24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
4.2.1. Keadaan Geografi dan Topografi Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) terletak di Kecamatan Lembang, 15 km sebelah utara Kota Bandung.
Batas administratif wilayah
Kecamatan Lembang adalah sebagai berikut: (1) Sebelah Utara: Kabupaten Purwakarta dan Subang (2) Sebelah Timur: Kabupaten Sumedang dan Garut (3) Sebelah Barat: Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi (4) Sebelah Selatan: Kota Bandung Daerah operasional KPSBU sangat strategis karena berada di tengah Kota Lembang, dengan akses dari Kota Bandung ke Lembang sangat mudah karena banyak kendaraan umum yang menuju Lembang dari Bandung. Sebagian wilayah kerja KPSBU dapat diakses menggunakan kendaraan beroda empat dan sebagian wilayah lainnya hanya dapat diakses menggunakan kendaraan beroda dua. Secara topografi Kecamatan Lembang berada pada ketinggian 1200-1257 meter dari permukaan laut. Kecamatan ini memiliki suhu berkisar antara 18-24oC dan curah hujan berkisar antara 1800-2500 mm/tahun. Kondisi seperti ini sangat sesuai untuk peternakan sapi perah. Sesuai dengan pendapat Ensminger (1971) sapi perah bisa berproduksi maksimal pada kisaran suhu 10-15,6oC, tetapi masih bisa berproduksi optimal pada suhu 21,1oC dengan kelembaban udara antara 50-79%.
25 4.1.2. Keadaan Peternakan Sapi Perah di KPSBU Lembang KPSBU telah berdiri sejak 1971 dan terus berupaya mencapai tujuan menjadi model koperasi dalam mensejahterakan anggota. Tujuan utamanya adalah menghasilkan Core Commodity yang unggul, yakni susu segar yang dihasilkan peternak sebagai produk bermutu tinggi di pasaran. Jumlah populasi sapi perah di peternakan rakyat KPSBU 16.469 ekor dengan jumlah peternak sapi perah 7.091 orang serta produksi susu 120.000 kg/ hari (KPSBU, 2014).
4.1.3. Keadaan Penduduk Keadaan responden yang diuraikan meliputi umur, pendidikan dan pengalaman beternak diperlihatkan pada Tabel 1. Umur peternak dikelompokkan menjadi 3 yaitu peternak muda (20-35 tahun), sedang (36-51 tahun) dan tua (>52 tahun). Pengalaman beternak dikelompokkan manjadi 3 yaitu peternak baru (<8 tahun), berpengalaman (9-15 tahun) dan peternak sangat berpengalaman (>16 tahun). a.
Keadaan Responden Berdasarkan Umur Keadaan responden berdasarkan pengelompokkan umur dapat dilihat pada
Tabel 1. Tabel 1. Pengelompokkan Umur Responden No. 1 2 3 4 5 6
Umur (Tahun) <25 26-35 36-45 46-55 56-65 >65 Jumlah
Jumlah Responden 4 7 20 11 10 8 60
% 6,67 11,67 33,33 18,33 16,67 13,33 100,00
26 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa peternak responden yang melakukan usaha sapi perah berumur <25 tahun paling sedikit, hanya 4 orang yaitu sebanyak 6,67% dari total 60 responden. Pengelompokkan umur responden yang tertua adalah >65 tahun sebanyak 8 responden dengan presentase 13,33%. Sebagian besar peternak (86,7 %) berada pada usia kerja produktif (23-64 tahun) dan hanya 13,34 % peternak yang berumur 65-86 tahun. Hal tersebut merupakan potensi tenaga kerja yang sangat besar. Sesuai dengan pernyataan Supriatna (2005) bahwa usia non produktif adalah penduduk yang berusia 0-15 tahun dan 65 tahun keatas. Sedangkan usia produktif adalah 15-64 tahun. b.
Keadaan Responden Berdasarkan Pendidikan Formal Keadaan responden berdasarkan pendidikan formal dapat dilihat pada
Tabel 2. Tabel 2. Tingkat Pendidikan Responden Jumlah No. 1 2 3 4
Tingkat Pendidikan SD SMP SLTA Tamat Perguruan Tinggi Jumlah
Responden 43 11 3 3 60
% 71,67 18,33 5,00 5,00 100,00
Pendidikan formal secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi pola pikir peternak dan kinerja peternak dalam mengelola usaha sapi perah. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa 71,67% peternak berpendidikan Sekolah Dasar (SD), berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 18,33% dan ada sebanyak 5% yang sudah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Komposisi pendidikan yang demikian cukup ideal untuk
27 pelaksanaan suatu peternakan dimana terdapat peternak yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi yang dapat dijadikan early adopter technology dan memberikan contoh kepada peternak lainnya yang memiliki latar belakang pendidikan lebih rendah namun berpengalaman dalam beternak. c.
Keadaan Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak Keadaan responden berdasarkan pengalaman beternak dapat dilihat pada
Tabel 3. Tabel 3. Pengalaman Beternak Responden No. 1 2 3
Pengalaman Beternak 2-8 (Baru) 9-15 (Berpengalaman) 16-22 (Sangat Berpengalaman) Jumlah
Jumlah Responden 6 12 42 60
% 10 20 70 100
Pengalaman beternak adalah lamanya seseorang menggeluti usaha peternakan perah yang dinyatakan dalam tahun.
Berdasarkan Tabel 3 dapat
diketahui bahwa hanya sebagian kecil (10%) peternak yang memiliki pengalaman kurang dari 8 tahun. Sebagian besar peternak (90%) sudah berpengalaman yaitu antara 9-40 tahun dalam beternak. Hanya ditemukan 2 peternak saja yang memiliki pengalaman <2 tahun, itupun meraka melanjutkan usaha dari orangtuanya. Pengalaman beternak sapi perah yang demikian, dapat menjadi modal yang sangat penting dalam keberhasilan usaha sapi perah. Pengalaman beternak yang lebih lama akan memberikan performa yang lebih baik dari peternak yang baru karena lebih terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.
