Harmonisasi Penanggung Jawab Pendidikan dalam Sudut Pandang Islam by Rira Nurmaida Sehari-hari, kita mengenal pendidikan formal, nonformal, serta informal. Terma ini mengacu kepada klasifikasi jenis pendidikan serta pengampunya. Secara umum dipahami bahwa pendidikan formal adalah yang diselenggarakan oleh institusi formal dengan struktur jenjang dan kurikulum tersendiri, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sementara pendidikan nonformal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat, baik berupa kursus-kursus, pelatihan dan yang serupa dengannya. Adapun pendidikan informal bisa dikatakan lebih kurang sebagai pendidikan keluarga serta lingkungan yang porsinya didominasi oleh orangtua di dalam rumah. Sepintas pembagian peran ini nampak ideal dan saling melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, pada kenyataannya, sudahkah terjadi keharmonisan dan situasi saling mendukung di antara para stakeholder pendidikan ini sehingga menghasilkan insan terdidik yang diharapkan? Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dicantumkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab Pemerintah bersama dengan masyarakat. Porsi tanggung jawab di sini mencakup variabel pendanaan, penyelenggaraan, serta pengendalian mutu pendidikan. Hal inilah yang kerap menjadi polemik terkait pelimpahan tanggung jawab pendidikan; siapa saja yang paling bertanggung jawab atas perencanaan, proses, hingga pengawasan pendidikan. Ketika terdapat permasalahan pada peserta didik misalnya, tak urung terjadi lempar melempar pertanggungjawaban antara pihak pendidik (formal) dengan masyarakat, khususnya orangtua. Hal ini tentu tak lepas dari pemahaman terkait pendidikan itu sendiri. Pergeseran
Makna Pendidikan
Makna pendidikan belakangan telah mengalami penyempitan. Apa itu pendidikan? Di mana kita bisa mendapatkan pendidikan? Singkat saja, kebanyakan orang akan menyebut: sekolah. Ya, sekolah telah menjadi simbol otoritas dominan atas pendidikan. Para orangtua dewasa ini merasa sudah cukup memenuhi kewajiban untuk mendidik anaknya dengan mengirim mereka ke sekolah. Agaknya menarik jika kita mengulas sedikit terkait sejarah sekolah. Mulanya di Yunani, para orangtua mendidik anak-anaknya di rumah dengan pengetahuan dan keterampilan dasar. Anak-anak pun memiliki kemampuan untuk membantu pekerjaan orangtuanya. Di sela-sela pekerjaan, mereka masih memiliki scolae alias waktu luang. Para orangtua memerintahkan anak-anak mereka untuk menggunakan scolae ini untuk berguru pada kaum cerdik-pandai yang bisa mengajari mereka hal-hal yang tidak diajarkan di rumah, hingga wawasan mereka berkembang. Seiring waktu, kebiasaan ini terlembagakan hingga scolae menjadi scolae materna, atau almamater (ibu pengetahuan). Pelajaran terstruktur dalam kurikulum dan dibawakan oleh guru yang bertanggungjawab atas pengasuhan keilmuan murid-muridnya. Cukup miris jika melihat kondisi saat ini, di mana sekolah tidak lagi menjadi ”waktu luang” yang diisi kegiatan menyenangkan untuk mengaktualisasi potensi demi meningkatkan kapasitas dan kualitas kehidupan seseorang. Sekolah bagi kebanyakan siswa adalah momok yang menjemukan bahkan menakutkan siswa. Tak heran ada anekdot yang menyatakan bahwa hanya ada tiga jam yang menjadi favorit, yakni jam istirahat, jam kosong, serta jam pulang.
