“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract The lack of interaction was one of the consequences faced by working couples and conflict experienced in the office can be carried on the pairing interaction at home and vice versa. "Harmony in Diversity" provided that the working couple could monitor themselves and know when they had the potential to conflict with their partner. The purpose of research was to describe and measure the effectiveness of "Harmony in Diversity" as a self-evaluation module and the prevention of conflicts in working couple. Subjects were working spouses of 4 pairs (the experimental group and the control group) under 5 years old married age and work full time outside. Measurements were made with Gottman The Four Horsemen, self-monitoring weekly conflictsfrequency, and The Day Reconstruction Method (DRM). Analysis was made by comparing scores both groups before and after the study was done with the Mann-Whitney t-test by calculated the gain score (change in value). The results showed that "Harmony in Diversity" did not reduce the intensity of marital conflict (z = -1076, p = 0282) and did not significantly increase the subjective well-being (z = -1316, p = 0188) of working pair. However, the module was able to function as self-evaluation module based on interviews and indicated by marital conflicts frequency decreased in the experimental group. Keywords: marital conflict, "Harmony in Diversity", the pair work
Pengantar Seiring dengan berlalunya waktu, semakin banyak kita temui pasangan suami-istri yang samasama bekerja. Istri yang bekerja di luar rumah, sudah menjadi suatu hal yang wajar bagi masyarakat kita belakangan ini. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti, Jurnal Psikologi mandiri
beberapa alasan istri memilih untuk bekerja pun bermacammacam, antara lain adalah ingin memiliki penghasilan sendiri, ingin memiliki tabungan, supaya tidak tergantung pada orang lain, ingin menerapkan ilmu dan menambah pengetahuan, memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga, dan sebagai sarana eksistensi diri dan 35
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
mengembangkan diri sendiri. Salah satu dampak yang mungkin timbul jika istri bekerja adalah kurangnya interaksi dengan pasangan karena kesibukan masing-masing. Jika pasangan tersebut telah memiliki anak, maka istri harus pandai mengatur waktu agar tetap dapat memperhatikan anak-anak mereka. Selain itu, konflik yang dialami di kantor dapat terbawa pada interaksi pasangan suami-istri bekerja tersebut terhadap pasangannya masingmasing dan juga terhadap keluarganya. Apabila konflik ini dibiarkan berkepanjangan, maka hal tersebut dapat mempengaruhi bukan hanya pasangan tersebut, tetapi juga anak-anak mereka. Data dari survei peneliti menunjukkan bahwa pada pasangan suami-istri bekerja, beberapa hal yang sering menjadi sumber munculnya konflik pada mereka antara lain adalah masalah perbedaan kebiasaan, perbedaan pengaturan keuangan, sampai pada hal di luar pasangan tersebut, yaitu ketidakcocokan dengan keluarga pasangannya, umumnya lebih sering dialami oleh istri dengan mertua. Hal ini terutama terjadi pada pasangan yang baru saja menikah karena masih melakukan berbagai penyesuaian dengan peran baru sebagai seorang istri. Menurut Soewadi (1994), saat ini wanita Indonesia masih berada dalam masa transisi, yaitu nilai-nilai tradisional masih cukup kuat sedangkan keberadaan negara kita yang sedang berkembang menuntut wanita untuk berperanserta secara aktif. Nilai tradisional tersebut antara lain adalah wanita dibekali pikiran bahwa ia harus
Jurnal Psikologi mandiri
menjadi sosok ibu rumah tangga dan juga sebagai Ibu dari anak-anaknya walaupun ia memiliki pekerjaan di luar rumah. Selain itu, lingkungan budaya pada masyarakat kita hingga saat ini masih mempunyai konsep tertentu mengenai wanita dan keharusan-keharusan tertentu yang harus ia miliki untuk menjadi seorang wanita. Secara tradisional, suami adalah pemberi nafkah utama, sehingga istri diibaratkan hanya menanti hasil suami. Namun pada istri yang bekerja, terdapat tiga hal yang mungkin terjadi, yaitu : pertama, pendapatan keluarga bertambah dan dipakai untuk kepentingan keluarga ; kedua, pendapatan istri hanya dipakai oleh istri saja ; ketiga, muncul situasi suami merasa disaingi oleh istri, terutama jika pendapatan dan posisi jabatan istri lebih tinggi daripada suami. Hal terakhir ini dapat menyebabkan pasangan tersebut rentan berkonflik dan jika berkepanjangan bukan tidak mungkin menuju kepada perceraian. Penelitian dari Lian (2008) menemukan bahwa konflik dalam pernikahan berhubungan dengan kesehatan mental. Semakin baik strategi dalam menghadapi konflik pernikahan, maka semakin baik pula kesehatan mental pasangan tersebut. Sedangkan efeknya pada anak, penelitian Jouriles dan Farris (1992) pada 41 pasangan suami-istri yang diobservasi interaksinya dengan anak laki-laki mereka yang berumur 41-82 bulan setelah mengalami interaksi bermuatan konflik menemukan bahwa, ayah memberikan perintahperintah yang membingungkan dan mengancam kepada anak laki-laki mereka, dan perintah ini tidak
36
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
dipatuhi oleh anak laki-laki mereka tersebut. Konflik pernikahan yang terjadi sehari-hari adalah sesuatu yang menimbulkan stres bagi anak, penelitian Cummings, GoekeMorey, dan Papp (2003) menemukan tujuh kategori konflik yang destruktif menurut perspektif anak-anak, yaitu kekerasan verbal orangtua (berteriak), ancaman (baik ancaman kekerasan atau akan meninggalkan pasangan), penghinaan personal, kekerasan non-verbal (bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa orangtua mereka sedang marah), sikap defensif, marital withdrawal (mendiamkan pasangan), dan stres fisik (menangis, gemetaran). Munculnya konflik dalam pernikahan dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan. Jika seorang individu mengalami kepuasan dalam hubungannya dengan anggota keluarga yang lain, maka mereka dapat lebih menikmati hidup dan memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik. Penelitian Dush dan Amato (2005) menemukan bahwa individu yang memiliki hubungan yang harmonis dengan pasangannya memiliki subjective well-being yang lebih tinggi daripada yang tidak harmonis. Subjective well-being adalah evaluasi subjektif yang dilakukan individu terhadap kehidupannya (Biswar-Diener, Vitterso, & Diener, 2005; Diener, 1984; Diener & Scollon, 2003; Snyder & Lopez, 2007). Seseorang dikatakan mempunyai subjective well-being yang tinggi jika orang tersebut merasakan kepuasan dalam hidup, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. Subjective well-being merupakan total skor dari kepuasan
Jurnal Psikologi mandiri
hidup ditambah dengan afek positif dan dikurangi dengan afek negatif. Konflik, Konflik Pernikahan, dan Konflik Pernikahan pada Pasangan Bekerja Konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Potensi konflik meningkat seiring dengan kompleksitas sosial, partisipasi yang lebih luas, dan perubahan budaya yang cepat (Woolman, 2006). Terjadinya konflik bergantung pada persepsi satu pihak atau kedua belah pihak yang dihalangi atau berkompromi, persepsi ini mungkin merefleksikan pandangan yang akurat mengenai realitas atau mungkin juga tidak lebih dari produk sampingan dari kecemasan dan ketakutan. Isenhart dan Spangle (2000) menyimpulkan, dari berbagai teori yang ada mengenai konflik, pada prinsipnya, konflik merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari kehidupan sosial dan pola-pola perilaku konflik cenderung untuk berkelanjutan dengan sendirinya. Walaupun konflik mungkin terlihat membingungkan, banyak elemen dari konflik tersebut yang dapat dimengerti dan konflik terpelihara melalui serangkaian tindakan serta hal-hal yang dilakukan untuk mengantisipasi tindakan tersebut. Konflik mempengaruhi hubungan antar pihak yang terlibat di dalamnya dan komunikasi memegang peranan penting dalam manajemen konflik. Beberapa sumber utama dari konflik antara lain adalah data, ketertarikan, prosedur, nilai yang dianut, hubungan, peran, dan komunikasi. Konflik pernikahan menurut Montgomery (dalam Hamamci, 2005) adalah suatu proses interaksi
37
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
