HAK PENDIDIKAN ANAK CACAT MENTAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Abdurahman 103043227983
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul HAK PENDIDIKAN ANAK CACAT MENTAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 24 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum. Jakarta, 24 September 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP : 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. NIP : 150 220 554
(.............................)
2. Sekretaris
: H. Muhammad Taufiki, M. Ag. NIP : 150 290 159
(..............................)
3. Pembimbing I
: Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM. (....................) NIP : 150 210 442
4. Penguji I
: Drs. Noryamin Aini, MA. NIP : 150 247 330
(..............................)
5. Penguji II
: Dr. Euis Nurlaelawati, MA. NIP : 150 282 396
(..............................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Agustus 2008 21 Rajab 1428 H
Abdurahman
KATA PENGATAR Lewat perjalanan yang panjang dengan suka maupun duka, tanpa terasa air mata ini menetes dengan sendirinya dan senyumpun menyambut datangnya hari, sampai akhirnya tiba di ujung perjuangan penulisan skripsi. Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis telah diberikan ombak ilmu untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada pembawa risalah dan cahaya kebenaran sayyidina wa nabiyyina Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya. Penulis menyadari karya ini bukan hanya karya penulis pribadi, tetapi sebagian juga merupakan buah pemikiran dan pemberian ide dari orang-orang yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan banyak rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang banyak membantu, berjasa dan terhormat kepada : 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau juga selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan perbaikan, sehingga skripsi ini dapat
selesai. Semoga apa yang telah diberikan beliau, menjadi ladang pahala disisi Allah SWT. Amin. 2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, dan Muhammad Taufiki, M. Ag., Sekretaris Program Studi yang tidak pernah lelah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. 3. Ta’zim dan Tawadhu dan ribuan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Drs. H. Syai’in Kodir dan ibunda Hj. Mulyanah, yang tiada henti-hentinya mendoakan dan membiayai penulis selama ini. Kepada adik-adik penulis Ahmad Rikih, Lindah, Lisah Windarti, Sinta Apriyani dan M. Ferdiansyah ayo jangan berhenti, teruskan citacitamu. Kalian pasti bisa !, all u bro, kaka akan selalu mendukung mu. 4. Seluruh dosen yang telah mentransformasikan ilmunya kepada penulis, selama kuliah dalam kampus yang tercinta ini, semoga apa yang diajarkan dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dalam menjalani kehidupan ini. 5. Saudaraku di BRONTOK. Syarif Hidayatullah, M. Anwar S. Kom., makasih atas semuanya. Tanpa kalian, saat bermimpi, terjatuh, bersama, tertawa, terluka, berbagi, bahagia. Takkan pernah ku bisa berpaling, berlari, menghindar dari mu kawan !, u are “debu sahabatku”
6. Keluargaku di UKM KMF KALACITRA. Imajinasikan ide-ide nakal kalian lewat estetika fotografi. Tempat dimana ku mencari arti, jalani mimpi, bersembunyi, lepaskan resah hati hanya di KALACITRA. “KALA WAKTU BERJALAN KALACITRA MEREKAM” 7. My Canon EOS 500 “sumber inspirasiku”, Andrea Hirata atas Laskar Pelanginya. 8. Pimpinan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Fakultas Syariah dan Hukum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atas Referensinya, beserta segenap stafnya. 9. Teman-teman seperjuangan, Perbandingan Hukum 2003, khususnya “KAMBING CUP” semoga “arti sahabat” untuk selamanya. Mungkin suatu saat akan ku buka sesaat, walau diam tanpa suara, pasti ku akan bicara kawan !. Alwanih, SHI., Yustam Syahril, SHI., Abdurrozak, SHI., A. Ratomi, SHI., Miftah Faridh, SHI., Albert Oki, S.Pdi. 10. “mobile AMD Athlon (tm) MP - M 2800 +, MMX, 3DNow, ~ 2.1GHz ”, my computer. My e-mail:
[email protected] 11. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas semua perbuatan baik kalian.
Demikianlah untaian ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Amin.
Jakarta, 23 Agustus 2008 21 Rajab 1428 H
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………......i DAFTAR ISI……………………………………………………………………........v BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………………...12 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………….12 D. Metode Penelitian……………………………………………………….13 E. Review Studi Terdahulu...........................................................................16 F. Sistematika Penulisan…………………………………………………...19
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Pengertian Dan Sumber Hukum Tentang Perlindungan Anak………….20 B. Ruang Lingkup Tentang Perlindungan Anak…………………………...30 C. Fungsi dan Wewenang Komisi Perlindungan Anak (KPAI)……………47
BAB III KONSEP PERLINDUNGAN PENDIDIKAN ANAK CACAT MENTAL MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Perbandingan Persepsi Mengenai Perlindungan Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan………………………………………………..57
B. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Perlindungan Hak Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan………………………………………..98 C. Analisa Penulis Tentang Perlindungan Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan……………………………………………………………...103
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………….....107 B. Saran-saran……………………………………………………………..110
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang anak yang lahir ke dunia adalah anugerah sekaligus amanah yang diberikan Allah SWT kepada orang tua. Sebagai amanah, maka sang anak harus dipelihara, dijaga dan dididik dengan baik. Sebagai sebuah amanah, ia tidak boleh disia-siakan atau ditelantarkan. Oleh karena itu, orang tua wajib mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang didasari oleh keimanan, agar mereka tumbuh menjadi manusia yang membangun, bukan merusak. Dan, kekhawatiran tentang munculnya sikap durhaka sang anak hanya dapat diantisipasi dengan pendidikan yang didasari oleh keimanan.1 Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara2. Hanya dengan melalui pemenuhan hak anak yang baik akan terwujud anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Hak anak adalah harapan bagi anak-anak, masa depan bangsa, dan bahkan hak universal seluruh umat manusia. Anak dilahirkan dengan hak hidup dan seiring itu pula anak memiliki hak untuk tumbuh kembang, hak berpartisipasi, hak memperoleh
1 2
Karim Sa’ad, Agar Anak Tidak Durhaka, (Jakarta: Darul Aqiqah, 2006), Cet. Ke- I, h. 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 12.
identitas, hak mengemukakan pendapat, hak pendidikan, hak berkreasi, bermain dan hak-hak lainnya. Masalah anak pada darwasa belakangan ini adalah menjadi issue yang menarik di tingkat nasional dan Internasional, hal demikian karena semakin disadarinya bahwa anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan, apalagi dunia telah melahirkan konvensi hak-hak anak (KHA) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990.3 Ratifikasi KHA oleh pemerintah Indonesia merupakan indikasi bahwa Indonesia sebagai negara yang berkembang menempatkan anak bagian yang integral dalam proses pembangunan, perkembangan tersebut seiring dengan perkembangan teori-teori tentang psikologi pembangunan yang kemudian diadopsi dalam progresivitas pendidikan.4 Agama
Islam
mengajarkan
para
pemeluknya
untuk
memberikan
perlindungan terhadap anak, perlindungan anak tersebut berupa kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya sehingga dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari setiap tindakan dan diskriminasi.5
3
UNICEF, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: tt, 2003, hal. 7. 4 Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Laporan Penelitian: Pengkajian Masalah Kekerasan Terhadap Anak (Corporal Punishment di Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Studi Kasus di Jawa Timur), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2006. 5 Hasil Konferensi Tokoh Lintas Agama Untuk Perlindungan Anak di Bogor, 4-6 Juli 2006, Hadir dalam Acara Itu Para Tokoh Agama dari Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hucu.
Dalam pandangan Islam, perlindungan anak memiliki makna fundamental, yaitu sebagai basis nilai dan paradigma untuk melakukan perubahan nasib anak, serta sebagai pendekatan komprehensif bagi manusia dalam pendidikan rohani, pembinaan generasi, pembentukan umat, dan pembangunan budaya, serta penerapan prinsip-prinsip kemuliaan dan peradaban (madaniyah). Semua ini dimaksudkan agar manusia berada pada sistem sosial yang tinggi, yaitu selalu berada dalam garis perjuangan penyelamatan manusia dari kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya kebenaran Allah SWT.6 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.7Hakekat kedudukan anak adalah tidak saja sebagai rahmat, tetapi juga sebagai amanah dari Allah SWT, dikatakan rahmat karena anak adalah pemberian Allah SWT yang tidak semua orang tua mendapatkannya. Allah SWT menganugerahi anaknya bagi keluarga yang dikhendaki-Nya. Di sekeliling kita terkadang terlihat ada keluarga yang begitu ingin memiliki anak sampai menghabiskan biaya banyak untuk mengupayakannya, akan tetapi karena Allah SWT belum berkhendak ia tetap belum di karuniai anak. Sebagai amanah berarti ada kewajiban semua pihak untuk memberikan perlindungan pada anak, khususnya pemerintah pada level komunal dan orang tua pada level individual. Sebagai bagian tak terpisahkan dari rahmat itu, Allah SWT menanamkan perasaan kasih sayang orang tua pada anaknya kepada setiap orang tua di dalam 6
Anshori Ibnu, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2006. 7 Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
hatinya, tertanam perasaan mengasihi dan menyayangi anaknya. Perasaan tersebut Allah SWT tanamkan dalam hati orang tua sebagai bekal dan dorongan dalam mendidik, memelihara, melindungi dan memperhatikan kemaslahatan anak-anak mereka sehingga semua hak anak dapat terpenuhi dengan baik serta terhindar dari setiap tindakan kekerasan dan diskriminasi. Anak dikatakan amanah karena dengan dikaruniai anak, orang tua mendapat tugas atau kewajiban dari Allah SWT untuk merawat, membesarkan, mendidik anak, sehingga dapat mengemban tugasnya di muka bumi yaitu sebagai khalifatullah kelak ketika ia sudah dewasa. Tidak ada alasan bagi orang tua untuk mengabaikan kewajibannya dalam memberikan perlindungan kepada anakanaknya. Jika amanah itu dilaksanakan akan mendapat pahala, dan sebaliknya adalah dosa bagi orang tua yang karena kelalaiannya ia tidak bisa memberikan perlindungan kepada anaknya, kecuali karena alasan yang dibenarkan oleh agama. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kedudukan sebagai amanah. Bertitiktolak dari posisi anak sebagai rahmat dan amanat Allah SWT, maka anak memiliki kedudukan, fungsi dan peran strategis bagi masa depan bangsa, yaitu bukan saja sebagai penerus memiliki dua kemungkinan, yaitu meneruskan hal-hal yang positif dan meninggalkan hal-hal yang negatif dari bangsa yang bersangkutan
atau
sebaliknya
tergantung
sejauh
mana
generasi
tua
mempersiapkan masa depan anaknya. Anak sebagai pemilik masa depan memiliki hak menentukan nasibnya sendiri berdasarkan bimbingan dan
pendidikan dan fasilitas yang dipersiapkan oleh orang tua, masyarakat dan pemerintah.
Islam menyadari pentingnya pemenuhan hak-hak dasar anak demi perkembangan kepribadian anak, dalam memenuhi hak-hak anak, Islam tidak hanya memberikan Undang-Undang dan metode, tapi juga menyuguhkan teladan hidup yaitu nabi Muhammad SAW, dan masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an, hadist-hadist, maqal para sahabat yang menyeruhkan untuk melindungi hak-hak anak. Selain dalam agama Islam, diskusi tentang anak juga telah lama dimulai. Hak-hak anak telah diterima liga bangsa-bangsa pada tahun 1924, dan kemudian pada tahun 1959 diterima pula di PBB. Hak-hak anak mulai dibicarakan untuk menjadi konvensi sejak peringatan hari anak Internasional tahun 1979 berdasarkan usulan pemerintah Polandia. Akhirnya sidang umum PBB mengeluarkan resolusi Nomor 44/25 tanggal 20 November 1989 tentang Konvensi Hak-Hak Anak (convention on the rights of the child). Convention on the rights of the child (CRC) atau konvensi hak anak (KHA) adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis diantara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak berarti hak asasi manusia (HAM) untuk anak. Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktat/pakta), merupakan perjanjian diantara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis. Oleh karena itu
konvensi merupakan suatu hukum Internasional atau biasa juga disebut “instrument nasional”. Dengan kata lain hak anak merupakan bagian integral dari HAM dan KHA dari instrument Internasional di bidang HAM.8 Secara Internasional Indonesia terikat komitmen dalam konvensi hak anak (KHA) 1989. CRC yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 36 tahun 1990 pasal 3 menyatakan, dan semua tindakan menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak merupakan pertimbangan utama.9 Ketentuan hak anak yang wajib dipenuhi oleh negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua sudah diatur dalam CRC (KHA) dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak terutama dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam CRC terdapat bidang 5 bidang (cluster) tentang hak anak, yang selanjutnya dalam Undang-Undang perlindungan di kelompokan atas 6 bidang, yaitu: (1) Hak sipil (2) Kesehatan, (3) Pendidikan, (4) Perlindungan sosial, (5) Perlindungan khusus. Perlindungan yang sifatnya khusus diberikan antara lain untuk anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi-seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban
8 9
Unicef, Pengertian Konvensi Hak Anak, (Jakarta: Harapan Prima), 2004, h. 2-4. Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 3.
penyalahgunaan narkotika, anak korban kekerasan fisik-mental, anak cacat, serta anak korban perlakuan salah dan penelataraan.10 Sesuai KHA, semua anak tanpa membedakan ras, suku, bangsa, agama, jenis kelamin, keturunan maupun bahasa memiliki empat hak dasar yaitu : 1. Hak atas kelangsungan hidup (survival) yang layak dan pelayanan kesehatan. Artinya anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan perawatan kesehatan bila jatuh sakit 2. Hak untuk tumbuh dan berkembang (development). Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi seni dan budaya, termasuk pula di dalamnya hak asasi untuk anak cacat, dimana mereka berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan khusus 3. Hak untuk memperoleh perlindungan (protection). Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang 4. Hak untuk berpartisipasi (participation). Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi dirinya Dalam UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, negara
memiliki tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak anak yang tercantum dalam KHA, dan wajib melakukan aksi-aksi untuk melindungi anak, namun persoalan pemenuhan hak anak pada prinsipnya tidak bisa terlepas dari peran orang tua. Orang tua memiliki peran mencakup aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lingkungan sosial anak. Karena itu kesadaran orang tua akan hak-hak anak sangat penting. Orang tua dalam hal ini adalah tugas ayah dan ibu. Tugas pemenuhan hak anak bukan menumpu pada ibu saja. Dalam ruang sosial yang lebih luas,
10
UUAP Pasal 59.
masyarakat dan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dituntut bersama-sama menciptakan fasilitas dan situasi yang kondusif bagi anak-anak. Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak pada tahun 1990, konsekuensinya, Indonesia harus memajukan serta melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia, seperti tertera dalam konvensi tersebut. Dimulai dengan mendiseminasikan definisi ‘anak’ kepada masyarakat luas, seperti tercakup dalam pasal 1 konvensi hak anak, yang mendefinisikan ‘anak' sebagai: “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UndangUndang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Oleh karenanya dijelaskan dalam bagian mukaddimah konvensi tersebut bahwa “anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahiran” dengan kata lain, definisi tersebut berlaku semenjak anak masih dalam kandungan hingga mereka mampu mencapai kematangan mental, sosial dan fisiknya. Seperti pula telah diakui oleh departemen kehakiman dan hak asasi manusia yang menyatakan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 52 ayat 1 dan 2: “hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum sejak anak dalam kandungan11. Hal di atas akan sangat
11
Brosur Perlindungan Anak di Mata Hukum dan Hak Asasi Manusia, Keluaran Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, Direktorat Jendral Perlindungan HAM.
terbantu untuk dipahami bersama, bila ditunjang dengan adanya pemaparan lanjutan tentang prinsip-prinsip umum yang mendasari lahir, kemudian dijalankannya dengan baik. Anak juga membutuhkan kesejahteraan secara mendasar, yakni hak pendidikan, antara lain mendapat pengasuhan, bimbingan, pendidikan dasar dan pembinaan kehidupan agama dan sosial lainnya. Pendidikan merupakan salah satu bekal yang wajib dipunyai oleh setiap orang supaya mampu menjalankan fungsi kehidupannya sesuai dengan harkat dan martabat manusia yang berbudaya, tidak ada satu sisipun dari kehidupan yang tidak menerima pengaruh dari pendidikan yang diperoleh oleh seseorang. Ini berarti bahwa pendidikan merupakan modal terpenting dari kehidupan seseorang. Indonesia termasuk negara berkembang yang kondisi pendidikannya mengalami kesenjangan yang luar biasa, sebagaimana kondisi kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin. Menurut data direktur jendral pendidikan luar sekolah bahwa terdapat sekitar 700.000 anak usia sekolah dasar yang belum bersekolah.12 Anak penyandang cacat sebagai warga negara juga mempunyai persamaan, kedudukan, hak dan kewajiban dalam segala bidang tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan sebagai hak konstitusional juga merupakan hak asasi manusia bagi setiap warga negara. Dalam pasal 31 UUD 1945 (perubahan 12
Kompas, 6 Mei 2004.
keempat tahun 2002) ditetapkan bahwa: “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar yang dibiayai oleh pemerintah”. Untuk mewujudkan hak atas pendidikan dasar ini juga ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dari belanja daerah. Hak atas pendidikan menjadi hak asasi manusia juga diatur dalam konvensi hak anak (convention on the righs of child) pasal 28 ayat (1) konvensi hak anak ini menyatakan bahwa negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dan untuk mewujudkan hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama, khususnya membuat pendidikan dasar sebagai suatu kewajiban dan menyediakannya secara gratis untuk semua serta mendorong pembangunan bermacam-macam bentuk pendidikan lanjutan. Salah satu masalah sosial yang dihadapi di lndonesia adalah masalah penyandang cacat (difabel). Karena sampai saat ini, pemerintah belum memiliki kebijakan yang dinilai berpihak dan melindungi nasib para penyandang cacat. Lemahnya Undang-Undang yang ada, menyebabkan hak para penyandang cacat untuk mendapat pendidikan tidak terlindungi, sehingga tak bisa dipungkiri, diskriminasi di berbagai bidang pendidikan sebagaimana yang masih banyak dialami oleh para penyandang cacat. Hal ini ditambah lagi, stigma yang melekat di masyarakat bahwa para penyandang cacat hanya orang-orang yang tidak
berguna dan hanya menjadi beban masyarakat. Sebenarnya, para penyandang cacat juga memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara lainnya di lndonesia khususnya di hadapan hukum dan juga di bidang lainnya. Selanjutnya inti yang menjadi persoalan peneliti adalah masalah hak perlindungan anak, khususnya hak pendidikan anak cacat mental. Namun kita harus mengawasi bagaimana perangkat hukum melalui peraturan perundangundangan perlindungan anak dapat berjalan sesuai pengertian hukum yakni bertujuan menertibkan masyarakat tanpa harus mencederai esensi perubahan pradigma pasca diberlakukannya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana terbentuknya komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yang kedudukannya setingkat dengan komisi negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Dalam pelaksanaannya sebagaimana amanah Undang-Undang perlindungan anak dan perspektif hukum Islam, tentu banyak faktor yang mempengaruhi, baik faktor penunjang dan penghambat. Dengan demikian dalam pemecahan masalah ini, perlu adanya penelitian ilmiah. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mamandang masalah ini penting untuk dikaji dalam skripsi yang berjudul: “HAK PENDIDIKAN ANAK CACAT MENTAL
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Agar pembatasan dan permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar belakang dari uraian di atas, maka penulis akan memberikan pembatasan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada persoalan perlindungan hak pendidikan terhadap anak cacat mental. Untuk lebih memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba untuk merumuskan masalah ini sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ? 2. Bagaimanakah konsep perlindungan pendidikan anak cacat mental menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ? 3. Bagaimana upaya komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) dalam meningkatkan perlindungan anak ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terhadap perlindungan anak cacat mental masalah hak pendidikan
2. Untuk mengetahui bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penegakkan perlindungan anak pada komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) guna menunjang pelayanan perlindungan anak pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 3. Manfaat akademis sebagai kesempatan kepada peneliti untuk menerapkan teori maupun prinsip-prinsip hukum Islam dan hukum positif yang telah dipelajari dalam perkuliahan ke dalam praktek yang sebenarnya. Dan berdampak positif bagi perkembangan keilmuan maupun para peneliti selanjutnya.