1
Berlelah-lelah dalam sekolahpun tidak otomatis menjadikan seseorang ”lebih berkualitas”. Tentu ini adalah pernyataan subjektif. Namun ini lahir dari kenyataan banyaknya insan akademis yang tidak menunjukkan perilaku sebagai orang terpelajar dengan kemampuan dan pribadi yang lebih baik dari mereka yang tidak bersekolah. Satu contoh saja, jika seseorang yang tidak sekolah mencuri makanan, sejumlah koruptor adalah lulusan sekolah tinggi. Mengapa upaya keras dan memakan waktu seperti itu tidak menghasilkan output seperti yang diharapkan? Hal ini terjadi karena pendidikan yang diselenggarakan di sekolah saja ternyata tidak mampu menangani proses mulia mendidik manusia. Apalagi ketika bobot pengajaran di sekolah semata bermuatan aspek kognitif. Demikianlah yang terjadi. Siswa hanya dijejali berbagai informasi untuk kemudian dijadikan modal mengikuti ujian kualifikasi. Inilah yang terjadi ketika makna pendidikan telah mengalami pergeseran. Padahal, makna pendidikan bukan sesederhana meningkatkan kualitas peserta didik dari aspek kecerdasan kognitif hingga memiliki pengetahuan dan keterampilan yang bisa ia gunakan sekedar untuk mencari penghidupan layak. Seharusnya parameter keberhasilan pendidikan bukan semata diperolehnya penghidupan, namun kehidupan yang lebih baik. Proses pendidikan sejatinya adalah upaya sadar untuk menyiapkan manusia agar mampu untuk menjalankan perannya di muka bumi sesuai dengan tujuan penciptaannya. Untuk memanusiakan manusia, sesuai dengan fitrahnya. Mengacu pada hal ini, sejumlah poin penting mestinya dipenuhi dalam penyelenggaraan pendidikan, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Pengembangan potensi peserta didik secara maksimal; Penuntunan peserta didik untuk mengenal dirinya, kemudian menemukan misi dan peranan kehidupannya; Meningkatkan motivasi peserta didik untuk menjalani proses belajar sepanjang hayat; Pewarisan nilai dan ilmu pengetahuan.
Bila mengacu pada poin-poin tersebut akan jelas terlihat bahwa pendidikan adalah sesuatu yang sangat khas dan terikat pada ideologi tertentu. Pendidikan tidak lepas dari sistem nilai dan tidak bersifat universal. Dengan demikian, menjauhkan ideologi dari pendidikan adalah hal yang absurd. Hal inilah yang mestinya dipahami oleh para stakeholder pendidikan. Makna dasar dari pendidikan yang dirumuskan dari sudut pandang tertentu terhadap kehidupan akan menentukan corak, proses, bahkan pembagian tanggung jawab pendidikan untuk meraih hasil terbaik pendidikan yang berkontribusi positif pada pembangunan dan pengembangan peradaban. Konsep Dasar Islam terkait Pendidikan Islam memiliki sudut pandang tersendiri terhadap eksistensi manusia di bumi. Hal ini setidaknya tercantum dalam sejumlah ayat al-Qur’an sebagai berikut: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (TQS Adz-Dzariat:56) "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak 2
menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan), padahal kami sentiasa bertasbih dengan memujiMu dan mensucikanMu? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya." (TQS. Al-Baqarah: 30) Dari dalil-dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia tidak diciptakan dengan sia-sia. Ada tujuan penciptaan yang mesti dipenuhi oleh manusia. Yakni pengabdian total dalam sepanjang hidupnya terhadap Sang Pencipta. Di muka bumi ia pun menjadi pemimpin yang mengatur makhluk-makhluk lainnya atas petunjuk dan tuntunan Sang Pencipta. Modal khusus dalam melaksanakan tugas tersebut adalah anugerah baginya yang berupa akal. Selebihnya akal tersebut dibimbing oleh wahyu sehingga mampu mengampu tugas-tugasnya sebagaimana dikehendaki Allah swt. Proses penyiapan itu diejawantahkan dalam Sistem Pendidikan Islam. Dalam sudut pandang Islam, secara umum poin-poin cakupan dalam pendidikan yang disinggung sebelumnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Pengembangan potensi peserta didik secara maksimal, sehingga peserta didik dapat mengembangkan potensi hidup maupun potensi kecerdasannya dalam lingkungan yang kondusif dan mampu mengarahkan pemenuhan maupun pengembangannya selaras dengan aturan kehidupan yang digariskan dalam Islam; Penuntunan peserta didik untuk mengenal dirinya sebagai hamba Allah, kemudian menemukan misi dan peran kehidupannya di dunia semata-mata untuk beribadah kepada Allah serta memakmurkan bumi dalam peran apapun yang dipilihnya secara profesional; Meningkatkan motivasi peserta didik untuk menjalani proses belajar sepanjang hayat dengan latar belakang untuk meraih derajat kemuliaan di sisi Allah sebagai orang-orang berilmu yang derajatnya lebih tinggi, serta menjadi ’ulama yang senantiasa takut kepada Rabb-nya. Pewarisan Islam sebagai tsaqafah atau sistem nilai yang diadopsi dan menentukan standar pemikiran, sikap, maupun perilakunya. Disertai dengan pewarisan pengetahuan berupa ilmuilmu dasar, rekayasa, maupun seni yang diolah dan dikembangkan dalam meningkatkan kehidupan dan mempertinggi peradaban dalam kerangka ideologi Islam sebagai landasan maupun pemandu pemikiran dan sikapnya.
