He’s Our Girl Bagian Satu Kara Aku masih mengendap-endap didepan gedung apartemen 25 lantai itu. Berkali-kali aku meremas tanganku sendiri. Ini dingin sekali. Aku sudah didepan apertemen itu seharian dan pemuda yang tengah aku cari masih saja tidak muncul. Aku sudah Sembilan jam mondarmandir, dan mengapa dia tidak juga datang? Saat aku sudah setengah putus asa, kulihat segerombol pemuda turun dari mobil. Segera kurapatkan topi wol dan kacamata besarku. Mereka mungkin bersembilan orang dan mataku menatap tajam mereka satu persatu. Pemuda itu tidak ada. Bagaimana ini? Aku mulai panik. Saat itu, salah seorang dari sembilan pemuda itu kembali ke mobilnya. Mungkin ada barangnya yang ketinggalan. Dia memegang ponselnya dan tampaknya tengah menelpon seseorang. Saat itulah dia melihatku. “Kau siapa?” pemuda itu sudah didepan mataku. Aku meliriknya takut-takut. Dia seorang pemuda dengan tinggi diatas rata-rata orang Korea. Kulitnya putih sepucat Vampir. Matanya tajam. Rambutnya berantakan dan dia kelihatan mengantuk. Ia pasti salah satu dari sepuluh penghuni apartemen didepanku. “Aku mencari seseorang” jawabku agak gugup. Mataku menunduk ke bawah. Entah mengapa, mata lelaki itu terlalu menakutkan sekedar untuk dilirik. Ditambah dengan tatapan tidak sukanya, aku semakin malas melihatnya. “Kau wartawan?” dia masih tidak puas mendengar jawabanku. Aku bisa menebak nada tak sukanya. Ia mungkin mengira aku wartawan, stalker, atau bahkan paparazzi. “Apa aku terlihat begitu?” aku menjawab spontan. Dia tampak kaget namun memaksa dirinya sendiri memasang wajah datar. Dari perawakannya, ia pastilah orang yang tidak suka olahraga. Lingkar matanya hitam, dan badannya tidak berisi. Sayang sekali, padahal wajahnya cukup tampan, dan tingginya cukup menawan. “Sebenarnya kau lebih mirip pencuri” jawabnya buru-buru. Aku melotot ke arahnya. Dia menata jaketnya dan melihatku lagi. Seperti seseorang yang menerka tinggi tubuhku. “Mau apa?” tanyanya lagi. aku bisa merasakan emosinya naik satu oktaf dari nada suaranya. Mungkin sekarang dia sedang lelah dan sialnya, dia masih harus berurusan denganku.
“Apakah Kibum Oppa ada?” kubalas dengan pertanyaan lagi. Lelaki itu mengamatiku dengan tatapan mencurigakan. Matanya yang tajam menyipit dan mulutnya mendesis seperti orang frustasi. “Kau.. siapanya?” Dan dibalas dengan pertanyaan lagi dengan pemuda sialan itu. Aku meliriknya setengah hati. “Aku ingin bertemu dengannya” jawabku cepat. Dia menggaruk kepalanya. Terlihat semakin malas. Ia mengusap-ngusap wajahnya dan tidak memandangku sama sekali. Mungkin sekarang dia sangat berminat mengusirku. Namun demi imaje-nya sebagai artis papan atas Korea, ia terpaksa menahan diri. Entah kenapa, melihat pemuda itu, aku jadi tertarik berdebat. Wajahnya memiliki aura negatif yang membuat orang-orang disekitarnya enggan mengalah. “Kenapa kau berbelit-belit sekali… kami tidak akan membolehkan orang asing masuk apartemen.. jadi cepat jawab pertanyaanku, kau siapanya Kibum-?” dia mulai sebal. Wajahnya berubah jadi galak. “Aku…” otakku ngadat. Harus jawab apa? Tetangganya? Tentu jawaban bodoh. Adiknya? Ah.. aku tidak mirip dengannya sama sekali. Temannya? Yah… mungkin itu lebih baik. “Aku… temannya” jawabku sambil mencoba tersenyum semanis mungkin. Dia menatapku sambil memainkan kerikil di kakinya. Sesungging senyum mengejek melebar di bibirnya yang tebal. “Teman.. atau Cuma kenalan? Kalau kau temannya telfon dia… atau kau tidak punya nomornya?” jawabnya sinis. Mukaku pucat. NOmor telfon Kibum Oppa tidak bisa dihubungi. Aku sendiri tak cukup mengenalnya. Aku mulai merutuki keputusanku datang kesini. “Atau kau mau minta sumbangan?” Pemuda ini benar-benar mengerikan! Dia bilang aku mau minta sumbangan? Ya Tuhan, muutnya benar-benar bermasalah. “Hei… katakan saja dimana mu Kibum Oppa?!!” aku mulai tidak sabar. “Kalau kau kesini hanya karena pernah kenalan dengannya… lupakan, pulanglah ke rumahmu dan siap-siap berangkat sekolah..” kata-katanya terputus. Ia celingukan sebentar, membiarkanku merutuki mulutnya yang dengan seenak jidatnya menganggapku masih anak sekolahan. “Aku tidak punya banyak waktu.. satu lagi, jangan memaksa masuk, banyak satpam disini..” sambungnya buru-buru.