28 d.
Jumlah Kepemilikan Ternak Responden Keadaan responden berdasarkan jumlah kepemilikan ternak dapat dilihat
pada tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Kepemilikan Ternak Responden Jumlah No.
Kategori Responden
1 2 3
Kecil (1-3 ekor) Sedang (4 - 6 ekor) Besar (7 ekor) Keseluruhan
.. Orang .. 45 12 3 60
Sapi Produktif
Rataan Sapi Produktif
.....ekor..... 99 54 24 177
2,2 4,5 8,0 3,0
Jumlah kepemilikan ternak responden diukur melalui jumlah induk produktif.
Skala usaha peternakan rakyat dibedakan atas tiga skala usaha, yaitu:
(1) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 1 – 3 ekor, (2) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 4 – 6 ekor, (3) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak lebih dari 7 ekor (Suryadi, dkk., 1989). Jumlah kepemilikan ternak responden berdasarkan Tabel 4 dapat dikategorikan sebagian besar (45 orang) responden termasuk kedalam kategori kecil dan minimnya responden kategori tinggi (3 orang), hal tersebut dikarenakan keterbatasan modal para peternak untuk meningkatkan jumlah kepemilikan ternak dan kurangnya pengetahuan peternak terhadap manajemen penyediaan induk pengganti, karena pada umumnya peternak selalu menjual pedet hasil kelahiran induk baik itu pedet jantan maupun pedet betina. Selain itu juga peternak masih mempertimbangkan beban saat melaksanakan tatalaksana pemeliharaan apabila
29 jumlah ternak yang dimiliki lebih dari yang disanggupi untuk dipelihara. Hasil pengamatan Erwidodo (1998) dan Swastika dkk., (2005) menunjukkan bahwa sekitar 64% produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, sisanya 28% dan 8% diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah dan usaha ternak sapi perah skala besar. Rata-rata sapi produktif yang dimiliki responden pada skala kepemilikan kecil adalah 2,2 ekor, skala kepemilikan sedang 4,5 ekor dan skala kepemilikan besar 8,0 ekor. 4.2.
Kondisi Perkandangan pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang Pengamatan kondisi perkandangan meliputi kondisi kandang dan sarana
penunjang yang terdapat pada peternakan rakyat. Kondisi kandang yang dinilai pada penelitian ini merupakan kondisi lingkungan kandang peternak.
Kondisi
jarak antara rumah dan kandang yang diinginkan adalah 10 meter, namun masih banyak peternak yang tidak mempunyai banyak lahan sehingga membangun kandang yang berdekatan dengan rumah,
bahkan tak jarang yang menempel
dengan rumah. Sebagian besar kandang di peternakan rakyat anggota KPSBU ini telah menggunakan lantai kandang yang dibeton dan menggunakan karpet karet sebagai alas sapinya. Tempat makan sapi pun kebanyakan sudah ditembok atau dibuat secara permanen, tidak menggunakan ember lagi untuk tempat pakan, tetapi pengunaan tempat minum permanen dan terpisah dari tempat pakan sangat jarang ditemukan. Hanya beberapa peternak saja yang sudah menggunakan tempat minum permanen dan terpisah dari tempat makan, biasanya satu tempat minum digunakan untuk dua ekor sapi. Peternak disana lebih banyak menggunakan ember atau drum plastik untuk tempat minum sapinya. Penggunaan atap kandang peternak
30 anggota KPSBU bervariasi seperti atap asbes, seng dan atap genting. Hasil evaluasi kondisi perkandangan dapat dilihat pada tabel berikut. 4.2.1. Kondisi Kandang Hasil evaluasi pada kondisi kandang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Penilaian Kondisi Kandang No.
Uraian
1 2 3 4 5 6
Jarak kandang dari rumah minimal 10 meter Lantai minimal ditembok, kokoh dan mudah dibersihkan Atap kandang terbuat dari genting Sinar matahari dan sirkulasi udara baik Tempat pakan dibuat permanen Tempat minum dibuat permanen dan terpisah dari tempat pakan Saluran pembuangan air & kotoran baik dan lancar Ada tempat penampungan kotoran Ada gudang sapronak
7 8 9
Evaluasi ...%... 56,67 100,00 68,33 83,33 96,67 8,33 88,33 38,33 21,67
Jarak kandang dari rumah minimal 10 meter atau lokasi kandang dengan rumah tidak berdekatan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kontaminasi bau dan polusi dari kandang.
Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar
responden kurang menerapkan jarak kandang dari rumah yang baik yaitu minimal 10 meter, hanya 56,67% peternak dari keseluruhan 60 peternak.
Masih banyak
peternak yang tidak mempunyai lahan yang cukup, sehingga penempatan kandang bisa dikatakan berdekatan bahkan tak jarang yang menempel langsung pada rumah peternak. Jika dilihat dari segi kesehatan atau lingkungan, jarak kandang yang berdekatan atau menyatu dengan rumah akan mengganggu kenyamanan karena bau yang tidak sedap yang berasal dari kotoran sapi perah akan tercium
31 langsung dalam rumah.
Menurut Bappenas (2007), lokasi yang ideal untuk
membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk tetapi mudah dicapai oleh kendaraan.