Dengan demikian output yang dihasilkan dalam sistem pendidikan Islam adalah individu-individu yang memiliki kepribadian islam dan memiliki kemampuan khusus dalam bidang-bidang tertentu yang dipilihnya untuk berkontribusi dalam mengembangkan peradaban. Untuk meraih hasil seperti ini, digunakanlah metode yang memastikan mengoptimalkan penggunaan akal. Ilmu disampaikan sebagai sebuah konsep yang dikaitkan dengan realitas sehingga memastikan terdapatnya proses pemikiran yang dapat menjadi landasan bagi peserta didik untuk berperilaku. Metode ini mesti diperhatikan dalam setiap segi praktis yang dapat diterapkan, apakah dalam bentuk eksperimen, debat, seminar dan lain-lain. Adapun sarana-sarana pendidikan seperti buku, laboratorium, dan kelengkapan lainnyapun digunakan secara optimal. Tanggung Jawab Siapa? Dengan tujuan dan target keluaran proses yang seperti itu maka dibutuhkan upaya-upaya serius dari seluruh pihak yang terlibat. Sudah jelas bahwa aspek pendidikan mesti hadir dalam setiap dimensi kehidupan anak. Artinya 3
tidak bisa dibebankan hanya pada sekolah saja. Namun di rumah maupun lingkungannya mesti terdapat kontribusi positif untuk membangun kepribadian anak dan mengembangkan potensinya sesuai dengan arahan pendidikan Islam. Orangtua adalah Pendidik Pertama Orangtua dalam Islam diposisikan untuk mengampu peran yang sangat krusial dan signifikan dalam pendidikan anak. Bahkan dikatakan bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak. Sejak janin berada dalam kandungan, proses pendidikan telah dimulai. Bukan hanya ibu, ayahpun memegang peranan penting dalam mendidik anak, terutama dalam menanamkan nilai-nilai tauhid sejak dini. Mulai dengan memperdengarkan adzan dan iqamah di telinga bayi yang baru dilahirkan. Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (TQS Lukman: 13) Dalam ayat lainnya pun, ditegaskan perintah untuk menjaga keluarga agar terhindar dari siksa Allah yang pedih. "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (TQS at-Tahrim:6) Berbasis pemahaman akan peran yang besar inilah maka Kaum Muslim terdahulu menjalankan perannya dengan serius sebagai orangtua. Ia menjadi teladan bagi anaknya terutama pada usia dini ketika anak-anak berada dalam fase peniru ulung. Juga dengan sabar meladeni keingintahuan dan antusiasme anak dalam menghadapi hal-hal baru di sekitarnya. Orangtua juga membiasakan berbahasa yang baik agar anak terbiasa berkomunikasi efektif dan juga terbentuk sistematika berpikirnya. Orangtua pun mesti menghormati dan menghargai anak sebagai seorang manusia sehingga terbangun kepercayaan dirinya. Semua itu dilakukan dengan pondasi akidah dalam jiwa putranya. Dengan interaksi seperti ini tak heran keluarga kemudian benar-benar menjadi ad-dir`u al-hashinah (benteng yang kuat) yang menjadi pusat penggemblengan anak-anak hingga menjadi generasi qurrata a’yun. Bila kemudian orangtua menyerahkan pendidikan pada guru-guru profesional, itu pun dengan pengawasan khusus dan penciptaan lingkungan yang kondusif, bukan melepas tanggung jawab pendidikan begitu saja. Berikut ini kutipan pesan dari beberapa tokoh Muslim pada guru yang akan mendidik putranya: Abdul Malik bin Marwan mengatakan seraya memberikan nasihat kepada guru dari anaknya," Ajarkan kepada mereka kejujuran sebagaimana kamu mengajarkan kepada mereka Al Qur'an; biasakanlah mereka dengan akhlak yang terpuji; bacakan kepada mereka syair-syair agar mereka berani dan bersemangat; ajaklah mereka duduk-duduk bersama orang-orang besar dan para ilmuwan; jauhkan mereka dari orang orang yang rendah budinya dan para pelayan, karena mereka adalah orang orang yang paling rendah budinya; hargailah mereka di tempat keramaian, dan tegurlah mereka secara rahasia; pukullah mereka atas perbuatan dusta, karena dusta menarik kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan itu sungguh menarik kepada Neraka." 4