Dia melengos dengan langkah panjang-panjang. Meninggalkanku yang tidak punya pilihan lain selain terlantar disini lebih lama lagi. * Kyuhyun “Kau tadi kemana?” Aku menoleh melihat Sungmin yang tengah melihatku. Aku baru saja membuka pintu kamar. Sungmin terlihat penasaran dengan jawabanku. “Ponselku ketinggalan di mobil” jawabku singkat. Sebenarnya masih ada kejadian lain tentang perdebatan singkatku dengan gadis aneh tadi. Tapi kurasa hal-hal seperti itu sama sekali tak perlu dikatakan pada orang dengan kadar kasih sayang berlebihan seperti lelaki didepanku ini. Atau kalau tidak, aku yang malah disuruh keluar menemuinya lagi. Ah, membayangkannya aku sudah frustasi. Aku lelah, dengan jadwal konser yang menumpuk minggu ini, sebaiknya aku menghindari melakukan hal-hal yang tidak perlu demi menjamin jam istirahatku terpakai optimal. “Lama sekali..” Sungmin berkomentar. Matanya melirik mataku, mengecek kebenaran dari bola mataku. “Aku menemui seseorang.. sepertinya penggemar Kibum ” pada akhirnya aku bicara juga. Aku tidak tahan berlama-lama berbohong dengannya. “Oh ya? Kau tidak menyuruhnya masuk? Diluar sangat dingin..” wajahnya seketika cemas. Keningku berkerut. Haruskah? Bagaimana kalau misalnya dia punya maksud jahat? Memang benar, kuakui wajahnya sama sekali tidak mencurigakan, lebih seperti wajah anak SMA. Namun tetap saja, gadis itu orang asing kan? Bagaimana kalau dia ternyata stalker? Atau paparazzi? Atau penggemar yang agak Psikopat? “Heechul Hyung melarang kita memasukkan orang selain orang yang kita kenal bukan?” tanyaku balik. Aku punya cukup alasan dan sangat tidak berminat mempersilahkan gadis itu masuk ke apartemen kami. Pasti merepotkan. “Apa menurutmu tidak aneh.. kalau dia penggemar Kibum, mestinya dia tahu Kibum tidak disini lagi kan?” Aku mengangguk mengiyakan. Benar juga. Kibum sudah setahun berada di California, dan berita tentang kepergiannya ke California dimuat dimana-mana. Group musik kami, Super
Junior, cukup mendominasi dunia Entertainment di Korea Selatan. Seharusnya gadis itu tahu kalau Kibum sudah tidak tinggal di apartemen kami. Sudah kubilang, gadis itu memang tidak seharusnya dipersilahkan. Aku bisa merasakan Aura merepotkan dan mencurigakan dari wajahnya. Saat itulah pintu apartemen terbuka. Donghae , salah seorang Hyungku yang juga tinggal seapartemen denganku, dan seorang perempuan dengan dua satpam dibelakangngya memasuki apartemen. Donghae terlihat ngos-ngosan. Ia berteriak minta dibantu dan menidurkan perempuan itu di sofa. Aku melirik mereka sekilas sekilas. Tidak tertarik menolong. Lagipula, tiga Hyung-ku sudah mengerumuninya. Mataku melotot saat menatap wajah perempuan itu. Bukankah itu perempuan yang tadi?. Donghae mengompres dahinya dengan handuk kecil. Ryeowook berlari ke dapur untuk memasak bubur hangat dan Leeteuk Hyung berdiri membantu disebelahnya. Sungmin Hyung menarik tanganku. Mengajakku menyelinap ke balik