ketika, baik salah satu atau pasangan tersebut, merasa tidak nyaman mengenai beberapa aspek dalam hubungan mereka dan mencoba menyelesaikannya dengan berbagai macam cara. Havemann dan Lehtinen (dalam Zhang, 2002) mendefinisikan konflik pernikahan sebagai ketidakpuasan pasangan terhadap hubungan mereka sebagai sebuah kesatuan yaitu saat pasangan kehilangan optimisme dan tidak mampu berkomunikasi, serta merasa sendiri, tidak dimengerti, tidak diinginkan dan tidak aman. Studi dari Beydha (2007) pada pasangan suami-istri yang berbeda latar belakang budaya, yaitu istri berlatar belakang budaya matrilineal Minangkabau dan suami berlatar belakang budaya patrilineal Melayu ditemukan bahwa sumbersumber konflik bagi pasangan interkultural terdiri dari tiga kategori, yaitu perbedaan nilai-nilai budaya dan hambatan dalam budaya yang digunakan, perbedaan konteks komunikasi dan ketidakefektifan dari komunikasi tersebut, serta stereotip dan prasangka yang telah ada sebelumnya sebagai fondasi konflik pernikahan. Sadarjoen (2007) mengatakan selama lima tahun terakhir, terdapat dua area konflik pernikahan, yaitu pertama, perkara keuangan serta halhal yang terkait (money related matters). Hal ini biasanya mengenai tidak adanya kesepakatan mengenai pengelolaan penghasilan keluarga. Suami merasa istrinya memiliki penghasilan sendiri sehingga ia tidak merasa perlu memberikan penghasilannya bagi pengelolaan rumahtangga. Sementara itu, pada masa awal pernikahan, istri merasa
Jurnal Psikologi mandiri
sungkan untuk menanyakan penghasilan suami sehingga secara otomatis menanggung kebutuhan hidup sehari-hari sendiri. Hal ini seringkali tanpa disadari kemudian menimbulkan konflik dalam diri untuk mengungkapkan ketidakpuasan, karena terdapat pemikiran bahwa tanggungjawab keluarga seharusnya di tangan suami, dengan kenyataan suami dengan tenang menggunakan penghasilannya untuk kepentingan sendiri atau untuk memberikan dukungan finansial pada keluarga besarnya sendiri tanpa persetujuan istri. Kedua, perkara seks serta hal-hal yang terkait (sex related matters). Hal ini meliputi penyesuaian dalam kehidupan seksual, baik harapan serta kebutuhan yang sifatnya sangat individual, keintiman dalam hubungan sehari-hari, pergaulan sosial dan masalah perselingkuhan. Gottman (dalam Steuber, 2005) mengidentifikasi 4 karakteristik dari konflik yang memiliki konsekuensi negatif, yaitu criticism, contempt, defensive, dan stonewalling. Empat karakteristik ini kemudian disebut The Four Horsemen. Horsemen yang pertama adalah criticism, yaitu sebuah bentuk perilaku menghakimi dan mencari kesalahan pada pasangan yang dilakukan secara terus-menerus yang menyerang kepribadian pasangannya. Terdapat batas yang tipis antara memberitahukan pasangan mengenai apa yang Anda butuhkan dan apa yang Anda pikirkan dengan mengkritik pasangan Anda. Beberapa perilaku yang termasuk dalam criticism adalah generalisasi (“Kamu selalu....”), pernyataan mengenai
38
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
individu dan bukan perilaku (“Dasar kamu orangnya berantakan”), dan selalu melihat sisi buruk daripada sisi baik pasangannya. Horsemen yang kedua adalah contempt, yaitu saat seseorang menunjukkan rasa benci, muak, dan sebagainya terhadap pasangannya. Jika seseorang menunjukkan hal ini dalam interaksi dengan pasangan, maka ia sedang berusaha untuk meremehkan pasangannya tersebut atau ingin membuat pasangannya merasa terluka secara psikologis. Beberapa perilaku yang termasuk dalam contempt adalah penghinaan secara personal (“Kamu adalah orang jahat.” atau “Iya, akan saya lakukan, Bodoh.”), sarkasme atau humor yang kasar (“Pasti berhasil, kamu kan pintaaar sekali mengurus keuangan.”), dan mengejek (biasanya ditunjukkan dengan bahasa tubuh, contohnya memutar bola mata atau menertawakan saat pasangan melakukan kesalahan). Horsemen ketiga adalah defensive, yaitu saat seseorang mulai berhenti mendengarkan pasangannya dan mulai mempertahankan pengalaman subjektifnya. Ketika seseorang defensif, maka ia tidak akan membuka pikirannya pada pendapat, pikiran, ataupun emosi pasangannya. Pola interaksi yang kemudian muncul adalah untuk membuktikan bahwa pasangannya salah dan perilaku individu adalah upaya untuk menghindari atau mempertahankan diri dari serangan. Beberapa perilaku yang termasuk dalam defensive adalah merengek (“Ini tidak adil.”), mencari alasan (“Saya tidak akan melakukannya kalau misalnya saya diizinkan pergi.”), dan menjawab kritik yang
Jurnal Psikologi mandiri
diberikan dengan balik mengkritik (“Saya mungkin sering lupa membereskan peralatan saya, tapi kamu yang sering menghabiskan uang tanpa alasan yang jelas.”) Horsemen keempat adalah stonewalling, yaitu secara sengaja mengabaikan atau meninggalkan pasangan tanpa mencoba mencari sebuah solusi atas permasalahan yang ada. Biasanya individu percaya bahwa ia membantu pasangannya dengan cara menghindari konflik, sedangkan pasangannya merasa sendirian, terisolasi, dan tidak berdaya. Hal-hal yang disebutkan di atas menghalangi komunikasi antara pasangan, sehingga intensitas konflik pun semakin meningkat, dan menuju pada rendahnya interaksi positif dalam sebuah hubungan. Pada pasangan bekerja, konflik pekerjaan dan keluarga umum mereka alami karena ingin menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Konflik pekerjaan dan keluarga ini didefinisikan sebagai sebuah bentuk konflik antar peran yang mana peran yang satu mempengaruhi peran yang lain, yang sering dikonseptualisasikan menjadi 2 hal yaitu konflik pekerjaan yang mempengaruhi keluarga dan konflik keluarga yang mempengaruhi pekerjaan (Bauer, Grandey, & Hammer, 2003). Namun oleh Frone (dalam Bauer dkk, 2003) kedua tipe konflik ini dikatakan saling mempengaruhi satu sama lain secara tidak langsung melalui peran yang overload dan distress. Soewadi (1994) menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan pada istri yang bekerja dengan konflik pernikahan, hal ini disebabkan jika istri bekerja,
39
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
maka ia akan memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang lebih tinggi sehingga terkadang suami merasa terancam kedudukannya. Selain itu, istri yang bekerja akan mudah melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada suami sehingga akan memudahkan terjadinya konflik pernikahan. Suratiyah (dalam Soewadi, 1994) menyatakan bahwa wanita yang berkarir harus dapat berperan ganda dalam waktu yang bersamaan, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja profesional, sehingga mereka sering berada dalam keadaan yang tidak menentu sehingga cenderung mengambil keputusan yang kurang tepat dan memudahkan terjadinya konflik dengan pasangannya. Konflik pekerjaan yang terbawa ke dalam keluarga lebih dirasakan oleh wanita/istri (Aycan & Eskin, 2005) terutama jika menyangkut jam kerja yang tidak fleksibel seperti harus bekerja saat akhir pekan, jam kerja yang panjang, dan harus lembur di kantor yang tentu saja mempengaruhi tanggungjawab untuk mengurus keluarga dan anak (Steuber, 2009). Hal ini juga mempengaruhi munculnya konflik antar pasangan, terutama jika salah satu pasangan harus bekerja lembur sedangkan pasangannya tidak. Permasalahan yang berkaitan dengan jam kerja ini lebih sering dialami oleh istri karena merasa waktunya untuk keluarga lebih banyak dibandingkan pasangannya. “Harmonis dalam Perbedaan” sebagai modul evaluasi diri dan
Jurnal Psikologi mandiri
prevensi konflik pada pasangan bekerja Dasar dari pembuatan “Harmonis dalam Perbedaan” ini adalah pendekatan kognitif-perilaku. Pendekatan ini percaya bahwa manusia memiliki cara berpikir yang berbeda-beda mengenai suatu kejadian, dan setiap kejadian yang dimaknai berbeda dengan setiap orang maka akan menghasilkan perilaku yang berbeda pula (Wilding & Milne, 2008). Contohnya adalah, jika kita memiliki pikiran yang negatif, maka kita pun akan mengalami emosi yang negatif. Tubuh kita akan bereaksi dengan emosi negatif ini dan memungkinkan munculnya perilaku yang negatif pula. Di sisi lain, jika pikiran kita dipenuhi hal yang positif maka kita akan mengalami emosi yang positif pula, secara fisik tubuh akan terasa berenergi, dan perilaku yang muncul pun adalah perilaku positif. Jika digambarkan dalam bagan, maka akan seperti gambar di bawah ini :
Gambar 1. Bagan Kognitif Perilaku
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode diary atau self-monitoring. Alasan pengguna metode ini berdasarkan dari hasil asesmen awal bahwa pada pasangan suami-istri yang bekerja, mereka harus membagi 40
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
