Jepang, yang baru tinggal bulanan d sini, sudah bisa mengobrol langsung dengan pedagang di Glodok. Selain itu, orang Amerika merasa bahwa negara mereka sangat besar, penduduknya ada 250 juta jiwa, dan dengan pendapatan rata-rata tinggi. Maka, ketika pasar luar negeri mereka mulai diserang Jepang, mereka malah mengundurkan diri ke kandang sendiri. Ternyata mereka juga tidak bisa bertahan di dalam negeri. Sekarang mereka sudah sadar, dan mulai bangkit lagi. Mereka melakukan reenginering di dalam negeri, lalu melakukan aliansi dengan para pesaing , dan akhirnya mau membuat mobil setir kanan. Gabungan dari semua itulah yang membuat Amerika mulai jadi market leader lagi. Bagaimanapun, saya pikir, Amerika tetap kuat. Mereka bisa kalah sesaat, tapi hebatnya cepat sadar, dan berbalik menyerang dengan cara-cara mereka sendiri.
HEWLETT-PACKARD
Information, investment, industry, and individual. Itulah 4-I yang diungkap Kenichi Ohmae pada pembukaan Hewlett-Packard (HP) Synergic’s 96 di Singapura, akhir bulan lalu. Arus informasi yang melanda ke mana-mana menyebabkan arus investasi meluber ke segala penjuru dunia tanpa batas seperti itu, persaingan di industri apa pun, akan jadi kian seru. Akibatnya, akan terjadi kemerdekaan individual, karena setiap individu akan punya lebih banyak pilihan. Sebagai konsumen, setiap individu akan bisa memilih produk yang mau dibeli. Sebagai profesional, setiap individu akan bisa memilih bidang pekerjaan yang mau digeluti. Sebagai pengusaha setiap individu akan bebas berkiprah pada bisnis yang disukai. Kehadiran Ohmae pada Decision Maker’s Conference, yang diselenggarakan HP Singapura, memang “pas”. Pertama ,4-I yang diawali dengan informasi itu, sudah populer lewat bukunya, The Fall of Nation-State and The Rise of Regional Economics. Dengan demikian, Ketua Gerakan Politik Heisei itu emang bisa “dimanfaatkan” untuk memperkuat tema yang diambil konferensi, yaitu Move to the Future Now. Kedua, Ohmae, yang suka ditanyai Mahathir Mohamad secara pribadi, memang sangat mengagumi keberhasilan Sinagpura. Siang itu, setelah bicara di Raffles City Convention center, Ohmae lantas makan siang dengan Menteri Senior Lee Kuan Yeuw. Dalam presentasinya, Ohmae juga menyanjung agresivitas Singapura dalam membuka kawasan industri terpadu di berbagai kawasan seperti Batam, Su Zhou, Bengalore, dan Johor Baru. Selain itu, Singapura memang punya ambisi jadi Info Country lewat proyek 2000. Ketiga, penampilan Ohmae merupakan refleksi dari pengalaman akan pentingnya posisi Asia pada abad ke-21. Di kantor regional HP, di Singapura, saya memang tidak melihat oraang Amerika. Pimpinan tertingginya adalah orang Singapura: Ceah Kean Hwatt. Mungkin HP berpikir bahwa hanya orang Asia yang mengerti kondisi pasar Asia. Suatu hal yan maasih langka terjadi pada perushaan global dari Amerika.
HP Synergic’s 96 merupakan perhelatan besar bagi HP. Selain ada seminar , juga ada pameran yang melibatkan para mitra kerja mereka. Di situ dipamerkan berbagai produk baru, baik perangkat keras maupun lunak. Ini tentu saja dimaksudkan untuk memperkelas kongkretisasi dari tema Move to the Future Now. Ada lagi yan unik. Pembukaan acara seminar dimulai dengan kehadiran tujuh orang pemain perkusi. Mereka naik panggung satu per satu dan memainkan berbagai alat, mulai dari vibraphone, tambur, sampai drum. Irama musik yan dinamis ditambah kerja sama pemain yang kompak seolah menunjukkan gambaran organisasi masa depan . Dalam era informasi ini memang diperlukan organisasi yang selalu dinamis, dan diawali oleh staf yang kompak. Sekali lagi, terjadi penguatan tema Move to the Future Now. Malamnya, saya berpendapat kesempatan ikut bicara pada Senior Executive Seminar, yang berada dalam rangkaian acara HP Synergic’s 96. Saya ikut memperkuat tema “masa depan” tersebut dengan membahas soal value creation. Bukankah di masa depan, di mana setiap individu bebas memilih, yang terjadi adalah persaingan untuk menciptakan nilai? Pada saat seperti itu setiap individu akan dengan mudah membandingkan nilai produk yangg ditawarkan berbagai perusahaan. Mereka tidak akan mudah dikelabui begitu saja, karena
merke a punya akses informasi dari berbagai sumber. Maka,
perusahaan yang cuma berpikir bagaimana mendapat untung tanpa memberikan nilai yang sesungguhnya pada pelanggan akan berumur pendek. Malam itu, saya menutup presentasi saya dengan mengutip kalimat yang pernah diucapkan David Packard , salah seorang pendiri HP, yang berbunyi : Marketing is too important for marketing department . Begitu pentingnya pemasaran bagi sebuah perusahaan karena itu tidak bisa cuma jadi tanggung jawab departemen pemasaran. Packard menulis dalam The HP Way, supaya tetap menang bersaing, HP harus bisa terus memperkenalkan produk baru yang bernilai lebih tinggi. Harus lebih unggul dari yang lain tapi harganya lebih murah. Itu berarti, Packard mengajarkan supaya HP bisa jadi the real marketing company, bukan sekadar the marketing-oriented company.
LA LIGHT
Di Bandung, beberapa bulan yang lalu, Ir. Priyono Janiarsato, bos Perumahan Melati, dikumpulkan bersama 60
orang lainnya. Mereka ditanya tentang A-Mild. Soalnya,
mereka mereka adalah perokok setia merek rokok unggulan Sampoerna tersebut. Waktu itu, mereka tidak tahu siapa yang berada di balik acara tersebut. Yang jelas, semua orang yang hadir ditanya pendapatnya bagaimana kalau ada produk baru, yang lebih rendah nikotin dan tar, tapi lebih tasty. Semua orang diminta untuk menjalani blind-taste test. Tiap orang diberi tiga batang roko yang persis sama, dan tanpa merek. Bentuknya sama denga rokok A-Mild. Diameternya kecil dan filternya putih. Priyono mengaku bisa mendeteksi salah satunya sebagai yang paling disukai. Tapi dia tidak tahu apakah itu memang A-Mild atau sampel merek lain. Belakangan, setelah rokok LA Light diluncurkan secara
besar-besaran,
Priyono menduga mungkin saja survei tadi dilakukan oleh perusahaan rokok Djarum. Ketika saya tanya, apakah dia berpikir untuk pindah ke LA Light, dia menjawab, “No, reason.” Priyono sudah merokok mulai kelas 4 SD, dan sudah gonta-ganto merek rokok berkali-kali. Mulai dari rokok putih sampai Dji Sam Soe, rokok keretek filter, sampai dilanjutkan A-Mild. Ceritanya, Priyono sebenarnya mau berhenti merokok secara total. Setelah ketemu A-Mild, dia berpikir bahwa ini adalah “jalan keluar”. Dia masih tetap bisa merokok dan sehat. Sekarang Priyono sadar bahwa kalau meroko A-Mild sampai dua atau tiga batang sekaligus sebeanrnya kadar nikotin dan tarnya sudah sana atau bahkan lebih dari sebatang rokok keretek biasa. Tapi apa boleh buat. Dia sudah kadung kecantol AMild. Ketika sya cek di sejumlah counter LA Light, saya mendapatkan bahwa rokok baru ini banyak dicoba peroo A-Mild. Selebihnya, kebanyakan perokok Marlboro dan Gudang Garam Filter. Hanya sedikit perokok Djarum Super. Wah, hebat juga. Paling tidak dari saat permulaan, LA Light sudah berhasil menyerang pesaing dengan meminimalkan kanibalisasi. Di suatu seminar sebuah perusahaan besar, saya pernah mengetes LA Light dengan meminta semua peserta memberikan komentar. Rata-rata mereka bilang bahwa
bungkusnya cukup bagus. Mereka juga setuju bahwa bungkus yang didominasi warna abu-abu dan sedikit merah itu mendukung slogan “hidup lebih cerah” pada sebuah spanduk besar yang dipasang di dinding Hotel Indonesia, Jakarta. Slogan itu lebih didukung lagi oleh gambar pohon kelapa dan mobil Impala warna merah. Sementara itu, iklannya ditelevisi juga ingin mengkomunikasikan bahwa LA Light memang ”lebih ringan” dan “lebih menunjang gaya hidup”.Selain itu, LA Light ingin menjadi rokok yang lebih rendah nikotin dan tar, sekaligus “lebih terasa”. Suatu hal yang mungkin sulit dicapai menurut logika konsumen. Ada lagi kesan menarik tentang LA Light, yang kebanyakan datang dari bukan perokok. Mereka bingung melihat huruf LA, yang mirip dengan merek sepatu LA Gear. Buat saya, kehadiran LA Light akan meramaikan persaingan di kategori rokok kretek mild. A-Mild memang sudah terlalu lama dibiarkan sendirian. Maka, merek ini sudah sempat menancapkan identitas yang kuat di benak konsumen. Dulu cuma Sampoerna yang percaya bahwa ada pasar cukup besar untuk jenis rokok seperti ini. Perjuangannya untuk mengubah positioning slogan dari taste of the future ke low tar, low nicotine, sampai ke how low can you go dan “bukan basa basi”, memang merupakan perjalanan panjang. Maka, menurut saya, A-Mild memang berhak untuk menikmati hasilnya pada saat ini. A-Mild menggali sendirri “kolam”, dan menjadi “ikan” pertama yang ada di situ. Akhirnya, kolam tersebut dibesarkannya. Logisnya, setelah itu, ada ikan lain yang mau ikut masuk ke “kolam” tersebut. Apa yang dilakukan Djarum saat ini dengan LA Light, menurut saya, cukup maksimal. Mengeset harga sama dengan A-Mild. Memposisikan LA Light sebagai lebih rendah tar dan nikotin untuk mementahkan slogan how low can you go dan “bukan basa-basi”. Sekaligus memberi identitas unik pada LA Light sebagai rokok kretek mild yang tasty dan bergaya hidup.
Tentu saja tidak mudah menggoyangkan posisi A-Mild, yang sudah ada di puncak. Yang penting, kita nantikan saja apa counter, dari sang pelopor dan pemimpin pasar?
MSNBC
Tanggal 15 Juli lalu merupakan hari bersejarah bagi Microsoft dan NBC. Hari itu mereka kawin. Perkawinan itu mereka rayakan dengan menggelar wawancara khusus antara anchorman NBC, Tom Brokow, dan Presiden Bill Clinton. Pendiri dan pemimpin Microsoft, Bill Gates, orang terkaya di dunia, memutuskan untuk menginvestasikan sebesar US$ 220 juta bagi MSNBC-Cable— program news-talk-information selama 24 jam di televisi, yang dapat ditonton melalui paket saluran kabel tertentu. Sementara itu, stasiun televisi NBC yakin, aliasni strtegis 50:50 tersebut akan merupakan suatu penggabungan kekuatan untuk berkompetisi melawan CNN. NBC News, walaupun peringkatnya masih di bawah ABC News, memiliki pengalaman panjang. Reporter mereka tersebar di seluruh dunia dan news-anchorman yangg terkenal. Maka, setalh tujuh bulan Gates dan Jack Welch mengumumkan “pertunangan” mereka, tepat pukul 06.00 Waktu Pasifik, pertengahan Juli lalu, mereka langsung mengudara. Saat ini program kabel MSNBC sudah mencapai 22 juta pelanggan di Amerika. Ambisi mereka, berhasil mencapai 40 juta pelanggan di seluruh dunia pada tahun 2000. Bersamaan dengan itu, mengudara pula MSNBC-Internet. Program ini sudah bisa diklik di mana saja lewat http://www.msnbc.com. Pemirsa yang kurang puas dengan informasi yang didapat dari program kabel bisa melakukan “penyelidikan” lebih dalam di internet. Sesuai dengan kebutuhan tentunya. Akhir bulan lalu, ketika diajak Jeff Borda dari General Electric Corporate International Division mengunjungi markas besar MSNBC d Fort Lee, New Jersey, saya menyaksikan kecanggihan jaringan kerja mereka tersebut. Waktu itu saya melihat daftar nama serta deskripsi lengkap penumpang ataupun awak pesawat TWA 800, yang meledak di angkasa Amerika. Saya juga melihat “gambar hidup” dari sebuah pesawat serupa di internet, dan juga bisa mendengar laporan terakhir dari reporter NBC tentang kejadian tersebut. Dengan demikian, proyek MSNBC memang bisa jadi saingan berat bagi CNN, yang sudah kondang lebih dulu.
Dunia informasi yang mulai dikuasai internet memang merupakan suatu kesempatan bisnis. Gates punya keyakinan bahwa Microsoft bukan cuma menjadi perusahaan software, melainkan harus pula bisa memanfaatkan “jalan raya informasi” tersebut secara maksimal. Lewat Internet Explorer versi 3.0, yang sudah diluncurkan Juli lalu, dan versi 4.0, yang akan dikeluarkan akhir tahun ini, Microsoft ingin menata semua file yang ada di situ menjadi “dokumen”. Beraliansi dengan NBC, Gates bisa memperkuat divisi berita dari The Microsoft Network (MSN), sebuah web-site yang hanya bisa diklik oleh pelanggan. Aliansi ini bagi NBC jelas menguntungkan. Soalnya, ada kecenderungan orang sekarang, terutama kaum muda, mulai beralih dari televisi ke PC (personal computer). Apalagi, saat ini, di Amerika ada gerakan anti-TV karena orang merasa banyak membuang waktu kalau sampai bergantung pada kotak ajaib tersebut. Dengan demikian, yang terjadi denga aliansi strategis ini sebenarnya bahwa kedua market leader di bidang masing-masing sedang melakukan repositioning. Bukankah Anda harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan: What business are you in, kalau tidak mau mati ditelan waktu. Industri kereta api di Amerika pernah mengalami nasib malang ketika “telat” mendefinisikan diri bahwa mereka sebenarnya berada di bisnis transportasi. Bukan bisnis kereta api. Dalam bisnis transportasi, saingan mereka bukan cuma kereta api lain, melainkan juga kapal terbang, mobil, feri, dan sebagainya. Gates dan Welch memang bukan manajer sebenarnya. They are the real business leaders. Mereka punya visi jauh ke depan. Mereka melihat lebih dulu dari orang lain. Mereka berani mengambil risiko dalam menentukan aturan main “baru”. Maka, terjadilah sebuah perkawinan yang melahirkan MSNBC. Ada tiga hal bisa dipetik di sini. Pertama, jangan termenung, apalagi heran bahkan kaget, setelah meihat ada orang lain berbuat sesuatu. Bertindaklah lebih dulu. Kedua, definisikan bisnis Anda secara benar. Pergilah ke kebutuhan dasar manusia, dan lihat lingkungan bisnis yang mempengaruhinya. Ketiga, jangan ragu melakukan aliansi strategis dengan orang lain yang sudah punya kompetisi inti pada suatu bidang. Bila perlu, dengan kompetitor, sekalipun. Membangun kompetisi sendiri seringkali bisa berakibat keterlambatan.
KIASU
Kia berarti takut, dan su berarti “kalah.” Itulah penjelasan Cheong Kun Pui, Presiden Marketing Institute of Singapore, tentang kiasu kepada saya. Istilah kiasu memang populer di Singapura. Awalnya, saya melihat sebuah stiker, dipasang di kaca sebuah mobil, yang berbunyi : Beware of KIASU driver. Maka, saya jadi ingin tahu arti kata kiasu. Ternyata kata itu cuma berarti takut kalah. Kenapa istilah itu begitu populer di Singapura? Ternyata kata tersebut berasal dari bahasa Hokian, yang sehari-hari dipakai secara tradisional oleh sebagian besar penduduk di sana. Mengapa takut kalah? Orang Singapura memang punya sifat seperti itu. Negara mereka yang kecil dan tanpa sumber daya alam
membuat mereka harus
bekerja keras supaya bisa tetap bertahan di dunia. Hasilnya, ternyata mereka tidak cuma bisa bertahan, melainkan juga lebih hebat lagi. Justru kekecilan ukuran bagi Singapura merupakan kekuatan. Gampang diatur. Semua orang mesti kena wajib militer selama dua tahun. Di satu sisi, memang merepotkan. Tapi di sisi lain, mereka akhirnya tergembleng menjadi suatu bangsa yang disiplin, punya ketahanan mental yang kuat, dan punya semangat bersaing yang tinggi. Pemerintah Singapura juga sadar bahwa sumber daya manusia merupakan satu-satunya aset yang harus diAndalkan. Maka, pendidikan dasar dan menengah berlangsung sangat ketat. Anak-anak yang masih duduk di kelas I sekolah dasar sudah harus berkenalan dengan komputer. Rencana untuk menjadikan Singapura sebagai IT-hub untuk kawasan Asia Tenggara juga membuat pendudk negara pulau itu makin sadar informasi. Dengan kondisi
seperti
itu
mereka
otomatis
menjadi
konsumen
yang
enlightened,
informationalized, dan empowered. Enlightened, karena mereka “sadar” bisa mengerti apa-apa yang perlu dipertimbangkan dalam memilih sebuah produk, informationalized, karena mereka memang dengan gampang bisa mengakses informasi, maka lantas bisa membanding-bandingkan beberapa pilihan sekaligus. Sedangkan empowered, karena tingkat GDP per kapita mereka sekarang sudah mencapai US$ 20.000,00. Kondisi seperti itu, ditambah dengan inner drive secara pribadi dan external drive dari pemerintah, membuat mereka menjadi makin value oriented. Mereka
merupakan konsumen yang tidak mudah dibujuk untuk membeli sesuatu secara emosional, karena mereka lebih bisa membandingkan berbagai pilihan secara nasional. Walaupun arti kiasu tidak persis dengan value oriented lebih sangat tidak sama dengan price oriented atau bahkan quality oriented. Kenapa? Semua orang yang price oriented adalah orang yang cuma memikirkan kualitas ketimbang harga. Dan hanya orang yang value oriented itulah yang bisa mempertimbangkan keduanya. Artinya mereka selalu mencari padanan terbaik di antara kualitas dan harga. Begitu populernya kata kiasu di Singapura, sampai-sampai Restoran McDonald’s melakukan kampanye selama tiga bulan untuk menjual kiasu burger. Apa yang mereka mereka lalukan? Pada periode kampanye tersebut, McDonald’s menjual hamburger dengan daging yang lebih tebal dan gAnda. Selain itu, kejunya pun ditingkatkan dua kali. Dan harganya tetap normal seperti biasa. Dengan demikian, selama masa kampanye, McDonald’s berusaha memberikan nilai lebih pada konsumen Singapura. Harga sama, tapi kualitas lebih tinggi secara nyata. Sekarang kampanye sudah berakhir, tetapi semua orang Singapura masih ingat dengan kiasu burger. Itulah bentuk promosi yang cerdas. Bukan cuma berpikir global, bertindak global, melainkan juga melakukan konsep global dengan sentuhan lokal.
CABAI
Awal tahun ini harga cabai merah pernah mencapai Rp. 20.000,- per kilogram. Tapi bulan lalu mendadak menjadi Rp. 200,- per kg. Kalau dulu produsen makanan yang membeli cabai marah-marah, sekarang giliran petani cabai yang meratap. Untung
ada Indofood yang cepat responsif terhadap imbauan Menteri
Koperasi untuk membeli cabai dengan harga pantas. Tindakan perusahaan makanan nasional itu, sekalipun bukan pengguna terbesar cabai merah di negeri ini, setidaknya bisa menenangkan petani. Begitu pembelian dengan “harga patokan” disepakati, lansung saja harga terkontrol. Petani cabai di Brebes bisa ketawwa lagi. Hanya saja, kalau panen cabai tiba di Tuban, petani cabai setempat juga kan mengalami kemungkinan yang sama. Kalau hal itu terjadi, siapa lagi yang harus menolong. Ekonom Kwik Kian Gie membedah kasus cabai ini dengan analisis ekonomi makro. Saya setuju dengan semua yang ditulisnya di Kompas. Cuma, saya ingin menambahkan, kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi pada komoditas lain. Kasus terkenal tentunya cengkeh. Ketika barang sedikit, harga naik. Lantas ada anjuran menanam cengkeh dari pejabat daerah. Beberapa tahun kemudian, keadaan berbalik sehingga harga turun. Pada kasus cabai, perubahan keadaan berjalan relatif cepat setelah adanya imbauan menambah areal tanaman. Soalnya, jangka waktu antara tanamdan petik pendek. Ketika menjadi moderator pada seminar nasional tentang cengkeh, baik di Manado maupun di Denpasar, beberapa waktu lalu, saya makin yakin akan ciri-ciri khas dalam sebuah agricultural marketing. Soalnya selalu terletak pada petani kecil, dan berjumlah banyak, yang kekurangan informasi pasar, kurang paham akan sense of business, dan tidak menggunakan konsep pemasaran secara benar. Kalau informasi pasar dikuasai, seorang petani akan memperhitungkan lebih dulu kemungkinan over-supply di kemudian hari. Sedangkan naluri bisnis yang dipunyai akan membuat mereka lebih bisa berhitung risiko, yang selalu ada, setelah mendapat informasi pasar dengan jelas. Akhirnya, mengerti konsep pemasaran secara benar menyebabkan mereka bisa keluar dari commodity trap. Dengan berusaha keluar dari
hukum penawaran dan permintaan, maka petani pasti akan berusaha melakukan diferensiasi produk. Diferensiasi konkret itu harus diangkat dengan mengkomunikasikan suatu positioning statement. Supaya cabai Lampung bisa benar-benar dianggap beda dengan cabai biasa. Harus pula diteliti lebih lanjut, apakah diferensial itu memang punya nilai tertentu untuk pemakai. Tentu saja cabai tersebut seharusnya diberi brand tertentu. Sebab, suatu nama yang lantas “diisi” dengan asosiasi tertentu menjadi simbol dari diferensiasi. Kalau hal ini terjadi, akan terdapat segitiga diferentiation-positioning-brand, yang punya arti strategis dalam pemasaran. Tentu saja, kalau situasinya sudah over-supply, tidak ada yang bisa menghindari penurunan tingkat harga secara umum. Tapi dengan menggunakan konsep pemasaran yang benar, setidaknya para petani tetap bisa menjual produk agrobisnis dengan harga yang lebih bagus dari harga pasar. Upaya perlindungan petani seperti yang diinisiatif pemerintah pada kasus cabai ini memang bisa dilakukan sekali-sekali. Tapi tidak bisa terus –terusan tanpa ada tindakan yang lebih struktural. Saya kira, untuk mengatasi masalah cabai ini tidak perlu dibentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cabai. Yang penting KUD bisa membantu para petani dalam tiga hal. Pertama, kumpulkan informasi pasar selengkap-lengkapnya supaya bisa meberikan prediksi atas situasi penawaran dan permintaan di masa mendatang. Kedua, berikan pengetahuan tentang sense of business supaya petani bisa menjadi enterpreneur sejati, bukan sekadar penanam komoditas. Ketiga, gunakan konsep pemasaran yang baik dan benar dalam menjual produk-produk hasil anggota mereka.
DISCLOSURE
Kalau Anda seorang wanita, apalagi laki-laki dewasa, Anda harus menonton film Disclosure. Ini benar-benar film abad ke-21. Dalam film ini, seorang bos diperankan oleh Demi Moore, melakukan pelecehan seksual terhadap bahwahannya, karyawan lakilaki, yang diperankan oleh Michael Douglas. Menonton Diclosure jangan sampai terlambat 15 menit. Soalnya, justru seperempat jam pertama inilah menentukan jalan cerita selanjutnya. Moore mengajak bekas pacarnya, Douglas, untuk melakukan hubungan intm di kantor Digicom di tengah suatu pertemuan bisnis pada malam hari. Susahnya, Douglas, yang sudah punya istri dan anak, sempat bereaksi terhadap ajakan Moore, yang masih bujangan. Justru pada saat Moore sudah naik, Douglas sadar, lalu menghentikan semuanya. Sisa film, setelah pelecehan seksual itu, sudah tidak berbau sensualitas lagi. Tetapi masuk ke cerita tuntut-menuntut corporate-politics, aliansi bisnis, dan demonstrasi high-tech information technology. Minggu lalu, pada acara Dateline di NBC, saya melihat ada delapan karyawan laki-laki menuntutbmanajemen Jenny Craig International. Mereka protes keras karena karyawan laki-laki pada perusahaan yang didirkan kaum wanita itu sulit naik pangkat. Kebetulan salah seorang laki-laki yang menuntut itu termasuk oversized. Terlalu jelek, katanya bersungut-sungut. Sebuah film merupakan refleksi dari apa yang terjadi di masyarakat. Bagi saya, Disclosure menggambarkan dengan jelas perubahan besar yang terjadi di business corporate dewasa ini. Berkibarnya peran wanita di perusahaan, bahkan di panggung politik, sebenarnya sudah diramal John Naisbit lewat buku Megatrend 2000. Bahkan, istrinya, Patricia Abundene, juga sudah menulis buku Mega Trend for Women. Mengapa Benazir Bhutto, Perdana Menteri Pakistan, dan Takoko Doi, anggota parlemen Jepang, sering dipakai sebagai contoh kebangkitan keturunan Hawa? Soalnya, di kedua negara itu, peran laki-laki terlalu dominan. Uniknya, justru di negara Islam, seperti Pakistan, tempat wanita dianjurkan menutup separuh mukanya dengan Jilbab, bisa muncul seorang perdana menteri wanita, dan juga Jepang, tempat wanita
secara tradisional cuma jadi tenaga kerja paruh waktu di perusahaan-perusahaan, bisa muncul seorang pemimpin oposisi wanita. Di bisnis, peran wanita ternyata tidak selancar di panggung politik. Sampai sekarang belum ada sebuah perusahaan konglomerat kelas dunia yang berani memilih wanita sebagai Chief Executive Officer (CEO), walau pada posisi lapisan kedua sudah banyak. Dalam Disclosure, Moore cuma bermain sebagai pimpinan sebuah anak perusahaan, bukan CEO. Di Indonesia, peran wanita di perusahaan sudah semakin menonjol, kita kenal ada Eva Riyanti Hutapea di Indofood, ada Rina Ciputra di Ciputra Group, ada Goenarni di Bank Niaga, dan lain sebagainya. Bank Niaga bahkan terkenal sebagai pelopor ladies bank mulai dari kepala cabang, staf, sampai ke satpam pun adalah wanita. Laki-laki tidak punya peran apa pun di situ. Tentu tidak semua cabang Bank Niaga seperti itu. Pada Ramadhan lalu, saya diundang Bankk Niaga untuk berbicara tentang marketing for professional services pada para nasabah, yang terdiri dari dokter dan notaris, di Shangri-La Hotel, Surabaya. Saya agak terkejut, sebelum presentasi dimulai, ketika semua pemimpin cabang dan manajer Bank Niaga di wilayah Jawa Timur diperkenalkan, ternyata ada lima wanita dan enam menejer laki-laki. Saya punya alasan konseptual yang bisa dipakai menyelesaikan fenomena seperti di atas. Pada saat dunia makin tidak pasti seperti sekarang ini, apalagi tahun 2000 nanti, sebuah perusahaan atau sebuah negara makin memerlukan pemimpin ketimbang pimpinan. Apa bedanya? Pemimpin adalah leader dan pimpinan adalah manager. Kalau menejer adalah administrator, pemimpin adalah change-agent. Menejer menjalankan hal-hal yang rutin, pemimpin mengubah aturan main. Maka, dunia yang makin berubah makin cepat memerlukan seseorang yang punya leaderhip, walau harus tetap menguasai management. Ada hal menarik dari hasil survei kepemimpinan yang dilakukan majalah Swa, terbitan Maret ini. Swa bertanya kepada responden, karakteristik mana yang paling dibutuhkan dari pemimpin. Mereka menempatkan kejujuran (honesty) diperingkat pertama untuk pemimpin politik, dan meletakkan kecakapan (competency) sebagai hal utama bagi pemimpin bisnis. Hasil survei ini sangat menarik, karena honesty erat hubungannya dengan hati, dan competency dekat dengan otak. Singkat kata, rakyat perlu pemimpin politik
yang jujur dan punya hati, sedangkan kaaryawan lebih perlu pemimpin perusahaan yang cakap dan punya otak. Waktu masih mengajar di SMAK St. Louis, Surabaya, saya pernah punya pemimpin wanita, Ibu C.M. Hariwardjono. Saya masih ingat kepemimpinannya yang hangat dan manusiawi dibandingkan dengan kepala sekolah laki-laki. Saya tidaj tahu, apakah dekat dengan hati itu berhubungan dengan asal-usul wanita, yang katanya dari tulang rusuk.
PESAING
Kalau naik Merpati dari Halim, Jakarta, ke Husein Sastranegara, Bandung, atau sebaliknya, mulai 1 Februari 1995, Anda akan menemukan sesuatu yang berbeda. Dulu, Halim Perdanakusuma, yang pernah jadi international airport, sudah kusam wajahnya. Pokoknya, operasi penumpang check-in bisa berjalan dengan pemeriksaan keamanan ataupun tempat tunggunya seadanya. Itu bisa dimaklumi, karena pesawat Merpati yang take-off dari situ cuma menuju tiga jurusan, yaitu Bandung, Tanjungkarang, dan Lampung. Di luar Merpati, hanya ada beberapa perusahaan penerbangan kecil dan perusahaan-perusahaan swasta yang memangkalkan pesawat mereka di situ. Tapi, sejak
awal
Februari
ini,
suasana
ruang
tunggu pun
semarak.
Merpatimulai
mengoperasikan executive lounge. Di situ ada gadis-gadis yang bertindak sebagai greeters, makanan kecil dan minuman, serta bahan bacaan. Ruang tunggu ini untuk sementara disiapkan khusus untuk penumpang jurusan Bandung. Yang menarik, juga untuk sementara, dan mudahh-mudahan terus, tiket Merpati untuk rute itu tetap Rp. 64.000. Di Husein Sastranegara, walaupun dalam skala kecil, juga tampak lounge serupa, yang dioperasikan sejak pertengahan Januari lalu, untuk rute ke BandungJakarta. Buat saya, gebrakan Merpati iini cukup menarik. Sebab selama ini, di rute-rute lain, penumpang lebih banyak ngomel ketimbang memuji. Sering kejadian, misalnya, pemberitahuan pesawat akan terlambat baru disampaikan 30 menit di belakang scheduled time. Saya pernah bertanya kepada petugas di Semarang, mereeka santai menjawab, “Lo Pak, terlambat sampai 60 menit kan masih ditoleransi.” Jawaban seperti itu bisa dianggap wajar hanya ketika Garuda dulu terlambat lebih sering dan lebih lama. Tapi jawaban seperti itu janggal justru pada saat Sempati memberi voucher untuk keterlambatan lebih dari 25 menit. Ketika Garuda bersaing keras dengan Sempati untuk meningkatkan pelayanan, Merpati justru belum kelihatan banyak bergerak. Karena itu, sebagai marketer, saya senang sekali melihat munculnya kedua executive lounge Merpati di Halim dan Bandung itu sebagai awal kejelian Merpati. Coba
kita analisis sebentar. Untuk rute Jakarta-Bandung, para eksekutif yang paling banyak memakai rute ini punya beberapa pilihan. Selain Merpati, ada Sempati yang menerbangi rute sama. Tapi karena dari Cengkareng, maka pilihan ditentukan oleh wilayah tempat berangkat atau tempat tujuan penumpang di Jakarta. Selain itu, rute ini barangkali bisa lebih memuaskan orang yang ingin melakukan penerbangan sambungan, baik domestik maupun internasional. Sebab sebagian besar penerbangan Jakarta ke tempat tujuan lain berpangkal d Cengkareng, bukan Halim. Tapi, yang menarik, Merpati cukup “cerdik” dengan membuka rute BandungSingapura. Lewat rute ini, Merpati bisa mem-bypass Jakarta untuk mengantar orang Bandung ke seluruh dunia dengan transit d Singapura ataupun sebaliknya. Tapi, selain lewat udara, ada pilihan yang menarik para eksekutif , yakni kereta api eksekutif Parahyangan yang “cuma” Rp. 23.000. Waktu perjalanan juga “cuma” 2 jam 40 menit. Dan jadwal dari Gambir, Jakarta, ke Kebun Kawung, Bandung, ataupun sebaliknya, cukup sering. Kereta api eksekutif ini cukup populer, bahkan banyak eksekutif lebih suka menggunakan cara yang lebih “santai” dan “aman” ini. Apalagi kalau hari mendung, lAndasan Husein Satranegara yang tidak panjang dan leta Bandung yang dipegunungan menyebabkan orang awam jadi ngeri naik pesawat. Naik mobil sendiri entunya merupakan alternatif lain yang cukup hemat. Bisa lewat Puncak sambil menikmati pemAndangan kebun the. Atau lewat Purwakart. Jaraknyalebih pendek, tapi harus banyak bertemu truk. Menurut perhitungan seorang teman yang sering hilir-mudik Jakarta-Bandung, bensin satu kali jalan sekitar Rp. 20.000,-. Tapi saya mengingatkan, dia belum menghitung biaya oli mesin, oli filter, penipisan ban, depresiasi, dan sebagainya. Belum lagi gaji sopir. Walaupun tidak terlalu jamak, tapi ada juga cara lain
yang bisa
dipertimbangkan. Yaitu taksi 4848. Taksi ini berisi empat orang dan layanan dari pintu ke pintu. Karena sopirnya sudah hafal tikungan bahkan lubang yang ada di jalan, maka jarak Jakarta-Bandung bisa ditempuh paling lama dua setengah jam. Bisa lebih cepat dari berangkat pakai mobil sendiri, karena sopir Anda kalah pengalaman. Biayanya Rp. 35.000,0 per orang. Dari analisis sederhana ini, Anda bisa melihat bahwa pembukaan executive lounge Merpati ini tentunya tidak hanya bertujuan untuk “mengalahkan “ Sempati. Tapi lebih bersifat memberi nilai tambah pada penumpang.
Saya jadi ingat Peter Drucker yang menyatakan dalam buku-buku klasiknya bahwa jawaban terhadap pertanyaan “what business are you in”, sanga penting. Industri kereta api di Amerika, yang dulu pernah jaya karena dibutuhakan orang, terutama untuk menghubungkan pantai Barat dan Timur, jadi kolaps karena disaingi alat transportasi lain, yaitu bus atau bahkan pesawat terbang. Theodore Levitt menyebutnya sebagai marketing myopia. Artinya, perusahaan kereta api itu tidak bisa melihat jauh ke depan, karena kena penyakit miopia atau rabun jauh. Karena itu, mereka tidak pernah merasa bahwa bus dan pesawat terbang juga bisa jadi pesaing. Mereka merasa aman karena tidak punya pesaing langsung. Tapi keetika mereka mulai sadar, semuanya sudah terlambat. Kasus Southwest Airlines dibahas di sekolah-sekolah bisnis, seperti Harvard dan Wharton. Sebab dengan menjadi no-frills airline, Southwest bisa menjual murah tiketnya. Berlawanan dengan Merpati yang menambahkan service, Southwest justru menghilangkan semua service. Bahka, pembelian tiket pun tidak melalui biro perjalanan, suapaya tidak ada bagian dari margin yang jauh ke saluran distribusi. Pada saat ini, penumpang sudah bisa langsung datang ke airport membeli tiket dari mesin, bak beli tiket subway di Singapura ataupun Tokyo. Tidak ada makanan dan mnuman pada penerbangan pendek. Karena bisa jadi cost-leader, Southwest bisa memberi harga murah untuk penumpang. Salah satu korban dari strategi Southwest ini adalah justru perusahaan bus “Grehound Hound”, yang pada saat ini lagi kesulitan finansial. Perusahaan bus terkenal yang dulu jago di rute pendek itu justru salah ketika megalihkan konsentarsi ke rute lebih panjang, yang tentunya lebih baik dilayani pesawat terbang. Di Amerika, perusahaan kereta api bangkit kemabli. Saya sendiri sangat puas dengan Amtrak ketika mencoba rute Philadelphia-Manhattan dan PhiladelphiaAtlantic City, tahun lalu. Perusahaan ini melakukan segala macam usaha untuk memberi service bahkan solution untuk penumpang. Amtrak juga menerapkan konsep customer satisfaction, dan ternyata perusahaan kereta api ini bisa bangkit kebali dari marketing myopia-nya. Barangkali mereka sudah pakai kaca mata minus, sehingga bisa melihat jauh dan punya wawasan lebih luas. Jadi, supaya bisa sukses dan mempertahankan kesuksesan, Anda harus bisa menentukan dengan jelis siapa pesing Anda yang sebenarny, Anda setuju?
II - STRATEGY
SAMPOERNA
Anda pasti tahu Dji Sam Soe bukan? Itulah roko kretek paling mahal di dunia. Mengapa bisa begitu ? Soalnya, hanya di Indonesia yang bikin rokok kretek. Jadi, kalau Dji Sam Soe termahal di Indonesia, pasti juga termahal di seluruh dunia. Dji Sam Soe memang unik. Brand ini sudah berumur lebih dari 80 tahun, tapi life-cycle-nya masih belum masuk tahap declining. Belakangan, bahakan naik terus. Putera Sampoerna, yang merupakan generasi ketiga di perusahaan keluarga ini, sangat bangga akan brand Dji Sam Soe. Sering menyebut Dji Sam Soe sebagai the ultimate smoking pleasure. Mengapa? Kalau orang sudah sampai pada Dji Sam Soe, dia sulit kembali ke rokok kretek merek lain, yang terasa ampang. Ia juga meramal, Dji Sam Soe akan jadi brand terakhir kalu orang sudah meninggalkan rokok kretek kelak. Dulu, waktu Sampoerna mengkalim diri sebagai “kami memang beda”
,
banyak yang ingin tahu apa sebenarnya yang berbeda. Menjadi berbeda, secara konsep pemasaran, memang perlu, bahkan harus. Tapi, harus dijelaskan di mana letak perbedaan dimaksud. Maka, mereka melancarkan kampanye besar-besaran untuk menyatakan Sampoerna adalah “rokok tembakau”, bukan rokok saus. Dengan demikian, Putera sebenarnya ingin mengatakan bahwa perbedaan itu letaknya pada keaslian rokok tersebut. Sampoerna pernah mencoba meluncurkan produk baru, yang memakai kandungan saus cukup banyak, tapi gagal. Akhirnya, disadari bahwa rokok tembakau inilah yang justru merupakan kekuatan bagi sampoerna. Dji Sam Soe, sebagai tulang punggung Sampoerna, pada saat ini bisa mencapai 80% dari total omset.
Produk A-Mild, yang sekarang mulai mendapat pasaran, juaga mempunyai harapan besar di masa datang. Lahirnya A-Mild, yang merupakan rokok kretek pertama di Indonesia yang low tar, low nicotine, bisa dikatakan sebagai ide brilyan Putera, yang suka “menentang” arus. Kalau kesadaaran konsumen akan kesehatan meningkat, bisa dipastikan bahwa pada suatu ketika penjualan Dji Sam Soe, yang sarat nikotin dan tar, akan menurun. Karena itu, Sampoerna menyiapkan senjata kedua, yaitu A-Mild. Kampanye “how low can you go” akan memperkuat persepsi di benak konsumen bahwa A-Mild adalah rokok pertama yang rendah kandungan nikotinnya. Harapan Putera tentunya kalau Dji Sam Soe pada suatu saat harus turun panggung, diharapkan A-Mild akan naik, bukan sebagai the ultimate smoking pleasure, melainkan mungkin sebagai the healthiest smoking pleasure. Naiknya penjualan Dji Sam Soe dan dibarengi dengan tumbuhnya AMild inilah sebenarnya yang berada di belakang kenaikan harga saham Sampoerna di bursa. Tidak diragukan lagi, hal itu pula yang merupakan konstributor utama tercantumnya nama Tante Sien, salah seorang pemegang saham Sampoerna, di urutan pertama pembayar pajak penhahsilan terbesar di Indonesia untuk tahun fiskal 1993. Putera sendiri urutan keenam. Sampoerna sebagai perusahaan publik pun cukup kontroversial di mata masyarakat. Baru beberapa waktu lalu, media massa meramaikan isu “pemalsuan” rokok impor yang melAnda perusahaan ini, sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Prestasi perusahaan tersebut tercermin pada naiknya harga saham di bursa dan terpilihnya dua pemegang saham Sampoerna dalam daftar 10 terbesar pembayar pajak. Keberhasilan Sampoerna inij juga tidak lepas dari sadarnya Putera untuk cepat-cepat back to basic. Anda masih ingat kan waktu Sampoerna ingin cepat berdiversifikasi ke segala bidang. Mau punya properti, mau punya bank, mau punya pabrik biskuit, au punya perusahaan transportasi, mau masuk courier service, bahkan juga mau punya perusahaan konsultan. Waktu itu, Putera ingin jadi konglomerat dalam waktu singkat. Bahkan ada kesan adu cepat dengan Edward Suryajaya, yang waktu itu juga punya ambisi besar dengan Summa Group. Tujuan diversifikasi sebenarnya adalah mengurangi risiko bisnis sambil merajut sinergi. Tapi, kalau dilakukan tanpa perhitungan cermat dan penuh emosi, justru
bisa berbahaya. Kegagalan Edward dengan Summa memakan “korban” hilangnya Astra Group, yang sudah dibina ayahnya, Willem Soeryadjaya, selama puluhan tahun. Putera untung cepatt sadar, dan kembali ke core-business. Hasilnya ternyata jauh lebih baik. Biar saja Sampoerna Plaza berganti menjadi Wisma Mulia, biar saja Bank Sampoerna menghilang, biar saja Sampoerna Executive Resources Center bubar, yang penting dengan back to basic, Sampoerna berhasil maju. Saya jadi ingat pada Al Ries yang menulis buku terbaru, bersama Jack Trout dengan judul Refocusing the Corporation. Buku ini terbit akhir 1995. Tapi Al Ries sudah sering bercerita kepada saya bahwa yang dimaksud refocusing adalah perusahaan kalau sudah jadi besar tidak boleh lupa akan fokusnya. Perusahaan yang terlalu greedy dan tidak fokus lagi akan mudah hancur. Kisah Sampoerna adalah kisah refocusing yang nyata.
