HENDRA EFIVANIAS
SALIB YANG DIBAKAR
2012
1 “Namaku Ahmad dan aku bukan Muslim!” Itulah kalimat yang Ahmad ucapkan setiapkali berkenalan dengan setiap orang. Penekanan pada identitas agamanya bukan tak beralasan. Ia tak ingin, orang lain salah paham setiap kali berkenalan dengannya. Dengan nama Ahmad yang disandangnya, orang-orang akan mengira ia seorang Muslim. Padahal Ahmad terlahir dari keluarga Kristen yang taat. Dan, sampai usianya menginjak duabelas tahun, agama itulah yang ia yakini kebenarannya. Dia sadar, nama Ahmad memang kerap diberikan kepada anak laki-laki yang beragama Muslim. Ada yang bilang arti nama itu adalah, terpuji. Sebuah makna yang sama sekali membuat Ahmad bangga. Tapi, setelah orang mengenalnya sebagai Kristen, banyak komentar miring yang ia terima. Ada yang mencibir tak pantas. Mereka bilang, nama Ahmad lebih tepat digunakan untuk lelaki Muslim bukan Kristen seperti dia. Lebih parah lagi, tak sedikit orang yang menganggap ia terlahir di keluarga yang murtad dari Islam. Selama menghirup udara di negeri Indonesia ini, Ahmad sadar 2
anggapan-anggapan
mereka
ada
benarnya.
Setahunya, tak pernah satupun orang yang bukan Muslim memakai nama itu. Argumen itu pulalah yang membuat orang-orang menganggap keluarganya mempunyai garis keturunan orang-orang yang murtad dari Islam. Dan mereka bilang, dosa orang murtad lebih besar daripada orang yang hidup sebagai kafir. Anggapan itulah yang kerap membuat Ahmad marah dan enggan bergaul dengan anak-anak sebayanya hingga menginjak usia tujuh tahun. Namun, setelah ia duduk di bangku kelas VI SD, berbagai hinaan tak lagi mau ia dengar. Ahmad seperti anak yang kebal hinaan. Apalagi ayahnya, Josef Utomo selalu memberi penguatan agar Ahmad tetap bangga dengan identitasnya. “Semua hinaan anggaplah angin lalu. Karena kamu sangat berharga dimata Tuhan dan keluarga ini,” itulah kata penghiburan yang kerap Josef ucapkan. Sejak saat itu, Ahmad bertekad memegang prinsip tersebut sampai akhir hayatnya. Sejak saat itu, Ahmad juga tak lagi menghindar bergaul dengan teman sebayanya. Dan ternyata, banyak diantara mereka yang mau berteman. Ahmad sadar, tak semua orang menganggap perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak berteman. 3
Nama Ahmad sebenarnya bukan tanpa sebab dilekatkan padanya. Sewaktu muda dulu, Josef mempunyai sahabat karib. Bahkan bisa dikatakan teramat karib. Ahmad Tohor namanya. Dia memang seorang Muslim. Ahmad Tohor merupakan seorang pemuda lulusan pasantren di Jawa yang terkenal santun dan taat beribadah. Keluarganya
tergolong
terpandang
dan
disegani
masyarakat di kampung Josef. Dari keluarga itu pulalah Josef belajar, bahwa memeluk agama adalah pilihan masing-masing orang yang sifatnya hakiki. Keyakinan itu tak boleh menjadi alasan untuk mencap salah orang yang berbeda agama dan memusuhinya. Sikap itulah yang Josef kenal sebagai toleransi. Hubungan Josef dengan Ahmad ibarat saudara kandung. Setamat dari STM dan Ahmad dari pesantren, keduanya sama-sama merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Lebih lima tahun mereka disana dan tinggal seatap. Perbedaan keyakinan tak membuat mereka risih hidup dalam satu rumah. Josef maupun Ahmad Tohor dikenal orang-orang di desanya seperti sendok dan garpu. Atau ibarat bantal dan guling. Mereka banyak perbedaan tapi saling melengkapi.