D. Metode Penelitian Berdasarkan jenis metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis deskriktif yang menggambarkan data informasi berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan13. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yakni penelitian yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari fenomena yang diteliti atau dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya.14Serta metode komparatif, yaitu metode yang mengkomparasikan antara hukum Islam
13
Suharsimi Ari Kunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), Cet Ke-
II, h. 309.
14
2001), h.3.
Lexi.J.Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
dan hukum positif yang berlaku, bagaimana kedua-duanya menyikapi masalah yang sedang diteliti.
1.
Sumber Data Sumber data yang sebagai salah satu bagian penelitian yang merupakan
salah satu bagian terpenting. Pencarian data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Jenis sumber data sekunder dapat berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) baik telah dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, antara lain mencakup dokumen-dokumen asli, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.
2.
Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang lengkap dan objektif, maka dalam rangka
penulisan skripsi ini penulis melakukan beberapa langkah teknik pengumpulan data berupa studi dokumenter, yakni pengumpulan data dengan menelaah beberapa literatur dan referensi seperti buku-buku ilmiah, artikel dan penulisan ilmiah pendukung lainnya.
3. Metode Analisis Data Metode analisa data yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Alasan penggunaan metode ini ialah, karena data kualitatif berdasarkan mutu dari data yang didapat, oleh karenanya dapat mengolah dari berbagai teknik pengumpulan data. Penggunaan metode ini menyajikan suatu kesimpulan dalam bentuk uraian mengenai kualitas data. Proses analisis data atau pengolahan data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari fakta-fakta pengamatan di lapangan, wawancara dan dokumen yang tersedia. Kemudian reduksi data dengan membuat abstraksi. Abstraksi atau penyederhanaan sebagai usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Tahap selanjutnya ialah pemeriksaan keabsahan sebelum data disajikan. Penyajian data yang merupakan kesimpulan tersusun yang akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari pemahaman dan pengertiannya. Sedangkan tekhnis penulisan skripsi ini, penulis menggunakan bimbingan skripsi dengan berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi yang di keluarkan oleh fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta 2007.15
15
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007)
E. Review Studi Terdahulu Dari beberapa literatur laporan penelitian, buku, maupun skripsi di fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mengambilnya untuk menjadikan sebuah perbandingan mengenai kasus-kasus perihal perlindungan anak. Adapun judul dari laporan penelitian, buku, maupun skripsi itu adalah : 1. "Pengkajian Masalah Kekerasan Terhadap Anak Corporal Punishment di Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Studi Kasus di Jawa Timur)". Laporan Penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jakarta 2006. Penelitian tersebut membahas tentang kekerasan terhadap anak dengan istilah corporal punishment di dalam dunia pendidikan, diantaranya pengertian dari corporal punishment, bentuk-berntuk corporal punishment, faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya corporal punishment serta akibat dari corporal punishment. Yang dimaksud dalam Corporal Punishment adalah tindakan pembinaan atau hukuman yang sering dilakukan orang tua, guru atau pengasuh atau perawat anak yang dapat menimbulkan rasa kesakitan atau tidak menyenangkan bagi anak. Tindakan tersebut umumnya terjadi dalam hukuman atau penyiksaan. Sedangkan pengertian corporal punishment dalam penelitian tersebut adalah hukuman yang berlebihan yang diberikan kepada santri oleh kiai, pembina dan pengurus pondok pesantren untuk mendidik disiplin atau agar santri tidak mengulang kembali hal yang dianggap salah oleh pihak pondok pesantren
2. "Evaluasi Tentang Implementasi Hak Pendidikan Dasar Anak Penyandang Cacat" di terbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM. Buku
tersebut
menjelaskan
peran
pemerintah
dalam
pengimplementasikan hak pendidikan dasar anak bagi anak yang menyandang cacat. Kondisi hak pendidikan dasar anak yang menyandang cacat serta gambaran umum anak yang menyandang cacat di provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Jambi. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah : a) Pada lokasi kajian peraturan daerah yang mengatur tentang pendidikan dasar belum pernah diterbitkan, sehingga pemberdayaan kebijakan pemerintah dalam pemenuhan dasar pendidikan bagi anak yang menyandang cacat cenderung belum optimal b) Implementasi hak pendidikan dasar anak penyandang cacat yang diamanatkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 3, 5, 11 dan 32 cenderung telah didayagunakan, namun diakui bahwa masih diperlukan perbaikan di segala aspek, agar pemenuhan hak pendidikan dasar anak yang menyandang cacat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar
3. "Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Tentang Perlindungan Anak" yang ditulis oleh Muhyiddin Jurusan Perbandingan Hukum tahun 2003. Skripsi tersebut membahas kreteria dan status hukum anak menurut hukum Islam dan hukum Positif, kewajiban orang tua selaku pelaksana utama perlindungan anak, hak-hak anak dalam hukum Islam dan hukum
Positif serta perbandingan persepsi mengenai perlindungan anak menurut hukum Islam dan hukum Positif. Kesimpulan dari skripsi tersebut adalah : a) Pengertian dan kreteria status hukum anak menurut hukum Islam dan hukum Positif pada intinya sama, yaitu anak yang telah dewasa, anak yang telah matang sikap mentalnya dan juga fisiknya b) Segi persamaan dan berbedaan status mereka, mengakibatkan adanya berbedaan dalam mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak. Adapun anak sah mendapatkan semua hak-hak mereka sebagai anak, baik dari bapak atau ibu. Sedangkan anak di luar nikah atau anak yang tidak sah, tidak mendapatkan hak sebagaimana anak sah, dia hanya mendapatkan hak dari ibunya saja. c) Kewajiban orang tua selaku pelaksana utama perlindungan atas hak-hak anak, menurut hukum Islam dan hukum Positif pada intinya sama, yaitu pemenuhan terhadap hak-hak anak yang paling pokok dan mendasar agar anak kelak tumbuh dan berkembang secara wajar, sehat, cerdas, mandiri dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
Adapun perbedaan yang mendasar dari skripsi ini adalah perlindungan hak pendidikan bagi anak cacat mental dalam perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
F. Sistematika Penelitian Adapun sistematika yang akan dijelaskan oleh penulis adalah dengan penulisan yang perinciannya sebagai berikut : Bab pertama, merupakan bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu serta Sistematika Penulisan. Bab kedua, menguraikan Tinjauan Umum Mengenai Perlindungan Anak dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diantaranya: Pengertian, Sumber Hukum dan Ruang Lingkup Perlindungan Anak dan Tentang Gambaran Umum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang meliputi: Pengertian, Dasar Hukum, Fungsi, Tugas Wewenang beserta Data Kasus Penerimaan Pengaduan Perlindungan Anak Indonesia. Bab ketiga, menguraikan tentang Perbandingan Persepsi Mengenai Konsep Perlindungan Anak Cacat Mental dalam Dunia Pendidikan Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Metode Pendidikan Anak Cacat Mental, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Perlindungan Anak Cacat Mental dalam Dunia Pendidikan dan Analisa Penulis Terhadap Perlindungan Anak Cacat Mental, khususnya dalam dunia pendidikan. Bab keempat, merupakan Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran-saran, serta dilengkapi dengan Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran yang dianggap penting.
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Pengertian, Sumber Hukum Dan Ruang Lingkup Perlindungan Anak 1. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam Pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas, anak dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepentingan, baik agama, hukum, sosial, dari masing-masing bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda, dalam hukum Islam pengertian anak diartikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dhaif dan mempunyai kedudukan yang mulia16yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada wewenang kehendak Allah SWT. Secara rasional seorang anak berbentuk dari unsur gaib yang transcendental dari proses ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur ilmiah yang di ambil dari nilai material dan keyakinan. Dalam ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa pengertian anak menunjukan adanya bapak dan ibu, dalam artian, bahwa manusia kecil yang lahir dari seorang rahim seorang ibu, baik laki-laki maupun perempuan atau khunsa sebagai hasil dari persetubuhan antara dua lawan jenis. Dalam Islam memandang anak sebagai makhluk yang dhaif dan suci tidak ada batasan umur yang jelas bahwa manusia itu dikatagorikan pada usia sekian,
16
Wadog, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 6.
seperti dalam konvensi hak-hak anak memandang anak sebagai manusia yang belum berumur 18 tahun (sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) dan UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 1 ayat (1) kita membatasi anak pada umur 21 tahun dan belum pernah menikah. Akan tetapi dalam Islam pada masalah pengasuhan anak yaitu hadhonah, batas usia anak jelas, walaupun ulama berbeda pendapat, seperti imam Malik memandang bahwa masa batasan asuhan anak jika laki-laki sampai baligh dan perempuan sampai dia menikah dan imam Syafi’i mengatakan tidak ada batasan dalam pengasuhan anak, sampai anak itu bisa memilih apakah tinggal bersama ibunya atau bapaknya.
2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pembentukan
Undang-Undang
Nomor
23
tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara.17 Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak perlu diketahui apa pengertian tentang perlindungan anak.
17
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Pelatihan Aparat Penegak Hukum Tentang Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2006.
Perlindungan anak adalah: “segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. (Pasal 1 butir 2). Sedangkan yang dimaksud dengan anak adalah: “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. (Pasal 1 butir 1), untuk dapat diperbandingkan dengan Undang-Undang lain tentang pengertian anak : a. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (pasal 1 ayat 5) Anak adalah setiap manusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya b. UU No. 4 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (pasal 1 ayat 1) Anak adalah orang yang dalam berperkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. c. Konvensi hak anak (CRC) pasal 1 Yang dimaksud anak dalam konvensi ini adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak di tentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal d. UU No. 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak (pasal 1 ayat 2) Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pengertian anak menurut konvensi hak-hak anak atau sebagaimana juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ialah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, namun diberikan pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundang-undangan suatu negara yang sudah diratifikasi konvensi hak-hak anak, sebagai upaya tindak
lanjut dari sebuah negara dalam melindungi hak-hak anak. Adapun bayi dalam kandungan dalam hal ini konvensi hak-hak anak ada dua pendapat ada yang mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibunya juga termasuk dalam katagori anak, seperti yang dimaksud konvensi hak-hak anak dan pendapat yang kedua menyatakan bahwa pengertian anak sejak lahir hingga terhitung belum berumur 18 tahun, sedangkan istilah remaja yang sering digunakan dalam tatanan sosial yang sering kita jumpai atau bahasa sehari-hari dalam konteks konvensi hak anak tidak dipakai.18Dalam artian konvensi hak-hak anak tidak mengenal istilah remaja yang ada istilah anak yang berarti semua manusia yang berumur di bawah 18 tahun.
B. Sumber Hukum Perlindungan Anak 1. Sumber Hukum Perlindungan Anak Dalam Islam Islam memandang pengertian anak sebagai sesuatu yang mempunyai kedudukan mulia atau istimewa, oleh karena itu seseorang anak dalam pengertian Islam diperlakukan secara manusia, diberi pendidikan, keterampilan dan diajarkan akhlak yang mulia, agar anak tersebut kelak akan bertanggung jawab dalam mensosialisasikan diri dari masa depan yang kondusif. Masalah perlindungan anak dalam Islam ditegaskan anak adalah tanggungan orang tuanya untuk menjaga dan melindunginya.
18
Ima Susilowati, dkk, Konvensi Hak-Hak Anak, (Yogyakarta: Sabahan Remaja, tth), hal. 2.
Tanggung jawab orang tua terhadap anaknya adalah tanggung jawab syariat Islam yang harus diemban dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan bangsa. Dan Islam juga meletakan tanggung jawab tersebut pada dua aspek, yaitu duniawiyah yang meliputi kesehatan dan keselamatan di dunia dan aspek ukhrowiyah yang meliputi aspek pengampunan dan pahala dari tanggung jawab dan pelaksanaannya. Anak adalah titipan Allah SWT yang harus dijaga dan dipelihara, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu baik dan buruk, karena anak adalah pewaris bangsa yang membawa bangsa ini kedepan ini lebih baik dan buruknya. Pengertian ini memberikan hak atau melahirkan hak anak yang harus diakui, diyakini dan diamalkan sebagai implimentasi amalan yang diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Perlindungan anak dalam Islam secara umum sudah ditegaskan dalam Al-Qur’an, ketentuan tersebut ditegaskan dalam surat Al-Isra (17) : 31
.
⌧ (٣١ :١ ٧ / ) اﻹﺳﺮ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. Al-Isra / 17 : 31) Dalam surat Al-An’am ayat 140, juga dijelaskan :
☺
⌧
(١٤٠: ٦ / )اﻷ ﻧﻌﺎ م. Artinya: “Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”. (QS. Al-An’am / 6 : 140) Dalam hal perlindungan anak yang mengacu pada hukum Islam yang digali dari beberapa sumber hukum Islam, yaitu dalam kompilasi hukum Islam (KHI). Dalam KHI dikatakan pada BAB XIII. Tentang hak anak dan kewajiban suami isteri bagian ke satu pasal 77 poin 3 bahwa, suami isteri memikul kewajiban untuk menjaga dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya19. Dalam KHI juga diatur tentang pemeliharaan anak ketika terjadi perceraian agar anak itu hidupnya tidak terlantar hak ini diatur dalam BAB XIV dan BAB XV tentang pemeliharaan anak dan perwalian. Di atas telah disebutkan, bahwa aspek hukum perlindungan anak menurut hukum Islam, bukan saja berdimensi dunia yang menyangkut hubungan antara manusia, tetapi juga mempunyai aspek ukhrowi yaitu yang menyangkut hubungan manusia dengan tuhannya yang berkenaan bagaimana cara manusia menyembah tuhannya selaku sang pencipta. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Thaha ayat 132 : 19
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal.100.
( ١٣ ٢ : ٢٠/ )ﻃﻪ. Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”. (QS. Thaha / 20 : 132)
2. Sumber Hukum Perlindungan Anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Konvensi hak-hak anak yang telah disahkan oleh majlis umum perserikatan bagsa-bangsa pada tahun 1989 merupakan perjanjian Internasional yang bersifat terbuka, artinya konvensi hak-hak anak terbuka untuk diratifikasi oleh negara lain yang belum menjadi negara peserta, sampai saat ini konvensi hak-hak anak telah diratifikasi oleh 182 orang. Berdasarkan kepada jumlah negara yang meratifikasi, maka konvensi hak-hak anak merupakan perjanjian Internasioanal yang multilateral, pada umumnya perjanjian Internasional yang bersifat terbuka adalah juga perjanjian Internasional multilateral, selain itu sebagaimana lazimnya perjanjian terbuka untuk seluruh negara anggota perserikatan
bangsa-bangsa
merupakan
perjanjian
Internasional
yang
membentuk hukum (law making treaties) kepada seluruh anggota yang meratifikasinya, oleh karena itu law making treaties merupakan perjanjian
Internasional yang membentuk kaidah hukum tertentu bagi tindakan negara. Secara singkat law making treaties mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :20 1) Mengadakan aturan-aturan baru untuk mengatur tindakan-tindakan Internasional yang akan datang 2) Menguatkan, menentukan batasan atau penghapusan aturan-aturan hukum kebiasaan konvensional yang ada
Dalam hal ini konvensi hak-hak anak yang berisi kaidah hukum mengenai pengakuan akan hak-hak anak (children right) dan kewajiban-kewajiban negara peserta untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak, kewajiban ini mengikat segenap anggota perserikatan bangsa-bangsa atau wilayah negara peserta yang telah mengesahkan konvensi hak-hak anak tersebut, serta bagaimana kewajiban prosedural
untuk
melaksanakan
konvensi
hak-hak
anak
yang
harus
dilaksanakan setiap negara peserta. Dengan demikian dapat diartikan, bahwa konvensi hak-hak anak telah mengikat secara hukum negara peserta yang telah diratifikasi konvensi hak anak. Oleh karena itu, negara peserta berkewajiban hukum untuk melaksanakan konvensi hak-hak anak Esensi dari suatu perjanjian Internasional yang telah diikuti oleh suatu negara menimbulkan kewajiban-kewajiban International yang berasal dari hukum perjanjian Internasional, suatu perjanjian Internasional merupakan 20
M.Joni, Zulchaina Tamana, Aspek Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 4.
jelmaan dari kesadaran jiwa, harga diri suatu bangsa untuk menaati kewajiban Internasional yang timbul dari perjanjian Internasional. Dalam konvensi hakhak anak secara tegas mengatur dalam konvensi hak-hak anak, pasal 46 dan 48 konvensi hak-hak anak. Dikemukakan secara tegas bahwa, konvensi hak-hak anak merupakan perjanjian Internasional yang bersifat terbuka dan tetap akan bersifat terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi. Secara yuridis, peratifikasi konvensi hak-hak anak menjadi faktor yang membentuk dan mengemban hukum nasional dari negara yang meratifikasi.21 Komitmen pemerintah Indonesia terhadap upaya perlindungan hak-hak anak dituangkan dalam surat keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dalam bentuk ratifikasi terhadap KHA (konvensi hak anak). Keberadaan Keppres tersebut, dianggap belum cukup, apalagi bekerja untuk melindungi hak-hak anak, jika tidak didasari oleh peraturan perundang-undangan yang jelas dan pasti. Ketentuan hukum yang mengatur tentang ketentuan, norma dan prosedur serta sanksi terhadap pelaku pelanggaran hak-hak anak dirasa semakin diperlukan sejalan dengan semakin banyaknya kasus-kasus kekerasan, eksploitasi dan perdagangan anak di seluruh tanah air. Oleh karena itu, melalui proses yang panjang maka disahkanlah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.22
21
Ibid., h. 28. Ansori Ibnu, Modul Guru Lintas Agama Berbasis HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2007. 22
Sebagaimana Undang-Undang pada umumnya, Undang-Undang tentang perlindungan anak ini diperlukan guna memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak anak, mengingat : 1) Anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang maha Esa, yang dalam dirinya melekat dan martabat sebagai manusia seutuhnya 2) Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan 3) Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial dan mempunyai akhlak yang mulia 4) Pada kenyataan masih banyak anak yang : a) Belum terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi b) Masih hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar, apalagi memadai Selain itu, Undang-Undang tentang perlindungan anak juga diperlukan untuk menegaskan adanya kewajiban bagi negara, pemerintah, keluarga, orang tua dan anak mengingat : 1) Kewajiban memberikan perlindungan anak walaupun sudah didasari merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan landasan hukum secara khusus disamping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 atau dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain, agar dapat lebih menjamin pelaksanaannya secara komprehensif dan tepat penanganan serta sasarannya, yang harus dilakukan oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua anak 2) Perlu adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak dalam kapasitas mendidik anak, oleh karena itu, disamping dilindungi hak-haknya, agar tidak menjadi salah asuh, salah arah, maka perlu ditunjukan juga kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh anak.23
23
UNICEF, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2003.