waktu antara pekerjaan dan keluarganya, sehingga akan sulit menyesuaikan jadwal masing-masing pasangan jika harus dikumpulkan dalam sebuah kelompok intervensi. Selain itu, pemberian buku ini merupakan salah satu cara agar masing-masing pasangan tersebut dapat melakukan manajemen diri sendiri dan dapat memantau secara langsung perkembangan yang mereka rasakan. Penelitian Wulandari (2004) menemukan bahwa dengan self-monitoring, individu lebih menyelami perasaannya dan mampu mengoreksi perasaan negatif yang dialaminya. Kanfer (dalam Wulandari, 2004) mengatakan bahwa pelaksanaan selfmonitoring bertujuan untuk meningkatkan kesadaran individu tentang perilaku dirinya, melalui monitoring dan pencatatan, sehingga diharapkan individu yang bersangkutan mempunyai pemahaman yang objektif terhadap perilakunya. Proses ini dapat menimbulkan perubahan frekuensi perilaku tidak adaptif karena dalam proses tersebut juga terjadi proses evaluasi dan pengukuhan diri. Babson (2007) mengatakan bahwa self-monitoring dapat bertindak sebagai alat motivasi yang mendorong individu untuk menetapkan tujuan yang progresif untuk diri sendiri walaupun individu tersebut tidak secara eksplisit diminta untuk melakukannya. Selain itu, selfmonitoring juga dapat memberikan umpan balik yang informatif mengenai kemajuan yang telah diperoleh dalam upaya mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pelaksanaannya, tidak ada standar tertentu mengenai berapa lama durasi
Jurnal Psikologi mandiri
yang dibutuhkan dalam selfmonitoring. Pada pasangan suami-istri bekerja, mereka mendapatkan stresor dari keluarga atau persoalan rumahtangga dan stresor dari pekerjaan (peristiwa). Kedua hal ini mempengaruhi pasangan bekerja, yang dapat menimbulkan pikiranpikiran dan asumsi-asumsi yang salah (dysfunctional thought), yang kemudian mempengaruhi emosi dari masing-masing pasangan tersebut dan akhirnya memunculkan perilaku tertentu dan pemaknaan tertentu pada masing-masing individu, sehingga dapat menyebabkan terjadinya konflik pernikahan. Hal ini ditunjukkan dengan intensitas konflik yang tinggi, meningkatnya frekuensi konflik, dan menurunnya subjective well-being pada masingmasing individu. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan dan mengukur efektivitas “Harmonis dalam Perbedaan” sebagai modul evaluasi diri dan prevensi konflik pada pasangan bekerja untuk meminimalisir terjadinya konflik. Efektivitas dari “Harmonis dalam Perbedaan” akan diukur dari (a) Intensitas konflik pada pasangan suami-istri bekerja, (b) subjective well-being pada pasangan suami-istri bekerja, (c) frekuensi terjadinya konflik pada pasangan suami-istri bekerja, (d) evaluasi subjek penelitian tentang manfaat dari “Harmonis dalam Perbedaan”. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. “Harmonis dalam Perbedaan” menurunkan intensitas konflik pada kelompok eksperimen
41
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
dibandingkan dengan kelompok kontrol 2. “Harmonis dalam Perbedaan” meningkatkan subjective wellbeing pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol 3. “Harmonis dalam Perbedaan” menurunkan frekuensi konflik pada kelompok eksperimen
Metode Subjek Subjek penelitian adalah pasangan suami-istri bekerja sebanyak 4 pasangan, dengan kriteria inklusi seperti di bawah ini : 1. Telah menikah kurang dari 5 tahun. Pemilihan subjek dengan rentang usia pernikahan ini dikarenakan masa-masa awal pernikahan merupakan faktor risiko penyebab perceraian yang cukup besar. 2. Bekerja secara penuh waktu di luar rumah. 3. Subjek penelitian belum pernah mendapatkan perlakuan/penanganan secara psikologis. Variabel Variabel bebas penelitian adalah “Harmonis dalam Perbedaan”, yaitu sebuah modul evaluasi diri dan prevensi konflik pada pasangan bekerja untuk meminimalisir terjadinya konflik. Modul “Harmonis dalam Perbedaan” ini diharapkan dapat membuka komunikasi antar pasangan suami-istri bekerja untuk menemukan solusi bersama atas permasalahan yang menjadi sumber konflik yang mereka alami dan
Jurnal Psikologi mandiri
menyusun daftar hal-hal yang mereka sepakati untuk dilakukan dalam upaya mengatasi dan kemudian mencegah konflik yang sama terjadi lagi. Variabel tergantung penelitian adalah intensitas konflik pernikahan dan subjective well-being. Intensitas konflik pernikahan adalah tingkat konflik pernikahan yang dimiliki pasangan suami-istri bekerja. Frekuensi konflik pernikahan adalah jumlah terjadinya konflik pernikahan pada pasangan suami-istri bekerja. Subjective well-being adalah adalah evaluasi subjektif yang dilakukan individu terhadap kehidupannya. Subjective well-being merupakan kombinasi dari adanya afek positif dan kepuasan hidup yang tinggi serta tidak adanya afek negatif. Pengukuran Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan beberapa instrumen, yaitu : 1. Gottman The Four Horsemen yang digunakan oleh Michaud (2005) untuk mengetahui intensitas konflik pada pasangan suami-istri bekerja. Pengukuran dengan skala ini dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum intervensi, setelah intervensi, dan pada saat tindak lanjut. Skala ini terdiri atas 33 pernyataan yang akan dijawab dengan “benar” atau “salah” oleh partisipan. Setiap jawaban “benar” akan diberi skor 2, dan setiap jawaban “salah” akan diberi skor 1. Jika partisipan mendapatkan skor yang tinggi pada skala ini maka partisipan tersebut memiliki intensitas konflik yang tinggi, dan jika partisipan mendapatkan
42
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
skor yang rendah, maka partisipan tersebut memiliki intensitas konflik yang rendah. Setelah dilakukan uji coba, koefisien alpha Skala Gottman The Four Horsemen adalah 0, 879 dan jumlah aitem berkurang dari 33 aitem menjadi 24 aitem. 2. Lembar self-monitoring frekuensi terjadinya konflik. Lembar ini adalah berupa catatan mingguan berisi berapa banyak jumlah terjadinya konflik pada pasangan suami-istri bekerja selama 7 hari. 3. The Day Reconstruction Method (DRM). DRM dikembangkan oleh Daniel Kahneman, Alan B. Krueger, David Schkade, Norbert Schwarz, dan Arthur Stone yang diracang untuk mengumpulkan data yang menggambarkan pengalaman seseorang pada hari tertentu melalui rekonstruksi sistematis yang dilakukan pada keesokan harinya. DRM diberikan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum intervensi, setelah intervensi, dan pada saat tindak lanjut. DRM berisi tentang data kepuasaan hidup subjek dan afek subjek selama di rumah dan di tempat kerja. DRM digunakan untuk mengukur subjective wellbeing (SWB) dengan cara mengubah skor mentah dari skala kepuasan hidup dan skala afektif menjadi t-score. Nilai subjective well-being didapatkan dengan menjumlahkan t-score kepuasan hidup ditambah dengan skor afek (semakin tinggi skor afek, maka semakin tinggi afek positif), sehingga akhirnya di dapatkan data subjective well-being. 4. Lembar catatan harian mengenai hal-hal yang dilakukan pasangan
Jurnal Psikologi mandiri
suami-istri bekerja sebagai data kualitatif. 5. Wawancara semi-terstruktur yang dilakukan pada masing-masing pasangan untuk mendapatkan data kualitatif mengenai efek dari penggunaan “Harmonis dalam Perbedaan” 6. Lembar evaluasi buku Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan kelompok kontrol, yaitu control group design with pre-test & posttest (Creswell, 1994). Penelitian ini menggunakan 2 kelompok yaitu: 1. Kelompok eksperimen, yaitu kelompok yang diberikan intervensi 2. Kelompok kontrol, yaitu kelompok yang tidak diberikan intervensi Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali pada masing-masing kelompok, yaitu pada saat sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan, sedangkan pada saat tindak lanjut yaitu 3 minggu setelah perlakuan berakhir, pengukuran hanya dilakukan pada kelompok eksperimen. Tabel 1. Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design Kelompok Eksperimen
Y1
Kelompok kontrol
Y1
X
Y2
Y3
Y2
Keterangan:
43
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
Y1 Y2 Y3 X
: Pre-test : Post-test : tindak Lanjut : Perlakuan
Kedua kelompok akan mendapatkan pre-test dan post-test yaitu Gottman The Four Horsemen. Kelompok eksperimen akan mendapatkan perlakuan berupa “Harmonis dalam Perbedaan” di antara proses pre-test dan post-test, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan. Intervensi Intervensi yang diberikan dalam penelitian ini berupa modul “Harmonis dalam Perbedaan” yang berbentuk buku self-monitoring yang diberikan secara mingguan, yang bertujuan untuk menurunkan intensitas konflik dan mengurangi frekuensi konflik pada pasangan suami-istri bekerja yang kemudian diharapkan dapat meningkatkan subjective well-being pada pasangan suami-istri bekerja tersebut. Isi dari “Harmonis dalam Perbedaan” terdiri atas : 1. Psikoedukasi mengenai konflik pernikahan meliputi definisi, sumber-sumber konflik pernikahan, hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik pernikahan dan hal-hal yang dapat dilakukan jika konflik pernikahan tersebut telah terjadi. 2. Deteksi potensi konflik dengan : a. Melakukan mood check-in pada diri sendiri, yaitu bagaimana keadaan mood diri sendiri dalam seminggu terakhir.
