HASBALLAH M. SAAD
PERKENALAN Pertama kali saya mengenal pak Hasballah M. Saad, kira-kira pada awal tahun 1980-an di Aceh. Ketika itu pak Hasballah bekerja di Pusat Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PSKLH) Universitas Syi’ah Kuala yang dipimpin Drs. Hasan Basri. Atas kerjasama dengan BKKBN Aceh dan LP3ES (Lembaga Pengembangan, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) Jakarta, yang dipimpin oleh Ismet Hadad, PSKLH menyelenggarakan pelatihan bagi para penyuluh dan pelatih kependudukan dan lingkungan hidup dengan pendekatan ‘community development’. Saya sendiri diutus oleh LSP untuk menjadi pelatih atau pemandu latihan. Dalam kegiatan itu, pak Hasballah bertindak sebagai panitia bersama dengan pak Hasan Basri. Selama seminggu, kami terus menerus berada di Banda Aceh untuk menyelesaikan kegiatan pelatihan itu, sehingga kami menjadi kenal cukup dekat. Beberapa tahun sesudah itu, saya bertemu lagi dengan Hasballah setelah ia dan keluarganya pindah ke Jakarta dan bekerja di Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA) bersama Dr. Ir. M. Amin Aziz. Pak Amin Aziz mulai tahun 1985 bersama saya menjadi Sekretaris I dan Sekretaris II Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika MUI dipimpin oleh almarhum K.H. Hassan Basri dan Sekretaris Umum H.S. Prodjokusumo. Dr. Nurcholish Madjid dan K.H. Abdurrahman Wahid ketiks itu sama-sama menjadi ketua-ketua MUI. Karena sama-sama aktif di MUI, saya menjadi sering bertandang ke kantor pak Amin Aziz dimana pak Hasballah berkantor. Saya juga bahkan sering membantu pelbagai proyek PPA yang dikerjakan oleh pak Hasballah M. Saad. Ketika pembentukan ICMI dipersiapkan, Hasballah M. Saad juga aktif terlibat bersama kami di bawah pimpinan M. Dawam Rahardjo, M. Amin Aziz, dan Adi Sasono. Bahkan dengan begitu, Hasballah M. Saad termasuk salah seorang yang sangat dekat bergaul dengan para tokoh cendekiawan muda Muslim selama masa-masa awal perkembangan menjelang reformasi. Pada masa akhir era Orde Baru, pergolakan di Aceh terus menerus bergejolak, sehingga pemerintahan Soeharto menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer yang biasa dikenal dengan singkatan masa DOM. Hasballah termasuk sangat aktif menyuarakan pentingnya bagi pemerintah pusat mendengarkan aspirasi masyarakat Aceh. Karena itu, setelah Presiden Soeharto lengser dan tampuk pemerintahan beralih ke tangan Presiden B.J. Habibie, salah satu kebijakan awal yang ditetapkan oleh Presiden adalah pembentukan tim kerja yang melibatkan wakil-wakil masyarakat Aceh. Salah satunya yang sangat aktif adalah Hasballaj M. Saad. Ia juga sering menjadi salah seorang penghubung yang aktif dalam berhubungan dengan Presiden. Saya juga pernah menjadi Utusan Presiden untuk menyampaikan bantuan sapi dalam rangka kegiatan megang pada akhir bulan puasa. Sebelum pergi berkeliling Aceh dengan sukses sebagai Utusan Presiden dan Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum (DPKSH), saya banyak mendengarkan nasihat, saran, dan pendapat dari pak Hasballah M. Saad. Pendek kata, saya merasa beruntung mempunyai sahabat dekat bernama Hasballah M. Saad yang banyak sekali memberikan bantuan dalam pelbagai kegiatan yang saya kerjakan di dunia aktifis, dalam kegiatan ormas Islam, dalam kegiatan pengembangan masyarakat (community development), dan lebih khusus lagi dalam hubungan dengan Aceh. Sekarang tanpa terasa, saya baru menyadari bahwa
ternyata usia pak Hasballah sudah 63 tahun, yang berarti 9 tahun lebih tua dari saya sendiri. Selama ini, saya sungguh tidak menyangka kalau pak Hasballah jauh lebih tua daripada saya. Karena kami biasa terlibat dalam pergaulan bersama, sehingga Nampak bagi saya seolah dia lebih tua tidak terlalu jauh dari usia saya. Mungkin juga karena penampilan pak Hasballah sendiri juga biasa dendi, rapi, ditambahj dengan jengkot dan jambangnya yang lebat sehingga membuatnya kelihatan sangat berwibawa.