4
Namun, kini sahabat Josef itu sudah tiada. Dia meninggal di usia yang relatif muda. 29 tahun dan belum menikah. Kematiannya juga terbilang tragis dan menjadi kenangan yang tak terlupakan dari benak Josef. Dari cerita yang pernah Ahmad dengar, sahabat ayahnya itu meninggal sangat tragis. Dia kehilangan nyawa karena berusaha menyelamatkan Josef dari hantaman truk yang melaju di jalan raya depan rumah kontrakan mereka. Ahmad mendorong tubuh Josef
hingga tersungkur ke
pinggir jalan. Namun naas, truk itu justru menyambar tubuh Ahmad hingga terlempar sejauh sepuluh meter. Nyawanya tak tertolong dalam perjalanan ke rumah sakit. Untuk mengenang sahabat karibnya itu, Josef berjanji memberikan nama Ahmad pada anak sulungnya kelak. Itulah janji yang sudah Josef genapi sekarang. Sementara, Maria, istrinya menambahkan Yohannes sebagai nama belakang anak sulungnya itu. Maria mengaku kagum dengan sosok Yohannes, satu dari duabelas rasul Kristus. Nama belakang inilah yang akhirnya membuat orangorang yakin bahwa Ahmad memang bukan seorang Muslim. Namun, keyakinan hakiki yang berbeda dengan mayoritas masyarakat di desanya ternyata menuai masalah lain. 5
Banyak orang yang memandang sinis kepada keluarga mereka. Seolah-olah mereka menganggap keberadaan keluarga Ahmad sebagai aib bagi lingkungan. Apalagi, di tahun-tahun pertama Josef dipercaya sebagai penatua di gereja. Tapi, pandangan itu tak sedikitpun membuat Josef minder maupun marah. Dia selalu meyakinkan keluarganya bahwa setiap orang berhak berpendapat apapun pada sesamanya. Tapi, selama perbuatan yang mereka lakukan benar dan tak menyalahi aturan, Josef meminta seluruh anggota keluarganya tetap tegar. "Jangan pernah membenci," ungkap Josef meyakinkan seluruh anggota keluarganya. Josef yakin, sabar dan perbuatan tulus adalah kunci persahabatan. Apa yang dikatakan Josef menuai kebenaran. Setelah lebih lima tahun tinggal di lingkungan tersebut, para tetangga mulai menerima keberadaan keluarga mereka. Bahkan, hubungan
mereka dengan para tetangga semakin
harmonis. Menurut Josef, berbaur, bergaul serta bersikap tulus dalam setiap perbuatan pasti akan menimbulkan simpati. Dia yakin, dalam setiap orang selalu ada sisi kebaikan. Dan pelajaran terpenting yang Ahmad dapatkan darinya adalah 6
bersikap simpatik dan menghargai semua perbedaan. Tak heran, dengan cara-cara itulah ayahnya begitu mudah mendapat teman. Satu dari beberapa orang yang menaruh simpati pada keluarga mereka adalah Haji Amir. Dia adalah ulama terpandang di desa itu. Haji Amir bekas jawara empat kali musabaqah tilawatil Quran tingkat provinsi. Dia juga guru ngaji yang sudah mendidik ratusan anak di desa itu. Dan yang lebih penting lagi, dia adalah sahabat Josef setelah Ahmad Tohor meninggal. Josef dan Haji Amir mempunyai hobi yang sama, yaitu mancing. Hampir tiap pekan mereka memancing. Meski harus menyusuri sungai puluhan kilometer, keduanya seperti tak pernah lelah menekuni hobi itu. Selain mancing, Haji Amir juga teman diskusi Josef yang paling handal. Beberapakali Ahmad pernah mendengar mereka berdiskusi di ruang tamu sambil menonton siaran berita di televisi. Satu topik yang paling Ahmad ingat adalah diskusi mereka tentang invasi Amerika ke Irak beberapa tahun lalu. Invasi ini sempat membuat murka masyarakat Islam dunia. Karena, kebanyakan mereka menilai, Invasi Amerika dan sekutunya tak sekedar bermuatan politis. 7