PUTRI DIANA
Anda sudah menonton wawancara ekslusif Putri Diana di RCTI? Itulah suatu acara talkshow paling “mahal” yang pernah terjadi di muka bumi. Bahkan lebih hebat dari acara “Larry King Live” sekalipun. Bukan cuma nama BBC dan Martin Bashir, yang mendadak jadi kesohor di seluruh dunia, melainkan juga Putri Diana sendiri ternyata bosa memenangkan simpati sebagian besar orang, termasuk kaum wanita. Bagi saya, wawancara ini merupakan suatu aktifitas public relation yang cukup berhasil dari sang Putri. Saya tidak tahu, siapa yang “mengatur” Diana. Tapi hampir semua jawaban diberikan secara lancar, tepat, dan diplomatis. Begitu polos gaya bicaranya sehingga seorang psikolog pun mengakui bahwa Diana telah berbicara apa adanya. Tidak berbohong. Sebagai seorang wanita yang hidup “sendirian” dan sadar sedang disorot oleh berjuta mata pirsawan, Diana telah membuktikan bisa tampil sebagai seorang manajer humas yang tangguh bagi dirinya sendiri. Buktinya? Dalam pembicaraan dia tidak menutupi apa yang memang benar-benar terjadi. Tapi sekaligus memberi alasan di balik kejadian tersebut. Dengan tegas diakuinya ada tiga desas-desus “berat” yang pernah beredar. Tentang penyakit bulimia, percakapan teleponnya dengan James Gilbey, dan perselingkuhannya dengan James Hewitt. Penyakit yang diderita itu disebabkan depresi berat. Sedangkan percakapan telepon “mesra” dan perselingkuhan yang terjadi pada waktu Diana sudah pisah dengan Charles. Apalagi ditambahi suatu pernyataan bahwa depresi tersebut, antara lain, disebabkan oleh tekanan pers yang terus menerus. Sedangkan percakapan “mesra” lewat telepon tersebut tidak diakuinya dulunya, karena Diana memang mencintai Hewitt ketika itu. Dengan demikian, semua isu telah diakui secara “tidak langsung” tapi penuh “justifikasi”. Kedua, sebagaimana layaknya seorang manajer humas yang hebat, Putri Diana tampil sebagai manusia biasa tanpa kosmetik tebal, sehingga terkesan “masuk” ke pihak masyarakat. Dia berusaha membuat pemirsa bisa mengerti bahwa dirinya adalah seorang wanita biasa yang bisa depresi, perlu perhatian orang lain dalam hidup, dan bisa berselingkuh sebagai aksi “balas dendam” terhadap orang yang menyakiti hatinya. Dengan tampil sebagai manusia “biasa” ini, Putri Diana justru berhasil mendapat “tempat” di hati pemirsa yang kebanyakan orang “biasa” pula.
Ketiga, seorang manajer humas juga bisa menyampaikan suatu pernyataan untuk merebut perhatian masyarakat. Sudah tahu kemungkinan untuk jadi Ratu Inggris memang “tipis” karena Charles pernah mengatakan ingin mengawini pacar gelapnya, Camilla Parker Bowles, Putri Diana justru mendahuluinya. Jadi, kalau pada suatu ketika Charles benar-benar menceraikannya, Diana akan mendapat simpati dari seluruh dunia. Selain itu, Diana tentu lebih suka putranya, Pangeran William, yang jadi Raja Inggris berikutnya. Dengan demikian, ia akan otomatis menjadi “Ibu Suri”. Tapi jangan lupa, Diana juga seolah mengingatkan bahwa yang mulai bikin gara-gara adalah Charles. Sejak sang Pangeran mulai menoleh kembali ke Camilla, maka situasi berubah buruk. Hal itu dijelaskan Diana lewat pernyataan terhadap adanya orang “ketiga” di dalam keluarganya. Selain itu, Putri Diana juga “berani” mengatakan secara langsung bahwa sebenarnya Charles tidak layak jadi raja. Dan dia “cuma” ingin jadi “ratu” di hati masyarakat Inggris. Lantas dia menyatakan tidak setuju dengan perceraian, mengingat kedua putranya. Hebat. Dengan pernyataan seperti ini, apa pun yang terjadi, Diana jadi berada pada posisi nothing to lose. Hebatnya lagi, lewat wawancara eksklusif ini Putri Diana telah berhasil “unjuk gigi” sebagai wanita sempurna, yang biasanya dinilai dari suatu woman-mix atau 4-B (Beauty, Brain, Behaviour, and Bed-Skill). Pengakuan akan kecantikan (beauty) sudah didapatkannya sebelum wawancara berlangsung. Lewat wawancara ini, Putri Diana sekaligus merebut nilai tinggi untuk ketiga B lain. Tentang otak (brain), seperti analisis saya tadi, Putri Diana sekaligus memproklamasikan bahwa perilakunya adalah perilaku seorang wanita biasa yang membumi. Bukan perilaku “wanita bangsawan” yang berada di dalam puri. Akhirnya, mengenai “kehebatan”-nya sebagi seorang istri (bed-skill), sudah diakuinya sendiri bahwa dia pun bisa melakukan hal tersebut, bila perlu dan kalau memang ada cinta di situ. Hebat Putri Diana sudah membuktikan dirinya piawai : sebagai Putri, sebagai manajer humas, dan sebagai the perfect woman.
ASAHI
Ketika Perang Dunia II berlangsung, tentara Jepang ada di mana-mana. Mereka memang sedang berambisi untuk menguasai ekonomi dunia bersama Jerman. Lantaran waktu itu sulit membawa sake, mereka membawa bir. Dan penyuplainya adalah pabrik bir Kirin. Walaupun tidak terbiasa minum bir, tentara Jepang waku itu tidak punya pilihan lain. Mereka, mau tidak mau, suka tidak suka, harus minum Lager Beer buatan Kirin. Seperti kata pepatah “alah bisa karena biasa”, maka tentara Jepang akhirnya jadi pintar minum bir, yang rasanya “pahit” itu. Karena perang berlangsung cukup lama maka rasa seperti itu lantas diterima sebagai standar rasa suatu bir. Akibatnya? Selesai perang, mereka tetap minum bir. Mereka tidak pernah merasa telah terjadi comsumer education pada waktu Perang Dunia II tersebut. Ketika itu, Kirin, yang sampai sekarang tetap jadi market leader di Jepang, seolah-olah tidak ada lawannya. Perusahaan bir Sapporo, yang berusaha memberikan perlawanan, tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berarti. Apa yang dilakukan Asahi? Merek bir ini tidak mau langsung head on dengan penguasa pasar. Maka, ketika para veteran Perang Dunia II tersebut mulai beranjak tua, Asahi melihat peluang. Telah lahir suatu generasi baru, yaitu orang-orang yang tidak pernah mengalami Perang Dunia II, tapi hanya melihat perkembangan ekonomi Jepang yang pesat setelah mengalami recovery sesuai perang yang dahsyat tersebut. Ketika Asahi melihat generasi pasca perang ini sebenarnya memerlukan bir “lain”, bukan bir seperti Kirin atau Sapporo. Lantas Asahi meluncurkan produk baru, yang disebut sebagai drry beer. Proses pembuatannya agak berbeda dengan bir Lager, dan dry beer ini tidak terlalu pekat seperti Kirin. Selain itu, bir “baru” ini tidak terlalu “keras”. Keberanian Assahi membuat suatu new product category ini ternyata mendapat sambutan hangat dari generasi yang tidak punya pengalaman Perang Dunia II tadi. Ternyata orang-orang seperti itu lebih menyukai bir yang “tidak pekat” dan “tidak keras”. Para demograf menyebut para konsumen Asahi dan Kirin tersebut sebagai berbeda cohort. Mereka tidak
cuma berbeda usia, yang biasanya cuma dianggap
sebagi variabel demografi, melainkan juga ada suatu peristiwa, preferensi, dan pola pembelian mereka pun berbeda. Selain membuat bir berbeda, Asahi juga berhasil melihat bahwa generasi baru tersebut ternyata sudah punya banyak lemari es. Tidak seperti generasi terdahulu, di mana mereka belum punya duit. Maka, Asahi juga mengajarkan mereka untuk lebih banyak minum bir di rumah, bukan cuma di bar. Ketika itu Asahi menyiapkan botol-botol yang mudah dimasukkan ke lemari es. Dilhat dari sudut pandang pemasaran, Asahi bisa dikatakan mampu melihat pasar secara lain. Inilah yang saya sebut sebagai segmentasi pasar.
How to view your market creatively. Melihat pasar dengan menggunakan
variable cohort dan behaviour, seperti dilakukan Asahi, akan memberi peluang baru perminuman, yaitu mengisi segmen pasar cohort baby boomer, yang berbeda dengan cohort Perang Dunia II. Juga ada peluang untuk mengisi segmen pasar yang minum bir di rumah, bukan di bar. Sedangkan Sapporo, yang “cuma” melihat pasar secara tradisional, juga “cuma” bisa ber-head-on dengan si pemimpin pasar. Tapi begitu Asahi sukses, Kirin pun segera meluncurkan dry beer yang sama. Kirin ternyata bukan “macan ompong” atau “pemimpin pasar” yang tidur nyenyak karena kekenyangan. Mereka merasa “kecolongan”, tapi segera membalas. Asahi memang tetap dianggap sebagai pionir dalam kategori dry beer, karena itu berhasil merebut market share secara cepat. Lantaran Kirin, sang market leader, berusaha cukup keras, sampai sekarang pun mereka tetap Nomor 1. Orang sering tidak sadar bahwa kesuksesan suatu strategi pemasaran harus dimulai dengan segmentasi pasar yang pas. Dan segmentasi pasar adalah cara melihat pasar secara kreatif. Selain itu, kalau Anda sedang memimpin pasar, jangan tidur. Segera balas pendatang baru yang bsa melihat pasar secara kreatif. Bahkan pakai cara mereka atau, kalau bisa, pakai cara yang lebih kreatif.
JULIO IGLESIAS
Penyanyi Julio Iglesias memang hebat, walau sudah berkali-kali datang ke Indonesia, penampilannya tetap saja memikat. Memang ada yang menganggap aksi panggung Julo Iglesias kurang seru. Bahkan beberapa orang menilai dia malas, kurang gairah, kurang dinamis, dan kurang aktif di pentas. Saya punya pendapat lain tentang Iglesias. Dalam penampilannya di Jakarta, minggu lalu, baik di Plenary maupun Assembly Hall Balai Sidang, dia justru tampil pas. Dia memang cuma berdiri tegak di tengah panggung dan melakukan demonstrasi suara. Memang yangg dijual terutama suaranya itu, bukanyang lain. Tapi Iglesias juga sedikit meliuk-liuk keetika menyanyikan Bamboleo. Anehnya, begitu dia mulai meliuk, semua orang yang tadinya terpana jadi histeris, terutama ibu-ibu. Puncaknya terjadi ketika Iglesias menyanyikan lagu Crazy. Begitu lirik lagu itu keluar lewat piano, ribuan penonton yang memadati Assembly Hall langsung bertepuk tangan. Apalagi ketika membawakan lagu itu, kedua tangannya beraksi. Bukan beraksi terhadap orang lain, melainkan beraksi merangkul dirinya sendiri erat-erat. Secara spontan saja, banyak penonton wanita yang merasa gemes. Mereka gregetan melihat Iglesias memeluk dirinya sendiri. Hebatnya, begitu lagu Crazy selesai, penonton tidak diberi kesempatan bertepuk tangan. Julio menyambungnya dengan lagu Can’t Help Falling in Love with You, sebuah lagu penutup dari pertunjukkan malam itu yang tidak memberi kesempatan kepada penonton mengalami “antiklimaks”. Dan ketika penonton berdiri sambil bertepuk tangan panjang, Igleasia keluar lagi. Ia meliuk-liukna tubuhnya sekali lagi sambil membawakan lagu Meva. Selain itu, pergelaran akbarnya benar-benar diakhiri. Hebat. Selesai acara, ada seoerang ibu yang saya tanya apa persepsinya tetang Iglesias. “Oh dia ganteng, suaranya luwes and romantis,” jawabnya. Anda puas dengan pertunjukan tadi ? “Ya saya puas sekali, karena saya selalu memimpi-mimpikan dia.” Luar biasa. Saya yakin, jawaban ini akan keluar dari banyak penonton malam itu, terutaama ibu-ibu. Bagi saya, Iglesias bukan cuma penyanyi superstar, melainkan juga
seorang marketer yang bisa mempertahankan customer relationship secara jangka panjang di tengah “serbuan” pesaing yang begitu banyak. Mengapa? Sasaran pasarnya cukup jelas. Ya ibu-ibu itu. Iglesias tidak peduli apakah dia disukai atau tidak oleh bapak-bapak atau anak-anak muda. Ynag penting, kaum ibu sebagai sasaran utama pasarnya tetap setia. Tapi Iglesias tidak menolak kalau ada orang di luar targetnya suka sama dia, karena itu dia tidak perlu berjingkrak-jingkrak di panggung seperti seorang rapper atau punk rocker. Positioning Iglesias memang sangat kuat. He is romantic singer, Dia hampir tidak pernah menyanyikan lagunya sendiri. Dia selalu menyanyikan lagu sendiri. Dia selalu menyanyikan lagu orang lain yang sudah top, dan dibawakannya dengan gayanya sendiri. Di Jakarta pun, sambil menyanyi, Iglesias selalu meraba-raba dirinya sendiri. Bahkan dia sempat mengatakan: I always feel sensitve, when I touch any part of my body. Gile! Itulah salah satu cara Iglesias untuk memperkuat positionng tadi. Selain itu, dia memang mempunyai suara kelas satu-jurus
yang disebut differentiation. Tanpa
suara emas seperti itu sama saja positioning yang ada tidak didukung oleh differentiation yang nyata. Differentiation merupakan salah satu faktor kunci dalam pemasaran, supaya Anda tidak mudah dibandingkan dengan orang lain. Tanpa differentiation, Anda harus berusaha lebih baik dala hal yang sama. Dengan differentiation yang berhasil, Anda otomatis menjadi nomor satu di “area” Anda sendiri. Dengan suaranya yang khas, Iglesias memang tidak perlu bersaing dengan Michael Jackson atau Phil Collins. Di dalam pemasaran, penentuan target market dan positioning secara clear termasuk dalam komponen “strategi”. Sedangkan differentiation yang mendukung positioning tadi termasuk dalam komponen “taktik” yang diharapkan mendorong marketing mix dan selling.
BUJANGAN
Begini nasib jadi bujangan…..” Itulah penggalan lagu lama Koes Plus yang sekarang menjadi populer lagi setelah dinyanyikan ulang oleh kelompok Junir. Mirip lago Hotel California, yabg juga berhasil menjadi hits dunia kembali setelah diaransir ulang oleh kelompok Eagles. Pada suatu malam, mobil saya berhenti di setopan lampu lalu lintas di dekat Gedung Panin, Jakarta. Tahu-tahu ada dua orang datang mendekat. Satu orang memetik gitar, dan satu lagi menyanyi. Lagunya: ya Bujangan itu. Petikan gitar yang pas dan suara yang serasi ternyata memang enak didengar dan merdu. Saking puasnya, sya minta lagu itu dimainkan lagi, dan tentu saja saya kasih “lebih” kepada dua anak muda tersebut. The guitar duo ini memang beda dari peminta-minta lain, yang juga ada di sekitar situ. Ada yang cuma bermodal sebuah tamborin. Ada yang cuma nyanyi tanpa alat, dan fals lagi. Lebih eman adalah yang cuma mengancungkan telapak tangan-minta uang gratisan tanpa kerja. Setelah melakukan “penelitian” secara acak, saya berkesimpulan bahwa pada saat ini lagu yang paling banyak dibawakan para peminta-minta di jalan ya lagu Bujangan itu. Kayaknya pemilihan lagu ini cukup efektif. Mereka, kebanyakan, memang bujangan dan sedang tidak punya uang. Dengan demikian, syairnya bisa menimbulkan trenyuh di hati orang yang dimintai uang. Di sis lain, orang seperti saya dan mungkin juga orang lain seangkatan saya, walupun berada pada kohor berbeda, juga suka lagu itu. Mendengar lagu itu seolah-olah saya diingatkan pada masa lalu. Dengan demikian, setiap kali terjadi transaksi, maka terjadilah “sambung rasa” antara dua kohor berbeda lewat nda dan syair Bujangan. Suatu strategi efektif target dan clear positioning yang jitu, karena itu bisa cepat memenangkan customer’s mind share. Di New York, terutama Manhattan, gaya peminta-minta lain lagi. Mereka bisa main akrobatik, maik musik, atau pantomin. Mereka main di mana-mana. Bisa di Times Square, tempat banyak orang lalu lalang sampai larut malam. Bisa di Taman Butterfly, tempat orang menunggu feri untuk mengunjungi Patung Liberty. Bisa juga di stasiun-stasiun kereta api api bawah tanah, tempat banyak warga New York menunggu kereta. Atraksi para peminta-peminta itu bisa berbentuk
solo, duo, atau trio. Lantaran transaski selalu berarti ada pertukaran, maka pada suasana semacam ini, pertukaran terjadi antara “jasa entertainment” dan “kepuasan batin penyumbang”. Orang cacat di Manhattan pun tidak mau cuma minta uang dengan “tangan kosong”. Mereka biasanya membawa permen karet, bolpoin, pensil, atau barang kecil apa saja untuk dijajakan dikereta api bawah tanah. Mereka juga biasanya menulis kertas, yang menyatakan bahwa mereka, misalnya, adalah seorang tuli. Dan minta untuk membeli barang-barang yang mereka bawa tersebut dengan harga relatif mahal dari biasanya. Target mereka jelas: orang-orang yang sedang “menganggur” antara dua stasiun. Begitu kereta api meninggalkan suatu stasiun, maka penjaja cacat tadi langsung membagi-bagikan barang dagangan mereka pada penumpang. Kalau mau beli, silakan kasih duit. Kalau Anda tidak mau beli, cukup dikembalikan saja barangbarang tadi pada mereka. Biasanya selalu ada saja yang membeli barang-barang tersebut. Kasus ini menarik, karena mereka jelas memposisikan diri sebagai pemintaminta cacat yang tidak bisa memberikan jasa pertunjukan, seperti dilakukan rekan-rekan mereka yang sehat. Di buku teks Pemasaran Klasik karya Philip Kotler emang disebutkan bahwa transaksi selalu terjadi antara dua belah pihak; ada yang membeli dan ada yang mendapatkan sesuatu. Supaya suatu transaksi bisa berlangsung berulang-ulang, maka kedua belah pihak harus merasa puas. Seorang peminta-minta di New York tentu lebih canggih dari rekan-rekan mereka di Jakarta. Selanjutnya, peminta-minta di Jakarta tentu lebih canggih dari mereka yang ada di daerah-daerah. Mengapa? Ya, buktinya itu lho. Mereka bukan cuma memberikan sesuatu, melainkan juga denga tepat bisa menentukan target market, yang karena suatu keadaan mau memperhatikan mereka. Setelah itu, mereka melakukan sesuatu untuk mengerjakan positioning bahwa mereka tidak sama dengan peminta-minta lain, terutama dari mereka yang tidak memakai strategi.
JALAN-JALAN
Anda pernah jalan-jalan? “So pasti,” kata orang Manado. Kini Anda bisa jalan-jalan di dalam ruangan. Tepatnya: di Penthouse, yang terletak di Lantai 36 dan Lantai 37 Gedung Menara Imperium, Kuningan, Jakarta. Di Lantai 36, Anda akan mendapatkan jalan pleseteran-tanpa tegel, tanpa keramik. Di situ Anda bisa memasuki beberapa objek sekaligus. Ada tempat untuk main bilyar. Ada warung Robataban, yang menyajikan makanan bakar khas Jepang. Ada tempat mojok untuk minum. Ada toko barang dagangan. Dan ada juga diskotek denga loteng “kaca retak”. Di situ juga ada Open VIP Room, yang disewakan dengan biaya minimun Rp. 500.000,- semalam, dan dari sana Anda bisa melihat pemandangan Jakarta di malam hari. Di Lantai 37, yang bisa dicapai lewat tangga dari Lantai 36, Anda akan menemukan suasana lain. Di lantai ini, ada pub. Untuk hari-hari ini, sejak pembukaan 112 Juli lalu, ada band dari New York yang manggung di situ. Pengaturan tempat dibuat sedemikian rupa sehingga pengunjung dekat sekali dengan musisi. Di sini ada Closed VIP Room, yangg disewakan dengan biaya minimum Rp. 1 juta semalam. Ruangan ini benar-benar tertutup, bahkan kedap suara. Dan di dalam VIP Room ini ada dapur kecil untuk pelayanan yang melayani tamu. “Iini tempat untuk pertemuan sambial bisa melihat perilaku orang di luar. Tapi kalau sudah bosan, boleh buka pintu untuk mendengar suara musik,”” kata salah seorang eksekutifnya. Dari Lantai 37, Anda juga bisa melihat pemandangan indah Jakartaa di malam hari. “Mirip New York kecil,” kata Rusmen Kusen, bos CPP Radionet, yang malam itu ikut melihat tempat tersebut bersama saya. Uniknya, kedua lantai atas di Gedung Menara Imperium itu terkases juga dengan tangga ke Empire Grill, di Lantai 35, yang merupakan restoran berputar pertama di Indonesia. Namanya? Cukup sederhana: Jalan-Jalan. Edan! Sementara orang berlomba dan ribut memakai bahasa Inggris, mereka berani memakai nama seperti itu. Hanya saja, di sini ada embel-embelnya: The aptitude of movement. Saya memang melihat ada beberapa orang jalan-jalan di situ, pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa minuman.
Banyak tempat yang mencoba menerapkan one-stop entertainment center, tapi gagal. Kali ini naluri saya mengatakan : Good. Kenapa? Pertama, dilokasi tempat ini sangat menunjang. Ada lebih dari 30 lantai di bawahnya yang penuh dengan kantor. Jadi, di situ ada banyak profesional yang memerlukan tempat tersebut. Apalagi, setelah jam kantor. Jadi, di situ ada banyak profesional yang memerlukan tempat tersebut. Apalagi, setelah jam kantor, biasanya daerah Kuningan macet. Daripada terperangkap di jalan selama lebih dari dua jam, lebih baik nongkrong di pub atau restoran sambil bersantai. Kedua, atmosfer Jalan-Jalan sendiri punya kelas tersendiri, sehingga bisa menarik orang luar untuk datang. Dulu Jakarta punya menara President Hotel, yang memberikan kesempatan pada pengunjung untuk bersantap malam sambil menikmati Jakarta di malam hari. Kini situasi sudah berubah. Dekorasi interior uang ada di sana sudah tidak memenuhi syarat lagi. Benchmarking pengunjung Jala-Jalan bukan terhadap tempat-tempat hiburan lain di Jakarta. Ketiga, diskotek yang tripping-free menyebabkan empat ini jadi lain daripada yang lain. Dan, yang penting, walaupun ada berbagai objek di satu tempat, target market dan positioning-nya sama. Siapa itu? Sasaran pasar mereka adalah para profesional muda atau yang berjiwa muda. Sedangkan positioning mereka adalah tempat hiburan yang punya nuansa metropolitan. Sementara itu, one-stop entertaiment center yang gagal adalah mereka yang berusaha menarik berbagai sasaran pasar dengan memposisikan diri sehingga tempat hiburan menjadi multi-dimensi. Greedy!
HONG BIN LOU
Anda pernah mendengar nama Hong Bin Lou? Kata hong berarti megah, bin berart tamu agung, dan lou bermakna gedung tinggi. Lengkapnya, Hong Bin Lou berarti tempat menjamu tamu agung . Kalau Anda ke situ, Anda akan disambut para pramusaji, yang mengenakan pakaian Cina warna hijau, lengkap dengan peci khas Mongolia. Tempat itu terletak di Lantai 8 Plaza Bapindo, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Kalau Anda ke situ, dan semua tamu naik lift dari gedung parkir, Anda akan melihat tombol Lantai 8 diganti dengan kaligrafi Arab, yang berbunyi: Al-matam al-islamirumah makan Islami. Kaligrafi itu juga dibordir pada pakaian seragam pegawai restoran tersebut. Hong Bin Lou, seperti makna kaligrafi tersebut, memang merupakan restoran yang sesuai dengan kaidah agama Islam. Di situ memang dijual makanan Cina, tapi dijamin halal. Restoran itu tidak memasak daging babi, dan juga tidak menjual minuman beralkohol. Di restorant ini, yang merupakan cabang Hong Bin Lou, Beijing, menurut informasi, selalu stand by koki dari Cina, yang juga muslim. Untuk memastikan kehalalan makanan di restoran Hong Bin Lou, Majelis Ulama Indonesia melakukan pengecekan atas semua bahan yang dipakai dari waktu ke waktu. Dengan demikian, tamu muslim yang bersantap di situ merasa “aman”. Ini dikatakan Pemimpin Perusahaan GATRA, H. Mahtum Mastoem, kepada saya pada waktu acara penandatanganan naskah perjanjian kerja sama Gatra Reader’s Card. Bagi saya, Hong Bin Lou termasuk kasus yang menarik untuk dianalisis. Pengusaha restoran ini melihat peluang bisnis yang timbul dari globalisasi, dan keunukan Indonesia sendiri. Globalisasi membuat arus etnis dan arus agama bisa menyeberangi batas-batas negara. Cina, dengan penduduk satu milyar jiwa lebih dan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 10%, merupakan kekuatan yang dahsyat di masa depan. Bahkan Prof. Warren J. Keegan, pakar global marketing, meramalkan bahwa Cina akan menjadi superpower ketiga setelah Amerika dan Jepang pada abad ke-21. Dampak sampingnya, akan terjadi jaringan global etnis di antara Cina Perantauan di seluruh dunia. Pengaruh budaya etnis Cina ini tentu saja membuat makanannya akan mengglobal juga, dan makin dipakai sebagai “makanan untuk bisnis”.
Islam sebagai suatu agama besar juga akan makin mengglobal. Hal itu diramalkan dengan jelas oleh Futuris John Naisbiit. Di balik gelombang modernisasi, yang makin menghalalkan segala sesuatu yang keduniawian, ada arus balik gelombang back to Allah. Negara-negara Arab dengan kekuatan petrodolar tampaknya memberi inspirasi pada the revival of global moslem movement. Apalagi, orang modern punya kebutuhan lebih besar akan keseimbangan antara sesuatu yang bersifat “duniawi” dan “akhirat”. Dua arus globalisasi yang hebat ini, yakni Cina dan Islam, bertemu di Indonesia. Mengapa? Indonesia merupakan negara yang paling banyak dihuni Cina Perantauan , dan berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pengusaha yang jeli akan melihat suatu peluang besar di situ. Apalagi, setelah diguncang isu “lemak babi” beberapa tahun lalu, kaum muslin di Indonesia jadi lebih was-was. Mereka, secara psikografis, ingin safe dalam mengkonsumsi sesuatu. Maka, label “halal” dari MUI seolah merupakan jaminan bagi produk makana dan minuman. Walau hal itu bukan sesuatu yang diharuskan Pemerintah, produsen tidak mau mengambil risiko ditinggalkan oleh segmen pasar yang besar. Kehadiran Hong Bin Lou, yang dibuka Agustus tahun lalu, merupakan bukti bahwa segmentasi dan target merupakan dua kunci utama dari dinamiknya sebuah bisnis. Hong Bin Lou melihat segmen muslim yag ingin makan makanan Cina secar aman akan mengalami peningkatan, terutama oleh globalisasi Target yang jelas ditujukan ke suatu segmen pasar merupakan suatu kunci penting. Bisa saja ada orang yang “kecewa” karena makanan yang disajikan rasanya berbeda atau di situ mereka tidak bisa minum bir. Tapi pemasaran memang harus memihak. Pemasaran tidak perlu memuaskan semua orang. Pemasaran bukan menembak dengan pistol, melainkan menembak dengan senapan, yang diletupkan oleh penembak jitu. Karena itu positioning Hong Bin Lou gampang sekali. Sebab, rumah makan itu menjamu tamu agung dengan makanan halal. Saya yakin, kalau nanti Hong Bin Lou sukses, pasti akan ada yang mengikuti.
BATS
Jumat mala, pukul 23.00 WIB, di BATS, Hotel Shangri La, Jakarta. Kalau Anda pada hari dan jam tersebut berada di situ, pasti akan sulit mendapat tempat duduk. Tapi Anda memang tidak perlu duduk. Hampir semua orang berdiri, pegang gelas minuman, bergoyang badan mengikuti irama musik, dan hampir semua mata ditujukan ke panggung. Di panggung, biasanya ada penyanyi berkulit hitam legam melantunkan suara sambil berjingkrak. Band pengiringnya pun orang hitam. Mereka datang dari Amerika-bisa jadi dari Harlem atau Bronx. Musik mereka selalu panas, walau lagu-lagunya gampang diterima. Saat ini BATS merupakan salah satu tempat paling hot di Jakarta. Di BATSberbeda dengan Tanamur, yang sangat wild, atau Hard Rock Café, yang terlalu rockpengunjung bisa menemukan situasi yang hot, tapi tetap eksekutif. Soalnya, walau musik yang dibawakan cukuo cadas, lagunya polpuler, dan juga mudah untuk dilantunkan pengunjung yang ingin bernyanyi. Selain itu, di BATS, para eksekutif Indoensia tidak canggung untuk bergabung dengan para ekspatriat, yang jadi core guest di mana-mana. Khusus Jumat malam, karena akhir pekan, pengunjung BATS selalu berjubel. Mereka kayaknya ingin melampiaskan ras capek di situ. Meski sebagian besar tamu masih memakai baju kantor, umumnya mereka sudah tidak mau bicara soal bisnis. Mereka seolah-olah ingin melupakan masalah bisnis. Bisa dengan minum whiskey cola atau minum bir Corona dari Meksiko, atau sekadarmakan piza sambil menenggak bir bintang. Di Jakarta, Jumat malam memang sering disebut sngle’s night. Artinya, walau suami-istri sama-sama bekerja, waktu itu bisa jalan sendiri-sendiri. Baru pada Sabtu dan Minggu, mereka bergabung dalam keluaarga. Nah, pada waktu itulah, smua orang bisa kelihatan punya kepribadian kedua-sering disebut sebagai the second personality. Melihat BATS, saya jadi ingat sebuah iklan di Majalah Glamour, yang menampilkan seorang gadis cantik berambut panjang berbocengan dengan seorang laki-laki berambut gondrong dan berjaket kulit disebuah motor besar. Di Amerika, lakilaki seperti itu sering dianggap sebagai profil anggota Hell’s Angel. Gambar itu juga
memperlihatkan sang gadis menoleh ke belakang dan tangannya menyingkap roknya sehingga terlihatlah pahanya yang mulus. Lalu, ada kalimat menarik hati saya: Sometimes even good girl like to be bad! Artinya, seorang gadis “baik-baik” pun pada suatu ketika ingin tampak “liar”, seperti pada gambar tersebut. Ternyata setelah saya teliti, di iklan itu ada stiker contoh bau parfum tersebut. Ketika saya coba membauinya, ternyata cukup menyengat. Nah, parfum Musk dengan bau seperti itu memang tidak cocok dipakai pada waktu gadis “baik-baik” sedang bekerja. Parfum itu cocok dipakai kalau lagi “ingin” liar. Saya juga pernah melihat psoter Guess, yang menyatakan pakaian merek itu dibuat untuk orang yang punya split personality. Gambarnya adalah eksekutif pria atau wanita yang sedang santai-keduanya tentu saja sedang mengenakan pakaian Guess. Ini contoh lain lagi yang menunjukkan bahwa Guess diperuntukkan bagi eksekutif, tapi bukan dipakai untuk bekerja. Guess dipakai ketika sang eksekutif ingin menunjukkan kepribadian keduanya. BATS juga punya konsep serupa. Tempat ini tidak cocok untuk tempat makan siang. Untuk makan siang, para eksekutif tentu pergi ke restoran, sesuai dengan kepribadian pertama mereka. Maka, BATS dibuka malam hari, yaitu ketika para eksekutif, yang merupakan target market mereka, lagi ingin menunjukkan kepribadian kedua. Pelajaran yang bisa dipetik? Target Market bisa sama, tapi tetap ada peluang. Pertama, buat menetapkan positioning sebagai sevice provider untuk kepribadian kedua.
MARLBORO
Malam itu saya sedang makan malam di rumah makan masakan Sunda, Restoran Panineungan, Bandung. Tiba-tiba saya didatangi seorang cewek yang mengenakan setelan warna merah dan putih lengkap dengan topi pet merah. Ia memberikan sebuah buku kecil. “Saya dari Marlboro, Pak. Kami punya program Marlboro Adventure Team,” katanya ramah. Ketika saya lihat, ternyata memang ada penjelasan lengkap tentang program itu dibuku tersebut. Petualangan Marlboro itu, yang dilakukan di Amerika, antara lain sepeda off road, naik tebing, dan arung jeram. Bagi orang Indonesia yang berminat akan ada seleksi. Supaya terpilih, peminat harus mengisi formulir di buku tadi dan memberikan alasan mengapa berniat mengikuti program petualangan seperti itu. Setelah itu, peserta terpilih-sebanyak 100 orang akan diwawancarai, lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan. Dari jumlah itu akan dipilih 10 orang, yang akan bergabung dengan para petualang lain dari berbagai negara. Melihat buku itu, saya langsung ingat pada iklan Marlboro tentang program tersebut, yang dipasang di mana-maa: Now is your turn. Program semacam ini, bagi saya, menari karena memperlihatkan upaya Marlboro untuk memperkuatbrand identity, yang sudah mereka punyai: simbol dari pria macho. Ketika sekitar tiga dekade lalu Leo Burnett punya ide gemilang menggunakan koboi sebagai iklan, Marlboro baru melakukan retargeting dari rokok wanita ke roko pria. Pemilihan segmen pasar demografis pria itu mesti dibarengi dengan psikografis macho. Sampai sekarang profil koboi itu, yang pemerannya digantii terus, tetap dipakai, walau sekarang jumlah full time coboy di Amerika sudah sangat sedikit. Tapi itulah Marlboro . Ketika merek ini menyerbu pasar global, tidak ada perubahan sedikit pun, baik pada produk maupun positioning mereka. Di seluruh dunia, Marlboro tampil sama. Di Indonesia, memang pernah terjadi iklan koboi itu diganti dengan jaran kepang, tapi malah tidak laku. Orang bel Marlboro memang bukan beli rokonya, melainkan beli mereknya. Tegasnya beli koboi itu. Banyak sekali orang mengantongi Marlboro supaya bisa dianggap macho.
Gebrakan Marlboro mengoboikan dunia ini cukup berhasil. Banyak orang bermimpi, pada suatu ketika kelak bisa berada di Marlboro Country, yang merupakan negeri antah-berantah. Beberapa tahun lalu terjadi malapetaka Marlboro Friday di Bursa New York. Saham Philip Moris, produsen Marlboro , rontok karena laporan keuangan triwulan yang jelek. Tapi keperkasaan brand ini terlihat ketika mereka menggusur kembali non-branded cigarette, yang sempat menggerogoti pangsa pasar Marlboro . Harga Marlboro diturunkan sedikit, lalu disediakan pula sejumlah kupon yang bisa ditukarkan dengan perlengkapan pria macho, sperti sepatu bot, topi, jaket, sampai T-shirt. Setelah itu mereka luncurkan Marlboro ekonomi yang lebih pendek tetapi dengan harga lebih murah, untuk menghadapi rokok-rokok non branded tadi. Sesudah lawan terpukul, lantas harga Marlboro (asli) dinaikkan kembali. Hebatkan. Saham Philip Morris pun naik kembali. Sekarang di Indonesia, Anda pun bisa membeli perlengkapan pria macho dengan merek Marlboro Classic tersebut. Ini adalah suatu upaya brand extension dari Marlboro dalam memperkuat brand identity. Lewat perlengkapan itu, Philip Morris ingin membentuk suatu Marlboro Attitude. Itu bbaru psikografis. Selain program petualangan tersebut, Marlboro ingin melanjutkan pembentukan identitasnya ke perilaku. Mengapa? Banyaknya pilihan akan menggoda orang yang punya attitude tertentu sekalipun. Di Indonesia, Marlboro mulai terganggu dengan kegencaran A-Mild dari Sampoerna. Bahkan ada survei yang memperlihatkan bahwa konsumen Indonesia menganggap A-Mild adalah The Indonesian Marlboro. Saya yakin, serangan seperti ini juga terjadi di negara-negara lain. Program petualangan Marlborobor ini kelihatannya ditujukan bukan cuma untuk memperkuat the Marlboro Attitude, melainkan juga the Marlboro behaviour
SHARON STONE
Pagi hari, 25 Maret lalu, Sharon Stone menelepon Manajer GAP. “Mungkin toko Anda akan diserbu pembeli mulai besok pagi,” katanya. Stone punya alasan kuat untuk mengatakan itu, karena malamnya bintang seksi tersebut mengenakan pull-over hitam yang dibelinya di GAP, tahun lalu. Berlawanan dengan bintang yang hadir pada acara penyerahan Piala Oscar ke-68 malam itu, Stone tidak mengenakan baju rancangan desainer terkenal. Padahal biasanya ia juga gandrung tampil “wah”. Malam itu Stone hadir dengan penuh rasa percaya diri, walaupun cuma mengenakan baju atas warna hitam, yang dibelinya dengan harga US$ 22. Malam itu memang merupakan malam istimewa bagi Stone. Untuk pertama kalinya dia masuk sebagai The Best Actres in Leading Role. Walaupun dia tidak mendapatkan Oscar, nominasi itu sendiri sudah merupakan kemenangan. Mungkin karena itu Ketua Panitia Penyelenggara Quincy Jones minta Stone tampil di panggung sebagai salah seorang yang membacakan nominasi dan menyerahkan piala kepada salah seorang pemenang. Penampilan Stone yang “melawan arus” malam itu sebenarnya merupakan suatu pernyataan bahwa craft lebih penting dari appearance untuk menjadi salah satu nominator Piala Oscar. Terus terang saya kecewa melihat penampilan Stone di film Casino, yang membawanya menjadi salah seorang nominator di Academy Award tahun ini. Di film itu, Stone tampil sebagai istri Robert De Niro, yang berperan sebagai bos sebuah kasino di Las Vegas. Di Casino, di mata saya, Stone tampil lain dari biasanya. Dia tidak mempertontonkan sensualitas seperti di Basic Instinct, yang membawanya ke popularitas, tapi lebih menunjukkan karakter kuat seorang wanita yang harus tabah hidup sebagai istri seorang bos kasino. Di Basic Instinct, Stone lebih menonjolkan tubuh, sedangkan di Casino, dia lebih menonjolkan akting. Inilah suatu repositioning yang sulit saya terima begitu saja. Kelihatannya Stone benar-benar serius untuk mendapatkan pengakuan sebagai artis bermutu. Maka, dia sudah sangat mengurangi “ketelanjangan”.
Tapi itulah konsumen. Brand image yang sudah terbentuk di benak konsumen memang sulit diubah. Dulu saya suka Stone bukan karena seni perannya, melainkan karena sensualitasnya. Sekarang saya harus melihat sebuah film di mana Stone sudah tidak seperti itu lagi. Sebenarnya diam-diam sudah terjadi persaingan sengit antara Stone dan Madonna. Pada saat Stone bermain seksi di film, Madonna tidak mau kalah. Ia membuat buku yang memamerkan seluruh kemontokannya. Sekarang Madonna sedang mati-matian menggarap film Evita, yang diharapkan bisa memberikan penjelasan akan aktingnya. Tapi perjalanan yang ditempuh Madonna kelihatannya lebih sulit. Walaupun kerja cukup kuat dan melelahkan di dunia musik, tidak mudah untuk masuk ke dunia film yang merupakan dunia lain. Dalam pemasaran, hal ini disebut brand extension. Artinya, brand yang sudah kuat di suatu kategori produk diharapkan bisa dipakai secara sukses untuk kategori lain. Untuk melakukan leveraging the brand seperti itu paling sedikit ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, brand itu harus sudah punya equity yang kuat dalam kategori lama. Kedua, ada suatu non category association yang bisa dipakai sebagai penghubung ke kategori baru. Ketiga, brand tersebut dipercaya konsumen ketika berkompetisi dengan pesaing baru. Madonna memenuhi syarat pertama, dan juga syarat kedua, asalkan membintangi film-film yang seksi. Tapi dia sulit untuk mencapai syarat ketiga. Bagaimanapun, akting dan film dianggap sangat berbeda dengan tarik suara di rekaman. Sedangkan brand repositioning seperti dilakukan Stone, walau tidak mudah, harus dilakukan secara konsekuen. Dia harus mengubah segala macam perilakunya. Bukan cuma menolak segala macam adegan yang terlalu seksi di film, melainkan juga harus berani menolak segala macam tawaran untuk berfoto telanjang dengan bayaran berapapun. Penampilan dengan baju GAP di malam penyelenggaraan Oscar tahun ini jelas merupakan permulaan yang baik. Tapi tentu saja diperlukan perjalanan panjang untuk mengekspresikan strategi repositioning tersebut
JACKY CHEUNG
Sewaktu Michael Jackson manggung di Singapura, banyak orang Indonesia pergi ke sana untuk menonton raja pop itu berjingkrak-jingkrak. Sebaliknya, ketika Jacky Cheung manggung di Jakarta, ternyata banyak juga orang Singapura yang datang ke sini. Setidaknya saya melihat lima orang dari mereka duduk berderet di baris kelima kursi VIP. Semua cewek, dan masing-masing membawa “tongkat bercahaya” warna-warni: merah, biru, dan hijau. Uniknya, mereka sangat kreatif dalam menata gerak sambil duduk, dan menyatukan variasi warna yang ditampilkan. Semua itu didahului suara kompak mengikuti irama lagu dinyanyikan raja pop Mandarin itu. Ketika Jacky Cheung menyanyikan lagu hot, warna merah dan hijau yang ditampilkan dengan disertai gerakan yang dinamis. Ketika lagunya romantis, warna biru yang diliuk-liukkan. Dengan melakukan gerakan bersama itu, mereka lantas jadi bagian dari tontonan tambahan. Walau Plennary Hall, Balai Sidang Jakarta, tidak dipadati penonton seperti waktu pertunjukan Julio Iglesias, ternyata Jacky Cheung cukup hebat dalam mengumpulkan penonton. Penyanyi Hong Kong ini ternyata punya banyak penggemar di sini. Itu terlihat dari banyaknya rangkaian bunga, lukisan dirinya, ataupun surat cinta yang ditujukan langsung oleh para penggemarnya di depan panggung sewaktu Jacky Cheung menyanyi. Di tribune, juga ada spanduk yang dibawa penonton dengan tulisan: Jacky, We love U. Selain itu, pada waktu Jacky Cheung menyanyi, hampir semua penonton, yang kebanyakan remaja, ikut menggoyangkan badan. Padahal, saya yakin, walaupun hampir semua penonton berwajah Cina, lebih sedikit jumlahnya yang mengerti lagu-lagu Mandarin, apalagi lagu-laagu Cantonese, yang dinyanyikan Jacky Cheung. Lantaran suara Jacky Cheung enak didengar, lagunya ngepop, musik dan penari pengiringnya mantap, maka pertunjukan itu jadi benar-benar enak ditonton. Sebenarnya bukan cuma Jacky Cheung yang ngetop di sini. Jacky lain, yaitu Jacky Chan, juga lagi menggeber bioskop Indonesia dengan film First Strike. Dan Jacky Chan, yang terkenal tidak mamakai stuntman, bahkan lebih populer. Soalnya, semua orang bisa dengan mudah mengagumi gerakan kungfunya dab memahami apa yang
diucapkan lewat teks bahasa Indonesia. Bahkan pada waktu Lebaran lalu, film ini disambut segala lapisan masyarakat. Masih ada yang mengagumi Andy Lau. Tahun lalu, aktor silat ganteng dan bisa menyanyi itu juga datang ke Jakarta. Seperti kedua Javky tadi, Andy Lau juga berasal dari Hong Kong. Andy Lau juga beken, bahkan bisa lebih dikenal karena film silatnya bisa “masuk” ke setiap rumah di Indonesia lewat kotak televisi. Apalagi katakatanya telah disulih ke bahasa Indonesia. Jacky Cheung, Jacky Chan, dan Andy Lau cuma tiga contoh aktor, penyanyi, pemain kungfu, dan bintang sinetron asal Hong Kong, yang bukan cuma terkenal di Indonesia, melainkan juga di mana-mana. Asal ada komunitas Cina cukup banyak, maka mereka mempunyai peluang cukup baik. Hong Kong sendiri mempunyai status yang cukup unik. Ditempa oleh persaingan perdagangan bebas sejak dulu, maka masyarakatnya jadi tahan banting dalam memasuki era globalisasi. Sebentar lagi Hong Kong jadi bagian dari Cina, yang berpenduduk 1 milyar lebih. Kalau John Naisbitt meramalkan abad ke-21 adalah abad Asia, saya bahkan berani menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di kawasan tersebut adalah di Cina, dengan Hong Kong sebagai “pintu gerbang” internasionalnya. Beijing boleh saja jadi ibu kota Cina, Tapi Hong Kong akan menjadi “ibu kota baru” di Asia. Mengingat tingkat pertumbuhan di Tokyo, Seoul, Taipei, dan Singapura akan terlambat. Lihat saja, sekarang banyak kantor regional Asia dari perusahaan multinasional yang sudah berlokasi di Hong Kong. Bahkan Hong Kong bisa dianggap sebagai “ibu kota” para Cina perantauan, yang tersebar di seluruh dunia. Apalagi banyak tokoh selebriti di bidang bisnis di sana, diantaranya Li Kai Shing. Ia, seperti juga Jacky Cheung, banyak dikagumi orang dan sekaligus menjadi sumber inspirasi.