pintu dapur. “Apa dia perempuan yang kau lihat tadi, Kyu?” Wajahku pucat. Memang iya. Aku mengangguk dan memberi isyarat agar dia diam. Aku pasti akan dapat masalah besar kalau Hyung-hyungku tahu perempuan itu sempat bertemu denganku sebelum pingsan. Sudah pasti aku akan kena damprat. “Kau ini keterlaluan sekali, kalau dia mati kedinginan bagaimana?” Sungmin Hyung mulai cerewet. Aku menatapnya malas. Selalu saja berlebihan memperhatikan urusan orang, bahkan orang yang tidak dikenal. “Salah dia sendiri.. dia..” belum selesai aku bicara mendadak Heechul sudah memukul kepalaku dari belakang. Rupanya dia baru saja keluar dari kamarnya yang bertepatan dengan posisi punggungku. Ia mungkin mendengar percakapanku dengan Sungmin Hyung. “Jadi kau membiarkan dia diluar sampai pingsan?!” Heechul Hyung berteriak dan seluruh Hyung menoleh kearahku. Sembilan kepala mengarahkan matanya memelototiku, menungguku menjawab. Aku diam tak bersuara. Disaat seperti ini, yang paling aman adalah diam. Sebagai anggota termuda, aku sudah terbiasa diadili seperti ini. “Kau ini bodoh atau apa? Kalau ada apa-apa dengannya kita bisa dituduh membunuh fans!” Heechul Hyung meneruskan omelannya. Aku menyeruput kopiku yang sedari tadi hanya kupegangi. Aku juga memasang headsetku ke telinga. Buru-buru aku masuk kamar.
Terlambat. Siwon Hyung menarik kerah bajuku. Ia muncul dari kamar sebelah. “Kau harus minta maaf” perintahnya yang segera disambut dengan dukungan Hyung-ku yang lain. Mereka bergantian menjitak kepalaku. Ah, benar-benar menderita menjadi yang terkecil di apartemen ini. aku hanya mendengus kesal tanpa membunyikan mulutku sama sekali. Leeteuk Hyung tersenyum dan menyenggol pundakku,“Jaga dia!, dan minta maaf padanya saat dia bangun!” Apa? Butuh tiga detik untuk menutup mulutku yang menganga. Oh, aku benci minta maaf. * Kara Saat mataku terbuka, kulihat seseorang tengah mengompres dahiku. Wajahnya cerah dengan alis tebal dan hidung mancung. Dahinya dihiasi poni pendek. Bibirnya melengkung tiga senti saat melihat mataku terbuka. “Dimana?” tanyaku. Dia tersenyum lagi, lebih lebar dari yang tadi. “Hei.. lihat adik kita sudah bangun!” pemuda itu berteriak. Beberapa pemuda lain keluar dari kamarnya. Aku yang setengah duduk memandangi mereka agak lama. Bingung. Apa aku sudah di apartemen Kibum Oppa? “Apakah Kibum Oppa ada?” tanyaku. Pemuda didepanku segera menyambar mangkuk dari pemuda agak pendek disebelahnya yang mengenakan celemek. Mereka berdua tersenyum lebar. “Kau mencari Kibum?” seorang lagi pemuda jangkung dan berotot bertanya. Aku mengangguk dan seorang pemuda lagi mencubit pipiku. Aku agak bingung menatap wajah mereka yang menurutku agak mirip satu sama lain. Kecuali pemuda jangkung didepanku, wajahnya berbeda dan terlalu bersinar. Dia sangat tampan. Juga pemuda dengan senyum manis yang pertama kulihat saat membuka mataku tadi. Senyumnya hangat. “Kau lucu sekali… namamu siapa?”