Jurnal Psikologi mandiri
b. Melakukan mood check-in pada pasangan, yaitu memperkirakan bagaimana mood pasangan dalam seminggu terakhir. 3. Self-monitoring yang mencatat hal-hal yang dilakukan setelah melakukan deteksi potensi konflik dan mencatat frekuensi konflik yang terjadi dengan pasangan. 4. Evaluasi mingguan dari hal-hal yang telah dilakukan meliputi hal-hal yang telah dipelajari pada minggu tersebut, keberhasilan yang diperoleh dan hal-hal yang akan dicoba pada minggu berikutnya. Modul “Harmonis dalam Perbedaan” ini diharapkan dapat membuka komunikasi antar pasangan suamiistri bekerja untuk menemukan solusi bersama atas permasalahan yang menjadi sumber konflik yang mereka alami dan menyusun daftar hal-hal yang mereka sepakati untuk dilakukan dalam upaya mengatasi dan kemudian mencegah konflik yang sama terjadi lagi. Prosedur Penelitian dimulai dengan mempersiapkan semua materi yang akan digunakan dalam penelitian seperti “Harmonis dalam Perbedaan” (yang berisi psikoedukasi, deteksi potensi konflik, lembar selfmonitoring hal-hal yang dilakukan, lembar self-monitoring frekuensi konflik mingguan, dan lembar evaluasi diri), panduan wawancara semi-terstruktur, dan lembar evaluasi. Kemudian peneliti mengadakan uji coba keterbacaan dan penggunaan “Harmonis dalam Perbedaan” pada 2 pasang suami-istri
44
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
bekerja, dan reviu tersebut digunakan untuk memperbaiki penggunaan bahasa dan tampilan dari modul “Harmonis dalam Perbedaan”. Bersamaan dengan itu, peneliti juga mengadakan uji coba untuk skala Gottman The Four Horsemen. Setelah skala dan modul siap, peneliti mencari subjek untuk penelitian ini, yang memenuhi syarat penelitian, yaitu telah menikah kurang dari 5 tahun, bekerja secara penuh waktu di luar rumah, dan belum pernah mendapatkan perlakuan/penanganan secara psikologis. Bagi calon subjek yang bersedia mengikuti penelitian akan diberikan informed consent dan naskah penjelasan. Peneliti melakukan wawancara awal untuk mengetahui data demografi subjek dan menjelaskan mengenai prosedur penelitian, serta hak dan kewajiban subjek dalam penelitian ini. Adapun prosedur pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Setiap pasangan suami-istri bekerja diberikan pre-test mengenai keadaan mereka sebelumnya dengan menggunakan Gottman The Four Horsemen dan DRM. Dari aktivitas ini kemudian didapatkan 6 pasangan yang bersedia mengikuti eksperimen. 2. Subjek kemudian mendapatkan modul “Harmonis dalam Perbedaan” (masing-masing satu buku) setiap minggu yang diberikan selama tiga minggu. Buku ini berisi psikoedukasi, deteksi potensi konflik melalui mood check-in, lembar selfmonitoring frekuensi konflik mingguan, lembar self-
Jurnal Psikologi mandiri
monitoring hal-hal yang dilakukan setiap hari selama satu minggu, dan lembar evaluasi diri mingguan. Dari 6 pasangan yang bersedia, satu pasangan kemudian tidak dapat dihubungi dengan berbagai macam alasan, dan pada akhirnya tidak jadi mengikuti penelitian ini. 3. Modul “Harmonis dalam Perbedaan” dikumpulkan kepada peneliti setelah satu minggu, dan subjek mendapatkan lembar evaluasi mingguan berisi rangkuman hal-hal yang dilakukan subjek saat berkonflik dengan pasangannya. Prosedur yang sama dilakukan selama tiga minggu. Setelah minggu ke dua, satu pasangan kemudian menyatakan mengundurkan diri dengan alasan kesehatan anak mereka yang masih balita yang tidak memungkinkan mereka untuk tetap mengikuti penelitian. 4. Setelah tiga minggu, subjek yang terdiri dari 4 pasangan diberikan post-test dengan menggunakan Gottman The Four Horsemen dan DRM. 5. Tiga minggu kemudian, dilakukan follow-up dengan memberikan Gottman The Four Horsemen dan DRM kepada subjek, serta melakukan wawancara secara terpisah kepada masing-masing pasangan yaitu kepada suami/istri saja sebanyak satu kali untuk mendapatkan data kualitatif mengenai efek dari pemberian modul “Harmonis dalam Perbedaan” terhadap pasangan suami-istri bekerja tersebut. Wawancara dilakukan secara terpisah untuk mencegah adanya
45
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
intervensi dari pasangannya, sehingga peneliti dapat mengetahui efek modul pada masing-masing subjek. 6. Pada akhir penelitian, setelah wawancara, subjek diminta untuk mengisi lembar evaluasi mengenai teknis penggunaan “Harmonis dalam Perbedaan”. Alat atau Materi Alat atau materi yang digunakan dalam penelitian adalah : 1. Lembar data demografi subjek penelitian 2. Lembar informed consent subjek untuk mengikuti seluruh proses penelitian. Lembar ini berisi hak, kewajiban, dan keterangan proses penelitian yang akan dialami oleh subjek. 3. Lembar Gottman The Four Horsemen 4. Lembar The Day Reconstruction Method (DRM) 5. “Harmonis dalam Perbedaan” yang berisi psikoedukasi, deteksi potensi konflik, lembar selfmonitoring hal-hal yang dilakukan, lembar selfmonitoring frekuensi konflik mingguan, dan lembar evaluasi diri yang dipegang pasangan suami-istri bekerja. 6. Pedoman wawancara semiterstruktur yang digunakan untuk mendapatkan data kualitatif. 7. Lembar evaluasi “Harmonis dalam Perbedaan” agar subjek dapat memberikan kritik, saran, dan tanggapan terhadap penggunaan modul ini. 8. Alat perekam suara Hasil Penelitian Hasil Analisis Kuantitatif
Jurnal Psikologi mandiri
Deskripsi nilai intensitas konflik pernikahan dan perubahan nilai tingkat subjective well-being dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. Tabel 2 Deskripsi Data Penilaian Intensitas Konflik Pernikahan Pengukuran Kelompok
Eksperimen
Su bje k BB
29
Pos ttest 29
Foll owup 34 31
-3
28
-1
0
AM
33
30
DN A AD
33
32
25
27
27
2
35
32
10
-3
14
3
31
34 10
-3
33
30
33
30
10
-3
40
40
42
39
HP DA A AC N NW Kontrol
Pretest
Selisih nilai intensit as konflik Prepost
TW H DR P TN
0 -3 39
40
1
NH
34
34
0
AM
37
37
0
AY
39
39
0
TW
39 34
39 36
0
IHP
2
Tabel 3 Deskripsi Data Penilaian Subjective Well-Being Kelompok
Pengukura n Subjek
Eksperimen
Selisih nilai SWB Prepost
BB
Pre test 72
Pos ttest 70
Foll owup 82
AM
63
70
72
7
DNA
126
110
125
-16
AD
106
94
88
-12
HP
124
107
100
-17
DAA
129
125
115
-4
ACN
120
121
108
1
-2
46
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
Kontrol
NW
100
115
TWH
91
79
112
-12
DRP
102
95
-7 9
TN
89
98
NH
97
101
4
AM
97
114
17
AY
96
102
6
TW
96
102
6
IHP
91
95
4
Uji Mann-Whitney U untuk mengetahui perubahan nilai intensitas konflik pernikahan dan subjective well-being pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dilakukan dengan menghitung gain score (perubahan nilai). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perubahan nilai intensitas konflik pernikahan dan nilai tingkat subjective well-being pada kelompok eksperimen jika dibandingkan kelompok kontrol. Tabel 4 Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney untuk Nilai Intensitas Konflik Pernikahan dan Subjective WellBeing Perhitungan (kel. KontrolKel. Eksperimen) Intensitas Konflik (selisih pretestposttest) Subjective Well-Being (selisih pretestposttest)
5
Z
Signifika nsi (p)
Keputus an
-1.076
0.273
Tidak Signifikan
-1.316
0.188
Tidak signifikan
Deskripsi data penelitian di atas menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ditolak, yaitu modul Jurnal Psikologi mandiri
“Harmonis dalam Perbedaan” tidak menurunkan intensitas konflik pernikahan secara signifikan dan tidak meningkatkan subjective wellbeing pada pasangan suami istri bekerja secara signifikan. Adapun deskripsi data frekuensi konflik pernikahan pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Deskripsi Data Frekuensi Konflik Pernikahan Kelompok Eksperimen No .