Kandang harus terpisah dari
rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter. Lantai minimal ditembok, kokoh dan mudah dibersihkan bertujuan agar sapi dapat berdiri dengan baik dan memberikan kenyamanan pada sapi sehingga diharapkan sapi dapat berproduksi secara optimal. Seluruh responden (100%) telah
menggunakan lantai kandang yang yang sesuai yaitu lantai minimal
ditembok, kokoh dan mudah dibersihkan. Sesuai dengan KEPMENTAN (2001), bahwa kandang induk adalah kandang untuk sapi induk harus benar-benar bersih, udara segar, sinar matahari yang cukup dan mudah dibersihkan untuk kesehatan air susu yang dihasilkan. Lantai kandang yang kotorpun akan dipenuhi oleh mikroba yang akan mencemari ambing dan puting sapi sehingga memudahkan terjadinya penyakit radang ambing (mastitis). Karpet karet sebagai alas sapi juga dapat digunakan untuk meminimalisir adanya mikroba.
Berdasarkan hasil
penelitian, seluruh responden telah menggunakan karpet karet sebagai alas untuk sapi bergerak, hal tersebut pun didukung oleh KPSBU yang telah memfasilitasi kredit untuk karpet sapi. Sugeng (1993), menyatakan bahwa lantai kandang yang terbuat dari semen berfungsi untuk memudahkan peternak dalam membersihkan dan membuang kotoran. Macam-macam bahan yang digunakan untuk membuat atap antara lain asbes, genting dan seng.
Seharusnya, bahan atap kandang yang ideal adalah
genting karena genting merupakan salah satu bahan atap yang harganya relatif lebih murah dan juga tahan lama baik dalam menahan panas terik matahari dan antara genting terdapat celah-celah sehingga membantu dalam sirkulasi udara,
32 berbeda dengan asbes dan seng karena tingkat panas yang dihasilkan cenderung lebih tinggi daripada menggunakan atap bahan lainnya. Berdasarkan Tabel 5, penggunaan atap berbahan dasar genting sebanyak 68,33% dari keseluruhan dan responden yang dinilai sesuai dengan kriteria yang baik,
mayoritas peternak
dengan jumlah kepemilikan ternak yang kecil atau kepemilikan ternak 1-3 ekor, masih menerapkan peternakan yang konvensional yaitu atap berbahan dasar genting, sedangkan untuk skala kepemilikan sedang dan besar itu notabene sudah mulai menggunakan atap yang berbahan dasar asbes. Ventilasi kandang harus baik agar sinar matahari dan sirkulasi udara dalam kandang pun baik. Penggunaan atap yang terlalu rendah juga dapat menyebabkan gangguan sirkulasi udara sehingga di dalam kandang tercium bau busuk dari kotoran sapi dan sisa-sisa pakan. Sirkulasi udara yang berasal dari belakang sapi juga menyebabkan di dalam kandang berbau amoniak sehingga susu yang dihasilkan sapi pun dapat tercemar apabila sinar matahari dan sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik.
Berdasarkan Tabel 5, sebanyak 83,33% dari seluruh
responden sudah menggunakan ventilasi kandang yang baik sehingga sinar matahari dan sirkulasi udara dapat optimal. Tempat pakan dibuat permanen agar sapi dapat makan dengan leluasa, tidak terganggu oleh sapi yang lainnya, mudah mengkonsumsi pakan dalam keadaan segar, mudah dibersihkan dan meminimalisir pakan hilang atau berhamburan. Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar responden sebesar 96,67% menunjukkan seluruh responden telah menggunakan tempat pakan yang dibuat permanen. Tempat pakan yang dimaksud permanen adalah tempat pakan yang menggunakan bahan dasar berupa semen, sehingga memiliki lama pemakaian dalam jangka waktu yang panjang sekitar 5 tahun bahkan lebih, sedangkan tempat
33 yang dimaksud tidak permanen itu biasanya terbuat dari kayu atau hanya menggunakan ember sebagai tempat pakan. Tempat minum pemanen baik manual maupun otomatis bertujuan agar air minum yang bersih harus selalu tersedia untuk sapi, karena kebutuhan minimalnya adalah 30-80 liter/ekor/hari. Berdasarkan Tabel 5, hanya sebagian kecil responden yaitu sebanyak 8,33% responden dari keseluruhan responden yang menggunakan tempat minum tempat minum yang dibuat permanen dan terpisah dari tempat pakan. Peternak hanya mengandalkan air dalam ember, sehingga air yang diberikan pada ternak tidak secara adlibitum dan mengandalkan kandungan air yang ada dalam pakan saja seperti pada hijauan yang diberikan dan ketika pemberian konsentrat dicampurkan dengan air dan mineral secukupnya. Kebutuhan air untuk produksi susu adalah 3,6-4 liter untuk memproduksi 1 liter susu (1 : 3,6 – 1 : 4). Secara keseluruhan air minum yang diperlukan setiap hari berkisar antara 37 – 45 liter. Pihak koperasi juga seharusnya lebih perhatian, baik itu dengan cara mengadakan program penyuluhan maupun penyediaan alat dan bahan untuk pembuatan tempat minum yang mendukung dalam koperasi. Saluran pembuangan air dan kotoran baik serta lancar merupakan saluran pembuangan yang memiliki kemiringan yang baik sehingga memudahkan ketika flushing, kemudian juga lebar gutter/parit harus disesuaikan dengan ukuran sekop yang digunakan. Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar responden yaitu sebanyak 88,33%
dari
keseluruhan
kandang
yang
diamati
telah
menggunakan
saluran/drainase pembuangan air yang baik dan sesuai sehingga kotoran sapi mudah dialirkan. Salah satu pemanfaatan sumberdaya alam untuk menghasilkan energi aletrnatif yaitu dengan memnfaatkan kotoran sapi sebagai biogas. Berdasarkan
34 Tabel 5, jarang sekali responden yang mempunyai tempat penampungan, hanya 38,33% responden yang mempunyai tempat penampungan kotoran, sehingga kotoran yang
dihasilkan ternak tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
Kebanyakan peternak langsung mengalirkan kotoran sapinya ke saluran pembuangan atau parit.