USIA 63 TAHUN Saya tidak terlalu mengerti mengapa di usia 63 tahun ini, pak Hasballah M. Saad bermaksud menulis buku biografi. Bukankah biasanya orang menulis buku kalau sudah 70 tahun. Ada juga yang berbeda, misalnya, dulu pak BJ. Habibie menulis biografi pada usia ke-60. Ketika saya berusia 50 tahun, ada juga beberapa buku yang saya tulis atau yang dituliskan para sahabat tentang saya, yaitu: (i) “Setengah Abad Jimly Asshiddiqie: Konstitusi dan Semangat Kebangsaan”; (ii) “Jimly Asshiddiqie: Pendekar Konstitusi” oleh Dr. Purwadi; (iii) Studi, Mengabdi, dan Berprestasi: Kesan dan Pesan para Sahabat” oleh Dr. Kaelany dkk; dan (iii) Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer: Kumpulan Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan para pakar hukum dalam rangka 50 tahun Jimly Asshiddiqie. Selain itu, ada pula buku memoar khusus selama menduduki jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi, yaitu (iv) “Memoar 5 Tahun Kepemimpinan di MK: Menegakkan Tiang Konstitusi” Namun demikian, usia pak Hasballah sekarang ini adalah 63 tahun. Kok justru di usia 63 tahun ini pak Hasballah menyusun dan menerbitkan buku. Saya hanya menduga-duga bahwa mungkin, bagi pak Hasballah, angka 63 itu memang mempunyai makna yang tersendiri. Akan tetapi, terlepas dari persoalan angka ini, yang jelas usia 63 tahun adalah usia yang menurut saya menggambarkan kematangan jiwa. Dengan segudang pengalaman hidup yang sangat kaya, Menteri Negara urusan Hak Asasi Manusia yang pertama dalam sejarah Indonesia ini menuangkan kekayaan hidupnya itu dalam buku disertai pelbagai kesaksian-kesaksian para sahabat dekatnya. Sebagai salah seorang sahabat, saya mengucapkan selamat kepada pak Hasballah dan keluarga atas hari ulang tahun ke 63 ini. Semoga Allah senantiasa bersama pak Hasballah dan keluarga sehinga senantiasa mendapat petunjuk dari Allah swt untuk terus menerus hidup dalam iman dan pengabdian. Nanti pada saat usia pak Hasballah M. Saad menginjak ke angka 70 tahun, Insya Allah, saya usul kiranya dapat pula disusun dan diterbitkan satu buku lagi yang merangkum keseluruhan data-data biografis pak Hasballah dalam buku Hasballah M. Saad 70 tahun. Menurut saya, dengan angka usia harapan hidup (life-expectancy) yang terus meningkat dewasa ini, di usia 63 tahun, masih sangat banyak hal yang dapat dan harus dikerjakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Karir pak Hasballah jangan dulu dianggap sudah selesai. Waktu berjalan sangat dinamis. Karena itu, kita berhak untuk berharap kiranya pak Hasballah terus menerus menyingsingkan lengan baju untuk selalu terlibat aktif dalam upaya mewujudkan cita-cita kebebasan, cita-cita keadilan, dan cita-cita kesejahteraan masyarakat banyak. Jangan sampai penulisan dan penerbitan buku 63 tahun ini menyebabkan pak Hasballah merasa sudah di akhir pengabdian, di ujung karir. Tidak penting bagi kita menjadi apa, yang penting adalah kita melakukan apa untuk sesama.