Frekuensi Konflik Mingguan
Nama/Inisi al 1
2
3
2
0
3
1
BB
2
AM
2
0
3
3
DNA
3
0
0
4
AD
3
0
0
5
HP
2
2
1
6
DAA
2
2
1
7
ACN
3
1
0
8
NW
3
1
0
Berdasarkan data di atas, terdapat tren penurunan frekuensi konflik pernikahan setiap minggunya pada kelompok eksperimen selama 3 minggu penelitian dilakukan. Kondisi yang berbeda terjadi pada pasangan BB dan AM yang justru mengalami peningkatan frekuensi konflik pernikahan. Hasil Analisis Kualitatif Pasangan 1 Pasangan BB (26 tahun) dan AM (25 tahun) telah menikah selama 6 bulan setelah sebelumnya menjalani masa pacaran selama 9
47
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
tahun. Secara keseluruhan, pasangan ini mengalami minggu yang cukup fluktuatif. Pada minggu pertama pasangan ini mengalami perselisihan sebanyak 2 kali. Perselisihan disebabkan oleh masalah keuangan dan suasana hati AM yang kurang baik di kantor, dan terbawa dalam interaksi dengan BB. Minggu kedua, pasangan ini tidak mengalami perselisihan. AM justru menjadi penengah ketika BB bertengkar dengan orangtuanya, dan merawat BB saat suaminya harus menjalani opname di rumah sakit karena thypus. Pada minggu ketiga, pasangan ini justru mengalami perselisihan sebanyak 3 kali yang dipicu oleh ketidakjujuran BB pada AM mengenai masa lalunya. Perselisihan ini sangat mempengaruhi interaksi dan komunikasi pada pasangan ini, terlebih pada saat itu BB sedang sibuk dan harus lembur berhari-hari sehingga pasangan ini tidak memiliki waktu bersama yang cukup seperti biasanya. Dari empat hal dalam The Four Horsemen, BB lebih banyak menggunakan cara stonewalling, yaitu secara sengaja mengabaikan atau meninggalkan pasangan tanpa mencoba mencari sebuah solusi atas permasalahan yang ada, dan AM lebih banyak menggunakan cara defensive, yaitu berhenti mendengarkan pasangannya dan mulai mempertahankan pengalaman subjektifnya. Hal ini menyebabkan AM merasa bahwa BB tidak peduli dan hanya memikirkan dirinya sendiri, padahal BB justru merasa bahwa ia sedang membantu AM dengan cara menghindari konflik. Komunikasi pada pasangan ini pun
Jurnal Psikologi mandiri
menjadi terhambat sehingga perselisihan pada minggu ketiga pun kembali terjadi dengan frekuensi yang lebih banyak daripada minggu pertama. Nilai subjective well-being BB mengalami peningkatan. Sebelumnya, BB kurang begitu puas dengan pekerjaan dan kesehatannya, BB cenderung mudah sakit dan tidak jarang sampai menjalani opname seperti yang terjadi pada minggu kedua. Setelah intervensi, BB merasa cukup puas dengan hampir seluruh aspek kehidupannya namun masih kurang puas dengan kesehatannya. Suasana hati BB juga cukup baik di rumah maupun di kantor. Sebaliknya, AM mengalami penurunan nilai subjective well-being. Sebelum penelitian, AM kurang begitu puas dengan kehidupannya dan kesehatannya, sama sekali tidak puas dengan pekerjaan. Hal ini disebabkan AM masih merasa keuangan menjadi problematika terbesar dalam kehidupan rumah tangganya saat ini. AM sering berandai-andai jika saja ia dan BB memiliki uang yang banyak ataupun tiba-tiba memenangkan undian berhadiah uang yang sangat besar. Setelah intervensi, AM kurang puas dengan kehidupan di rumah dan di kantor, serta mengalami suasana hati yang buruk baik di rumah maupun di kantor. Suasana hati yang buruk di rumah ini dikarenakan perselisihan yang dialami AM dengan BB yang terbawa hingga ke kantor. Pasangan 2 Pasangan DNA (30 tahun) dan AD (26 tahun) telah menikah hampir 2 tahun dan telah memiliki seorang putra berusia 4 bulan.
48
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
Pasangan ini mengalami perselisihan pada minggu pertama sebanyak 3 kali yang disebabkan oleh perihal keuangan dan keluarga besar. Pasangan ini tidak mencapai kesepahaman dalam masalah keuangan dan prioritas pengeluaran. AD merasa DNA terkadang menyepelekan tentang memiliki tabungan dan hanya berpikir untuk hal-hal jangka pendek saja dan kurang berpikir mengenai masa depan. Pada minggu kedua dan ketiga, pasangan ini tidak mengalami perselisihan, justru komunikasi mereka terjalin sangat baik walaupun AD mengalami suasana hati yang tidak begitu baik. Pada minggu kedua, AD yang baru mempekerjakan pengasuh bayi mulai jenuh dan kesal dengan sikap pengasuhnya tersebut yang sering membanting barang-barang dan marah tanpa sebab yang jelas. Pasangan ini kemudian mendiskusikan bagaimana menyikapi hal tersebut dan AD memutuskan untuk berbicara dengan pengasuh bayi tersebut, namun justru berakhir dengan perselisihan. Perselisihan ini tidak terbawa dalam interaksi pasangan ini, demikian pula saat minggu ketiga, ketika AD mengalami perselisihan dengan rekan kerja dan atasannya di kantor yang berakhir pada keputusan AD untuk keluar dari pekerjaannya tersebut. Dari empat hal dalam The Four Horsemen, DNA lebih banyak menggunakan cara defensive, yaitu berhenti mendengarkan pasangannya dan mulai mempertahankan pengalaman subjektifnya, sedangkan AD lebih banyak menggunakan cara contempt, yaitu saat seseorang
Jurnal Psikologi mandiri
menunjukkan rasa benci, muak, dan sebagainya terhadap pasangannya. Kedua hal ini menghambat komunikasi, sehingga perselisihan yang terjadi tidak selesai pada hari yang sama, namun berlanjut sampai hari berikutnya. Pasangan ini menyatakan bahwa sebelum mengikuti penelitian ini, perselisihan di antara mereka biasanya tidak terselesaikan dan dapat terulang di lain waktu. Namun dengan adanya modul ini, mereka mencoba mencari cara untuk mendapatkan penyelesaian dan kesepakatan, agar perselisihan yang sama tidak terulang lagi. Nilai subjective well-being pasangan ini mengalami penurunan, terutama pada AD. Hal ini disebabkan suasana hati AD di kantor yang buruk karena berselisih dengan rekan kerja dan atasannya, sehingga afek negatif menjadi lebih besar daripada afek positif. Hal yang sedikit berbeda terjadi pada DNA. Suasana hati DNA di kantor kurang baik, sehingga menyebabkan subjek kurang puas akan kehidupannya di kantor. DNA lebih lelah daripada biasanya karena ia harus pergi dari satu tempat ke tempat lain saat bertugas di kantor, dan pada akhir pekan subjek mendapatkan giliran untuk masuk kantor pada hari libur. Pasangan 3 Pasangan HP (27 tahun) dan DAA (26 tahun) telah menikah selama 2 tahun, dan telah memiliki seorang putra berusia 1 tahun. Pasangan ini selalu mengalami perselisihan selama 3 minggu penelitian dilaksanakan. Menurut HP, hal ini disebabkan karena mereka sejak awal adalah 2 individu
49
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
yang berbeda, dan jarak usia mereka cukup dekat sehingga mereka masih mempertahankan ego masing-masing saat mengalami perbedaan pendapat. Selama 3 minggu, perselisihan terjadi karena miskomunikasi dan karena salah satu pasangan tidak dapat memahami apa yang diharapkan pasangannya. Misalnya, DAA sebenarnya merasa terganggu dengan kebiasaan HP yang sering menunda-nunda dalam mengerjakan sesuatu, dan merasa HP tidak mengerti dan tidak dapat memenuhi apa yang ia harapkan. DAA kemudian memilih untuk diam saja agar HP menyadari kesalahannya, namun HP mengartikan bahwa DAA sedang marah. Perselisihan berlanjut dengan saling diam hingga keesokan harinya. HP merasa kesal karena hal ini, namun juga merasa kecewa karena merasa tidak mampu menahan diri. Pada minggu kedua, perselisihan terjadi lagi karena HP menginginkan sesuatu yang ia tahu tidak akan begitu disukai oleh DAA. Pada minggu ketiga, perselisihan terjadi lagi dengan tema yang sama seperti minggu sebelumnya. Namun kali ini, HP berusaha untuk tidak terlalu memaksakan kehendaknya dan DAA mencoba untuk lebih menahan emosi dan membicarakan hal tersebut secara logis. Perselisihan pun dapat diselesaikan pada hari itu dan tidak terbawa sampai keesokan harinya. Pasangan ini berusaha menjaga komunikasi agar dapat terjalin dengan baik dan berusaha untuk lebih mengelola emosi mereka masing-masing sehingga intensitas konflik dapat berkurang. Dari empat hal dalam The Four Horsemen, HP lebih banyak menggunakan cara stonewalling,
Jurnal Psikologi mandiri
yaitu secara sengaja mengabaikan atau meninggalkan pasangan tanpa mencoba mencari sebuah solusi atas permasalahan yang ada, dan DAA menggunakan cara contempt, defensive, dan stonewalling. HP merasa bahwa ia sedang membantu DAA dengan cara menghindari konflik, dan menganggap sikap tersebut adalah salah satu bentuk pengendalian diri dan emosinya. Sedangkan bagi DAA, sikap ini menunjukkan bahwa HP egois dan menginginkan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, DAA pun menjadi defensif saat berselisih paham dengan HP dan pada akhirnya memilih diam dan mengabaikan masalah yang ada tanpa mencari solusinya. Setelah mengikuti penelitian, pasangan ini mengatakan bahwa catatan harian menjadi sesuatu yang sangat membantu dalam mengatasi perselisihan mereka. Melalui catatan harian, pasangan ini dapat mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangannya, dan kemudian dapat mengkomunikasikan pikiran dan perasaan tersebut untuk kemudian mencapai komitmen penyelesaian masalah yang terjadi di antara mereka. Nilai subjective well-being pasangan ini mengalami penurunan. HP mengalami penurunan dalam aspek kepuasan hidupnya, terutama kepuasan terhadap kesehatannya, dan sedikit penurunan suasana hati baik di rumah maupun di kantor. Seperti HP, DAA juga mengalami penurunan dalam aspek kepuasan hidupnya, dan sedikit penurunan suasana hati. Hal ini dikarenakan pada minggu ketiga, pasangan ini mengalami perselisihan dengan