Hal tersbut dikarenakan tidak adanya lahan dan
terbatasnya lahan antara kandang dan pemukiman warga. Dibutuhkan gudang sapronak agar dengan adanya gudang penyimpanan, kualitas pakan yang diberikan pada ternak pun tetap terjaga kualitasnya. Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa hanya sebagian kecil (21,67%) responden yang memiliki gudang sapronak. Pakan dan alat-alat lainnya cukup disimpan di lingkungan sekitar kandang saja. 4.2.2. Sarana Penunjang pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang Hasil evaluasi pada sarana penunjang dapat dilhat pada Tabel 6. Tabel 6. Sarana Penunjang pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Uraian Air tersedia sepanjang tahun Sumber air sehat dan bersih Jumlah air yang tersedia mencukupi Peralatan untuk kebersihan kandang lengkap Peralatan untuk kebersihan sapi lengkap Pasokan hijauan: berkesinambungan jenis & jumlah Pasokan hijauan dilakukan untuk persediaan Pasokan konsentrat: berkesinambungan, jenis, jumlah dan kualitas Kualitas konsentrat yang diberikan memadai
Evaluasi ...%... 98,33 100,00 98,33 95,00 100,00 88,33 3,33 88,33 88,33
35 Tersedianya air sepanjang tahun, sumber air sehat dan bersih serta jumlah air yang tersedia mencukupi merupakan hal yang sangat penting pada sarana penunjang peternakan. Berdasarkan tabel 6, sarana penunjang yang mendukung peternakan rakyat KPSBU Lembang yang diamati meliputi tersedianya air sepanjang tahun sebesar 98,33%, sumber air bersih dan sehat 100%, jumlah air yang tersedia mencukupi 98,33% dilihat dari seluruh responden yang diteliti. Sumber air berasal dari gunung dan lokasi penelitian berada pada lingkungan pegunungan sehingga air selalu ada sepanjang tahun. Ketika musim kemarau, sebagian besar responden merasa air yang tersedia masih mencukupi walaupun dalam jumlah yang sedikit/terbatas.
Rasyaf (2004), menyatakan bahwa air
merupakan komponen yang sangat penting untuk metabolisme tubuh, apabila ternak kekurangan air maka akan terjadi dehidrasi dan akan berakibat fatal bagi produktivitas ternak. Komposisi susu rata-rata pada umumnya adalah 87% air. Oleh karena itu sapi perah lebih banyak membtuhkan air.
Jumlah air minum
yang diperlukan tergantung dari jumlah produksi susu, temperatur lingkungan, kesehatan hewan dan macam makanan yang diberikan. Peralatan untuk kebersihan kandang dan untuk kebersihan sapi lengkap, seperti selang, sikat, sapu lidi, lap dan sekop. Berdasarkan Tabel 6, kondisi sarana penunjang ini sudah tercapai dengan baik yaitu sebanyak 95,00% dan 100% masing-masing dilihat dari keseluruhan
responden yang
diteliti.
Rata-rata
peternak sudah menggunakan selang untuk memandikan sapinya atau untuk membersihkan kandang, jarang sekali ditemukan peteernak yang membersihkan baik kandang maupun sapi dengan menggunakan air dalam ember saja.
36 Pasokan konsentrat berkesinambungan jenis dan jumlah. Konsentrat yang digunakan peternak sama jenisnya baik untuk sapi laktasi, sapi bunting kering, sapi dara dan pedet. Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 88,33% responden memiliki pasokan konsentrat yang berkesinambungan antara jenis dan jumahnya. Menurut Despal dkk, (2008), pemberian konsentrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan ternak bisa menyebabkan pemborosan jika nutrien yang diberikan melebihi kebutuhan ternak, namun disisi lain dapat menyebabkan ternak mengalami kekurangan nutrien jika konsentrat yang digunakan tidak mampu mencukupi kebutuhan ternak. Kebutuhan ternak berbeda-beda bahkan ada kalanya nutrien yang tinggi yang dibutuhkan oleh golongan sapi perah tertentu akan berbahaya bagi kelompok lainnya. Misalnya pada kasus kebutuhan garam untuk sapi laktasi yang tinggi akan berbahaya jika diberikan pada sapi kering kandang.
Pasokan hijauan dilakukan untuk persediaan, seperti hay, silase dan amoniasi.
Berdasarkan Tabel 6, jarang sekali responden yang melakukan
persediaan hijauan, hanya 3,33% dari keseluruhan responden yang memiliki persediaan hijauan yaitu silase. Peternak beranggapan bahwa persediaan hijauan untuk esok hari saja sulit karena mereka kebanyakan harus mengarit ke kebun untuk mencari hijauan seperti rumput gajah,
rumput alam dan lain-lain.
Penyuluhan pun sudah pernah dilakukan oleh koperasi maupun oleh dinas peternakan sendiri, namun keterbatasan hijauan dan tidak adanya sarana prasarana yang memadai pada peternakan rakyat ini sehingga peternak pun enggan untuk melakukan pengawetan hijauan. Peran koperasi alangkah baiknya memfasilitasi pakan alternatif misalnya complete feed, agar potensi pakan yang melimpah saat musim hujan dapat dimanfaatkan menjadi pakan yang tersedia sepanjang tahun. Secara umum complete feed adalah suatu teknolgi formulasi pakan yang
37 mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan (limbah pertanian) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau hanya dengan sedikit tambahan rumput segar (Pamuji, 2012). Berdasarkan Tabel 6, menunjukkan 88,33% dari keseluruhan responden memiliki pasokan konsentrat yang berkesinambungan, jenis, jumlah dan kualitas. Kualitas konsentrat yang diberikan memadai 88,33%.