C. Ruang Lingkup Perlindungan Anak 1. Ruang Lingkup Perlindungan Anak Dalam Islam Terdapat empat prinsip penyelenggaraan perlindungan anak, yaitu pertama non-diskriminasi (non discrimination), kedua kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child), ketiga hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life, survival and development) dan keempat penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child). Prinsip tersebut dirumuskan dalam convention on the righat of the child (CRC) artikel 2, 3, 6 dan 12, yang kemudian diadopsi ke dalam pasal 2 UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebenarnya dalam pandangan Islam, Prinsip perlindungan anak tidak sebatas empat prinsip tersebut, tapi masih banyak prinsip-prinsip lainnya yang dapat digali dari ajaran Islam. Namun untuk kepentingan analisa perbandingan terhadap UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, penulis akan membatasi pembahasan pada empat prinsip tersebut.
A. Non-Diskriminasi Prinsip non diskriminasi (non-discrimination) dalam perlindungan anak adalah perlakuan yang tidak membeda-bedakan dalam penyelenggaraan perlindungan anak atas dasar perbedaan asal-usul, suku, agama, ras, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Prinsip ini didasarkan pada dua hal, pertama : faktor fitrah manusia, bahwa hakikatnya anak dilahirkan sama hak asasinya
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Perbedaan tersebut terjadi semata-mata karena
konstruk
sosial
masyarakat
yang
mewarnai
perjalanan
dan
perkembangan anak, kedua: faktor sejarah, bahwa pengalaman peradaban manusia baik di Barat maupun di Timur banyak di latar belakangi oleh kontruk dan praktek diskriminasi yang bias gender. Misalnya, pada zaman jahiliyyah, anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat secara umum. Al-Qur’an merekam pandangan dan praktek jahiliyyah mulai dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan berita kelahiran anak perempuan,24sampai kedua yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi perempuan.25 Terhadap hal ini Al-Qur’an mengecam keras. Kecaman itu antara lain dimaksudkan untuk mengantar mereka agar menyadari bahwa kedua jenis kelamin anak masing-masing memiliki keistimewaan26dan tidaklah yang satu lebih utama dari yang lain.27 Islam sangat tegas dan konsisten dalam menerapkan prinsip nondiskriminasi dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang ditandai dengan seruan untuk berlaku adil pada anak. Berikut ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat manusia untuk berbuat adil terhadap anak-anaknya :
(٨ : ٥/ )اﻟﻤﺎ ﺋد ة. 24
QS. An-Nahl: 58. QS. At-Takwir: 9. 26 QS. An-Nissa: 32. 27 QS. Al-Imron: 21 Tentang Asal Kejadian Laki-Laki dan Perempuan; QS.An-Nissa’: 21 dalam Konteks Hubungan Suami Isteri; QS.At-Taubah: 71 dalam Konteks Kegiatan Sosial; QS.AlBaqarah: 187 Tentang Timbal Balik atau Kemitraan Antara Suami Isteri. 25
Artinya: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. AlMaidah / 5 : 8) Di dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
☺ (١٢٧ :٤/ )اﻟﻨﺴﺎء.......... Artinya: “Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil.........”(QS. An-Nissa / 4 : 127) Perintah untuk berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak atas jenis kelamin juga dijelaskan dalam beberapa hadist, diantaranya :
ﻦ اَ ْﺑﻨَﺎءِ ُآ ْﻢ َ ﻋ ِﺪُﻟﻮْا َﺑ ْﻴ ْ ِا,ﻦ اَ ْﺑﻨَﺎءِ ُآ ْﻢ َ ﻋ ِﺪُﻟﻮْا َﺑ ْﻴ ْ ِا,ﻦ َا ْﺑﻨَﺎ ِء ُآ ْﻢ َ ﻋﺪُِﻟﻮْاﺑَ ْﻴ ْ ِا Artinya: “Berbuat adillah diantara anak-anakmu, berbuat adillah diantara anakanakmu, berbuat adillah diantara anak-anakmu”. (HR. Ashabus Sunan, Imam Ahmah dan Ibnu Hibban). Perintah rasulullah SAW kepada orang tua untuk berbuat adil terhadap anak-anaknya dilakukan dalam semua pemberian, baik berupa pemberian harta (materi) maupun kasih sayang (immateri). Berikut perintah nabi Muhammad SAW agar orang tua berbuat adil dalam pemberian (materi) terhadap para anakanaknya. Rasulullah SAW bersabda : 28
.ﺴﺎء َ ﺖ اﻟ ﱢﻨ َ ﻀ ْﻠ َ ﺣ ًﺪ اَﻟ َﻔ َ ﻼ َا ًﻀ ِ ﺖ ُﻣ ْﻔ َ ﻄ ﱠﻴ ِﺔ َوَﻟ ْﻮ ُآ ْﻨ ِ ﻻ َد ُآ ْﻢ ِﻓﻰ اﻟ َﻌ َ ﻦ َا ْو َ ﺳﺎ َو ْوا َﺑ ْﻴ َ
Artinya: “Samakanlah antara anak-anakmu dalam pemberian (termasuk pemberian pendidikan), jika kamu hendak melebihkan salah seorang diantara mereka, maka lebihkanlah pemberian itu pada anak-anak perempuan”. (HR.Thabrani) Dalam hal pemberian kasih sayang (immateri), nabi Muhammad juga sangat menganjurkan kepada orang tua agar berlaku adil sebagaimana diriwayatkan oleh Anas, bahwa seorang laki-laki berada di sisi rasulullah SAW 28
Sayyid Ahmad, Mukhtamar Al-Hadist An-Nabawiyyah, Darul Kitab Al-Islami 1999, h. 89.
kemudian
datanglah
seorang
anak
laki-laki,
lalu
ia
mencium
dan
mendudukannya di atas pangkuannya. Setelah itu datanglah puterinya, tidak di pangku sebagaimana anak laki-lakinya, hanya di dudukkan di depan Rasulullah SAW. Atas perintah itu rasulullah SAW bersabda : 29
ﺖ ﺑَ ْﻴﻨَ ُﻬﻤَﺎ َ ﺳ َﺆ ْﻳ َ َ اﻻ Artinya: “Mengapa engkau tidak menyamakan keduanya ?”. Hadist ini menunjukan bahwa perbuatan non-diskriminatif yang harus ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak adalah adil secara keseluruhan. Perbuatan adil harus ditunjukkan dalam bentuk pemberian yang dapat dilihat oleh mata atau pemberian yang tidak dapat dilihat oleh mata seperti perwujudan kasih sayang. Apabila di dalam masyarakat muslim masih terdapat orang tua yang memandang anak wanita lebih rendah dari pada anak laki-laki, maka hal ini tentu disebabkan oleh lemahnya iman dan rapuhnya keyakinan. Disamping itu juga disebabkan oleh lingkungan sosial yang merusak yang diserap dari kebiasaan jahiliyyah atau tradisi sosial tercela. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
⌧ ☺ ( ٥٨ -٥٩ : ١٦ / )اﻟﻨﺤﻞ.
☺
Artinya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia 29
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h. 25.
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. (QS. An-Nahl / 16 : 58-59) Perlakuan diskriminatif terhadap anak dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan kejiwaannya, yaitu muncul penyakit kejiwaan seperti rendah diri dan hasud. Jika perlakuan tersebut berlangsung terus menerus membuat anak agresif, misalnya suka bertengkar, melukai, bahkan membunuh. Peristiwa pembunuhan Yusuf oleh saudaranya sendiri dapat dijadikan contoh. Dalam peristiwa ini disebutkan bahwa Bunyamin dan saudara-saudara yang lainya makar pada Yusuf, yaitu memasukkan Yusuf ke dalam sumur semata-mata karena saudaranya mengalami perlakuan diskriminatif dari ayahnya nabi Ya’kub, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an :
( ٨ : ١٢ / )ﻳﻮ ﺳﻒ. Artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, Padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata”. (QS. Yusuf / 12 : 8) Belajar dari pengalaman tersebut dapatlah dikatakan bahwa para orang tua, wali atau siapa saja yang diberi mandat untuk memelihara dan mendidik anak wajib menerapkan prinsip non-diskriminasi dan persamaan di dalam pemberian,
kecintaan, perlakuan kasih sayang kepada anak-anak, tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan lainya, antara pria dan wanita. Oleh karena itu dalam pandangan legislasi ditandaskan bahwa perilaku diskriminatif terhadap anak merupakan tindakan tidak saja bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Tentu pasti, bahwa orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara sebagai penyelenggara perlindungan anak memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk tidak berlaku diskriminatif dalam bentuk apapun. Karena, pada hakikatnya keistimewaan manusia satu sama lainnya hanya dapat dibenarkan sejauh menyangkut tingkat pengakuannya atas keesaan Tuhan semata. Perwujudan atas pengakuan ini dapat terlihat pada sejauh mana tingkat pengabdian manusia dan ketaqwaannya kepada Allah SWT, dalam arti keunggulan berdasarkan ukuran fisikal semata tidak berharga di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda bahwa “sesungguhnya Allah SWT tidak melihat fisik dan rupamu, tetapi melihat hati dan amal perbuatanmu” (HR. Muslim).30
B. Kepentingan Terbaik Bagi Anak (the best interests of the child) Prinsip kepentingan terbaik anak berarti semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Dalam sejarah Islam, baik pada masa rasulullah SAW 30
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h. 21.
maupun Khulafaturrosyidin terdapat banyak peristiwa yang menggambarkan kepemihakkan Islam terhadap kepentingan terbaik anak, baik dalam keadaan ibadah maupun dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Betapa pentingnya prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam Islam, dalam keadaan ibadahpun prinsip tersebut tetap diterapkan. Hal ini dapat digambarkan ketika nabi membiarkan cucunya menunggangi dirinya saat menjadi imam shalat, dan ketika menjadi khatib shalat Jum’at. Banyak hadits yang mengabadikan fakta dimaksud, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan yang lainya dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya r.a bahwa berkata :31
ﻋَﻠ ْﻴ ُﻬ َﻤﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻬ َﻤﺎ َو َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻦ َر ُ ﺴ ْﻴ َﺤ ُ ﻦ َواﻟ ُﺴ َﺤ َ ﺠﺎ َء اﻟ َ ﺐ َﻓ ُ ﻄ ًﺨ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﻲ ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ُ َرَا ْﻳ َ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ا َ ﻲ ُ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ َ ن َﻓ َﻨ ﱠﺰ ِ ﺸ َﺮا َ ن َو َﻳ ْﻌ ِ ﺸ َﻴﺎ ِ ن َو َﻳ ْﻤ ِ ﺤ ْﻤ َﺮا َﺿ ْ ن ِا ِ ﺼﺎ َ َﻗ ِﻤ ْﻴ ﺿ َﻌ ُﻬ َﻤﺎ َ ﺤ َﻤَﻠ َﻬﺎ َو َو َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َوﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ .ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َ َﺑ ْﻴ Artinya: “Saya melihat rasulullah SAW sedang menyampaikan khotbah, maka datanglah Hasan dan Husein r.a mengenakan baju merah, berjalan lalu terjatuh. Kemudian rasullullah SAW turun dari mimbar, dan mengambil keduanya dan meletakan bersamanya”. Dalam hadits lainnya, Nasa’i dan Hakim meriwayatkan, ketika rasulullah SAW shalat mengimami para makmum, tiba-tiba datanglah Husain, dan langsung menunggangi pundak rasulullah SAW ketika beliau sujud sehingga beliau memperpanjang sujudnya, sampai-sampai para makmum mengira terjadi sesuatu. Setelah shalat selesai, berkatalah mereka, “engkau telah memanjangkan sujud,
31
Ibid,. h. 29.
wahai rasulullah, hingga kami mengira telah terjadi sesuatu”. Rasulullah SAW menjawab, “anakku (cucuku) telah menjadikan aku tunggangan, maka aku tidak suka mengganggu kesenangannya hingga ia puas”, Dalam Shahibain, dari Anas r.a rasulullah SAW bersabda :32
ﺻَﻠﺎ ِﺗﻰ )اى ﻲ َﻓ َﺎ ْء ُﺗ ْﻮ ُز ِﻓﻰ ﱠ ﺳ َﻤ ُﻊ ِﺑ ُﻜ َﻤﺎ اﻟﺼ ِﺒ ﱠ ْ ﻃﺎَﻟ َﺘ ُﻬ َﻤﺎ َﻓَﺎ َ ﻼ ِة َوَا َﻧﺎ ُا ِر ْﻳ ُﺪا َﺼ ﻞ ِﻓﻰ اﻟ ﱠ ُﺧ ُ ﻻ َء ْد َ ِا ﱢﻧﻲ .ﻦ ُﺑ ًﻜﺎ ِء ِﻩ ْ ﺟ ْﻮ ِد ُا ﱢﻣ ِﻪ ِﻣ ُ ﻦ ُو َﺸ ْ ﻋَﻠ ُﻢ َﻣ ْ ﺼ ُﺮ( ِﻣ ﱠﻤﺎ َا ِ ﺧ َﺘ ْ َا Artinya: “Sesungguhnya, ketika aku melakukan shalat (menjadi imam) dan aku bermaksud untuk memanjangkan bacaannya, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku segera memperpendek (bacaan) shalatku. Karena aku memahami perasaan ibunya (yang menjadi makmum) yang tentu terganggu oleh tangisannya”. Dalam peristiwa hukum dapat digambarkan dalam kasus wanita AlGhamadiyah. Ia datang pada nabi bahwa dirinya hamil dari hasil zina. Nabi berkata “pulanglah sampai engkau melahirkan”. Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada nabi dengan membawa bayinya. Nabi berkata “pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya”. Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada nabi bersama bayi, maka nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim. Setelah itu wanita tersebut dirajam (HR.Muslim). Contoh tersebut menunjukan bahwa betapa nabi mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak. Pada contoh yang pertama dapat dipahami bahwa perbuatan ibadah sekalipun tidak boleh mengalahkan kepentingan terbaik bagi anak. Pada contoh kedua memberi gambaran
penegak hukum harus tetap
dilaksanakan dengan tidak menafikan kepentingan terbaik bagi anak dengan cara 32
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h. 30.
memberi kesempatan pada si ibu memberikan hak yang layak bagi si anak, yaitu hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di dalam kandungan, hak dilahirkan dan hak mendapatkan ASI (air susu ibu). Meskipun si ibu melakukan perbuatan yang melanggar hukum, anak yang sedang dikandungnya tidak boleh dirugikan karena perbuatan salah sang ibu.33
C. Hak Hidup, Kelangsungan Dan Perkembangan Hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the right to life, survival and development) adalah bahwa orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara harus mengakui hak hidup yang melekat pada diri anak, dan menjamin hak-haknya atas kelangsungan hidup dan perkembangannya.34 Pertama, hak hidup. Dalam pandangan Islam bahwa hak hidup, keberlangsungan dan hak perkembangan adalah melekat pada setiap diri anak, dan mutlak adanya sebagai dasar untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan atas kehidupan mereka. Maka tidak mengherankan apabila Allah SWT mengecam keras orang-orang yang tidak menghargai hak asasi manusia. Kedua, menjamin kelangsungan hidup anak. Dalam Islam anak adalah anugerah dan amanah Allah SWT. Anak merupakan kekayaan bagi keluarga dan bangsa, yang memiliki fungsi strategis sebagai pemilik dan penerus
33
Ibid., h. 28. Lihat KHA pasal 6 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 34
generasi di masa yang akan datang. Sebagai rasa syukur pada Allah SWT, maka hak-hak anak untuk kelangsungan dan perkembangan hidupnya baik secara fisik maupun mental harus dipenuhi. Hak kelangsungan hidup anak dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan kasih sayang pada anak, memenuhi kebutuhan hak dasar anak. Ketiga, menjamin perkembangan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendidik anak. Dengan pendidikan anak dapat berkembang secara sempurna baik pemikiran, maupun sikap dan perilakunya. Pendidikan yang diberikan kepada anak merupakan pendidikan yang bersifat komprehensif, yaitu pendidikan yang diarahkan untuk mengembangkan kemampuan intelektual, mental dan spiritual.