50
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
orangtua HP mengenai pola pengasuhan anak, dan pada akhir pekan, DAA merasa tidak enak badan dan demam sehingga hal tersebut membuat HP sedikit cemas. Pasangan 4 Pasangan ACN (29 tahun) dan NW (27 tahun) telah menikah selama 3 tahun, dan memiliki seorang putri berusia 1,5 tahun. Secara keseluruhan, selama 3 minggu penelitian, pasangan ini mengalami penurunan nilai intensitas konflik dan juga penurunan frekuensi konflik setiap minggunya. Pada minggu pertama pasangan ini mengalami perselisihan sebanyak 3 kali karena kebiasaan ACN bermain play station (PS) hingga lupa waktu. NW merasa suaminya terlalu banyak menghabiskan waktu dengan hobinya tersebut yang tak jarang dilakukan hingga tengah malam. NW menyatakan keberatannya atas hal tersebut, namun menurutnya, ACN tetap tidak berubah dan masih menghabiskan banyak waktu dengan hobinya tersebut dibandingkan dengan NW dan putri mereka. ACN lebih memilih diam saat mendengarkan keberatan NW, dan perselisihan ini terulang lagi beberapa hari setelahnya. NW merasa ACN tidak berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pada minggu kedua perselisihan terjadi karena permasalahan pengasuhan anak. NW ingin mencarikan pengasuh anak untuk putri mereka, karena ia merasa ibu mertuanya kurang tepat untuk peran tersebut. ACN kurang setuju mengenai hal ini dan meminta NW untuk memikirkannya kembali. Namun NW merasa sudah waktunya
Jurnal Psikologi mandiri
ia melakukan sesuatu. Pada minggu ketiga, pasangan ini tidak mengalami perselisihan, walaupun NW sedikit cemas karena pekerjaannya. Dari empat hal dalam The Four Horsemen, ACN lebih banyak menggunakan cara stonewalling, yaitu secara sengaja mengabaikan atau meninggalkan pasangan tanpa mencoba mencari sebuah solusi atas permasalahan yang ada, dan NW lebih banyak menggunakan cara criticism, yaitu sebuah bentuk perilaku menghakimi dan mencari kesalahan pada pasangan yang dilakukan secara terus-menerus yang menyerang kepribadian pasangannya. Hal ini menyebabkan komunikasi tidak terjalin dengan baik karena NW terus-menerus mengkritik ACN, sedangkan ACN memutuskan untuk mengabaikan hal tersebut. Saat mengikuti penelitian ini, NW mengatakan bahwa ia dapat melihat kembali hal-hal yang sudah lewat dan melakukan evaluasi atas apa yang telah ia lakukan. ACN mengatakan ia cenderung mengabaikan keberatan NW karena permasalahan kebiasaan yang sering menjadi sumber perselisihan mereka adalah hal yang telah diketahui NW sejak lama sebelum mereka menikah. Modul yang diberikan cukup membantu ACN dalam mengevaluasi hal-hal yang telah ia lakukan dan dapat menjadi sarana komunikasinya dengan NW. Nilai subjective well-being ACN mengalami peningkatan dibandingkan sebelum penelitian dan kemudian turun pada masa follow-up namun masih lebih tinggi dibandingkan sebelum penelitian. Sebelum penelitian ACN kurang puas dengan kesehatannya, namun
51
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
setelah penelitian subjek cukup puas dengan kehidupannya secara keseluruhan. ACN mengalami suasana hati yang sangat baik, baik di rumah maupun di kantor, dan terus berlanjut sampai masa follow-up. NW tidak mengalami perubahan nilai subjective well-being sebelum dan sesudah penelitian dilakukan. NW cukup puas dengan seluruh kehidupannya dan mengalami suasana hati yang sangat baik di rumah maupun di kantor. Diskusi Secara kuantitatif, hasil penelitian tidak mendukung hipotesis yang diajukan, yaitu tidak ada perbedaan antara intensitas konflik pernikahan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, serta modul “Harmonis dalam Perbedaan” tidak meningkatkan subjective well-being pada kelompok eksperimen. Sementara itu, data frekuensi konflik pernikahan pada kelompok eksperimen menunjukkan tren penurunan pada 3 dari 4 pasangan yang mengikuti penelitian ini. Berdasarkan data pada tabel 2, dari 8 subjek yang mengikuti penelitian ini, 5 subjek mengalami penurunan nilai intensitas konflik, 1 subjek tidak mengalami perubahan, dan 2 subjek mengalami kenaikan namun masih dalam kategori rendah dan sedang. Pada subjek AD, peningkatan nilai intensitas konflik ini disebabkan munculnya perilaku contempt dalam interaksinya dengan pasangannya. Sebelum penelitian, subjek biasanya memilih untuk diam saat berkonflik dengan suaminya (stonewalling), namun setelah penelitian, subjek justru cenderung menunjukkan perasaan benci pada
Jurnal Psikologi mandiri
pasangannya. Sedangkan pada subjek DAA, sebelum penelitian dilakukan, subjek sudah menunjukkan perilaku defensive dan stonewalling. Setelah penelitian selesai dilakukan, perilaku ini meningkat. Menurut DAA, setiap konflik yang terjadi antara dirinya dan pasangannya pasti terdapat salah satu pihak yang salah dan pihak tersebut adalah pihak yang kalah. Oleh karena itu, subjek selalu berusaha mempertahankan pendapatnya karena ia merasa ia tidak bersalah dan tidak akan mengalah pada pasangannya. Perilaku-perilaku dari The Four Horsemen ini kemudian menghambat terjadinya komunikasi pada pasangan suami-istri tersebut sehingga intensitas konflik mereka pun meningkat. Padahal menurut Driver dan Gottman (2004), kemampuan berkomunikasi seperti penggunaan humor dan afek-afek positif saat terjadinya konflik dapat menjadi prediktor untuk kestabilan pernikahan dan penyelesaian konflik yang lebih positif. Frekuensi konflik pernikahan secara umum menurun dari minggu 1 hingga minggu 3, yang menunjukkan bahwa “Harmonis dalam Perbedaan’ dapat menjalankan fungsinya sebagai modul evaluasi diri dan prevensi konflik pada pasangan suami-istri bekerja. “Harmonis dalam Perbedaan” membantu pasangan suami-istri bekerja untuk lebih mengenal diri mereka sendiri, apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan, serta dapat membantu pasangan suami-istri bekerja untuk mengevaluasi hal-hal apa saja yang sudah dan belum mereka lakukan dalam mengatasi konflik sehari-hari dengan pasangannya. Hal ini sesuai
52
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
dengan Kanfer (dalam Wulandari, 2004) yang mengatakan bahwa pelaksanaan self-monitoring bertujuan untuk meningkatkan kesadaran individu tentang perilaku dirinya, melalui monitoring dan pencatatan, sehingga diharapkan individu yang bersangkutan mempunyai pemahaman yang objektif terhadap perilakunya. Proses ini dapat menimbulkan perubahan frekuensi perilaku tidak adaptif karena dalam proses tersebut juga terjadi proses evaluasi dan pengukuhan diri. Hal ini terlihat pada frekuensi konflik pasangan suamiistri bekerja yang mengalami penurununan dari minggu 1 sampai minggu 3 pada 3 dari 4 pasangan pada kelompok eksperimen. Pada pasangan BB dan AM, frekuensi konflik yang sebelumnya menurun dari minggu 1 ke minggu 2, justru mengalami peningkatan pada minggu 3. Peningkatan frekuensi konflik ini dikarenakan permasalahan yang belum pernah pasangan ini hadapi sebelumnya, yaitu kejujuran BB mengenai masa lalunya. Hal ini membuat AM menjadi sangat emosional sehingga interaksinya dengan BB cenderung negatif, dan karena BB lebih memilih untuk diam dan menyibukkan diri dengan pekerjaan, AM pun merasa bahwa BB mengabaikan dirinya sehingga konflik pun terjadi dengan frekuensi yang lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Subjek memanfaatkan lembar catatan harian secara maksimal dengan menjadikan catatan tersebut bahan diskusi dengan pasangannya sehingga mereka dapat mengetahui apakah anggapan mereka mengenai apa yang pasangannya pikirkan dan
Jurnal Psikologi mandiri
rasakan sesuai atau tidak. Subjek selalu berusaha melakukan komunikasi dengan pasangannya mengenai suatu hal sehingga kemungkinan terjadinya pertengkaran dapat diminimalisir. Jika akhirnya pertengkaran tetap terjadi, menurut subjek hal tersebut disebabkan keadaan emosi yang sedang tidak stabil atau kurang mampu menahan diri. Subjek merasakan manfaat yang sangat besar pada bagian selfmonitoring harian, karena pada bagian inilah subjek dapat melihat kembali apa saja yang sudah ia lakukan setiap hari dan menjadi lebih memahami dirinya sendiri dan juga pasangannya. Evaluasi mingguan memegang peranan penting karena subjek dapat menyimpulkan hal-hal yang telah mereka pelajari, usahausaha yang telah mereka lakukan, keberhasilan dan kegagalan yang diperoleh, serta menyusun komitmen untuk ke depannya agar dapat menjadi lebih baik. Penelitian ini tidak mendukung hipotesis mengenai subjective well-being (SWB). SWB sendiri merupakan konsep yang luas, meliputi emosi pengalaman menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener, Lucas, & Oishi dalam Arbiyah, Imelda, & Oriza, 2008) . Istilah subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup (Diener, Lucas, & Oishi dalam Arbiyah dkk,
53