Pemberian konsentrat
menyebabkan berat jenis susu lebih tinggi ddibandingkan dengan sapi yang diberi pakan ampas tahu. Hal ini disebabkan karena pakan konsentrat komersial mengandung pakan yang lebih banyak variasinya dibandingkan ampas tahu. Menurut Huda (2007) menyatakan bahwa dalam suatu larutan, semakin besar atau semakin banyak senyawa-senyawa yang terlarut di dalamnya, maka semakin besar pula berat jenisnya. Demikian pula berat jenis susu dipengaruhi oleh senyawa yang terlarut di dalamnya. 4.2.3. Capaian Kondisi Perkandangan pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang Rata-rata capaian pada aspek kondisi kandang dan sarana penunjang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rekapitulasi Capaian Kondisi Perkandangan pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang No
Aspek yang Dinilai
1. 2.
Kondisi Kandang Sarana Penunjang Kondisi Perkandangan
Nilai Ideal 9 9 18
Rata-rata Capaian 5,73 7,65 13,38
%
73,42
Kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi persyaratan kebutuhan dan kesehatan sapi perah.
Persyaratan umum kandang
38 untuk sapi perah yaitu sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari sehingga kandang tidak lembab (kelembaban ideal 60%-70%), lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari (Sudono dkk, 2003). Kondisi perkandangan yang diteliti meliputi dua aspek yang diteliti, yaitu aspek kondisi kandang dan aspek sarana penunjang. Rata-rata capaian kondisi perkandangan baru mencapai 73,42% dari 18 aspek yang harus dipenuhi. Sebagian besar aspek penilaian pada kondisi kandang yang kurang diperhatikan yaitu pada tersedianya tempat minum permanen untuk sapi dan adanya gudang sapronak serta minim dilakukannya pengolahan hijauan yang dilakukan untuk persediaan pakan sapinya.
4.3
Tatalaksana Pemerahan pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang Tatalaksana pemerahan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap sebelum
pemerahan, saat pemerahan dan setelah pemerahan. Pemerahan merupakan tugas yang terpenting bagi peternak sapi perah dan harus dikerjakan dengan baik karena merupakan tugas yang berharga. Secara umum persiapan sebelum pemerahan sudah dilakukan oleh peternak sesuai dengan prosedur, seperti membersihkan kandang, persiapan alat untuk pemerahan, membersihkan sapi yang kotor dan pemerah sendiri dalam keadaan bersih. Metode pemerahan yang dilakukan di peternakan rakyat anggota KPSBU Lembang lebih banyak menggunakan metode stripping, dengan menarik puting yang dipegang antara ibu jari dan telujuk atau jari tengah dan telunjuk.
Cara memerah terbaik adalah dengan menggunakan
kelima jari, yakni pemerah duduk di sebelah kanan sapi dan duduk diatas bangku
39 rendah dengan kedua kaki belakang sapi biasanya diikat untuk menghindarkan ember pemerahan ditendang.
Air susu pada akhir pemerahan masih berada
didalam saluran-saluran susu biasanya tidak gampang mengalir ke kisterne dan rongga puting, sehingga untuk memudahkan keluarnya air susu, pemerah harus menekan dan mengurut bagian ventral kuartir dengan ibu jari tangan. Tiap kuartir susu diperah hingga kosong.
Sebagian besar peternak tidak
melakukan
pencelupan puting menggunakan desinfektan (dipping) ketika pemerahan selesai dilakukan. Hasil evaluasi tatalaksana pemarahan dapat dilihat pada Tabel 8, 9 dan 10 berikut ini.
4.3.1
Sebelum Pemerahan Tahap pertama yang dilakukan pada proses pemerahan adalah tahap
persiapan atau tahap sebelum pemerahan. Hasil evaluasi pada tahap sebelum pemerahan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Evaluasi Sebelum Pemerahan pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang No. 1 2 3 4
Uraian Membersihkan kandang Menyiapkan peralatan sapi yang sudah bersih Membersihkan sapi yang kotor Pemerah dalam kedaan bersih
Evaluasi ...%... 81,67 85,00 78,33 76,67
Membersihkan kandang sebelum pemerahan dilakukan merupakan upaya untuk membersihkan kandang dari kotoran sapi, baik feses, urin maupun sisa-sisa pakan. Pembersihan kandang sebelum pemerahan ditujukan untuk menghindari berbagai kotoran ataupun bau yang akan mempengaruhi susu. Berdasarkan Tabel
40 8, diketahui bahwa sebanyak 81,67% responden melakukan pembersihan kandang sebelum pemerahan itu dilakukan.
Peternak menyadari kebersihan kandang
berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan pula, sehingga sebagian besar peternak melakukan pembersihan kandang tiap harinya. Pada saat penelitian, terdapat kandang yang tidak dibersihkan sebelum proses pemerahan dimulai, hal itu terjadi karena masih ada saja peternak yang enggan membersihkan kandang serta memandikan sapi sebelum pemerahan. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran peternak akan pentingnya sanitasi lingkungan pemerahan dan ternak yang akan diperah agar dapat berproduksi dengan optimal.
Saat penelitian
berlangsung ada peternak yang sedang dalam keadaan sakit sehingga tidak mempersiapkan secara keseluruhan setiap aspek dalam persiapan pemerahan. Sarana yang dibutuhkan untuk peralatan sapi meliputi ember susu, ember untuk lap kotor, milk can dan kain kasa. Berdasarkan Tabel 8, persiapan alat sapi yang sudah bersih dari menyiapkan peralatan sapi yang sudah bersih 85,00%. Tahap-tahap persiapan pemerahan meliputi menenangkan sapi, membersihkan kandang, membersihkan bagian tubuh sapi, mengikat ekor, mencuci ambing dan puting (Sudono, 2003). Pemerah dalam keadaan bersih sebanyak 76,67% dari seluruh responden. Ketika pemerahan berlangsung, ditemukan beberapa pemerah dalam kedaan merokok, tangan basah dan baju pemerah dalam kedaan tidak bersih.