DELTA
Anda suka dengan suara Johnny Mathis, Conny Francis, Tom Jones, atau Nat King Cole? Kalau kebetulan Anda tinggal di Jakarta, say yakin Anda pasti terpuaskan dengan menyetel 99,5 FM. Itulah stasiun radio Delta, yang belakangan ini sedang naik daun di Jakarta. Radio Delta selalu menyebut dirinya sebagai “penyaji lagulagu lama pilihan”. Dan disiplin para penyiarnya memang mengagumkan. Tidak pernah sekali pun mereka “kelepasan” memutar lagu-lagu pop zaman sekarang, apalagi Top 40. Yang menarik, penyajian lagu-lagu lama itu sering diselingi dengan nomornomor klasik mahakarya para komponis besar, seperti Schubert, Mozart, hingga Tchaikovsky. Selain itu ada pesan-pesan agama yang diselipkan-dari waktu ke waktu ada pembacaan hadis, disertai alunan klasik yang disajikan dalam bentuk puitis dan apik. Cara bicara para penyiarnya pun sangat sopan. Ini justru memberi kesan bahwa Delta seolah ingin mengajak para pendengarnya “kembali ke jalan yang benar”. Saya melihat, lahirnya konsep Delta, yang “lain dari yang lain”, ini sebagai bangkitnya suatu arus balik, sebagaimana ramalan John Naisbitt. Pada waktu radio Trijaya 104,7 FM memberanikan diri menjadi radio bagi para profesional muda, banyak orang terkagum-kagum. Maklum, waktu itu hampir seua radio berlomba menyajikan lagu-lagu terbaru. Dengan demikian, persaingan masih berada pada tingkat better than competitors. Pengertian “better” maih bisa bermacammacam. Semua seolah berlomba menyajikan lagu yang “lebih” baru, pemancar yang “lebih” kuat daya jangkauannya, dan penyiar yang “lebih” trendy gaya bicaranya. Namun persaingan semacam ini sebenarnya hanya berpacu pada jalur yang sama. Ketika itu Trijaya bermain “cantik”. Radio yang punya saudara SCFM di Surabaya, dan konsepnya banyak ditiru di kota-kota lin, ini ternyata tidak bermain better, melainkan juga bermain different. Permainan seperti ini tingkatnya lebih “tinggi”, sebab memerlukan inovasi dan selalu mengandung resiko. Ada satu kalimat indah yang perlu direnungi: It’s better to be different than to be better” ! Lebih baik menjadi “berbeda” daripada “lebih baik” sendiri. Bagi saya, Trijaya
bahkan cuma berusaha menjadi different, melainkan juga berusaha menjadi specialist untuk suatu ceruk pasar tertentu. Memang waktu itu para profesional muda jumlahnya tidak banyak belum bisa terpuaskan oleh stasiun-stasiun radio yag sudah ada. Walaupun sedikit, mereka adalah a few good ones. Mereka memiliki potensi daya beli yang besar. Maka wajar jika banyak pengiklan yang mau membidik mereka lewat media yang tepat. Radio Trijaya melihat dan memanfaatkan kesempatan tersebut. Secara demografis, ceruk pasar yang dicontohkan di atas mulanya memang belum banyak terdapat di kota-kota lain, khususnya di luar Jakarta dan Surabaya. Apalagi di Jakarta, yang selalu macet, para profesional muda memang sering mendengarkan radio di mobil dalam perjalanan mereka. Maka secara geografis dapat dikatakan bahwa stasiun radio yang “murni” seperti ini cuma ada di Jakarta dan Surabaya. Di Jakarta, langkah memasuki ceruk berupa “profesional muda” ini bukan cuma diikuti radio-radio lain, bahkan beberapa stasiun lantas mulai pula mengincar ceruk yang lain. Contohnya, radio Female 100,2 FM, yang menargetkan para wanita aktif sebagai pendengar mereka-suatu target pasar yang sebenarnya dulu pernah gagal diambil majalah Dewi, yang sekarang telah “banting setir” menjadi majalah wanita kosmoplitan. Kelihatannya langkah Female jauh lebih berhasil daripada Dewi dulu. Bisa jadi, wanita yang aktif sudah tidak punya waktu lagi untuk membaca majalah, karena di rumah pun mereka tetap harus mengurus rumah tangga. Sedangkan Female bisa didengar pada waktu di kendaraan, ke kantor, ataupun ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. Bagi saya, target pasar yang ditetapkan Female ini sifatnya demografispsikografis. Soalnya, ada sifat “aktif” di situ. Dengan demikian, acara Female memang tidak dirancang untuk melayani semua wanita. Tentu saja kesuksesan Female segera diikuti beberapa stasiun lain. Nah, ditengah hiruk-pikuk persaingan radio di Jakarta seperti inilah Delta muncul. Kenapa Delta bisa cepat berhasil? Pertama, mereka tetap konsisten dengan differentiation, yang dalam konsep Marketing Plus 2000, say sebut sebagai “taktik pemasaran pertama”. Kedua, target pasar yang dituju adalah segmen psikografis “murni” yang bisa menjangkau berbagai segmen demografis. Ketiga, positioning mereka merupakan “arus
balik” terhadap trend yang terjadi pada masa kini. Bukankah Naisbitt mengatakan bahwa nilai-nilai seni serta agama akan bangkit kembali pada era globalisasi ini ?
KAFE
Kalau Anda menyusuri Broadway, dan berhenti di pertemuan dengan 45th Street, maka Anda akan menemukan sebuah kafe baru di situ: Official All Star Café. Di atas kafe, yang lokasinya tepat di depan Hotel Marriot Marquis, ada gambar besar daari enam superbintang olah raga di Amerika: Andre Agassi, Wayne Grezky, Ken Griffley Jr., Joe Montana, Shaquille O’ Neal, dan Monica Seles. Gambar keenam atlet itu dikelilingi lampu kelap-kelip seolah memanggil mereka yang lalu-lalang di distrik teater tersebut untuk mampir, dan makan di sana. Membuka kafe baru di New York City sungguh tidak mudah. Segala macam kreativitas sudah “tertumpah” di situ. Di situ sudah ada Hard Rock Café, Planet Hollywood, Harley Davidson Café, Mickey Mantle’s, Brooklyn Diner USA, Jekyll & Hyde Club, Le Bar Bat, Motown Café, dan Fashion Café, dengan keunikan masing-masing. Fashion Cafe, milik empat supermodel, yaitu Claudia Schiffer, Christy Turlington, Elle Macphherson, dan Naomi Campbell, yang tidak lama lagi akan buka cabang di Jakarta, berlokasi di Rockefeller Plaza, New York. Lantaran lokasinya dekat dengan 5th Avenue, yang merupakan tempat belanja paling bergengsi di Manhattan, dan juga tidak jauh dari studio NBC, maka pengunjungnya cukup eksklusif, yaitu para eksekutif yang bekerja disekitar tempat tersebut, para artis televisi, ataupun para pembelanja kelas atas yang ingin melepas lelah. Di Fashion Café banyak dipajang pakaian, sepatu, ataupun parfum, yang dipakai berbagai supermodel. Dan, sambil makan, Anda bisa menonton peragaan busana lewat beberapa layar besar, serta situasi pemotreta para supermodel, yang punya tubuh aduhai. Untuk memberikan suasana fashion, para pelayan yang mengenakan seragam hitam biasa melayani tamu dengan berjalan di catwalk. Di antara kafe-kafe itu, dengan segala macam kelebihannya menurut pengamatan saya, Official All Star Café lebih sukses. Official All Star Café , yang sahamnya dimiliki keenam superbintang olah raga tadi, sebenarnya merupakan kreasi terakhir dari Robert Earl, yang memang jago dala bisnis restoran. Kafe ini sangat luas. Di situ, Anda akan meyaksikan tidak kurang dari 100 video monitor, yang menayangkan berbagai peristiwa olahraga seperti bola basket, baseball, football, tinju dan tenis.
Selain itu, dibagian atas, dipasang pula score board, yang memberikan informasi mutkahir tentang hasil-hasil pertandingan olahraga tersebut. Konon ide membuat Official All Star Cafe berasal dari pengamatan jeli Earl akan kebiasaan orang Amerika, yang suka nonton pertandingan olahraga secara langsung, bukan cuma krena ingin menikmati pertandingannya, melainkan juga suasananya. Dan untuk mendapat tiket menonton pertandingan di Amerika juga tidak gampang. Buktinya, setiap kali ke Chicago, saya tidak pernah sekalipun kebagian tiket pertandingan Chicago Bulls, yang rata-rata terjual habis sebulan sebelumnya. Nah, kalau kehabisan tiket, mereka lebih suka nonton ditelevisi bersama orang lain di bar. Maka, Earl berpikir untuk membuat megasport café dengan target pengunjung seluruh anggota keluarga. Pkanet Hollywood ataupun Fashion Café, di mata saya, sebenarnya sekadr “menembak”
segmen pasar eksklusif. Pada Official All Star Cafe diupayakan
bagaimana mengembangkan bisnis sport bar, yang sudah terbukti laris. Sport bar cuma bisa dimasuki orang dewasa, sedangkan sport café dibuat untuk menampung seluruh keluarga sambil menyaksikan berbagai acara olah raga. Itulah implicid need yang belum terbaca orang lain. Selain itu, letak Official All Star Cafe juga lebih menguntungkan untuk menampung seluruh anggota keluarga. Broadway adalah lokasi yang banyak dikunjungi masyarakat segala umur. Pelajaran yang bisa dipetik dari sini adalah: jangan sekadar kreatif untuk membuat yang “baru”. Masalah yang lebig penting apakah kreativitas itu memang memenuhi standar konsumen, yang bahkan tidak pernah dikatakan mereka secara langsung.
KELUARGA SEJAHTERA
Selasa pagi pekan lalu, saya kebetulan duduk di samping Pak Haryono Suyono, Menteri Kependudukan dan Ketua BKKBN, dalam pesawat jurusan JakartaSemarang.
Tujuannya?
Untuk
meninjau
pelaksanaan
penyaluran
Tabungan
Kesejahteraan Rakyat (Takesra) dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra) di beberapa desa di dekat ibu kota Jawa Tengah. Daru dulu, saya terus ternag kagum pada menteri yan satu ini. Karena Par Haryono-lah yang selalu menggunakan konsep pemasaran di dalam menjual ide-idenya kepada masyarakat kecil. Maka, saya pu ingin mendapatkan penjelasan tentang pelaksanaan social marketing yang dilakukannya sejak beberapa tahun tahun lalu. “Pertama kali, saya membagi kondom, lantas jualan kondom. Akhirnya sekarang bagi kredit,” kata Pak Haryono, yang belakangan ini juga menjadi Wakil Ketua Yayasan Sejahtera Mandiri yang diketuai langsung oleh Presiden. Untuk menjamin bahwa uang yang berkumpul dari Kelompok Jimbaran bisa tersalur dengan baik, maka dana tersebut didepositokan di BNI 46. Penyalurannya melalui cabang-cabang BNI dan kantor pos. Para petugas BKKBN, yang dahulu bertugas menyadarkan orang desa bahwa keluarga kecil itu lebih bisa sejahtera, sekarang berubah menjadi change agent. Mereka bertugas menginisiatifi pembentukan kelompok-kelompok UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera). Kelompok itu terdiri dari 20 orang keluarga prasejahtera (PS) dan sejahtera I (KS-I). Mereka lantas digabung dengan kurang lebih 10 orang yang tingkat kesejahteraannya “lebih tinggi” yang diharapkan bisa membantu dan membina ke 20 orang tadi. Ke 20 orang tingkat PS dan KS-I itu diberi Takesra sebesar Rp.2000,-. Mereka dianjurkan menabung dengan uang sendiri juga. Siapa yang rajin menabung akan diseleksi untuk diberi Kukesra sebesar Rp. 18.000,-. Bunganya cuma 6 persen per tahun. Menurut Pak Haryono, uang itu sangat bermanfaat untuk wong cilik di desa. “Bayangkan saja, modal untuk membuat botokan paling banter cuma Rp. 30,-. Jadi berapa ratus botokan yang bisa dibuat. Begitu juga dengan telur asin, sebutir harganya
cuma Rp. 160,- . Ongkos produksi rata-rata Rp. 20 per butir. Lha, kan bisa buat 100 buitr telur asin,” katanya berapi-api. Saat ini, menurut Pak Haryono, dana Jimbaran disalurkan ke 1,5 juta penabung. Selain itu, sudah 2,5 sampai 3 juta orang yang menjadi nasabah Kukesra. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana susahnya mengubah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan mekadi “pengusaha” kecil. Tapi itulah suatu konsep yang brilyan. Sejak “cuma” jadi Kepala BKKBN dulu, doktor komunikasi itu memang selalu punya konsep yang brilyan. Ketika Pak Harto meminta dia mengampanyekan Keluarga Berencana (KB), Pak Haryono segera berkampanye dengan menggunakan metode-metode komunikasi pemasaran. Biro iklan profesional pun ikut dilibatkan. Masih ingat akan “Lingkara Biru”kan? Itulah logo KB yang populer. Lalu, ketika semua orang sadar akan perlunya KB, Pak Haryono mulai menjual konsep Keluarga Sejahtera dengan membuat beberapa tahapan. Dia tidak pernah menyebut ada kelompok orang miskin, tapi “prasejahtera”. Artinya bisa sama, tapi persepsinya sangat berbeda. Dengan disebut begitu orangorang tersebut menjadi lebih punya harapan untuk hidup sejahtera. Karena itu lantas ada logo “Lingkaran Emas”. Sekarang? Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan itu dilanjutkan lagi setelah punya dana dari Kelompok Jimbaran. Di dalam marketing, itulah yang disebut repositioning dari BKKBN. Dari “Keluarga Berencana” ke “Keluarga Sejahtera”, akhirnya ke “Ekonomi Sejahtera”. Tapi semuanya tetap bertumpu pada core brand yang konsisten, yaitu keluarga Sejahtera. Sebelum mendarat di Semarang, saya langsung mengatakan, “Bapak, saya kira, patut menjadi Menteri Negeri Urusan Pemasaran di kabinet mendatag. Karena, kita memang memerlukan pejabat untuk menganjurkan digunakannya konsep pemasaran.” Pak Haryono cuma terbahak-bahak mendengar usul saya itu.
GATRA
Ketika Majalah Tempo mendadak jadi almarhum, sebenarnya posisi “Enak Dibaca dan Perlu” di benak konsumen jadi kosong. Waktu itu, sebenarnya ada peluang bagi Majalah Forum Keadilan untuk mengisinya. Kenapa ? Majalah ini masih termasuk “saudara” Tempo di masa lalu. Selain itu, sejak dulu Forum memang sudah meninggalkan Majalah Sinar dalam hal tiras. Cuma memang repot. Forum sudah kadung punya identitas sebagai majalah “berani” , karena itu punya segmen pembaca tersendiri, yang tidak sama dengan majalah Tempo. Sementara itu, Tempo menjelang “kematiannya” sebenarnya sudah tidak terlalu berani. Identitas Tempo waktu itu kayaknya sudah sama dengan slogan positioning mereka: “Enak Dibaca dan Perlu”. Gaya tulisan informal, tapi memberikan informasi latar belakang yang cukuo. Setelah kemelut internal “selesai”, maka GATRA pun terbit. Menurut saya , sejak kelahirannya sampai menjelang berusia dua tahun, 19 November nanti, GATRA sudah mengalami tiga fase. Pada fase pertama, orang menyambut kelahirannya dengan perasaan mendua. Ada orang yang memang sudah sangat merindukan gaya “ Enak Dibaca dan Perlu” itu, sehingga menyambutnya dengan baik. Tapi ada orang lain lagi yang cuma bersinissinis. ‘Ah, ini kan majalah pemerintah. Lihat saja siapa yang ada dibelakangnya!’ Itulah komentar mereka yang sinis. Pada suatu kesempatan lokakarya pemasaran tentang building camp; leveraging brand equity, saya pernah meminta pendapat secara langsung kepada peserta. Tentang binatang apakah yang kira-kira cocok untuk menggambarkan GATRA dan Forum. Ada jawaban yang menarik: GATRA adalah “Singa Sirkus”, sedangkan Forum adalah “Ular berbisa”
.
Di sini terlihat bahwa orang tersebut sebenarnya tidak suka keduanya. Jawaban seperti itu terutama bisa terucap dari seorang eksekutif yang cukup mapan. Di satu sisi, dia punya persepsi bahwa GATRA itu terkendali. Tapi di sisi lain, dia sebenarnya juga
“takut” pada Forum. Pada waktu itu, GATRA juga masih hidup dibawah bayang-bayang Tempo.
Di satu pihak, hal tersebut menguntungkan karena iklan bisa langsung “menyumbang”. Di lain pihak, merugikan, karena GATRA lantas tidak bisa punya identitas sendiri. Fase kedua, terjadi ketika GATRA mulai membesar, karena ternyata Forum makin terlihat bukan direct competitor. Dan Majalah Tiras, yang merupakan kelanjutan Editor, ternyata belum bisa berbuat banyak. Tapi ada hal lain yang cukup menarik terjadi waktu itu. Goenawan Mohamad, yang dianggap sebagai simbol Tempo “asli”, memenangkan perkaranya PTUN. Waktu itu, orang berpikir kalau Tempo benar-benar hidup kembali, apa jadinya dengan GATRA ? Bukankah brand Majalah Tempo masih sangat kuat melekat di benak orang ? Tapi justru ketika itulah, GATRA diuji ktegarannya untuk membentuk identitas sebagai majalah yang tidak menyebar intrik tapi tidak perlu menjilat. Maka positioning slogan “Layak Disimak dan Jitu” kelihatan mulai “masuk”
ke benak target market
GATRA. Sementara itu, Tempo, yang akhirnya “gagal” di Mahkamah Agung, mulai memantapkan eksistensinya di internet. “Enak diklik dan perlu,” katanya. Akhirnya pada fase ketiga dimulai ketika GATRA betul-betul mulai menunjukkan dominasinya secara meyakinkan. Kelihatannya orang mulai capek menunggu lahirnya kembali Tempo. Sementara itu, walaupun banyak orang yang mengunjungi Tempo di internet, jelas jenis orangnya lain. Secara demografis bisa saja overlap dengan pembaca GATRA, tapi secara psikografis jelas beda. Orang sibuk tidak akan punya banyak waktu untuk melihat internet. Sebagian besar
pengguna tetap internet di Indonesia masih orang yang
memang hobinya ke situ. Barangkali lebih banyak overlap dengan pembaca Forum, yang secara psikografis bisa jadi termasuk orang-orang yang memang punya waktu untuk mencaricari sumber berita alternatif. Dengan demikian, seolah-olah GATRA tidak punya pesaing secara langsung. Tentu saja perkembangan GATRA masih akan mengalami fase-fase berikutnya, yang menarik untuk tetap disimak. Tapi yang jelas terlihat bahwa brand equity GATRA mulai bisa berdiri “di atas kaki sendiri” dan mulai terlepas dari Tempo. Sedangkan brand identity mereka mulai
terbentuk sesuai dengan positioning slogan: “Layak Disimak dan Jitu”. Sekaligus secara jelas terpisah dari “Enak Dibaca dan Perlu”.
III - TACTIC
IKLAN
Anda sudah lihat iklan Warisan? Iklan itu berkisah tentang Denny Lukman, kepala keluarga masih relatif muda, yang meninggal dunia secara mendadak. Istri dan dua anaknya yang ditinggal menjadi “turun” tingkat hidup mereka, karena rumah dan mobil yang dicicil sang ayah terpaksa dikembalikan. Teman saya, Alka Tranggana, Ketua Asosiasi Manajer Indonesia cabang Ujung Pandang, tersentak oleh iklan ini, dan langsung menghubungi Kepala Lippo Life setempat untuk minta penjelasan lebih lanjut. Setelah tahu persis, Warisan adalah asuransi satu kali bayar, Alka langsung memutuskan untuk membeli polis tersebut. Padahal, sebelumnya, Alka tidak pernah mau membeli asuransi. “Ini lain,” katanya kepada saya bersemangat. “Mulai sekarang saya tidak perlu kawatir lagi. Sudah ada warisan untuk keluarga.” Begitu hebat pengaruh iklan Lippo Life pada sahabat saya ini, Alka, yang dulu tidak pernah percaya pada asuransi, langsung mau jadi agen elite Warisan. Iklan Xon-Ce, yang menggunakan media televisi, juga banyak diingat orang sebagai iklan sukses. Kalimat “Xon-Ce-nya mannnaa?” yang diucapkan dengan suara khas, di pintu gerbang tol, jadi pemicu peluncuran produk vitamin yang dipermenkan itu. Sedangkan iklan rokok Bentoel, yang bertema I love the blue of Indonesia, sepertinya lebih menarik untuk dinyanyikan ketimbang mendorong semangat pemirsa untuk membeli produk tersebut. Tiap tahun, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) memberi penghargaan pada iklan-iklan kreatif. Tujuannya tentunya untuk meningkatkan kreativitas di antara para biro iklan. Dari tahun ke tahun, acara malam penghargaan itu
makin meriah. Di lain pihak, dari beberapa kalangan masyarakat, ada yang keberatan kalau iklan makin meningkat. Ada yang bilang bahwa iklan meningkatkan gaya hidup konsumtif. Ada yang mengatakan bahwa iklan punya pengaruh jelek, terutama pada anak-anak. Bahkan ada yang bilang bahwa ikaln sering menawarkan gaya hidup kebarat-baratan. Dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam konteks pemasaran, iklan sebenarnya hanya merupakan salah satu alat komunikasi yang harus dilakukan untuk memberi informasi pada target-market. Selain iklan, masih ada cara lain yang bisa digunakan, seperti pembagian sample, pemberian diskon, atau undian berhadiah. Seorang tenaga penjualan punya kesempatan lebih luas dalam berkomunikasi, dan bisa melihat reaksi target audience terhadap suatu penawaran. Ia memberikan respon secara langsung kalau ada keberatan yang muncul. Jadi, seorang tenaga penjualan lebih bisa “merayu” dibandingkan dengan iklan. Tentang dampak negatif yang bisa timbul dari suatu iklan, juga bisa terjadi pada alat-alat komunikasi lain.Anehnya, protes terhadap cara-cara komunikasi noniklan tidak terlalu keras. Mungkin karena iklan pada umumnya menggunakan media massa yang langsung bisa menjangkau banyak orang. Ketika TVRI menghentikan iklan selama sembilan tahun, pada hemat saya, justru timbul suatu “kemunduran” pada tingkat “kekebalan” konsumen. Lihat saja pada saat RCTI merupakan sat-satunya stasiun televisi yang boleh beriklan. Hampir semua iklan menjadi sangat efektif. Mengapa? Pemirsa, terutama anak-anak, yang sudah lama atau bahkan tidak pernah “dirayu”, menjadi gampang “jatuh cinta” pada produk yang ditawarkan. Ada sebuah penelitian yang justru mendapatkan hasil bkalau anak-anak sudah biasa menonton iklan di televisi sejak kecil, maka dia akan menganggap ikaln lebih sebagai hiburan. Lagunya boleh hafal, produknya belum tentu dibeli. Sekarang, pada saat sudah ada lima stasiun televisi swasta nasional yang boleh berikaln ditambah puluhan stasiun televisi luar negeri, iklan di televisi bahkan sudah bukan “hiburan” lagi. Bahkan sering dianggap sebagai “gangguan”. Remote control sudah menjadi musuh utama bagi pengiklan. Soalnya, begitu ada iklan, saluran dipindah ke stasiun lain. Makin banyaknya koran, majalah, dan radio, juga membuat media konvensional tersebut menjadi makin tidak efektif. Lantas orang mulai cari cara lain untuk berkomunikasi. Billboard di jalan, papan reklame di taksi, kursi di stasiun, interioor gerbang kereta api, bahkan faksimili bisa dimanfaatkan untuk menjadi media.
Kita tidak perlu pesimistis, cemas, atau sinis, terhadap iklan. Perusahaanperusahaan kita tidak bisa memberi kontribusi maksimal berupa penyediaan lapangan kerja dan pembayaran pajak kalau konsumen tidak mau membeli produk mereka. Persaingan diantara para produsen yang dipacu iklan sering juga menurunkan harga secara minimal, yang bisa dinikmati konnsumen. Selain itu, besarnya pasar akan menciptakan scale of economies yang diperlukan untuk penetrasi ke pasar luar negeri. Dan, yang masih harus diingat, iklan tidak boleh bohong. Satu kali dia bohong dan konsumen merasa tertipu, maka nama produk ataupun perusahaan akan rusak. Salah satu cara gampang untuk bangkrut adalah membuat iklan yang memanipulasi konsumen. Akhirnya, hanya iklan yang baikbaik saja yang akan diterima konsumen.
TIGA
I GUSTI Made Mantera selalu suka angka tiga walau para bos Bank Bali, tempat dia sekarang bekerja, suka pada angka delapan. Segala sesuatu yang tiga itu, menurut Deputy Presiden Direktur Bank Bali tersebut, mudah diingat. “Dua terlalu sedikit, empat terlalu banyak,” katanya. Tidak mengherankan bila dalam setiap memberikan sambutan, Mantera selalu mengemukakan tiga hal pokok. Perkara masing-masing hal pokok itu lantas diuraikan lagi jadi tiga, terserah. Uraian smacam ini bisa dilakukan beberapa kali sehingga menyerupai diagram pohon yang selalu bercabang tiga. Kalau diperhatikan, disadari atau tidak,
dalam segala aspek kehidupan kita
memang suka menggunakan angka tiga. Lihat saja: orang suka bicara tentang masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang. Ukuran juga sering dibagi jadi tiga: kecil, sedang, dan besar. Lantas orang suka bicara tentang pembangunan manusia seutuhnya mesti melibatkan badan, pikiran, dan jiwa. Demokrasi, katanya, hanya bisa terjadi kalau ada tiga badan undependen, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pendidikan juga bisa punya sasaran pokok pada tiga areal, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pembagian tempat duduk di pesawat terbang juga ada tiga, yaitu kelas ekonomi, kelas bisnis, dan kelas satu. Di setiap pertandingan juga hanya ada tiga medali, yaitu medali emas, medali perak, dan medali perunggu. Ingat Alfin Toffler? Dia juga membagi “era beradab” jadi tiga : era pertanian, industri, dan informasi. Lantas Tom Peters menyatakan, kelak cuma ada tiga bisnis yang mempunyai masa depan cerah: service, entertainment, dan information. Dalam Mine of Strategist,
Kehnichi
Ohmae
juga
menyebut
bahwa
strategi
perusahaan
bisa
berdasarkan pada tiga hal: customer, company, competitor. Artinya, anda bisa menetapkan strategi berdasarkan kebutuhan pelanggan, berdasarkan kekuatan perusahaan, atau berdasarkan pesaing sebagai referensi. Joe Arthur Berker dalam Paradigm juga menyatakan, cuma ada tiga hal yang perlu diperhatikan perusahaan supaya tetap bisa kompetitif, yaitu anticipation, innovation, dan excelllence. Artinya, Anda harus selalu tampil hebat terhadap
konsumen, dengan selalu melakukan antisipasi terhadap apa yang akan terjadi, lantas selalu berusaha malakukan inovasi yang kreatif. Mau contoh khas Indonesia? Manusia “tiga zaman”
adalah orang yang
mengalami penjajahan Belanda, Jepang, dan zaman kemerdekaan. Polotik kita jadi stabil setelah orsospol diringkas jadi tiga: Golkar, PPP, dan PDI. Minggu ini di Universitas Parahyangan, Bandung, juga ada seorang dosen yang berpidato untuk pengukuhan statusnya sebagai guru besar dengan menggunakan “ilmu tiga” ini: Ridwan S. Sundjaja. Direktur Institut Manajemen Entrepreneurial Indonesia ini dalam orasi ilmiahnya menampilkan model “Tiga Pan Plus-Plus”. Model
ini dibuat
supaya perusahaan di Indonesia bisa melakukan praktek manajemen yang berkualitas melalui proses alami. “Tiga Pan” yang merupakan unsur pertama, kata Prof. Ridwan, terdiri dari “penyegaran, pencerahan, dan pembaharuan”. Dalam bahasa lebih mentereng sering disebut bahwa dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis, sebuah perusahaan yang ingin bertahan dan menang harus malakukan refreshing, enlighting, dan renewal. Lantas “plus” pertama yang merupakan unsur kedua dalam model tersebut terdiri lagi dari
“Tiga Pe”: perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan. Ini memang
merupakan fungsi-fungsi pokok dalam manajemen umum yang sering disebut sebagai planning, executing, dan controling. Akhirnya “plus” kedua yang merupakan unsur ketiga dalam model Prof. Ridwan adalah “Tiga Pem”: pemilik, pemimpin, dan pembeli. Ketiganya memegang peran penting dalam mengembangkan perusahaan. Secara lengkap, model “Tiga Pan Plus-Plus” ini ingin mengatakan bahwa penyegaran, pencerahan,
dan
pembaharuan
harus
selalu
dilakukan
lewat
perencanaan,
pelaksanaan, dan pengontrolan secara matang. Itu semua melibatkan kesadaran si pemilik perusahaan, semua pemimpin yang ada diperusahaan ataupun pemenuhan pembeli kebutuhan yang selalu berubah. Kalau model ini dilaksanakan, perusahaan akan bisa tetap hidup dan menang dalam menghadapi perubahan apapun, terutama dalam menghadapi arus globalisasi yang makin deras. Saya tertarik pada model ini karena tiga hal juga. Pertama, model ini dibuat oleh seorang guru besar Indonesia dan dipersembahkan kepada bangsa pada saat peringatan Indonesia Emas. Kedua, model ini bisa dipakai sebagai referensi untuk perusahaan Indonesia yang sedang dan akan bersaing di panggung dunia yang penuh dinamika. Ketiga, karena model ini berstruktur 3x3. Jadi mudah diingat.
3S
Pada suatu jamuan makan malam di Hotel Hilton, Jakarta, belum lama berselang, saya bertemu Ram K. Sharma, orang yang ditempatkan General Electric (GE) di Indonesia sejak 1979. Tahun lalu, posisinya sebagai kepala perwakilan GE digantikan oleh Stuart L. Dean, lulusan Harvard Business School, dan Ram diangkat sebagai penasihat senior. Ram mengatakan telah bekerja selama 33 tahun di GE, dan akan pensiun pada akhir 1996. Sebalum di GE, ia gonta-ganti perusahaan beberapa kali, karena belum menemukan tempat yang mantap. Baru di GE, ia merasa sreg. Ram sangat kagum kepada bosnya di GE, Jack Welch, yang sering dianggapnya sebagai salah satu guru manajemen. Selama memimpin GE, Welch memang banyak melakukan perubahan, dan juga memperkenalkan beberapa prinsip kepemimpinan yang piawai. Tahun lalu, misalnya, Welch menganjurkan supaya semua insan GE ingat pada prinsip 3 S: Speed, Simplicity, dan Self Confidence. Dari ketiga S ini, Ram menganggap speed (kecepatan) merupakan prinsip paling penting dan relevan dengan konteks globalisasi. “Segala sesuatu mesti dilakukan serba cepat, kalau tak mau ketinggalan,” katanya. Ram mengisahkan bagaimana padatnya jadwal kunjungan para pemimpin GE setiap kali ke Indonesia. Tapi, pada waktu meninggalkan Indonesia, semua laporan tentang hasil kunjungan tersebut sudah langsung bisa dibawa pulang. Apa yang dikatakan Ram adalah indikator bahwa GE merupakan salah satu contoh perusahaan raksasa yang melakukan process reengineering secara drastis, namun sukses. Prinsip lain yang dipopulerkan Welch adalah boundarylessness- sesuatu yang tak mengenal batas. Pada suatu perubahan,yang batas antardivisi, departemen, seksi, ataupun fungsi terasa demikian ketat, maka suatu proses antarfungsi biasanya tidak bisa berjalan lancar. Seolah-olah ada “kerajaan dalam kerajaan”. Masing-masing bagian punya aturan main sendiri. Dalam situasi seperti ini tidak ada yang peduli lagi dengan customer satisfaction. Biar lambat asal prosedur dijalankan. Dalam menyelesaikan prosedur tersebut, tidak ada orang yang mau “dilangkahi”. Tidak peduli apa akibatnya
bagi pelanggan. Dalam perusahaan yang sangat functional oriented seperti itu, justru prinsip functional boundary berlaku sangat ketat. Tom Hout dan George Stalk dalam Time-based Competition justru berpendapat, berpacu dengan waktu adalah segalanya. Mungkin saja strategi Anda benar, tapi kalau implementasinya terlambat, semuanya akan jadi kacau. Karena itu paling tidak ada tiga hal yang harus dijalankan. Pertama, jangan berpikir serial, tapi pararel. Apa yang bisa dilakukan secara bersamaan jangan dilakukan bergiliran. Selagi kabin pesawat dibersihkan, mengapa tidak mulai memanggil penumpang untuk penerbangan berikutnya. Kalau penumpang baru dipanggil setelah kabin bersih berarti ada waktu yang terbuang. Keedua, kalau informasi sudah bisa diakses oleh beberapa bagian sekaligus, maka biasanya peran bagian yang ada di tengah akan hilang. Pemasangan teknologi informasi yang dapat membuat informasi menjadi on time bukan hanya menghilangkan beberapalapisa hirarki vertikal, melainkan juga beberapa “meja” pada poros horisontal. Seorang direktur pemasaran, misalnya, tak lagi memerlukan manajer pemasaran regional, karena bisa memonitor langsung hasil penjualan di tiap kantor cabang. Selain itu, pemesanan barang oleh pelanggan bisa disiapkan langsung oleh seorang salesman ke bagian gudang, dan pada saat yang sama bagian keuangan sudah melakukan penataan piutang secara otomatis. Ketiga, fungsi yang tidak perlu dilakukan sendiri akan lebih efisien jika dilimpahkan. Dengan demikian organisasi akan bersifat streamline. Fungsi penunjang, seperti pembersihan, transportasi, bahkan administrasi rutin, sering kali lebih memuaskan pelayanannya kalau diserahkan pada pihak luar ketimbang dilakukan orang dalam sendiri. Dengan melakukan ketiga hal tersebut, organisasi pun akan jadi sederhana. Organisasi semacam ini akan lebih percaya diri dalam beroperasi.
lebih
CERUK
Jakarta sedang diserang Gatorade. Secara mendadak minuman buatan Amerika itu melakukan serangan dahsyat di tengah persaingan minuman ringan yang ada di Indonesia. Gatorade menyerang dengan “membawa” bintang bola basket Michael Jordan. Tapi di Indonesia, mereka masuk bukan lewat bola basket, melainkan lewat bulu tangkis. Gatorade, yang di Amerika diposisikan sebagai “minuman olah raga”, di Indonesia direposisikan sebagai “penghilang dahaga”. Soalnya, pangsa pasar minuman olah raga di sini masih kecil. Tapi jalur yang dilalui tetap olah raga. Para eksekutif pemasaran Gatorade bahkan sampai datang ke Cilangkap, tempat tim nasional bulu tangkis kita digembleng, untuk meyakinkan Rudy Hartono dan Indra Gunawan yang sedang melatih di sana. Mereka mempersilakan para pelatih dan pemain untuk mencoba minuman Gatorade setelah latihan. Lewat cara itu mereka ingin membuktikan bahwa Gatorade punya nilai “lebih” ketimbang air biasa. Minuman ini bukan cuma bisa menghilangkan dahaga seketika, melainkan juga bisa diserap tubuh secara lebih cepat. Usaha mereka ternyata tidak sia-sia. Pada Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis di Senayan, beberapa bulan lalu, Gatorade dipakai sebagai minuman resmi. Dampaknya luar biasa. Begitu melihat para idola mereka minum Gatorade di lapangan, seluruh penonton di Senayan langsung menyerbu minuman tersebut. Cara yang sama juga dilakukan
di
Amerika.
Jordan,yang
dipakai
sebagai
model
poster
Gatorade,
memperagakan cara minum langsung dari botolnya. Mendadak semua orang, terutama para penggemar Jordan, menuruti cara minum tersebut. Di Jakarta, para siswa SMA yang mulai gandrung main bola basket langsung minum Gatorade dari botolnya. Secara konseptual, yang menarik dari peluncuran Gatorade ini adalah cara segmentasi perilakunya. Dalam situasi persaingan yang makin ketat, segmentasi demografi dan geografi, yang biasanya membagi pasar menjadi menengah ke atas, menengah ke bawah, tua, dewasa, remaja, anak-anak, tinggal di desa, tinggal di kota, atau tinggal di pinggir kota, makin tidak relevan lagi. Bahkan variabel psikografis, yang
bertumpu pada gaya hidup, sulit dipertahankan. Perilaku konsumen mulai berubah begitu datang berbagai tawaran dari seluruh dunia. Konsumen dengan kondisi geografi, demografi, bahkan psikografis yang sama jadi punya perilaku yang berbeda. Dengan menyatakan dirinya sebagai thirst quencher, Gatorade ingin langsung “menembak” sasaran, yaitu orang yang kehausan. Maka Gatorade lantas diusahakan supaya tersedia
di semua point of sweat dan point of thirst. Dimana ada orang
berkeringat dan kehausan, di situ mesti tersedia Gatorade. Tidak peduli konsumen itu tinggal di mana, umur berapa, pekerjaan apa, bahkan minatnya pada olah raga apa, yang penting pada saat itu sedang berkeringat atau kehausan. Mempromosikan Gatorade sebagai penghilang dahaga seketika, yang didukung teknologi ilmiah yang bisa dibuktikan di lapangan, makin memperkuat perhatian sebagai suatu minuman “baru”. Harganya sengaja dipasang lebih mahal dari Coca-Cola, yang sama-sama datang dari Amerika. Hebatnya, pasar sasaran dan posisi clear itu bisa memberi imbas pada pasar sasaran lain, yang sebenarnya bukan tujuan utama. Siapa itu? Anak-anak. Begitu fanatiknya anak-anak ini pada idolanya, sehingga mereka ikut minum Gatorade walaupun sedang tidak berkeringat atau kehausan. Gaya minumnya juga mirip Michael Jordan: langsung dari botolnya. Nah, itulah yang terjadi pada Gatorade. Selain berhasil meraih segmen pasar sasaran, Gatorade juga mendapat “pasar tambahan”, yaitu orang-orang yang punya inspirasi untuk jadi idola mereka. Inilah yang disebut niche marketing. Artinya, Anda mencari ceruk pasar yang belum terlayani secara baik oleh existing player. Lantas? Mesti ada keyakinan bahwa anda menang. Punya spesialisasi untuk melayani ceruk tersebut dengan “jauh” lebih baik dari orang lain Penghuni ceruk relatif tidak terlalu banyak. Dalam kerangka kerja Marketing Plus 2000; saya menyebutnya sebagai a few good ones. Tapi begitu mereka percaya akan spesialisasi Anda, mereka akan loyal, dan tidak terlalu price sensitive lagi. Dan dengan melayani mereka sebaik-baiknya, pasti akan ada “imbas” dari ceruk lain.
SARI KURING
Anda pernah makan sayur asam, salah satu menu favorit Restoran Sari Kuring, yang dulu ngetop di Monas? Sekarang sayur asam tersebut sudah dijual di enam Restoran Sari Kuring, yang berlokasi di Jakarta dan Cimacan, Puncak. Tapi mungkin anda belum tahu bahwa di Sari Kuring mana saja Anda makan, pH (kadar keasaman) sayur asamnya tetap sama: 4,7. Jadi tidak terlalu asam. Angka 4,7 diperolah dari survei pelanggan yang dilakukan tim Litbang Sari Kuring. Maka, semua sayur asam yang dijual di Sari Kuring mana saja dibuat di satu tempat: Tangerang. Di pabrik makanan itu ada 51 item makanan, termasuk sayur asam tadi, yang harus lolos quality control lebih dulu. Kalau tidak, jangan harap bisa dikirim ke outlet. Untuk urusan kualitas, sari Kuring, restoran Sunda yang telah mereposisi diri menjadi restoran Indonesia, tidak mau kompromi. Sejak beberapa tahun lalu, demi menjaga standarisasi, restoran ini punya jabatan factory manager. Jabatan eksekutif ini dipegang seorang sarjana teknologi pangan dan teknologi industri. Maka, jangan takut lalapan yang dihidangkan di Sari Kuring ada ulatnya. Semuanya sudah dicuci memakai desinfektan, termasuk larutan permanganat. Bos Sari Kuring, Surya Dharma, yang kelahiran Aceh, menjelaskan kepada saya bahwa restorannya sedang berusaha mendapatkan sertifikat ISO. Bagaimana dengan sentralisasi produksi? Ternyata Surya Dharma sudah menjalankan strategi kombinasi sentralisasi-desentralisasi. Ayam goreng, ikan bakar, dan sambal petai, misalnya, dibuat di tiap-tiap outlet. Sebab makanan-makanan seperti itu harus langsung disajikan dalam keadaan “hangat”. Tapi standard operating procedure tetap ada. Tentang bagaimana cara menggoreng ayam, membakar petai, bahkan mengulek sambal, semuanya harus standar. Bahkan sampai tingkat kekeringan, tingkatkeempukan, dan tingkat kepedasannya. Sedangkan makanan seperti gulai kepala ikan persis seperti sayur asam, bisa sentralisasi. Makanan itu memang harus diinapkan dulu supaya nikmat. Dengan melakukan manajemen kombinasi seperti ini, Surya Dharma punya ambisi untuk mengglobal pada suatu saat nanti. “Masak, McDonald’s saja yang bisa,” katanya bersemangat.