Aku menatap pemuda yang mencubit pipiku dan dengan segera membungkuk sedikit. Memperkenalkan diri dan memasang senyum semanis yang kubisa. “Kara imnida…” Mereka berebutan maju didepanku, mungkin ada Sembilan orang. Mereka mencubit dan mengacak rambutku. Aku hanya menahan senyumku dan menyalami mereka satu persatu. “Donghae imnida” itu adalah suara lelaki yang mengompres dahiku dan kutemui pertamakalinya setelah aku bangun. Wajahnya terlihat lebih manis saat tertawa. “Siwon imnida” Tinggi dan berotot. Rambutnya keren. Dan dia yang paling tampan. Aku tidak menyangka dia juga seramah Donghae. “Leeteuk imnida”. Wajahnya sedikit cantik. Hidungnya mancung dan senyumannya sama hangatnya dengan Donghae. “Ryeowook imnida” Ah, lucu sekali pemuda ini. Tingginya mungkin hanya sebahu Siwon. Suaranya juga melengking tinggi. Perawakannya kecil dan kekanak-kanakan. “Shindong imnida” Dia sedikit gemuk dan mencubit pipiku paling lama. Aku hanya tersenyum dan menmastikan pipiku baik-baik saja. Lalu memasang senyum lebarku lagi. “Sungmin imnida” Seorang lelaki dengan piyama merah muda menyalamiku. Ia kelihatan sedikit feminim dan ramah. “Yesung imnida”lelaki didepanku tersenyum lebar. Hanya sedetik, dan kemudian senyumnya menghilang berganti wajah yang datar. Dua detik berikutnya, dia tertawa lagi. wajahnya aneh, tapi dia kelihatan imut saat tertawa. “Eunhyuk imnida” pemuda itu menyalami tanganku sambil mengerling ke arahku. Aku menatapnya aneh. Dia menyempatkan diri memegang puncak kepalaku dan membiarkan rambutku berantakan. “Kau masih SMA?” Tanya salah seorang dari mereka. Aku belum hafal namanya. Mungkin dia Yesung, atau mungkin juga Sungmin, atau mungkin juga Eunhyuk. Entahlah, aku pusing. “Baru saja lulus..” jawabku sekenanya. Mereka masih menatapku antusias. Seolah melihat barang antic di Museum. Memangnya aku terlihat aneh ya? Aku jadi mulai memikirkan pakaian,
topi wol, dan kacamata yang kupakai. Mungkin gaya pakaianku agak aneh di mata mereka. Tentu saja, aku kan bukan orang Korea. “Kuliah dimana?” Donghae bertanya lagi. Ia masih menyuapiku dari tadi. Matanya sesekali bepindah dari mangkuk memelototi wajahku. Aku tidak tahu mengapa dia terlihat begitu tertarik melihatku. Dia mungkin berpikir aku mirip seseorang yang dia kenal. Beberapa orang sering memperlakukanku seperti itu. Kata mereka, wajahku mirip dengan seorang artis Korea yang belakangan popularitasnya menanjak dan mengepalai rating Drama Televisi. Aku sendiri kurang tahu masalah itu. aku tidak tertarik dengan dunia entertainment. Dan aku juga tidak punya cukup waktu untuk memikirkan urusan seperti itu. Aku tidak gemar melihat televisi dan aku tidak pandai bergaul dengan teman sebayaku.Aku berakhir dengan menjadi yang paling ‘ketinggalan informasi’, dan aku baik-baik saja dengan kenyataan itu. “A..k..hu.. t..idhak kwu..liyah” jawabku dengan mulut penuh bubur. Siwon -aku bisa mengingat namanya karena wajahnya sangat terang, seperti bola lampu- mengangsurkan kotak tissue ke arahku. Aku mengelap mulut dan mengulangi jawabanku. “Kibum sudah tidak tinggal di apartemen ini, dia sekarang di California, sedang syuting film..” Mendadak kepalaku kosong mendengar jawaban Donghae. Kibum Oppa sudah tidak disini? * Kyuhyun “Hei, kau mau lari kemana?” Sungmin Hyung tiba-tiba muncul didepanku. Aku sedang mengintip perempuan pembawa sial itu dari pintu kamarku yang memang mengarah ke ruang tengah tempat manusia asing itu tengah berbaring. “Minta maaf sana” Sungmin Hyung berkata lagi. kata-katanya lebih terdengar seperti ultimatum. Berat dan jelas itu adalah perintah. “Apa tidak bisa nanti saja? Dia bisa tersedak kalau melihatku..” aku mulai membuat alibi. Aku tidak berminat dan tidak suka minta maaf. Apalagi pada orang yang tidak dikenal. Apalagi bila dia wanita. Dan apalagi dia menyebalkan. Maaf-maaf saja, aku tidak sudi. “Kau ini banyak alasan” Sungmin Hyung menyundul kepalaku dan menarik tanganku ke ruang tengah. Gadis itu berbaring dengan wajah pucat. Seperti dugaanku, dia kaget sekali. Dan ekspresinya berubah menakutkan dalam sekejap.