Susu
mudah menyerap bau lingkungan, oleh karena itu, menggunakan pakaian yang kotor dapat berpengaruh jelek pada susu. Penutup kepala juga banyak digunakan responden ketika pemerahan berlangsung, salah satunya adalah upaya untuk menghindari adanya ketombe ataupun rambut yang terjatuh dari kepala dan mengenai hasil susu yang diperah.
41 4.3.2. Pelaksanaan Pemerahan pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang. Tahap pelaksanaan pemerahan merupakan tahapan yang dilakukan saat proses pemerahan berlangsung. Hasil evaluasi pada pelaksanaan pemerahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Evaluasi Pelaksanaan Pemerahan pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di KPSBU Lembang No. Uraian Evaluasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Satu lap hanya digunakan untuk satu sapi Menggunakan air hangat untuk pembersihan puting dan perangsangan ambing membersihkan puting dulu baru ambing Memeriksa susu dari tiap putting Menggunakan media berwarna gelap untuk memeriksa kondisi susu sebelum pemerahan Menggunakan metode whole/ full hand Tidak menggunakan vaseline Menggunakan ember khusus untuk hasil pemerahan Puting yang sehat didahulukan Sapi yang sakit terakhir diperah Lama pemerahan 7 menit Selama pemerahan sapi tidak diberi pakan Menghabiskan susu dari setiap ambing dan puting yang diperah Memisahkan susu hasil pemerahan dari setiap sapi yang sedang diobati dengan antibiotika
...%... 10,00 66,67 16,67 41,67 11,67 16,67 0 41,67 100,00 100,00 21,67 71,67 25,00 100,00
Penggunaan satu lap untuk satu ekor sapi bertujuan untuk meminimalisir adanya penularan penyakit dari satu sapi ke sapi lainnya. Berdasarkan Tabel 9, penggunaan satu lap untuk satu sapi hanya dilakukan oleh sebagian peternak saja (10,00%) dari seluruh responden yang diteliti. Responden masih menggunakan
42 satu lap untuk beberapa sapi yang mereka miliki, karena mindset mereka selama sapi yang mereka miliki tersebut tidak sakit maka lumrah saja apabila lap tersebut digunakan untuk lebih dari satu sapi. Walaupun demikian, sebelum lap tersebut digunakan untuk sapi lainnya, mereka mencuci lapnya terlebih dahulu. Penggunaan
air
hangat untuk pembersihan puting dan pembersihan
ambing, air hangat juga berfungsi merangsang sel otak sapi untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Hormon ini berfungsi membuat otot halus di sekitar alveoli untuk memeras susu menuju saluran susu (let-down/milk ejection reflex). Penggunaan air hangat juga bertujuan perangsangan karena air susu mengalir melalui saluran-saluran halus dari gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang puting susu, dalam keadaan normal, lubang puting susu akan tertutup dan lubang puting susu akan terbuka kembali akibat rangsangan syaraf atau tekanan sehingga air susu dari ruang kisterna dapat mengalir keluar.
Berdasarkan Tabel 9,
penggunaan air hangat hanya dilakukan sebanyak 66,67% responden saja dari seluruh responden yang diteliti. Masih banyak peternak yang salah kaprah dengan pentingnya penggunaan air hangat ini, dibutuhkan penyuluhan lagi baik dari koperasi maupun pihak lain agar peternak menyadari pentingnya perangsangan ambing menggunakan air hangat. Sebagian besar responden saat melakukan pemerahan masih salah kaprah, seharusnya peternak membersihkan puting terlebih dahulu sebelum ambing, dengan tujuan agar kotoran yang terdapat pada ambing tidak akan mengenai puting,
namun kenyataan di lapangan
justru sebaliknya karena untuk
memudahkan ketika pembersihan. Berdasarkan Tabel 8, pembersihan puting dulu baru ambing hanya dilakukan oleh 16,67% responden.
43 Memeriksa susu dari setiap puting atau mengeluarkan 3-4 pancaran susu pertama dari masing-masing puting kebanyakan tidak dilakukan oleh peternak. Tujuan dari pemeriksaan awal ini adalah untuk mengeluarkan susu yang kotor, karena mikroba berkumpul pada susu yang pertama kali diperah, mengetahui adanya perubahan pada susu dan merangsang pengeluaran susu.
Penggunaan
media berwarna gelap untuk memeriksa kondisi susu sebelum pemerahan sangat jarang sekali dilakukan oleh responden.
Adapun yang melakukan pemeriksaan
susu awal, itu juga tidak menggunakan strip cup, melainkan hanya melakukan pemeriksaan menggunakan media berwarna gelap seperti ember hitam atau langsung dibuang ke lantai sebanyak 11,67% dari seluruh responden yang diteliti. Cara pemerahan yang dianjurkan adalah menggunakan seluruh tangan (metode full hand) yaitu memerah dengan cara menekan jari satu per satu secara berurutan yakni, (1) tiap kali tangan terbuka, rongga puting kembali terisi susu, (2) tangan kiri dan tangan kanan memerah susu secara bergantian dan (3) kuartir depan diperah terlebih dahulu.
Metode ini jarang sekali dilakukan oleh seluruh
responden, dilihat dari total responden hanya 16,67%
peternak
menggunakan metode full hand dalam pemerahan berlangsung.
yang
Keuntungan
menggunakan metode full hand yakni puting tidak menjadi panjang, puting tidak mudah lecet, merangsang ambing untuk memproduksi susu lebih banyak, tidak perlu menggunakan pelicin (vaseline)
sehingga
puting
lebih
mudah
disucihamakan dengan desinfektan dan penularan penyakit dari ternak yang terkena mastitis dapat dihindari. Berbeda dengan metode stripping, yaitu teknik pemerahan dengan menggunakan dua jari yakni telunjuk dan ibu jari atau telunjuk dan jari tengah, dimana puting susu diletakkan diantara kedua jari tersebut, lalu kedua jari ditekuk dan memulai memerah di pangkal puting kemudian menarik
44 puting susu tersebut sampai air keluar. Rata-rata responden menggunakan metode ini sehingga memerlukan vaseline sebagai pelicin. Namun berdasarkan Tabel 9 pada hasil penelitian, penggunaan vaseline ketika pemerahan tetap digunakan oleh seluruh responden yaitu 100,00% karena walaupun sebagian dari peternak menggunakan metode full hand terkadang secara bergantin peternak pun menggunakan metode stripping ketika pemerahan berlangsung.