HASBALLAH DAN PEMBANGUNAN HAM Dari sudut keahlian ilmiahnya, pak Hasballah M. Saad menyandang gelar Doktor dalam bidang ilmu pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta yang sebelumnya adalah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta. Namun, pengalaman hidup yang terkait dengan upaya-upaya pembelaannya terhadap aneka pelanggaran hak asasi manusia, khususnya pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh warga masyarakat Aceh, telah mengantarkannya dipercaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Negara urusan Hak Asasi Manusia mulai tanggal 26 Oktober 1999. Sayang usia kementerian ini tidak bertahan lama, karena dalam rangka perombakan cabinet tanggal 23 Agustus 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menentukan Kementerian Negara urusan Hak Asasi Manusia ini digabungkan dengan Kementerian Hukum dan Perundang-Undangan (Menkumdang) menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham). Akan tetapi, harus dicatat bahwa jabatan Menteri Negara urusan Hak Asasi Manusia yang pernah dipegang oleh Pak Hasballah adalah jabatan yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa Hasballah M. Saad adalah Menteri urusan Hak Asasi Manusia yang pertama dan terakhir dalam sejarah Indonesia sampai sekarang. Pengalamannya yang sangat pendek hanya 10 bulan sebagai anggota kabinet dalam urusan hak asasi manusia, menurut saya, harus dicatat dengan khusus, karena pada tahun 2000 justru terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Republik Indonesia disebabkan oleh disahkannya naskah Perubahan Kedua UUD 1945 yang sebagian terbesar memuat sangat lengkap pasal-pasal baru yang berkenaan dengan hak asasi manusia. Pengaturan mengenai jaminan konstitusional penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia merupakan ciri pokok konstitusi negara demokrasi dan negara hukum modern di dunia. Konstitusi kontemporer selalu mengutamakan jaminan-jaminan konstitusional mengenai hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, konstitusi tidak hanya memuat pelbagai aturan procedural tentang ‘rule of law’, tentang organ-organ dan mekanisme kerja antar organ Negara, tetapi yang dianggap jauh lebih penting lagi adalah pengaturan-pengaturan yang demokratis dan menjamin kedudukan asasi setiap warga negara dalam hubungannya dengan kekuasaan negara. Seperti kita ketahui, Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan masih pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, yaitu pada bulan Oktober 1999. Sedangkan Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yaitu pada bulan Agustus tahun 2000 dimana Menteri Negara urusan Hak Asasi Manusia dijabat oleh Hasballah M. Saad. Perubahan Kedua UUD 1945 itu sangat banyak dan dapat dikatakan mengadopsikan semua instrument internasional tentang hak asasi manusia yang berlaku universal. Tentu bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa dimuatkan pelbagai ketentuan internasional tentang HAM itu terjadi karena Menteri HAM-nya adalah Hasballah M. Saad. Yang saya ingin tunjukkan justru adalah bahwa di masa Hasballah menjadi Menteri HAM itu, UUD 1945 juga menerima Perubahan Kedua UUD 1945 yang berisi ketentuan lengkap mengenai prinsipprinsip penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Keduanya menggambarkan kepada kita bahwa pada tahun 1999-2000, hak asasi manusia menjadi isu pokok yang menyita perhatian