“Hai.. maaf soal yang tadi” kataku. Tanganku melambai kaku ke arahnya. Buru-buru aku melepaskan tangan Sungmin Hyung dan berusaha lari ke kamar. Tapi Hyungku Siwon yang bertenaga kuda menjegal kakiku dan menyeretku menghadap gadis itu lagi. sepertinya mereka berharap aku minta maaf dengan benar. “Minta maaf yang baik.. kau ini…” ujarnya dengan nada memaksa. aku tidak berani menatapnya. “Donghae-ah.. bukankah aku sudah minta maaf?” tanyaku meminta pembelaan dari Donghae. Donghae menimpukku dengan bantal sofa. “Kau tidak memanggilku Hyung lagi..” protesnya. Ia memang selalu keberatan dengan panggilan tanpa ‘Hyung’ku untuknya. Salah siapa dia bertingkah seperti balita? Aku melirik gadis itu. Dia tersenyum. Tapi senyumnya menakutkan. Segera kubungkukkan badan dan berkata sambil menunduk. Dalam hati aku menyumpahi gadis itu dan sudah berpikir bagaimana seharusnya aku member perempuan itu pelajaran. “Maaf” kataku pendek sebelum akhirnya kabur ke pintu depan. * Kara Pemuda itu bernama ‘Kyu’. Apa kepanjangannya? Aku juga tak mau tahu. Yang jelas namanya Kyu. Dan aku tak akan memanggilnya Oppa. Segera setelah pemuda itu lari ke pintu depan, pikiranku sibuk dengan ‘urusan penting’ku. Aku melihat Donghae Oppa yang duduk-duduk sambil minum the dengan headset di telinganya. Aku memegang lengannya, sedikit mengguncangnya. Dia menoleh, dan seperti biasa, senyum tiga senti-nya mengembang. “Apa aku bisa minta tolong, Oppa?” Donghae Oppa kelihatan berpikir. Tangannya mencabut headset dari telinga kanannya. Matanya sesekali mengawasi mata dan tanganku yang memgangi lengannya. “Apa?” sambungnya pendek.
“Bagaimana aku harus mulai bercerita ya…” selorohku. Aku tidak tahu mengapa, namun aku dengan segera merasa dekat dengan pemuda didepanku ini. selain dia ramah, tampan, dan manis, dia juga kelihatan sulit menolak permohonan orang. Tipe lelaki yang sangat kubutuhkan saat ini. “Ceritakan saja… mungkin aku bisa membantumu” jawabnya kemudian. Tangannya menaikkan headsetnya, lalu memasnagnya lagi di telinga kanannya. Walaupun begitu, matanya masih menatapku takjam. Aku pun berbelit-belit membicarakan ini-itu hingga akhirnya aku mulai bercerita inti masalahnya. “Sebenarnya.. aku tidak bisa pulang ke rumahku”. Prolog yang bagus. Donghae Oppa agak kaget mendengarnya. “Setahun yang lalu aku bertemu dengan Kibum Oppa, dia sedang syuting film, karena pemain utamanya sedang sakit, ada salah satu adegan yang kemudian aku gantikan” Donghae Oppa menyimakku dengan seksama. “Dia memberiku kartu nama dan nOmor ponselnya, dia bilang dia siap membantuku dan sudah menganggapku seperti adiknya sendiri..” Aku benar-benar khawatir dia berpikir aku sedang berbohong. Bagaimana mungkin aku meminta bantuan pada seseorang yang hanya kukenali dalam tiga hari? Dan bahkan menit ini, aku malah meminta bantuan pada temannya yang baru kukenali dua jam? Namun sepertinya, keadaan medesak membuat segalanya mungkin-mungkin saja selagi aku nekat dan membuang sedikit gengsiku. Aku yakin pemuda ini mau menolongku. Aku bisa membaca kebaikan hatinya dari dua bola matanya yang tulus dan senyumnya yang secerah langit musim semi itu. “Lalu kau sekarang ada masalah dan memintanya membantumu?” donghae menebak dan aku mengangguk. Tentu saja, untuk apa aku datang jauh-jauh dari Incheon jika tidak ada kepentingan mendesak? aku mulai cemas dia beranggapan aku hanya mencari-cari alasan bertemu dengan anggota Super Junior. oh ayolah, aku tidak suka menggemari artis. Itu sama sekali bukan gayaku. “NOmor ponselnya tidak bisa dihubngi, temanku tidak ada yang bisa membantu.. jadi aku tidak punya pilihan lain selain datang kesini” aku mulai khawatir. Masalah utamanya belum kuutarakan. Donghae Oppa mengangguk-angguk mendengar ceritaku. “Apa masalahnya?”