Hal ini tidak
sesuai dengan pendapat Hidayat, dkk (2002) bahwa selama pemerahan jangan menggunakan vaselin karena vaselin akan menutupi permukaan puting. Bila terus menerus menggunakan pelicin (vaseline), penularan penyakit sulit dihindari. Ember khusus untuk hasil pemerahan merupakan ember yang terbuat dari bahan yang kuat dan tahan gores, serta tidak berkarat, seperti ember berbahan stainless steel. Penggunaan ember responden bervariasi, terdapat ember stainless steel, alumunium dan ember plastik. Berdasarkan tabel 9, penggunaan ember khusus pemerahan hanya 41,67% dari keseluruhan responden yang diteliti. Kebanyakan peternak memanfaatkan ember yang ada saja dan enggan membeli lagi dengan ember yang telah disediakan di koperasi. Puting yang sehat didahulukan, sapi yang sakit terakhir diperah dan memisahkan susu hasil pemerahan dari setiap sapi yang sedang diobati dengan antibiotika memiliki tujuan yang sama. Berdasarkan Tabel 9, hasil presentasi ketiga aspek tersebut yaitu 100,00% dilakukan oleh seluruh responden. Sapi yang sakit biasanya diobati dengan antibiotika,
dan saat sapi diperah susu yang
dihasilkan selama 4 hari (tergantung jenis antibiotika) masih mengandung antibiotik (residu antibiotik) sehingga tidak aman bagi kesehatan manusia dan juga merugikan Industri Pengolah Susu (IPS), oleh karena itulah sapi yang sakit diperah di akhir karena dikhawatirkan susu yang terdapat residu antibiotik hasil
45 pemerahan sapi sakit dapat tercampur dengan susu hasil pemerahan sapi yang sehat. Sehingga puting sapi yang sehat harus didahulukan diperah. Setelah hari kelima sejak pengobatan, sapi akan menghasilkan susu yang aman dikonsumsi oleh manusia. Lama pemerahan yang baik adalah kurang dari tujuh menit karena hormon oksitosin hanya bekerja selama 6-8 menit. Oleh karena itu pemerahan pada satu ekor sapi harus dilakukan dengan cepat dan selesai dalam waktu 7 menit. Berdasarkan tabel 8, hanya 21,67% responden yang memerah dalam waktu 7 menit.
Hal tersebut dikarenakan peternak menganggap lama pemerahan sapi
tersebut bergantung terhadap kuantitas produksi susu sapi, semakin besar produktifitas sapi maka semakin lama pula waktu yang dibutuhkan dalam pemerahan yang dilakukan begitupun sebaliknya. Selama pemerahan, sebaiknya ternak tidak diberi pakan bertujuan agar sapi fokus pada pemerahan dan dapat berproduksi dengan oprtimal.
Tetapi jika
sapi yang sedang diperah banyak bergerak (tidak tenang) boleh saja diberi pakan sedikit. Berdasarkan Tabel 9, sebanyak 71,67% responden tidak memberi pakan ke sapinya ketika pemerahan berlangsung. Hanya sebagian kecil peternak yang memiliki kebiasaan memberi pakan ketika pemerahan berlangsung. Pada saat pemerahan peternak perlu menghabiskan susu dari ambing dan puting yang diperah, agar tidak ada susu yang tertinggal di antara kuartir puting maupun pada ambing karena hal tersebut akan menjadi media bagi mikroba untuk berkembang dan umumnya menyebabkan penyakit mastitis. Hanya sebagian kecil yang menghabiskan susu mengurut dari ambing dan puting pada saat pemerahan yaitu sebanyak 25%.
Peternak tidak mengetahui cara menghabiskan susu
46 mengurut dari ambing dan puting yang sesuai, peternak biasanya hanya menghabiskan susu pada puting saja karena pengetahuan peternak yang masih belum terlalu mendasar mengenai hal tersebut. Tahapan-tahapan pemerahan harus dilakukan dengan benar agar sapi tetap sehat dan terhindar dari penyakit yang dapat menurunkan produksinya (Sudono dkk., 2003). Walaupun masih ada saja beberapa peternak yang tidak melakukan kriteria prosedur pelaksanaan pemerahan yang sesuai diatas, karena kebiasaan peternak serta tingkat pendidikan peternak yang rendah pun berimplikasi terhadap kecenderungan untuk tidak memperhatikan dengan
baik
suatu
prosedur
pemerahan yang sesuai, namun cenderung lebih banyak pertimbangan seperti halnya rumit tidaknya saat dilakukan dan waktu yang diperlukan. 1.3.1.
Setelah Pemerahan Hasil evaluasi pada tahap setelah pemerahan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Evaluasi Setelah Pemerahan No.
Uraian
1 2 3 4 5
Memberikan desinfektan pada setiap puting Mencatat produksi susu setiap hari Menyaring susu hasil pemerahan Mendinginkan susu hasil pemerahan Membawa susu ke TPK dengan milk can stainless steel atau alumunium tertutup Mencuci peralatan yang sudah digunakan dengan desinfektan
6
Evaluasi ...%... 5,00 0 93,33 0 91,67 0
Setelah pemerahan selesai, selanjutnya yaitu pencelupan puting (dipping) menggunakan desinfektan seperti iodine.
Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat
47 bahwa hanya 5% responden yang melakukan dipping. Jika penggunaan vaseline ketika pemerahan tetap dilakukan,
maka vaseline akan menutupi permukaan
puting, akibatnya larutan desinfektan tidak akan melekat pada saat pencelupan puting (dipping) dilakukan. Solusinya ketika peternak menggunakan bantuan vaseline sebagai pelicin ketika pemerahan berlangsung, maka ketika selesai pemerahan, puting harus benar-benar dibersihkan menggunakan lap bersih yang telah dicelupkan air bersih pula. Responden beranggapan pemberian desinfektan pada puting hanya digunakan untuk sapi yang sedang sakit saja (mastitis). Menurut Syarif dan Sumoprastowo (1990) sebaiknya bagian puting dicelupkan ke dalam desinfektan sekitar empat detik setelah selesai diperah untuk menghindari terjadinya mastitis. Hal tersebut dikarenakan responden yang tidak memiliki bahan dan keterbatasan biaya untuk membelinya. Pencatatan produksi susu setiap harinya tidak dilakukan oleh seluruh responden (0%).
Responden pun beranggapan dalam hal pencatatan produksi
susu itu sudah dilakukan oleh TPK bersangkutan setiap responden menyetorkan susu per harinya,
sehingga mereka dapat mengambil catatan produksi
susu
tersebut langsung ke TPK bersangkutan tempat mereka menyetor. Kenyataannya, pencatatan produksi susu tersebut secara keseluruhan bukan per ekor sehingga recording produksi susu per ekor tiap responden yang diamati tidak secara mendetail. Sebagian besar responden (93,33%)
melakukan
penyaringan
susu
sebelum disetor ke TPK. Responden lebih banyak menggunakan penyaring berbahan kain kasa dan kain putih. KPSBU sudah menyediakan saringan kepada peternak di wilayah kerja KPSBU serta memberikan informasi untuk melakukan penyaringan terlebih dahulu agar kualitas kebersihan susu yang disetor oleh
48 peternak dapat
diberikan grade yang
baik
sehingga nilai jual susu akan
meningkat, oleh karena itu sebagian besar responden pun sadar akan pentingnya menyaring susu terlebih dahulu sebelum disetorkan ke TPK. Penyaringan susu bertujuan untuk
mendapatkan
susu
yang terbebas dari kotoran.
Selain
penyaringan dan pendinginan, pengujian kualitas susu juga dilakukan karena merupakan hal yang penting untuk mengetahui kualitas susu yang dihasilkan (Siregar, 1993). Selesai pemerahan, susu hasil pemerahan harus segera didinginkan. Seluruh responden tidak memiliki kamar pendingin (0%), oleh karena itu susu harus segera dibawa ke tangki pendingin yang ada di TPK, karena apabila menunda pekerjaan ini berarti sama saja memberi peluang kepada mikroba untuk berkembang biak dan susu menjadi cepat rusak. Mikroba sangat tidak suka pada suhu rendah. Jika suhu semakin rendah maka pertumbuhan mikroba pun semakin jelek. Oleh karena itu, susu hasil pemerahan harus segera disimpan dalam suhu rendah.
Ketika membawa susu ke TPK, sudah banyak peternak yang
menggunakan milk can stainless steel atau alumunium bertutup. Dilihat dari dari seluruh responden pun menunjukkan angka sebesar 91,67% yang menyetor susu ke TPK menggunakan milk can bertutup. Hal ini bertujuan agar keamanan tetap terjaga sepanjang perjalanan peternak ketika meyetorkan ke TPK, susu yang dibawa tidak terkontaminasi oleh apapun. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan Nomor 17 Tahun 1983, peralatan susu yang digunakan untuk mewadahi, menampung dan mengangkut susu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) kedap air, b) terbuat dari bahan yang tidak berkarat (baja, stainless steel, alumunium), c) tidak mengelupas bagian-bagiannya, d) tidak bereaksi dengan susu, e) tidak merubah
49 warna, bau dan rasa susu dan f) mudah dibersihkan dan disucihamakan. Berdasarkan Tabel 9, seluruh responden (0%) tidak membersihkan alat pemerahan menggunakan desinfektan, melainkan hanya sebagian responden membersihkan menggunakan sabun dan dibersihkan menggunakan air bersih serta adapula yang hanya menggunakan air bersih saja untuk pembersihan alat pemerahan. Sebenarnya, dengan membilas alat pemerahan dengan air panas 400 C saja sudah cukup baik. Pembersihan alat menggunakan desinfektan kaporit dosis 200 ppm, jika lebih dari 200 ppm, susu akan berbau kaporit.
3.3.4. Capaian Pelaksanaan Prosedur Pemerahan Hasil rekapitulasi pelaksanaan prosedur Pemerahan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rekapitulasi Capaian Pelaksanaan Prosedur Pemerahan No Aspek yang Dinilai Nilai Rata-rata % Ideal Capaian 1. Sebelum Pemerahan 4 3,21 2. Saat Pemerahan 14 6,28 3. Setelah Pemerahan 6 1,90 Tatalaksana Pemerahan 24 11,39 47,29
Tahap tatalaksana pemerahan dibagi tiga yaitu tahap sebelum pemerahan, saat pemerahan dan sesudah pemerahan. Rata-rata pada tatalaksana pemerahan baru mencapai 47,29% dari 24 aspek yang harus dilakukan pada prosedur pemerahan. Metode stripping lebih banyak dilakukan oleh responden sehingga dibutuhkan
vaseline sebagai pelicin ketika proses pemerahan dilakukan.
Pemberian desinfektan (dipping) pada tiap puting sapi yang diperah hanya dilakukan oleh sebagian kecil peternak saja dan seluruh responden mencuci peralatan pemerahan tidak menggunakan desinfektan. Sebagian besar hanya
50 menggunkan sabun dan air bersih, tak jarang pula peternak yang membersihkan peralatan hanya menggunakan air bersih saja.