Saat ini Sari Kuring sudah berkembang dengan mempunyai Sari Laut, sari Nusantara, dan Komfort. Tentu saja tiap-tiap brand punya sasaran pembeli dan posisi yang berbeda. Tapi prinsipnya tetap sama: kualitas, standardisasi, kebersihan. Jangan heran kalau anda masuk ke salah satu outlet Sari Kuring, Anda akan dilayani para pelayan, yang memakai selempang merah dengan tulisan: Bersih, Senyum, dan Sedap. Selain itu, untuk mempermudah, nama menu yang lagi kosong selalu dicantumkan di dinding supaya tamu mengetahui kalau makanan yang ingin dipesannya tidak ada. Selain itu, semua meja yang direservasi sudah ditulis nomor dan nama tamunya di pintu masuk. Dengan demikian, orang yang diundang dari suatu rombongan bisa langsung duduk di tempat, tanpa tanya-tanya lagi. Pendek kata, inilah contoh sebuah restoran keluarga asli Indonesia, yang mencoba menerapkan konsep pemasaran secara konsisten dalam mnghadapi era globalisasi. Ia sekaligus merupakan contoh nyata bahwa ekspansi bisnis harus dibarengi dengan standardisasi. Kalau tidak brand image bisa berantakan. Maka untuk sementara Sari Kuring belum berniat malakukan franchising. Terlalu tergesa melakukan hal tersebut bisa merusak standardisasi. Itulah sebabnya McDonald’s tidak sembarang memilih franchisee. Mereka menyeleksi dengan hati-hati dan menghitung dengan cermat apakah pembukaan sebuah outlet akan mudah membawa kegagalan. Upaya Sari Kuring mereposisi restoran Sunda menjadi restoran Indonesia juga suatu hal yang smart. Dengan demikian, Sari Kuring tidak perlu mati-matian berkompetisi dengan restoran Sunda lainnya. Walaupun sebenarnya makanan yang tersedia masih boleh disebut sebagai Sunda plus - karena menu utamanya masih ikan goreng, ikan bakar, dan lalapan – penambahan menu-menu dari daerah Indonesia lainnya membuat Sari Kuring berhak mengklaim sebagai restoran Indonesia. Cuma pengembangan ini mesti ada batasnya. Jangan sampai Sari Kuring berjualan bistik, misalnya. Kalau itu yang terjadi,repositioning pasti kacau balau. Pelajarannya? Pertama, waspadalah sebelum musuh dari luar datang. Kedua, pertahanan yang baik adalah menyerang. Ketiga, fleksibel mengikuti perkembangan.
NOMOR 108
Anda pasti tahu nomor 108. Nomor ini berarti “penerangan”. Kalau mau tanya nomor telepon sebuah instansi atau sebuah alamat, di nomor itulah tempatnya. Tapi terus terang saja, kita sering kecewa dengan pelayanan Nomor 108. Soalnya, sering tidak diangkat, atau lama sekali baru dilayani. Walau belakangan ini PT Telkom berusaha mati-matian meningkatkan pelayanan, mutu pelayanan Nomor 108 masih saja bervariasi dari satu kota ke kota lain. Di Semarang, misalnya, saya punya pengalaman mengesankan dengan Nomor 108. Ketika “kesepian” di malam hari, saya coba-coba tekan Nomor 108, dan tanya diskotek mana yang bagus di kota tersebut. Saya diberi informasi bahwa di ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu baru dibuka MM Disko. Bukan cuma nomor telepon yang diberitahukan, melainkan juga alamat sampai perkiraan jam operasional mereka. Paginya, ketika salah seorang teman ingin tahu dokter kulit terkenal di Semarang, Nomor 108 saya “tes” lagi. Langsung saja operator Nomor 108 mengatakan bahwa dokter tersebut bernama Afandi. Alamatnya, Jalan Kiai Saleh, Nomor 9, dan nomor teleponnya 444333. Memang dokter inilah yang sering disebut para wanita eksekutif di Jakarta, yang punya “masalah kulit”. Esoknya, soal Nomor 108 itu saya tanyakan kepada S.W.S. Hardjito, Presiden Direktur MGTI, perusahaan patungan Indosat, NTT, dan Telstra, yang dapat “borongan” untuk mengelola operasi ataupun penambahan saluran telekomunikasi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hardjito cuma ketawa enteng. “Itu memang produk unggulan kami,” katanya. Sadar bahwa meningkatnya pelayanan seluruh jasa telekomunikasi dalam waktu singkat merupakan hal yang sangat berat, maka Hardjito mulai dengan Nomor 108 dulu. Untuk itu dia tidak main-main. Dia bukan cuma memasang perangkat canggih yang bisa mendeteksi traffic ke situ, melainkan juga melakukan pelatihan sungguh-sungguh pada operator (diusahakan selalu wanita), yang akan bertugas selama 24 jam. “Suara wanita kan lebih enak didengar,” kata Hardjito. Selain itu, para operator tersebut juga didukung dengan seperangkat informasi lengkap tentang kota Semarang. Dengan demikian, di Semarang, Nomor 108 menjadi
suatu “pelayanan plus”. Bukan cuma melayani oertanyaan tentang nomor telepon, melainkan juga sebisanya menjawab segala macam pertanyaan. Dengan mendorong pelayanan Nomor 108 lebih dulu, Hardjito mengharapkan citra Telkom di Semarang bisa meningkat. Di Semarang sebenarnya juga ada contoh lain. Kalau saya bepergian dari Jakarta ke Semarang atau sebaaliknya, perusahaan penerbangan pertama yang saya pilih pasti Mandala. Kenapa? Dibandingkan dengan perusahaan penerbangan lain, Mandala menggunakan pesawat paling gede untuk rute tersebut. Selain itu, secara relatif, frekuensi keterlambatan yang terjadi juga paling sedikit. Rute Jakarta-Semarang dengan Mandala ini makin menjadi favorit di kalangan para eksekutif, terutama setelah punya kelas bisnis. Setelah puas dengan pelayanan rute ini, para eksekutif tadi lantas tertarik juga menggunakan rute lain Mandala, seperti rute Jakarta-Medan. Dengan demikian, citra Mandala jadi terangkat berkat rute JakartaSemarang tadi. Pelajarannya? Kalau Anda belum bisa unggul dalam semua produk, bangunlah brand equity lewat salah satu produk yang bisa unggul lebih dulu. Tapi setelah itu jangan berpuas diri. Lanjutkan usaha itu pada produk-produk lain. Sebab keunggulan pada satu produk bisa saja tidak bertahan lama, terutama kalau ada pesaing yang mulai “masuk” ke area tersebut. Sony membangun brand image mereka lewat berbagai produk unggulan dari waktu ke waktu. Di Indonesia, mereka sebenarnya mulai dikenal lewat video recorder Beta. Setelah itu pesawat televisi dan radio kaset Sony ikut terangkat brand image yang mulai terbentuk oleh video recorder tadi. Sebelum sistem Beta mulai digusur sistem VHS, Sony sudah menjadi pelopor di bidang walkman, yang lantas dilanjutkan dengan discman. Sekarang, pada saat televisi dan radio kaset mereka sudah diserang banyak merek lain, brand image Sony sudah “keburu” kuat, antara lain karena terus menerus melakukan inovasi produk.
RAMSEY
3 A, Appearance, attitude,ability. Itulah jawaban spontan eli Iswanto, ketika saya tanya tentang sales representative profile yang dicari. Mirip semboyan Coca-Cola, yang juga 3A, tapi disini artinya jauh berbeda. Appearance, artinya penampilan orang yang dicari mesti rapi sehingga enak dipandang. Attitude, artinya orang bersangkutan harus punya sikap yang baik. Dengan demikian, dia bisa melayani semua keluhan pelanggan dengan baik. Sedangkan ability, artinya dia harus punya kemampuan intelektual yang baik. Anda mau tahu sales rep. Apa yang dimaksud? Dialah yang menjual BH Triumph. Maklum, Eli memang eksekutif yang punya kewajiban untuk memilih sales rep. Seperti itu. Lantas saya caba tanya peserta Program Pendidikan Eksekutif yang lain. Kali ini saya pilih Saridewi, Manajer Penjualan PT Arta Buana Sakti, yang menjual proyek properti Bumi Indah. Sales rep. Profile, menurut Sari, harus seorang pemikir cepat, pintar berkomunikasi, dan intelek. Kalau tidak punya tiga hal tersebut, jangan harap bisa menjual rumah. Apalagi, sekarang jual-beli properti sedang sepi. Setiap kali saya tanya pada peserta berbeda, jawaban mereka selalu berbeda pula, Tidak ada yang persis sama, walaupun “komunikasi” dan “intelek” sering keluar berkali-kali. Itu menunjukkan bahwa setiap orang langsung memikirkan bisnis mereka masing-masing. Setiap orang lantas punya profil yang tidak sama. Tapi mereka punya kesamaan, yaitu hampir setiap orang yang menyatakan tiga hal tersebut sebagian besar merupakan cerminan diri mereka sendiri. Saya melihat bahwa Eli memang hebat dalam 3A. Wanita ini, menurut saya, selain good looking, juga supel dalam berkomunikasi, dan punya intlektual yang tinggi. Sedangkan Saridewi, lulusan sekolah Amerika, selain masih muda, juga terlihat dengan jelas bahwa dia adalah pemikir cepat, komunikator, dan intelek. Kesimpulannya? Dalam merekrur orang lain, seseorang selalu ingin mendapatkan orang yang menyerupai dirinya. Apa yang ada dalam dirinya selalu merupakan profil sukses. Kecuali kalau dia sendiri merasa tidak sukses. Orang kayak begini biasanya tidak punya
kedudukan tinggi di suatu perusahaan. Karena itu, dia tidak punya wewenang untuk merekrut orang lain. Dalam program Increasing Sales Force Productivity, saya menunjukkan sebuah gambar yang saya dapatkan dari Kellog Business School. Gambar itu tentang dua orang serupa sedang berjabat tangan. Gambar itu sebenarnya merupakan kartun, yang dibawahnya ada tulisan, “Ramsey, Anda saya terima. Saya yakin, Anda akan jadi penjaja yang hebat !” Itulah yang disebut Ramsey Priciple. Maksudnya seseorang akan merekrut orang lain yang sangat menyerupai dia. Setelah menekuni gambar itu di Kellog, saya baru tahu, mengapa selama ini saya selalu sulit puas dengan orang lain yang saya rekrut. Soalnya, saya ingin supaya dia bisa persis seperti saya. Artinya, dia mau eat, sleep, and dream with marketing. Kalau nggak, biasanya kecewa. Hal tersebut juga mengingatkan Anda bahwa jangan menyerahkan masalah rekrutmen pada sembarang orang. Walaupun Anda sudah memberi kriteria perekrutan secara jelas, bahwa yang bersangkutan harus antusias, pintar, dan empati, misalnya, perekrut akan memberi arti pada ketiga kata tersebut menurut persepsinya sendiri. Saya yakin, apa yang Anda maksud akan berbeda dengan apa yang dimaksud perekrut. Padahal, rekrutmen adalah salah satu masalah penting dalam pembentukan sales force yang dinamis. Jangan sekali-kali merekrut gelatik, karena gelatik tidak pernah akan jadi elang. Paling-paling, dengan bertambahnya waktu, gelatik akan jadi gelatik tua. Kalau Anda ingin elang, pilihlah Ramsey Elang, bukan Ramsey Gelatik. Lalu, biarkan Ramsey Elang itu merekrut orang lain. Kalau Anda serahkan perekrutan pada Ramsey Gelatik, maka yang didapatkan pasti Ramsey Gelatik yang lain. Kalau mau sip, jadilah Ramsey sendiri. Beres !
JJ DUIT
Malam itu, Fahmi,pemilik diskotek Tanamur, tampak ceria. Berpakaian ala pria Arab, memakai gamis dan juga igal, dia tampak mondar-mandir melayani tamutamu yang hadir. Tepat pukul 22.30, Fahmi, disertai istri dan diiringi beberapa orang lain, naik ke panggung mengumumkan pembukaan JJ Duit. Itulah nama diskotek “baru” yang terletak didekat Tanamur. Sebenarnya sejak beberapa tahun lalu tempat itu dipakai untuk diskotek. Tapi pemiliknya orang lain. Maksudnya “menempel” pada Tanamur tentu saja untuk ikut berbagai keuntungan. Maklum, Tanamur, yang “cuma” gudang, bisa jadi gudang duit. Setiap malam tidak pernah sepi, apalagi kalau akhir pekan. Tanamur memang unik. Berlokasi di Tanah Abang Timur, yang terkenal angker, tapi Tanamur menjadi semacam tourist attraction. Turis, apalagi bule, merasa belum lengkap kalau ke Jakarta belum mampir ke Tanamur. Daya tarik Tanamur adalah daya tariknya yang unik: familiar, hot, bahkan wild. Orang bilang, di sana Anda bisa ketemu diplomat sampai pengangguran. Atau bintang film sampai manhunter. Anehnya, orang yang datang dari berbagai lapisan itu bisa “akur” satu sama lain.Walaupun secara demografis mereka bisa jauh berbeda, secara psikografis mereka sama. Sama-sama sedang ingin semacam personal freedom untuk melepaskan diri dari atmosfer Jakarta yang sumpek. Maka, perilaku mereka lantas jadi serupa. Aktualisasi diri tanpa perlu risi pada orang lain. Ini merupakan bukti bahwa segmentasi perilaku dan psikografis sering bisa jadi lebih tajam dibandingkan dengan segmentasi demografi. Kesuksesan Tanamur itulah yang ingin ditiru orang lain dengan mendirikan diskotek lain di situ. Juga model “gudang”, tapi lebih kecil dan lebih rapi. Anehnya, diskotek itu tidak pernah bisa mencuri pasar Tanamur. Ternyata orang lebih suka berdisko di Tanamur. Akhirnya diskotek itu terpaksa ditutup. Kini diskotek itu, setelah direnovasi, dibuka kembali. Pemiliknya pun sudah sama dengan pemilik Tanamur. Pada malam pembukaan JJ Duit, dua minggu lalu, saya melihat ada sekitar 1.000 tamu datang ke situ. Di situ, saya ketemu Sejarawan Onghokham; Joe Kamdani, bos datascript; dan wartawan South China Morning Post. Ketika saya tanya kesan
mereka tentang JJ Duit, rata-rata merasa sentuhan Fahmi telah membuat tempat ini jadi “lain”. Mereka percaya, JJ Duit akan jadi tempat yang sukses seperti Tanamur. Apa bedanya JJ Duit dengan Tanamur? Mereka bilang, musiknya lain, suasananya lain, dan pengunjungnya lain pula. “Coba perhatikan. Musiknya bukan house music, seperti diskotek lain. Ada jazz, ada cha-cha-cha, dan lain-lain,” kata mereka. Suasananya tetap familiar dan hot, tapi tidak terlalu wild seperti Tanamur. Pengunjungnya juga bukan turis, dan kebanyakan lebih “atas”. Itulah persepsi yang terbentuk pada pengunjung malam tersebut. Dan itu bukan opini yang terbentuk seketika, karena sebagian dari mereka sudah ke sana selama masa soft opening. Bahkan ada seorang bule, yang tinggal di Jakarta, sudah lama tidak ke Tanamur. “Bosan, terlalu banyak turis,” katanya. Sekarang dia suka akan suasana JJ Duit. Hebat. Kalau JJ Duit bisa mempertahankan citra seprti itu, maka Fahmi akan sangat beruntung. Punya dua diskotek yang bersebelahan, tapi dengan karakter yang berbeda. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan pengusaha tempat hiburan adalah terlalu greedy. Ingin mendapatkan beberapa target market sekaligus pada tempat yang sama. Padahal one stop entertainment tidak semudah one stop shopping. Lihat saja nasib tempat hiburan yang berlokasi di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat. Di situ ada diskotek, kafe, dan karaoke sekaligus. Persoalannya, profil pengunjung diskotek tidak sama dengan pengunjung kafe, juga tidak sama dengan pengunjung karaoke. Susahnya, mereka saling “risi” kalau bertemu satu sama lain. Persis seperti suatu kawasan pemukiman yang punya rumah mewah, menengah, dan sederhana dalam satu lokasi. Pelajaran yang bisa dipetik bahwa dalam setiap bisnis, di mana pelanggan juga ikut mewarnai citra sebuah produk, maka Anda tidak boleh mencampur baur profil pelanggan yang berbeda.
LAGOON TOWER
Dulu, ketika masih ngepos di Surabaya dan bolak-balik ke Jakarta, saya sering menginap di Hotel Hilton. Mula-mula menginap di bangunan utama hotel, kemudian di Garden Tower. Ketika itu kamar-kamar di Garden Tower dianggap mempunyai “kelas” dibandingkan dengan yang ada dibangunan utama Hilton. Kalau ditanya, apa yang ada di benak saya jika nama hotel itu disebutkan, maka jawabnya sederhana, yaitu anggun, sarana olah raganya lengkap, dan pekarangannya luas. Ketika Grand Hyatt Hotel mulai beroperasi, saya jadi tergoda untuk pindah hotel. Soalnya, lokasi Grand Hyatt lebih strategis, dan punya akses dengan Hotel Indonesia. Susahnya, setelah uji coba, saya melakukan full switching. Padahal Hilton tidak pernah punya “salah” pada saya. Mengapa ini terjadi? Saya merasa mendapat nilai baru dari Grand Hyatt. Secara teoritis, hal ini sekaligus merupakan bukti bahwa kepuasan pelanggan bukan segalanya. Pelanggan yang puas akan pelayanan Anda bisa saja pindah ke tempat baru di mana diia mendapatkan nilai lebih tinggi. Dalam kasus ini, belum tentu Grand Hyatt, sekalipun punya akses ke Plaza Indonesia, berbeda dengan Hilton. Bagi orang yang tidak perlu belanja dan lebih menyukai privacy, barangkali Hilton memberikan nilai lebih tinggi. Pada waktu Hotel Shangri-La dibuka, saya sudah lebih banyak menetap di Jakarta, dan tidak mondar-mandir lagi. Saya punya kesan tersendiri terhadap hotel yang satu ini. Terus terang saja, saya terpengaruh oleh Shangri-La Beijing, yang begit besar. Kalau ditanya apa kesan saya tentang Shangri-La Jakarta, maka jawabnya adalah hotel ini mempunyai citra besar, mewah,dan meriah. Apalagi orang sering ngomong bahwa inilah tempat The Best Buffet in Town. Mulai tahun lalu, di Jakarta, hadir The Regent Four Seasons Hotel, yang pernah saya coba di seattle ataupun Singapura. Very good service. Itulah yang sudah ada di benak saya. Lantas bagaimana dengan citra hotel tersebut di Jakarta? Setelah makan malam di Asiatique, dan melihat kamarnya, saya punya kesimpulan bahwa hotel ini memang memberikan pelayanan yang baik, sangat mewah, dan tenang. Jadi, di sini terlihat bahwa kesan yang timbul pada nama Shangri-La dan Four Seasons dari
pengalaman sebelumnya, di tempat lain, akan sangat mempengaruhi pembentukan citra hotel-hotel tersebut di Jakarta. Beberapa waktu lalu saya punya kesempatan menginap di Hotel Hilton kembali. Kali ini di Lagoon Tower. Lantas kesan apa lagi yang timbul di benak saya ? Inilah “Four Seasons” yang ada di Hilton.
Lagoon Tower memang sangat berbeda
dengan bangunan utama Hilton atau Garden Tower. Di Lagoon Tower, saya menemukan pelayanan yang bagus, kemewahan, dan ketenangan. Persisi di Four Seasons. Cuma, sebagai orang Indonesia, terus terang saya pilih Lagoon. Soalnya, kalau lagi bosan pada ketenangan, saya tinggal melangkah ke bangunan utama hotel. Di situ saya bisa nongkrong di Peacock dengan kesempatan untuk bertemu selebriti, atau makan di Taman Sriwedari sambil cuci mata karena dekat kolam renang, atau sekedar melamun di Kudus Bar. Tapi, begitu selesai beraktifitas di situ, saya bisa kembali ke Lagoon Tower. Ini yang membuat Hilton jadi satu-satunya hotel dengan split personality di kelasnya. Garden Tower, yang berada di tengah, belum bisa dianggap punya kepribadian sendiri, karena merupakan bagian dari bangunan utama hotel. Tapi Lagoon Tower, dengan pintu masuk sendiri lewat Senayan, bisa dianggap hotel di dalam hotel. Dengan begitu, Hilton bisa tetap survive, bahkan tumbuh, diantara persaingan hotel bintang yang mulai ketat di Jakarta. Dengan memiliki Lagoon Tower, Hilton bisa perang di dua medan dengan segmen pasar berbeda. Uniknya, bukan cuma harga yang memisahkan kedua segmen pasar tersebut, melainkan juga kepribadian, yang merupakan brand identity tiap-tiap hotel yang berperan. Di samping itu, masih ada nilai tambah bagi para tamu Hilton. Mereka bisa menikmati suasana lain di hotel lain tanpa perlu keluar dari Hilton. Bukankah persaingan pada saat ini memang berpusat pada bagaimana cara memberikan nilai yang bukan cuma dituntut makin tinggi, melainkan juga unik dan sulit ditiru pesaing ?
LADY`S FREE
Mira (sebut saja namaya begitu) adalah seorang wanita karier. Dia manajer pemasaran sebuah perusahaan jasa. Hidup lajang di jakarta, dan setiap hari, dari Senin sampai Jumat, kerja keras dari pagi sampai malam. Dia punya prinsip: work hard, enjoy hard. Tidak mengherankan bila dari Jumat malam sampai Minggu, dia benar-benar menikmati “hidup”. Karena keluarganya tinggal di Yogjakarta, Mira bisa “bebas” mempraktekkan gaya hidup seperti itu. Minggu lalu, saya makan siang bersama Mira. Pada waktu itu diaa menunjukkan sebuah barang kecil, mirip lipstik, kepada saya. Dia mengatakan bahwa barang itu baru dibelinya dari seorang temannya. Tertarik untuk ingin tahu lebih lanjut, saya periksa produk tersebut, dan di situ saya temukan kalimat: Cycle check-Lady`s Free. Ketika kotak tersebut saya buka, saya melihat sebuah benda hitam seukuran lipstik. Tapi jelas bukan lipstik. Mira cuma ketawa ketika saya keheranan. Dia segera mendemonstrasikan cara menggunakan produk tersebut. Ternyata di benda itu ada lensa kecil yang bisa dilepas. Lantas Mira mengambil sedikit ludah dengan jari telunjuk kanannya, lalu dioleskannya pada lensa tersebut, kemudian dipasangnya kembali. Setelah itu dia menekan tombol kecil, yang menyalakan sinar hijau, dan di lensa tadi tampak beberapa lingkaran yang dihubungkan beberapa garis. Mira menjelaskan, gambar itu menunjukkan bahwa dia dalam keadaan “tidak subur” Kalau lingkaran mulai kabur, berarti dia sedang mengalami masa “transisi”. Kalau lingkaran itu tidak tampak sama sekali, berarti dia sedang “subur”. Itulah alat cek yang bisa melihat status “kesuburan” seorang wanita secara spontan. Ketika saya baca brosurnya, saya menemukan penjelasan bahwa alat tersebut ditujukan untuk membantu pasangan yang ingin punya anak. Sebenarnya ada cara tradisional yang bisa dilakukan, yaitu melakukan pengecekan suhu badan wanita di waktu bangun tidur. Dengan membuat grafik dari hari ke hari, bisa diketahui kapan suhu tersebut memuncak, sebagai pertanda “kesuburan”. Tapi cara itu tidak praktis dan susah, maka orang Jepang membuat produk yang lebih praktis, dan bisa dibawa ke
mana-mana. Selain itu hasilnya bisa langsung kelihatan: sedang subur atau tidak subur. Harga alat tersebut Rp. 200.000. “Lho, jadi kamu sekarang ingin punya anak?” tanya saya. Saya agak heran, karena dari dulu prinsip hiidup Mira ingin jadi “wanita independen”. Mendengar pertanyaan itu, Mira cuma ketawa kecil. “Justru sebaliknya, dengan alat ini, saya ingin supaya tidak punya anak,” jawab Mira. Oh my God. Jadi jelas, Mira sebenarnya memanfaatkan side benefit dari produk tersebut. Saya tidak tahu siapa sebenarnya target pasar Lady`s Free: Apakah istri yang benar-benar mendambakan seorang bayi, atau wanita independen, seperti Mira, yang justru menghindari kelahiran seorang bayi? Tapi pemilihan merek Lady`s Free, menurut saya, cukup pintar, karena bisa bermakna ganda. Bisa berarti kebebasan untuk melakukan pengecekan kesuburan di mana saja, juga bisa berarti kebebasan untuk “melakukan” tanpa perlu khawatir. Bahkan bisa saja produk semacam itu dibeli laki-laki, yang juga punya dua tujuan, untuk membantu istri sendiri atau bisa juga “membantu” wanita lain. Mira bertanya kepada saya tentang prospek produk tersebut. Saya melihat, hal itu sangat bergantung pada nilai produk tersebut di mata sasaran pasar mereka. Harga Rp. 200.000. menjadi tidak ada artinya kalau pembeli memang memerlukan “ketetapan” dari “status kesuburan”
seseorang secara langsung. Bukankah nilai
seorang bayi jelas lebih besar dari Rp. 200.000, walaupun masih banyak faktor lain yang menentukan? Sedangkan “nilai keamanan” bagi seorang wanita independen, yang justru tidak menginginkan seorang bayi, bisa jauh lebih besar lagi. Persoalannya sekaran terletak pada akurasi alat tersebut. Tetapi Mira tampaknya tidak khawatir dengan soal yang satu itu. Sebelum membeli, dia sudah melihat hasil riset yang disertakan. Riset itu menunjukkan bahwa saliva (ludah) seorang wanita memang bisa diandalkan sebagai indikator “kesuburan” diri yang bersangkutan. Inilah cerita sebuah produk baru yang diluncurkan di Indonesia, terutama di kota-kota besar, secara gethuk tular – dari mulut ke mulut. Tampaknya memang cara tersebut yang paling tepat kalau itu Lady`s Free.
PASARAYA
Di mana Anda bisa kongko-kongko dan minum kopi sambil main internet? Di Cyber Café, yang terletak di lantai 8 Mega Pasaraya. Di situ ada beberapa komputer yang terakses ke Internet lewat jaringan Indosat-Net. Kalau anda belum familier dengan Internet, di situ juga ada pemandu cewek, uang gesit memainkan tuts komputer dan mouse. Mau masuk Yahoo, atau baca Gatra, atau mau mampir ke sebuah web-site, yang ada di balik bumi, tinggal pilih. Dengan cepat, pemandu tadi bisa mengajak Anda untuk melakukan surfing dari satu site ke site lain. Di lantai 8 Mega Pasaraya itu sebenarnya bukan hanya ada Cyber Café. Di situ juga ada berbagai permainan virtual reality, yang beraneka ragam. Semua permainan itu berhadiah. Kalau Anda memang “jago”, justru Anda bisa pulang membawa banyak hadiah dengan menukarkan kupon yang di dapat di redemtioncounter. Selain itu, juga ada Laser Storm namanya, yang berupa tempat beradu tembakan laser. Di situ Anda bisa “bertanding” dengan siapapun dalam hal ketepatan tembakan. Yang menarik, suasana di lantai 8 itu dibuat seperti di ruang angkasa. Bahkan namanyapun Space Adventure. Untuk lebih meyakinkan, semua staff di situ menggunakan pakaian seragam “angkasa luar”. Dengan demikian, begitu masuk ke lantai 8, Anda seolah-olah diajak masuk ke ruang angkasa. Sekilas timbul kesan, tempat ini pasti merupakan hasil franchise dari luar negeri. Ketika saya cek, ternyata Taufik Jurnal Effendi, Manajer Space Adventure, menyatakan bahwa ide, desain, bahkan pakaian seragam yang ada di situ adalah asli Indonesia. Bagi saya, justru inilah bagian paling menarik dari Mega Pasaraya milik Alatief Corporation itu. Dengan Mega Pasaraya yang merupakan perluasan dari Pasaraya yang “lama”, aLatief kelihatan ingin “unjuk gigi” di kawasan Blok M tersebut. Dijepit Mal Pondok Indah dan Plaza Senayan, Blok M memang terkesan serba “tanggung”. Kesan orang, pusat perbelanjaan yang dulu hebat itu jadi merosot kelas pengunjungnya. Apalagi setelah M-Club jadi disko, yang terus memutar house
music. Begitu juga dengan Mal Blok M. pertokoan “bawah tanah” pertama di Indonesia itu, yang dulu diharapkan bisa punya “kelas” kayak di Tokyo, atau paling tidak seperti Di Singapura, termasuk kurang sukses. Maka, Maga Pasaraya kayaknya ingin jadi “mutiara” di kawasan itu. Bukan cuma dari luar gedung itu kelihatan mewah, melainkan juga terkesan besar. Isinya juga diusahakan supaya mendukung. Seibu, yang terkenal sebagai depato kelas atas bersama Hankyu di Tokyo, ditampilkan di situ. Jelas “tugas” Seibu adalah untuk mendongkrak citra gedung secara keseluruhan. Maklum, di Jepang, Seibu memang lebih “kelas” dibandingkan dengan Sogo, walaupun di Indonesia belum banyak yang tahu. Selain itu? Di Mega Pasaraya juga ada toko buku Maruzen dan best Connections yang juga merupakan franchise dari Jepang. Dengan begitu, hampir seluruh gedung, kecuali lantai 8, serta Kid`s Club yang juga ide asli Indonesia dan terletak di lantai 5 gedung lama, merupakan ide impor. Maka, kelas pengunjung juga kelihatannya lebih tinggi dari dari tempat perbelanjaan lain yang ada di kawasan sana. Dengan punya Mega Pasaraya ini, kelihatannya Pasaraya ingin melakukan image repositioning, dan sekaligus mau dijadikan “gaco” untuk rencana go public dari PT Pasaraya Nusa Karya, yang kabarnya akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Dulu, Kalau ingat Pasaraya, pasti ingat Big and Beautiful. Kosep ini dianggap cukup sukses waktu itu, karena Pasaraya jadi punya positioning yang jelas. Tapi begitu ada Plaza Indonesia dengan Sogo, Mal pondok Indah dengan Metro, kemudian menyusul Plaza senayan, maka Pasaraya memang harus repositioning, kalau tidak mau “hilang” di benak konsumen. Belum lagi rencana datangnya retail-retail di berbagai kawasan lain di Jakarta, yang akan menyerbu berbarengan mulai dari usaha seorang “pemain” yang tidak mau tenggelam dengan datangnya para pemain baru. Mengapa harus begitu? Setiap kali ada perubahan akan berdampak pada pelanggan dan pesaing. Yang penting sekarang, apa yang harus dilakukan oleh perusahaan Anda?
NOMOR 1
Pada suatu Sabtu malam, pukul 22.00, saya sudah siap di studio NBC, New York. Suhu udara waktu itu berada dibawah titik beku, tapi tidak menyurutkan orang untuk berkumpul di gedung General Electric (GE) yang terletak di rockefeller Plaza. Semua berharap bisa menyaksikan acara “Saturday Night Live”, yang dipancarkan NBC. Acara itu sendiri sebenarnya sudah berjalan sekitar 20 tahun. Tapi tetap punya rating tinggi. Soalnya selama 90 menit, mulai pukul 22.30 sampai pukul 1 dini hari, baik pemirsa di rumah maupun penonton di studio dikocok habis-habisan oleh para bintang “Saturday Night Live”. Salah seorang alumnusnya adalah bintang film Eddy Murphy. Terbatasnya kursi yang tersedia di studio menyebabkan tiket masuk menonton acara siaran langsung tersebut diundi. Saya beruntung bisa masuk tanpa melalui undian karena jadi tamu General Electric corporation, pemilik NBC. Sampai Minggu ketiga Maret lalu, NBC, menurut Nielsen Media Research, tetap memepati urutan rating tertinggi, yaitu 11,9. Stasiun televisi ABC dan CBS cuma mengumpulkan angka 10,9 dan 9,7. Mengapa bisa begitu? Dari daftar “The Top 20” acaran hiburan di jaringan televisi Amerika, NBC menempatkan 11 acara, dan 5 diantaranya menempati peringkat teratas. Untuk “berita” NBC memang kalah dari ABC. Dan itu diakui John Stack dan Lynn Gardner, keduanya direktur, masing-masing untuk Berita Luar Negeri dan Informasi Berita NBC. “Kami sedang bekerja keras untuk mengejar ketinggalan tersebut, dan sangat yakin akan menjadi nomor satu,” kata mereka. Semangat khas GE untuk mengglobal, seperti selalu didengungkan Jack Welch, juga terlihat di NBC. Pada saat ini NBC tidak hanya mendominasi pasar domestik di Amerika, melainkan juga memiliki Super Channel, yang beroperasi 24 jam, dan merupakan program televisi kabel
terbesar di Eropa. NBC Super Channel ini
meliputi 44 negara, mulai dari Islandia hingga Arab Saudi, menjangkau sekitar 66 juta rumah dan 350.000 kamar hotel.
Pada awal 1996, NBC juga meluncurkan acara-acara berita dan hiburan ke Asia. Lewat jaringan internasional itu NBC ingin benar-benar jadi stasiun televisi dunia yang menyajikan berita dan hiburan sekaligus. Bukan itu saja. Pada 14 Desember lalu, NBC dan Microsoft sepakat untuk meluncurkan produk baru, yang disebut MSNBC. Ini merupakan kelanjutan dalam usaha aliansi strategis yang dirintis NBC, sejak Mei 1995. NBC, yang sepenuhnya dimiliki General Electric, merupakan pengemas berita dan informasi yang andal, sedangkan Microsoft merupakan pemimpin pasar dalam bidang perangkat lunak komputer ataupun penjual jasa utama dari “Internet on line”. Proyek MSNBC, yang mnurut rencana diluncurkan 15 Juli depan, akan merupakan jasa pelayanan berita dan informasi 24 jam, dan bersifat interaktif. Nah kalau Welch dan bos Microsoft, Bill Gates, sudah sepakat berkongsi dan beraliansi, anda bisa bayangkan hasilnya. Sudah pasti merupakan saingan berat bagi CNN. Walaupun NBC merupakan satu divisi yang “agak berbeda” dalam karakter dibandingkan dengan 11 divisi lain dari GE, terasa bahwa nilai-nilai GE cukup kental ada di situ. Mary W. Anderson, Wakil Presiden Urusan Pengembangan Bisnis dari NBC Cable & Business Development, memberikan kesaksian tersebut secara langsung kepada saya. “Saya masih ingat, dulu orang-orang di NBC terus terang kurang bersemangat. Sejak kami membeli Super Channel di Eropa, semangat kami untuk bersaing meningkat,” katanya bersemangat. Saya juga merasakan hidupnya nilai-nilai GE yang lain seperti, speed, simplicity, self confidence, dan boundaryless, di NBC. Sentuhan Welch trasa juga ada di NBC walaupun jenis bisnisnya AGAK BERBEDA. Dan NBC jelas merupakan salah satu aset paling berharga bagi GE, karena tahun ini mereka menjadi stasiun televisi resmi Olimpiade Atlanta. Welch selalu mengemukakan bahwa semua divisi GE harus jadi nomor satu atau nomor dua. Kalau tidak berhasil mencapai target, perusahaan tersebut akan dijual atau dibubarkan.
IBU SOENARJO
Namanya : ibu Soenarjo. Usianya: 84 tahun. Namun wanita berperawakan agak gemuk dan berparas cantik ini masih tetap energik. Tiap malam ia memimpin sebuah upacara prosesi, yang disebut Indonesian Rijsstaffel. Secara harfiah rijstaffel berarti “meja nasi”. Ia, di masa Hindia Belanda, juga bisa berarti “makan besar” pada pesta keluarga. Setelah itu rijstaffel dibawa ke hotel-hotel terkemuka, seperti Hotel Des Indes di Batavia, yang lantas membuatnya terkenal ke seluruh dunia. Saat ini budaya makan besar tersebut dilestarikan oleh Restoran Oasis, Jakarta, lengkap dengan pesona perayaan. Setiap malam restoran yang menyebut dirinya sebagai the elegant world of gracious dining ini selalu dipenuhi para tamu, yang sebagian besar pengusaha dan diplomat asing. Jika Anda mengunjungi Oasis, Anda akan menemukan suasana kolonial “tempoe doeloe”. Dengan sentuhan dekorasi interior yang artistik, suasana restoran ini akan membuat Anda merasa seolah kembali ke zaman Hindia Belanda. Di pintu luar selalu siap penyambut tamu dengan pakaian tradisional. Biasanya mereka akan membukakan pintu mobil Anda seraya mengucapkan salam. Di beranda ada tiga orang pemusik yang memainkan kecapi, seruling, serta kemung. Begitu masuk, Anda akan disambut dengan tabuhan gong. Tempat makan terletak di ruang tengah dan belakang. Namun sebelum ke ruang tengah, tersedia senuah kamar yang dilengkapi dengan sejumlah sofa, dimana Anda boleh minum-minum dulu sebelum makan. Di ruang tengah, yang dihiasi chandelier, mengalun musik yang berasal dari piano, biola, serta bas besar, mengiringi vokal seorang penyanyi wanita. Selain itu masih ada pula trio penyanyi Batak, yang berkeliling dari meja ke meja. Lantas apa peran Ibu Soenarjo, yang telah bekerja di Oasis selama 16 tahun, adalah Kepala Departemen Masakan Indonesia. Dialah yang menciptakan model Indonesian Risjtaffel, yang justru menjadi suguhan utama Oasis saat ini. Pertama kali, sebelum acara makan besar dimulai, tamu akan disuguhi sup ikan. Kemudian disajikan egg-roll sebagai makanan selingan. Setelah tamu menyantap
makan pembuka ini, prosesi pun dimulai. Sebanyak 12 gadis cantik berseragam batik membawa berbagai variasi makanan Indonesia – mulai dari nasi putih, telur bumbu Bali, ikan kakap goreng mentega, rendang ayam, sate ayam, sate kambing, oseng-oseng jagung muda, serundeng bihun, kerupuk, acar, hingga aneka sambal. Ibu Soenarjo selalu berada di depan prosesi. Ia dengan sabar menjelaskan kepada para tamu mengenai makanan-makanan tersebut. Ia melakukannya dengan bahasa Indonesia, Inggris, serta belanda. Uniknya, nasi putih selalu dibuat dalam bentuk tumpeng kecil. Pucuknya dipotong untuk kemudian diberikan kepada tamu paling dihormati. Setelah itu, Ibu Soenarjo akan mengambilkan setiap makanan yang diminta tamu, dan boleh minta tambah sepuasnya. Terakhir disajikan makanan penutup berupa buah campur, kopi atau the, serta manisan Indonesia. Dari sekian banyak tamu asing yang saya ajak ke Oasis umumnya sangat terkesan akan makanan ataupun pelayanan yang didapatkan. “It`s not just restaurant. It`s an experience,” kata mereka. Mengapa Ibu Soenarjo begitu kreatif? Ternyata dia adalah putri seorang Bupati Bandung pada zaman Hindia Belanda dulu. Ia lahir dan menikah di Kabupaten. Ketika masa kanak-kanak ia telah melihat bagaimana makan besar dihidangkan setiap kali ada tamu yang datang. “Waktu itu semua anggota keluarga wanita yang belum kawin wajib ikut prosesi,” ujarnya. Penghayatan Ibu Soenarjo yang begitu mendalam atas “upacara” ini juga dipengaruhi oleh suatu international flavour. Buyut dari 16 canggah ini ternyata pernah bekerja sebagai Kepala Rumah Tangga konsulat Jenderal Indonesia di New york selama enam tahun. Tanpa Ibu Soenarjo, Oasis tak mungkin secantik sekarang. Dalam bisnis inilah yang disebut sebagai core competence.
HOTEL TUGU
Selamat datang di Raden Saleh Suite, Tugu Park Hotel, Malang. Kamar ini untuk mengenang seniman besar dan Bapak Pelukis Indonesia pertengahan abad ke19. Hampir seluruh perabotan kamar ini berasal dari tahun 1850 dalam bentuk aslinya. Bilamana Bapak hermawan memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai kehidupan seniman ini, mohon Bapak berkenan menghubungi kami. Selamat beristirahat. Pesan itu saya temukan di kamar ketika menginap di Hotel Tugu. Raden Saleh Suite, yang dijual dengan tarif US$ 250 per malam ini, memang unik. Di ruang tamu, ada sebuah kursi goyang dari abad ke-19, dan di dindingnya terpajang sebuah repro lukisan Raden saleh, yang menggambarkan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Ranjang, yang terletak di ruang tidur utama, juga antik. Ukurannya 2 meter X 2,5 meter, dan dilengkapi dengan kelambu. Bak mandinya berwarna perak, bundar, besar, dan ada keran air panas ataupun keran air dingin. Untuk alas kaki disediakan bakiak – sandal yang terbuat dari kayu. Hotel Tugu juga punya lima kamar suite lain, yang disebut Zamrud of east Java. Mengapa disebut begitu? Kelima kamar itu merefleksikan kehidupan beberapa kota di Jawa Timur zaman dulu. Ada lagi yang unik : Baba Tempoe Doeloe Suite. Itulah kamar dengan suasana rumah Cina peranakan zaman dulu, dan ruang ini kabarnya disukai dirjen Pariwisata andi Mappisammeng. Adapun Raden Saleh suite merupakan kamar khusus langganan para menteri dan beberapa orang elite mancanegara. Untuk kamar-kamar biasa, Hotel Tugu cuma punya 36 buah. Kamar-kamar ini pun didekor sedemikian rupa, sehingga sarat dengan barang-barang antik tempo dulu. Pemilik Hotel Tugu, anhar Setiadibrata, yang dulunya pengacara, memang gila barang antik. Begitu banyak koleksinya, sehingga tidak semuanya bisa dipajang di hotelnya itu. Tapi Anda tetap bisa melihat beberapa pintu yang berusia ratusan tahun, seperangkat alat musik Jawa tradisional buatan tahun 1820 yang dipajang di Gamelan Room, meja makan mendiang Raja Gula Oei tiong Ham dan foto putrinya, Oei Hui Lan, yang sekarang tinggal di Taiwan, ada di Raja Gula Room. Bahkan, di sini, Anda juga bisa menjumpai fosil berumur jutaan tahun, yang dibawa para pedagang Arab ke Indonesia beberapa abad lalu.
Di samping itu, Hotel Tugu juga punya “warung pinggir jalan” yang menyediakan jajanan kaki lima untuk para tamu yang duduk santai dengan diterangi “lampu teplok”. Di sini orang bisa minum kopi sambil menikmati roti buatan pabrik Oen, yang sudah terkenal di Malang sejak dulu. Anhar menyebut Hotel tugu sebagai A Big House Reflecting History, art, and Culture. Maka setiap pukul 18.00, semua tamu diundang minum the dan mencicipi jajanan pasar Malang secara gratis, sembari menikmati ppara perajin tradisional bekerja. Akhir tahun lalu, Hotel Tugu, bersama Amandari, Amankila, dan Four Seasons Bali, dipilih majalah pariwisata terkemuka Tatler`s Travel Guide untuk dimasukkan dalam daftar 101 hotel terbaik di dunia. Dengan demikian, hotel antik ini dianggap sejajar dengan hotel bel Air di Los Angeles (yang tahun lalu terpilih sebagai Hotel of The Year) dan The Ritz di Paris. Sekarang “hotel butik” ini mulai memperluas jaringan ke Bali. Anhar membangun Hotel Tugu Bali di desa Canggu, 7 kilometer dari Senipah. Konsepnya: Rumah Agung. Hotel ini direncanakan dibuka pada pertengahan 1996, yang juga akan sarat dengan taburan barang antik. Kelak di sana akan ada kamar The Le Mayeur Suite. Tujuannya untuk mengenang pelukis asal Belgia, Le Mayeur, yang mengawini penari Legong Ni Polok, dan pernah tinggal di Sanur. Buat saya, dari sisi pemasaran, inilah contoh kasus sebuah hotel yang melakukan segmentasi psikologis pada saat persaingan dengan “mari banting harga” terjadi di mana-mana. Dengan membangun hotel semacam ini, Hotel Tugu memang tak perlu bersaing dengan hotel manapun. Soalnya, hotel ini sulit dibandingkan dengan hotel bintang lima sekalipun. Sasaran tamunya juga sangat jelas. Tidak ada target ke variabel geografi dan demografi. Tapi pada orang-orang yang suka sentuhan history, art, and culture tadi. Inilah salah satu kiat sukses sang bekas pengacara, yang berhasil membidik suatu ceruk pasar.