Melainkan sebuah invasi pada dunia Islam. Dan peristiwa itu begitu erat dikaitkan dengan keyakinan hakiki mereka. Seiring
dengan
masalah
tersebut,
sentimen
pada
kelompok-kelompok Kristen di Indonesia pun ikut menajam. Namun, baik Josef maupun Haji Amir justru berkeyakinan lain. Mereka melihat tak ada motif agama dalam perang itu. Mereka sepakat mencari dan memusnahkan senjata kimia hanya pintu masuk serta pembenaran Amerika atas invasi tersebut. Mereka sama-sama yakin, alasan Amerika hanya bohong besar. Dan ternyata, sejauh ini pendapat mereka ada benarnya. Sampai Presiden Bush selaku inisiator perang turun tahta sebagai penguasa Amerika, senjata kimia yang ia sebut-sebut dulu masih berupa isu yang belum terbukti kebenarannya. Meski bangsa Irak kini menghirup udara kebebasan, perang terlanjur membuat ribuan nyawa melayang dan banyak orang seakan hilang harapan. Josef dan Haji Amir berpendapat, keinginan menguasai sumber minyak justru menjadi motif utama di balik perang tersebut. Sebagai negara penghasil minyak berlimpah, Irak memang
8
menjadi incaran empuk pengusaha-pengusaha kakap barat. Tapi ketika keduanya terlarut dengan kesepahaman, perang antara Irak dengan tentara Sekutu berimbas besar pada kehidupan Ahmad. Teman-teman di sekolah menjauhinya. Lagi-lagi karena ia seorang Kristen. Entah darimana awalnya, muncul anggapan bahwa umat Kristen membenarkan tindakan tentara Sekutu di negeri seribu satu malam itu. Mereka terlanjur beranggapan bahwa perang Irak-Sekutu lebih bermotif agama daripada perebutan hasil bumi. Seperti ada aturan tak tertulis, tentara Sekutu diibaratkan mewakili kaum Kristen di seluruh dunia. Sebuah pemikiran yang menurut Ahmad sangat sempit dan tendensius. Karena yang ia pahami, perang itu tak ada sangkutpautnya
dengan
agama.
Sebagaimana
yang
dirasakan Haji Amir dan ayahnya. Tapi bagaimanapun sikap Ahmad, kondisi telah berkata lain. Sejak perang berkecamuk, satu persatu temannya menjauhi. Ahmad merasa menjadi musuh bersama mereka dan itu kelihatan nyata sekali dari yang ia alami setiap hari.
9
Beberapa teman yang sebelumnya terbilang akrab dengannya memang sekedar menghindar. Tapi, beberapa teman lainnya bereaksi berlebihan. Pernah suatu hari teman-temannya di kelas VI, Abdul, Arisandi, Hamid, Ali dan Warinto menyeret Ahmad secara paksa ke belakang sekolah. Tak hanya memaki, mereka juga mengatai Ahmad sebagai orang kafir. Dan menurut mereka, tempat yang paling layak untuk Ahmad adalah neraka jahanam. Ahmad memang sempat membela diri, namun Hamid yang badannya paling besar diantara mereka buru-buru membungkam mulutnya. “Awas suatu saat kau akan merasakan yang lebih parah dari ini, dasar kafir!" ancam Hamid. Lengkap dengan sepasang mata yang melotot dan kepalan tinju yang mengarah ke hidung Ahmad. Setelah itu mereka pergi meninggalkan Ahmad yang terduduk takut bercampur marah. Peristiwa itu juga menjadi kenangan yang paling menyakitkan bagi Ahmad. Tapi sekaligus membahagiakan.
10