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
2008). Subjective well-being tersusun dari beberapa komponen utama, termasuk kepuasan hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan, adanya afek yang positif (mood dan emosi yang menyenangkan), dan ketiadaan afek negatif (mood dan emosi yang tidak menyenangkan) (Eddington & Shuman dalam Arbiyah dkk, 2008). Afek (mood dan emosi) memegang peranan yang sangat penting pada subjective well-being pada kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen mengalami penurunan nilai subjective well-being dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah penelitian dilakukan. Turunnya nilai subjective well-being ini terus terjadi sampai masa follow-up penelitian pada sebagian besar subjek pada kelompok eksperimen. Hal ini terjadi karena kelompok eksperimen mengalami peningkatan afek negatif yang cukup besar selama penelitian dilakukan. Afek negatif tersebut paling banyak dirasakan pada lingkungan pekerjaan seperti keharusan untuk lembur secara tibatiba, harus bekerja saat hari libur, pertengkaran dengan rekan kerja, dan pertengkaran dengan atasan yang berakhir pada pengunduran diri dari pekerjaan. Sebaliknya, kelompok kontrol cenderung mengalami harihari yang kurang-lebih sama sebelum dan setelah penelitian dilaksanakan. Kelompok kontrol cenderung mengalami peningkatan nilai subjective well-being karena mereka cukup puas dengan kehidupannya dan lebih banyak merasakan afek positif baik di rumah maupun di tempat kerja dibandingkan dengan kelompok eksperimen. Penurunan tingkat intensitas konflik pernikahan
Jurnal Psikologi mandiri
dan frekuensi konflik pernikahan ternyata tidak menuju pada meningkatnya subjective well-being. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas konflik pernikahan tidak memiliki hubungan secara langsung dengan subjective well-being seperti halnya kepuasan pernikahan. Kepuasan pernikahan adalah pandangan subjektif seseorang mengenai pernikahannya dan karakteristik hubungan diantara pasangan tersebut (Glenn dalam Mathews, 2002), yang ditunjukkan dengan aktivitas menyenangkan yang dilakukan bersama, penggunaan humor dalam interaksi dengan pasangan, keterlibatan secara intim, rendahnya kritik antar pasangan, rendahnya perseteruan dan rendahnya frekuensi berargumen (Taylor, Peplau, dan Sears dalam Mathews, 2002). Intensitas konflik pernikahan dan frekuensi konflik pernikahan yang rendah hanya beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan dan modul “Harmonis dalam Perbedaan” berfokus pada intensitas konflik pernikahan dan frekuensi konflik pernikahan saja, sehingga modul ini tidak merepresentasikan kepuasan pernikahan yang merupakan faktor penentu subjective well-being. Hal lain yang cukup mempengaruhi turunnya subjective well-being pada kelompok eksperimen adalah tingkat sosialekonomi mereka. Penelitian Diener dan Oishi (Diener & Biswas-Diener, 2001) yang dilakukan di berbagai negara menemukan bahwa tingkat pendapatan memiliki pengaruh yang kuat pada SWB terutama pada penduduk golongan ekonomi bawah. Mereka menemukan bahwa orang
54
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
yang memiliki pendapatan rendah cenderung tidak puas dalam kehidupannya. Dalam hal ini, beberapa subjek sempat mengalami perselisihan berkaitan dengan masalah ekonomi mereka. Yang paling terlihat adalah pada pasangan 1 yang masih belum mendapatkan tempat tinggal bersama yang sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka, dan pasangan ini sempat berandai-andai jika saja mereka dilahirkan di keluarga kaya atau tibatiba menang lotere. Setelah masa follow-up, peneliti melakukan debriefing dengan fasilitator psikolog berkaitan dengan menurunnya nilai subjective well-being pada kelompok eksperimen. Masing-masing subjek dalam kelompok eksperimen diminta untuk mereviu kembali proses penelitian yang telah mereka ikuti, meliputi bagaimana pemahaman mereka mengenai modul “Harmonis dalam Perbedaan” dan perasaan mereka saat mengikuti penelitian. Faktor-faktor yang mendukung penelitian ini adalah para subjek yang sangat berkomitmen dalam mengisi “Harmonis dalam Perbedaan”, dan melakukan langkahlangkah yang tertulis di dalam modul ini. Hal lain yang cukup membantu adalah kesenangan subjek untuk menuliskan pengalamanpengalamannya di buku harian dan kebiasaan untuk mengkomunikasikan berbagai hal dengan pasangannya, sehingga modul ini dapat bermanfaat sebagai bahan evaluasi diri pada subjek. Selain itu, penelitian ini tidak membutuhkan pasangan untuk menyiapkan waktu secara khusus untuk bertemu dengan konselor yang biasanya menjadi masalah bagi para
Jurnal Psikologi mandiri
suami yang masih enggan dibawa pasangannya mengunjungi psikolog. Keunikan penelitian ini adalah penggunaan metode self-help yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Subjek merasakan manfaat langsung dari modul ini untuk mengevaluasi diri mereka, dan mengetahui persepsi pasangannya sehingga mereka dapat mengkomunikasikan hal-hal tersebut dan dapat meminimalisir terjadinya konflik pernikahan. Penelitian ini memiliki keterbatasan yang hendaknya diperhatikan oleh peneliti selanjutnya yaitu tidak adanya bagian refleksi pada setiap komponennya. Bagian refleksi ini dibutuhkan agar para subjek dapat meninjau kembali apakah terdapat kesesuaian antara peristiwa yang mereka alami dengan yang emosi yang muncul, contohnya pada bagian deteksi potensi konflik yang berupa mood check-in. Pada bagian ini, subjek mencentang banyak hal yang menuju pada munculnya emosi negatif, namun saat mengisi mengenai perasaan mereka, mereka menjawab “biasabiasa saja” yang menunjukkan ketidaksesuaian antara peristiwa dan emosi yang menyertai hal tersebut. Selain itu, faktor waktu yang cukup singkat (3 minggu), kurang mampu merepresentasikan konflik yang dialami oleh pasangan suami-istri bekerja. Pada bagian psikoedukasi, beberapa subjek mengatakan bahwa bahasa tulis yang digunakan terlalu baku dan menyebabkan subjek kurang nyaman saat membacanya. Penggunaan skala DRM juga sedikit membuat bingung beberapa subjek walaupun sebelumnya telah dijelaskan oleh peneliti mengenai
55
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
cara mengisi skala tersebut. Deteksi potensi konflik yang berupa mood check-in kurang mampu merepresentasikan keadaan emosi subjek karena dilakukan secara mingguan. Bentuk intervensi seperti ini tidak cocok digunakan bagi orang yang tidak gemar menulis dan kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya dalam bahasa tulis. Pada dasarnya “Harmonis dalam Perbedaan” dapat bermanfaat sebagai modul evaluasi diri dan prevensi konflik bagi pasangan suami-istri bekerja, namun agar dapat berdiri sendiri sebagai sebuah modul self-help, modul ini masih membutuhkan beberapa pengembangan. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Modul “Harmonis dalam Perbedaan” tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada tingkat intensitas konflik pernikahan dan subjective well-being pada pasangan suami-istri bekerja. Namun modul ini cukup mampu menjalankan fungsinya sebagai modul evaluasi diri yang ditunjukkan oleh hasil wawancara yang dilakukan pada masa follow-up penelitian. Para subjek dalam kelompok eksperimen menyatakan bahwa mereka merasa terbantu dengan adanya modul “Harmonis dalam Perbedaan”, terutama pada bagian self-monitoring harian. Menurut para subjek, sebelum mereka berpartisipasi dalam penelitian ini, mereka menyadari dan mengetahui bahwa mereka memiliki masalah dan mengalami perselisihan dengan pasangannya, namun biasanya hal tersebut cenderung
Jurnal Psikologi mandiri
dibiarkan saja. Mereka terpikir untuk membicarakan masalah tersebut, namun karena melihat pasangannya sudah tidak menyinggung lagi dan mereka pun sudah merasa baik-baik saja maka hal tersebut terlupakan, dan tidak jarang membuat perselisihan yang sama terulang kembali lain waktu. Modul ini menurut para subjek sangat membantu untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangannya, sehingga mereka dapat melihat suatu masalah tidak hanya dari sudut pandang diri sendiri, namun juga dari sudut pandang pasangannya. Selain itu, selfmonitoring harian membuat mereka menjadi berpikir, bagaimana solusi untuk perselisihan mereka agar perselisihan yang sama tidak terulang di kemudian hari. Bagian lain dari modul ini yang juga sangat membantu subjek adalah bagian evaluasi mingguan. Dengan adanya evaluasi, subjek dapat melakukan introspeksi diri mengenai apa yang mereka pelajari, hal-hal apa saja yang sudah dilakukan dan berhasil, hal-hal apa saja yang menyebabkan kegagalan, dan hal yang menurut mereka harus dilakukan namun belum terlaksana. Subjek menyarankan agar deteksi potensi konflik (mood checkin) dilakukan setiap hari, karena jika dilakukan untuk mengevaluasi suasana hati mingguan, maka yang tercatat adalah hal terakhir yang dirasakan. Menurut subjek, bisa saja dalam seminggu tersebut, subjek mengalami suasana hati yang buruk, namun pada akhir minggu ada sesuatu yang membuat subjek senang, sehingga yang tercatat adalah suasana hati yang senang saja.