mayoritas warga bangsa kita yang tidak lagi menghendaki terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia di masa-masa sesudah reformasi. Sebagai hasil dari perjuangan reformasi, isu hak asasi manusia kemudian diadopsikan ke dalam materi UUD 1945, dan pada tingkat pelaksanaannya dibentuk lembaga pemerintahan yang khusus menangani isu-isu hak asasi manusia, di samping status hukum Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) yang sudah berdiri sejak sebelumnya ditingkatkan menjadi lebih kuat berdasarkan UU tentang Hak Asasi Manusia. Seperti diketahui, sebelumnya, yaitu di zaman Orde Baru prakarsa pembentukan Komnasham itu dilakukan pertama kali pada tahun 1993 yang hanya diatur dengan Keppres, yaitu Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993. Tujuan dibentuknya KOMNASHAM ini adalah untuk (a) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam Perserikatan PBB, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan (b) meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat pada umumnya. Dengan disahkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka status Komnasham ditingkatkan menjadi salah satu lembaga independen yang melakukan fungsi pengkajian, penyelidikan, pemasyarakatan, dan mediasi dalam rangka penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, keberadaan lembaga kementerian Negara yang secara khusus diadakan untuk mengurusi persoalan-persoalan hak asasi manusia, harus dicatat sebagai momen yang penting dalam perkembangan sejarah hukum dan hak asasi manusia serta sistem demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi. Setelah itu, dibentuk pula kantor kementerian Negara urusan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Persatuan Nasional sesuai dengan Keputusan Presiden No. 355/M/1999. Karena itu, sejarah tidak pernah boleh melupakan adanya jabatan Menteri Negara urusan Hak Asasi Manusia yang untuk pertama dan terakhir kalinya dijabat oleh Hasballah M. Saad. Kementerian Hukum dan HAM yang ada sekarang tidak boleh melupakan adanya kementerian hak asasi manusia itu dalam sejarah kementerian hukum dan hak asasi manusia. Saya sarankan hendaknya, nama Hasballah M. Saad harus turut dicatatkan dalam sejarah menteri-menteri di kementerian hukum dan hak asasi manusia yang ada sekarang. Dulu nama kementerian hukum dan hak asasi manusia itu adalah Menteri Kehakiman, kemudian karena sebagian fungsi administrasi peradilan dialihkan pengurusannya kepada Mahkamah Agung dalam rangka kebijakan pembinaan satu atap, maka Departemen Kehakiman diubah menjadi Departemen Hukum dan Perundang-Undangan. Pada saat yang bersamaan ada pula tersendiri Kementerian Negara urusan Hak Asasi Manusia yang dipimpin oleh Hasballah M. Saad. Sesudah kantor Kementerian Negara urusan HAM digabungkan dengan Departemen Hukum dan Perundang-Undang, maka terbentuklah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yung kemudian berubah lagi namanya menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Karena itu, dalam sejarah Kementerian Hukum dan HAM yang sekarang ini Menterinya dijabat oleh Patrialis Akbar, nama Kementerian Negara urusan HAM yang dipimpin oleh Hasballah M. Saad tidak boleh dilupakan. Hasballah M. Saad pada tahun 1999-2000 adalah Menteri Hak Asasi Manusia, sedangkan Yusril Ihza Mahendra ketika itu Menteri Hukum dan Perundang-Undangan. Sekarang nama
Kementerian ini diubah berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi Kementerian Hukum dan HAM, sebagai gabungan dari kedua jabatan Menteri Hukum dan Perundangundangan dan Menteri urusan HAM tersebut di atas. Dengan demikian, nama Hasballah M. Saad harus tercatat dalam sejarah Kementerian Hukum dan HAM. Hasballah termasuk anggota keluarga besar Kementerian Hukum dan HAM sehingga harus diperlakukan sama dengan mantan Menteri Kehakiman, mantan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan, dan mantan Menteri Hukum dan HAM yang lain.