PAK DUL
Kalau mampir ke Solo, jangan lupa mampir ke warung bakmi Pak Dul !” Itu pesan teman saya. Karena itulah, ketika melakukan “safari” Gelar Pemasaran Indonesia, saya menyempatkan diri mampir ke warung yang terletak di Simpang Empat, kampung Baru itu. Ternyata warung bakmi itu memang cukup menarik. Cuma punya satu meja yang cukup untuk maksimum delapan orang, warung itu sering dikunjungi orang-orang “gede” dari Jakarta. Menurut Pakdul, pria berusia 60-an tahun yang memelihara jenggot dan selalu pakai kethu putih itu, para menteri seperti Moerdiono dan Harmoko sering mampir di situ. Perlunya untuk sekedar makan bakmi godok. Saya sendiri, ketika itu, duduk agak berimpitan dengan Moegono, SH, Ketua Ikadin Cabang Solo. Moegono yang advokat kondang dan suka menulis di media massa nasional bahkan sempat menceritakan pengalamannya kepada saya, “Saya pernah dibayari Gubernur Jawa Tengah Soewardi ketika sedang makan bakmi godok pada suatu malam.” Pak Dul sendiri dengan bangga bercerita bahwa pada 17 Agustus lalu ia diundang untuk ikut masak di Istana. Lho, kok bisa? Ya, karena Pak Sampoerno yang Kepala Rumah Tangga Istana termasuk orang yang fanatik pada bakmi godok Pak Dul. Tapi sebenarnya, Pak Dul bukan cuma jualan bakmi godok. Pada menu yang disajikan, saya melihat ada 27 jenis makanan. Menurut pengakuan Pak Dul, makanan favorit lain yang suka dipesan orang adalah kamar bolah. Itu adalah terjemahan bebas dari ke-kian, nama makanan Cina yang terdiri dari “buntelan daging” mirip bola. Kalau ke-kian dicampur dengan ampela ayam, namanya lantas berubah menjadi ngokecui. Kalau ngokecui dikurangi beberapa jenis sayuran menjadi kepaklay. Unik, kan? Kalau diperiksa menunya, makanan yang dihidangkan Pak Dul memang cukup unik. Ada bakpuy, mihun, capcai, bakmoy, jijakay, koloke, bongjakoy, dan sebagainya. “Tapi semuanya saya tanggung halal,” kata Pak Dul. Di tenda-tenda penutup warungnya juga ada tulisan: “Dijamin halal 100%.” Dengan demikian, Pak Dul yang dulu pernah belajar masak di Restoran Ming Kong berusaha untuk meng-“halal”-kan segala jenis makana Cina yang
dihidangkan. Pak Dul, yang sudah buka warung lebih dari 15 tahun, memang hebat. Setiap hari, mejanya selalu penuh dengan tamu yang datang naik mobil mewah. Padahal warungnya sederhana saja. Bagi saya, Pak Dul bisa dianggap sebagai salah seorang wirausahawan “kecil” yang cukup berhasil. Tidak semua orang berani meninggalkan pekerjaan tetap untuk kemudian membuka usaha sendiri. Kompetisi inti berupa cooking skill yang dipelajari di Ming Kong dulu dipakainya sebagai aset utama dalam membangun usaha sendiri. Selain itu, keterampilan memasak tersebut digabungkan dengan strategi dalam melakukan modifikasi pada makanan Cina, yang aslinya menggunakan daging dan minyak babi diganti seluruhnya dengan ayam. Dengan demikian, Pak Dul sebenarnya melakukan the Javanisation of Chinese food. Itulah yang disebut sebagai product differentiation. Suatu bentuk kongkret tentang bagaimana membuat sebuah produk menjadi brbeda dngan produk lain. Harga makanan pun bisa dibuat sederhana. Semua makanan yang “cuma” bersifat bakmi dijual dengan harga Rp.2.500, sedangkan yang pakai daging, apalagi ampela, berharga Rp.3.500. Simpel kan? Cuma ada dua harga, pokoknya murah dan meriah. Mana ada “masakan Cina” bisa dibeli dengan harga seperti itu? Di warung Pak Dul, orang merasa mendapat value yang sama dengan manfaat yang diterima dibagi harga. Yang penting, harga tersebut harus dipersepsi “murah” terhadap target market, tapi sebenarnya cukup memberi profit lumayan bagi Pak Dul. Apa lagi? Dengan menggunakan siasat seperti itu, Pak Dul bisa masuk dua segmen sekaligus, yaitu orang Islam yang ingin makan masakan Cina tapi halal dan orang Cina yang ingin tetap makan enak tapi takut kolesterol. Jadi, secara sengaja atau tidak, Pak Dul sudah bertindak sebagai seorang pengusaha yang hebat dengan strategi pemasaran yang bagus pula. Dalam menghadapi globalisasi, dengan masuknya perusahaan transnasional, saya percaya usaha-usaha kecil tapi unik, seperti yang dipunyai Pak Dul itu, bukan sekedar bisa hidup. Melainkan bahkan bisa sukses, asalkan tahu caranya. Kan selalu ada “arus balik” yang cenderung untuk mempopulerkan sesuatu yang bersifat “daerah”? Kita memerlukan Pak Dul – Pak Dul yang lain.
WORLD CLASS
Pertumbuhan konomi yang berkelanjutan dari suatu negara bergantung pada banyak faktor. Tapi faktor yang palinfg menentukan adalah pemerintah yang kuat dan didukung rakyat. Apakah di situ ada nilai-nilai demokrasi atau lainnya, tidak penting. Yang lebih menentukan adalah adanya suatu pemerintah yang kuat, adil, dan kompeten.” Pendapat itu disampaikan Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong, pada diskusi panel di Williams College, Amerika Serikat, baru-baru ini. Singapura sering disebut sebagai the most succesful socialist country in the world. PAP, partai yang memerintah sejak Singapura berdiri, begitu kuat sehingga bisa merekayasa apa saja. Pengaturan alokasi penduduk yang menyebar ke seluruh distrik, misalnya, menyulitkan minoritas punya wakil di Parlemen. PAP juga sering disindir sebagai singkatan dari Pay and Pay – semua mesti bayar, sampai-sampai masuk restrictic zone pun bayar. Nepotisme? Ada juga. B.G.Lee, orang bialng, dikader untuk meneruskan karier bapaknya, Lee Kuan Yew. Ia, sekalipun pintar, sering keseleo lidah, karena itu sering menimbulkan marah beberapa pihak. Selain itu keluarga Lee juga punya beberapa bisnis pribadi walaupun tidak banyak. Tapi hebatnya negara ini maju pesat dalam bidang perekonomian. Daya saingnya dianggap berada pada peringkat kedua di dunia. Pelabuhan Singapura sudah mengalahkan Rotterdam dalam jumlah bongkar-muat. Prof. Warren Keegan, mitra MarkPlus, yang mengajar di Wharton, meramalkan bahwa GDP per kapita Singapura akan mencapai US$ 75.000 (tertinggi di dunia) pada tahun 2020. Sekarang saja pemerintah Singapura sudah berani bersaing dalam hal gaji dengan pihak swasta: supaya bisa menarik orang brilyan bekerja di pemerintahan. Maka Rosabeth Moss Kanter mengingatkan Amerika supaya tidak merasa takabur karena merupakan satu-satunya negara adikuasa. Dulu Amerika bisa mendikte dunia. Dolar, bahasa Inggris, Coca-Cola, gillette, Kodak, ataupun film Disney diakui sebagai “produk” dunia. Amerika bahkan suka mengekspor demokrasi ala barat ke mana-mana. Guru besar pada Harvard Business School itu mengingatkan bahwa Amerika tidak bisa begitu
lagi. Globalisasi telah memperlancar empat proses besar, yang dulu tidak pernah ada, yaitu mobility, simultanity, bypass, dan pluralism. Pada saat ini, modal, orang, dan ide bisa mengalir kemana saja. Pokoknya, mereka mencari tempat menguntungkan. Dengan demikian orang akan punya banyak pilihan yang beragam. Jadi tidak perlu “bertahan” pada suatu sumber saja. Dalam buku terbarunya, World Class, Kanter juga membagi manusia menjadi dua jenis, yaitu cosmopolitan, dan local, yang saling bertentangan sifatnya. Manusia kosmopolitan punya karakter 3C – concept, competence, dan connection. Orang tipe ini selalu menguasai ide dan pengetahuan mutakhir, kemampuan mengoperasikan sesuatu pada tingkat tertinggi di mana saja, kapan saja, dan bisa menjalin hubungan dengan pihak – pihak yang berpengaruh. Sedangkan orang lokal adalah orang yang cuma bertahan pada daerahnya sendiri. Dalam
era
globalisasi
seperti
sekarang
ini,
manusia
kosmopolitan
menjelajah mencari kesempatan. Sedangkan orang lokal lebih banyak mempertahankan niali-nilai tradisional. Ekonomi yang digerakkan oleh pengusaha kosmopolitan mengglobal. Sebaliknya, pemerintah yang dibentuk lewat proses demokrasi oleh para politisi makin melokal. Kontras kan? Maka Kanter lantas mengingatkan bahwa Washington tidak bisa berbuat apa-apa untuk kesejahteraan tiap-tiap negara bagian. Amerika terlalu besar, tidak seperti Singapura. Konsekuensinya? Kanter menganjurkan masyarakat setempat berinisiatif untuk membuka diri, ikut serta dalam jajaran ekonomi dunia, jangan menggantung nasib pada para politisi yang cuma pintar ngomong dan mengobral janji.
Suatu masyarakat lokal harus bisa melihat kekuatan diri sendiri. Ada tiga bentuk masyarakat yang dianggap Kanter bisa membuat mereka ikut menikmati kesejahteraan yang diciptakan globalisasi.. mau jadi thinker, maker, atau trader ? Boston dan San Fransisco, yang punya banyak perusahaan software dan universitas, dipakai sebagai contoh masyarakat thinker. Sedangkan Spartanburg dan Greenville di South Carolina, yang paling banyak menarik investor asing karena punya banyak tenaga terampil, disebutnya sebagai maker. Miami yang merupakan tempat kontak antara Amerika Utara dan Amerika Selatan adalah trader. Inilah masyarakat Amerika yang, menurut Kanter, harus bebas dari pengaruh politik pemerintah pusat itu.
GUNG HO
PARAMOUNT Pictures membuat film Gung Ho, yang berkisah tentang manajemen Jepang, beberapa tahun silam. Pada Maret lalu, stasiun televisi kabel Amerika, HBO, kembali memutarnya berulang-ulang. Saya berkesempatan lagi untuk melihat akting Michael Keaton, bermain sebagai Manajer Stevenson, yang harus menjadi jembatan antara bosnya, Watanate, seorang Jepang, dan blue-collar worker Amerika. Film ini dibuat pada saat banyak perusahaan mobil di Amerika bangkrut, dan bercerita tentang sebuah kota kecil yang hampir kolaps. Untung ada perusahaan Jepang, Assan Motor Company, perusahaan fiktif tentunya, menanamkan modal di kota itu, dan menampung banyak karyawan. Dasar orang Amerika, mereka biasa bekerja untuk sekedar cari uang. Sedangkan orang Jepang bekerja untuk perusahaan Film ini mengandung banyak pelajaran bagus karena bercerita tentang konflik kebudayaan di antara orang Amerika dan orang Jepang. Anda juga bisa belajar bagaimana kerja sama tim bisa dibentuk, dan bagaimana produktifitas bisa ditingkatkan. Kurang lebih delapan tahun lalu, saya pernah menggunakan video Gung Ho ini pada suatu seminar tentang “Teori Z”. Waktu itu, saya berbicara tentang bagaimana gaya manajemen Jepang harus dimodifikasi ketika akan dijalankan di Amerika, seperti ditulis William Ouchi. Karena, waktu itu, soal manajemen Jepang lagi hangat-hangatnya dibicarakan orang, pengunjung seminar mbludag. Saya masih ingat, dalam seminar serupa, Pak Ciputra juga berbicara tentang pengalamannya menerapkan hal tersebut di Jaya Group. Saya berbicara dari sudut konsep, sedangkan Pak Ciputra berbicara dari implementasi. Walau Gung Ho sarat dengan pelajaran, film ini dikemas dengan enak dan penuh guyonan. Karena itu, oleh HBO, kalau Anda membaca jadwal acara Indovision, film ini termasuk kategori film komedi. Melihat hal ini, saya menjadi ingat teori komunikasi “tradisional” yang mengharuskan pengirim pesan berbicara dalam bahasa yang dimengerti penerima pesan.
Di Dunia Fantasi, Ancol, sejak awal tahun ini, Anda bisa menyaksikan miniopera Rama Shinta di Panggung Maksima selama 45 menit. Anda jangan kaget, Rahwana, yang menculik Shinta, mati ditembak pakai senjata laser oleh Rama. Kera putih Hanuman berdisko di situ. Sedangkan para penari istana berjoget ketika menghibur Rahwana. Kembang api, gun-smoke, dan sinar laser terus-menerus menghiasi pertunjukan tersebut. Dan, seperti biasanya, Nano Riantiarno, yang diminta mengedit cerita tradisional ini, melakukannya dengan enak. Cerita wayang yang biasanya baru selesai tiga hari tiga malam itu bisa diringkas menjadi pas 45 menit. Selain itu, dan ini paling penting, tontonan tersebut enak dilihat. Anda tahu Ted Turner, bukan? Bos stasiun televisi CNN itu juga telah membuktikan bagaimana bisa membuat berita dikemas menjadi sangat menarik. Dulu , yang namanya Warta berita selalu merupakan acara membosankan, walaupiun sebenarnya penting. Mengapa? Penyajiannya yang salah. CNN melakukan revolusi. Mereka menangkap isi suatu berita dengan cepat, kemudian merangkumnya dalam suatu bentuk hiburan. Inilah yang disebut news entertainment. Terlihat analogi antara news entertainment yang dikemas CNN dengan cerita Rama-Shinta, yang disebut Dunia Fantasi sebagai the legend of the future. Kalau tidak dikemas secara menarik, mana ada orang mau nonton Rama-Shinta di kota metropolitan, seperti Jakarta. Itulah suatu bentuk legend entertainment. Dan Gung Ho? Itulah bentuk yang tidak sama, tapi serupa, yaitu management entertainment. Majalah Tempo jadi top pada zamannya bukan hanya karena analisis yang disajikan, melainkan juga karena cara penyajiannya. Moto Tempo, “enak dibaca dan perlu”, sudah mencakup isi dan cara komunikasi. Saya juga selalu menganjurkan kepada Dahlan Iskan dan anggota redaksi Jawa Pos untuk mempertahankan “gaya informal” pada koran nasional yang terbit dari Timur itu. Anda tidak perlu malu menggunakan humor, bahasa “bumi”, dan cerita yang lagi in dalam mengkomunikasikan sesuatu. Apalagi kalau Anda sedang berbicara kepada orang awam yang sangat heterogen. Bahkan para profesor yang punya titel seabreg-abreg di Harvard dan Wharton sekalipun selalu berusaha memberikan presentasi dan membahas kasus di kelas dengan gaya santai, humor, dan memancing tawa para pendengar. Terus
terang,
saya
tertarik
pada
ide
Bung
Harmoko,
yang
mengintensifikasikan gaya komunikasi “sambung rasa” dan acara Kelompencapir, yang
memang cocok dengan pendengarnya. Penyair Rendra juga pernah bicara bahwa kalau ingin sastra lebih dikenal masyarakat, jangan cuma menulis puisi di majalah Horison, tapi tulislah dengan gaya bahasa yang lebih populer di Kompas. Maka, setiap kali saya berbicara dalam sebuah seminar atau menulis untuk suatu media, saya selalu ingat bahwa I am in a science entertainment business. Dan yang penting adalah how to simplify complexities without loosing essentials. Saya menjadi ingat kata-kata Al Ries, associate saya, yang selalu menyatakan: “There are some people who really don`t understand complexities, but they love it.”
HARVARD
HARVARD Business School 1995. Kampus ini tetap anggun seperti tahun lalu, Januari lalu, saya kembali ke sekolah bisnis itu mengikuti seminar tentang Agricultural Products. Terletak di pinggir Sungai Charles, yang memisahkannya dari Harvard Square, kampus itu tampak sedikit arogan. Gedung kuliah utamanya, Aldrich, berwarna batu merah, memancarkan kesan tradisional yang kukuh. Di depan gedung itu terbentang lapangan yang digunakan untuk upacara wisuda setiap tahun. Tahun lalu, saya melihat ada bendera Indonesia berkibar di antara bendera negara-negara lain. Pertanda ada orang Indonesia yang diwisuda waktu itu. Tahun ini, menurut informasi, ada tiga orang Indonesia sedang berjuang di situ untuk mendapatkan gelar MBA. Patut disebut berjuang, karena bukan cuma masuknya yang susah, tapi tiap hari mereka harus membaca, menganalisis, dan mendiskusikan dua atau tiga kasus bisnis yang cukup rumit. Harvard sangat bangga dan percaya bahwa bisnis hanya bisa diajarkan secara maksimal lewat kasus. Maka, para profesornya lantas mendasarkan semua materi yang akan dibahas pada kasus yang ditulis. Mereka sangat ahli dalam penulisan kasus. Tak heran bila setiap kasus Harvard bisa dianalisa dari beberapa sudut konsep bisnis. Wharton, yang tahun lalu dinobatkan Business Week sebagai sekolah bisnis nomor Satu, juga mencampur kuliah dan pembahasan kasus. Tapi, kasus yang dipakai di Wharton pun, hampir semuanya ditulis harvard. Uniknya, walau tidak nomor satu pada pengumpulan pendapat Business Week, Harvard tetap menghasilkan lulusan yang dibayar termahal oleh perusahaan-perusahaan. Banyak mahasiswa Harvard, menurut Business Week, kurang puas akan kelakuan sekolah ini. Pada waktu Wharton dan sekolah lain merombak kurikulum dan cara pengajaran, Harvard tetap ngotot dengan metode kasus. Tapi, pada saat ini, para profesor berusaha unutk menulis kasus-kasus berbeda. Ray Glodberg, profesor senior yang juga koordinator-program yang baru saya ikuti, mengatakan bahwa pada saat ini ia lebih tertarik menulis kasus perusahaan
di luar Amerika Serikat, terutama negara-negara berkembang. Mengapa? “The real business opportunity is there, not in the US,” katanya. Sedangkan Prof. John Quelch, yang pernah memberi seminar tentang Marketing 2000 di Surabaya, juga mengatakan sudah bosan dengan kasus perusahaan besar di Amerika. Program yang baru saya ikuti cukup unik. Belasan kasus yang dibahas baru selesai ditulis akhir 1994. Selain itu, kasus yang dibahas meliputi agricultural industry, mulai bahan mentah, prosesnya, dan packaged food. Tinjauan meliputi semua aspek, mulai dari organisasi, pembelian, pembiayaan, pemasaran, operasi, sampai sumber daya manusia. Sedangkan lokasi kasus tidak berada di Amerika saja, melainkan meliputi Meksiko, Cina, Vietnam, Rusia, dan negara-negara Eropa Timur. Pada setiap pembahasan hadir juga si pelaku yang disebut dalam kasus. Dengan demikian, peserta bisa bertanya langsung tentang fakta maupun informasi yang ada di balik kasus, serta mendapat penjelasan dari tangan pertama tentang rencana selanjutnya dari perusahaan bersangkutan. Asyik bisa mendengar penjelasan dari CEO perusahaan, seperti Conagra, Guinnes, dan Cott. Bahkan Menteri Pertanian Vietnam dan staf kementrian Penerangan Cina ikut hadir di kelas dengan didampingi penerjemah. Juga enterpreneur muda, seperti Paul Harris dan Stefano, yang merintis bisnis makanan di Rusia walau situasi politik di sana belum menentu. “Turmoilis opportunity,” kata mereka di depan kelas. Pada waktu pembukaan, 200 peserta dari 35 negara dihadapkan pada Brian Mulroney, berkas Perdana Menteri Kanada. Ia berusaha membuka wawasan para peserta tentang dampak dari NAFTA, GATT, dan APEC terhadap bisnis. Mulroney percaya bahwa APEC akan jadi kawasan penting kedua setelah NAFTA. Mengapa? Mulroney melihat Masyarakat Eropa punya kesulitan dalam bersatu. Setelah Mulroney, ada empat orang praktisi yang berbicara tentang semakin pentingnya peranan retail dalam bisnis makanan. Selain itu. Juga ada penjelasan tentang Virtual Marketing yang merupakan hasil riset Harvard Strategic Marketing Laboratory. Selesai mengikuti acara itu, saya pikir yang terjadi adalah win-win-win situation. Every body win. Para peserta jelas untung. Sebab, pada program tersebut, terbuka luas untuk tidak hanya mempelajari kasus nyata yang up-to-date , tapi juga untuk menjalin kontak bisnis dengan peserta lain.
Perusahaan atau pemerintah yang dibahas kasusnya juga beruntung. Mereka mendapat masukan dari pihak luar. Slain itu mereka juga menyaksikan langsung analisis tentang perusahaannya dilakukan para profesor bisnis kelas dunia. Bagi Harvard sendiri manfaatnya jelas berlipat ganda. Uang, pasti. Tapi, yang penting, dengan membuat acara semacam itu, kampus jadi tidak “steril”, dan tetap “membumi” dengan kasus-kasus bisnis nyata yang sedang terjadi di seluruh muka bumi. Adapun kekakuan Harvard akan penggunaan kasus, mereka ternyata justru bisa berbuat yang positif untuk semua pihak lewat hal tersebut. “In case method, you are the teacher. We are just facilitator,"”kata mereka. Saya pikir, inilah metode belajar mengajar yang sesungguhnya.
HATI
Bulan lalu, saya diundang PT Berca Handayaperkasa ke Singapura untuk ikut bicara di acara perusahaan ini. Ada sekitar 30 klien penting dari Indonesia yang diundang untuk menghadiri acara ini. Kami diajak berkeliling meninjau salah satu fasilitas produk Hewlett-Packard di Jurong. Selain itu, pada acara ini, juga ada beberapa seminar yang menampilkan pembicara dari Indonesia dan Singapura. Pembicara dari Indonesia,
antara
lain,
saya,
Dorodjatun
Kuntjorojakti,
dan
Menteri
Negara
Kependudukan Haryono Suyono. Saya berbicara tentang peran service sebagai competitive advantage dari sebuah perusahaan, Dorodjatun bicara tentang masalah makro-ekonomi, dan Menteri Haryono,
yang
memberikan
punya
pandangan
pengalaman tentang
panjang
perlunya
di
bidang
teknologi
information-technology,
tersebut,
terutama
dalam
menyukseskan program Keluarga Berencana di Indonesia. Adapun pembicara dari Singapura adalah dua orang profesor pada National University of Singapore, yakni Tan Chin Tiong, yang juga Ketua Singapore Institute of Marketing, dan Wee Chow Hou, ahli ajaran Sun Tzu. Setelah dua hari meninjau pabrik dan mengikuti seminar, para peserta bersama manajemen Berca dan Hewlett-Packard bermain golf sebelum balik ke Jakarta – sebuah acara yang sudah berjalan beberapa tahun sebagai usaha Berca untuk menjalin hubungan dengan para relasinya. Saya ingat, pada waktu masih di Sampoerna, saya pun pernah diminta untuk mewakili acara serupa di Bali. Saya melihat acara ini sebagai pergeseran dari transaction ke relationship. Dalam situasi persaingan bisnis yang semakin tajam, apalagi di bidang informationtechnology yang begitu cepat penggerakannya, maka harus terjadi redefinisi terhadap apa yang disebut salesmanship. Saya tidak percaya bahwa salesmanship tradisional, yang mendasarkan perilaku seorang salesman berdasarkan konsep AIDA, masih akan berlaku.
Seorang prospek tidak akan suka
kalau tahu ada seseorang berusaha
“menjual” sesuatu kepadanya. Ia juga tidak suka melihat dirinya sebagai target market dari sebuah perusahaan. Sejalan dengan itu, seorang prospek juga tidak akan suka kalau ia merasa seorang salesman hanya mengejar sebuah “transaksi”. Selama dua hari di Singapura, saya tidak melihat usaha Berca dan HewlettPackard untuk “menjual” komputer. Mereka hanya berusaha menunjukkan bagaimana para robot “berkeliaran” di pabrik Hewllett-Packard, sehingga bisa menjamin akurasi sebuah pekerjaan. Mereka hanya menunjukkan generasi baru dari produk yang akan diluncurkan, yang akhirnya akan bisa membantu pekerjaan di perusahaan klien mereka. Saya selalu menghubungkan pergeseran yang terjadi dalam salesmanship dengan apa yang terjadi pada competitive setting. Pada saat jumlah kompetitor bertambah banyak, teknologinya bertambah canggih dan punya kapabilitas tinggi, maka pada saat yang sama konsumen akan semakin punya banyak pilihan. Konsumen yang sadar, pintar, dan menguasai informasi akan menyambut pilihan itu dengan melakukan konsiderasi lebih matang terhadap value yang bakal didapat. Usaha penjualan yang cuma menonjolkan feature, bahkan benefit sekalipun, makin lama akan makin kabur. Ajaran salesmanship tradisional – don`t sell features, sell benefit – sudah sulit dijalankan lagi. Mengapa? Keunggulan antara benefit produk kita dibandingkan dengan produk kompetitor yang sering dipakai oleh salesman pun tidak akan banyak gunanya, terutama kalau kelebihan itu sebenarnya tidak dibutuhkan konsumen. Seorang salesman yang hanya “menghafal” daftar features produk yang dijualnya dan berusaha menerjemahkannya menjadi benefit makin tidak akan berhasil. Lantas, orang bicara tentang solution selling. “kita menjual solusi, bukan menjual produk,” katanya. Solusi memang lebih mendingan ketimbang benefit. Mengapa? Benefit, sebagaimana dijelaskan diatas, belum tentu dibutuhkan perusahaan. Seringkali ia cuma bersifat value-added dan bukan value-in-use. Para guru besar harvard Business School sangat suka menekankan perbedaan antara kedua hal itu. Tapi, memberi solusi dalam arti sesungguhnya adalah tidak mudah. Karena Anda harus tahu persis apa yang sebenarnya menjadi bottom-line dari konsumen Anda. Kalau Anda menjual sebuah printer, salah satu features-nya mungkin soal kejelasan dan kecepatannya. Sedangkan benefit-nya mungkin soal dokumen Anda menjadi mudah dibaca dan bisa tersedia tepat pada waktunya. Mencari solusi tidak
hanya berhenti sampai di situ. Anda harus tahu secara spesifik dokumen apa yang akan dicetak, dari program spesifik apa, dan siapa yang menjadi pengguna dokumen tersebut. Tanpa mengetahui hal itu, anda belum disebut memberi solusi. Selain itu, menjual solusi sebenarnya bukan menjual suatu produk atau jasa. Lebih dari itu. Menjual solusi berarti Anda memberi jaminan bahwa output dari produk dan jasa Anda benar-benar persis seperti yang diharapkan. Hal sudah
disebutkan
di
buku-buku
klasik
ini, sebenarnya, kalau mau jujur,
pemasaran.
Cuma,
kita
kurang
memperhatikannya. Lihat saja contoh-contoh berikut: In the factory we make lipstick, in the market we sell hope. In the factory we produce television, in the market we sell family entertainment. Jadi, hasil akhir dari sebuah produk lipstik adalah harapan, dan hasil akhir dari sebuah televisi adalah hiburan keluarga. Kalau kalimat itu dihayati, pasti kita akan sampai pada solusi. Solusi sekarang belum tentu solusi untuk esok pagi. Konsumen berubah, pesaing pun berubah. Karena itu, value bagi konsumen terus-menerus berubah juga. Kalau sudah begitu, kita tidak cukup lagi hanya menjual solusi. Itu berarti kita harus mencari terus perubahan output yang diminta konsumen. Lipstik pada saat ini barangkali bukan hanya untuk menimbulkan harapan saja, tapi juga untuk menimbulkan fantasi, bahkan misteri. Lihat saja, sekarang sudah ada lipstik warna hitam. Televisi tidak hanya untuk hiburan keluarga, tapi bisa untuk saling berkomunikasi timbal-balik lewat sistem multimedia. Kalau sudah begitu apa yang penting sekarang? Relationship. Tanpa relationship, kita tidak bisa mengetahui perubahan yang terjadi pada konsumen kita. Hanya dengan transaksi, kita bisa menjual value yang berubah pada konsumen. Lebih penting lagi, dalam transaksi, kita cuma melakukan penjualan, sedangkan dalam relationship, kita berusaha membantu konsumen menyelesaikan pekerjaannya dengan baik secara terus-menerus. Paling mendasar lagi, transaksi lebih bertumpu pada otak, logika, dan hubungan jangka pendek, sedangkan dalam relationship kita lebih bertumpu pada hati, perusahaan, dan hubungan jangka panjang. Justru pada saat kemajuan yang luar biasa dan information technology yang bertumpu pada otak inilah peranan hati sering di lupakan. Padahal ,hati tetap menjadi kompas dari otak dalam pengambilan keputusan apapun .
TELKOMSEL
Halo…… singapura, Australia, Swiss, Belanda…! Itulah gebrakan Telkomsel dengan
Kartu Halo-nya. Operator GSM kedua di Indonesia itu memang sedang
melakukan roaming international. Dengan memasang iklan ukuran besar di berbagai media visual, Telkomsel seolah ingin menyampaikan “pesan” bahwa SIM-Card mereka tidak cuma bersifat domestik, melainkan sudah mendunia.. Selama ini, gebrakan Telkomsel memang lebih terlihat pada perluasan daerah liputan dalam negeri. Saat ini sudah 16 provinsi dan sekitar 100 kota besar di Indonesia dijangkau oleh Kartu Halo. Telkomsel memang cukup dominan di daerahdaerah, terutama di luar Jakarta. Saya tertarik pada strategi yang dijalankan Telkomsel dalam menghadapi Satelindo. Sebagai operator pertama GSM di Indonesia, Satelindo memang sudah tertancap di benak konsumen, akibat publisitas yang demikian gencar tentang GSM katika AMPS lagi “sakit”. Tidak heran bila Satelindo dengan cepat merebut perhatian konsumen. “Tidak bisa di-cloning, suara lebih jelas karena pakai sistem digital, dan bisa dipakai di luar negeri.” Itulah pesan yang lekat di benak konsumen. Susahnya, orang gampang kecewa, terutama karena harapan yang ada sudah terlalu tinggi pada sistem GSM. Akibatnya, sampai muncul istilah “Geser Sedikit Mati” ketika konsumen menjumpai blank-spot. Nah, pada saat seperti itulah Telkomsel memberi brand pada SIM-Card mereka: Kartu Halo. Dengan demikian, secara tidak langsung, konsumen yang “kesal” pada GSM lantas tertarik pada Kartu Halo. Padahal Kartu Halo juga pakai sistem GSM. Tapi konsumen kan selalu awam. Jadi selalu tidak terlalu mengerti persoalan yang sebenarnya. Selain itu, Telkomsel juga tidak mau langsung ber-head-on dengan Satelindo di Jakarta. Mereka melakukan gerakan flanking dengan menyisir kota-kota lain lebih dahulu. Dengan iklannya yang simpatik, karena melibatkan wanita dengan pakaian tradisional dari seluruh Indonesia, Kartu Halo memang lantas jadi “tambah lain” dari SIM-Card Satelindo, yang terkesan “metropolitan dan internasional”. Berkat strategi itulah Telkomsel dengan kartu Halo mereka, yang terkesan lebih domestik, dengan
cepat berhasil merebut pelanggan di luar kota Jakarta. Belakangan, setelah kuat, Telkomsel juga masuk jakarta. Lantas strategi branding pun dilanjutkan. Lihat saja, Kartu Halo lantas punya berbagai fasilitas yang diberi nama-nama “khusus”, seperti Veronica, Calipso, Smile, Caroline, dan sebagainya. Veronica adalah akronim dari Voice Response and Info Care, yaitu suatu fasilitas yang digunakan untuk memastikan bahwa tidak ada panggilan masuk yang terlewatkan. Calipso akronim dari Calling Line Identifications, yaitu untuk melihat nomor posel pemanggil pada saat menerima panggilan. Sedangkan Smile akronim dari Short Messaging and Info Line, yaitu pesan singkat tertulis yang muncul dilayar posel dengan memencet 111. Dengan memberi nama seperti itu, konsumen lantas jadi punya gambaran bahwa berbagai features tersebut khas Telkomsel. Yang bagus lagi, Telkomsel, yang merupakan pionir penjual SIM-Card, lantas berujar: “Apa pun ponsel Anda, pastikan Kartu Halo di dalamnya.” Nah sekarang dengan iklan “Halo… Singapura, Australia, Swiss, Belanda…!” Telkomsel sebenarnya ingin melakukan repositioning bahwa Kartu Halo sekarang sudah go global. Tentu saja langkah ini bukan cuma untuk mengejar Satelindo, melainkan yang lebih penting lagi adalah merupakan tindakan untuk menyongsong kelahiran Exelcomindo, operator GSM ketiga di Indonesia. Walau baru mulai memasukkan produknya di Jakarta dan Bandung dengan target awal 30.000 pelanggan, Exelcomindo patut diperhitungkan secara serius. Kalau Satelindo kurang bisa “fokus” di GSM karena juga punya bisnis International Direct Dialing dan Satelit Komunikasi, maka Exelcomindo kayaknya bakal jadi pesaing yang cukup potensial. Maka, langkah-langkah yang dilakukan Telkomsel sudah benar.
IV - VALUE
RCTI
Terus terang saya jadi lupa diri ketika nostalgia saya akan lagu-lagu Koes Plus pada 1970-an dibangkitkan kembali oleh anak-anak mereka, yang bergabung di Junior. Saya sampai-sampai ikut berjoget menggoyangkan badan di lapangan rumput Tri Loba Juang, Semarang, Minggu malam pekan lalu. Group musik Junior, yang sekarang lagi beken dengan lagu Bujangan itu, memang sengaja dipasang pada acara akhir, dan ternyata bisa memukau ratusan ribu penonton, yang sudah ada di situ mulai pukul 10.00. Dengan dmikian, acara di semarang tersebut merupakan puncak dari “Mega Bintang” RCTI, menyusul sukses di Surabaya, dan akan terus dilanjutkan ke Bandung dan Medan. Warga Semarang, yang baru saja berpesta rakyat sehari sebelumnya bersama “Semarak Dangdut” TPI, ternyata masih membludak pada acara RCTI tersebut. Kayaknya pesta rakyat punya RCTI ini dirancang secara rapi. Kelihatan ada konsep yang matang di belakangnya. Antara lain acara off the air, yang melibatkan banyak orang itu, diadakan di kota-kota survei SRI. Kecuali di Jakarta, yang disuguhi acara lain, Surabaya, semarang, bandung, dan Medan memang merupakan kota-kota tempat respoden survei tersebut tinggal. Diharapkan bahwa acarayang makan biaya milyaran rupiah tersebut bisa langsung terlihat hasilnya pada survei. Tiap paket acara pada pesta rakyat itu memang disesuaikan dengan paket-paket acara RCTI. Junior, umpamanya, memang beberapa kali iktu mengisi paket “Delta Musik” di RCTI. Kehadiran Junior di lapangan tentu akan memperkuat citra acara musik itu sendiri, dan sekaligus merupakan bukti kerja sama yang erat antara musisi dan stasiun televisi. Sebelum penampilan Junior, saya menyaksikan sebuah minidrama keluarga Si
Doel. Di situ Mas Karyo, Mandra, Zaenab, Sarah, Atun, Mak Nyak, dan Si Doel sendiri memang muncul secara langsung. Mereka melawak, berjoget, dan menyanyi. Paginya mereka bahkan sempat jadi juri sebuah lomba akting mirip bintang. Malamnya, Pepeng, yang jadi MC, mengumumkan para pemenang, yang sekarang sedang berjaya peringkatnya bisa tetap makin bertahan. Soalnya penampilan langsung seperti itu bisa membuat para pemain jadi punya emotional brand. Sebelum pemunculan keluarga Si Doel, juga ada keluarga
Si Manis
Jembatan Ancol lengkap dengan dua “setan”-nya. Juga ada Wiro Sableng, yang naik panggung dengan kostum khasnya. Sedangkan pada acara pagi, keluarga Basho tampil bergantian sebagai pembawa acara. Sebuah lomba masak pun digelar dengan menampilka Rudy Chaerudin sebagain juri. Walikota semarang ikut nimbrung meramaikan suasana. Di panggung yang terbuka hampir non-stop 12 jam juga ada kuis. Tentu saja tujuannya juga untuk menaikkan peringkat dari beberapa kuis andalan RCTI. Jelas bahwa “Mega Bintang” RCTI ini bukan sekedar pesta rakyat, yang ditujukan untuk menghibur rakyat biasa. Unsur hiburan pasti ada, tapi juga sekalian untuk mempertahankan atau bahkan sekalian menaikkan peringkat beberapa program. Mengenai penyelenggaraannya tentu saja beberapa perusahaan yang mendukung acara tertentu di televisi diajak terjun ke lapangan. Dengan demikian ada manfaat ganda di sini. RCTI tidak perlu keluar biaya terlalu gede. Sponsor senang, karena tidak prlu repot-repot bikin acara masal seperti itu. Di Semarang, RCTI juga melibatkan RCT-FM, misalnya, untuk ikut membantu penyelenggaraan, sehingga segala macam keperluan lokal bisa dibantu oleh "“orang lokal". Saya melihat acara ini seperti pedang bermata banyak. Pertama, tujuannya adalah untuk menaikkan peringkat di daerah-daerah yang bisa di survei. Diharapkan perebutan kue iklan dapat dimenangkan secara lebih gampang. Kedua, melalui acara ini bisa dipererat kerja sama para mitra kerja, seperti artis ataupun selbritis lain. Ketiga, acara ini juga memberikan nilai tambah tertentu untuk para pendukung paket-paket program RCTI, sehingga client bonding pasti akan bertambah kuat. Keempat, sekaligus mempererat hubungan dengan para mitra lokal untuk segala macam kerja sama di masa depan, yang bersifat menang-menang. Kelima, merupakan tanggung jawab sosial dari RCTI dengan memberikan hiburan pada masyarakat sebagai good corporate citizen.
Sekali tepuk, beberapa lalat kena.
ERICSSON
Belakangan ini, Ericsson kelihatan ngamuk. Dalam situasi persaingan ponsel (telepon seluler) yang makin sengit, merek asal Swedia ini pasang iklan besar-besaran di mana-mana. Hampir semua media cetak nasional digeber dengan iklan space besar. Model yang dipakai gonta-ganti. Ada lelaki, ada perempuan. Ada yang mengenakan pakaian formal, ada yang informal. Tulisannya “sepi”. Tanpa kompromi! Di media cetak asing, saya juga sering melihat iklan serupa. Cuma tulisannya dalam bahasa Inggris. No compromise! Berbarengan dengan tulisan seperti itu, gambar modelnya selalu pasang “tampang serius”. Di mana-mana saya sering ditanyai orang. Apa maksud iklan seperti itu? Apakah iklan semacam itu bisa efektif? Coba kita analisis tahap demi tahap. Pertama, kelihatan dengan jelas bahwa iklan itu merupakan pelaksanaan dari suatu strategi komunikasi global. Buktinya, kreatif serupa dipakai di mana-mana. Pada saat yang sama, cuma kata-katanya yang diganti. Dengan demikian terlihat bahwa Ericsson berusaha mengukuhkan global positioning. Dimana saja. Brand lain yang melakukan strategi yang sama adalah Marlboro. Di manapun, merek rokok putih itu memakai strategi komunikasi yang sama. Pria macho. Di mana-mana, Marlboro pakai koboi yang sama, situasi negara “antah berantah” Marlboro Country yang sama. Cuma kata-katanya saja yang dilokalkan, bila perlu. Pelokalan koboi Marlboro jadi “jaran kepang” pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Ketika dibuat iklan televisi yang syutingnya dilakukan di gunung Bromo. Tapi kelihatannya Marlboro was-was. Khawatir brand image jadi kacau. Karena itu iklan tersebut tidak diteruskan lagi. Sementara itu McDonald`s dan Coca-Cola kelihatan berusaha keras supaya bisa melokal. Lihat saja bagaimana McDonald`s membuat hot chicken yang dengan jelas menyatakan citarasa Indonesia. Begitu juga dengan Coca-Cola, yang kebetulan punya corporate color merah putih, mengindonesia dengan menggunakan slogan: Always Coca-Cola. Always Indonesia. Terutama pada waktu bangsa Indonesia sedang merayakan hari Kemerdekaan.
Lantas, bagaimana? Kapan harus melokal? Kapan pula harus tetap mengglobal? Hal tersebut bergantung pada strategi dan filosofi korporat masing-masing. Bagi McDonald`s, setiap restorannya di dunia harus bisa melokal. Karena itu setiap franchise harus benar-benar menghayati filosofi McDonald`s – tentang kualitas, pelayanan, kebersihan, dan nilai – melalui sekolah di Hamburger Unversity. Menurut saya, Ericsson yang menjual teknologi canggih dari Eropa kayaknya memang tidak perlu melokal. Pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh katakata “tanpa kompromi” adalah superior quality. Berbagai model yang dipasang tampang serius itu merupakan indikator bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mau kompromi akan kualitas. Sekaligus, iklan tersebut ingin menyatakan bahwa Ericsson selalu juga memberikan produk-produk yang tidak punya kompromi akan kualitas. Dengan begitu, secara tidak langsung, Ericsson sebenarnya ingin menyatakan bahwa poselnya terjamin dari segi kualitas. Tujuannya jelas. Supaya Ericsson bisa get out of the crowd. Kenapa?Kalau pesan iklan yang dikomunikasikan secara bertubi-tubi itu berhasil menembus, lewat, dan bisa nyantol di benak konsumen, maka Ericsson bisa dipersepsi sebagai merek ponsel yang lain dari yang lain. Sebenarnya hampir sama maksudnya dengan slogan Hewlett-Packard yang terkesan sedikit arogan: “Kalau bukan HP pasti printer biasa.” Suatu brand yang tidak berhasil dianggap “lain” dalam arti positif bisa terjebak dalam satu commodity-like industry. Padahal, bagi saya, brand is the first value of marketing. Artinya, kalau Anda tidak pernah bisa membuat sebuah brand jadi different, sebenarnya Anda belum ber-marketing.
IBM
Awal minggu lalu, saya diundang sebagai pembicara pada sesi pertama IBM Expo`96, yang diselenggarakan di Gedung Bapindo, Jakarta. Situasinya hampir sama dengan acara yang diselenggarakan Hewlwtt-Packard di Singapura, beberapa waktu lalu. Seperti di Hewlwtt-Packard, di sini pun semua mitra bisnis IBM diundang ikut berpameran. Ruangan pamer seluas 1.600 meter persegi dibagi menjadi dua bagian. Ruang pertama khusus untuk network, sedangkan ruang kedua untuk solution. Presiden Komisaris PT USI Jaya / IBM, Y.W.Junardy, waktu itu menjelaskan bahwa global network sudah menjadi trend dengan adanya era perdagangan bebas seperti sekarang. Dan IBM siap dengan solusinya. Mengapa? Network kan cuma jaringan. Cuma jalan raya informasi yang merupakan infrastruktur. Bagaimana dengan informasi yang harus dialirkan lewat jaringan itu? Harus aada komputer dengan kemampuan cukup besar, yang bisa menggerakkan informasiinformasi tersebut. Gejalanya, jumlah informasi yang harus diakses melalui komputer makin besar. Atas dasar itu, IBM yakin komputer besar akan merupakan kebutuhan. Ketika itu IBM siap dengan sejumlah solusi. Ada RISC-600 untuk mereka yang mau open-system. Ada AS-400 untuk mereka yang mau praktis, Ada main frame untuk mereka yang mau kecanggihan. Itulah sebabnya Lou Gertsner, Chairman dan Chief Executive Officer IBM, beberapa waktu lalu mengatakan di Majalah Fortune bahwa main-frame akan hidup kembali. Dan di main-frame, IBM dipersepsi konsumen sebagai jagonya. Komputer, yang dulu merupakan sentral seluruh jaringan informasi, sekarang memang telah berubah peran. Pada saat ini jaringan informasi berpusat pada “jaringan”, karena itu komputer harus bisa menjadi server yang baik. Artinya? Server itu harus bisa diandalkan dalam menyimpan, mengolah, ataupun menggerakkan informasi melalui jaringan yang ada. Tentang besarnya bergantung pada kebutuhan. Maka IBM tampil dengan bebrapa pilihan solusi. Dulu IBM pernah disebut sebagai The Snow White – Putri Salju yang sangat cantik. Pesaing mereka kayak tujuh orang cebol dalam dongeng tersebut. Bahkan jumlah omset penjualan ketujuh pesaing terdekat itupun masih lebih kecil dari omset IBM.