56
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
Secara keseluruhan, semua subjek merasakan manfaat dari “Harmonis dalam Perbedaan” terutama dalam meningkatkan komunikasi dan mencari solusi mengenai permasalahan suami-istri. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kelompok eksperimen tidak menunjukkan peningkatan nilai subjective wellbeing (SWB). Tercatat hanya 3 subjek yang mengalami peningkatan nilai SWB mereka. SWB dipengaruhi oleh kepuasan hidup dan afek. Dalam penelitian ini, hal yang paling berpengaruh adalah afek. Subjek cenderung memiliki kepuasan hidup yang relatif sama sebelum dan sesudah penelitian, namun cenderung berbeda pada afek. Subjek mudah mengalami perubahan suasana hati, baik karena masalah dengan pasangan di rumah yang terbawa ke kantor, atau situasi di kantor yang tidak menyenangkan. Intensitas konflik pernikahan dan frekuensi konflik pernikahan tidak memiliki peran langsung pada tingkat subjective well-being seseorang, sehingga modul “Harmonis dalam Perbedaan” tidak meningkatkan subjective well-being subjek penelitian. Saran A. Saran untuk penelitian selanjutnya Pada bagian deteksi potensi konflik perlu ditambahkan sub bagian refleksi yang berfungsi untuk meninjau kembali apakah terdapat kesesuaian antara peristiwa yang mereka alami dengan yang emosi yang dirasakan. Penggunaan mood check-in dapat
Jurnal Psikologi mandiri
diaplikasikan setiap hari agar suasana hati yang dirasakan setiap subjek dapat tercatat secara real, dan bukannya yang terakhir dirasakan jika mood check-in dilakukan mingguan. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperpanjang waktu penelitian untuk dapat benarbenar melihat konflik pernikahan yang dialami oleh pasangan suami-istri bekerja. Dalam hal ini subjek menyarankan paling tidak 6-8 minggu, sehingga dapat ditemukan formula yang benarbenar sesuai untuk pasangan suami-istri bekerja dengan usia pernikahannya di bawah 5 tahun. “Harmonis dalam Perbedaan” hanya berfokus pada intensitas konflik pernikahan dan frekuensi konflik pernikahan yang merupakan sebagian faktor dari kepuasan pernikahan, sehingga tidak memiliki hubungan langsung dengan subjective well-being. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya perlu menambahkan bagian mengenai faktor-faktor selain dua hal tersebut yang berkontribusi dalam kepuasan pernikahan, sehingga modul “Harmonis dalam Perbedaan” dapat berkontribusi dalam peningkatan subjective well-being subjek penelitian. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan gaya bahasa yang tidak terlalu baku sehingga subjek dapat dengan mudah mengerti maksud peneliti dan lebih menikmati membaca bagian psikoedukasi. B. Saran untuk Praktisi
57
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
Praktisi belum dapat menggunakan modul “Harmonis dalam Perbedaan” sebagai sebuah modul self-help karena modul ini masih memerlukan pengembangan agar dapat berdiri sendiri. Namun modul “Harmonis dalam Perbedaan” dapat digunakan sebagai pendukung dari terapi lain yang digunakan, terutama untuk menjangkau pasangan suami-istri bekerja yang merasa sulit untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung atau yang kurang memiliki waktu untuk menghadiri sesi konseling. C. Saran untuk subjek penelitian Subjek diharapkan meneruskan apa yang sudah dilakukan dalam intervensi ini, yaitu memonitor, mengkomunikasikan dan mendiskusikan apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan pada pasangannya sehingga konflik yang terjadi dengan pasangan dapat diminimalisir.
Daftar Pustaka Arbiyah, N., Imelda, F. N., & Oriza, I. D. (2008). Hubungan bersyukur dan subjective wellbeing pada penduduk miskin. Jurnal Psikologi Sosial Universitas Indonesia, 14 (1), 11-24. Diunduh dari http://journal.ui.ac.id/?hal=deta ilArtikelJPS&q=2 Aycan, Z., & Eskin, M. (2005). Relative contributions of childcare, spousal support, and
Jurnal Psikologi mandiri
organizational support in reducing work–family conflict for men and women: the case of Turkey. Sex Roles, 53 (7), 453-471. Babson, L. J. C. (2007). Effectiveness of self-monitoring of negative self-statements with chronic pain patients. (Dissertation), The Ohio State University, Columbus, Ohio, USA. Diunduh dari http://etd.ohiolink.edu/sendpdf.cgi/Babson%20Lisabeth%2 0J.C.pdf?osu1195144188 Basson, N. (2008). The influence of psychosocial factors on the subjective well-being of adolescents (Dissertation), University of the Free State, Bloemfontein, South Africa. Diunduh dari http://etd.uovs.ac.za/ETDdb//th eses/available/etd10232009130 814/unrestricted/Basson.pdf Bauer, T.N., Grandey, A.A., & Hammer, L.B. (2003). Workfamily conflict and workrelated withdrawal behaviors. Journal of Business and Psychology, 17 (3), 419-436. Beydha, I. (2007). Konflik komunikasi dalam perkahwinan wanita budaya matrilineal Minangkabau Indonesia dengan lelaki budaya patrilineal Melayu Malaysia di Medan, Indonesia. (Tesis), Universiti Putra Malaysia, Selangor, Malaysia. Diunduh dari
58
“HARMONIS DALAM PERBEDAAN” SEBAGAI MODUL EVALUASI DIRI DAN PREVENSI KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA
http://psasir.upm.edu.my/5428/ 1/IPSS_2007_1.pdf Biswar-Diener, R., Vitterso, J., & Diener, E. (2005). Most people are pretty happy, but there is cultural variation: The Inughuit, the Amish, and the Maasai. Journal of Happiness Studies, 6, 205-226 Cassidy, B. (2010). Self-monitoring to improve academic success for a high school student identified with attention deficit hyperactivity disorder. (Directed study), University of Southern Maine, Portland, Maine, USA. Diunduh dari http://usm.maine.edu/sites/defa ult/files/Abilities%20and%20D isabilities%20Studies/cassidy.p df Creswell, J. W. (1994). Research design : qualitative and quantitative approaches. Thousand Oaks, CA : SAGE Publications. Cummings, E. M., Goeke-Morey, M. C., & Papp, L. M. (2003). Children’s responses to everyday marital conflict tactics in the home. Child Development, 74 (6), 19181929. Diener, E. (1984). Subjective wellbeing. Psychological Bulletin, 95 (3), 542–575. Diener, E., & Scollon, C. (2003, Oktober). Subjective well-being is desirable but not the summum bonum. Paper
Jurnal Psikologi mandiri
dikirimkan ke the University of Minnesota Interdisciplinary, Minneapolis, Minnesota. Diunduh dari http://www.tc.umn.edu/~tiberiu s/workshop_papers/Diener.pdf Diener, E., & Oishi, S. (2004). Are Scandinavian happier than Asians? Issues in comparing nations in subjective wellbeing. New York: Nova Science Diener, E., & Oishi, S. (2005). The nonobvious social psychology of happiness. Psychological Inquiry, 16 (4), 162-167 Dush, C. M. K., & Amato, P. R. (2005). Consequences of relationship status and quality for subjective well-being. Journal of Social and Personal Relationship, 22 (5), 607-627. Hamamci, Z. (2005). Dysfunctional Relationship Beliefs in Marital Conflict. Journal of RationalEmotive and CognitiveBehavior Therapy, 23 (3), 245261. Isenhart, M. W., & Spangle, M. (2000). Collaborative approaches to resolving conflict. Thousand Oaks, CA : Sage Publications Inc Lian, T.C. (2008). Effects of DualCareer and Marital Conflict on The Mental Health of Couples. Journal E-Bangi, 3 (1). 1-14. Diunduh dari http://pkukmweb.ukm.my/e-
59
Ika Apriati Widya Puteri, Galuh Setia Winahyu
bangi/papers/2008/tamcaiLian. pdf. Sadarjoen, S. S. (2007, September). Keluarga Masa Kini : Problema dan Strategi Intervensi. Makalah disajikan dalam Kegiatan Pekan Ilmiah Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, Indonesia. Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive psychology: The scientific and practical exploration of human strenght. Thousand Oaks, CA: Sage Publication
Wulandari, L. H. (2004). Efektivitas modifikasi perilaku-kognitif untuk mengurangi kecemasan komunikasi antar pribadi. eUSU Repository, 1-15. Diunduh dari http://library.usu.ac.id/downloa d/fk/psikologi-lita.pdf. Zhang, L. (2002). Marital conflicts in dual-earner in Beijing : A gender perspective. (Thesis), Hongkong Polytechnic University, Hung Hom, Kowloon, Hongkong.
Soewadi. (1994). Aspek psikiatrik hubungan antara istri bekerja dengan konflik marital. Berita Kedokteran Masyarakat, X(2), 82-88. Steuber, K. R. (2005). Adult attachment, conflict styles, and relationship satisfaction : A comprehensive model. (Thesis), University of Delaware, Newark, Delaware, USA. Diunduh dari www.udel.edu/communication/ web/thesisfiles/kelisteuberthesi s.pdf Wilding, C., & Milne, A. (2008). Teach Yourself : Cognitive Behavioural Therapy. Columbus, OH : McGraw-Hill Woolman, D. (2006). Educating for conflict resolution and peace. In Campbell, J, et al (Eds). Towards a Global Community (page 157-177). New York : Springer.
Jurnal Psikologi mandiri
60