Hisyam bin Abdul Malik berkata kepada seorang guru dari anaknya, Sulaiman Al-Kalbi, "Sesungguhnya putraku ini adalah bagian dari kulit mataku, dan kini telah aku serahkan kepadamu untuk mendidiknya. Oleh karena itu hendaklah kamu selalu bertakwa kepada Allah dan sampaikanlah amanat. Mulamula yang aku wasiatkan kepadamu, hendaklah kamu membimbingnya dengan Kitab Allah, kemudian kamu bacakan kepadanya syair-syair terbaik; kemudian bawalah ia berkeliling melihat kehidupan bangsa Arab, lalu ambillah syairsyair mereka yang terbaik; ajarkanlah kepadanya satu bagian tentang halal dan haram, berpidato dan berperang." Masyarakat sebagai Kancah Pendidikan Sepanjang Hayat Bagaimanapun lingkungan akan menentukan tumbuh kembangnya seseorang. Pendidikan di tengah-tengah masyarakat tidak sempit dimaknai sebagai penyelenggaraan kursus-kursus atau pelatihan. Namun lingkungan sosial tempat interaksi terjadi merupakan tempat pembelajaran yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Saat ini, seringkali kita temukan orangtua terkaget-kaget ketika anak mengucapkan suatu kata yang tidak layak atau tiba-tiba berperilaku buruk yang tidak pernah dicontohkan di rumah. Anak yang peniru tentu mudah saja mengikuti hal tersebut ketika ia berinteraksi dengan teman-temannya, baik di lingkungan sekitar rumah, maupun sekolahnya. Selain itu, bisa jadi terkait dengan akses media yang tidak sesuai atau tidak layak menjadi tontonan bagi anak. Diperlukan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak, begitulah kira-kira ungkapan dari sebuah pepatah Afrika. Orangtua tidak sendirian dalam mendidik anaknya. Dalam membagi pengetahuan dan memberi teladan. Di tengahtengah masyarakat Islam, tempat di mana setiap interaksi dibangun atas pemikiran dan perasaan serta aturan islami, proses pendidikan anak untuk membangun kepribadian islam dalam dirinya akan didukung optimal. Mekanisme amar ma’ruf nahyi mungkar dan bertebarannya orang-orang shaleh dan berprestasi tinggi dalam bidangnya masing-masing yang menjadi role model serta idola bagi anak akan memudahkan pengkristalan prinsip-prinsip yang ditanamkan oleh orangtua di rumah kepada anak. Bandingkan dengan kondisi masyarakat sekuler yang memfigurkan pribadipribadi memprihatinkan bila dipandang dari sistem nilai kita. Popularitas yang didapatkan seorang artis sekalipun ia terbiasa melakukan perbuatan yang dilaknat seperti zina ternyata tetap tinggi. Kondisi itu berbanding terbalik dengan penghargaan dan popularitas yang dimiliki para ilmuwan atau ulama yang memiliki keluasan ilmu serta keluhuran budi. Peranan Negara dalam Mengampu Tanggung Jawab Pendidikan Bagi negara, pendidikan tentu merupakan suatu perkara penting. Karena itu, arah kebijakan pendidikan di suatu negara takkan lepas dari orientasi dan paradigma penyelenggaraan kehidupan kenegaraan yang bersangkutan. Oleh karena itu kita bisa memantau kebijakan pendidikan pada masa Pemerintahan Soekarno di Indonesia bertumpu pada penanaman nasionalisme yang sangat kental dengan tujuan membangun ikatan di antara kekuatan politik yang berebut dominasi