Ketika itu nama IBM melekat dengan pelayanan. IBM means service. Begitu kuatnya citra produk IBM di mata konsumen, sehingga mereka merasa tidak perlu bicara lagi tentang produk. Cerita bagaimana petugas pelayanan IBM mendaki tangga puluhan lantai di salah satu pencakar langit di New York, pada waktu listrik mati, masih diingat orang sampai sekarang. Tapi kata pelayanan itu mendadak tidak ada artinya lagi, ketika prosuk mereka dianggap kurang relevan. Teknologi komputer dan telekomunikasi yang begitu cepat berkembang mnyebabkan para pesaing IBM akhirnya berhasil mengubah rule of the game dari industri informasi. Memang itulah yang harus dilakukan perusahaan-perusahaan baru dalam suatu industri. Kalau tidak, mereka akan tetap menjadi pengekor IBM. Setelah aturan main dijungkirbalikkan, terjadilah sesuatu yang tidak pernah dibayangkan pada masa jaya IBM. Piranti lunak mendominasi piranti keras. Internet menjadi poros utama jalan raya informasi. Mikroposesor minta dihargai sebagai “otak” sebuah komputer. IBM, yang dulu punya brand-equity sangat kuat, memang harus cari akal supaya bisa revival. Apa itu? Tidak mengaitkan diri lagi dngan pelayanan, tapi dengan solusi. Karena itu slogan mereka sekarang adalah Solution to a Small Planet. Repositioning ini ternyata memang meghasilkan perbaikan kinerja IBM di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perubahan strategi ini diyakini mereka akan mampu mengangkat kembali citra IBM ke suatu tempat terhormat. Pelajarannya? Pertama, ketika berada di puncak gunung, Anda harus tetap waspada akan serangan musuh. Anda tidak boleh terlalu percaya diri bahwa kondisi status quo tidak mungkin kembali. Kedua, waspada terhadap musuh yang berusaha mengubah aturan main. Mereka jangan dianggap remeh, karena sekali berhasil, keunggulan Anda selama beberapa waktu lalu akan langsung terdiskon. Ketiga, kalau nama Anda tidak pernah rusak, Anda punya kesempatan besar untuk membangun kembali dengan citra baru.
PLANET HOLLYWOOD
Minggu malam, dua pekan lalu, George Street di Sydney ditutup total. Di situ ada panggung besar didirikan melintang jalan. Lampu spot dan kotak pengeras suara berukuran raksasa bertebaran di atap bangunan di sepanjang jalan tersebut.Ada apa? Malam itu sebuah restoran dibuka dengan upacara besar, dan banyak selebriti datang. Ada Sylvester Stallone, ada Van Damme, dan juga ada Demi Moore. Restoran apalagi yang dibuka kalau bukan Planet Hollywood. Ketika saya tiba di tempat itu, setelah menghadiri pembukaan pertemuan Asia Pacific Marketing Federation di Sydney Boulevard Hotel, semua hura-hura tersebut sudah selesai. Tapi masih ada ratusa orang, kebanyakan remaja,yang berdiri di pinggir jalan. Padahal suhu udara cukup dingin. Maklum, musim dingin sudah mulai. Mereka bertahan di situ sekedar untuk menunggu selebriti yang akan datang. Planet Hollywood memang hebat. Ketika masih dalam penerbangan Jakarta-Sydney, Dyah Margono dari Disney Company, jakarta, yang kebetulan satu pesawat dengan saya, sudah mengetahui akan acara pembukaan tersebut. Bayangkan! Pembukaan sebuah restoran di sebuah kota bisa menarik perhatian orang dari luar negeri. Planet Hollywood memang bukan sebuah restoran biasa, walaupun tidak ada yang terlalu luar biasa dalam daftar menunya. Planet Hollywood sudah jadi sebuah brand yang punya identitas sendiri. Namanya sendiri sudah berbicara. Hollywood menimbulkan asosiasi dengan para bintang film. Sedangkan Planet memberikan asosiasi akan ruang angkasa. Dengan demikian, secara tidak langsung, kata ini juga memberikan asosiasi masa depan. Kombinasi dua kata, Planet Holllywood, akhirnya menghasilkan suatu brand image tersendiri. Suatu gaya hidup selebriti di masa depan. Itulah perlunya memiliki warna yang “pas” dengan positioning yang mau dijadikan strategi pemasaran. Namun positioning yang dituju tidak bisa begitu saja diraih. Pemilihan nama yang pas memang akan lebih mudah dalam pembentukan identitas tertentu. Tapi semua aktifitas lain harus ditujukan ke suatu arah secara terfokus. Maka, ada barang-barang yang pernah dipakai para selebriti dipajang di Planet Hollywood. Walaupun paling-paling cuma melihat satu kali, para tamu merasa
seolah-olah sedang makan dan minum di “puri para selebriti di masa depan”. Karena itu pula selalu ada pemutaran potongan film yang dibintangi para selebriti tersebut. Begitu juga dengan pakaian seragam para stafnya. Semua itu diatur sedemikian rupa sehingga “memperkuat” pembentukan identitas yang ingin dituju. Orang sering mengira bahwa positioning cuma hasil dari aktivitas komunikasi pemasaran, terutama periklanan. Sebenarnya bukan. Iklan akan membantu supaya positioning yang akan dituju bisa “masuk” ke dalam benak konsumen. Tapi masih banyak aspek yang juga mengkomunikasikan sesuatu. Mulai dari desain produk, harga, lokasi penjualan, aktivitas PR, kualitas pelayanan, desain interior, sampai ke packaging akan sangat mempengaruhi pembentukan identitas, yang pada akhirnya akan menghasilkan persepsi ke suatu positioning tertentu. Pengumpulan massa, seperti pada setiap pembukaan Planet Hollywood, yang sampai menutup jalan, bisa menimbulkan berita dari mulut ke mulut yang menguntungkan. Bahkan dampaknya tidak akan berhenti ketika pengunjung sudah sepi kembali. Akan terjadi talk of the town, yang makin diperkuat denganpublisitas lewat media massa. Selain itu, kalau cerita seperti tersebut bisa melegenda, akan memberikan dampak sinergi pada waktu Planet Hollywood dibuka di tempat lain. Semua itu sekali lagi untuk memperkuat pembentukan brand identity, yang menurut David Aaker, merupakan “inti” dari pembentukan brand equity. Lho kok bisa? Sebuah brand yang banyak dikenal orang tidak berguna kalau tidak punya identitas yang jelas. Bisa-bisa cuma hasil dari pembuangan uang secara ngawur. Suatu identitas yang jelas, tepat, dan unggul dibandingkan dengan pesaing akan menghasilkan suatu perceived quality yang, jika dipertahankan terus, bisa menghasilkan suatu brand loyalty. Itulah keampuhan suatu brand identity.
CINDY CRAWFORD
Anda sudah nonton film Fair Game? Kalau belum, saya anjurkan untuk menontonnya. Di film itu Anda akan melihat bagaimana Cindy Crawford “berhasil” memperkuat jati dirinya, yang sudah terbentuk selama ini. Ia mungkin saja tidak mendapat penghargaan apapun dari film ini. Apalagi ini adalah filmnya yang pertama. Tapi, yang pasti, Cindy makin memperkukuh jati dirinya sebagai model yang sensual. Selain itu, lewat
Fair Game, Cindy berhasil menjadi salah satu simbol
wanita independen yang liat. Hampir setiap orang yang saya tanya tentang apa yang terlintas dalam pikiran mereka kalau ingat Cindy Crawford, selalu menjawab: bibir yang sensual dan ada tahi lalat di bagian kiri bibir atas. Bibir Cindy yang selalu merekah dan menantang itu memang sering membuat orang jadi penasaran. Dulu orang melihat Cindy lewat foto-fotonya yang menggoda, tapi semua itu cuma “gambar mati” yang kurang bisa mengkomunikasikan kepribadiannya. Maka, langkah Cindy untuk masuk ke film sangat tepat, walaupun penuh risiko. Mengapa? Tidak semua foto model bisa berakting. Kalau Cindy gagal dalam film pertamanya, maka citra yang sudah dipunyai sekarang paling tidak akan tercemar. Ternyata Cindy cukup berhasil. Sebagai pemula, aktingnya tidak jelek. Di samping itu, di Fair Game, dia mendapat peran sebagai seorang pengacara, sebuah profesi yang sangat terhormat di Amerika. Apalagi peran pengacara yang dilakonimya bukan sosok pengacara yang berani ambil risiko atas jabatannya. Adegan seks? Ada, dan bukan cuma sebagai bumbu tambahan dari film. Adegan “panas” yang dilakukannya bersama Michael Baldwin di kereta yang melaju kencang itu menunjukkan bahwa Cindy bukan memerankan seorang wanita yang romantis. Ia lebih sebagai wanita independen yang liat. Siapa yang diuntungkan dengan “keberhasilan” Cindy Crawford dalam Fair Game? Tentu saja bukan cuma dirinya sendiri, melainkan juga produk kosmetik Revlon. Kosmetik ini sudah lama mempertaruhkan nasibnya dengan menggunakan Cindy Crawford sebagai model. Terjunnya Cindy di layar putih merupakan sebuah kesempatan dan sekaligus ancaman bagi mereka.
Mengenai kesempatannya, Revlon bisa lebih cepat dikenal dan dihubungkan dengan kesuksesan Cindy. Sedangkan ancamannya, kalau suatu ketika karier Cindy sebagai bintang film jatuh, dampaknya bisa memperjelek citra Revlon sebagai produk. Perceraian Cindy dengan Richard Gere, secara pribadi, mungkin sangat menyedihkan. Tapi, secara bisnis, justru lebih menguntungkan. Sebab dengan demikian Cindy dipersepsi sebagai wanita lajang lagi. Apalagi, setelah sukses dengan Fair Game, citra yang sudah terbentuk lewat “gambar mati” kini lebih kuat dengan “gambar hidup”. Saya berpendapat bahwa perannya sebagai pengacara independen dalam Fair Game cukup baik untuk penguatan citra Cindy berikutnya. Anda tahu Sharon Stone, bukan? Dia mulai top lewat film Basic Instinc. Lantas muncul film sejenis, Silver dan Specialist, yang keduanya tidak terlalu sukses. Tapi ketiga film Sharon Stone itu punya benang merah, yaitu pembentukan dan penguatan citra Sharon Stone sebagai simbol seks di Hollywood. Demi Moore, walaupun sering difoto telanjang dan berani beradegan “panas” di film, punya citra yang lain. Ia sering dianggap sebagai wanita yang seksi, tapi romantis. Ini mungkin karena persepsi orang banyak dipengaruhi perannya dalam Ghost, yang sukses itu. Walau Demi kemudian menjual diri dalam Indecent Proposal, dan berselingkuh dengan pendeta dalam Scarlett Letter, penggemarnya masih menganggap Demi Moore sebagai simbol wanita romantis. Terus terang saya kecewa, ketika melihat Sharon Stone bermain sebagai istri yang baik dalam film Intersection. Menurut saya, inilah contoh repositioning yang salah. Film itu tidak makin memperkukuh citra Sharon sebagai simbol seks, malah merusaknya. Kalau hal yang sama terjadi pada Cindy Crawford, barangkali Revlon akan menghentikan kontraknya. Soalnya, repositioning Cindy Crawford pribadi akan mempengaruhi pula brand positioning Revlon.
SONY
Ada yang menarik dari survei merek terpopuler 1995, yang hasilnya diumumkan dalam edisi perdana 1996 majalah Swa. Survei yang dilakukan perusahaan MarkPlus itu bertanya kepada 2.000 responden di lima kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan), dan bukan cuma mencari merek populer secara umum, melainkan juga top of mind yang terjadi pada 19 kategori produk di Indonesia. Merek (brand) yang populer secara umum, tapi tidak punya asosiasi kuat dengan suatu kategori produk, kemungkinan bisa terjerumus menjadi nama generik. Selain itu merek tersebut kurang punya kemungkinan untuk dikaitkan dengan kategori produk lain. Supaya bisa seperti itu, harus ditimbulkan asosiasi nonkategori produk. Yang menarik dari hasil survei ini adalah kekuatan luar biasa merek Sony di Indonesia. Sony, yang bukan nama Jepan dan tidak berasal dari bahasa mana pun, ternyata berhasil menang mutlak. Sony menjadi juara umum untuk tiga kategori pertanyaan, yakni ketika responden ditanyai merek apa yang paling dikenal, lalu soal merek televisi, dan merek apa yang dianggap paling berkualitas. Tidak ada merek lain dari 19 kategori produk yang ditanyakan mempunyai prestasi seperti itu. Ini berarti, masyarakat Indonesia pada umumnya bukan sekedar mengenal nama Sony, melainkan juga langsung mempertimbangkannya ketika mereka tiba waktunya untuk membeli sebuah pesawat televisi. Disamping itu, konsumen juga menganggap produk-produk elektronik lain yang memakai label Sony punya mutu tinggi. Adapun merek-merek lain yang berhasil menjadi top of mind dan number one in perceived quality pada beberapa kategori produk adalah Honda, Rinso, Bimoli, Indomie, Coca-Cola, Aqua, Garuda, RCTI, dan Decolgen. Kesembilan merek ini berhasil menjadi “juara ganda”, bukan di kategori umum. Honda adalah merek yang paling diingat ketika orang ditanyai tentang sepeda motor. Selain itu, Honda juga dianggap sebagai sepeda motor paling berkualitas. Begitu juga dengan merek-merek lainnya. Korelasi hasil survei ini dengan kenyataan market share yang ada terlihat nyata. Pada semua kategori produk, ternyata semua merek tersebut memang cukup berjaya. Bukan cuma dalam volume penjualan, melainkan bisa juga dalam profit margin. Mengapa? “Diingat pertama” erat kaitannya dengan kemungkinan dibeli. Sedangkan
“dipersepsi sebagai berkualitas” merupakan indikator bahwa pembeli bersedia membayar lebih mahal untuk produk tersebut. Sementara itu merek Kijang, Sunsilk, Kapal Api, Viva, Kentucky Fried Chicken, Sugus, Roma, dan Komix menang di top of mind pada tiap-tiap kategori. Sedang perceived quality dari tiap-tiap kategori tersebut dipegang oleh Mercedez, Organics, Nescafe, Revlon, McDonald`s, Frozz, Good Times, dan Vicks Formula. Ini berarti, merek-merek pada deretan pertama boleh jadi mencetak volume penjualan cukup besar. Tapi margin penjualan yang lebih besar dinikmati merekmerek pada deretan kedua. Saya ngotot untuk melakukan pelaksanaan survei merek terpopuler ini di Indonesia, karena yakin bahwa brand merupakan “sila pertama” dari “trisila” orang pemasaran. Dua sila yang lain adalah service dan process. Kalau sebuah perusahaan mengabaikan brand, maka perusahaan tersebut bukan the real marketing company. Padahal itulah satu-satunya sosok perusahaan yang bisa bertahan dalam situasi persaingan yang makin kompetitif dalam era globalisasi ini.
PELANGGAN BUKAN RAJA LAGI
Sejak konsep kepuasan pelanggan (customer satisfaction) jadi populer, makin banyak orang bingung. Setiap kali saya diundang berbicara tntang hal ini selalu banyak pertanyaan : Mengapa ? Hampir setiap orang punya persepsi berbeda tentang kepuasan. Sampai di mana orang harus dipuaskan ? karena itu, walau sebuah perusahaan suka berslogan customer is the king, sering “mundur” ketika sudah tiba pada implementasi. Sebenarnya harus dibedakan antara konsep “kepuasan pelanggan” dan konsep “pelanggan adalah raja”. Valarie Zeithaml dalam bukunya, Delivering Quality Service, menerangkan bahwa seorang pelanggan merasa puas atau tidak puas tergantung dari gap yang terjadi antara tingkat harapan (expectation) dan tingkat persepsi (perception). Seorang pelanggan bisa punya tingkat harapan tinggi kalau dia mempunyai kebutuhan yang pribadi (personal need), punya pengalaman sebelumnya (past experience), atau dengar dari orang lain (word of mouth). Tapi seorang pelanggan juga bisa punya harapan melambung, karena janji lewat komunikasi (external communication). Zeithaml berpendapat, kalu tiga halpertama merupakan tanggung jawab pelanggan, maka faktor keempat harus dikontrol perusahaan. Begitu seriusnya masalah “janji” dan “harapan” sampai perusahaan Auto 2000 berkata : “Kami memberikan bukti bukan janji”. Mengapa ? Auto 2000 ingin membuat dirinya berbeda dari perusahaan lain yang dianggapnya cuma mengumbar janji. Meletakkan tingkat harapan pelanggan pada proporsi yang sebenarnya adalah tugas awal. Selanjutnya, perusahaan harus berusaha memenuhi bahkan melampauinya. Kalau terjadi gap negatif – dalam arti tingkat persepsi lebih rendah dari tingkat harapan – maka pelanggan akan kecewa (dissatisfied). Sebuah bank yang tiba-tiba menyediakan buah segar dan ice cream pada suatu hari yang panas untuk para nasabah bisa menimbulkan gap positif. Mengapa ? Karena pelanggan tidak pernah berharap akan hal tersebut sebelumnya. Itulah yang disebut usaha delighting the customer. Perusahaan yang mampu melebihi tingkat harapan konsumen akan sangat memuaskan pelanggannya.
Itulah inti konsep customer satisfaction, yang sebenarnya tidak sama dengan konsep customer is the king. Singapore Airlines, yang terkenal akan servisnya dan jadi contoh dari perusahaan penerbangan lain, tidak percaya pelanggan adalah raja. Pada waktu mengunjungi Singapore Airlines Quality Centre, di Sembawang, Singapura, saya mendengar langung pernyataan itu dari eksekutif pusat pelatihan yang dibangun Singapore Airlines dan National Productivity Board tersebut. “Customer is not the king anymore. Because they are not always right. They might be wrong. However, they are important to us.”
Raja tidak bisa
salah, tapi
pelanggan bisa salah. Itulah bedanya. Masalah salah dan benar sebetulnya juga tidak absolut. Merajakan pelanggan berarti Anda harus memberikan pelayanan apapun, tanpa melihat siapa salah dan siapa benar. Ini berbahaya dan bukan yang dimaksud dalam konsep kepuasan pelanggan. Kalau Anda tidak pernah melakukan sesuatu, maka Anda tidak pernah salah. Walau ini safe, tidak ada orang yang mau datang ke Anda. Jadi Anda harus tetap memasang “janji”. Bahkan “janji” itu harus berbeda dengan yang dibuat pesaing Anda. Buatlah proporsional – dalam arti jangan terlalu rendah, tapi juga jangan terlalu tinggi, sehingga Anda tidak bisa memenuhinya. Kalau pada suatu ketika pelanggan marah karena kecewa, tugas pertama Anda adalah mendengarkan keluhannya. Dengarkan baik-baik, jangan membantah dulu ! Listening is powerful. Hanya lewat cara itulah Anda akhirnya tahu bahwa kekecewaan pelanggan tersebut sebenarnya terjadi karena kesalahan Anda atau kesalahan diri sendiri ! Kalau anda memang salah, dalam arti tidak memenuhi janji, maka Anda harus secepat kilat melakukannya sejauh mana usaha recovery. Tapi kalu pelanggan yang salah, Karena menagih susuatu yang tidak pernah Anda janjikan, tugas anda adalah menjelaskannya sesara baik-baik duduk perkaranya. Anda tidak perlu minta maaf karena Anda tidak bersalah. Permintaan maaf tidak pada tempatnya akan membuat Anda jadi seolah-olah “bersalah”. Tapi lakukan semua penjelasan dengan sopan dan baik, usahakan supaya dia mengerti bahwa kesalahan itu sebenarnya bukan dari anda. John Goodman dari Technical Assistant Research Program (TARP) punya artikel menarik tentang hal ini : Fix the customer, don’t fix the product. Dalam artikel itu, tokoh kepuasan
pelanggan yang kondang di Amerika tersebut menyatakan Anda mesti
melakukan usaha-usaha untuk melaksanakan customer-education supaya pelanggan tidak salah mengerti. Beri pendidikan lewat penjelasan yang ada di tabel, buku instruksi,
atau bahkan lewat telepon bebas biaya, seperti 1-800, yang terkenal di Amerika. Hal itu akan mengurangi kesalahpahaman sang “Raja”. Jealas sudah bahwa “memuaskan pelanggan” tidak harus “merajakan pelanggan”.
SETAN MILAN
Baru dua bulan lalu saya merasa begitu gembira. Betapa tidak. Saya menemukan dasi Giani Versace di Trump Plaza, New York, dengan harga cuma US$ 95. Waktu itu, saya merasa menang. Bayangkan. Walaupun tidak “ahli” , dan juga tidak sering belanja, saya bisa membeli dasi yang sudah lama saya impikan itu dengan harga miring. Soalnya, saya pernah membeli dasi Ferre di Sogo, Plaza Indonesia, Jakarta, dengan harga Rp.400.000. Pada waktu nama Giani Versace naik daun, sebenarnya saya sudah sangat ingin punya dasi merek tersebut. Maklum, bagi laki-laki dasi, dasi merupakan salah satu alat utama untuk bergaya. Saya cukup terkejut, ketika saya melihat dasi Giani cuma dijual Rp 198.000 di Pondok Indah Mall, Jakarta. Saya masih berusaha menghibur diri dengan beranggapan bahwa perbedaan desain mungkin akan mengakibatkan perbedaan harga. Tapi betapa kecewanya saya, ketika Melati Djunaedi, yang kebetulan berada di situ, menjelaskan bahwa semua dasi Giani hampir sama harganya. Eksekutif kelompok PSP yang bertanggung jawab atas sembilan branded good itu berusaha menjelaskan mengapa barang yang sama bisa mempunyai harga lebih mahal di New York. Padahal, New York itu lebih dekat ke Eropa dibandingkan dengan ke Jakarta. Menurut Melati, merek Giani Versace ini memang luar biasa. Bisa dibilang lain dari yang lain. Padahal, logonya menggambarkan seorang dewi Yunani kuno bersama Medusa.Dia terlibat peperangan dengan seorang dewa. Karena itu, kepala Medusa penuh dengan ular berbisa. Aneh, memang. Gambar kepala perempuan berular kok digandrungi banyak orang di seluruh dunia. Tapi, itulah kenyataannya. Giani Versace sangat berhasil dalam memasarkan logo ini. Berbekal logo itu, dia bisa dipersepsi punya nilai lebih tinggi. Lihat saja, seluruh branded good Giani Versace selalu menggunakan logo Medusa dalam berbagai versi. Melati menyebutnya sebagai setan dari Milan. Mengapa? Di Eropa, logo ini membuat semua lelaki atau perempuan,nenek-nenek,orang dewasa, remaja, bahkan bayi pun jadi “kesetanan” dibuatnya.
Giani could be a part of you or the mirror of you. Dia bisa jadi sebagian dari pribadi Anda, atau gambaran keseluruhan dari Anda. Merek ini tidak seperti Chanel, yang juga pernah tenar sebelumnya. Chanel berkesan aristokrat. Sehingga, target marketnya jadi lebih terbatas. Sedangkan Giani mempunyai kesan lebih sensual. Pada saat ini, trend mode tidak ditentukan oleh Paris daja seperti dulu. Tapi juga ada Milan, London dan New York, yang harus diperhitungkan. Tidak seperti Chanel yang begitu arogan, sampai sekarangpun belum terpikir untuk membuka butik resminya di Jakarta, Giani Versace lebih membumi. Dia masuk dengan cepat ke kota-kota besar di seluruh dunia. Untuk Jakarta yang perlu dukungan, Giani Versace bisa memberi harga khusus supaya bisa lebih affordable. Itulah yang menyebabkan harga Jakarta bisa lebih murah ketimbang New York. Tapi sebenarnya ada hal lain yang lebih menarik. Bagi saya, merek merupakan hal paling penting bagi sebuah marketing company. Kalau perusahaan itu belum perduli akan merek, maka perusahaan itu baru berbisnis sebuah komoditas. Karena itu, cuma bisa berperang harga. Sebuah merek, misalnya Giani Versace, yang diabadikan lewat gambar Dewi Medusa, punya equity yang sulit diukur. Banyak gaun wanitanya yang sebenarnya terbuat dari bahan dan menggunakan model yang tidak banyak berbeda, tapi jadi lain dan bisa dijual dengan harga tinggi karena ditempeli logo si Setan Milan itu. Dalam bahasa marketing, brand seperti itu lebih merupakan aset daripada liability. Dengan demikian, brand-equity-nya positif. Ini cuma meninjau konsep akutansi yang mengatakan bahwa equity adalah selisih antara aset dan liability. Merek seperti itu bisa menghasilkan lebih banyak keuntungan, karena konsumen akan membeli lebih sering, dengan harga lebih tinggi, bahkan mau menjadi extendedsalesman secara sukarela. Saya jadi ingat David Aaker yang berteori tentang brand-equity. Dia mengatakan bahwa sebuah merek akan merupakan equity bagi sebuah perusahaan, kalau diketahui banyak orang (brand awareness), diasosiasikan dengan suatu konsep tertentu (brand assosiation), dipersepsi punya kwalitas unggul (perceived quality), dan dipatenkan serta di dukung oleh para pengecer. Di samping semua itu, masih ada satu sinyal lagi supaya sebuah merek benarbenar bisa dianggap punya equity yang kuat. Yaitu, banyak orang yang sudah fanatik padanya (brand-loyalty)
Susahnya, saya termasuk salah seorang “loyalis”. Jadi, walaupun harganya agak kemahalan sedikit di New York, sayapun oke. Apalagi, perasaan belanja di Trump Plaza Fifth Avenue juga sudah memberi nilai tambah tersendiri.
HARGA
Los Angeles, 4 Januari 1995, pukul 07.40 waktu Pasifik. Pesawat Delta Airlines dengan nomor penerbangan DL-1982 lepas landas dari Bandara Internasional Los Aangeles dengan tujuan Bandara John F. Kennedy, New York. Sya berada dalam pener- bangan di rute paling sibuk di Amerika itu. Sebagaimana biasanya, rute LAX-JFK ini selalu penuh dengan para eksekutif, karena Los Angeles dan New York merupakan dua kota besar di Amerika. Selama penerbangan hampir lima jam itu ada berbagai aktifitas yang mereka lakukan. Ada yang menekuni laporan dalam arsip-arsip yang dibawa. Ada yang asyik dengan daftar dan analisis harga saham di Bursa Efek New York. Ada pula yang cuma main golf dilayar komputer lap-top. Walau berbeda-beda, mereka sama. Mereka bepergian untuk keperluan bisnis. Karena itu, Delta juga menyediakan pelayanan yang cocok untuk mereka. Mulai dari film yang diputar, makanan yang disajikan, semuanya khusus dipaket untuk mereka. Semua berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Hanya ada satu yang berbeda: harga tiket yang mereka bayar. Saya sendiri tidak tahu persis berapa harga tiket Los Angeles-New York karena saya membeli sebuah “paket” perjalanan dari Jakarta-Los Angeles-New York-Boston-Seoul-Singapura-Jakarta. Hasimoto-san, orang Jepang yang duduk bersebelahan degan saya, juga tidak tahu persis harga tiketnya. Sekretarisnya mengatur semuanya untuk dia. Tapi dia tahu bahwa kantornya pasti mendapat harga khusus. Mengapa? Travel operator di Los Angeles, yang biasa mengatur perjalanan bisnisnya, selalu memberi potongan khusus. Mary Taylor, eksekutif wanita yang duduk di depan saya, juga mengatakan bahwa dia membeli tiket sebelum tahun baru tiba. Waktu itu ada harga khusus dari Delta. Hanya saja, pembayarannya harus dilakukan pada saat itu juga, walau perjalanan baru dilakukan pada 1995. Saya yakin, kalau ditanya satu per satu, bisa jadi tiap orang membayar harga yang berbeda. Padahal, pelayanan yang diterima sama. Begitu juga ketika check-in di Grand Hyatt, New York, saya yakin harga kamar saya tidak sama dengan yang dibayar orang lain, sekalipun kami sama-sama check-in pada satu hotel. Untuk sebuah kamar yang persis sama, harga yang dibayar bisa
berbeda. Ada tarif resmi, tarif khusus, tarif perusahaan, tarif akhir pekan, dan sebagainya. Mengapa? Dewasa ini,persaingan sudah bersifat mulltidimensi. Harga memang masih cukup penting. Tapi bukan satu-satunya. Variabel ini justru menjadi tidak “bebas” lagi karena dipengaruhi oleh berbagai hal. Maka, harga bisa berbeda untuk pelanggan yang berbeda pula. Harga yang murah untuk semua orang belum tentu meningkatkan kuantitas barang yang terjual, sebagaimana dijelaskan hukum penawaran-permintaan. Sebaliknya, harga di atas rata-rata untuk semua orang juga belum tentu bisa menaikkan citra suatu produk di mata pembeli. Sekarang ini harga ditentukan oleh nilai-nilai yang dipersepsi ataupun dipunyai masing-masing pembeli. Seorang pembeli yang punya hubungan jangka panjang, dan telah memberikan banyak omset di masa lalu, bisa jadi harus lebih dihargai dibandingkan dengan pembeli lain. Tidak mengherankan bila banyak perusahaan penerbangan yang menggunakan mileage-program. Lewat program itu, perusahaan tersebut ingin menghargai hubungan yang sudah ada. Maka, dirancang penghargaan khusus untuk pelanggan setia. Dengan program semacam itu, kedua belah pihak, baik service provider maupun customer, merasa mendapatkan nilai tinggi dari hubungan yang mereka pelihara selama ini. Nilai seorang pembeli juga akan naik bila dia membantu “menjual” produk tersebut kepada orang lain. Sebab itu, ada semacam program member-get-member, yang memberi keistimewaan khusus kepada seorang anggota yang bisa membawa anggota lain. Begitu juga dengan makin rumitnya saluran distribusi, ada yang panjang, pendek, bahkan langsung. Saat ini, misalnya, orang tidak bisa protes pada sebuah supermarket yang menjual produk sama dengan harga
lebih mahal dibandingkan
dengan sebuah ware-house-store. Soalnya, ada nilai yang tidak sama pada produk yang sama. Saatini, justru perusahaan yang bisa menjual produknya dengan harga berbeda untuk pelanggannya akan memenangkan persaingan. Mengapa? Bisnis sudah bergeser sangat jauh: dari mass-marketing, yang menggunakan harga sama untuk semua orang, menuju individualised-marketing, yang menggunakan harga berbeda untuk setiap orang. Setiap konsumen ingin dihargai sendiri-sendiri. Setiap orang punya persepsi sendiri terhadap produk yang dibelinya. Setiap orang punya formula sendiri sebelum memberikan penilaian pada sebuah produk. Karena itu, setiap orang tidak mau diperlakukan sama rata.
Di sisi lain, setiap perusahaan juga tidak perlu memperlakukan mereka sama rata. Ada situasi yang secara kontekstual harus memperhatikan banyak dimensi sebelum nilai seorang pelanggan bisa ditentukan. Baru setelah itu, harga bisa ditentukan. Tidak gampang memang. Tapi itulah persaingan menjelang tahun 2000.
NEW YORK, NEW YORK
Bagi kebanyakan orang Indonesia, Amerika Serikat adalah LA(Los Angeles), yang sering dipelesetkan sebagai Lenteng Agung. Mengapa? Sedikitnya ada tiga sebab : Pertama, LA berada di California, yang letaknya paling dekat dengan Indonesia. Kedua, LA tidak punya salju. Pada musim dingin, di malam hari sekalipun, temperatur jarang turun sampai nol derajat celcius. Tidak mengherankan bila banyak orang Indonesia betah keluyuran bahkan tinggal di situ. Ketiga, banyak sekali orang Indonesia yang punya anak sekolah di sana. Walau sebenarnya sebagian besar mereka justru tinggal di luar LA, kalau masih di Orange Country atau san Benerdino Country, orang Indonesia masih menyebutnya sebagai LA. Orang Indonesia menyenangi California karena banyak tempat hiburan. Di sana ada Disneyland, Knott Bervy Farm, Sea World, dan sebagainya. Hollywood juga ada di situ. Selain itu, shopping-mall besar, seperti South Cornt Plaza dan Fashion Island, merupakan tempat favorit bagi ibu-ibu Indonesia untuk berbelanja. Itu pula sebabnya, mengapa Pondok Indah Mall di Jakarta Selatan, yang dibangun model shopping-mall di California, cukup sukses. Maklum, begitu melihat desain interior maupun eksterior Pondok Indah Mall, orang-orang Indonesia yang pernah studi, berkunjung, atau cuma pernah lihat film tentang California, jadi nostalgia. Dulu, saya juga sempat gandrung pada California. Apalagi di sana saya punya kesempatan untuk bertemu dengan bekas siswa ketika masih jadi guru di SMA dulu. Belakangan ini, saya jadi kurang suka pergi ke LA. Itu terjadi justru setelah anak saya, Michael, menyelesaikan SLTA di California, dan sekarang masuk University of Texas, Austin. Dalam dua tahun terakhir ini, saya sudah tiga kali mengunjungi New York City, dan semakin gandrung saja dengan kota metropolitan itu. Beberapa tahun lalu, ketika saya pertama kali mengunjungi kota ini, persepsi terhadap New York sangat jelek. Bayangkan: baru check-in di hotel, langsung melihat dengan mata kepala sendiri, polisi
New York sedang mengejar seorang bajingan. Di jalan jalan saya pernah melihat kaca mobil yang pecah dan tape recorder-nya hilang. Waktu itu, saya dan istri tidak berani
keluar dari hotel. Maklum, pemandu
perjalanan selalu mengingatkan akan bahaya yang bisa terjadi setiap saat. Persepsi buruk itu berubah ketika dua tahun lalu saya berkunjung sendirian ke New York untuk menemui teman saya, Catharina. Ia adalah wanita Indonesia yang sangat independen dan sudah tinggal di sana selama 15 tahun. Ia juga tertawa ngakak ketika saya ketakutan di New York. Catharina mengajak saya keluyuran dengan naik kereta bawah tanah. Padahal, dulu, bulu kuduk saya sudah berdiri begitu mendengar kata-kata: subway New York. Catharina menunjukkan kepada saya betapa warna-warninya kota terbesar di dunia yang terletak di pulau Manhattan itu! Kurang puas dengan kunjungan itu, tiga bulan lalu, saya menelusuri lagi kota itu setelah menyelesaikan Executive Education Program di Wharton, Philadelphia. Bulan lalu, sebelum mengikuti suatu seminar di Harvard Business School, sekali lagi, saya mengajak istri saya ke New York. Saya ingin mengubah persepsinya yang takut pada New York. Menjelajah New York dengan memanfaatkan kereta bawah tanah benar-benar mengasyikkan. Peta jalan, kereta ataupun bus kota, gampang didapat. Anda hanya perlu beli token seharga US$ 1,25 untuk setiap rute yang Anda pilih. Setiap kali ganti kereta, asalkan tidak keluar dari bawah tanah, Anda tidak perlu token lagi. Lain dengan Tokyo. Di sana Anda mesti bayar lagi, kalau jarak yang Anda tempuh melebihi batas tertentu. Begitu juga di Singapura, tarif sub-way untuk bernbagai jarak berbeda satu sama lain. Yang membuat saya betah di New York, antara lain, karena kota ini dibagi-bagi atas kurang lebih 10 jalan panjang dari Utara ke Selatan, yang disebut avenue, dan lebih dari 100 jalan pendek dari Timur ke Barat, yang disebut street. Dengan demikian, asalkan mau memeriksa peta, anda tidak akan kesasar. Bila di LA, Anda perlu orang lain untuk mengantar kemana-mana dengan mobilnya, karena jarak dari satu city ke city lain cukup jauh, New York, Anda tidak perlu bergantung pada siapa pun Anda bisa bepergian sendiri. Selain itu, New York City adalah tempat yang tidak habis-habisnya untuk dieksplorasi. Di situ ada Broadway area, di mana bintang tater dan opera paling top di dunia main tiap malam. Sekarang ini Brooke Shield lagi main dalam Grease, sedangkan Glenn Close di Sunset Boulevard, dan Vanessa Williams di Kiss of a Spider Woman.
Radio City Music Hall baru selesai menggelar Christmas Spectacular, dan Carnegie Hall hampir setiap malam menampilkan orkestra kelas dunia. Untuk urusan belanja, New York adalah surganya. Di situ ada Macy, yang menyebut dirinya sebagai the largest departement store in the world, Bloomingdale yang kharismatik, dan A&S Mall yang klasik. Semua branded-goods punya rumah butik di 5th Avenue, Madison Avenue, 6th Avenue, atau Park Avenue! Kurang puas? Di New York masih ada Saks Fifth Avenue, Bengdorf Goodman, dan Trump Tower, yang menjual barang kualitas atas. Restoran dengan makanan dari seluruh dunia ada di situ, termasuk makanan Indonesia. Anda suka budaya dan sejarah? Di sana banyak museum, ada Empire State Building, dan ada Patung Miss Liberty. Di bagian Selatan Pulau Manhattan, juga ada di New York Stock Exchange di Wall Street yang etrsohor di dunia itu. Belum puas? Masih ada Greenwich Village, yang punya suasana “informal” mirip di Kuta, Bali, dan China Town yang kedua terbesar di dunia setelah San Fransisco. Tentang kereta bawah tanah di New York? Jangan takut. Bulan lampau memang ada orang gila yang membawa bom “bunuh diri” dan meledak di dalam kereta. Minggu lalu, juga ada seorang wanita Korea didorong masuk ke lubang ketika menunggu kereta datang. Tapi, hal-hal seperti itu bisa saja terjadi di kota-kota besar lain, tidak hanya di New York City. Yang penting, Anda harus selalu bergerombol dengan orang banyak, dan jangan cari perkara pergi ke “daerah hitam”, seperti Bronx atau Harlem. Usahakan untuk tidak kelihatan seperti turis. Berjalanlah cukup cepat seperti orang New York. Jangan kelihatan bawa peta, dan jangan memandang langsung orang yang tidak dikenal. Cuma itu saja resep yang saya pakai. Tiap hari ada ratusan ribu orang menggunakan kereta bawah tanah di New York. Mengapa? Orang di sana malas punya mobil sendiri. Parkirnya susah dan mahal. Jadi, kalau Anda naik kereta bawah tanah, secara matematis, kemungkinan terjadi sesuatu pada Anda cuma “se-per berapa ratus ribu” saja. Soalnya, kejadian malang rata-rata hanya dua tiga kali setahun. Selain itu, di stasiun bawah tanah, banyak orang main musik, termasuk para rapper yang cari duit. Jadi, banyak hiburan dengan mutu tinggi. Setelah 11 hari saya ajak menelusuri New York, persepsi istri saya sekarang sudah berubah. “I love New York,” katanya. Memang, persepsi tidak selalu sama dengan kenyataan.
DEWAN KONSUMEN
Saya baru menerima sebuah amplop besar dari Sempati. Isinya sebuah surat yang ditandatangani langsung oleh Hasan Soedjono, direktur utama perusahaan penerbangan tersebut. Surat itu memberitahukan bahwa saya merupakan salah seorang dari 100 kandidat Dewan Konsumen Sempati Air. Dewan tersebut terdiri dari 10 orang pengguna jasa Sempati. Apabila terpilih, saya boleh terbang dengan Sempati ke rute mana saja secara gratis dalam waktu enam bulan. Di samping itu, dari waktu ke waktu saya akan diberi kesempatan bertemu dengan Dewan Direksi sebagai wakil konsumen. Ketika itu semua anggota Dewan Konsumen diharapkan mengajukan complaint ataupun saran perbaikan untuk Sempati. Jadi “tugas” anggota Dewan Konsumen adalah bebas terbang kemana saja – paling sedikit dua kali sebulan dengan komposisi berimbang antara kelas gold dan silver. Setiap kali terbang, anggota Dewan Konsumen juga harus mengisi kuesioner setebal 67 halaman, yang dikirim bersama surat pencalonan tadi. Unsur yang dinilai sangat lengkap, mulai dari penilaian atas proses reservasi, proses ticketing, proses check-in, proses boarding, soal pilot dan kopilot, soal makanan dan minuman di pesawat, kondisi interior pesawat, soal hiburan selama penerbangan, proses kedatangan, sampai penanganan bagasi. Bahkan mutu iklan dan promosi serta program-program Sempati pun ditanyakan. Tentu saja saya senang apabila terpilih sebagai Dewan Konsumen. Pertama, saya memang selalu terbang ke mana-mana, rata-rata dua hari sekali. Jadi pasti merupakan salah seorang yang paling bisa kalau diminta memberi penilaian akan halhal tersebut. Kedua, sebagai konsultan pemasaran yang harus selalu bicara di seminar, menulis di media massa, ataupun ikut serta dalam pertemuan-pertemuan strategis, saya akan punya bahan tambahan untuk mendukung konsep Total Quality Service, yang sedang saya sebarkan ke mana-mana. Ketiga, program ini cukup unik. Seingat saya, baru kali ini konsumen diikutsertakan secara formal dalam suatu dewan yang langsung bisa memberikan masukan kepada dewan direksi.
Telkom sebenarnya juga punya semacam perkumpulan para pelanggan, yang berkumpul dari waktu ke waktu. Tapi sistem dan prosedur pemberian masukannya belum secanggih Sempati. Selain itu ada Auto 2000, anak perusahaan Kelompok Astra, yang secara rutin menyelenggarakan forum konsumen. Pimpinan Auto 2000 memerlukan datang ke daerah-daerah untuk menghadiri forum ini. Mereka yang diundang ada yang mewakili pelanggan individual dan ada yang mewakili institusional. Selain menghadirkan pimpinan, Auto 2000 juga membawa kepala bengkel, kepala administrasi, dan kepala bagian lainnya. Koran Jawa Pos, terbitan Surabaya, juga secara berkala menyelenggarakan forum pembaca. Pimpinan Redaksi Dahlan Iskan hampir selalu hadir di acara tersebut. Pembaca yang diundang meliputi berbagai kalangan. Ada wakil perbankan, ada tokoh masyarakat, ada pengusaha, dan sebagainya. Setelah makan siang bersama, wakilwakil pembaca ini diminta mengajukan complaint. Dengan melakukan hal seperti ini, Jawa Pos selalu ingin menangkap perubahan selera pembacanya. Bagi Sempati, program ini jelas merupakan kelanjutan dari program pemberian koin putih dan kuning bagi para petugas darat dan udara. Melalui program-program ini, tampaknya Hasan Soedjono ingin melibatkan lebih banyak konsumen ke dalam proses pengambilan keputusan. Mengapa? Setelah “diserang” Sempati, Garuda kini sudah bangun, bahkan sudah menyerang balik dengan segala macam kebesarannya. Tapi Hasan Soedjono juga tidak pernah kehabisan akal. Dari waktu ke waktu, dia selalu bisa mencari suatu program baru yang inovatif. Dengan membentuk Dewan Konsumen, dia seolah-olah ingin menyatakan kepada konsumen: “Setirlah Sempati menurut selera Anda.”Dengan demikian, Sempati tidak ingin menjadi perusahaan yang sekedar marketing oriented, melainkan juga sudah berkembang menjadi sebuah market driven company. Satu-satunya jawaban terhadap tantangan globalisasi.