D. Penghargaan Terhadap Pendapat Anak Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the view of the child), bahwa dalam setiap pengembalian keputusan yang menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak maka pendapat anak wajib dihormati dan dikembangkan.35Prinsip
ini
harus
diperhatikan
betul
oleh
segenap
penyelenggara perlindungan anak baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Hal ini tidak lain karena anak merupakan pelaksana dari keputusan yang akan diambil dan orang pertama yang akan merasakan dampak dari setiap pengambilan keputusan. Asumsinya anak lebih mengerti akan
35
Lihat KHA Pasal 12 (1) dan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
kebutuhan dan kemampuan dirinya. Muncul pertanyaan, bagaimana dengan anak yang belum mampu untuk mengambil keputusan sendiri ?, dalam hal ini orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pemahaman dan penjelasan kepada anak akan keputusan yang diambilnya dengan bahasa yang dimengerti oleh anak, dengan semua dampaknya baik negatif dan positif. Setelah itu keputusan terakhir berada di tangan anak. Dalam Islam, sikap menghargai pendapat anak telah diajarkan dan bahkan telah dipraktekkan pula oleh rasulullah SAW sebagaimana terlihat dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad r.a :36
ﻼ ُم َﻏ ُ ﻦ ُﻳ ْﻤ َﻨ ُﻪ ْﻋ َ ب ِﻣ ْﻨ ُﻪ َو َ ﺸ َﺮا َ ب َﻓ ٍ ﺸ َﺮا َ ﻲ ِﺑ َ ُا ِﺗ:ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ا َ ﷲ ُ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ِا ﱠ .ﻻ ِء َ ﻲ َه ُﺆ َﻄ ِﻋ َ ن ُا ْ ﻲ َا ْ ﻼ ِم َا َﺗﺎ ْء ُدِﻟ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ِﻟ ْﻠ َﻐ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ خ َﻓ َﻘﺎ ٌ ﺷ َﻴﺎ ْ ﺴﺎ ِر ِﻩ َا َ ﻦ َﻳ ْﻋ َ َو Artinya: “Rasulullah SAW diberi minum, dan beliau minum sebagian. Di sebelah kanannya duduk seorang anak, dan disebelah kirinya beberapa orang tua. Rasulullah SAW bersabda kepada anak itu, “apakah engkau mengizinkanku untuk memberi kepada mereka ?. Maka anak itu menjawab, “tidak, demi Allah, bagianku yang diberikan oleh engkau tidak akan saya berikan kepada siapapun”. Maka rasulullah SAW meletakkan minuman di tanggan anak itu. Dan dia adalah Abdullah bin Abbas”. (Bukhori dan Muslim) Apa yang di gambarkan dalam riwayat tersebut menunjukan bahwa ajaran Islam, pendapat anak sangat dihormati dan dihargai. Dan bahkan anak selalu dimotivasi untuk berani untuk mengemukakan pendapat. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab dalam suatu majlis pertemuan. Umar bertanya pada mereka : “Apa yang saudara ketahui tentang sebab turun surat
36
Ibid,. h. 39.
Al-Baqarah ayat 266”. Mereka menjawab : “Allah SWT yang lebih tahu”. lalu Umar marah dan terus mendorong agar diantara mereka ada yang menjawabnya secara logis. Lalu, salah satu dari sekian anak-anak, yaitu Ibn Abbas menjawab bahwa ayat itu menggambarkan seorang kaya yang beramal namun tidak memperoleh pahala dari Allah SWT karena setelah itu mereka berbuat maksiat. (HR.Bukhori dan Muslim) Dalam hadist yang lain, Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa : Umar r.a. pada masa kekhalifahannya mengundang aku, yang ketika itu belum mencapai usia dewasa, bersama pembesar-pembesar perang badar ke forum musyawarah. Dalam pertemuan itu terjadi diskusi mengenai makna firman Allah SWT tentang “kemenangan” yang tercantum dalam surat AlNashr. Sebagian mereka berpendapat bahwa itu mengandung maksud perintah untuk memuji dan meminta ampunan Allah SWT. Sedangkan yang lain diam, kemudian Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya bahwa itu adalah tanda ajal rasulullah. Lantas, Umar berkomentar bahwa pendapat Abbas adalah baru dan ia belum pernah mendengar sebelumnya. Dalam diskusi yang lain, yaitu soal kurma, Abdullah bin Ummar yang ketika itu belum dewasa dan tidak menyampaikan pendapat padahal pikirannya sama dengan pendapat rasulullah. Umar itu berkata kepada Abdullah :
.ﺮاﻟ ﱠﺘ َﻌ ِﻢ ُ ﺣ ْﻤ َ ﻲ َ ن ِﻟ ُ ن َﻳ ُﻜ ْﻮ ْ ﻦ ًا ْ ﻲ ِﻣ َ ﺟ ًﺮا ِﻟ ْ ن ُﻗ ْﻠ َﺘ َﻬﺎ َا ُ َﺗ ُﻜ ْﻮ
Artinya: “Seandainya kamu berkata akan lebih aku sukai daripada aku mempunyai beberapa unta hamil”.37 Ini menunjukan bagi kita bahwa Islam sangat menghargai pendapat anak, walaupun dalam forum orang dewasa. Hadits dan beberapa riwayat di atas memberikan teladan bagaimana orang-orang shaleh dulu mendidik anak-anak untuk bersikap berani mengemukakan pendapat, tidak penakut dan bergantung kepada orang lain, Untuk itu perlu membiasakan anak untuk bersikap berani, ikut menemani orang tuanya menghadiri majlis umum, didorong untuk berani berbicara di depan orang-orang besar, kalau perlu diajak bermusyawarah untuk memecahkan problem umum dan masalah ilmiah di berbagai forum. Latihan keberanian menyampaikan pendapatnya dalam suatu forum amat penting artinya agar anak kelak tidak minder dan penakut. Seluruh sikap berani untuk mengemukakan pendapat dapat menanamkan dan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran yang sangat teruji di dalam jiwa anak-anak, serta mendorong
mereka
untuk
mencapai
kesempurnaan
dan
membentuk
kepribadian, kematangan berpikir dan solidaritas sosial. Oleh karena itu, para orang tua sangat dianjurkan untuk menerapkan prinsip ini, supaya anak tumbuh dan terdidik diatas keterbukaan yang sempurna, keberanian dengan batas-batas kesopanan, kehormatan, toleransi dan mandiri.38
37
Shaqr Athiyah, Al-Usrah Ri’ayatil Islam (Al-Walid Wal Aqrabun ), Daar Al- Misriyati Lil Kitab. diterjemahkan oleh: Nashirul Haqq. Lc, dengan Judul: Berbakti dan Durhaka Kepada Orang Tua. (Jakarta: Pustaka Azzam 2002) 38 Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h.38.
2. Ruang Lingkup Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam CRC (child right convention) dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terumuskan empat prinsip perlindungan anak, yaitu : A. Non-discrimination (non diskriminasi) B. The best interest of child (kepentingan yang terbaik bagi anak) C. Right of survival, develop and participation (hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan) D. Recognition for free expression (penghargaan terhadap pendapat anak)
A. Non-discrimination (non diskriminasi) Yang dimaksud non-diskriminasi adalah penyelenggara perlindungan anak tanpa memandang etnis, agama, keyakinan politik dan pendapat-pendapat lain, kebangsaan, jenis kelamin, ekonomi (kekayaan, ketidakmampuan), keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan dari anak dalam status negara. Artinya, meski setiap manusia, tidak terkecuali anak, memiliki perbedaan satu sama lain, namun tidak berarti diperbolehkannya perbedaan penerimaan perlakuaan yang didasarkan oleh suku, agama, ras, antar golongan, pendapat, latar belakang orang tua, maupun hal lainya. Oleh karena itu, negara sudah sepantasnya menjadi pelindung utama, sekaligus menjamin terlindunginya semua anak dari segala bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh siapapun, seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat 2 CRC “negara-negara berdasarkan
peserta akan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya”. Dalam pasal 13 dan 77 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa perlindungan anak dari diskriminasi adalah hak yang dilindungi hukum dan bagi yang melanggar hak tersebut dipidana, khususnya dalam bidang pengasuhan anak. Dan jauh sebelum lahirnya UU ini, hak memperoleh perlindungan dari tindakan diskriminasi, khususnya dalam bidang bantuan dan pelayanan kesejahteraaan telah dikukuhkan dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.39
B. The Best Interest Of Child (kepentingan yang terbaik bagi anak) Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of child) adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1 CRC). Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, terdapat sejumlah pasal-pasal yang terkait erat dengan prinsip ini adalah pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) mengenai 39
Ansori Ibnu, Modul Pelatihan Guru Lintas Agama Berbasis HAM, hal, 32.
pemisahan anak terhadap orang tuanya, pasal 18 mengenai tanggung jawab peran orang tua, pasal 20 mengenai anak yang kehilangan lingkungan keluarganya, baik secara tetap maupun sementara. Pasal 21 mengenai adopsi, pasal 37 mengenai pembatasan dan kebebasan, pasal 40 ayat (2) mengenai jaminan terhadap anak yang dituduh melanggar hukum pidana.40
C. Right of survival, develop and participation (hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan) Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua (pasal 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Kelangsungan hidup serta perkembangan anak adalah sebuah konsep hidup anak yang sangat besar dan harus dipandang secara menyeluruh demi anak itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada permasalahan hidup sehari-hari yang menyangkut kehidupan anak. Seperti misalnya, memilih jalur pendidikan anak, yang biasanya seringkali menjadi keputusan sepihak orang tua atau wali anak yang sah, tanpa memandang keinginan atau bakat yang dimiliki oleh anak itu sendiri. Berangkat dari hal ini CRC memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti 40
Ibid., h. 35.
dinyatakan dalam pasal 6 ayat (1) negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (intherent right to life) serta ayat (2) “negara-negara
peserta
secara
maksimal
mungkin
akan
menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”. Lebih lanjut CRC memperhatikan masalah perkembangan fisik anak (pasal 27 paragraf 3 pasal (26) perkembangan mental, terutama menyangkut pendidikan (pasal 28-29) termasuk pendidikan bagi anak cacat (pasal 23) perkembangan moral dan spiritual (pasal 14) perkembangan sosial, menyangkut hak untuk memperoleh informasi, menyatakan pendapat dan berserikat (pasal 12, 13, 17) dan perkembangan anak secara budaya (pasal 30 dan 31).41
D. Recognition for free expression (penghargaan terhadap pendapat anak) Prinsip keempat dari prinsip dasar perlindungan anak adalah penghargaan terhadap pendapat anak. Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya (pasal 12 ayat 1 CRC dan penjelasan pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Lebih jauh dalam pasal 6 disebutkan prinsip tersebut dimaksudkan untuk memberi 41
Ansori Ibnu, Modul Pelatihan Guru Lintas Agama Berbasis HAM, hal, 37.
kebebasan kepada anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (kecerdasan intelektual) sesuai dengan tingkat usia anak. Namun yang perlu digaris bawahi, bahwa ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan kreatifitas dan intelektualitas tersebut masih tetap berada dalam bimbingan orang tuanya (penjelasan pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).42
E. Fungsi Dan Wewenang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)43 a. Pengertian KPAI adalah singkatan dari nama Komisi perlindungan anak Indonesia, yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tersebut disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan ditandatangani oleh presiden Indonesia Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan pasal 75 dari Undang-Undang tersebut, presiden menerbitkan Keppres Nomor 77 tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan mengangkat anggota KPAI seperti yang diatur dalam peraturan per UU-an tersebut.
42
Ibid., h. 41. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen Untuk Perlindungan Anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2005. 43
Nama KPAI dipilih karena nama komnas perlindungan anak, yang setara dengan nama Komnas HAM dan Komnas perempuan karena samasama dibentuk berdasarkan Undang-Undang atau keputusan presiden, telah lebih dahulu dipakai oleh LSM yang pembentukannya dilakukan melalui akta notaris. Ketika dalam pembahasan RUU perlindungan anak, antara pansus DPR dan wakil pemerintah disepakati untuk mencari dan menggunakan nama komisi perlindungan anak (KPAI), karena LSM tersebut tidak tersedia mengganti nama itu dengan nama lain. Pada saat itu sudah diperkirakan bahwa untuk memperkenalkan nama baru itu perlu pemikiran, waktu, strategi, usaha, tenaga dan biaya ekstra agar dapat dikenal dan dipahami perbedaan oleh masyarakat, yaitu mana yang komisi negara dan yang mana LSM. KPAI adalah komisi negara yang dibentuk berdasarkan amanat pasal 74, 75, 76, dari UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang disahkan pada tanggal 20 Oktober 2002. Pembentukan KPAI dilakukan melalui Keppres Nomor 77 tahun 2003.
b. Status Kedudukan KPAI Status KPAI sejajar dengan komisi-komisi negara lainnya, seperti komisi pemilihan umum (KPU), komisi pemberantasan korupsi (KPK), komisi nasional hak asasi manusia (Komnas HAM), komisi penyiaran Indonesia (KPI), komisi yudisial dan komisi persaingan usaha (KPPU). Ada
sedikit perbedaan
antara KPAI dengan komisi ombusdmen dan komisi
nasional perlindungan perempuan (Komnas Perempuan). Komisi-komisi tersebut hanya dibentuk berdasarkan keputusan presiden atas tuntutan keadaan, tetapi belum diamanatkan oleh suatu Undang-Undang. Namun demikian, komisi-komisi itu pun adalah komisi, bukan LSM. Sebagai komisi negara, KPAI bertugas untuk memberikan perlindungan anak dan bersifat independen agar terbebas dari pengaruh atau intervensi kepentingan lain di luar kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan dimaksud tercantum dengan jelas pada pasal 74 dari UU Perlindungan Anak. KPAI hanya berpikir, bekerja dan bertindak dengan mengutamakan pelaksanaan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” sejalan dengan kesepakatan dalam CRC 1989. Karena itu, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPAI dapat tidak seiring dan sejalan dengan berbagai pihak termasuk kebijakan eksekutif, legislatif atau yudikatif dalam membela kepentingan dan melindungi hak-hak anak. Status sebagai komisi negara yang independen, harus bebas dari intervensi kekuasaan dalam rangka pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak secara nasional atau daerah. Dengan demikian setiap anggota KPAI baik secara pribadi maupun kelompok memiliki resiko dalam melindungi hak-hak anak. Apalagi dalam budaya masyarakat Indonesia yang masih beranggapan bahwa urusan anak adalah bagian dari “privacy” (internal) keluarga yang tidak perlu melibatkan orang lain, apalagi KPAI, namun UU
perlindungan anak menolak pendapat tersebut sehingga KPAI memiliki kewenangan untuk melakukan perlindungan terhadap hak anak baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun publik. Untuk melancarkan pelaksanaan tugas tersebut, KPAI harus intensif melakukan sosialisasi, advokasi dan penyadaran masyarakat akan hak dan kewajiban anak yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh orang tua, keluarga masyarakat, pemerintah dan negara.
c. Tugas Pokok KPAI Dalam pasal 74 UU Perlindungan Anak dirumuskan “dalam rangka peningkatan penyelenggaraan perlindungan anak, maka dibentuk komisi perlindungan anak Indonesia yang bersifat independen”. Rumusan tersebut memberikan indikasi bahwa KPAI tidak menjadi penyelenggara langsung perlindungan anak, tetapi lebih berfungsi dalam “mengawal” dan “mengawasi” pelaksanaan perlindungan anak di setiap strata masyarakat. Pelaksanaan perlindungan yang dimaksud dalam rumusan di atas memiliki 2 dimensi, (a) melakukan sosialisasi dan advokasi guna menyadarkan semua pihak terhadap hak dan kewajiban anak dan (b) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan anak oleh berbagai pihak. Pelaksana pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak secara berjenjang dilakukan oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Negara dan pemerintah secara langsung atau tidak langsung wajib dan bertanggung jawab
dan memberikan pelayanan pemenuhan hak setiap warga negara termasuk upaya pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak. Tugas itu semakin terarah pada instansi fungsional yang berkaitan dengan pemberian pelayanan perawatan, pendidikan, kesejahteraan dan perlindungan anak. Tugas instansi tersebut perlu diawasi dengan seksama agar anak sebagai calon generasi masa depan bangsa, dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar. Selanjutnya pasal 76, menjelaskan tugas pokok KPAI yang berbunyi sebagai berikut : a) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi
dan
pengawasan
terhadap
penyelenggara
perlindungan anak b) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak Dari
rumusan
tersebut,
semakin
jelas
bahwa
KPAI
tidak
menyelenggarakan langsung pemenuhan hak anak, KPAI sebagai komisi negara independen memiliki 3 (tiga) tugas pokok utama sebagai berikut : 1) Melakukan sosialisasi dan advokasi terhadap peraturan perundangundangan yang terkait dengan perlindungan anak seperti UU tentang Perlindungan
Anak,
UU
tentang
Pengadilan
Anak,
UU
tentang
Kewarganegaraan, UU tentang Ketenagakerjaan, UU tentang Perkawinan, UU tentang Jaminan Sosial, UU tentang Pemasyarakatan, UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan lain sebagainya
2) Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) dalam upaya pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak 3) Membuat laporan sebagai bahan masukan, saran dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka penyusunan dan pengembangan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak Untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok di atas, kepada KPAI diberikan mandate (kewenangan) untuk melakukan 3 tugas lain : 1) Menerima pengaduan dan fasilitasi pelayanan masyarakat guna membantu menyelesaikan masalah dan sekaligus mengetahui berbagai masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan anak 2) Melakukan penelaahan dan pengkajian masalah pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak guna mengusulkan langkah alternatif solusi pemecahan yang terbaik dalam pelaksanaan perlindungan anak 3) Melakukan pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan peningkatan pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Karena itu, penyediaan data dasar dan data kasus pelanggaran hak anak menjadi sangat penting dalam mendukung tugas dan fungsi KPAI
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, berdasarkan penjelasan pasal 75, ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Anak, telah dirumuskan melalui Keppres nomor 77 tahun 2003. Dalam pasal 9 dari keputusan presiden dimaksud berbunyi sebagai berikut : 1) Apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya, komisi perlindungan anak Indonesia dapat membentuk perwakilan di daerah 2) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembentukan
perwakilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh komisi perlindungan anak Indonesia
d. Landasan Hukum Pembentukan KPAI Dengan demikian KPAI dibentuk sekurang-kurangnya berlandaskan pada : 1) UUD 1945, pasal 27 dan 28 (hasil amandemen) 2) UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 3) Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA PBB 4) Keputusan Presiden Nomor 77 tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia 5) Keputusan Presiden Nomor 95/m tahun 2004 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Perlindungan Anak
e. Data Kasus Pengaduan Perlindungan Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)44 1. Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6
7 8
Klasifikasi Kasus Hak Kuasa Asuh Keterasan Fisik Kekerasan Seksual Kekerasan Psikis Penelataran Ekonomi Perlindungan Khusus (Anak Korban Penculikan, Anak Yang Diperdagangkan, Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Anak Korban Penyalahgunaan Napza dsb) Diskriminasi (Pendidikan, Kesehatan, Agama) Perlakuan Salah Lainnya (Pemberlakuan Disiplin, Pemaksaan Kehendak Anak, Kelibatan Anak Dalam Kegiatan Politik, Sengketa Bersenjata, Kerusuhan Sosial, Peperangan dsb) TOTAL KASUS
44
Jumlah Kasus 52 39 24 22 27
Porsentase
Keterangan
27,65% 20,75% 12,76% 11,70% 14,37%
Januari-Desember 2005 Januari-Desember 2005 Januari-Desember 2005 Januari-Desember 2005 Januari-Desember 2005
12
6,38%
Januari-Desember 2005
8
4,26%
Januari-Desember 2005
4
2,13%
Januari-Desember 2005
188
100%
KASUS CLOSED
Jalan Terjal Menuju Kepentingan Terbaik Bagi Anak, Himpunan Kasus Pengaduan 2007 Sumber Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
2. Tahun 2006 No 1 2 3 4 5 6
7 8
Klasifikasi Kasus Hak Kuasa Asuh Keterasan Fisik Kekerasan Seksual Kekerasan Psikis Penelataran Ekonomi Perlindungan Khusus (Anak Korban Penculikan, Anak Yang Diperdagangkan, Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Anak Korban Penyalahgunaan Napza dsb) Diskriminasi (Pendidikan, Kesehatan, Agama) Perlakuan Salah Lainnya (Pemberlakuan Disiplin, Pemaksaan Kehendak Anak, Kelibatan Anak Dalam Kegiatan Politik, Sengketa Bersenjata, Kerusuhan Sosial, Peperangan dsb) TOTAL KASUS
Jumlah Kasus 83 62 38 49 64
Porsentase
Keterangan
22,74% 16,98% 10,42% 13,43% 17,54%
Januari-Desember 2006 Januari-Desember 2006 Januari-Desember 2006 Januari-Desember 2006 Januari-Desember 2006
39
10,68%
Januari-Desember 2006
21
5,75%
Januari-Desember 2006
9
2,46%
Januari-Desember 2006
365
100%
KASUS CLOSED
3. Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6
7 8
Klasifikasi Kasus Hak Kuasa Asuh Keterasan Fisik Kekerasan Seksual Kekerasan Psikis Penelataran Ekonomi Perlindungan Khusus (Anak Korban Penculikan, Anak Yang Diperdagangkan, Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Anak Korban Penyalahgunaan Napza dsb) Diskriminasi (Pendidikan, Kesehatan, Agama) Perlakuan Salah Lainnya (Pemberlakuan Disiplin, Pemaksaan Kehendak Anak, Kelibatan Anak Dalam Kegiatan Politik, Sengketa Bersenjata, Kerusuhan Sosial, Peperangan dsb) TOTAL KASUS
Jumlah Kasus 57 19 7 14 27
Porsentase
Keterangan
37,01% 12,34% 4,55% 9,09% 17,53%
Januari-Desember 2007 Januari-Desember 2007 Januari-Desember 2007 Januari-Desember 2007 Januari-Desember 2007
13
8,44%
Januari-Desember 2007
12
7,79%
Januari-Desember 2007
5
3,25%
Januari-Desember 2007
154
100%
KASUS CLOSED
BAB III KONSEP PERLINDUNGAN PENDIDIKAN ANAK CACAT MENTAL MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Perbandingan Persepsi Mengenai Perlindungan Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan 1. Pengertian Anak Cacat Mental a. Pengertian Anak Cacat Mental Menurut Hukum Islam Dalam istilah kamus bahasa Indonesia-Arab istilah umum dan kata-kata popular pengertian cacat mental atau tuna grahita adalah ( )اﺣﻤﻖadalah tingkatan kecerdasan yang sangat rendah, benar-benar bodoh, dungu.45Selain dari pengertian ( )اﺣﻤﻖterdapat juga pengertian lain. Di dalam kamus alMunawwir yaitu ( )اﻟﻤﻌﺘﻮﻩialah yang kurang waras pikirannya. Terdapat juga istilah lain yaitu: ( )ﻣﻐﻤﻰ ﻋﻠﻴﻪadalah seorang berpenyakit ayan46. Sementara itu imam Al-Ghazali memberikan pengertian dalam kitab fathul mui’n tentang
( )ﻣﻐﻤﻰ ﻋﻠﻴﻪialah penyakit yang dapat menghilangkan akal manusia dan merusak kesehatan badan47.