pascaperang-kemerdekaan. Atau kebijakan pendidikan di masa Pemerintahan Soeharto yang berorientasi pada kestabilan iklim sospol demi pembangunan ekonomi. Pendidikan saat itu dibangun atas paradigma uniformitas baik dalam berpikir maupun bertindak untuk menghindari konflik. Adapun Islam yang dibangun atas basis ideologi yang kuat tentu juga memiliki paradigma dan orientasi tertentu terkait pendidikan dalam posisinya sebagai bagian dari sistem kenegaraan. Mencari ilmu merupakan salah satu kewajiban dalam Islam, dengan demikian ilmu adalah kebutuhan, 5
dan negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan fasilitas memadai bagi rakyatnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Yang terutama adalah ilmu agama karena itu yang akan menjadi landasan dan kepemimpinan pemikiran yang menentukan sikap-sikapnya. Berikutnya adalah ilmu-ilmu seperti sains, ilmu rekayasa, seni, manajemen yang dibutuhkan untuk mengelola kehidupan yang diperlukan untuk mengisi dan mengembangkan peradaban. Pendidikan pemikiran Islam jelas sangat krusial dan bukan hal yang bisa ditawar lagi karena hidup matinya peradaban Islam bergantung pada hidup matinya Islam yang diemban oleh para penganutnya. Sejarah menunjukkan bahwa melemahnya kekuatan negara Islam sebagai adidaya dimulai dengan melemahnya pemahaman Islam di kalangan Kaum Muslim. Masuknya pemikiran-pemikiran asing yang perlahan menggeser pemahaman dan sistem nilai Islam dalam benak kaum muslim perlahan tapi pasti melemahkan Islam sebagai entitas peradaban yang tangguh di atas pemikiran-pemikirannya. Tanggung jawab negara terhadap pendidikan telah dicontohkan oleh Rasulullah sejak beliau menjadi kepala negara Islam di Madinah. Rasulullah pernah menetapkan tebusan bagi orang kafir yang menjadi tawanan Perang Badar dengan mengajari sepuluh orang anak-anak kaum Muslim (membaca dan menulis). Hal itu menggantikan harta tebusan yang termasuk ghanimah dan menjadi milik kaum muslim. Hal ini menunjukkan jaminan pendidikan juga merupakan salah satu kemaslahatan kaum muslim. Strategi Negara Islam Mendukung Harmonisasi Peran Pendidik Sistem pendidikan dalam struktur Negara Islam termasuk ke dalam kategori kemaslahatan umum, yakni salah satu dari sejumlah departemen yang secara langsung memelihara urusan-urusan masyarakat, mengatasi permasalahan, dan menyelenggarakan pelayanan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dengan baik. Berbagai kebijakan dapat diambil oleh khalifah untuk menunjang terpenuhinya sinergi pendidikan formal-nonformal. Antara lain: 1.
Penetapan kurikulum pendidikan
Kurikulum ditetapkan menjadi satu-satunya acuan yang digunakan oleh setiap lembaga pendidikan formal baik yang diselenggarakan oleh negara maupun masyarakat. Dalam kurikulum pendidikan ini dituangkan target-target pendidikan yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan sesuai dengan kebijakan pendidikan negara. Kurikulum pendidikan dibuat perjenjang satuan pendidikan dan disesuaikan dengan tahapan perkembangan potensi peserta didik sehingga tidak membebani. Entah itu target pembentukan perilaku anak maupun kemampuan berpikirnya disesuaikan dengan kondisi anak dan tuntunan Syara’. Termasuk di dalamnya sistem evaluasi yang menguji pengetahuan, pemahaman, dan perilaku siswa setelah mendapatkan pendidikan. Maka ketika syara’ menentukan seorang anak diperintahkan untuk shalat, misalnya, ia telah siap. Begitupun menjelang baligh, ia sudah siap mengampu seluruh taklif syara’ atasnya. 2.