BUMN
MENYIAPKAN BUMN menghadapi globalisasi bukan pekerjaan gampang. Perubahan meenjelang dan setelah tahun 2000 akan dahsyat, sehingga tidak mudah diduga apa yang akan terjadi. Perubahan itu akan membuat pelanggan makin menuntut. Pesaing jadi makin “ganas” dan bahkan mungkin akan “tidak terlihat”. Masalahnya kini, tidak semua orang tahu bagaimana cara melakukan antisipasi dan menyiapkan diri menghadapi hal-hal tersebut. Lima bulan lalu, ketika pulang dari Washington mengikuti kursus “Reengineering for Customer Satisfaction”, di kapal terbang, saya duduk bersebelahan dengan direktur sebuah BUMN, yang kebetulan mengikuti
acara yang sama. Ketika saya tanya
kesannya tentan reengineering, jawabnya singkat; “Menakutkan.” Mengapa? Delapan puluh perusahaan di Amerika yang melakukan perubahan total seperti itu gagal. Perusahaan bus terkenal, Greyhound, berantakan karena reengineering. Dua minggu lalu, saya terlibat diskusi panjang tentang reengineering dengan Pak Sumardi, Dirut PT (Pesero) Pelabuhan IV, yang wilayah kerjanya meliputi pelabuhanpelabuhan di Indonesia Timur. Begitu antusiasnya Pak Sumardi untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan, sampai-sampai harus pergi ke Bitung untuk memberi pelatihan di sana. Logikanya, Bitung terletak di pinggir Samudra Pasifik, dan dalam rangka East ASEAN Growth Area harus bersaing dengan Mindanao, Davao, Tawao, bahkan Brunei Darussalam. BUMN sebagaimana diketahui punya dua misi: profit and public. Mencetak laba, tapi juga bekerja demi kepentingan umum – dua hal yang sering bertentangan. Ada yang mengatakan bahwa semua sisdur (sistem dan prosedur) sudah ditentukan dari pusat. Untuk mengubah hal tersebut, perlu melewati sisdur lain di luar kontrol BUMN. Jadi, proses persetujuan akan suatu perubahan mesti melewati jalan berbelit. Padahal, perubahan di luar berjalan begitu cepat. Pembongkaran besar-besaran? Di Amerika saja banyak yang gagal. Apalagi di Indonesia, dan BUMN lagi. Saya kira, TQM lebih safe, karena melakukan perubahan tidak secara drastis, dan sudah menjadi “kebijaksanaan nasional”. Dalam TQM, seluruh jajaran organisasi, mulai dari pimpinan puncak, staf manajemen, sampai ke pelaksana,
diminta sadar akan kualitas. Dengan begitu, pelaksana yang berada di lapisan paling bawah sekalipun dipacu meningkatkan kualitas. Di samping itu, konsep TQM juga bicara tentang pemuasan konsumen. Bahkan konsep next-process is the customer sudah mulai di sini. Jadi, dalam konsep TQM, selain kualitas harus terus ditingkatkan, juga cost reduction harus dipikirkan, dan dilivery bisa dilaksanakan dengan baik dan tepat. Pada saat ini angin mulai berbalik. Amerika bangun kembali. Pemerintah, yang dulu seolah0olah membiarkan perusahaan swasta berjuang dalam situasi free trade, terpaksa ikut turun tangan untuk menekankan fair trade pada Jepang. Berbagai “tekanan” mulai dari permintaan untuk mengurangi ekspor secara sukarela, pembukaan pasar domestik Jepang, sampai pada apresiasi nilai yen, dilakukan. Berbarengan dengan nilai-nilai tersebut, perusahaan-perusahaan Amerika memang sedang dan segera melakukan lompatan ke depan. Mereka tidak hanya sekedar belajar TQM dengan cara beraliansi, merger, atau studi bench-marking terhadap perusahaan Jepang. Mereka juga melakukan leep frogging dengan melakukan reengineering, yang merupakan pembongkaran total pada proses yang diperpendek supaya menang dalam persaingan waktu. George
Stalk
dan
Tom
Hout
dari
Boston
Consulting
Group
lantas
memperkenalkan Time Based Competition (TBC). Kalau mau dimasukkan dalam konteks QCD dari TQM, sebenarnya bisa juga dikatakan ada pergeseran dari cost ke quality ke dilivery. Kalau dulu cost-reduction jadi perhatian utama, lantas qualityimprovement, sekarang dilivery time yang jadi andalan memenangkan persaingan. Tidak seperti TQM, yang memperbaiki salah satu step, reengineering merombak seluruh proses. Bila perlu, step tidak perlu disempurnakan lagi, tapi dihilangkan. Jadi, melaksanakan reengineering memerlukan persiapan matang. Kalau tidak, bisa konyol. Apalagi, kalau tidak ada dukungan sepenuhnya dari atas. Di BUMN mungkin harus berupa “komando” berbentuk SK. Tidak cukup hanya kewibawaan. Perusahaan Bus Greyhound jatuh sebenarnya bukan karena reengineering. Strategi bisnisnya yang salah. Dia mengubah rute pendek, yang dulu sangat mereka kuasai, dengan rute panjang. Padahal untuk rute seperti itu, tiket pesawat yang makin murah tidak bisa dilawan Greyhound. Di Indonesia, saat ini, beberapa perusahaan swasta, yang dulu merupakan pionir TQM, sedang melakukan reengineering supaya bisa melayani konsumen secara lebih. Untuk BUMN, sambil menunggu komando, ada baiknya mulai lebih peduli akan kepuasan
pelanggan dibandingkan dengan kompetitor. Dengan melakukan hal-hal tersebut, TQM yang dilaksanakan bisa dicek hasil nyatanya dalam dimensi kepuasan pelanggan yang relevan.
SEIYU
Akhir pekan lalu, orang Singapura dikejutkan suatu konsep baru di bisnis eceran. Yang punya konsep adalah Seiyu Departement Store, dan baru membuka pintu toko seluas 240.000 kaki
persegi di Bugis Junction. Seiyu adalah toko serba ada
Jepang ketiga di Singapura. Sebelumnya sudah ada Isetan (buka sejak 25 tahun lahu) di Wisma Atria, dan Takashimaya (buka pada 1993) di Ngee Ann City. Pembukaan Seiyu pada saat ini dianggap “nekat”. Tahun lalu, Isetan mengalami kerugian. Lane Crawford, toko eceran bergengsi di perempatan jalan Orchard dan jalan Scott, bahkan merampingkan diri hingga separuh. Kalau dulu Lane Crawford beroperasi penuh di empat lantai, sekarang tinggal dua lantai saja. Metro, yang sering menamakan diri sebagai tradisi belanja Singapura, dan CK Tang, juga mengalami kesulitan. Lantas, apa strategi apa yang dipakai Seiyu? Pertama, mereka pilih lokasi Bugis Junction, bukan di jalan Orchard, Raffles City, Atau Marina Square. Alasannya: supaya mengirit ongkos. Kedua, mereka membuat dekorasi interior sederhana saja. Rak yang dipakai tidak terlihat mewah. D lantai tiga, saya lihat atap sengaja tidak ditutup, sehingga pipa AC dan kabel listrik tampak jelas. Kelihatannya sengaja dibuat seperti mode tersendiri. Ketiga, selain menjual barang-barang seperti di toko serba ada lain, Seiyu punya Kids Park, yang menjual pakaian anak-anak segala merek. Adapun yang paling banyak menarik perhatian pers, pesaing, maupun pengunjung adalah satu bagian dalam toserba itu yang disebut Muji (Mujirushi Ryohin), yang berarti All Value No Frills. Pada bagian ini, semua produk yang dipajang (kaus, gelas, buku, makanan, lampu, sampai tempat tidur) tidak pakai label apa pun. Semuanya tanpa merek. Pada tiap produk cuma ada penjelasan tentang kualitas, ukuran, atau jenis bahan yang digunakan. Jadi, Muji adalah sebuah merek tanpa merek. Disebut begitu karena nama Muji memang cuma dipasang di depan pintu masuk bagian khusus itu. Tidak ada produk masing-masing. Muji, di Jepang, mulai “lahir” sebagai house brand Seiyu, yang ada di Distrik Aoyama, Tokyo. Lantaran konsep itu cukup sukses dan diterima konsumen, Muji lalu dipisahkan dari induk perusahaannya. Pada saat ini Muji sudah tersebar pada 215 lokasi
di Jepang, 4 lokasi di Inggris, dan 9 lokasi di Hong Kong, dengan perputaran S$700 juta per tahun. Kawanokami- san, pimpinan Muji di Jepang, prcaya bahwa konsep merek tanpa merek ini juga akan sukses di Singapura. Target pasar yang di tuju adalah inteligent, sophisticated customer. Dia berharap akan punya 10 toko di Singapura, 20 toko di Hong kong, dan 30 toko di Taiwan dalam waktu tiga tahun mendatang. Bagi Kawanokami, barang-barang Muji adalah Gap in spirit, Esprit in price. Dengan demikian, dia ingin menyatakan bahwa kualitas produk cukup baik, tapi harga yang dipasang relatif murah. Saya melihat, pakaian Muji cuma bermain dengan empat warna saja: putih, hitam, abu-abu, dan beige. Tapi modelnya cukup fashionable. Sedangkan untuk produk-produk keperluan rumah, Muji berusaha menyamai konsep IKEA yang tersohor itu. Tentang makanan Jepang yang dijual, Muji berusaha menyederhanakan pengemasannya, yang biasanya sangat mewah. Orang bahkan sering bilang bahwa makanan Jepang itu biasanya “lebih bagus dilihat daripada enak di makan”. Muji mengurangi biaya pengemasan supaya bisa menjual dengan harga lebih murah. Kehadiran Muji di Singapura kayaknya tidak begitu mudah diterima konsumen.
Mengapa?
Di
Jepang,
produk-produk
Muji
memang
lebih
murah
dibandingkan dengan produk-produk sejenis yang pakai merek. Tapi, di Singapura, ternyata tidak lebih murah dibandingkan dengan produk-produk lain. Saya berpendapat bahwa konsep merek tanpa merek ini cocok dengan situasi Jepang yang sedang mengalami resesi. Setelah kemajuan ekonomi yang dialami Jepang selama bertahuntahun terakhir, orang Jepang sendiri sudah tidak kuat membeli barang-barang bermerek. Lantas banyak yang beralih ke produk-produk tidak berembel-embel. Sealin itu, tokotoko eceran yang sederhana, dan hanya menjual house-brand, menjamur.
Jadi, Muji sebenarnya adalah sebuah recession-based dari merek tanpa merek. Bisa sukses di Jepang karena konsumen mendadak sadar bahwa selama bertahun-tahun mereka harus membeli suatu produk dengan harga terlalu tinggi. Hal tersebut bukan disebabkan hasil rekayasa manipulasi suatu merek semata, tapi terutama karena saluran distribusi yang berlapis-lapis. Maka, saat ini pengecer baru yang hanya menjual house-brand atau no-brand ini melakukan potong kompas. Mereka
langsung berhubungan, bahkan mendikte produsen tentang model, ukuran, maupun bahan dari produk yang dijual. Di Seiyu Singapura, kehadiran bagian Muji ini saya lihat sebenarnya hanya sebagai “daya tarik” supaya orang mau datang ke toserba baru itu. Setelah pembeli berdatangan, sebagian besar yang ditawarkan tetap adalah barang-barang bermerek. Akhirnya yang harus diingat, semua produk yang dijual di Muji tidak dipasangai label. Tapi, Muji itu sendiri sudah merupakan merek. Madona, Maradona, dan Lady Diana juga merek. Semua orang tahu citra mereka. Tapi tidak ada label di tubuh mereka. Citra memang citra, lebih perlu dibandingkan dengan label.
SENTUHAN MIDAS
Saya bangga melihat dia. Saya dulu mulai membina karier waktu masih muda seperti dia,” bisik Pak Ciputra ke kuping saya. Ia memang harus berbisik, karena orang yang dibicarakan Pak Ci, Direktur Utama Sempati Hasan Soedjono, waktu itu sedang memberikan presentasi tentang strategi dan pemasaran. Saya mendapat giliran kedua untuk berbicara pada acara Ciputra GroupExecutive Gathering, yang diselenggarakan di Hotel Citra-land, Jakarta, itu. Sambil menunggu, saya duduk di kursi deretan paling paling depan, persis di sebelah Pak Ci. Hari itu, Pak Ci beserta anak, menantu, dan
executive senior dari seluruh unit
perusahaan keluarga ini sedang berkumpul. Kelihatan sekali Pak Ci sangat bahagia berada di tengah-tengah keluarga besar kelompok perusahaan yang baru dibangunnya 10 tahun lalu, tapi merupakan meteor di industri properti. Berdasarkan angka, kelompok ini merupakan perusahaan yang punya pertumbuhan paling cepat dalam industri properti. Selain itu, laba bersih yang dicetak Grup Ciputra pada tahun 1994 telah mencapai lebih dari 11 angka nol. Banyak orang yang tercengang melihat fakta tersebut. Tapi Anda tak perlu kaget, sewot, apalagi frustasi. Punya perasaan seperti itu berarti cuma buang-buang tenaga. Susahnya orang sukses bagaikan berada di puncak gunung. Biasanya dia akan dijadikan sasaran tembak, diikuti atau dihindari. Pak Ci, menurut saya, wajar menikmati semua itu. Dia sudah berjuang lebih dari tiga dasawarsa supaya bisa bercokol di atas gunung tersebut. Dia tidak sekedar menerima wind fall dari mana pun. Pak Ci memang berjuang dari bawah. Sebagai insinyur muda, dia “nekat” mempresentasikan idenya pada Gubernur DKI Jakarta, waktu itu, Soemarno. Keberanian yang disertai perhitungan matang, ditambah kerja keras untuk mengkongkretkan ide membuat Ciputra muda berhasil meyakinkan Pemda DKI Jakarta bahwa dia memang mampu. Tidak kurang dari tujuh orang Gubernur sudah dilayani Ciputra, yang berhasil mengembangkan Grup Jaya sebesar sekarang. Dia juga sekaligus membuyarkan mitos bahwa perusahaan daerah biasanya selalu kurang becus dan tidak efisien. Ciputra bagaikan memberikan sentuhan Midas pada setiap jengkal tanah yang diolahnya. Sementara otang lain gagal mengubah citra “preman” kawasan Senen,
Pak Ci bisa menyulap kuburan menjadi sebuah taman impian. Padahal, ketika ada orang lain berusaha mendirikan kondominium juga, di dekat tanah kuburan di kawasan Casablanca, Jakarta, hasilnya berantakan. Maunya meniru, hasilnya fatal. Belum lagi kalau mau bercerita tentang rawa-rawa yang berhasil disulap Pak Ci menjadi padang Golf bergengsi. Sentuhan Midas ini tidak hanya dibuktikan Pak Ci Di Grup Jaya, melainkan juga lewat bisnis lain, yang dibuatnya secara berkongsi dengan teman-temannya. Pak Ci punya saham tidak terlalu besar, tapi selalu dipercayai untuk memegang pimpinan tertinggi. Mengapa? Semua mitra bisnisnya yakin akan kepiawaian Pak Ci. Lihat saja kesuksesan kawasan Pondok Indah dan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai, yang merupakan proyek ramai-ramai. Ketika 10 tahun terakhir Pak Ci mengajak
anggota keluarganya untuk
bergerak di bidang properti yang sangat dikuasainya, tidak ada yang aneh kalau lantas jadi perkembangan yang demikian pesat. Akumulasi pengalaman selama lebih dari 20 tahun sebelumnya tumplek-bleg di perusahaan ini. Sesuatu yang wajar-wajar saja, karena Pak Ci juga ingin keluarganya bisa menikmati jerih payahnya selama ini dan bisa mewarisi ilmunya. Itupun tidak membuat Pak Ci lantas melupakan perusahaan daerah ataupun perusahaan kongsinya. Ada lima kelompok perusahaan properti yang dipimpinnya lantas disebut Sang Pelopor. Pelopor berarti orang yang berjalan di depan dan selalu memberi contoh yang baik. Orang awam sering membedakan suatu proyek pmukiman menjadi dua jenis saja. Proyek Pak Ci atau bukan Pak Ci. Hebat kan? Tapi itu bukan cuma karena Sang Pelopor pintar mengumbar janji. Kalau masuk ke ruang pamer Bumi serpong Damai, Anda akan melihat foto besar Pak Ci, yang disertai tulisan, “Janji adalah komitmen. Dan komitmen harus selalu dipenuhi.” Ini mirip slogan yang sering dipakai Auto 2000: “Kami memberi bukti, bukan janji.” Komitmen yang telah dibuktikan lebih dari tiga dasawarsa itulah yang membuat konsumen merasa jauh lebih tenang membeli rumah Pak Ci. Bagi Leonard Berry, yang ahli dalam pelayanan, inilah yang disebut service reliability. Dari riset selama bertahun-tahun, Berry menemukan bahwa reliability merupakan faktor paling penting dalam suatu customer service. “Diliver what you have promised.” Selanjutnya, Berry juga menambahkan, “Don`t act like a politician. Always over promise, but under diliver.”
Inilah saya pikir rahasia terbesar kesuksesan Pak Ci di balik mitos sentuhan Midas. Banyak orang lain gagal karena cuma ingin ikut melakukan “sentuhan” tapi “setengah hati” untuk menjamin suatu komitmen.
NIKE ARDILA
Minggu lalu saya melakukan “napak tilas” perjalanan akhir Nike Ardila. Terus terang saya “panas”. Hampir semua orang di Bandung bicara tentang ratu music rock Indonesia itu. Saya meninjau tembok di Jalan Riau yang ditabrak mobil Nike. Temboknya sudah rapi kembali. Di depannya ada drum sampah dengan tulisan: NIKEE. Saya tidak tahu kenapa ada dua huruf E di situ. Malamnya, saya makan di Kintamani Café, yang terletak di Jalan Lombok. Salah seorang pelayan menunjukkan kursi yang diduduki Nike antara pukul 4.00 dan pukul 6.00 – saat-saat terakhir Nike sebelum menyetir mobil nahasnya. Kintamani sendiri baru saja ganti nama menjadi Musicafe. Tentunya tidak dalam rangka buang sial. Saya cuma khawatir, sebentar lagi mungkin harus balik ke nama Indonesia lagi. Saya juga mampir ke Polo Club. Diskotek di gedung BRI itu, yang berlokasi di depan alun-alun, sempat disinggahi Nike sebelum ke Kintamani. “Malam itu Nike tidak mendapat tempat duduk. Tapi biasanya dia duduk di meja VIP Nomor 1 atau di Counter Bar,” kata seorang wanita pelayan di sana. Polo menempati bekas tempat Jamz Bandung, yang sudah lebih dulu mati sebelum Nike. Ternyata orang seperti saya banyak. Bandung mendadak punya beberapa tempat tujuan wisata baru. Kuburan Ciamis kabarnya masih dikunjungi banyak penggemar Nike – termasuk mereka yang datang dari Brunei Darussalam. Konser musik memperingati 40 hari meninggalnya Nike, yang digelar Deddy Dores dan kawankawan di lapangan Tegalega, dikunjungi ribuan orang. Nike Ardila mendadak jadi lebih top dibandingkan dengan ketika masih hidup. Khalayak seolah melupakan semua sisi gelap kehidupannya. Rumor tentang pesta ecstasy, yang diduga terjadi sebelum kejadian nahas tersebut, walau menarik perhatian banyak orang, tidak ada artinya dibandingkan dengan cerita tentang prestasi Nike sendiri. Saya lantas ingat akan Presiden John Kennedy yang mati ditembak di puncak kariernya. Sekarang hampir semua orang mengenang kehebatan Kennedy, yang sering disebut sebagai pemimpin sejati “terakhir” di Amerika serikat. Rumor tentang hubungan gelapnya dengan Kennedy.
bintang film Marilyn Monroe sama sekali tidak mengganggu citra
Majalah Tempo barangkali juga begitu. Begitu kuatnya kesan orang akan majalah berita mingguan ini sehingga Tempo mendadak jadi lebih terkenal setelah tidak ada lagi di pasaran. Orang seakan tidak peduli bahwa sebenarnya Tempo sudah tidak terlalu “berani” lagi pada nomor-nomor terakhirnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Di Wharton, Prof. Debora Mitchell mengajarkan bahwa di benak manusia selalu ada banyak simpul (nodes). Bisa berupa nama orang, merek, produk, konsep, dan sebagainya. Simpul-simpul ini terhubung satu sama lain membentuk sebuah jaringan persepsi. Kalau saja persepsi yang ada di otak manusia bisa dipotret, yang terlihat adalah sebuah jaringan, yang terdiri dari links and nodes. Sebuah simpul akan melemah kalau tidak ada pemicu dari beberapa simpul lain yang punya hubungan dengan dia. Sebaliknya, sebuah simpul akan menguat kalau jaringannya jadi aktif karena simpul-simpul lain melakukan rangsangan. Iklan, promosi, dan peluncuran suatu produk baru dalam pemasaran sering dipakai untuk mengaktifkan suatu jaringan dalam rangka memperkuat simpul suatu merek produk tertentu. Begitu juga, suatu peristiwa kematian bisa menimbulkan guncangan yang langsung mengaktifkan jaringan dan memperkuat suatu simpul tertentu. Seperti pada pemasaran, simpul yang menguat itu bisa dimanfaatkan untuk bisnis apapun. Buktinya? Ada produk elektronik yang mensponsori lomba mirip Nike Ardila. Terjadinya lomba-lomba semacam ini wajar saja. Sebab ada kesempatan untuk menyelipkan suatu simpul baru ke dalam suatu jaringan persepsi masyarakat (baca: konsumen) melalui pembuatan jalur dengan simpul yang sedang kuat.
HARLEY DAVIDSON
Ada tontonan unik di Hotel Sari Pasific, Jakarta. Beberapa kali pergi ke sana, saya selalu melihat ada sebuah sepeda motor besar diparkir di depan pintu masuk hotel itu. Mengapa unik? Biasanya cuma Limousin yang diparkir di depan pintu sebuah hotel. Sepeda motor yang dipajang di Sari Pacific itu berwarna putih dan kelihatan sangat terawat baik. Ternyata bukan cuma saya saja yang tertarik. Banyak tamu lain menyempatkan diri memeriksa kondisi sepeda motor tersebut. Pada umumnya, mereka terkagum-kagum pada sepeda motor yang menggunakan nomor polisi dari Bogor itu. Mereknya? Apalagi kalau bukan Harley Davidson. Inilah sepeda motor yang lain daripada yang lain. Sejak kecil saya sudah mendengar tentang Harley Davidson. Dulu orang lebih sering menyebutnya denga Ha-De. Dulu, cuma polisi yang pakai sepeda motor itu. Lantas kita hampir melupakannya. Sejak sepeda motor Jepang merajai dunia, Harley seolah hilang ditelan persaingan. Sekarang Harley bangkit lagi. Dulu, Harley Davidson, seperti perusahaan Amerika lainnya, juga terlalu arogan, statis, malas. Arogan karena sudah ngetop. Statis karena percaya pada masa lalu. Malas karena pasar domestik Amerika sendiri sudah sangat besar. Ketika Jepang mulai mendarat di Amerika dengan sepeda motor kecil, orang Amerika lagi “sewot” terhadap pengendara ala Harley Davidson. Maklum, yang banyak mengendarai sepeda motor besar merek Harley Davidson, Triumph, BSA, atau BMW kebanyakan para preman yang suka bikin kerusuhan. Karena itu persepsi terhadap profil pengendara sepeda motor adalah pria berbadan besar, berambut gondrong, tubuh penuh tato, dan selalu mengenakan jaket kulit. Honda berusaha mengubah persepsi tentang sepeda motor. “Only the nicest people on Honda.” Kalimat itu dicantumkan pada iklan yang menampilkan gambar orang-orang “sopan” sedang mengendarai Honda bebek. Kampanye Honda itu serupa tapi tak sama dengan apa yang dilakukan VW dengan slogan Think Small. Berkat kampanye itu pula VW kodok, yang bentuknya aneh itu, bisa menyelinap dan sukses di antara mobil-mobil besar Amerika yang terkenal boros bahan bakar.
Keberhasilan Honda
menarik simpati orang Amerika menyebabkan pasar
sepeda motor bangkit kembali. Pertumbuhan yang pesat itu segera diikuti merek-merek lain, seperti Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki. Pada mulanya Harley Davidson memandang sebelah mata pada para pemain “kecil” ini. Kemudian jadi terkejut, ketika para pemasar dari negara matahari terbit ini mulai masuk ke pasar “besar”. Begitu tahu bagaimana cara memuaskan selera orang Amerika, Jepang lantas menyerang pasar “besar”. Orang Amerika, yang sudah percaya pada keandalan sepeda motor kecil Jepang, apalagi punya kesan positif terhadap pengendaranya, menyambut baik datangnya motor besar dari negeri sakura itu. Produk lebih bagus, harga lebih murah. Semua merek dari Eropa terusir, dan Harley pun jatuh bangkrut. Untung ada sekelompok eksekutif perusahaan Harley yang tidak mau menyerah. Mereka mencari dukungan keuangan dari pihak luar dan mengambil alih kepemimpinan perusahaan. Pelan-pelan Harley bangkit kembali dengan melakukan hubungan sangat intim dengan pelanggannya. Dulu mereka diabaikan. Sekarang mereka diajak berkumpul di dalam Harley Owners Group. Lewat acara bersama pemilik, para eksekutif Harley terus melakukan interaksi. Bukan cuma mendengan dari mereka, melainkan juga mendidik mereka. Memberi tahu bagaimana cara menggunakan Harley supaya mencapai kepuasan maksimal. Hubungan belajar mengajar antara produsen dan konsumen secara langsung yang dilakukan Harley inilah yang akhirnya sulit ditiru perusahaan Jepang di Amerika. Dan akhirnya Harley bangkit kembali karena berhasil dipersepsi sebagai suatu sepeda motor yang punya American spirit. Lebih dai itu, Harley juga jadi simbolorang yang ingin kebebasan, bernaluri tajam, dan berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan. Karena itu, Harley selalu menggunakan garuda sebagai burung yang selalu ditonjolkan pada seluruh produk asesorisnya. Secara teknologi, Harley Davidson biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tapi mereka berhasil keluar dari tengah kerumunan sehingga orang akhirnya menganggap Harley Davidson bukan sepeda motor biasa. Berhasil di Amerika, Harley melakukan serangan balik ke Jepang dan negaranegara lain, trmasuk Indonesia. Di mana-mana didirikan butik Harley Davidson, yang menjual produk-produk asesoris untuk para penggemar beratnya. Di Sari Pacific, Harley yang satu itu selalu diparkir di sebelah Mercy. Tapi orang lebih tertarik pada Harley. Setelah saya cek, ternyata Harley itu kepunyaan seorang Belanda, yang selalu menginap di Sari Pacific kalau datang ke Jakarta. Kalau orang Belanda itu tidak sedang
di Jakarta, sepeda motor itu biasanya disimpan di gudang hotel. Kalau saya yang jadi manajer Sari Pacific, akan saya pinjam dan pajang terus Harley tersebut di pintu masuk sebagai salah satu daya tarik hotel.
MANTERA
Dalam waktu satu menit, I Gusti Made Mantera terpilih kembali sebagai Ketua Umum Asosiasi Manajer Indonesia (AMA-Indonesia) untuk
periode 1995-1998.
Peristiwa ini terjadi pada Musyawarah Nasional III organisasi tersebut di Hotel Horison, Jakarta, minggu lalu. Mantera yang meniti karier di IBM dari “bawah” sampai ke jenjang CEO dan akhirnya komisaris, pada saat ini memang merupakan manajer profesional di Bank Bali. Di situ ia jadi direktur yang bertanggung jawab untuk pengembangan teknologi dan sumber daya manusia – dua aspek yang sering disebut sebagai process enabler. AMA-Indonesia, yang didirikan enam tahun lalu, sebagai suatu organisasi kumpulan para manajer cukup menarik diamati. Pada saat ini AMA-Indonesia punya 10 cabang dan menampung sekitar 2000 anggota. Selain terdaftar pada Departemen Dalam Negeri, AMA-Indonesia juga diakui sebagai satu-satunya organisasi profesi untuk bidangnya, seperti halnya IDI, PII, dan PWI. Sebagai organisasi profesi, AMA-Indonesia termasuk paling aktif di setiap cabang dibandingkan dengan organisasi sejenis. Ada seminar bulanan, lokakarya khusus, kunjungan industri, ataupun acara bersama keluarga.
Mantera menjabat Ketua Umum AMA-Indonesia sejak tiga tahun lalu. Para anggota merasa puas dengan Mantera karena memenuhi semua syarat untuk jabatan pimpinan organisasi. Ia adalah seorang manajer profesional. Ia punya pengalaman dalam berbagai jenjang, baik di perusahaan nasional maupun multinasional. Secara konsepsional, Mantera bukan cuma punya gelar doktor, melainkan juga selalu up-todate. Punya reputasi internasional. Dan yang penting, di atas semua itu, Mantera punya dedikasi tinggi. Yang menarik dalam Munas III itu, bagi saya, adalah analisis Mantera tentang perjalanan organisasi AMA-Indonesia. Dengan menggunakan teori Team Building, yang terdiri dari tiga tahap, Mantera menunjukkan bahwa selama dua periode pertama, AMAIndonesia sebenarnya baru pada tahap pertama. Pada periode pertama baru forming dan pada periode kedua storming.
Pada tahap pertama, proses pembentukan suatu tim biasanya diikuti dengan keributan karena para anggota tim punya nilai berbeda. Kalau tahapan ini bisa terlewati maka diharapkan suatu tim bisa masuk ke tahap kedua, yang terdiri dari norming dan performing. Di sini suatu tim mulai punya pegangan. Karena itu, diharapkan bisa mencapai hasil-hasil secara nyata. Pada tahap ketiga, bisa terjadi dua kemungkinan. Kalau suatu tim bisa melakukan tranforming maka prestasinya akan tetap meningkat. Kalau semua anggota sudah merasa puas dan sekedar conforming maka biasanya prestasi akan mendatar dan bahkan turun. AMA-Indonesia diharapkan bisa masuk tahap kedua setelah tahun 1995. Maka tema Munas kali ini adalah “Mengelola Perubahan untuk Mencapai Prestasi Puncak”. Sistem
dan
prosedur
birokratis
yang
biasanya
membelit
suatu
organisasi
disederhanakan, delivery process diutamakan, dan anggota dianggap sebagai pelanggan. Dalam Munas III itu juga diputuskan struktur organisasi akan diratakan – tidak berlapis-lapis lagi. AMA-Indonesia memutuskan untuk selanjutnya tidak punya Sekjen, Wakil Sekjen, Bendahara, Wakil Bendahara, Pembantu Umum, dan sebagainya. Semua pekerjaan administratif akan di-outsourcing-kan. Struktur kepengurusan sedang digodok, tapi diusahakan sangat sederhana – lean, mean, and clean. Seorang ketua umum sebagai pimpinan sekaligus perancang strategi. Seorang wakil ketua umum, sebagai general manager, bertanggung jawab untuk urusan taktikal, dibantu beberapa ketua bidang. Selain itu, akan ada Dewan Pakar Nasional, yang merupakan kelompok intelektual. Wakil ketua umum dan ketua bidang bisa dianggap sbagai “tubuh” organisasi, dan Dewan Pakar Nasional adalah “roh”nya. Ketua umum punya tugas menyatukan “tubuh” dan “roh” tersebut. Inilah contoh nyata reengineering process pada suatu organisasi profesi.
JANJI
Sekarang Lippo punya Customer Response Centre. Pada iklan yang dipasang Lippo di harian Kompas, minggu lalu, terpampang tulisan: “Lippo Customer Response Centre selalu siap membantu dan melayani Anda. Sampaikan saran, pertanyaan, keluhan, atau ketidakpuasan Anda terhadap pelayanan kami…” Bahkan, di situ juga dicantumkan nomor telepon bebas bea dengan kepala 0-800. Juga ada nomor telepon biasa, bahkan nomor BizCall. Iklan itu dilengkapi gambar wanita cantik sedang melayani nasabah. Iklan yang dipasang di pojok bawah halaman depan Kompas itu ditutup dengan slogan Lippo Bank: High-Tech for Better Service. Iklan ini menarik perhatian saya karena menunjukkan upaya Lippo berusaha jadi the real service company. Kata response dalam konsep service sebenarnya hanya merupakan salah satu kata kunci. Menjadi responsif sangat penting, tapi “service is not only responsiveness”. Lewat riset mereka yang komprehensif, Leonard Berry, Parasuraman, dan Valerie Zeithaml, menemukan bahwa ada lima dimensi pelayanan yang sangat menentukan. Pertama, dapat dipercaya (reliability). Ini adalah dimensi terpenting dalam pelayanan. Perusahaan Anda belum bisa disebut telah memberikan pelayanan sempurna kalau sebagian besar pelanggan Anda belum bisa mempercayakan masalah mereka kepada Anda. Supaya bisa dipercaya, Anda harus selalu benar. Tidak pernah gagal. Selalu tepat janji. Kedua, adalah tanggap (responsiveness). Anda disebut cepat tanggap kalau selalu memberikan pelayanan dengan cepat. Ketiga, Anda harus selalu bisa memberi rasa pasti (assurance) pada pelanggan. Hal ini tidak gampang dicapai. Mengapa? Supaya sampai ke situ, Anda mesti punya orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam melayani pelanggan. Kemampuan melayani saja tidak cukup. Lengkapnya: mampu dan mau. Rasa pasti juga timbul dari perasaan aman dan terjamin yang timbul pada persepsi pelanggan. Kepastian itu jadi lengkap kalau Anda memang sudah punya kredibilitas di masyarakat. Keempat, Empati. “Listening ia Powerful” , kata orang. Berempati bukan berarti Anda selalu setuju terhadap apa yang dikatakan pelanggan. Tapi Anda mau mengerti situasi pelanggan, setelah mengetahui situasi secara detail, Anda justru
bisa
menentukan sikap secara lebih tepat. Dalam berempati, Anda harus bisa berkomunikasi secara individual dan mudah dihubungi. Jangan berpikir bahwa berempati itu mudah. Justru sebaliknya. Empati bukan sesuatu yang bersifat pasif. Tapi justru aktif mendengar sambil berpikir tentang alternatif tindakan apa yang secepatnya akan diambil. Bukankah pelanggan tidak raja lagi? Mereka bukan tidak mungkin bisa salah. Bagaimanapun mereka penting. Maka, seorang pelayan di garis depan harus dibekali teori mengambil keputusan dan memecah masalah. Pelayan tidak boleh hanya bisa bertindak sebagai tukang tampung masalah. Mereka harus bisa menyelesaikan persoalan pelanggan dan mengambil keputusan yang tepat. Tentunya dalam batas-batas yang diberikan. Kalau tidak dapat memutuskan langsung, dia harus tahu persis kemana persoalan tersebut disalurkan, bagaimana kirakira proses penyelesaiannya, serta akan makan waktu berapa lama. Kelima, hal-hal yang tampak kongkret (tangibles), seperti bangunan fisik, penampilan orang, dan suasana interior jga akan mempengaruhi pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan. Urutan kelima dimensi itu bisa dibolak-balik. Soalnya, ada perbedaan di antara berbagai industri, berbagai segmen pelanggan, dan berbagai negara. Di Indonesia, ketika kantor saya, Markplus, dan majalah Swa melaukan penelitian terhadap industri perbankan, ditemukan bahwa reliability dan responsiveness tetap merupakan dua dimensi paling penting. Tapi, assurance, empathy, dan tangibles saling bertukar tempat. Akan halnya iklan Lippo tadi, saya melihat ada beberapa dimensi sekaligus terkandung secara implisit di dalamnya. Pertama, Lippo ingin menekankan pada dimensi responsiveness. Saya pikir, ini adalah suatu siasat yang jitu. Penelitian saya menunjukkan bahwa industri perbankan Indonesia memang belum memberikan hal tersebut secara benar. Janji memang sudah banyak dibuat, tapi kenyataan belum. Kedua, saya melihat dimensi empati dalam bentuk kemudahan dihubungi. Ada tiga nomor telepon sekaligus dicantumkan di situ. Sedangkan slogan High-Tech for Better Service kayaknya ditujukan untuk menunjang dimensi assurance. Dalam era informasi seperti sekarang ini, pelayanan memang harus ditunjang teknologi tinggi di samping manusia terlatih. Adapun unsur tangibles berusaha ditujukan lewat foto cewek manis yang duduk di sebuah meja yang bagus pula. Lengkap sudah High-tech plus High Touch.
Bagaimana
dengan
kepercayaan?
Unsur
yang
satu
ini
memang
tidak
bisa
dikomunikasikan lewat iklan, melainkan harus dibuktikan lewat pelayanan. Setahu saya, baru Auto 2000 yang berani mengatakan dalam iklan: “Kami memberikan bukti, bukan janji.” Kalimat itupun sebenarnya juga merupakan sebuah janji lagi. Iklan Lippo inipun termasuk sebuah janji yang harus dibuktikan.
PLN
Terus terang saya kaget ketika masuk ke kantor PLN Wilayah II/Sumatera di Medan, minggu lalu. Di halaman kantor itu terpampang tulisan: “tiada hari tanpa prestasi”. Kemudian, di elevator, saya melihat dua poster kecil berpigura yang berisi anjuran tentang perlunya selalu membaca buku dan kerja keras supaya bisa sukses. Persepsi saya tentang PLN
makin berubah ketika melihat betapa seriusnya para
pemimpin cabang, pemimpin ranting, dan staf kantor PLN Wilayah II mengikuti lokakarya tentang kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan. PLN merupakan the only company
that serves customer. Praktis tidak ada
saingan. Perusahaan seperti ini biasanya tak acuh terhadap pelanggan. Saya suka menyebutnya sebagai production oriented company. Pokoknya produksi dan tidak peduli akan “kepuasan pelanggan”. Hanya brand image PLN seperti itu yang ada di benak saya. Citra yang sudah tertanam lama memang sulit untuk dihilangkan. Walau kenyataannya listrik jarang byar-pet. Baru setelah berkunjung ke kantor PLN Wilaya II, saya percaya BUMN ini sedang berusaha keras melakukan perubahan. Di alun-alun kota Medan, misalnya, ada pengumuman di papan reklame yang besar tentang nomor-nomor telepon yang bisa digunakan untuk permintaan pelayanan, tagihan, dan gangguan listrik. Maksudnya tentu supaya mudah dibaca masyarakat. Sepanjang lokakarya saya menjelaskan tentang pentingnya kepemimpinan yang pro-pelayanan. Kalau semua orang berusaha jadi begitu, barulah pelayanan yang sesungguhnya kepada masyarakat bisa terjadi. Pada waktu itu saya juga menyinggung tentang perlunya peningkatan kualitas internal untuk memuaskan konsumen eksternal. Kualitas yang disempurnakan terusmenerus di dalam tidak ada gunanya kalau tidak menghasilkan kepuasan di luar. Karena itu arti kualitas tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu pencapaian standar internal. Melainkan harus dilihat dari sisi akibat yang terjadi secara eksternal. Sertifikasi ISO 9000 atau ISO 9002, yang saat ini merupakan kebanggaan beberapa perusahaan nasional, bagi saya, baru merupakan tiket masuk untuk bersaing di tingkat global. ISO sama sekali tidak bisa menjamin bahwa perusahaan yang sudah mempunyai sertifikat itu akan memenangkan persaingan.
Di Amerika ada penghargaan terhadap perusahaan yang dianggap excellent. Namanya: Malcolm Baldridge National Quality Award. Ada tujuh pilar penting dalam kriteria penilaian untuk memenangkan hadiah ini. Kepemimpinan, sistem informasi dan analisisnya, perencanaan strategi kualitas, pengembangan dan manajemen sumber daya manusia, perencanaan mengenai proses, hasil operasi beserta kualitasnya, dan fokus pada pelanggan beserta pengukuran tingkat kepuasan mereka. Kepemimpinan mempunyai alokasi nilai paling kecil, tapi punya peran menentukan, yaitu sebagai pengemudi aspek lain. Sedangkan aspek kepuasan pelanggan punya nilai terbesar, yang diikuti oleh hasil operasi beserta kualitas. Ini merupakan pertanda bahwa hasil atau kualitas apapun yang dicapai tidak ada gunanya kalau tidak ditujukan untuk memuaskan konsumen. Dan kepemimpinan punya andil besar untuk menggerakkan keempat aspek lain, yang merupakan prasarana untuk mencapai hasil akhir. Ada pertanyaan bagus dari Kepala PLN Wilayah II, Ir Budi Haryanto, waktu itu. “Mengapa kinerja keuangan sebuah perusahaan kok tidak dimasukkan dalam penilaian?” Secara tradisional, kesehatan sebuah perusahaanmemang dinilai dari laporan keuangan. Padahal laporan tersebut cuma hasil dari masa lalu. Bahkan hasil analisi trend pun tidak bisa dipakai untuk meramal masa depan. Selain itu laporan tersebut tidak bisa mencatat tiga aset penting sebuah perusahaan, yaitu kepuasan pelanggan, antusiasme pekerja, dan citra perusahaan. Akhirnya siapa sih sebetulnya yang bisa mengetahui dengan benar window-dressing dan cosmetic accounting yang bisa dipergunakan dalam berbagai bentuk? Lihat saja Bank Summa, misalnya. Om Willem pun protes. Ia merasa cuma “beli kucing dalam karung” dengan melihat laporan kerja yang disahkan akuntan publik. Perusahaan yang punya nilai tinggi dalam ketujuh aspek menurut kriteria Malcolm Baldrige tadi mempunyai peluang untuk unggul di masa depan. Kriteria itu bisa dipakai sebagai landasan, tapi harus dilanjutkan dengan melakukan customer value analysis kalau sudah makin banyak pesaing yang memberi pilihan pada konsumen. Sampai sekarang produk PLN masih punya market share 100%. Jadi peningkatan kualitas internal guna memberikan kepuasan eksternal cukup untuk membentuk landasan yang kuat.
Selanjutnya, untuk menyongsong era globalisasi yang akan mengundang persaingan datang dari mana saja, kualitas harus diartikan dengan memberikan nilai terbaik bagi konsumen. Itu baru pelayanan dalam arti sesungguhnya.
INDONESIANISASI
Pada suatu hari Anton M. Moeliono menerima sepucuk surat dari luar negeri. Pada amplop, selain namanya, ditulis pula dengan lengkap kata-kata: Alamat surat menyurat Jalan Kartanegara 51 Kebayuran Baru, jakarta 12110. Menerima surat itu, ahli bahasa yang sering tampil di televisi tersebut jadi geli karena pengirim surat mencontoh begitu saja apa yang tercantum di kartu nama Anton. Minggu lalu anton menunjukkan kartu nama itu pada saya. “Saya sekarang meniru orang Jepang,”katanya. Sebab kartu namanya sekarang dicetak bolak-balik dan menggunakan dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dengan begitu Anton punya kesempatan untuk menerjemahkan alamat surat-menyurat jadi correspondence address. Saya sempat bertanya tentang beberapa kata yang tercetak di kartu namanya. Misalnya tentang “pasca” dan bukan “paska”, dan juga tentang “Kebayuran” dan bukan “Kebayoran”. Itu suatu bukti bahwa saya masih belum bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Atau sebaliknya? Perkembangan terakhir bahasa kita kurang disebarluaskan. Anton cuma tertawa mendengar saya mengemukakan pendapat itu dalam diskusi tentang “Indonesianisasi Merek Dagang” yang diselenggarakan Synergy Business & Management Forum di Hotel Shangri-La, Jakarta. “Dalam diskusi informal semacam ini memang tidak perlu pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar,”
katanya.