45
Ghoffar Abdul, Kamus Bahasa Indonesia-Arab Istilah Umum dan Kata-Kata Popular. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2000) 46 Munawwir Warson Ahmad, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progressif Edisi Ke II, 1997. 47 Abi Bakar Bin Sayyid Muhammad Assyatho, I’anah Tholibin Syarah Fathul Mu’in, Darul Fikr Juz 1, h. 74.
Dalam kajian fiqih anak cacat mental mempunyai kelayakan atau kepantasan. Dalam hukum Islam disebut dengan istilah al-ahliyyah. Para ulama melakukan pembagian semacam itu disebabkan bahwa manusia memang merupakan sosok makhluk yang menjadi media, tempat bagi berbagai hak untuk kemaslahatan dirinya dan mempunyai tugas atau tanggung jawab yang harus dilakukan. Meskipun terkadang manusia tidak mempunyai hak untuk halhal tersebut. Ketika mereka menetapkan bahwa manusia adalah media berbagai hak dan kewajiban, maka sifat-sifat yang demikian itulah yang merupakan ahliyyat al-wujub (kelayakan mengemban tugas)48. Abdul Wahhab Khallaf memberikan pengertian tentang ahliyyat al-wujub ialah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban. Asasnya ialah kekhususan yang diciptakan Allah SWT kepada manusia dan dia khususkan kepadanya, tidak kepada aneka ragam hewan, baik ia laki-laki atau perempuan, baik ia masih janin, anak kecil, atau mumayyiz (keadaan menjelang baligh) atau telah baligh, dewasa atau bodoh, berakal maupun gila, sehat atau sakit. Karena ahliyyah wujub ini didasarkan atas kekhususan yang alamiah pada manusia. Setiap manusia yang manapun orangnya, ia mempunyai ahliyyah alwujub, tidak seorang manusia pun ditemukan sebagai orang yang tidak
48
Huzaemah, Fiqih Anak Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta HukumHukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta PT: Al-Mawardi, 2004), h, 7.
mempunyai
ahliyyah
wujub,
karena
ahliyyah
wujubnya
merupakan
kemanusiaan49. Para ulama ushul telah banyak membicarakan berbagai masalah yang berhubungan dengan sifat-sifat atau karakter manusia yang berpengaruh terhadap keahlian atau kelayakan dalam mendapatkan hak-haknya dan dalam melaksanakan kewajibannya. Diantara mereka ada yang menilai bahwa (sebagian) orang kurang memiliki kelayakan atau ahliyyah, atau bahkan sebagian lagi ada yang tidak mempunyai kelayakan tersebut. Para fuqaha tidak bermaksud dalam penilaian itu, bahwa sifat-sifat karakter yang mengenai manusia itu sesuatu yang baru dan datang secara tiba-tiba setelah tidak ada. Mereka hanya bermaksud, bahwa sifat-sifat tersebut bukan sifat-sifat atau karakter yang asli pada manusia. oleh karena itu, setiap sifat atau karakter yang tidak termasuk dari bagian substansi dari hakikat manusia, maka itulah alaridh, yakni karakter yang baru pada manusia. Sebagian sifat baru tersebut dapat menghilangkan keahliyan atau kelayakan manusia secara total dalam melaksanakan kewajiban atau tugas-tugas, seperti kematian. Sebagian lagi hanya dapat merubah sebagian hukum saja tanpa hukum yang lain, seperti sifat gila. Ada juga diantara sifat-sifat baru tersebut hanya menghilangkan keahlian atau kelayakan dalam menunaikan kewajiban seperti tidur, ada juga sifat baru manusia itu yang sedikit pun tidak berpengaruh terhadap salah satu keahlian atau kelayalakan tersebut, baik kelayakan dalam menerima kewajiban49
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1994), h, 202.
kewajiban,
maupun
kelayakan
dalam
melaksanakannya,
tetapi
dapat
menimbulkan perubahan dalam sebagian yang ditetapkan padanya seperti kebodohan.50
b. Pengertian Anak Cacat Mental Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Istilah atau terminologi “penyandang cacat” yang dipakai dalam kaitan penelitian ini sesungguhnya sudah sering dipersoalkan oleh banyak kalangan, terutama oleh para penyandang cacat sendiri. Hingga saat ini telah ada beberapa usulan untuk mengganti istilah cacat dengan istilah lain. Banyak berpendapat bahwa istilah “cacat” memiliki konotasi negatif (yang menunjukan aspek kekurangan atau aib), sehingga menjadi salah satu penyebab marjinalitas dan sikap apriori terhadap “penyandang cacat”. Dalam wacana Internasional pun, istilah “kecacatan” atau disability beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari cripple, handicap, impairment, different ability, people with disability, sampai same ability in different ways. Namun demikian, sehingga saat ini belum ada satu pun istilah yang dianggap paling tepat dan dapat diterima oleh semua kalangan untuk menggantikan istilah “cacat” baik dalam bahasa Indonesia maupun istilah disable dalam bahasa Inggris. Oleh karenanya, istilah cacat dan penyandang cacat masih tetap dipakai sebagai istilah umum
50
Huzaemah, Fiqih Anak Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta HukumHukum yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak, h, 5.
yang selama ini digunakan dalam peraturan perundang-undangan maupun literatur di Indonesia. Untuk dapat diperbandingkan tentang pengertian anak cacat mental dengan Undang-Undang lain, yaitu : a) UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mengartikan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari : a) penyandang cacat fisik b) penyandang cacat mental c) penyandang cacat fisik dan mental. b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Penyandang cacat mental adalah seseorang yang menderita kelainan mental atau jiwa sehingga orang tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum dilakukan orang lain seusianya atau yang tidak dapat mengikuti perilaku biasa sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak atau wajar. Anak dengan kecacatan adalah seorang yang berusia di bawah 18 tahun yang mengalami hambatan fisik dan atau mental yang mengganggu tumbuh kembangnya secara wajar sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan, pengembangan dan penanganan khusus sesuai dengan kondisi dan derajat
kecacatannya, yang terdiri dari: penyandang fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental. Sedangkan ketunagrahitaan mengacu pada ketidakfungsian intelektual yang disertai ketidakmampuan adaptasi perilaku dan terjadi selama masa perkembangan.51 Secara umum, istilah penyandang cacat dapat diartikan sebagai setiap orang yang mengalamai disfungsi pada bagian tubuh, anggota tubuh, panca indera maupun kemampuan intelektual akibat ketunaan dan ketidak mampuan fisik dan non fisik atau mental sehingga untuk mengoptimalkan fungsi tubuh, anggota tubuh, panca indera maupun kemampuan intelektualitas dimaksud diperlukan sarana dan prasarana, sistem pelayanan yang bersifat khusus dalam bentuk aksebilitas fisik atau non fisik.52
2. Metode Pendidikan Anak Cacat Mental a. Metode Pendidikan Bagi Anak Cacat Mental Dalam Islam Dalam sejarah pendidikan Islam dapat diketahui bahwa para pendidik muslim dalam berbagai situasi dan kondisi yang berbeda, telah menerapkan berbagai macam metode pendidikan atau pengajaran. Metode yang dipergunakan tidak hanya metode mendidik atau mengajar dari para pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus dipergunakan anak didik. Al Ghazali 51
Departemen Sosial Republik Indonesia, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat Mental (Tuna Grahita), Departemen Sosial Republik Indonesia 2007. 52 Departemen Hukum dan HAM, Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM 2006.
seorang ahli pikir dan ahli tasawuf Islam yang terkenal dengan gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), banyak mencurahkan perhatiannya kepada masalah pendidikan, menurut Al Ghazali, seorang pendidik agar memperoleh sukses dalam tugasnya harus menggunakan pengaruhnya serta cara yang tepat arah.53 Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, karena beliau sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap anak didik. Misalnya di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin juz III, Al Ghazali menguraikan antara lain: “metode untuk melatih anak adalah salah satu dari hal-hal yang amat penting. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya. Hatinya bersih, murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari ukiran atau gambaran apa pun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang di goreskan kepadanya dan ia akan cenderung ke arah manapun yang kita khendaki (condongkan). Oleh karena itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembang sifat-sifat yang baik itu pada dirinya dan akan memperoleh kebahagiaan hidup dunia akhirat. Orang tuanya, gurunya, pendidiknya juga akan turut berbahagia bersamanya. Atas dasar pandangan Al-Ghazali yang bercorak empiris
itu maka
tergambarlah pula dalam metode pendidikan yang diinginkan. Diantaranya
53
Aly Al-Djumlathy dan Abul Futuh At-Tuwanisy, Dirasat Muqaranah Fit Tarbiyyah AlIslamiyyah: Maktab Al-Angelo Al-Misrijjah.
lebih menekankan pada perbaikan sikap dan tingkah laku para pendidik dalam mendidik, sebagai berikut :54 1. Guru harus mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri 2. Guru tidak usah mengharapkan upah dari tugas pekerjaannya, karena mendidik atau mengajar merupakan tugas pekerjaan mengikuti jejak nabi Muhammad SAW, nilainya lebih tinggi dari ukuran harta atau uang. Mengajar atau mendidik adalah usaha untuk menunjukan manusia kearah yang hak dan kebaikan serta ilmu, upahnya adalah terletak pada diri anak didik yang setelah dewasa menjadi orang yang mengamalkan hal-hal yang ia didikan atau ajarkan 3. Guru harus memberikan nasihat kepada muridnya agar menuntut ilmu tidak untuk kebanggaan diri atau untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak pula untuk mencari kehidupan atau pekerjaan 4. Guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang dapat membawa kebahagiaan di akhirat, yaitu ilmu agama 5. Guru yang memberi contoh yang baik dan teladan yang indah di mata anak didik sehingga anak senang untuk mencontoh tingkahlakunya. Dia harus berjiwa halus, sopan serta berjiwa tasammuh (luas dada), murah hati dan terpuji 6. Guru harus mengajarkan apa yang sesuai dengan tingkat kemampuan akal anak didik. Jangan mengajarkan hal-hal yang belum dapat ditangkap oleh akal pikirannya maka ia akan menjauhinya atau akal pikirannya tidak dapat berkembang 7. Guru harus mengamalkan ilmunya, karena ia menjadi idola di mata anak. Bila tidak mengamalkannya ilmunya, niscaya orang akan mencemoohkannya 8. Guru harus dapat memahami jiwa anak didiknya. Ia harus mempelajari jiwa mereka agar tidak salah mendidik mereka. Dengan pengetahuan tentang anak didik, ia dapat menjalin hubungan akrab antara dirinya dengan anak didiknya. Secara praktis, guru harus mendidik mereka berdasarkan ilmu jiwa 9. Guru harus dapat mendidik keimanan di dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikirannya tunduk kepada ajaran agama, akal pikiran mereka harus dituntun oleh imannya, karena tanpa tuntutan iman, akal pikirannya tidak akan dapat mencapai ma’rifat kepada Allah SWT.
54
Arifin Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara 2003), h. 94.
Dengan demikian jelaslah kepada kita bahwa metode pendidikan yang harus di pergunakan oleh para pendidik atau pengajar adalah yang berprinsip pada child centered yang lebih mementingkan anak didik dari pada pendidik sendiri. Metode demikian dapat diwujudkan dalam berbagai metode antara lain: metode contoh teladan, metode bimbingan dan penyuluhan, metode cerita, metode motivasi, metode mendorong semangat dan sebagainya. Di samping adanya metode pembelajaran dalam Islam, terdapat juga kurikulum
pendidikan
Islam.
Abdurrahman
An-Nahlawi
memberikan
pengertian sebagai berikut :55 1) Kurikulum Islami harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk mensucikan manusia, memeliharanya dari penyimpangan dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagaimana di isyaratkan hadits qudsi berikut ini : rasulullah SAW bersabda : 56
.ﺴﺎ ِﻧ ُﻪ َﺠ ﺼ َﺮا ِﻧ ِﻪ َا ْو ُﻳ َﻤ ﱢ ﻄ َﺮ ِة َﻓَﺎ َﺑ َﻮا ُﻩ ُﻳ َﻬ ﱢﻮ َدا ِﻧ ِﻪ َا ْو َﻳ َﻨ ﱢ ْ ﻋَﻠﻰ اﻟ ِﻔ َ ﻞ َﻣ ْﻮُﻟ ْﻮ ٍد ُﻳ ْﻮَﻟ ُﺪ ُ ُآ
Artinya: “setiap anak dilahirkan secara fitrah. maka orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai yahudi, nasrani atau majusi”. 2) Kurikulum Islami harus dapat mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang fundamental: memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah SWT, artinya kurikulum Islami harus di arahkan untuk meluruskan dan mengarahkan kehidupan sehingga tujuan fundamental pendidikan Islam dapat terwujud. Kurikulum Islami pun disusun untuk menjadi landasan kebangkitan pendidikan Islam, baik dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal maupun sosial 3) Tingkatan setiap kurikulum sosial harus sesuai dengan tingkatan pendidikan, baik dalam hal karakteristik, usia, tingkat kepahaman,
55
An-Nahlawi Abdurrahman, Pendidikan Islam di rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h. 196. 56 Ibid., h. 196.
jenis kelamin, serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dicanangkan dalam kurikulum 4) Aplikasi, kegiatan, contoh atau teks kurikulum Islami harus memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal 5) Sistem kurikulum Islami harus terbatas dari kontradiksi, mengacu pada kesatuan Islam dan selaras dengan integritas psikologi yang telah Allah SWT ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem, maupun realitas alam semesta 6) Kurikulum Islami harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan negara yang hendak menerapkan serta sesuai dengan kondisi dan tuntutan negara itu sendiri 7) Kurikulum Islami harus memilih metode yang elastis sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai kondisi, lingkungan dan keadaan tempat ketika kurikulum itu diterapkan 8) Kurikulum Islami harus efektif. Dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik dan tidak meninggalkan dampak emosional yang meledak-ledak dalam diri generasi muda 9) Setiap unsur kurikulium Islami harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik 10) Kurikulum Islami harus memperhatikan pendidikan tentang segi-segi perilaku Islami yang bersifat aktivitas langsung
b. Metode Pendidikan Bagi Anak Cacat Mental Anak tuna grahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata. Selain itu juga mengalami hambatan terhadap perilaku adiktif selama masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun hingga 18 tahun, sesuai dengan batasan dari AAMD. Definisi AAMD mengisyaratkan adanya kemampuan intelektual jika diukur dengan mempunyai skor IQ 70, dan mempunyai hambatan pada komponen yang tidak bersifat intelektual, yakni perilaku adiktif dengan keterampilan praktis, keterampilan konseptual dan
keterampilan sosial, maka pengertian perilaku adiktif hanya bersifat komponen pelengkap yang dianggap kurang penting dibandingkan dengan kemampuan intelektual. Namun, saat ini perilaku adiktif justru sama pentingnya dengan kemampuan intelektual dalam menentukan seseorang termasuk dengan kemampuan intelektual dalam menentukan seseorang termasuk sebagai tuna grahita atau bukan.57 Modul pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus seharusnya berdasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi, modul tersebut dirancang berdasarkan kebutuhan nyata oleh guru kelas agar dapat mengembangkan ranah pendidikan sebagai sarana akhir pembelajaran. Tujuannya berupa pencapaian pengetahuan, keterampilan, sikap dan psikomotor tertentu dari setiap peserta didik. Model ini menunjang “gerakan peningkatan mutu pendidikan” yang telah dirancang oleh menteri pendidikan nasional pada tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat nilai, sehingga wujud akhir belajar peserta didik yang mengacu pada pengalaman langsung dirinya. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kreteria pencapaian secara eksplisit dan memiliki kontribusi terhadap kompetensikompetensi yang sedang dipelajari beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi :
57
Delphie Bandi, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006) h. 15.