TAHUN 2000 YANG BERSEJARAH Tahun 2000 ketika pak Hasballah menjabat Menteri urusan HAM merupakan tahun yang sangat beresejarah, karena pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan oleh Sidang Paripurna MPR. Cukup banyak materi konstitusi yang tertuang dalam Perubahan Kedua UUD 1945 ini, yaitu mulai dari penyempurnaan dan penambahan pada Pasal 18, 18A, 18B, Pasal 19, Pasal 20, 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E, 26, 27, sampai ke pasal-pasal 28 yang terdiri atas Pasal 28A, 28B, 28C, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan Pasal 28J, Pasal 30, 36A, 36B, dan Pasal 36C. Dari semua materi muatan konstitusi yang mengalami perubahan dan penyempurnaan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945 itu, sebagian terbesar isinya menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia. Dapat dikatakan bahwa dengan adanya Perubahan Kedua ini, keseluruhan ketentuan tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam pelbagai instrumen HAM Internasional yang berlaku sampai sekarang telah diadopsikan ke dalam materi UUD 1945. Karena itu, UUD kita dewasa ini dapaty disebut sebagai salah satu konstitusi yang paling modern di dunia. Semula materi Hak Asasi Manusia yang dimuat dalam UUD 1945 ini sudah kita berlakukan secara resmi melalui Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998. Materi Ketetapan MPR itu selanjutnya dituangkan pula menjadi materi UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dari kedua naskah TAP MPR dan UU inilah, materi hak asasi manusia dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945 dituangkan menjadi norma hukum tertinggi dalam sistem hukum di negara kita. Dengan penempatannya dalam UUD maka ketentuan mengenai hak asasi manusia itu menjadi ‘absolute’ harus ditaati dalam praktik. Ide-ide dan prinsip-prinsip tentang hak asasi manusia itu harus tercermin dalam (i) semua kebijakan publik yang tercermin dalam pelbagai produk peraturan perundang-undangan, mulai dari undangundang sampai ke peraturan yang paling rendah tingkatannya, seperti Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Bupati, atau pun Peraturan Walikota; (ii) semua progam pembangunan nasional dan pembangunan daerah; dan (iii) semua tindakan-tindakan aksi petugas pemerintahan da pejabat negara yang berkaitan dengan warga negara dan kepentingan rakyat (kepentingan umum). Prinsip-prinsip hak asasi manusia itu dapat dijadikan pengendali yang strategis dalam proses pemerintahan dan pembangunan, yang jika tidak ditaati tersedia mekanisme untuk menegakkannya di pengadilan. Jika pelanggaran terjadi dalam kaitannya dengan tindakan konkrit petugas (butir ketiga di atas), maka upaya hukumnya dapat ditempuh melalui peradilan hak asasi manusia (Pengadilan HAM). Jika yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM itu berbentuk peraturan perundangundangan (butir pertama di atas), maka upaya hukum yang disediakan oleh sistem konstitusi Negara kita
adalah mekanisme pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau ke Mahkamah Agung (MA). Apabila yang dipersoalkan adalah konstitusionalitas Undang-Undang, maka pengujiannya dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Apabila yang dipersoalkan adalah legalitas peraturan di bawah undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pendek kata selalu tersedia cara bagi siapa saja untuk menggugat atau melakukan perlawanan, apabila hak asasi manusia dilanggar atau hakhak konstitusionalnya dilanggar. Yang tidak disediakan upaya hukum yang tersendiri hanya sepanjang yang berkaitan dengan perumusan program pembangunan nasional dan pembangunan daerah. Akan tetapi para wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD, dan DPRD di seluruh Indonesia dapat melakukan upaya-upaya pengawasan politik untuk menjamin agar program-program pembangunan nasional dan daerah berparadigma hak asasi manusia. Untuk itu, tentu saja, pemahaman umum mengenai paradigma hak asasi manusia dalam pembangunan (human right base development) sangat penting ditingkatkan. Belum banyak warga masyarakat kita yang memahami dan menyadari pentingnya mengembangkan perspektif hak asasi manusia dalam pembangunan. Hal ini perlu dijadikan wacana publik melalui pendidikan dan komunikasi serta advokasi kebijakan yang melibatkan partisipasi masyarakat yang luas dan kesadaran para tokoh politik dan pemerintahan. Harus disadari bahwa sekarang hak asasi manusia sudah tertuang dengan sangat substansial dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di negara kita. Jika kita sungguh-sungguh berkehendak untuk membangun demokrasi, maka syaratnya jelas yaitu bahwa kebebasan yang diidealkan dalam demokrasi harus diimbangi oleh tegaknya ‘rule of law’, yang dimulai dengan tegaknya ‘rule of the constitutilon’. Jika kita ingin membangun negara hukum modern, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan hukum sebagai panglima di negara republik kita ini, yaitu dimulai dengan tegaknya konstitusi sebagai panglima yang tertinggi. Demikian beberapa catatn saya untuk penerbitan buku ini. Sekali lagi saya mengucapkan selamat kepada pak Hasballah M. Saad atas ulang tahunnya yang ke-63. Semoga Allah swt senantiasa menganugerahi nikmat iman, nikmat ilmu, nikmat beramal dengan kesehatan prima dan panjang umur.