Malah
Anton
menganjurkan
supaya
masyarakat
berani
mengembangkan, menghidupkan, bahkan memperkaya bahasa Indonesia. RCTI Oke, Ayo SCTV, Wow Keren dari AN-Teve
adalah contoh hidup di
masyarakat bahwa bahasa Indonesia juga bisa dipakai bergaya. Tapi Anton prihatin kalau ada orang yang namanya Sarintem atau Paidjo dinyatakan lahir di “Beverly Hills” atau “Pasadena”. Padahal dia sebenarnya lahir di sebuah kompleks perumahan di Cikarang, Jawa Barat. “Itu kan mengubah peta,” katanya. Maka Anton berjuan untuk mengindonesiakan nama-nama proyek perumahan terlebih dulu. Anton juga menunjuk beberapa peraturan daerah yang sebenarnya bisa mengharuskan segala merek dagang, kecuali yang dari luar negeri, untuk memakai nama Indonesia, misalnya, jangan diberi izin pemasangannya. Saya, dalam diskusi itu,
mengemukakan pendapat dari sudut pandang pemasaran. Merek dagang adalah brand. Sebuah brand seharusnya merupakan kesimpulan, payung, dan nilai bagi beberapa pihak. Lihat saja Sony, misalnya. Setiap kali konsumen melihat sebuah produk yang menggunakan merek Sony akan langsung menyimpulkan bahwa produk tersebut berkualitas tinggi, hasil inovasi mutakhir, dan buatan Jepang. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja sebuah produk “lolos” dari sistem kontrol kualitas yang sudah cukup ketat. Selain itu bisa saja produk itu cuma dibuat dengan teknologi biasa dan dirakit di Jakarta. Lantaran produk itu sebuah brand yang punya citra bagus, bisa jadi “payung” untuk melindungi produk tersebut. Konsumen akan memaafkan dan bisa mengerti kalau sampai terjadi sesuatu hal yang tidak berkenan. Asalkan tidak terus-menerus, tentunya. Bagi perusahaan, brand bisa memberikan semacam nilai tambah. Sebuah brandedgood bisa dijual lebih mahal dibandingkan dengan produk yang sama tanpa merek terkenal. Pada saat ini ekspor nonmigas kita memang sudah melampaui ekspor migas. Kalau diteliti lebih jauh, sedikit sekali produk nonmigas itu yang dijual dengan brand sendiri sehingga harga jual sangat ditentukan oleh pembeli. Masalah ini lantas erat kaitannya dengan proses “Indonesianisasi Merek Dagang”, yang tentunya akan melanda industri nonmigas. Bukan cuma proyek perumahan yang namanya sudah jadi real estate. Saya mengerti, percaya, dan yakin bahwa penggunaan bahasa Indonesia merupakan bagian penting dari pembangunan rasa kebangsaan yang sangat diperlukan dalam era
globalisasi ini. Tapi saya juga khawatir kalau gerakan pembangkitan
nasionalisme kedua yang cuma didukung retorika bisa menimbulkan salah pengertian di masyarakat. Kita tidak bisa memaksakan orang asing belajar bahasa Indonesia lewat peraturan apapun. Orang Amerika belajar bahasa Jepang bukan karena dipaksa, melainkan
lantaran
ekonomi
Jepang
berhasil
mengglobal.
Jadi
penggalakan
penggunaan bahasa Indonesia harus disertai dengan gerakan nasional lain, seperti peningkatan kedisiplinan, kualitas, dan wirausaha. Kalau tidak, cuma jadi suatu gerakan retorika “kosong” tanpa “substansi”.
BEVERLY HILLS 90210
Barangkali inilah kode pos paling terkenal di dunia: Beverly Hills CA-90210. Diputar RCTI sejak tiga tahun lalu, serial 90210 jadi sangat beken di kalangan remaja Indonesia. Lewat film ini mereka bisa berkhayal akan kehidupan rekan-rekan mereka di Amerika. Tapi sejak ada serial Melrose Place, perhatian pemirsa mulai terpecah. Walau Melrose Place, yang menceritakan kehidupan para eksekutif muda itu, punya target penonton lebih desawa dan disiarkan malam hari, tapi 90210 yang diputar sore hari mulai punya saingan tidak langsung. Ketenaran 90210 ini ternyata menarik Michael Dominicus Chandra, SH, untuk menghadirkan karakter film tersebut dalam bentuk lain. Maka dia langsung cari akses untuk berunding tentang pendirian Café 90210 di Jakarta. “Kafe semacam ini cuma ada satu di dunia. Ya di gedung Eka Life lantai lima ini,” katanya bangga. Michael, yang saya kenal sejak SMP dulu, memang orang kreatif. Idenya selalu unik, orisinal, dan menyimpang. Dia berjuang keras untuk meyakinkan Produser Aaron Spellling tentang perlunya ada Café 90210 supaya ketenaran film itu tidak terusik oleh Melrose Place. Sebenarnya merek dagang 90210, yang punya slogan the appeal is real, sudah punya majalah resmi yang dibuat orang Australia. Selain itu sudah ada kacamata 90210 buatan Italia dan sejumlah produk lain. Spelling, yang semula belum punya pikiran untuk melebarkan usaha ke kafe, akhirnya setuju dengan usul Michael, mengingat pembuatan ataupun penayangan serial film tersebut masih akan berlanjut. Sejak dibuka awal tahun ini, kafe ini terkenal sebagai “tempat mejeng” para remaja. Setiap Minggu pagi, di sana ada kompetisi bola basket three on three, yang memperebutkan gelar juara mingguan, bulanan, dan tiga bulanan, dengan hadiah voucher Café 90210, bola basket, ataupun ring untuk dipasang di rumah. Supaya bisa tampil, tiap tim mesti bayar Rp.10.000 dengan imbalan tiga botol minuman ringan. Mengingat yang bertanding ada puluhan tim, maka acara ini menarik banyak remaja datang ke sana tiap minggu. Bahkan ada tim membawa cheer leaders segala. Pada hari-hari biasa, walau tidak ada kompetisi, anak-anak remaja sering datang ke Café 90210. Ada yang bawa pacar untuk membanggakan timnya yang baru menang atau sekedar kongko sambil mengagumi foto-foto besar para pemain basket Amerika yang dipasang di situ.
Pokoknya, Café 90210 tidak pernah sepi dari pemberitaan karena Michael, yang pernah jadi pemain PSSI Junior dan Wakil Sekjen KNPI Pusat, memang dekat dengan wartawan. Untuk lebih mempopulerkan Café 90210 ini, Michael sudah punya ide “gila” yang akan direalisasikannya tidak lama lagi, yaitu membuat atraksi massal di arena Patung Dirgantara, yang kebetulan tepat berada di depan Café 90210. Anda masih ingat acara menonton Piala Dunia di Hotel Shangri-La tempo hari? Waktu itu Michael memasang layar jumbo dan sound system turbo, yang bisa membawa suasana stadion ke dalam coffee shop hotel. Walau tiket di final di jual Rp.75.000 per orang, termasuk makan- minum sepuasnya, lebih dari 500 orang hadir di sana. Padahal siaran langsung itu juga bisa dinikmati di rumah masing-masing. “Sebenarnya saya cuma memberikan sentuhan emosional penuh antusiame yang tidak bisa didapat di rumah,” kata Michael enteng. Ternyata ide “gila” itu laris bukan main. Untuk menarik orang datang, Michael juga mengundang bekas pemain nasional Ramang, Sutjipto Suntoro, L.H. Tanoto, Kiat Sek, dan juga para wartawan olah raga. Bahkan Kedutaan Besar Brasil merasa perlu datang dan beli tiket 10 buah . Opo ora hebat? Saya jadi ingat pada masa lalu. Sejak SMP, Michael memang bukan anak alim. Dia bahkan sedikit nakal. Tapi justru dari orang seperti inilah biasanya kreativitas bisa timbul. Edward de Bono, pakar berpikir dari Inggris, selalu berkata bahwa pendidikan formal hanya mengajarkan untuk berpikir vertikal. Semuanya langkah demi langkah dan beruntun. Padahal, dalam kehidupan nyata, kita perlu berpikir lateral, yang penting tujuan tercapai. Hanya orang seperti itulah yang bisa berpikir ke luar dari konteks konvensional, dan bisa menciptakan paradigma baru.
TELKOM
RESTRUCTURING, strategic alliance, dan go public. Tiga hal besar itulah yang dilakukan PT (Persero) Telekomunikasi Indonesia (Telkom) tahun ini. Inilah BUMN yang secara resmi menjadi PT (Persero) pada 1991. Sebelumnya, pada 1990, Indosat, yang telah “dipisahkan” secara organisasi, sudah berlari secara gesit. Sebelum ada saingan berat masuk, Indosat sudah go internasional lebih dulu. Sementara itu Telkom, yang dulu sudah mulai didandani Cacuk Sudaryanto, seolah kehilangan “komandan” ketika orang nomor satu itu turun panggung. Pengganti Cacuk, Setyanto P.Santosa, yang mulanya diragukan orang karena cuma punya pengalaman di BUMN lain yang lebih kecil, ternyata bisa melakukan gebrakan besar. Beda dengan Cacuk, yang termasuk orang “banyak bicara, banyak kerja”, Setyanto terkesan lebih low profile, high productivity. Melakukan perubahan pada BUMN raksasa, seperti Telkom, sama sekali tidak mudah. Itu bisa sama susahnya dengan mengubah arah gerak dari kapal induk yang sedang berlayar di samudra. Bayangkan saja, begitu besarnya ukuran sebuah kapal induk, sampai-sampai gelombang samudra sebesar apa pun tidak akan terasa mengguncangnya.
Tidak
mengherankan
bila
seluruh
penumpang,
termasuk
nahkodanya, merasa aman bila berlayar dengan kapal induk. Pendek kata, mereka selalu merasa comfortable. Lain halnya dengan kapal kecil yang harus waspada terhadap ombak. Nahkoda kapal seperti ini harus pintar memilih alur supaya terhindar dari serangan arus besar. Justru karena selalu waspada itulah seluruh awak kapal jadi “lincah” menghadapi perubahan cuaca. Bagaimana dengan kebocoran? Kapal induk yang bocor tidak merasakan apaapa pada mulanya. Tapi begitu ketahuan, biasanya lebih sulit untuk menyelamatkannya, apalagi yang sudah “setengah” tenggelam. Sedangkan kebocoran di kapal kecil selalu mudah terdeteksi. Dengan demikian, akan lebih mudah diselamatkan. BUMN besar bisa diumpamakan kapal induk. Pasar yang diproteksi oleh Pemerintah menyebabkan keuntungan selalu tercapai dari waktu ke waktu, tanpa hambatan. Kebocoran pun bisa tak terasa. Maka Cacuk, waktu itu masih memimpin
Telkom, pernah menyatakan bahwa dia tidak punya kebanggaan sama sekali kalau Telkom selalu untung dari tahun ke tahun. Lha wong monopoli, ya mesti untung. Walau arus globalisasi belum sederas sekarang, Cacuk sudah melihat gejalanya. Maka semangat bersaing lantas dihidupkannya secara internal. Selain itu ia juga menggenjot pengembangan sumber daya manusia. Maklum, manusia yang jumlahnya cukup banyak malah bisa menjadi “beban” kalau tidak punya kualitas memadai. Pada waktu Setyanto naik panggung, dialah orang luar yang harus bisa mengendalikan sebuah kapal induk yang awak kapalnya sedang “diubah”
Cacuk.
Pekerjaan Cacuk yang jauh dari selesai, pergantian pimpinan yang terkesan mendadak, dan citra pribadi Setyanto sebagai bekas nahkoda kapal “kecil” waktu itu tidak terlalu menguntungkan bagi Telkom. Tapi dengan berjalannya waktu, justru Setyanto cukup berhasil untuk “masuk” ke dalam kapal induk tadi. Ia cukup pintar dengan mengambil sikap menghargai apa yang telah dilakukan Cacuk. Tidak cuma itu, Setyanto juga dengan cerdik mengoptimalkan pembinaan sumber daya manusia yang telah dilakukan Cacuk. Bertepatan dengan arus globalisasi yang makin deras, industri telekomunikasi sudah tidak bisa lagi main tunggal. Ombak samudra bertambah besar dengan datangnya pemain swasta ataupun asing yang mengincar kesempatan. Tidak ada jalan lain bagi Setyanto untuk menaikkan citra Telkom, kecuali melakukan perubahan besar-besaran tanpa banyak bicara. Kapal induk ini harus bisa lari cepat seperti seorang atlet tangguh. Dulu gemuk adalah lambang kemakmuran. Sekarang justru jadi lambang kolesterol. Restrukturisasi yang dilakukan Setyanto adalah upaya untuk membuang lemak di dalam tubuh organisasi Telkom. Kalau teknologi memang belum dikuasai, apa salahnya bekerja sama dengan perusahaan asing. Go public merupakan cara untuk mendapatkan dana murah, dan dana adalah darah bagi perusahaan. Dengan melakukan tiga hal tadi, Setyanto sebenarnya ingin mengubah sosok Telkom. Mau menjadi kapal kecil sudah tidak bisa lagi. Lebih baik menjelma menjadi atlet yang gesit, yang hampir tidak punya lemak, penuh otot, dan aliran darah lancar. Tapi semuanya ini harus dilakukan secara berhati-hati. Kalau tidak, awak kapal bisa bingung menghadapi tiga perubahan sekaligus: operasi pengurangan lemak, transplantasi otot, dan tranfusi darah.
SELERA
Penah dengar nama Subway? Itulah merek sandwich terkenal di Amerika. Punya ribuan outlet di mana-mana. Subway menyatakan dirinya sebagai The Place, where fresh is the Taste. Kata Fresh ditekankan untuk membedakan mereka dengan restoran siap hidang lain. Bila restoran siap hidang lain siap dengan makanan yang sudah dimasak, di Subway dibuat begitu ada orang memesannya. Maka seluruh karyawan Subway dilatih untuk melayani pelanggan dengan cepat. Tapi keunikan Subway sebenarnya bukan terletak di situ. Kalau membeli sandwich, Anda akan ditanya mau pakai roti putih atau roti cokelat. Yang food long atau six inches. Mau pakai mentega yang rasa apa. Lantas, isinya mau daging bakso, daging iga, atau ikan tuna. Sausnya juga pilih: mau rasa tomat, rasa barbeque, atau rasa vinegar. Mau pakai tomat atau tidak. Mau pakai bawang bombai atau tidak. Mau pakai acar atau tidak. Dan seterusnya. Dengan demikian, Subway yang Anda makan tidak pernah sama dengan yang dipesan orang lain. Dan kombinasinya tidak terbatas. Lewat cara itu, Subway tetap bisa jadi fast food, sekaligus fresh food dan variety food. General Motors, yang babak belur digempur Jepang, sekarang mulai mencoba bangkit kembali. Salah satu produknya yang laku keras di Amerika pada saat ini adalah GM Truck. Seperti mambeli Subway tadi, pelanggan juga boleh pilih jenis mesin, jenis kaca, jenis aksesori, jenis ban, dan sebagainya. Harga ditentukan oleh kombinasi yang dipilih. Dan mobil paling lambat siap di tempat paling lambat dua minggu sejak dipesan. Relatif cepat dibandingkan dengan pesan mobil di sebuah perusahaan karoseri di Indonesia. Dengan demikian, GM Truck ingin jadi fast build car sekaligus customized car. Di Amerika juga ada sebuah perusahaan yang memberi pelayanan informasi menurut selera pelanggan. Perusahaan ini berlangganan semua jenis koran dan majalah. Lantas mereka bertanya kepada pelanggannya: Anda tertarik pada berita apa saja? Kalau pelanggan menyatakan bisnis, ekonomi, dan politik di kawasan Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Pasific, maka hanya berita dan artikel tentang hal-hal itu saja yang dikirim melalui Internet.
Setelah itu pelanggan diminta menilai berita dan artikel yang dikirim. Umpan balik itu secara langsung merupakan masukanbagi perusahaan tersebut, yang bisa dipakai untuk menyempurnakan lagi customization dari jasa yang diberikan. Hebatnya, semuanya itu dilakukan lewat sarana komunikasi dan komputer mutakhir. Dengan demikian, sekali lagi, pelanggan bisa dipuaskan secara tepat dan customized. Mass-customization memang berbeda dengan variety. Seiko, Casio, ataupun Swatch meluncurkan banyak produk sekaligus ke pasar. Mau cari arloji dan kalkulator model apa saja ada. Itu namanya baru “variasi”. Mengapa? Karena Anda tidak merancang sendiri produk yang mau dibeli. Sedangkan pada mass-customization, Anda bisa menentukan sendiri secara pas produk yang dibutuhkan. Strategi pemasaran berdasarkan variasi juga sering menimbulkan pembinaan inventory secara berlebihan.
Baik bagi produsen maupun penjual. Semua model
terpaksa harus disediakan. Padahal dari pengalaman ditemukan bahwa selalu ada pareto di situ. Artinya, hanya beberapa model saja yang menghasilkan sebagian besar omset penjualan. Sisanya bisa mengurangi keuntungan, bahkan menimbulkan kerugian. Memang ada dampak promosi di titik penjualan karena banyaknya variasi sudah merupakan iklan tersendiri. Tapi hal ini juga sering menimbulkan dampak negatif yang kurang diperhitungkan. Model-model yang slow moving akan kurang terpelihara sehingga bisa merusak citra. Selain itu terlalu banyak variasi akan membingungkan pembeli. Keputusan pembelian akan berjalan lebih lambat karena screening harus dilakukan beberapa kali. Apalagi kalau tidak ada tenaga penjual yang bisa memberi rekomendasi sesuai dengan kebutuhan pembeli. Dari segi biaya, strategi mass-customization lebih menguntungkan. Sebab yang disimpan cuma komponen dasar. Belum dirakit menjadi produk siap pakai. Pada kasus Subway, bahan dasar adalah roti, daging, saus, dan sayur. Pada kasus GM Truck, komponen dasar bahkan belum tentu disimpan di pabrik. Bisa-bisa masih ada di gudang pemasok. Tapi nggak usah khawatir. Begitu diperlukan, komponen-komponen itu bisa dipesan secara just-in-time. Pada kasus pelayanan informasi, bahan dasar ada pada majalah dan koran yang beritanya belum diolah lagi. Dengan hanya menyimpan komponen atau bahan dasar, maka belum ada “nilai tambah” yang ditambahkan. Era globalisasi yang dampaknya mengakibatkan tuntutan konsumen makin bervariasi memang harus diantisipasi. Tapi jangan sampai terjebak pada tidak
tercapainya efisiensi. Scale of economies dan scale of scope harus tercapai secara bersama. Dan hal tersebut cuma bisa dicapai lewat strategi mass-customization.
GATOTKOCO
Ada tiga alasan utama mengapa pesawat Gatotkoco juga akan dibuat di Seattle. Pertama, 60 persen bahan pesawat ini memang buatan Amerika Serikat. Kedua, Amerika merupakan pasar terbesar untuk segala macam pesawat terbang. Ketiga, kredibilitas bisa naik mengingat semua pesawat terbang sejenis Gatotkoco tidak ada yang dibuat di Amerika. ATR, yang punya harga hampir sama dengan Gatotkoco, adalah buatan Eropa. Perusahaan ini dimiliki secara bersama oleh pemerintah Perancis dan Italia. Belakangan Inggris ikut punya saham di situ. Pesaing “sekelas” lain membuat pesawat mereka di Kanada, Belanda, dan Brasil. Perusahaan Amerika, yang tidak ditunjang pemerintah, melepas pasar kategori ini karena pasti tidak bisa bersaing. Sementara hampir semua “pemain luar” ditunjang pemerintah masing-masing. Pasar Amerika sebenarnya sangat besar, mengingat kebutuhan akan kapal terbang regional bisa meningkat terus. Bukan cuma daya beli rakyat di sana sudah besar, melainkan pasar juga bisa diciptakan. Lihat saja, Southwest Airlines, satusatunya perusahaan penerbangan di Amerika yang terus-menerus untung selama 20 tahun terakhir. Salah satu kunci keberhasilan mereka adalah pemilihan rute yang tidak pernah lebih dari dua jam. Dalam penerbangan “jarak pendek” seperti itu, penumpang tidak terlalu akan pelayanan, karena itu southwest bisa jadi no frills airline dan banting harga. Dengan berusaha jadi industry cost leader, Southwest tidak hanya membabat perusahaan penerbangan lain, melainkan juga bus dan mobil pribadi. Orang bisnis lebih memilih naik pesawat dengan harga murah tapi cepat dibandingkan naik bus atau menyetir mobil sendiri. Maka, setiap kali Southwest membuka rute baru, selalu ada pasar “baru” yang berhasil diciptakan. Di Amerika, ada sekitar 70 perusahaan penerbangan, sedangkan yang bisa jadi potential market untuk Gatotkoco sekitar 30. Walaupun Gatotkoco baru terbang secara komersial di Indonesia, dengan logo Merpati, pada 1997, usaha pemasaran di Amerika sudah digiatkan mulai sekarang dari Seattle. Tentu saja pasar domestik harus diciptakan lebih dulu untuk memberi kesempatan melakukan uji coba produk.
Analisis pasar, pesaing, dan perilaku konsumen secara sederhana ini diceritakan secara lancar oleh Satya A. Wibowo, Marketing Director IPTN AMRAI, yang saya temui di Evanston, beberapa minggu lalu. Kebetulan kami sama-sama mengikuti program pendidikan eksekutif tentang komunikasi pemasaran di Kellog Business School, Northwestern University. Yang menarik, pada program yang sama, saya juga menjumpai Edgar Kelly Garcia, peserta dari Mexico . Anak muda ini adalah Marketing and Sales Manager dari Aerolitoral, perusahaan penerbangan regional di Mexico. Dia terheran-heran ketika kasus Southwest dibahas di program itu karena persis dengan strategi yang dijalankannya di Mexico. Rata-rata waktu penerbangan di Aarolitoral adalah 65 menit, dan pesawat yang dipakai cuma muat 19 orang dan tanpa toilet. Perusahaan Aarolitoral untung terus, kecuali tahun lalu, ketika peso mengalami devaluasi berat. Sekarang situasi ekonomi makro di Mexico mulai membaik, karena itu Garcia ingin mengembangkan diri dengan mempunyai rute-rute baru yang sedikit lebih “panjang”. Pada saat ini Garcia sedang melakukan shopping terhadap beberapa brand pesawat rgional. Brosur Gatotkoco, yang di Amerika disebut N250 AMRAI, sudah didapatnya dari Satya A.Wibowo. “Memasarkan pesawat di Amerika tidak mudah. Masalah paling kritis yang harus dipecahkan sekarang adalah siapa yang akan jadi pembeli pertama,”kata Satya. Kemitraan merupakan strategi utama yang akan dijalankan Satya. Atas dasar itu IPTN AMRAI tidak akan hanya menjual pesawat, melainkan juga menawarkan suatu solusi bisnis buat pelanggan. Solusi itu bahkan bisa sampai mencapai ke masalah pembiayaan dalam bentuk tanggung resiko bersama. Dalam menjalankan tugas yang berat itu, Satya didampingi Direktur Penjualan, dan melapor kepada Wakil Presiden Pemasaran dan Penjualan, yang keduanya orang bule. IPTN AMRAI juga punya beberapa pelobi di Washington. Mendengar cerita Satya itu, saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil memuji. Bagaimana tidak. Pertama, Satya sedang menjalankan strategi pemasaran untuk menjual suatu produk padat teknologi di negara maju yang menganut paham pasar bebas. Kedua, dia sedang berusaha “membalik” citra Indonesia sebagai brand di Amerika, dari liability menjadi aset supaya terjadi total positive equity. Ketiga, dia pasti juga harus “berani” membuat IPTN AMRAI benar-benar menjadi customer driven
company, bukan technology driven company seperti banyak dikatakan orang terhadap perusahaan induknya di Tanah Air.
TIGA SERANGKAI
Bulan lalu, istri saya ngidam berat Carolina Honey. Di Jakarta, belum sempat mampir di Restoran Tony Romas, kami sudah harus berangkat ke Amerika. Saya menghibur dia dengan mengatakan bahwa di Times Square kan ada Tony Romas. Bahkan yang asli. Susahnya perjalanan kami ke Amerika kali ini tidak langsung ke New York. Harus mampir dulu ke kota kecil Austin, Texas. Lantas masih harus ke Evanston, dekat Chicago, untuk mengikuti Program Pendidikan Eksekutif di Kellogg Business School. Jadi begitu check-in di Grand Hyatt Hoetl, New York, saya langsung ajak istri saya ke 48th street. Saya ingat persis di sana, di perempatan jalan dekat Broadway, ada Tony Romas. Walau cuma beda enam blok, malam itu kami naik kereta bawah tanah supaya cepat. Tapi apa yang ditemui di situ: Tony Romas sudah tidak ada, gantinya adalah Restoran Texas Grill. Wong namanya sudah ngidam berat, istri saya ngotot saja masuk. Ternyata makanan yang dijual persis sama. Cuma namanya diganti. Dekorasi pun berubah. Interiornya dihiasi kertas dinding motif batu bata. Dan di situ ditulis: Texas Grill, established 1870. Apa mau dikata, tidak ada rotan akar pun berguna. Ketika sampai di Jakarta kembali, istri saya bergegas ke Tony Romas di Panin Center. Apalagi yang dipesan kalau bukan Carolina Honey. Ini baru yang asli, katanya berseri-seri. Cerita sederhana ini memberikan beberapa pelajaran menarik. Pertama, produk bisa sama, tapi brand sangat menentukan. Walau rasa produk Texas Grill sebenarnya sama dengan yang ada di Tony Romas, istri saya tetap mengatakan beda. You taste what you want to taste. Maka saya tidak percaya pada Shakespeare, yang mengatakan: What is in name? Bagi istri saya, rib steak yang asli ya di Tony Romas itu. Mengapa? Persepsinya akan standar ukuran tersebut telah terbentuk. Ketika saya ajak makan di Chicago of Ribs atau di Black Steer, di Jakarta, dia juga tetap bilang tidak suka. Yang asli, Tony Romas, katanya. Sebenarnya siapa yang berhak disebut asli? Itulah pelajaran kedua: sekali standar sudah dibentuk oleh satu brand, maka brand lain akan dibandingkan dengan brand tersebut. Seolah-olah ada reference brand yang dipakai sebagainpembanding. Al Ries, mitra saya, mengatakan bahwa Anda perlu melakukan klaim yang pertama kali, dengan demikian Anda akan diakui orang.
Ketiga, walaupun menggunakan brand berbeda, Texas Grill, yang terletak di perempatan 48th Street dan Broadway, bisa tetap ramai karena lokasinya bagus. Daerah itu merupakan daerah teater, jadi banyak orang makan, baik sebelum maupun setelah menonton teater. Para penonton teater yang tidak menemukan Tony Romas di situ pasti akan mencoba Texas Grill. Kelihatan banyak yang cocok. Ini suatu bukti bahwa brand switching bisa terjadi karena product availability tidak ada. Menjaga ketersediaan produk di tempat-tempat yang merupakan target pasar adalah sangat menentukan. Sekali kosong, apalagi untuk produk-produk yang bersifat risiko rendah, sangat mungkin terjadi uji coba terhadap produk lain. Risikonya, konsumen akan pindah dan tidak kembali lagi. Pentingnya brand equity, standard setting, dan product availability karena bisa membuat konsumen jadi loyal. Sebab konsumen sebenarnya kurang mengerti produk. Mereka cuma mengerti brand. Maka buatlah brand Anda bisa punya equity yang tinggi. Lantas? Buatlah diri Anda jadi orang pertama yang mengeset standar yang sulit ditiru orang supaya semua orang menganggap produk Anda yang asli. Kalau sudah begitu Anda akan punya keunggulan bersaing yang sukar ditandingi. Sedangkan ketersediaan produk di tempat yang lazim harus terus-menerus diperhatikan supaya konsumen tidak kecewa karena tidak bisa menemukan suatu brand Anda. Kalau Anda sudah jadi pemimpin pasar, Anda harus tetap waspada akan tiga hal tersebut. Dengan melakukannya, akan sulit bagi pesaing untuk mencuri pasar Anda.
TELEPON GENGGAM
Tiga tahun lalu saya membeli telepon genggam Motorolla dengan harga Rp 17 juta. Terus terang, walaupun mahal, pesawat telepon yang bisa dibawa kemana-mana itu memberikan suatu nilai yang tinggi untuk saya. Soalnya, waktu itu, sambungan telepon SLJJ lewat saluran Telkom sering gagal, terganggu, bahkan putus. Sedangkan telepon genggam lebih menjamin terjadinya sambungan. Selain itu, profesi saya sebagai konsultan, yang sering berada di luar kantor, mengharuskan bisa diakses setiap saat. Juga terus terang ada gengsi tersendiri memegang “benda ajaib” yang tidak murah itu, Motorolla pula mereknya. Ketika harga telepon genggam mulai turun, saya cuek saja. Toh saya tetap bisa merasakan manfaatnya, baik yang rasional maupun emosional. Smentara itu, Telkom pun secara berangsur-angsur memperbaiki pelayanan mereka, bukan cuma kegagalan sambungan berkurang, telepon umum juga mulai bertebaran di mana-mana, ada yang pakai koin, ada yang pakai kartu, bahkan calling-card. Pada waktu jumlah telepon genggam makin banyak dan tenologinya sudah bukan barang asing lagi, saya mulai merasa kecewa. Soalnya, line sering penuh, ada bahaya penggandaan nomor telepon, sampai bahaya penyadapan percakapan. Pada situasi seperti itu, ada “hiburan” lain. Jaringan telepon genggam merambah banyak kota di seluruh Indonesia. Sistem GSM dipromosikan besar-besaran. Sistem “lama” yang dulu tidak diketahui namanya, mendadak jadi terkenal “jelek”: itulah AMPS. Tergoda oleh kehebatan publikasi GSM, yang boleh dikatakan over promise, saya langsung pesan pesawat “canggih” itu sebelum diluncurkan. Apa yang terjadi? Terus terang, waktu itu, saya kecewa ketika mendapat kenyataan bahwa GSM dengan kode 081 itu “cuma” bisa dipakai di Jakarta dengan banyak blind spot. Sekarang sudah lebih terhibur karena sudah bisa dipakai di Surabaya. Persaingan yang begitu keras, plus deregulasi, meyebabkan haraga telepon genggam dengan sistem GSM mendadak turun menjadi sekitar Rp 1 juta. Telepon genggam GSM sudah dipegang banyak orang, termasuk salesman. Terus terang, saya mulai “malu” kalau terlihat membawa telepon genggam. Apalagi kalau ada nada panggil pada saat pertemuan, seminar, atau sedang berkumpul dengan orang banyak. Saya
tetap butuh telepon genggam, tapi justru membawanya secara sembunyi-sembunyi. Terus terang, takut dicap salesman. Mengapa semua ini begitu cepat berubah? Dalam konsep pemasaran ada yang namanya perceived value, yang rumusannya sama dengan perceived benefit dibagi price. Tiga tahun lalu, walaupun membeli pesawat AMPS dengan harga Rp 17 juta, saya merasa mendapatkan perceived value yang tinggi. Sebab perceived benefit terdiri dari manfaat produk ditambah manfaat servis plus brand image. Dan semua itu relatif sifatnya. Dibandingkan dengan manfaat Telkom, waktu itu, servis yang diberikan operator telepon genggam hebat, apalagi kalau ditambah manfaat produk plus citra Motorolla, otomatis membuat nilai “pembilang” jadi besar sekali. Jadi saya tetap merasa mendapatkan nilai yang tinggi. Sekarang nilai “pembilang” itu “turun drastis”. Mengapa? Dibandingkan dengan Telkom yang makin membaik, pelayanan operator GSM bisa terlihat “par” atau bahkan lebih “minim”. Manfaat produk terasa “menurun” kalau dibandingkan dengan AMPS yang bisa dipakai di mana-mana. Tambahan voice mail message dan divert tidak terlalu menolong karena kurang begitu dikenal bagi orang Indonesia. Maklum, orang Indonesia tidak bisa bicara dengan mesin. Bagaimana dengan brand immage? Wah, ini yang turun drastis. Ketika makin banyak orang membawa telepon genggam, eksklusivitas merek apapun jadi hilang. Sulit dibedakan dengan mata awam, telepon genggam GSM dengan harga Rp 5 juta dengan yang berharga Rp 1 juta. Maka, walaupun nilai penyebut harga turun drastis, ternyata hasil pembagian perceived benefit dan price yang menghasilkan perceived value malah turun. Inilah contoh sederhana bagaimana seorang pemasar seharusnya berpikir – selalu mengukur nilai yang dipersepsi oleh konsumen awam. Mencoba
mengikuti
turun
dan
naiknya
perceived
value
produk
Anda
dibandingkan dengan pesaing, baik yang langsung, maupun tidak langsung, makin persaingan jadi mengglobal, perceived value produk Anda makin mudah berubah, dan biasanya berkurang. Cuma ada dua jalan untuk mendongkraknya kembali,
yaitu
memperbesar “pembilang” (perceived benefit) atau memperkecil penyebut (price). Keduanya bisa dilakukan sendiri-sendiri atau sekaligus.
MERPATI
Pada suatu malam Minggu, ketika berada di Jimbani Café, Kemang, Jakarta, saya terkesan pada sebuah lagu yang dibawakan kelompok musik Amigos. Ketika itu Amigos, yang biasanya mendendangkan irama Amerika Latin, menyanyikan Merpati Putih Tak Pernah Ingkar Janji. Semua pengunjung sempat mendengar lagu yang tak biasa itu. Ada apa? Sang penyanyi
menyatakan bahwa lagu itu dipilihnya untuk
memperingati penggantian Direktur Utama Merpati. Penggantian Ridwan Fataruddin, sang direktur utama, memang cukup banyak diperbincangkan orang. Koran Republika menurunkan sebuah kolom, yang membahas masalah ini, dengan judul menarik: Emprit Airlines. Saya jadi geli sendiri membaca judul tersebut. Soalnya, saya selalu memberikan julukan Gelatik, bahkan Emprit, kepada mereka yang bekerja rutin dan tak berani mengambil risiko. Masuk kantor pukul 07.55, dan pulang pukul 17.05. Pendek kata, asal kartu absen tidak merah. Orang-orang jenis ini, setiap kali tidak masuk kantor, selalu ribut cari surat dokter supaya tidak disalahkan. Mereka selalu berusaha patuh kepada atasan supaya aman. Persis burung gelatik, yang tidak bisa terbang tinggi karena sayapnya kecil. Burung ini cuma terbang dari genting ke genting, dan memakan beras yang tercecer. Apalagi emprit. Ini adalah anak gelatik, yang cuma bisa mendongakkan kepala, membuka mulut, dan menunggu disosohi makanan oleh induknya. Sifat gelatik dan emprit sangat berbeda dengan elang, apalagi rajawali, yang berani terbang tinggi. Kedua jenis burung yang disebut terakhir terkenal berani mengambil risiko. Orang tipe elang, lebih-lebih Rajawali, berani mengambil keputusan yang dianggapnya benar, walau sering harus menanggung risiko. Orang seperti ini bukan sekedar meminimalkan risiko pribadi, melainkan justru ingin memaksimalkan kontribusi kepada perusahaan dengan segala macam risiko pribadi. Saya tidak mengatakan bahwa Ridwan adalah elang karena keberatan dengan tawaran imbal beli yang kemahalan dari PT Arthasaka Nusaphala untuk CN-235. Saya pikir, memang banyak yang harus diperbaiki Merpati. Sebagai konsumen, terus terang, saya sering dikecewakan anak perusahaan Garuda yang satu ini. Pada saat Sempati menggebrak industri penerbangan di Indonesia, Garuda bangun dari tidur dan memperbaiki pelayanan secara drastis. Mandala dan Bouraq pun
berusaha keras untuk bisa unggul di beberapa rute tertentu. Pada saat ini justru Merpati yang ketinggalan jauh. Sebagai orang yang sering bepergian dengan jadwal ketat, saya sangat menderita kalau ada suatu flight delay. Celakanya, Merpati kita ini harus diakui belum jadi Merpati Putih Tak Pernah Ingkar Janji. Bahkan pengumuman berangkat terlambat sering baru disampaikan setelah jadwal lewat. Akibatnya, Merpati hampir selalu jadi pilihan terakhir bagi sebagian besar orang untuk suatu rute. Pada rute Jakarta – Semarang, misalnya, Mandala, yang terbang dengan Boeing 737, pasti jadi pilihan utama. Sempati, yang pakai Foker 27, bisa jadi pilihan kedua. Padahal Merpati menggunakan Foker 28 jet. Merpati,
yang
sebenarnya
diharapkan
Garuda
untuk
jadi
perusahaan
penerbangan Silk Air dari Singapore Airlines, memang masih jauh dari harapan. Singapura , yang cuma sebuah kota, merasa perlu punya Silk Air
yang
menghubungkannya dengan kota-kota kedua dan ketiga di negara-negara Asia. Maka Silk Air terbang ke tempat-tempat seperti Medan, Pekanbaru, Padang, Solo, Mataram, dan Manado. Selain itu mereka juga terbang ke Kun Ming dan Xiamen(Cina), Vientiane (Laos), Kuantan, Langkawi, Tioman (Malaysia), Yangon (Myanmar), Cebu (Filipina), dan Chiangmai, Hatyai, Phuket (Thailand). Singapore Airlines tidak perlu menempuh ruterute perintis seperti itu. Dan Silk Air bekerja keras untuk menarik minat orang Singapura atau pengunjung transit mendatangi tempat-tempat itu. Terlihat jelas bahwa Silk Air berusaha keras memberi pelayanan pada penerbangannya sebagaimana Singapore Airlines yang memang sudah kondang itu. Bagaimana dengan Merpati? Mudah-mudahan Budiarto Subroto, Direktur Utama Merpati yang baru, setidaknya bisa jadi elang asli yang tidak cuma bisa menolak CN-235, melainkan juga berani melakukan terobosan untuk melakukan perbaikan pelayanan secara drastis. Susahnya, Merpati tidak bisa pakai logo Elang supaya bisa berubah. Selain tidak cocok, gambar burung itu sudah dipakai Silk Air.
ASTRA
Inilah saham yang paling hot pekan lalu: Astra. Ketika di sebut-sebut bahwa prajogo Pangestu dan Henry Pribadi akan menjual sebagian atau bahkan semua saham mereka, desas-desus pun langsung merebak. Hampir semua orang beken di negeri ini disebut-sebut sebagai punya minat untuk “masuk” ke situ. Selama desas-desus berlangsung, harga saham Astra pun bergerak naik. Soalnya, banyak orang ingin meneggak keuntungan dengan memanfaatkan situasi. Setelah Putera Sampoerna diumumkan sebagai pembeli saham Astra, dan akhirnya sebagai pemilik saham terbesar, maka situasi menjadi lebih terang. Maksudnya, yang benar-benar “masuk” di Astra adalah pemilik pabrik rokok yang lagi naik daun itu. Lantas, apa yang terjadi? Ada beberapa hal yang perlu dikaji. Pertama, ternyata sikap agresif Putera Sampoerna, setelah menguasai mayoritas saham Transmaco dan memiliki saham terbesar Astra, kurang disukai broker lokal ataupun luar negeri. Saya bisa mengerti “ketidaksukaan” itu, karena Putera Sampoerna mencoba lagi untuk “berjudi” dengan melakukan ekspansi di luar core business-nya. Rasanya, masih segar di ingatan kita ketika hal serupa dilakukan Putera Sampoerna sekitar delapan tahun lalu. Waktu itu Putera Sampoerna ingin menjadi konglomerat dalam waktu singkat. Terkesan jorjoran dengan Summa, yang waktu itu lagi getol-getolnya masuk ke segala macam proyek. Untungnya, Putera Sampoerna bisa menyelamatkan diri pada saat-saat kritis. Sementara bos Summa, Edward Soeryadjaya, terjerembab oleh ambisinya, dan Om Willem nyaris kehilangan seluruh sahamnya di Astra, Putera Sampoerna cepat sadar. Hampir semua perusahaan nonrokok di Kelompok Sampoerna dibubarkan. Tentu saja setelah mengalami kerugian besar-besaran, diantaranya Bank Sampoerna. Pada waktu Astra dimasuki berbagai pemilik baru, Sampoerna “selamat”, antara lain karena usaha go public-nya yang berhasil. Setelah kembali kebisnis utama, rokok Djie Sam Soe, yang merupakan cash-core, sampai sekarang maju pesat. Selaini tu, A Mild sukses berjuang dengan merek yang sudah lebih dari delapan puluh tahun itu. Apa yang terjadi setelah Sampoerna berhasil menyodok Bentoel dan Djarum? Ternyata ambisi ekspansif Putera Sampoerna seolah “kambuh” lagi. Keuntungan besar yang didapat dari bisnis rokok bukan cuma dipakai untuk melakukan ekspasi geografi ke
Malaysia, Myanmar, dan Vietnam, melainkan juga difersifikasi kebidang lain, yang belum tentu dimengertinya. Kalau memang benar Putera Sampoerna mengurangi saham pribadinya di perusahaan Sampoerna demi meraih kepemilikan terbesar di Astra, maka ini benarbenar suatu judi besar. Kedua, dari sisi Astra, kelihatannya desas-desus perubahan kepemilikan status kali ini tidak menggejolakkan karyawan. Kayaknya mereka sudah sangat percaya pada manajemen yang dipimpin Teddy Rahmat bahwa siapapun yang menjadi pemilik Astra, tidak akan ada perubahan yang berarti di dalam tubuh perusahaan sendiri. Dan, harus diakui, sampai saat ini belum satupun perusahaan besar di Indonesia yang sudah teruji seperti Astra. Artinya, walaupun pemiliknya orang banyak, dan pendirinya sudah tidak ada lagi, budaya perusahaan tetap tidak goyah. Saya sering mengatakan pada setiap kesempatan, sesungguhnya kita harus berterima kasih kepada Om Willem. Ia bukan cuma meninggalkan perusahaan besar untuk bangsa ini, melainkan juga perusahaan dengan budaya kerja yang sudah teruji. Perusahaan lain boleh saja besar ukurannya, tapi belum teruji bisa berjalan lancar setelah ditinggal pemiliknya Keempat, selama ini Astra sudah membuktikan bahwa perusahaan bukan cuma bisa berjalan baik, melainkan juga tetap berkembang dengan “pemisahan” garis yang jelas antara “manajemen” dan “pemilik”. Walaupun manajemen harus bertanggung jawab kepada pemilik, dalam menjalankan operasional sehari-hari manajemen cukup independen. Maka, setiap perubahan kepemilikan tidak akan berpengaruh banyak terhadap operasional manajemen Astra sehari-hari. Putera Sampoerna memang bisa mengusulkan perubahan komisaris, tapi setiap campur tangan terlalu jauh ke dalam manajemen Astra akan menimbulkan risiko. Astra bukan Sampoerna Di pihak lain, Putera Sampoerna, yang sudah terlanjur tercebur dalam di Astra, tidak akan bisa lagi “keluar dengan tenang” seperti ketika memutuskan masuk. Padahal, kalau ia terus berupaya meningkatkan pengaruhnya, belum tentu memberikan hasil yang menggembirakan. Pendek kata, dalam kasus Astra, Putera Sampoerna “maju kena mundur kena”.