1) Pengetahuan, merupakan kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya, seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya 2) Pemahaman, merupakan kedalaman kognitif dan efektif yang di miliki oleh individu. Misalnya, seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didik agar dalam proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien 3) Kemampuan, merupakan suatu kemampuan yang di miliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemampuan guru dalam memilih dan membuat alat peraga sederhana untuk memberikan kemudahan belajar peserta didiknya 4) Nilai, merupakan suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologi telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku guru dalam pembelajaran apakah itu kejujuran, rasa demokrasi dan sebagainya 5) Sikap, merupakan perasaan (senang sampai tidak senang, atau suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah dan sebagainya 6) Minat, merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, untuk minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu.58 Pemanfaatan keterampilan yang dimiliki seorang guru saat berlangsung pembelajaran, merupakan perilaku yang efektif. Perilaku efektif berarti, bahwa guru secara sistematik menyajikan kompetensi-kompetensi yang efektif dalam berbagai situasi belajar. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang mampu mencapai sasaran kompetensi dengan memanfaatkan kemampuan, minat, dan kesiapan menerima pembelajaran dari setiap peserta didik.
58
Mulyana, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi, (Bandung: PT Rosdakarya 2004)
Pembelajaran individu meliputi enam elemen, yaitu: elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective dan enroute. Keenam elemen konseptual model pembelajaran tersebut sangat berperan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran tersebut diartikan sebagai berikut : 1) Elicitors yakni peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku, elicitors dapat terjadi melalui : a) Peralatan pembelajaran, seperti alat permainan, bentuk permainan edukatif, buku instrument tes, gambar-gambar, alat tulis crayon b) Dapat juga berupa bentuk-bentuk arahah, suruhan, permintaan, demonstrasi atau seperangkat arahan-arahan atau petunjuk-petunjuk tertentu c) Dapat melalui orang dengan perilaku seperti: senyuman sebagai tanda persetujuan atau kerutan di dahi sebagai tanda tidak setuju. Penyebab perilaku dapat terjadi oleh salah satu atau gabungan dari elicitors tersebut 2) Behaviors atau perilaku, merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan, antara lain berlari, berjalan, berbicara, menulis, menyusun atau memasang papan permainan, membaca, menjawab pertanyaan atau duduk di kursinya 3) Reinforcers atau penguatan adalah suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik. Pergulatan dapat berupa peningkatan kepuasan dari perilaku untuk masa depan. Stimulus yang mengikuti perilaku yang tidak memuaskan atau yang tidak sesuai tidak diberikan penguatan 4) Entering behavior atau kesiapan menerima pelajaran. Sebelum guru memulai untuk melakukan kegiatan pembelajaran terhadap peserta didiknya, sangat esensial bila guru kelas mengetahui kesiapan peserta didiknya. Kesiapan tersebut berupa kesiapan peserta didik untuk melakukan tugas-tugas kegiatan akademik dan kegiatan belajar berkaitan dengan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi pembelajaran khusus. Artinya bahwa bentuk elicitor manakah dari setiap peserta didik dapat melakukan tanggapan, perilaku manakah yang dimunculkan oleh setiap peserta didik dan penguatan atau reiforcers yang dapat memperkuat respon-respon yang didinginkan dan dapat berguna 5) Terminal objective beberapa program pembelajaran seharusnya dapat menghasilkan perubahan sebagai hasil akhir atau keluaran. Oleh karena itu terminal objective dapat menghubungkan antara tujuan yang satu dan tujuan lainnya. Dapat dikatakan secara singkat bahwa sebagai “sasaran antara” dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan
6) Enroute objective, merupakan langkah dari entering behavior menuju ke terminal objective yang terbagi dalam beberapa langkah kegiatan pembelajaran, yang disebut dengan enroute objective. Setiap enroute objective dapat menggambarkan pencapaian “sasaran antara” yang harus dicapai oleh setiap pendidik sebelum mereka pindah ke enroute objective berikutnya. Model konseptual secara nyata akan memunculkan suatu proses kegiatan pembelajaran yang menyediakan guru kelas untuk dapat melakukan pengidentifikasikan terhadap : 1) Tingkat kemampuan akademik atau tingkat kemampuan sosial setiap peserta didik 2) Arah tujuan pembelajaran 3) Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran Model dari proses pembelajarannya memungkinkan guru kelas mampu : 1) Melakukan pengindentifikasikan secara tepat pada setiap titik sasaran 2) Kapan peserta didik mulai sesuai dengan entering behavior atau kesiapan menerima pelajaran 3) Enrout objectivies yaitu keadaan sesuai dengan urutan pembelajaran 4) The terminal objective (sasaran antara) Inti model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus yang berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah mengembangkan lingkungan
belajar
terpadu
dari
peserta
didik
bersangkutan
dengan
memperhatikan prinsip-prinsip umun dan khusus. Prinsip-prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan dan prinsip memecahkan masalah
Sedangkan prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik spesifik dari setiap penyandang keahlian peserta didik. Misalnya untuk anak tuna grahita diperlukan prinsip-prinsip pembelajaran berkaitan dengan : 1) Bentuk-bentuk atensi yang meliputi atensi, focus dan selektivitas 2) Medioterial diantaranya menggunakan tekhnik yang efektif, tekhnik yang bersifat khusus dan intervensi guru yang khusus 3) Memperkuat daya ingatan atau memori 4) Transfer atau penggeneralisasian terhadap pengetahuan, keterampilan tugas-tugas yang baru baginya, pemecahan masalah belajar dan pemberian pengalaman-pengalaman Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus yang menggunakan kurikulum berbasis kompetensi diperlukan komponen-komponen tertentu melalui rasional, visi dan misi pembelajaran, tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, pendukung sistem pembelajaran dan komponen dasar pembelajaran.
a. Rasional Layanan pendidikan dan pembelajaran untuk sekolah yang melayani anak berkebutuhan khusus seharusnya sejalan dengan dan tidak lepas dari prinsip, kebijakan dan praktek dalam pendidikan berkebutuhan khusus. Terutama setelah konferensi dunia di Salamanca. Spanyol pada tanggal 7-10 Juni 1994. Konferensi tersebut menghasilkan perluasan gerakan pendidikan untuk semua (education for all). Selanjutnya hasil konferensi dunia tersebut
ditindak lanjuti dengan deklarasi Dakar tahun 2000. Deklarasi tersebut menjadi kerangka kerja dalam merespon kebutuhan dasar belajar warga masyarakat yang menekankan bahwa pendidikan harus menyentuh semua lapisan tanpa mengenai batas kelompok, ras, agama dan kemampuan potensial yang dimiliki oleh para peserta didik. Perubahan tersebut sangat besar artinya secara mendasar, sehingga layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus tidak menutup kemungkinan untuk memberikan hak anak, mendapatkan kesempatan (opportunity right), dan hak sebagai makhluk Tuhan yang maha Esa yang perlu mendapatkan kesejahteraan sosial (human right, social and wealfare right).
b. Visi dan Misi Bertolak dari pengamatan dan harapan kebutuhan di lapangan, maka model pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengarah pada visi dan misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan dan sasaran yang harus ditetapkan. Visi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi adalah membantu peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki sikap, wawasan, akhlak yang tinggi, kemerdekaan, demokrasi, toleransi dan menjunjung hak asasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global. Sasaran utama sebagai hasil keluaran (out come) dari pembelajaran adalah kemampuan setiap peserta didik dalam mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat
Misi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi adalah pemberian layanan terhadap anak berkebutuhan khusus agar setiap peserta didik yang mempunyai kelainan atau hambatan perkembangan menjadi individu yang mandiri, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berbudi luhur, terampil dan mampu berperan sosial. Dalam mengantisipasi kehidupan masa depan anak berkebutuhan khusus, maka intervensi khusus yang dipersiapkan oleh guru kelas dalam pembelajaran harus mampu menyentuh semua aspek perkembangan perilaku dan kebutuhan setiap peserta didik berkaitan dengan kompetensi yang merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
3. Perlindungan Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan a. Perlindungan Anak Cacat Mental dalam Dunia Pendidikan Menurut Hukum Islam Islam menjunjung tinggi dan mengangkat martabat bagi orang yang mempunyai ilmu, dengan demikian Islam memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu, hal ini berlaku bukan saja kepada semua lapisan masyarakat akan tetapi kepada keluarga (suami, istri dan anak), apabila suatu keluarga mempunyai ilmu pendidikan (agama) maka akan tercipta negara yang penuh kasih sayang, saling menghormati dan lain sebaginya. Pendidikan harus diberikan orang tua kepada anak, karena pada dasarnya pendidikan dan pembinaan kepribadian anak-anak dimulai dari rumah tangga.59 Sesuai dengan tugas manusia hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah SWT, maka manusia mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan agar dapat berperan dalam kehidupan manusia dan beribadah kepada-Nya. Al-Qur’an menegaskan hak manusia untuk memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana dapat di lihat dalam surat AtAtaubah ayat 122 :60
☺
⌧
⌧ 59
Hassan Ayyub, Etika Islam Menuju Kehidupan yang Hakiki, (Bandung: PT Triganda Karya, 1994) Cet. 1 h. 266. 60 Lopa Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 80.
⌧
)اﻟﺘﻮ ﺑﺔ.
⌧
⌧
(١٢٢ : ٩/ Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(QS. At-Taubah / 9 : 22 ) Dalam Islam ilmu pengetahuan dan pendidikan mempunyai kedudukan yang tinggi. Islam bukan hanya mengganggap belajar sebagai hak, tetapi pula sebagai kewajiban. Al-Qur’an dengan tegas memerintahkan untuk mencari ilmu dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 :61
/ )اﻟﻌﻠﻖ. (٥-١ :٩٦ Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-Alaq / 96 : 15)
61
Ibid,. h. 82.
Penyelenggaraan hak pendidikan anak merupakan pilar penting bagi upaya meningkatkan derajat kemanusiaan dan kemajuan peradaban manusia yang
dalam
Islam
dengan
istilah
hifdzul
aql
(pemeliharaan
atas
akal).62Pendidikan sebagai hak anak mengandung pengertian bahwa kewajiban pertama ada di pundak keluarga, khususnya orang tua dan seluruh komponen orang-orang yang beriman. Allah SWT berfirman :
( ٦ : ٦٦ / )اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ............. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. At-Tahrim / 66 : 6) Dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 :
62
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 48, 51 dan 54 Penyelenggaraan Perlindungan Anak di bidang Pendidikan dilaksanakan Sebagai Berikut: 1) Semua Anak Wajib Belajar 9 (Sembilan) Tahun. 2) Memberikan Kesempatan Yang Sama dan Aksebilitas Untuk Memperoleh Pendidikan Biasa dan Pendidikan Luar Biasa Bagi Anak Yang Menyandang Cacat Fisik dan Atau Mental. 3) Memberikan Kesempatan dan Aksebilitas Untuk Memperoleh Pendidikan Khusus Bagi Anak Yang Memiliki Keunggulan. dan 4) Melindungi Anak dari Tindak Kekerasan Yang dilakukan Oleh Guru, Pengelolah Sekolah Atau Teman-Temannya Ketika Berada dalam Lingkungan Sekolah. Sedangkan Yang Bertanggung Jawab dalam Penyelenggaraan Pendidikan Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 48, 49 dan 53 Adalah Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Berikut Masing-Masing Wewenangnya: 1) Orang tua Bertanggungjawab dan Wajib Memberikan Hak Pendidikan Bagi Anak. 2) Pemerintah Bertanggungjawab dan Wajib Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Minimal 9 (Sembilan) Tahun Untuk Semua Anak. Memberikan Biaya Pendidikan dan Atau Bantuan Cuma-Cuma Atau Pelayanan Khusus Bagi Anak dari Keluarga Yang Kurang Mampu, Anak Terlantar dan Yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil, Serta Mendorong Masyarakat Untuk Berperan Aktif dan 3) Masyarakat Bertanggung Jawab Dengan Perperan Aktif dalam Penyelenggaraan Perlindungan Anak di bidang Pendidikan.
( ١١: ٥٨ / )اﻟﻤﺠﺎ د ﻟﺔ....... Artinya: “Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…….(QS. Al-Mujadalah / 58 : 11) Di samping ayat-ayat Al-Qur’an, ditemukan pula sejumlah hadits yang menggambarkan pentingnya penyelenggaraan hak pendidikan bagi anak. Diantaranya rasulullah SAW bersabda :
ﻚ َ ﺳَﻠ َ ﻦ ْ َو َﻣ:ل َ ﻗَﺎ،َﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَﻠَﻢ َ ﷲ ُ ﺻﻠَﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ن َر َا ﱠ،ُﷲ ﻋَ ْﻨﻪ ُ ﻲا ﺿﱠ ِ َر،َﻦ أَﺑِﻲ ُهﺮَ ْﻳﺮَة ْﻋ َ 63
( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. ﺠ ﱠﻨ ِﺔ َ ﷲ َﻟ ُﻪ ِﺑ ِﻪ ﻃَﺮِ ْﻳﻘًﺎ ِاﻟَﻰ اﻟ ُ ﻞا َ ﺳ ﱠﻬ َ ﻋ ْﻠﻤًﺎ ِ ﺲ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ُ ﻃ ِﺮﻳْﻘًﺎ َﻳ ْﻠ َﺘ ِﻤ َ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, rasulullah SAW bersabda: “Dan barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan surga”. (HR. Muslim)
.ﻋﺎ ِﻟ ًﻤﺎ َا ْو ُﻣ َﺘ َﻌِﻠ ًﻤﺎ َ ﻻ ُﻩ َو َ ﷲ َﺗ َﻌﺎَﻟﻰ َو َﻣﺎ َوا ِ ﻻ ِذ ْآ َﺮ ا َ ن َﻣﺎ ِﻓ ْﻴ َﻬﺎ ِا ٌ اﻟ ﱡﺪ ْﻧ َﻴﺎ َﻣ ْﻠ ُﻌ ْﻮ Artinya: “Dunia ini terkutuk dan terkutuklah yang ada di dalamnya, kecuali orang-orang yang mengingat Allah SWT dan yang taat kepada-Nya serta orang-orang yang alim atau terpelajar”. (HR. Tirmidzi).64
ع ٍ ﺼﺎ َ ﺼ َﺪ ٍﺑ َ ن َﻳ َﺘ ْ ﻦ َا ْ ﺧ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ َ ﻞ َوَﻟ ًﺪ ًﺟ ُ ب اﻟ ﱠﺮ ُ ﻦ ُﻳ َﺆ ِد ْ ﻻ َﻣ َ Artinya: “Seseorang yang mendidik anaknya itu lebih baik dari pada bersedekah satu sha”. (HR. At-Tirmidzi)65
( )رواﻩ اﻟﺮازق وﻣﻌﻴﺪ اﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮر.ﻻ َد ُآ ْﻢ َوَا ْهِﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َوَا ﱢد ُﺑ ْﻮ ُه ْﻢ َ ﻋَﻠﱢ ُﻤﻮْا َا ْو Artinya: “Ajarkanlah kebaikan (etika dan moral) kepada anak-anakmu (lakilaki dan perempuan) dan keluargamu dan didiklah mereka”. (H.R. Abdur Razzaq dan Sa’id Ibn Mansyur)
63
Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarof An-Nawawi, Riyadusholihin, Damaskus: Daar AlFikr 1994, h. 252. 64 65
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h.72. Ibid,. h. 73.
Nash yang disebutkan di atas memberikan pelajaran bahwa pada dasarnya pendidikan merupakan hak anak yang harus diberikan sejak dalam kandungan sebagai bagian integral dari upaya orang tua untuk menjaga anaknya terjaga dari api neraka. Dalam hal ini, kedudukan orang tua adalah pemangku kewajiban yang pertama. Apabila orang tua atau keluarga tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka masyarakat dan pemerintahlah yang mengambil tanggung jawab dan kewajiban tersebut. Dalam pengertian bahwa pemerintah sebagai pemangku kewajiban wajib mendorong dan memfasilitasi terselenggaranya pendidikan anak, karena dengan pendidikanlah derajat manusia ditinggikan oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat. Peningkatan derajat manusia melalui pendidikan bisa terwujud apabila konsepsi pendidikan bisa terwujud apabila konsepsi pendidikan anak tidak hanya diarahkan untuk kemampuan intelektual saja, tetapi juga harus mengembangkan kemampuan mental dan spiritual anak. Dengan ini rasulullah SAW mengajarkan dengan sangat, agar anak diajak untuk berakhlak mulia dengan cara mengembangkan amalan spiritual yaitu senantiasa memuji Allah SWT setiap saat. Pendidikan spiritual ini terkait dengan pengembangan mental anak, karena dengan pendidikan spiritual yang baik maka pada gilirannya dapat menampilkan anak sebagai sosok yang memiliki mental yang baik pula. Ada hubungan simbiosis antara spiritualitas dan perilaku mental, dalam arti perilaku sosial sekarang merupakan cerminan oleh spiritualnya. Dengan kata lain sikap sosial akan kering dan cenderung pragmatis bila tidak dibimbing oleh
spiritualnya. Hal ini menunjukan bahwa rasulullah SAW memberikan perlindungan terhadap akidah tauhid dan keimanan seseorang sedini mungkin melalui
pendidikan
agama.
Dalam
hal
hubungan
inilah
Al-Ghazali
menganjurkan pendidikan anak melalui pembiasaan spiritual dan akhlak yang baik dalam kehidupan sosial sejak dini. Rasulullah SAW memberikan petunjuk tentang pendidikan dalam kehidupan
sosial,
beliau
menunjukan mendidik anak untuk mampu
mengendalikan emosi amarah, kemandirian dan keberanian diri. Marah adalah gejala jiwa yang menyebabkan naiknya nafsu amarah. Ada dua bentuk amarah yaitu amarah positif dan amarah negatif. Amarah positif adalah amarah untuk memelihara diri, kehormatan negara dan agama. Hal ini sebagaimana telah dilakukan rasulullah SAW ketika beliau di datangi seseorang yang meminta perlindungan hukum, karena telah melanggar batas-batas hukum Allah SWT. Wajah beliau menanpakkan tanda-tanda kemarahan, lalu rasulullah SAW bersabda :66
ﻒ ُ ﻀ ِﻌ ْﻴ ق ِﻓ ْﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱠ َ ﺳ َﺮ َ ﻒ َﺗ َﺮ ُآ ْﻮ ُﻩ َوِا َذا ُ ﺸ ِﺮ ْﻳ ق ِﻓ ْﻴ ِﻬﻢ اﻟ ﱠ َ ﺳ َﺮ َ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ًﻜ ْﻢ َا ﱠﻧ ُﻪ ِا َذ ْ ﻦ ِﻣ َ ﻚ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ َ ِا ﱠﻧ َﻤﺎ َهَﻠ .ﺖ َﻳ َﺪ َهﺎ ُ ﺳ َﺮ ْﻗ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﺖ ُﻣ َ ﻃ َﻤ َﺔ ِﺑ ْﻨ ِ ن َﻓﺎ ﷲ َﻟ ْﻮَا ﱠ َ ﺤ ﱠﺪ َوَا ﱡﻳ َﻢ ا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ َ ًا ًﻗﺎ ُﻣ ْﻮا Artinya: “Sesungguhnya yang mencelakakan orang-orang sebelum kalian adalah, apabila orang mulia mencuri, maka mereka membiarkanya. Tetapi apabila orang lemah mencuri, maka mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Dan aku bersumpah kepada Allah SWT, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya." (HR Bukhori dan Muslim).