Pembangunan fasilitas-fasilitas utama penunjang pendidikan
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim, untuk memastikan pelaksanaan kewajiban ini, maka menjadi tugas negara dalam mengeluarkan kebijakan yang mempermudah akses pendidikan yang sesuai dengan konsep Islam. Dengan demikian, pembangunan gedung-gedung sekolah, laboratorium, pusat penelitian, perpustakaan, penerbitan, pusat data dan informasi digital, serta infrastruktur lain yang dibutuhkan dalam pendidikan 6
dilakukan dengan optimal dan aksesnya terbuka bagi rakyat dari seluruh kalangan. 3.
Negara menunjang pendidikan anak oleh orangtua
Agar hak mendapatkan pendidikan setiap anak dari orangtuanya terpenuhi, maka negara harus memperhatikan penyediaan situasi yang kondusif untuk hal itu. Permasalahan terkait perhatian yang rendah dari orangtua terhadap pendidikan anaknya pada saat ini biasanya bertumpu pada kesibukan orangtua mencari nafkah di luar rumah. Permasalahan paling mendasar adalah paradigma terhadap tanggung jawab pendidikannya yang salah, kesibukan mencari nafkah itu nomor dua. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah penanaman pemahaman yang tepat kepada para orangtua terkait tanggung jawab mereka terhadap pendidikan anak. Di sisi lain, sebagai bagian dari kewajiban negara terhadap rakyatnya, kebutuhan ekonomi dasar harus mudah dipenuhi, melalui pembukaan akses lapangan kerja bagi para ayah, misalnya, menciptakan iklim niaga yang kondusif, dan lain-lain yang terkait dengan sektor ekonomi dan departemen kemaslahatan terkait. Dengan demikian, orangtua memiliki kesadaran serta keluangan untuk memberi banyak perhatian pada pendidikan anaknya. 4. Negara menyiapkan guru terbaik untuk melangsungkan kegiatan pendidikan yang optimal Penyediaan guru dimulai dengan penyiapan SDM yang berkualitas dan memiliki kapasitas yang cukup untuk mengajar. Negara membangun akademi-akademi pendidikan, mengadakan training kompetensi untuk para guru, sehingga kualitasnya terjamin baik. Aspek kesejahteraan guru pun diperhatikan. Selain itu, para guru terutama di sekolah tingkat dasar menjalin kerjasama baik dengan orangtua dalam pemantauan perkembangan belajar anak didiknya. Guru adalah role model kedua bagi siswa setelah orangtuanya, juga sahabat, dan telaga ilmu baginya. 5.
Pengaturan sistem sosial yang mendukung pendidikan
Sistem sosial yang akan diulas di sini hanyalah gambaran umum saja dari sistem yang kompleks, salah satunya terkait dengan media informasi. Dalam struktur Negara Islam terdapat departemen penerangan yang menangani informasi dan media yang beredar di tengah publik. Untuk menciptakan sistem sosial yang mendukung pendidikan, menjadi penting untuk mengatur muatan informasi apa saja yang boleh beredar di tengah masyarakat. Konten-konten pornografi pornoaksi, atau pemikiran-pemikiran yang dapat merusak aqidah tentu dilarang persebarannya. Demikianlah, dalam Sistem Islam, peran pendidikan tidak lagi dipingpong ke sana kemari oleh setiap stakeholder-nya. Semua pihak memenuhi tanggung jawabnya untuk meraih pencapaian output pendidikan yang berkepribadian Islam, berjiwa pemimpin dan mumpuni dalam keilmuan lainnya. Para siswa tidak akan kesulitan mencari role model untuk dicontoh dan akan semakin sedikit ditemukan kepribadian yang kacau atau masa remaja yang dipenuhi ketidakpastian. Justru masa remaja dalam tahapan perkembangan yang digariskan Islam adalah masa permulaan kedewasaan yang ditandai dengan jatuhnya taklif hukum syara’ pada seseorang. Sejak saat itu yang bersangkutan tidak lagi diperlakukan sebagai ash-shagir (anak kecil). Hukum-hukum syara’ berlaku penuh atasnya.
7
Sistem ini akan efektif bila tegak secara komprehensif dalam seluruh sendi sistem pendidikan dan disokong oleh sistem-sistem lainnya. Seperti Departemen Penerangan yang menangani media, Departemen Keuangan yang memastikan pemenuhan pendanaan pendidikan, Departemen Industri, Ketenagakerjaan, dan lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab. Bandung, 24 Januari 2011
8