66
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h.76.
Amarah negatif adalah amarah yang menimbulkan dampak tidak terpuji, seperti nafsu angkara dan amarah untuk kepentingan individu dan motif egois. Amarah inilah yang dilarang oleh rasulullah SAW sebagaimana sabdanya :67
.ﺐ ْ ﻀ َ ﻻ َﺗ ْﻌ َ :ل َ َﻗﺎ, َﻓ َﺮ َد َد ِﻣ َﺮ ًرا,ﺐ ْ ﻀ َ ﻻ َﺗ ْﻌ َ :ل َ َﻗﺎ, ﺻ ﱢﻨﻲ ِ َا ْو Artinya: “Berilah aku wasiat”. Beliau bersabda, “janganlah marah” laki-laki itu mengulanginya berkali-kali dan beliau bersabda. “janganlah marah !”. (HR.Bukhori) Di samping pendidikan pengendalian emosi, yang penting juga adalah mendidik anak untuk hidup realistik, memiliki etos dan kemandirian. Yang dimaksud hidup realistik adalah membiasakan anak untuk hidup sederhana dan tidak larut dalam kenikmatan, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist :68
.ﻦ َ ﺴﻮا ِﺑﺎﻟ ُﻤ َﺘ َﻨ ِﻌ ِﻤ ْﻴ ُ ﷲ َﻟ ْﻴ ِ ﻋ َﺒﺎ َد ا ِ ن َ ِا ﱠﻳﺎ ُآ ْﻢ َواﻟ ﱠﺘ َﻨ ُﻌ َﻢ َﻓِﺎ Artinya: “janganlah kalian terlalu larut dalam kesenangan (kemewahan). Karena sesungguhnya hamba Allah SWT itu bukanlah orang yang larut dalam kesenangan (kemewahan)” . (HR. Imam Ahmad dan Abu Na’im) Imam al-Ghazali berkata dalam kitab al-Ihya’: “Seseorang bapak janganlah membiasakan anaknya hidup dalam kenikmatan dan membuat anak itu cinta pada perhiasan dan kemegahan. Sebab dengan begitu biasanya anak itu akan menyia-nyiakan usianya hanya untuk mencari kemegahan, sehingga ia menjadi rusak selamanya”. Dari Jabir ra, ia berkata: “ketika ka’bah dibangun, Muhammad ketika masih muda bersama Abbas berpartisipasi mengangkut batu membangun ka’bah, bahkan pada saat mengangkut batu ia terjatuh”. 67 68
Ibid,. h. 77. Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h.77.
(HR.Bukhori). Dijelaskan pula, bahwa nabi Muhammad SAW juga adalah seorang pengembala domba. Beliau berkata: “Allah SWT tidak mengutus seorang nabi, kecuali mengembala domba” Maka para sahabat bertanya: “engkau juga begitu ?” nabi menjawab: “ya aku mengembala kambing milik penduduk Makkah dengan imbalan dinar”. (HR.Bukhori) Hadits di atas menujukan bahwa rasulullah SAW memberikan contoh kongkrit agar umat manusia membiasakan diri untuk hidup mandiri, dengan tidak membiasakan hidup bermewah-mewah. Sikap kemandirian harus diikuti sikap ikutan, diantaranya keberanian diri. Bersikap berani merupakan salah satu tabiat terpuji bagi anak-anak. Tabiat ini kehendaknya diajarkan oleh orang tua sejak dini. Hal ini sebagaimana di contohkan oleh rasulullah SAW :
69
س ُﺛ ﱠﻢ ِ ﻦ َﺑ ِﻨﻲ اﻟ َﻌ ﱠﺒﺎ ْ ﷲ َو َآ ِﺜ ْﻴ ًﺮا ِﻣ ِ ﻋ َﺒ ْﻴ ِﺪ ا ُ ﷲ َو ِ ﻋ ْﺒ َﺪ ا َ ﻒ ﺼ ﱡ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ن َر َ َآﺎ .ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ َ ﻇ ْﻬ ِﺮ ِﻩ َو َ ﻋَﻠﻰ َ ن َ ن ِاَﻟ ْﻴ ِﻪ َﻓ َﻴ َﻘ ُﻌ ْﻮ َ ﺴ َﺘ ِﺒ ُﻘﻮ ْ ل َﻓ َﻴ َ ﻲ َﻓَﻠ ُﻪ َآ َﺬا َﻗﺎ ﻖ ِاَﻟ ﱠ َ ﺳ َﺒ َ ﻦ ْ ل َﻣ ُ َﻳ ُﻘ ْﻮ Artinya: “Adalah rasulullah SAW membuat barisan kepada Abdullah, Ubaidillah dan Kutsair dari keluarga pamannya yaitu Abbas ra, kemudian nabi berkata: “siapa yang lebih dulu kepadaku, maka ia akan dapat demikian dan demikian” maka mereka berlomba-lomba untuk cepat menuju nabi, sehingga mereka sampai pada punggung dan dada nabi, kemudian nabi mencium mereka dan menepati janji mereka”. (HR. Ahmad) Tuntutan pendidikan anak yang harus berani, juga dilakukan oleh Umar ra : 70
.ﻞ َو ْﺛ ًﺒﺎ ِ ﺨ ْﻴ َ ﻇ ُﻬﻮ ِر اﻟ ُ ﻰ َ ﻋﻠ َ ﺣ َﺔ َ َواﻟ ﱠﺮ َﻣﺎ َﻳ َﺔ َ َو ُﻣ ﱡﺮو ُه ْﻢ َﻓﺎ ْﻟ َﻴ ِﺜ ُﺒﻮا َ ﺴ َﺒﺎ ﻋَﻠ ُﻤ ْﻮا َا ْوَﻟ َﺪ ُآ ْﻢ اﻟ ﱢ َ
69
70
102.
Ibid,. h. 79. Sayyid Ahmad, Mukhtamar Al-Hadist An-Nabawiyyah, Darul Kitab Al-Islami 1999, h.
Artinya: “Ajarkanlah anak-anakmu kalian berenang dan memanah. Dan suruhlah mereka melompat ke atas punggung kuda dengan sekali lompatan”. (HR. Baihaqi) Hadits diatas menunjukan bahwa rasulullah SAW mendidik keberanian anak dengan meminta agar anak mengikuti perlombaan, karena perlombaan dapat menjadikan akal anak menjadi bersemangat dan mengembangkan bakat serta keberaniaan anak untuk berpacu meraih kemenangan Dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak dalam pandangan Islam pada dasarnya merupakan hak anak yang harus dipenuhi sejak anak dalam kandungan. Oleh karena itu, orang tua adalah pemangku kewajiban yang pertama, setelah itu masyarakat dan pemerintah. Dalam pandangan Islam, pendidikan anak berbasis hak dan bersifat komfrehensif, yaitu tidak saja dalam bentuk pemenuhan kognitif, tetapi juga pemenuhan hak pembinaan akhlak dan spiritual sehingga anak bisa tumbuh kembang secara utuh dan optimal.71 Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan suatu bangsa. Setiap manusia dalam perjalanan hidupnya selalu membutuhkan orang lain. Untuk dapat melangsungkan hidupnya manusia senantiasa berusaha untuk mengembangkan akal dan segala kemampuannya. Manusia dalam menghadapi problema kehidupan tidak pernah statis, sejak lahir sampai meninggal selalu mengalami perubahan. Pada perkembangan zaman 71
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, h.80.
sekarang ini, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metodemetode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Metodelogi Islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun segi rohani baik kehidupannya secara fisik maupun kehidupannya secara mental dan segala kegiatannya di bumi ini. Pada dasarnya pendidikan Islam harus di asaskan atas dasar pokok yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk Allah SWT dan diamanati tugas untuk memikul amanah. Berbeda dengan makhluk lain yang tidak diberi amanah seperti manusia. Ia diperintah hidup di permukaan bumi sejalan dengan ajaran Illahi. Dalam hal ini proses terpenting yang membentuk pandangan Islam terhadap pendidikan adalah generasi baru harus dididik menggunakan akal dan juga generasi muda harus dididik secara terbuka kepada orang lain dan menjauh sifat menyendiri dan tanpa berlebihan menonjolkan dirinya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 9 yang berbunyi : ☺ ⌧ ⌧
(٩ : ٣٩ / )اﻟﺰﻣﺮ.
☺
☺
Artinya: “(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ? Katakanlah: "adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?" sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” . (Az-Zumar / 39 : 9 ) Anak merupakan salah satu anugerah dari Allah SWT, untuk itu anak tidak boleh disia-siakan serta harus dijaga dan dipelihara dengan sebaikbaiknya, agar tidak terjerumus pada budaya-budaya kehidupan yang merusak moral di era modern ini. Lingkungan sekitar sangat mempengaruhi perkembangan mental seorang anak. Hal ini dikarenakan dari lingkungan, anak dapat memperoleh tambahan wawasan baik yang bernilai positif maupun negatif bagi berkembangnya mental anak. Peran orang tua terhadap pendidikan anak sangat diperlukan, agar orang tua mampu menjadi batu pijak perkembangan mental anak. Hal ini senada dengan pandangan aliran empirisme dalam doktrin “tabula rasa” yang menyatakan bahwa perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam permasalahan pendidikan anak ini, kita tidak boleh membedakan antara anak yang normal perkembangan jasmani dan rohaninya, dengan anak yang mengalami kecacatan fisik, seperti anak yang mengalami kelemahan mental atau sering disebut tuna grahita. Sebagaimana yang diungkapkan dalam Islam yang tersurat dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
(١٣ : ٤٩/ )اﻟﺤﺠﺮات. Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. ( Al-Hujurat / 39 : 13) Kesempatan untuk menjadi manusia mulia sebagai orang yang bertaqwa diberikan kepada semua manusia, baik kaya, miskin, cacat atau tidak, semuanya sama di hadapan Allah SWT. Sebagai warga negara, anak-anak tuna grahita tidak di diskriminasikan untuk memperoleh pendidikan. Kelainan ini menjadi penting untuk diperhatikan dalam pemberian layanan pendidikan dan pengajarannya, oleh karena itu sangat dibutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus yaitu sekolah luar biasa (SLB) yang disesuaikan dengan kondisi objektivitasnya. Di samping hak-hak yang dimiliki anak-anak tuna grahita dalam memperoleh layanan pendidikan dan pengajaran, juga sebagai anggota masyarakat yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan, keluarga dan sosial kemasyarakatan. Untuk itu sangat diperlukan adanya adaptasi sosial sebagai konsekuensi logis dari masing-masing individu sebagai makhluk sosial. Melihat realita sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu membawa dampak positif bagi kehidupan manusia. Namun sebaliknya dalam realita kehidupan sehari-hari manusia banyak dihadapkan pada perubahan dan dinamika sosial cultural. Perkembangan IPTEK ini mempengaruhi anak untuk cenderung mengikuti arus perkembangan
tanpa memperhatikan dampak negatifnya bagi kehidupan sehari-hari yang mempengaruhi pengembangan mental anak, khususnya dalam hal ini anak tuna grahita. Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan bagi kehidupan manusia, tapi ia bukanlah satu-satunya dan bukan pula segalagalanya. Ilmu pengetahuan dan teknologi akan dapat berkembang dan mengembangkan mental seseorang jika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu dibarengi dengan nilai-nilai agama. Perkembangan fisik yang normal memungkinkan anak mampu menyesuaikan diri pada situasi yang ada dengan tuntutan sosial seusianya. Sedangkan perkembangan fisik yang tidak normal akan menghambat diri anak tersebut memiliki rasa kurang percaya diri dalam berinteraksi sosial. Biasanya orang yang sehat mentalnya, tidak akan merasa ambisius, sombong, rendah diri dan apatis tapi ia adalah wajar, menghargai orang lain, merasa percaya kepada diri dan selalu gesit. Pendidikan Islam mempunyai peranan penting dalam mengembangkan mental anak, hal ini dikarenakan pendidikan Islam memiliki nilai-nilai Islam yang bersumber langsung dari kitab suci Al-Qur’an dan alhadits. Pada dasarnya pendidikan Islam itu sendiri memiliki peran yang kongkrit dalam pembentukan kepribadian anak, terlebih lagi dengan pendidikan
akhlak. Pendidikan akhlak mampu menjadi tolak ukur bagi perkembangan mental seorang anak.72
b. Perlindungan Anak Cacat Mental dalam Dunia Pendidikan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Penyandang cacat dapat dikatakan kelompok yang paling miskin diantara yang miskin, kelompok paling tertindas diantara yang tertindas, kelompok yang hampir selalu diperlakukan secara diskriminatif dalam pendidikan, kurang mendapat pelatihan dan kesempatan kerja, sulit mengakses perawatan kesehatan termasuk informasi kesehatan reproduksi dan seksual bagi perempuan penyandang cacat, kurang mendapat jaminan memperoleh alat bantu, perempuan penyandang cacat mengalami ketidaksetaraan, kurang akses terhadap sarana air bersih, kurang akses informasi dan tekhnologi, serta menghadapi kemiskinan. Sebayak 20-30 % diantara orang miskin adalah penyandang cacat dan 90 % dari jumlah penyandang cacat adalah buta huruf.73
72
Urgensi Pendidikan Islam Bagi Pengembangan Mental Anak Tuna Grahita Studi Kasus di Slb C Bangun Putra Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta, diakses pada Rabu 18 Juni 2008 dari http://geibreil.wordpress.com/2008/03/04. 73 Yutak Takamini, Disability Issue In East Asia: Review And Ways Forward, dikutip dari Cucu Saidah, “Penyandang Cacat: Same Aability in Differents Ways”, dalam Lesung edisi III No.04, November 2005, h. 46.
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terdadap para penyandang cacat di Indonesia di tuangkan dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dan berupa peraturan pelaksanaan seperti PP Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Secara umum atau secara tidak langsung pengaturan perlindungan terhadap penyandang cacat juga diatur secara tersebar dalam beberapa peraturan
perundang-undangan
lain,
seperti
di
bidang
pendidikan,
ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, kependudukan, politik, pekerja umum, hak asasi manusia dan beberapa peraturan lainya. Sebelum penulis menguraikan lebih jauh dan mendalam tentang perlindungan hak pendidikan bagi anak cacat mental, penulis akan menggambarkan terlebih dahulu tentang hak-hak bagi anak yang mengalami kecacatan, diantaranya : UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah menetapkan beberapa hak yang dimiliki oleh para penyandang cacat pasal 6 : Setiap penyandang cacat berhak memperoleh : 1) Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan 2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya 3) Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya 4) Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya 5) Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial 6) Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa setiap orang diakui dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Demikian pula sebagai negara kedudukan, hak dan kewajiban serta kesempatan penyandang cacat adalah sama dengan warga negara lainnya Aksebilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aksebilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan. Jaminan atas aksebilitas bagi penyandang cacat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain ada dalam pasal 41, 42 dan 54.74 Pasal 41 1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh. 2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Pasal 42 Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
74
Muladi, Hak Asasi Manusia. Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), Cet 1, h. 254.
kemanusiaannya,
meningkatkan
rasa
percaya
diri
dan
kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di dalam aksebilatas fasilitas dan sarana-prasarana publik diatur pula hak para penyandang cacat yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aksebilitas penyandang cacat pada sarana dan fasilitas umum, khususnya transportasi, memang telah disebut dalam UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu dalam pasal 49 ayat (1) yang menyatakan bahwa: penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Dan penjelasan pasal ini disebutkan bahwa: perlakuan khusus tersebut berupa antara lain penyediaan sarana dan prasarana bagi penderita cacat, persyaratan khusus untuk memperoleh surat izin mengemudi, pengoprasian kendaraan khusus oleh penderita cacat.
C. Perlindungan Hak Pendidikan Bagi Anak Cacat Mental
Anak semenjak dilahirkan dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B ayat (2) yang menyatakan bahwa: “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa: “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat (2) menyatakan: “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” serta ayat (4) menyatakan “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kebijakan perlindungan anak yang dilakukan pemerintah terhadap para penyandang cacat adalah memperkuat sistem pelayanan kesejahteraan bagi anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, khususnya mengenai pemenuhan hak-hak anak yang memiliki cacat fisik dan mental, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM telah mengatur dalam pasal 54, yang menyatakan: “setiap anak yang cacat dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara,
untuk
kemanusiaannya,
menjamin
kehidupannya
meningkatkan
rasa
sesuai
percaya
diri
dengan dan
martabat kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 60 ayat (1) yang mengatur hak anak untuk mendapatkan pendidikan menyatakan bahwa: “setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya”. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa: “setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi mengembangkan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”. Perihal pendidikan diatur pula dalam konvensi hak anak mengenai pendidikan tercantum dalam pasal 28 ayat (1) menyatakan: “negara-negara pihak mengakui hak atas anak atas pendidikan dan dengan tujuan mencapai hak ini secara progresif dan berdasarkan kesempatan yang sama, mereka harus, terutama : a) Membuat pendidikan dasar wajib dan tersedianya cuma-cuma untuk semua anak b) Mendorong pengembangan bentuk-bentuk yang berbeda dari pendidikan mencegah, termasuk pendidikan umum dan kejuruan, membuatnya tersedia dan bisa diperoleh oleh setiap anak dan akan mengambil langkah-langkah yang layak seperti penerapan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan bila dibutuhkan c) Membuat pendidikan tinggi wajib untuk semua anak yang didasarkan pada kemampuan dari setiap sarana yang layak d) Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dicapai oleh semua anak e) Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan penurunan tingkat sekolah Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa: “negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah
dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak dan sesuai dengan konvensi ini”. Ayat (3) menyatakan: “negara-negara pihak harus meningkatkan dan mendorong kerja sama Internasional dalam masalahmasalah yang berkaitan dengan pendidikan, terutama dengan tujuan mengarah pada penghapusan kebodohan dan buta aksara di seluruh penjuru dunia dan memberikan fasilitas akses ke ilmu pengetahuan dan pengetahuan tekhnik dan metode-metode mengajar modern. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan pada kebutuhan-kebutuhan negara yang sedang berkembang”. Sedangkan pasal 29 ayat (1) menyatakan negara-negara peserta sependapat bahwa pendidikan anak akan di arahkan pada : a) Pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang paling penuh b) Pengembangan penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan asasi manusia dan kebebasan asasi dan atas prinsip-prinsip yang diabadikan dalam piagam perserikatan bangsa-bangsa c) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua anak, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, kepada nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak, dan kepada peradaban-peradaban yang berbeda dari peradaban sendiri d) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas. Dalam semangat saling pengertian, perdamaian, toleransi, persamaan jenis kelamin dan persahabatan antara sesama, suku bangsa, kelompok nasional, agama dan orang pribumi e) Pengembangan rasa hormat kepada lingkungan alam Ayat (2) menyatakan bahwa: “tidak ada bagian dari pasal ini atau pasal 28 akan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mengganggu kemerdekaan perorangan dan lembaga pendidikan, yang selalu mematuhi prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam ayat 1 pasal ini dan kebutuhan bahwa pendidikan yang diberi dalam lembaga-lembaga seperti itu akan sesuai dengan norma minimal sebagai yang mungkin di tetapkan oleh negara.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 24 menyatakan bahwa: “pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Pasal 49 menyatakan “negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan dasar bagi anak diarahkan sesuai dengan pasal 50 yang menyatakan pendidikan sebagaimana di maksud dalam pasal 48 diarahkan pada : a) Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal b) Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi c) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri d) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab e) Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup Pasal 53 ayat (1) menyatakan: “pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. Dari penjabaran peraturan perundang diatas merupakan serangkaian peraturan dasar yang menunjung hak atas pendidikan dasar anak, dan ada tindak lanjutnya untuk penerapan di setiap daerah Indonesia baik tingkat nasional maupun daerah. Mengenai penerapannya membutuhkan perangkat peraturan yang menunjang yaitu Undang-Undang tentang pendidikan. Pemerintah berupaya memenuhi hak atas dasar pendidikan dasar anak yaitu
dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan adanya peraturan ini peran pemerintah maupun daerah mengusahakan agar pendidikan dasar untuk anak terpenuhi. BAB IV hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat dan pemerintah bagian kesatu mengenai hak dan kewajiban warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah daerah pasal 11 ayat (1) menyatakan “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap negara tanpa diskriminasi” ayat (2) menyatakan: “pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”. BAB VI tentang jalur jenjang pendidikan, bagian kedua pendidikan dasar pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa: “pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah”. Lebih jelas lagi dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 untuk memenuhi hak atas pendidikan dasar anak yaitu BAB VIII tentang wajib belajar pasal 34 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar “ayat (2) menyatakan: “pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Sedangkan ayat (3) menyatakan: “wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. BAB XIII pendanaan pendidikan bagian kesatu mengenai tanggung jawab pendanaan, pasal 46 ayat (1) menyatakan: “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat” sedangkan ayat (2) yang menyatakan: “pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.75 Di dalam ketentuan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijumpai cukup banyak pengaturan tentang perlindungan anak, khususnya anak yang menyandang cacat. Pasal 1 ayat (7) UUAP memberikan definisi anak yang menyandang cacat yaitu anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Di bidang pendidikan, hak anak yang menyandang cacat untuk memperoleh pendidikan diberikan jaminan oleh pasal 9 ayat (1 dan 2), sebagai berikut : 1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. 2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
75
Departemen Hukum dan HAM, Evaluasi Tanggung Jawab Negara Dalam Implementasi Konvensi Hak Anak. Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2006.
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Di dalam pasal 51 diatur lebih lanjut tentang kesamaan kesempatan di bidang pendidikan anak yang penyandang cacat, dimana dikatakan bahwa: “anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa” di dalam pasal 59 dinyatakan bahwa anak yang menyandang cacat termasuk dalam katagori yag memperoleh perlindungan khusus yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga negara: “pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Penegasan tentang bentuk perlindungan khusus tersebut dikemukakan pada pasal 70, yang menyatakan Pasal 70 1. Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya :
a) perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak b) pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus c) memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu 2. Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat. B. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Perlindungan Hak Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan 1. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Perlindungan Hak Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan Perspektif Hukum Islam Al-Qur’an memerintahkan kepada orang tua agar mendidik anakanaknya dengan pendidikan yang didasari oleh keimanan dan menanamkan nilai takwa ke dalam hati anak-anaknya. Para orang tua juga diperintahkan untuk menanamkan keyakinan ke dalam hati anaknya bahwa keimanan dan taqwa kepada Allah SWT adalah dasar utama dalam menjalankan kehidupan. Dengan demikian, kelak sang anak akan menjadi manusia yang istiqamah di jalan Tuhan-Nya dan menjauhkannya diri dari perbuatan maksiat yang dibenci dan dimurkai-Nya Anak yang lahir ke dalam dunia adalah generasi penerus. Mereka adalah tunas-tunas baru yang akan tumbuh dan berkembang. Dan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, tidak ada pendidikan yang akan
membuahkan hasil yang baik kecuali pendidikan yang didasari oleh keimanan. Allah SWT berfirman :
(٩ :٤/ )اﻟﻨﺴﺎء. Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka” oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nissa / 4 : 9) Islam memerintahkan pada orang tua untuk memberikan penjelasan tentang jalan kehidupan yang benar kepada anak-anaknya, agar anak mereka tumbuh menjadi generasi yang tercurahkan, tidak hanya menjadi manusia yang baik untuk diri mereka sendiri, namun juga mampu mengeluarkan orang lain dari gelapnya syirik dan kebodohan menuju kehidupan yang di sinari oleh cahaya tauhid dan ilmu pengetahuan. Untuk mencetak generasi yang demikian, tidak ada cara lain kecuali dengan menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Sebab keduanya adalah petunjuk yang lurus.76 Keluarga (lingkungan rumah tangga), merupakan lembaga pertama dan utama yang dikenal anak. Hal ini disebabkan karena kedua orang tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan. Bimbingan, perhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua
76
Sa’ad, Agar Anak Tidak Durhaka, h. 6.
dengan anak-anaknya, merupakan basis yang ampuh bagi pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anak didik. Untuk mengembangkan dimensi kondusif, kedua orang tua hendaklah senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran agamanya. Memandang anak sebagai amanat Allah SWT yang harus dibina sesuai dengan nilai ilahiyah, serta melaksanakan semua kebijaksanaan sesuai dengan aturan syariat Islam sebagai hakim dalam kepemimpinan di dalam rumah tangga. Lewat
harmonisasi
kehidupan
yang
demikian,
anak
akan
mampu
mentauladaninya tanpa terpaksa, akan tetapi secara sadar menjadikan semua kebijaksanaan kedua orang tua sebagai acuan moral dalam seluruh aktivitasnya. Dalam fase ini, anak akan lebih banyak melakukan komunikasi dan interaksi dengan kedua orang tuanya atau anggota keluarganya, akan sangat mempengaruhi bentuk sikap dan perilaku, serta kepribadian anak selanjutnya. Oleh karena itu, agar proses sosialisasi tersebut berjalan secara edukatif dan sesuai dengan nilai-nilai ilahiah, maka kedua orang tua harus senantiasa memformulasikan bentuk kehidupan edukatif dan perilaku moral Islami. Dengan sikap tersebut, akan mampu memberi bekas dan mewarnai sikap serta perilaku anak dalam aktifitas kehidupannya. Untuk mendukung terjalinnya proses tersebut, diperlukan keberadaan kehidupan rumah tangga (keluarga) yang harmonis, tentram penuh kedamaian dan kasih sayang, serta suasana demokrasi yang kondusif dan menjamin
kemerdekaan individu untuk berkembang secara optimal. Tanpa terbinanya suasana kondusif tersebut, maka proses sosialisasi yang dilakukan akan sulit tercapai, sesuai dengan yang diharapkan. Proses peletakan dasar pendidikan di lingkungan keluarga, merupakan tonggak awal keberhasilan proses pendidikan selanjutnya, baik secara formal maupun non-formal. Demikian pula sebaliknya, kegagalan pendidikan di rumah tangga, akan berdampak cukup besar pada keberhasilan proses pendidikan di rumah tangga, akan berdampak cukup besar pada keberhasilan proses pendidikan anak selanjutnya, dalam hal ini Allah SWT berfirman :
( ٦ : ٦٦ / )اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ............. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS.At-Tahrim / 66 : 6) Bila rujukan naqli di atas dianalisa lebih lanjut, maka akan terlihat dengan jelas peranan dan tanggung jawab kedua orang tua dalam mendidik, mengasuh dan membina setiap pribadi manusia. Hal ini dapat dimaklumi karena keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama yang dikenal oleh anak. Untuk itu, keberadaan keluarga harus senantiasa memberikan dan mewariskan pengalaman edukatif-illahiyah yang dialogis dan dinamis, sesuai dengan perkembangan tuntutan zamannya. Kondisi ini sangat baik dengan tumbuhnya kepribadian anak secara optimal.77
77
Nizar Samsul, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 125.
2. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Perlindungan Hak Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Anak merupakan buah dari perkawinan antara ayah dan ibu. Orang pertama kali yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan perlindungan hakhaknya, baik jasmani dan rohani adalah orang tua. Dalam kaitan ini fungsi dan peranan keluarga menempati arti yang strategis, karena keluarga sebagai unit kecil dalam masyarakat yang menyandang peran, cakupan substansi dan ruang lingkup yang cukup luas. Dengan adanya kesamaan dan kejelasan mengenai fungsi dan peranan tersebut, akan dapat mempermudah dalam memberikan alternatif pemberdayaan keluarga dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam keluarga.78 Kewajiban orang tua terhadap anak-anak, pada dasarnya adalah merupakan hak anak yang paling pokok dan mendasar yang perlu dilindungi, karena ia masih lemah dan juga merupakan amat Tuhan yang maha Esa untuk diasuh dan dipelihara serta dididik. 78
Bismar Siregar, Hukum dan Anak, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h. 23.
Kewajiban orang tua yang pertama ialah melindungi anaknya sampai dewasa. Dalam hal ini anak dibawah kekuasaan orang tua, sebagaimana yang tercantum pada pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a) mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak Sedangkan kewajiban orang tua dalam penyelenggaraan perlindungan anak di bidang pendidikan tercantum pada pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : Pasal 49 Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
3. Analisa Penulis Tentang Perlindungan Anak Cacat Mental Dalam Dunia Pendidikan Dari apa yang telah penulis paparkan di atas, maka konsep perlindungan anak cacat mental dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada dasarnya mempunyai fungsi yang sama dalam hal melindungi anak khususnya dalam dunia pendidikan. Letak
perbedaan antara hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hanya pada butir-butir perincian dan landasan berpikir serta tujuannya. Berikut ini penulis paparkan berbedaan konsep perlindungan pendidikan bagi anak cacat mental. Dalam pandangan Islam perlindungan pendidikan tidak hanya dipandang sebagai pengembangan potensi, namun juga sebagai pewarisan budaya serta interaksi antara potensi dan budaya. Anak memiliki sejumlah potensi dan kemampuan, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi laten yang dimiliki oleh setiap anak didik, potensi laten itu disebut sebagai “fitrah” bentuk fitrah itu sangat beragam. Hal ini berarti bahwa kelahirah anak di muka bumi ini tidak terlepas dengan keagungan Allah SWT, sehingga anak lahir dengan membawa fitrah. Di lihat dari jenisnya, fitrah sesungguhnya bermacam-macam, diantaranya fitrah agama, sosial, ekonomi, keadilan, kemerdekaan, persamaan dan ingin dihargai. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah menjaga potensi yang dimiliki dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan. Sedangkan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijumpai cukup banyak pengaturan tentang perlindungan anak, khususnya anak yang menyandang cacat. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak yang menyandang cacat sebagai anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan
dan perkembangannya secara wajar. Di bidang pendidikan, hak anak yang menyandang cacat untuk memperoleh pendidikan diberikan jaminan oleh pasal 9 ayat (1 dan 2), sebagai berikut :
1. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. 2. Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan
bagi
anak
yang
memiliki
keunggulan
juga
berhak
mendapatkan pendidikan khusus.
Di dalam pasal 51 diatur lebih lanjut tentang kesamaan kesempatan di bidang pendidikan anak yang penyandang cacat, dimana dikatakan bahwa: “anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa” di dalam pasal 59 dinyatakan bahwa: anak yang menyandang cacat termasuk dalam katagori yang memperoleh perlindungan khusus yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga negara: “pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Penegasan tentang bentuk perlindungan khusus tersebut dikemukakan pada pasal 70, yang menyatakan : 1. Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya : a) perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak b) pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus c) memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. 2. Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Setelah mempelajari dan menganalisa berbagai masalah dalam skripsi ini, maka penulis penyimpulkan sebagai berikut : 1. Perlindungan anak dalam hukum Islam merupakan fitrah yang di berikan Allah SWT sejak dini yang di tanamkan dalam hati orang tua berupa cinta dan kasih sayang sejak anak dalam kandungan untuk menjaga dan memelihara anak dan hak-haknya sebelum dan sesudah dilahirkan agar dapat hidup bahagia, baik dunia maupun akhirat. Sedangkan perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang mencakup dalam bidang agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus bagi anak. 2. Dalam hukum Islam, pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi laten yang dimiliki oleh setiap anak didik, potensi laten itu disebut sebagai “fitrah” bentuk fitrah itu sangat beragam. Hal ini berarti bahwa kelahiran anak di muka bumi ini tidak terlepas dengan keagungan Allah SWT, sehingga anak lahir dengan
membawa fitrah. Semua ini dimaksudkan agar manusia berada pada sistem sosial yang tinggi, yaitu selalu berada dalam garis perjuangan penyelamatan manusia dari kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya kebenaran Allah SWT. Perlindungan pendidikan anak cacat mental pada dasarnya merupakan hak yang harus dipenuhi sejak dalam kandungan. dalam hal ini terkandung dalam Hifdzul Aql (pemeliharaan atas akal). Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan hak memperoleh pendidikan bagi anak cacat mental diberikan jaminan dalam pasal 9 ayat (1 dan 2), sebagai berikut : a) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. b) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. 3. Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yang kedudukannya setingkat dengan komisi negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres 77 tahun 2003 dan pasal 74 UU No. 23 tahun
2002
meningkatkan
tentang
Perlindungan
efektivitas
Anak
penyelenggaraan
dalam
rangka
perlindungan
untuk
anak
di
Indonesia. Lembaga ini bersifat independen, tidak boleh dipengaruhi oleh
siapa dan dari mana serta kepentingan apapun, kecuali satu yaitu “demi kepentingan terbaik bagi anak”. Pada pasal 76 UU perlindungan anak dicantumkan bahwa tugas pokok KPAI ada 2, yaitu : 1) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan,
evaluasi
dan
pengawasan
terhadap
pelanggaran perlindungan anak 2) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak.
B. Saran-saran Pada akhir penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan beberapa saran, demi terlaksananya perlindungan hak pendidikan bagi anak cacat mental yang baik dan benar di negara kita tercinta ini : 1. Pada dasarnya semua orang adalah sama di hadapan hukum dan berhak memperoleh perlindungan yang sama dalam hukum. 2. Penulis mengajak, agar kita mulai melindungi anak dari kita sendiri, dengan mengasuh, menyayangi dan mengasihi anak-anak 3. Bagi para penegak hukum, khususnya lembaga yang berperan aktif, yaitu komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) hendaknya lebih menyebar luaskan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lebih menampakkan bentuk nyata atas perwujudan dari aspek perlindungan anak yang terkandung pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4. Peningkatkan peranan keluarga, pendidik, orang tua untuk mengasuh, merawat, mendidik serta memenuhi kebutuhan anak tanpa terkecuali 5. Para orang tua yang memiliki anak cacat mental agar lebih peka dan aktif dalam mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada anaknya, khususnya dalam menerapkan pendidikan dan menanamkan rasa percaya diri pada anak
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul Al- Karim Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1994. Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Amiruddin dan Asikin Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004. Anshori, Ibnu. Modul Pelatihan Guru Lintas Agama Berbasis HAM. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2007. --------------, Modul Pelatihan Perlindungan Anak Berbasis Multikultural, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2007. --------------, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2007. --------------, Perlindungan Anak Dalam Agama Islam, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2006. Ayyub Hassan, Etika Islam Menuju Kehidupan Yang Hakiki, Bandung: PT Triganda Karya, 1994. Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996. Brosur Perlindungan Anak di Mata Hukum dan Hak Asasi Manusia, keluaran Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, Direktorat Jendral Perlindungan HAM. Departemen Sosial Republik Indonesia Direktorat Pelayanan Sosial Anak, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat Mental (Tuna Grahita), Departemen Sosial Republik Indonesia Direktorat Pelayanan Sosial Anak, 2007. Departemen Hukum dan HAM, Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Departemen Hukum dan HAM, 2006. --------------, Evaluasi Tanggung Jawab Negara Dalam Implementasi Konvensi Hak Anak, Departemen Hukum dan HAM 2006. --------------, Evaluasi Tentang Implimentasi Hak Pendidikan Dasar Anak Penyandang Cacat, Departemen Hukum dan HAM 2006. Delphie Bandi, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Hoeve, 2000.
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak, Jakarta PT: Al-Mawardi, 2004. Huseien, Abdur Rozak. Hak-Hak Anak Dalam Islam, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Lembaga Negara Independen untuk Perlindungan Anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2005. --------------, Laporan Penelitian: Pengkajian Masalah Kekeran Terhadap Anak (Corporal Punishment di Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Studi Kasus Jawa Timur), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2006. --------------, Pelatihan Aparat Penegak Hukum Tentang Perlindungan Anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2006. --------------, Jalan Terjal Menuju Kepentingan Terbaik Bagi Anak, Himpunan Kasus Pengaduan 2007. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2007. Karim Sa’ad, Agar Anak Tidak Durhaka, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Muladi, Hak Asasi Manusia. Hakikat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara 2003. Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Soekanto, Sorjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2005. Susilowati, Ima dkk. Konvensi Hak-Hak Anak, Yogyakarta: Sabahan Remaja, tth. Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Urgensi Pendidikan Islam Bagi Pengembangan Mental Anak Tuna Grahita Studi Kasus di Slb C Bangun Putra Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta, diakses pada tanggal Rabu 18 Juni 2008 dari http://geibreil.wordpress.com/2008/03/04. Wadong, Maulana Hasan. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo, 2000. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Convention On The Right Of The Child (konvensi hak anak), Konvensi PBB pada tanggal 20 Desember 1989 Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA PBB Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan