Greenwashing in the Ecotourism Management of Pulau Umang Resort as Corporate Crime Lili Nur Indah Sari Department of Criminology, Faculty of Social and Political Science, University of Indonesia, Indonesia Email:
[email protected]
Abstract The trend of more environmentally friendly products encourages business owners to feel the need to participate in changing the identity of their products to be more environmentally friendly, and so do the business owners in tourism industry. But, in fact, most of them are instead stuck in the behavior of greenwashing. Through this thesis, the researcher conducted a case study about a case of greenwashing which is done by the Management of Umang Island Resorts. By using Fraud Triangle Theory by Cressey, the researcher tried to analyze their activities that could be categorized as greenwashing and also the factors that force them to commit those activities. Keywords: Greenwashing, Ecotourism, Green Branding, Green Marketing, Green Criminology, White-Collar Crime
Introduction Paradigma pembangunan berkelanjutan atau yang juga dikenal sebagai paradigma ekonomi hijau kini mulai berkembang. Di negara lain bahkan pembangunan berkelanjutan telah diterima sebagai agenda politik pembangunan (Keraf, 2002). Iannuzzi (2012) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa saat ini, dimana pun kita berada, paradigma pembangunan berkelanjutan sedang menjadi pembicaraan. Paradigma pembangunan berkelanjutan sendiri adalah pembangunan yang mempertemukan kebutuhan di masa kini tanpa mengganggu kemampuan generasi di masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Strange dan Bayley, 2008). Thomas (1997) pun telah meramalkan besarnya perkembangan pembangunan berkelanjutan. Ia memprediksi terdapat tiga isu utama yang akan berkembang pada dekade terakhir abad ke-20 berkaitan dengan agenda perencanaan negara, salah satunya adalah isu pembangunan berkelanjutan. Perubahan paradigma ekonomi hijau yang terjadi di dunia direspon oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai inisiatif dan aturan perundang-undangan. Salah satunya melalui Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mengajak sektor swasta untuk turut berperan aktif dalam terwujudnya pembangunan berkelanjutan melalui
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan tersebut. Selain itu, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga telah memberikan ruang cukup luas untuk mengembangkan ekonomi hijau melalui instrumen-instrumen ekonomi lingkungan. Dinamika perubahan paradigma pembangunan berkelanjutan, ditambah dengan dorongan pemerintah Indonesia melalui instrumen hukum akan praktik bisnis ramah lingkungan membuat perusahaan besar berlomba-lomba menerapkan paradigma ekonomi hijau tersebut. Mereka pun melakukan berbagai upaya pencitraan dan pemasaran hijau atas produk mereka. Walaupun, pada beberapa kasus, kebanyakan perusahaan tidak benar-benar menerapkan nilai-nilai ramah lingkungan, seperti apa yang mereka citrakan ke publik. Pencitraan dengan klaim hijau yang tidak berdasarkan fakta itu disebut oleh Jay Westerveld tahun 1986 sebagai greenwashing (Sullivan, 2009 dalam White, 2012). Westerveld menyoroti praktik industri hotel yang menempatkan plakat di setiap kamar untuk mempromosikan penggunaan kembali handuk sebagai upaya menyelamatkan lingkungan. Padahal, upaya tersebut dilakukan pihak hotel untuk mengurangi biaya pencucian handuk yang menjadi beban hotel (ibid). Gambaran greenwashing pada industri perhotelan oleh Westerveld telah menunjukkan bahwa indikasi greenwashing nyatanya tidak hanya terjadi pada industri skala besar saja. Bahwa setiap industri, tidak terkecuali industri perhotelan, turut mendapatkan pengaruh dari berkembangnya tren gaya hidup ramah lingkungan. Hal ini karena para pelaku industri melihat bahwa perhatian terhadap tren yang sedang berkembang merupakan sebuah keharusan (Bellingham, 2012). Sebagai sebuah industri, minat masyarakat pada gaya hidup ramah lingkungan yang semakin tinggi membuat bisnis pariwisata diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan pariwisata yang memiliki fungsi pelestarian tinggi dari pada dampak rekreasi yang dihasilkan (Mercer, 1996 dalam Self, Self dan Bell-Haynes, 2010). Hingga pada abad ke-21,
pariwisata ramah lingkungan (ecotourism) menjadi semacam tren yang sangat
berkembang (Russell dan Wallace, 2004). Bolaños-Jiménez, dkk. (2007) menyebutkan bahwa ecotourism adalah sektor industri pariwisata yang paling cepat tumbuh di dunia. Namun, kecenderungan untuk mendapatkan profit dalam jangka waktu yang singkat membuat para pemain industri pariwisata ramah lingkungan ini justru tidak menerapkan konsep ramah lingkungan pada operasionalisasi industri mereka (Russell dan Wallace, 2004).
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Methods Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Mengingat kasus yang diteliti cukup sensitif, peneliti berharap, melalui pendekatan kualitatif, akan tercipta penerimaan yang baik dari pihak yang terlibat dalam penelitian ini. Sehingga, hal tersebut dapat mempermudah peneliti dalam proses pengumpulan data. Studi kasus dipilih sebagai model penelitian ini. Tujuannya, agar peneliti mendapatkan gambaran utuh atas fenomena greenwashing dalam industri pariwisata yang berkonsep ramah lingkungan (ecotourism). Melalui penelitian kualitatif yang berbentuk studi kasus, penelitian bertujuan untuk mengemukakan realita yang terkonstruksi di lapangan untuk mendapatkan deskripsi komprehensif atas sebuah kenyataan yang ada, sehingga faktor-faktor pendorong terjadinya sebuah fenomena dapat digali lebih dalam lagi. Pemilihan studi kasus ini juga dilakukan karena penelitian ini tidak berusaha untuk melakukan perbandingan dari fenomena khas yang menjadi fokus penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Observasi dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran dari kejadian di lapangan secara utuh dan menyeluruh. Mengingat, greenwashing merupakan kasus kejahatan yang bukan merupakan fenomena tunggal. Dalam konteks kasus ini, peneliti ingin melihat bagaimana kegiatan operasional Pulau Umang Resort yang mengklaim ramah lingkungan dan kaitannya dengan citra hijau yang diiklankan. Berkaitan dengan kasus yang diambil oleh peneliti, yaitu Pulau Umang Resort sebagai pelaku greenwashing, maka yang menjadi lingkup pengamatan peneliti adalah Pulau Umang Resort dan lingkungan di sekitarnya serta pihak-pihak yang berada di dalamnya, seperti masyarakat lokal, wisatawan, serta pengelola pulau itu sendiri. Dalam pengamatan tersebut, peneliti akan melihat program-program apa saja yang dilakukan oleh Pulau Umang Resort dalam rangka membangun citra sebagai lokasi pariwisata ramah lingkungan, serta bagaimana program tersebut justru berbalik menjadi greenwashing. Peneliti juga ingin melihat bagaimana masyarakat lokal melihat kasus tersebut. Selain itu, pada observasi lapangan peneliti juga berusaha untuk mencari aspek-aspek lain di lapangan yang dirasakan dapat mendukung data penelitian serta butuh untuk ditindaklanjuti dalam bentuk wawancara mendalam karena tidak mungkin diketahui hanya dengan pengamatan, misalnya bagaimana latar belakang hingga pulau tersebut bisa dimiliki oleh perorangan, bagaimana latar belakang
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
pembangunan Pulau Umang Resort, serta bagaimana kondisi masyarakat sebelum dan sesudah adanya lokasi pariwisata tersebut. Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data-data yang lebih dalam mengenai data-data yang peneliti dapatkan di lapangan.
Discussion Berdasarkan data yang telah didapat selama proses pengumpulan data, peneliti menemukan fakta bahwa Pulau Umang Resort telah melakukan berbagai aktivitas yang merusak lingkungan. Aktivitas tersebut dimuat pada tabel di bawah ini.
No.
Tabel 2. Pelanggaran terhadap Prosedur Lingkungan yang Dilakukan oleh Pengelola Pulau Umang Resort Bentuk Pelanggaran Prosedur yang Dilanggar
1.
Pulau Umang telah sejak lama mengalami privatisasi. Pembelian Pulau Umang oleh Pak DT merupakan bentuk pelanggengan atas praktik privatisasi tersebut.
UUD RI bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.
Pelanggengan privatisasi Pulau Oar yang juga dibeli oleh Pak DT.
UUD RI bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3.
Pengrusakan terumbu karang akibat Tidak sesuai dengan Prosedur model transplantasi terumbu karang Transplantasi Terumbu Karang yang ditulis oleh Edwards dan Gomez (2007). yang tidak sesuai dengan prosedur dalam program One Million Coral. Selain itu, praktik tersebut juga menyalahi ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 yang ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 113
4.
Pengrusakan nilai baku mutu lingkungan akibat penggunaan mesin diesel yang berlebihan dan pengelolaan limbah diesel yang tidak sesuai prosedur, bahkan pada beberapa kali kesempatan, Pulau Umang Resort sengaja membuang
Tidak sesuai dengan Guidelines for Oil Spill Waste Minimization and Management yang dikeluarkan oleh International Petroleum Industry Environmental Conservation Association (IPIECA). Selain itu, praktik tersebut juga
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
limbah minyak (spill) secara sembarangan.
menyalahi ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 yang ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 99 ayat (1) dan Pasal 103
5.
Sistem pembuangan sampah yang tidak layak.
Menyalahi ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 yang ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 99 ayat (1)
6.
Penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Padahal air tanah tersebut hanya layak untuk kebutuhan sehari-hari.
Menyalahi ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 yang ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 99 ayat (1)
7.
Aktivitas snorkeling yang tidak ramah lingkungan.
Tidak sesuai dengan Experiencing Marine Reserves (EMR) – snorkelling activity Standard Operating Procedures (SOP) Manual 2015 yang dirilis oleh Experiencing Marine Reserves (EMR).
8.
Aktivitas pariwisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Sehingga, mengganggu kelomang-kelomang yang habitatnya di pulau tersebut.
Tidak sesuai dengan Pedoman Umum Kawasan Konservasi Perairan untuk Kegiatan Pariwisata Alam Perairan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010.
9.
Konsumsi biawak yang tidak berizin.
Tidak sesuai dengan Pedoman Umum Kawasan Konservasi Perairan untuk Kegiatan Pariwisata Alam Perairan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010.
Sumber : Data Olahan Pribadi Pada akhirnya, terlepas dari status Pulau Umang yang termasuk dalam Daerah Konservasi versi Kementerian Kelautan dan Perikanan atau pun Daerah Penyangga versi Kementerian Kehutanan, praktik-praktik yang merusak lingkungan seperti pada tabel di atas masih tetap terjadi. Di sisi lain, hal yang harus disadari adalah alam pada akhirnya harus menjadi korban dari praktik greenwashing yang telah dilakukan oleh Pulau Umang Resort. Di
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
sisi lain, kasus ini menunjukkan jika penetapan suatu kawasan sebagai daerah yang seharusnya dilindungi, tidak akan bermakna apa-apa jika mekanisme penegakan hukumnya tidak berjalan dengan baik. Mekanisme penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik ini menunjukkan kekosongan peran yang seharusnya dijalankan oleh negara. Padahal, jika melihat apa yang dikatakan oleh Cohen (1992a, dalam Situ dan Emmons, 2000), pelanggaran terhadap aturan hukum lingkungan yang dilakukan selama terus-menerus akan menyebabkan aturan tersebut mengalami overcriminalized. Sehingga, kejahatan lingkungan tersebut akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan mendorong terjadinya penurunan stigma moral terhadap kriminalisasi itu sendiri. Lebih jauh, mungkin praktik ini juga dapat menjadi salah satu contoh nyata mengenai apa yang dikatakan Situ dan Emmons (2000) sebagai governmental crime against the environment. Bagaimana kemudian Situ dan Emmons (2000) menyebut pemerintah sebagai tipe ketiga dari organizational offender. Walaupun, governmental crime against the environment tidak menekankan pada kegagalan negara untuk menjalankan perannya. Namun, lebih kepada kegagalan pemerintah menjalankan instrumen hukum yang telah ada di dalam negara tersebut, melalui berbagai praktik penyalahgunaan wewenang, skandal politik, dan sebagainya. Fenomena ini juga memberikan gambaran tentang manusia dan kecenderungannya terhadap egosentrisme. Penetapan wilayah konservasi, wilayah lindung, zona penyangga, dan sebagainya kontekstual dengan gambaran Cole (1999) atas egosentrisme manusia. Bahwa alam dikonservasi dan dilindungi hanya untuk kepentingan manusia. Sehingga, alam menjadi seolah tak berdaya (inert) dan pasif (passive). Greenwashing dalam konteks ini juga memberikan gambaran ketiadaan paradigma ecocentrism yang terkandung dalam perspektif green criminology sebagai upaya untuk melekatkan hak dasar kepada setiap makhluk hidup (Miller, 1995 dalam South, 1998). Dengan demikian, jika melihat praktik greenwashing dalam pandangan green criminology, maka greenwashing adalah jelas merupakan kejahatan. Salah satu perspektif dalam green criminology, yaitu environmental justice yang mengacu pada distribusi lingkungan terkait akses dan penggunaan sumber daya lingkungan (Nurse, 2014), secara tidak langsung memperlihatkan jika eksklusi sosial bertentangan dengan nilai-nilai environmental justice. Hal itu karena eksklusi sosial yang terjadi dalam bentuk pembatasan akses terhadap sumber daya alam tertentu, dalam hal ini Pulau Umang sebagai potensi pariwisata, yang seharusnya dapat diberdayakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat, justru menghambat proses perbaikan ekonomi itu sendiri.
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Perspektif selanjutnya dalam green criminology, yaitu ecological justice meyakini jika manusia hanyalah satu bagian dari keseluruhan planet, oleh karenanya setiap sistem peradilan butuh untuk mempertimbangkan lingkungan alam (biosfer) yang lebih luas dan spesiesspesies yang bergantung pada alam (Nurse, 2013b dalam Nurse, 2014). Oleh karena itu, perspektif
ecological
justice
melihat
jika
seluruh
aktivitas
manusia
seharusnya
mempertimbangkan kelestarian alam dan lingkungan. Mengingat, eksistensi planet bumi dan seluruh isinya tidak hanya diperuntukkan bagi manusia saja, tetapi juga bagi seluruh makhluk di bumi (ibid). Sedangkan, yang terjadi dalam kasus greenwashing, khususnya dalam konteks Pulau Umang Resort, kelestarian lingkungan menjadi sesuatu yang dikorbankan atas sebuah kepentingan pribadi. Contoh sederhana dapat dilihat dari bagaimana Pulau Umang Resort mengadakan program One Million Trees dan One Million Coral sebagai green branding dan green marketing mereka yang justru merusak lingkungan. Lebih jauh, pandangan kritis dalam kajian green criminology membuat pandangan “kejahatan karena adanya instrumen hukum yang dilanggar”, seperti yang dikatakan Situ dan Emmons (2000, hlm. 2) “the strict legalist perspective emphasizes crime is whatever the criminal code says it is”, tidak dapat lagi diandalkan. Penekanan terhadap environmental harm dalam green criminology membuat kerusakan lingkungan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dipertimbangkan, terlepas dari ada atau tidaknya hukum yang mengatur. Oleh karena itu, sekalipun belum terdapat instrumen hukum yang jelas di Indonesia, greenwashing jelas dapat dikatakan sebagai kejahatan. Seperti apa yang dikatakan oleh Situ dan Emmons (2000, hlm. 3) berikut , “…may not violate the criminal law yet are so violent in their expression or harmful in their effects to merit definition as crimes”, …mungkin memang tidak melanggar hukum pidana apa pun, namun efek dari tindakan mereka sangat ‘kasar’ dan berbahaya sehingga pantas dikatakan sebagai kejahatan. Greenwashing, jika dilihat dalam kajian green criminology, jelas merupakan sebuah praktik kejahatan terhadap lingkungan. Dalam konteks kasus greenwashing oleh Pulau Umang Resort, dapat dilihat jika praktiknya bertentangan dengan perspektif environmental justice dan ecological justice. Jika ditelaah dari aturan hukum yang berlaku di Indonesia, praktik greenwashing dapat dikatakan tidak sesuai dengan UU No. 32 tahun 2009 yang ketentuan pidananya diatur dalam pasal 99 dan 113. Di sisi lain, melihat karakteristik praktiknya yang dilakukan oleh pegawai-pegawai Pulau Umang Resort untuk menguntungkan Pulau Umang Resort itu sendiri, maka kejahatan ini merupakan kejahatan kerah putih dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime), “offenses committed by corporate officials for their corporation and the
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
offenses of the corporation itself”, kejahatan yang dilakukan oleh pegawai perusahaan untuk kepentingan perusahaan mereka dan kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri (Clinard dan Quinney, 1973, hlm. 188 dalam Friedrichs, 2010, hlm. 60). Kenyataan bahwa greenwashing adalah bagian dari white-collar crime, tidak dapat dipisahkan dengan kemungkinan jika praktik greenwashing tidak terjadi secara tunggal. Greenwashing dapat berupa serangkaian tindakan kejahatan dan hal itu lah yang terjadi pada kasus greenwashing yang dilakukan oleh Pulau Umang Resort. Bahwa, berdasarkan temuan data yang telah peneliti paparkan pada Bab IV, peneliti melihat kecenderungan jika greenwashing dalam kasus Pulau Umang Resort bukan merupakan kasus kejahatan yang terjadi secara tunggal. Tetapi, terdapat bentuk kejahatan lain yang menyertai atau menyokong praktik greenwashing oleh Pulau Umang Resort tersebut. Contoh sederhana dapat dilihat pada bagaimana kejahatan dalam bentuk privatisasi pulau (lihat UU No. 1 Tahun 2014 pada Lampiran 22), yang kemudian mendorong terjadinya eksklusi sosial terhadap masyarakat di sekitar Pulau Umang (lihat hlm. 82), nyatanya telah terjadi pada jauh sebelum praktik greenwashing ini dilakukan. Walaupun memang, Pak DT sebagai pihak yang membeli pulau tersebut bukan yang pertama melakukan privatisasi terhadap Pulau Umang tersebut. Berdasarkan pengertian privatisasi dari Megginson dan Netter (2001), proses pembelian Pulau Umang oleh Pak DT pada tahun 1980, tidak dapat langsung dikatakan sebagai praktik privatisasi. Telah dibahas sebelumnya bahwa privatisasi adalah penjualan aset negara secara sengaja kepada agen ekonomi privat (Megginson dan Netter, 2001). Mengacu pada pengertian tersebut, sebuah aset dikatakan mengalami privatisasi ketika sebelumnya aset tersebut dimiliki oleh negara. Sedangkan, dalam kasus Pulau Umang Resort, Pulau Umang yang dibeli Pak DT saat itu memang sudah tidak berstatus ‘milik negara’ (lihat hlm. 48). Dengan demikian, proses privatisasi sebenarnya telah terjadi sejak Pulau Umang diklaim dimiliki secara personal oleh pemilik pulau sebelumnya. Sedangkan, dibelinya Pulau Umang oleh Pak DT dapat berarti Pak DT telah ‘melanggengkan’ status Pulau Umang yang telah diprivatisasi tersebut. Terlepas dari itu, paparan tersebut menunjukkan jika privatisasi terhadap Pulau Umang kemudian memunculkan enironmental ownership (White, 2008) yang memunculkan rasa memiliki secara personal atas aset publik, memicu terjadinya eksklusi sosial pada masyarakat di sekitarnya. Hal lain yang menunjukkan jika praktik greenwashing tidak terjadi secara tunggal adalah indikasi terjadinya praktik ‘korupsi’ di antara pemilik Pulau Umang Resort dengan pejabat-pejabat tertentu. Terungkapnya fakta jika Ketua UCS ‘dibayar’ ketika bertugas
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
mungkin dapat menjadi contoh indikasi tersebut (lihat hlm. 54). Selain itu, kedekatan Pulau Umang Resort terhadap pejabat tertentu serta pelayanan prima yang diberikan oleh Pulau Umang Resort juga dapat mengarah pada kemungkinan tersebut, seperti apa yang diceritakan oleh XZ dan JO mengenai pelayanan yang diberikan oleh Pulau Umang Resort (lihat hlm. 68 – 69). Intinya, greenwashing sebagai sebuah bentuk kejahatan kerah putih, pada praktiknya membutuhkan orang lain dengan posisi yang lebih tinggi atau setidaknya setara (white collar) agar dapat terlaksana. Mengingat, industri pariwisata merupakan salah satu industri yang membutuhkan perizinan panjang dari para birokrat. Lebih jauh, dalam menganalisis praktik greenwashing yang dilakukan oleh Pulau Umang Resort, peneliti menggunakan Fraud Triangle Theory dari Cressey. Dalam teori tersebut, dikatakan bahwa ada tiga kondisi umum yang terdapat pada setiap kasus kecurangan (fraud),
yaitu
tekanan
(pressure),
rasionalisasi
(rasionalization),
dan
kesempatan
(opportunity) (Singleton dan Singleton, 2010). Pertama, berkaitan dengan adanya tekanan (pressure) untuk melakukan greenwashing. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, masyarakat kini cenderung untuk memilih produk yang ramah lingkungan. Kecenderungan tersebut juga mempengaruhi pilihan mereka dalam sektor pariwisata yang berdampak pada menjamurnya destinasi pariwisata berkonsep ekowisata. Seperti dikatakan oleh Scheyvens (1999, hlm. 245), “the demands of increasingly affluent consumers for “remote”, “natural” and “exotic” environments have created an upsurge in ecotourism ventures, particularly in developing countries”. Oleh karena itu, ‘pemain’ dalam industri pariwisata yang belum memenuhi standar lingkungan terpaksa harus bersaing dengan ‘pemain’ lain yang telah melekatkan label ramah lingkungan pada bisnis mereka. Pemain dalam industri pariwisata memiliki tuntutan untuk ‘mengubah’ model bisnis mereka agar mereka dapat bertahan dalam industri tersebut. Oleh karena itu, tuntutan tersebut menjadi semacam tekanan bagi bisnis mereka untuk mengubah model bisnis mereka secara ‘instan’, ketika realitanya mereka belum siap untuk menjadi ramah lingkungan. Sehingga, pada akhirnya pemain dalam industri pariwisata tersebut, termasuk Pulau Umang Resort, terjebak di dalam praktik-praktik greenwashing yang justru merusak lingkungan. Tekanan untuk menjadi ramah terhadap lingkungan pula yang mugkin mendorong Pulau Umang Resort memaksakan diri melaksanakan program “One Million Trees” dan “One Million Coral” serta segala konsep ramah lingkungan yang telah mereka publikasikan, meskipun mereka belum siap untuk itu. Terlebih lagi, program tersebut memang terbukti dapat menarik perhatian publik terhadap mereka. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
penghargaan yang didapat Pulau Umang Resort atas program lingkungannya (lihat Profil Pulau Umang Resort pada Lampiran 19). Respon pasar yang positif itu yang mendorong Pulau Umang Resort tetap bertahan dengan model bisnis yang ‘ramah lingkungan’. Di sisi lain, respon pasar yang positif tersebut ternyata tidak disertai dengan sikap kritis masyarakat terhadap barang atau pun jasa yang ditawarkan, sehingga, celah itu lah yang kemudian dimanfaatkan Pulau Umang Resort untuk melakukan kecurangan-kecurangan Lebih jauh, Singleton dan Singleton (2010) menyebutkan jika tekanan tersebut tidak hanya terjadi dalam konteks bisnis saja. Tetapi, tekanan tersebut dapat hadir dalam bentuk gejala yang lain, seperti ketergantungan pada narkoba dan kebiasaan judi (gambling habit). XZ saat diwawancarai mengungkapkan jika kemungkinan Pak DT memiliki kecenderungan terhadap gambling habit tersebut. XZ juga menambahkan jika kebiasaan itu pula yang membuat Pak DT mengalami beberapa kali kejadian kebangkrutan pada bisnisnya yang lain yang terhitung maju. Dengan begitu, Pak DT sebagai Presiden Direktur Pulau Umang Resort melimpahkan tekanan untuk menutupi kebutuhan keuangan bisnis-bisnisnya kepada Pulau Umang Resort. Sehingga, dalam menjalankan bisnis mereka, Pulau Umang Resort benarbenar memanfaatkan segala celah untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Kondisi umum selanjutnya adalah rasionalisasi. Pada setiap tindakan kejahatan kerah putih, Coleman (1987) melihat jika selalu ada penggunaan teknik netralisasi untuk memungkinkan pelaku mempertahankan citra diri sebagai ‘bukan penyimpang’. Konstruksi simbolik semacam ini sering disebut sebagai rasionalisasi oleh ahli teori interaksionis, termasuk dalam Fraud Triangle Theory ini. Dalam konteks kasus Pulau Umang Resort, peneliti melihat jika Pulau Umang Resort melakukan rasionalisasi atas segala bentuk misrepresentasi dan fraud yang mereka lakukan dengan mendirikan berbagai organisasi dan program lingkungan, seperti Ujungkulon Conservation Society (UCS), “One Million Coral” dan ”One Million Trees”. Upaya rasionalisasi tersebut juga dilakukan melalui kecenderungan untuk selalu menganggap jika program-program maupun organisasi lingkungan yang mereka buat merupakan perwujudan rasa tanggung jawab mereka atas lingkungan hidup (Korespondensi dengan DT, 22 April 2015). Selanjutnya, jika pada prosesnya program tersebut tidak berjalan dengan baik dan justru merusak lingkungan, Pak DT hanya mengatakan jika memang program tersebut belum berjalan
dengan
sempurna
dan
masih
berusaha
menuju
kesempurnaan
tersebut
(Korespondensi dengan DT, 22 April 2015). Ungkapan permisif seperti itu yang kemudian membuat seolah-olah publik berpikir jika sah-sah saja suatu program yang baik bagi
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
lingkungan ternyata justru merusak lingkungan. Toh, program itu masih berproses untuk menjadi sempurna dan memang belum sempurna sepenuhnya. Bentuk rasionalisasi selanjutnya yang peneliti lihat dilakukan Pulau Umang Resort terdapat pada program pelatihan dan magang gratis di Pulau Umang Resort (lihat hlm. 71). Melalui program tersebut, Pulau Umang Resort terlihat sekali melakukan rasionalisasi atas tanggung jawabnya untuk memberdayakan serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal Pulau Umang. Rasionalisasi tersebut dilakukan dengan berkali-kali menyatakan jika Pulau Umang Resort telah memberikan program pelatihan dan kesempatan magang secara gratis. Padahal, sebagaimana lazimnya program magang, ini bukan persoalan gratis atau tidak, namun pihak perusahaan menggaji peserta magang atau tidak, karena peserta magang memang tidak memiliki kewajiban untuk membayar perusahaan tempat dia magang. Penggunaan sudut pandang yang berbeda ini membuat seolah-olah Pulau Umang Resort telah berkontribusi atas upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di sekitar Pulau Umang. Padahal, peneliti justru melihat jika pernyataan tersebut merupakan bentuk rasionalisasinya yang lain karena telah ‘mempekerjakan’ pelajar-pelajar tersebut tanpa dibayar dalam ‘kemasan’ program magang gratis (lihat hlm. 73). Selain itu, status Pulau Umang yang telah diprivatisasi menjadi bentuk rasionalisasi bagi Pulau Umang Resort selanjutnya. Enironmental ownership Pulau Umang Resort terhadap asetnya, yang membuat mereka berpikir bahwa mereka berhak melakukan segalanya atas aset tersebut (White, 2008), dalam hal ini Pulau Umang, membuat mereka cenderung tidak memikirkan dampak aktivitas mereka terhadap lingkungan. Hal itu terlihat dari rencana Pak DT untuk melakukan pengerukan pasir di Pulau Umang untuk pembangunan objek wisata baru di Carita, Pandeglang (lihat hlm. 68), atau ketika Pak FL mengatakan bahwa pengunjung bebas melakukan snorkeling karena wilayah tersebut adalah milik Pulau Umang Resort (lihat hlm. 65). Kondisi umum terakhir yang termasuk ke dalam Fraud Triangle Theory adalah kesempatan (opportunity). Disebutkan oleh Singleton dan Singleton (2010), Fraud Triangle Theory menyebutkan jika pelaku fraud adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut. Dengan demikian, pelaku fraud paham betul celah-celah serta kelemahan bidang tersebut. Melihat latar belakang Pak DT yang memang berpengalaman dalam menjalankan bisnis resort (Wawancara dengan XZ, 3 Mei 2015), maka sedikit banyak cukup memungkinkan jika Pak DT setidaknya telah memiliki ilmu yang mumpuni pada industri ini. Sehingga, mampu melakukan penyimpangan dalam bentuk greenwashing tersebut.
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Terlepas dari itu, suasana yang ‘kondusif’ untuk menjalankan praktik greenwashing ini juga berhasil dibentuk oleh Pak DT. Sehingga, itu memudahkan beliau untuk mengoperasikan Pulau Umang Resort hingga kini. Walaupun, dari paparan sebelumnya diketahui jika kegiatan operasional Pulau Umang Resort justru merusak lingkungan. Suasana kondusif yang dimaksud tersebut adalah hubungan baik yang telah dibangun oleh Pak DT dengan para pemegang jabatan di Pandeglang dan Banten. Menurut XZ, kedekatan itu juga yang membuat keberadaan Pulau Umang Resort jauh dari sorotan publik. Tidak ada wartawan yang berani mengusik praktik greenwashing yang dilakukan Pulau Umang Resort, karena menurut pengalaman, Pak DT mengatakan, jika ada pihak-pihak yang berani mempermasalahkan Pulau Umang Resort akan mendapatkan ancaman (Wawancara dengan XZ, 3 Mei 2015). Peneliti melihat pernyataan ofensif semacam ini hanya dapat dikemukakan seseorang ketika ia merasa bahwa posisinya ‘aman’ dan terlindungi. Kondisi itu pula yang peneliti lihat menjadi semacam kesempatan bagi Pak DT, karena beliau merasa telah dekat dengan pejabat-pejabat Banten (Wawancara dengan XZ, 3 Mei 2015). Kasus Pulau Umang Resort dengan IGCN yang berkaitan dengan laporan pertanggungjawaban dana donasi anggota IGCN untuk program “One Million Coral”, mungkin dapat menjadi contoh bagaimana kedekatan Pak DT dengan orang-orang tertentu dapat menjadi kesempatan bagi beliau untuk tetap aman menjalankan bisnisnya. Telah disebutkan sebelumnya, Pak DT adalah teman dekat Pak CJ yang merupakan Direktur Eksekutif IGCN. Sehingga, secara logika, jika memang ada hubungan yang baik di antara kedua pihak tersebut, IGCN tidak perlu kesulitan dalam menagih laporan pertanggungjawaban penggunaan dana donasi untuk program “One Million Coral” tersebut. Tetapi, jika memang IGCN dalam konteks institusi kesulitan untuk meminta laporan Pulau Umang Resort atas sejumlah dana tersebut, maka idealnya Pak CJ mampu melakukan pendekatan personal kepada Pak DT untuk meminta laporan tersebut (lihat hlm. 51). Namun, berdasarkan hasil observasi peneliti, Pak CJ justru keberatan melakukan hal tersebut dan cenderung melakukan toleransi atas apa yang dilakukan oleh Pulau Umang Resort. Bahkan beliau cenderung menghindar dari pertanyaan-pertanyaan seputar kasus ini (lihat Catatan Lapangan 1). Dengan kata lain, dalam kasus ini, kedekatan personal nyatanya mampu menggugurkan kewajiban pihak tertentu untuk melakukan tugas dan kewajibannya. Peneliti, melihat ini sebagai sebuah kesempatan yang dimiliki oleh Pak DT dalam menjalankan bisnisnya. Kedekatan yang ia miliki dengan beberapa pihak yang berkepentingan, seperti menjadi modal baginya untuk dapat melanggengkan bisnisnya.
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Kondisi selanjutnya yang menjadi kesempatan (opportunity) bagi Pulau Umang Resort untuk melakukan greenwashing adalah fakta bahwa Pulau Umang Resort merupakan bisnis yang dikelola oleh keluarga Pak DT, dengan kata lain, Pulau Umang Resort adalah bisnis keluarga (lihat hlm. 48). Berbicara mengenai bisnis keluarga, Landry (2014) pernah menyebutkan jika bisnis keluarga sangat rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan kerah putih, karena bisnis keluarga memiliki karakteristik berbasis pada ‘kepercayaan bawaan’ (inherent trust), dekat dengan nepotisme, serta konflik keluarga. Karakteristik inherent trust yang terdapat pada bisnis keluarga tersebut yang mungkin secara tidak langsung melanggengkan praktik greenwashing, atau bukannya tidak mungkin jika pihak keluarga memang mendorong dilakukannya praktik curang tersebut dengan alasan mempertahankan kemajuan bisnis di masa depan. Terakhir, konflik yang terjadi di antara lembaga pemerintah berkaitan dengan Daerah Penyangga Kawasan TNUK juga menjadi kesempatan bagi Pulau Umang Resort untuk melakukan greenwashing. Belum sepakatnya Balai TNUK dengan pihak Kabupaten Pandeglang atas luaran final Perda No. 2 Tahun 2013 yang mengatur tentang Daerah Penyangga Kawasan TNUK membuat keduanya saling melempar tanggung jawab untuk mengurus wilayah tersebut. Lebih jauh, ketidaksesuaian persepsi mengenai cakupan Daerah Penyangga antara pemerintah setempat dan pemerintah pusat menciptakan zona abu-abu (lihat hlm. 43 – 45). Sehingga, tidak ada pihak yang merasa dirinya bertanggung jawab atau bersedia diberikan tanggung jawab atas segala hal yang terhadi pada zona tersebut. Akibatnya, daerah yang seharusnya terlindungi justru terabaikan, bahkan potensinya yang besar dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk keuntungan pribadi mereka, seperti yang terjadi pada kasus greenwashing oleh Pulau Umang Resort. Pada akhirnya, Fraud Traingle Theory dari Cressey ini memperlihatkan jika greenwashing selalu disertai kondisi-kondisi yang mendukung pelaku untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Kondisi-kondisi yang mendukung tersebut harus disadari tidak selalu datang dalam konteks bisnis, tetapi juga mungkin dari kondisi-kondisi personal pelaku bisnis tersebut. Conclusion Karakteristik greenwashing yang terjadi dalam dunia bisnis, membuat praktik ini menjadi bagian dari kejahatan kerah putih, khususnya kejahatan oleh korporasi. Lebih jauh, selayaknya kasus kejahatan kerah putih yang lain, greenwashing bukanlah sebuah kejahatan
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
tunggal. Setiap praktik greenwashing biasanya disokong oleh bentuk kejahatan lain, seperti penyuapan (bribery), korupsi, privatisasi, dan sebagainya. Analisis kasus greenwashing pada penelitian ini menggunakan Fraud Triangle Theory yang memberikan gambaran bahwa praktik greenwashing sebagai sebuah fraud dilatarbelakangi oleh kondisi-kondisi khusus yang dapat diklasifikasikan ke dalam 3 bagian, yaitu tekanan (pressure), rasionalisasi (rasionalization) dan kesempatan (opportunity). Dalam konteks kasus Pulau Umang Resort, kecenderungan konsumen akan produk ramah lingkungan menjadi tekanan (pressure) tersendiri bagi para pelaku industri, termasuk pengelola Pulau Umang Resort sebagai pelaku industri pariwisata.
Sehingga, untuk
memenuhi keinginan pasar, Pulau Umang Resort menjelma menjadi ekowisata. Walaupun, pada kenyataannya, pengelola Pulau Umang Resort justru terjebak dalam praktik greenwashing, seperti yang terjadi pada Pulau Umang Resort. Di sisi lain, tekanan (pressure) yang dimaksud oleh Cressey dalam teorinya, ternyata tidak datang karena kepentingan bisnis saja. Bahwa apa yang terjadi pada Pulau Umang Resort, setidaknya telah menunjukkan jika tekanan tersebut dapat datang dari kebiasaan (habit) personal pemilik. Selanjutnya, kondisi lain yang juga melatarbelakangi terjadinya fraud dalam konteks greenwashing ini adalah rasionalisasi. Adanya rasionalisasi ini pula yang menjadi salah satu faktor praktik greenwashing sulit dideteksi. Rasionalisasi muncul pada setiap program lingkungan atau pun sosial yang dilakukan. Dimana pelaku, akan cenderung merasa telah banyak berbuat ‘kebaikan’ untuk lingkungan dan masyarakat lokal melalui program-program tersebut. Sehingga, pelaku merasa berhak untuk mengambil ‘keuntungan lebih’ dari apa yang menjadi hak mereka. Kondisi terakhir yang diungkapkan oleh Cressey adalah kesempatan (opportunity). Dalam konteks kasus Pulau Umang Resort, dapat dilihat jika kesempatan tersebut tidak datang dengan sendirinya. Namun, sengaja dibentuk oleh pelaku dengan melakukan kejahatan-kejahatan lain, seperti penyuapan (bribery) terhadap pejabat-pejabat terkait. Pada akhirnya, melalui penelitian ini, peneliti menyimpulkan jika praktik greenwashing memang mengandung unsur misrepresentasi dan fraud. Namun demikian, dalam praktiknya, tidak menutup kemungkinan berbagai bentuk kejahatan lain, seperti eksklusi sosial, privatisasi dan penyuapan. Lebih jauh, penelitian ini juga memperlihatkan jika greenwashing nyatanya bukan sekadar kejahatan yang memunculkan korban manusia saja. Tetapi, greenwashing seringkali menghadirkan konsekuensi lain berupa kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, meskipun
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
belum ada instrumen hukum khusus yang mengatur kasus greenwashing di Indonesia, tetapi, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, greenwashing sangat pantas dikatakan sebagai kejahatan. Pembahasan mengenai instrumen hukum yang mengatur kasus greenwashing harus menjadi prioritas. Mengingat, greenwashing tidak mungkin dibiarkan berada dalam zona abuabu terus-menerus, karena kejahatan ini memiliki dampak yang sangat luas, baik terhadap manusia itu sendiri maupun terhadap alam di mana manusia bergantung. Cara pandang yang digunakan untuk melihat paradigma pembangunan berkelanjutan pun harus sedikit demi sedikit diubah. Pembangunan berkelanjutan bukan semata-mata ajang unjuk gigi tentang siapa yang lebih hijau dari yang lain. Namun, pembangunan berkelanjutan harus dijadikan orientasi jangka panjang sebuah model bisnis. Kedepannya, jika cara pandang terhadap paradigma pembangunan berkelanjutan seperti itu dibiarkan, maka kita akan kehilangan esensi dari produk ramah lingkungan itu sendiri, lingkungan pun harus lebih banyak dikorbankan demi memuaskan keinginan manusia untuk merajai pasar tersebut. Selanjutnya, publik juga harus menyadari jika preferensi mereka diamati oleh para pelaku bisnis. Oleh karena itu, setiap pembeli harus cermat dan bijak dalam memilih produk yang akan dibeli atau digunakan, sekali pun produk tersebut dilabelkan ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Buku Aaker, David A. (1996). Building strong brands. Michigan: Free Press. Bellingham, Mandy. (2012). Understanding the tourism industry (Vol. 1). New South Wales: Destination NSW Publications. Clinard, Marshall B. & Yeager, Peter Cleary. (2005). Corporate crime. Somerset, NJ: Transaction Publishers. Cole, Ken. (1999). Economy environment development knowledge. London: Routledge. Committee on Privatization of Water Services in the United States. (2002). Privatization of water services in the United States: An assessment of issues and experience. Washington, D.C.: National Academy Press. Creswell, John W. (2003). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed method approaches (2nd Ed). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. Direktorat Konserasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktoran Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2013). Informasi kawasan perairan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Elliott, Jennifer A. (2006). An introduction to sustainable development (3rd Ed). New York: Routledge. Ermann, David M. & Lundman, Richard J.. (1982). Corporate and governmental deviance (2nd Ed.). New York: Oxford. Friedrichs, David O. (2010). Trusted criminals (White-collar crime in contemporary society). Belmont: Wadsworth Cengage Learning.
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Hill, Jennifer & Gale, Tim. (2009). Ecotourism and environmental sustainability: principles and practice. Surrey: Ashgate Publishing Limited. Iannuzzi, Al. (2012). Greener products: The making and marketing of sustainable brands. Taylor & Francis Group. Kapferer, Jean-Noël. (2008). The new strategic brand management: Creating and sustaining brand equity long term. Britain: Kogan Page Publishers. Keraf, Sonny. (2002). Etika lingkungan. Jakarta: PT. Kompas. Kotler, Phillip. (2000). Marketing management (Millenium Edition). Upper Saddle River: Prentice Hall. Lilly, J. Robert, Cullen, Francis T. & Ball, Richard A.. (2010). Criminological theory: Context and consequences (5th Ed). SAGE Publications, Inc. McLaughlin, Eugene & Newburn, Tim. (2010). The SAGE handbook of criminological theory: A green criminology perspective. SAGE Publication. Merriam-Webster’s collegiate dictionary (10th ed.). (1993). Springfield, MA: MerriamWebster Parelman, Michael. (2003). The perverse economy: The impact of markets on people and the environment. Hampshire: Palgrave Macmillan. Payne, Brian K. (2011). White-collar crime: A text/reader. SAGE Publications. Pierson, John. (2002). Tackling social exclusion. London: Routledge. Sheley, Joseph F. (1995). Criminology. California: Wadsworth Publication Company. Singleton, Tommie W. & Singleton, Aaron J.. (2010). Fraud auditing and forensic accounting (4th Ed). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Situ, Yingyi & Emmons, David. (2000). Environmental crime: The criminal justice system's role in protecting the environment. Thousand Oaks: SAGE Publications. Stone, Richard & Devenney, James. (2014). Text, cases and materials on contract law (3rd Ed). Routledge. Strange, Tracey & Bayley, Anne. (2008). Sustainable development linking economy, society and environment. OECD Publishing. Thomas, Keith. (1997). Development control principles and practice (10th Series). London: UCL Press Limited. Varner, Gary E. (1998). In nature's interests? Interests, animal rights, and environmental ethics. New York: Oxford University Press, Inc. Ward, David A., Carter, Timothy J. & Perrin, Robin. (1994). Social deviance being, behaving, and branding. Allyn and Bacon. White, Kim Kennedy. (2012). America goes green: An encyclopedia of eco-friendly culture in the United States (Vol. 1). California: ABD-CLIO. White, Rob. (2008). Crime against nature: Environmental criminology and ecological justice. Portland: Willan Publishing. Jurnal Babcock, Hope M. (2010). “Corporate environmental social responsibility: Corporate "greenwashing" or a corporate culture game changer?”. Georgetown University Law Center. 1 – 78. Braithwaite, John. (1985). “White collar crime”. Annual Reviews Sociology. 11, 1 – 25. Choudhary, Aparna & Gokarn, Samir. (2013). “Green marketing: A means for sustainable development”. Journal of Arts, Science and Commerce. 4, (3), 26 – 32. Coleman, James William. (1987). “Toward an Integrated Theory of White-Collar Crime”. American Journal of Sociology, 93, (2), 406 – 439.
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Diffenderfer, Michelle & Barker, Keri-Ann C.. (2011). “Greenwashing: What your client should know to avoid costly litigation and consumer backlash”. Natural Resources & Environment. 25, (3), 1 – 25. Gallicano, Tiffany Derville. (2011). “A critical analysis of greenwashing claims”. Public Relations Journal. 5, (3), 1 – 21. Guzick, Sarah & Robinson, Nicholas. (2013). “The implementation limitations of and alternative policy solutions for Indonesia’s REDD+ program concerning peatland restoration”. International Journal of Rural Law and Policy. 1 – 18. Hall, C. M., & Butler, R. W. (1995). In search of common ground: Reflection on sustainability, complexity and process in the tourism system. Sustainable Tourism. 3, (2), 99 – 105. Hartmann, Patrick, Ibanez, Vanessa Apoalaza & Sainz, F. Javier Forcada. (2005). “Green branding effects on attitudes: Functional versus emotional positioning strategies”. Marketing Intelligence and Planning. 23, (1), 9 – 29. Horne, Ralph E. (2009). “Limits to labels: The role of eco-labels in the assessment of product sustainability and routes to sustainable consumption”. International Journal of Consumer Studies. 175 – 182. Kim, Vincent Wee Eng & Periyayya, Thinavan. (2013). “The beauty of “green branding”: Way to the future”. Global Journal of Management and Business Research Marketing. 13, (5), 29 – 36. Knight, Thomas. (2013). “Deterring the green revolution: Greenwash and the threat of green entry”. MWET Spring 2013. 1 – 25. Kumar, Ramesh & Kumar, Rakesh. (2013). “Green marketing: Reality or greenwashing”. Asian Journal of Multidisciplinary Studies. 1, (5), 147 – 153. Lane, Eric L. (2013). “Greenwashing 2.0”. Columbia Journal of Environmental Law. 38, (2), 279 – 331. Lockrey, Simon. (2011). “The ecocraze, a case study: Negotiating a greener product design landscape”. Design Principles and Practices. 5, (4), 41 – 62. Lynch, Michael J. & Stretsky, Paul B. (2003). “The meaning of green: Contrasting criminological perspectives”. Theoretical Criminology. 7, (2), 217 – 238. Marciniak, Adam. (2009). “Greenwashing as an example of ecological marketing misleading practices”. Comparative Economic Research. 12, 49 – 59. McGahey, Stan. (2012). “The ethics, obligations, and stakeholders of ecotourism marketing”. Intellectual Economics (Vol. 6). 2, (14), 75 – 88. Megginson, William L. & Netter, Jeffry M.. (2001). “From state to market: A survey of empirical studies on privatization”. Journal of Economic Literature. 1 – 89. Nurse, Angus. (2014). “Critical perspectives on green criminology: An introduction”. Internet Journal of Criminology. 3 – 11. Rozzi, Ricardo, dkk.. (2010). “Galápagos and Cape Horn: Ecotourism or greenwashing in two iconic Latin American archipelagoes?”. Environmental Philosophy. 7, (2), 1 – 32. Russell, Andrew & Wallace, Gillian. (2004). “Irresponsible ecotourism”. Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 20, (3), 1 – 2. Scheyvens, Regina. (1999). Ecotourism and the empowerment of the local communities. Tourism Management. 20, 245 – 249. Self, Robin M., Self, Donald R. & Bell-Haynes, Janel. (2010). “Marketing tourism in the Galapagos Islands: Ecotourism or greenwashing?”. International Business and Economic Research Journal. 9, (6), 111 – 126. Simpson, Sally S., Rorie, Melissa & Cohen, Mark A.. (2013). “En empirical assessment of corporate environmental crime-control strategies”. The Journal of Criminal Law and Criminology. 103, (1), 231 – 278.
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Singh, P. B. & Pandey, Kamal K.. (2012). “Green marketing: Policies and practices for sustainable development”. A Journal of Management. 5, (1), 22 – 30. South, Nigel. (1998). “A green field for criminology? A proposal for a perspective”. Theoretical Criminology. 2, (2), 211 – 233. Suwedi, Nawa. (2006). “Teknologi penanggulangan dan pengendalian kerusakan lingkungan pesisir, pantai dan laut untuk mendukung pengembangan pariwisata”. Jurnal Teknik Lingkungan. 7, (2), 152 – 159. Thomlinson, E., & Getz, D.. (1996). The question of scale in ecotourism: Case study of two small ecotour operators in the Mundo Maya region of Central America. Journal of Sustainable Tourism, 4 (4), 183 – 200. Willers, Bill. (1994). “Sustainable development: A new world deception”. Journal of Conservation Biology. 8 (4), 1146 – 1148. Zona, F., Minoja, M., & Coda., V.. (2013). Antecedents of corporate scandals: CEOs’ personal traits, stakeholders’ cohesion, managerial fraud, and imbalanced corporate strategy. Journal of Business Ethics, 113 (2), 265 – 283. Artikel Jurnal di Website atau Publikasi Elektronik Lainnya Doody, Helenne, dkk.. (Mei, 2009). Topic gateway: Corporate fraud (Series No. 57). Chartered Institutes of Management Accountants. 1 – 17. Price, Joseph W., Dowler, Bradley G. & Jennings, F. Clark. (Spring/Summer, 2012). Even courts are going green: How to protect yourself from greenwashing litigation. www.qgtlaw.com/index.php/download_file/view/216/ Popay, Jennie, dkk.. (Februari, 2008). Understanding and tackling social exclusion. Final Report to the World Health Organization (WHO) Commission on Social Determinants of Health From the Social Exclusion Knowledge Network. http://www.who.int/social_determinants/knowledge_networks/final_reports/sekn_final %20report_042008.pdf Landry, Emma. (2014). White-collar financial crime: Are family businesses exempt?. Sprott School of Business/Canadian Association for Family Enterprise (CAFÉ) Ottawa Family Business Essay Award 2014 Winner. http://httpserver.carleton.ca/~fbrouard/documents/CAFEaward2014LandryFBgovernance.pdf Makalah Konferensi Bolaños-Jiménez, Jaime, dkk.. (2007, September). “Origin and development of whalewatching in the State of Aragua, Venezuela: Laying the groundwork for sustainability”. Makalah dipresentasikan pada Proceedings of the 5th International Coastal & Marine Tourism Congress: Balancing Marine Tourism, Development and Sustainability. Auckland, New Zealand. Kaur, Cheryl R. (2007, Oktober). “Ecotourism in Malaysia’s Marine Parks: Principles, Issues and the Effects of 'Green Washing' Practices”. Makalah dipresentasikan pada The 5th Asia Pacific Ecotourism Conference, Marine Ecotourism: Emerging Best Sustainable Practices and Success Stories. Merang, Terengganu, Malaysia. Langen, Nina, Grebitus, Carola, Hartmann, Monika. (2010, Agustus). “Is Cause-Related Marketing Green-Washing?”. Makalah dipresentasikan pada International Society for Ecological Economics (ISEE) 11 Biennial Conference ‘Advancing Sustainability in a Time of Crisis’. Oldenburg dan Bremen, Jerman. Tugas Karya Akhir, Skripsi, Tesis dan Disertasi Adityani, Annisa Puteri. (2014). Efektivitas penegakan hukum illegal fishing di Indonesia. Skripsi untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
Amelinda, Mia. (2013). Efektivitas kegiatan Indonesia dalam kerjasama ASEAN-Wildlife Enforcement Network (Reaksi formal dalam menanggulangi perdagangan satwa liar di tingkat ASEAN). Skripsi untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Asad, M.. (2013). Analisis kriminologis terhadap kasus pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung Puting (Studi kasus pembalakan liar oleh PT. Tanjung Lingga). Tugas karya akhir untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Elvira. (2012). Pembalakan liar (Studi tentang pola jaringan pembalakan liar di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) kabupaten lampung barat). Skripsi untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Ivan, Bob. (2013). Illegal fishing di kawasan perairan kepulauan bangka belitung (Studi kasus penangkapan ikan tanpa dokumen yang sesuai). Skripsi untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Rahmadiani. (2014). Analisis kriminologis terhadap praktik illegal fishing oleh kapal asing di laut aru dan arafura periode tahun 2004 – 2011. Skripsi untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Satria, Hardiat Dani. (2014). Penanganan kejahatan lingkungan oleh badan lingkungan hidup provinsi jawa tengah dalam konsepsi green criminology. Skripsi untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Steinmeier, Maria. (2014). Sustainability: Issues in reporting, assurance and performance. Disertasi untuk memperoleh gelar doktor dari Ruhr-Universität Bochum, Jerman. Yogi, Hari Nath. (2010). Eco-tourism and sustainability-opportunities and challenges in the case of Nepal. Tesis untuk memperoleh gelar master dari University of Uppsala, Nepal. Artikel Berita Online Asia Pulp and Paper, “Roadmap Vision 2020”, diakses Kamis, 25 September 2014, 04.50 WIB pada https://www.asiapulppaper.com/sustainability/vision-2020 Beth Buczynski, “Five Way to Identify Eco-Tourist Attractions” diakses pada Jumat, 3 Oktober 2014, 10.00 WIB pada http://earthtechling.com/2013/10/five-ways-toidentify-fake-eco-tourist-attractions/ Chris Lang, “Perusahaan Tambang akan Membeli 50% Saham Carbon Conservation: Akankah REDD Membantu Greenwashing (Klaim Hijau) Pertambangan?” diakses Senin, 29 September 2014, 06.00 WIB pada http://www.downtoearthindonesia.org/id/story/perusahaan-tambang-akan-membeli-50-saham-carbonconservation-akankah-redd-membantu-greenwashin Department of Environment, Food and Rural Affairs, “Green Claims Guidance” diakses pada 11 Oktober 2014 pukul 13.57 WIB pada https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/69301/ pb13453-green-claims-guidance.pdf Jabiru Safari Lodge, “The Definition of Ecotourism” diakses pada Selasa, 30 September 2014, 21.00 WIB pada http://www.jabirusafarilodge.com.au/ecotourism.pdf diakses tanggal 30 September 2014 Jim Motavalli, “A History of Greenwashing: How Dirty Towels Impacted the Green Movement” diakses pada Sabtu, 11 Oktober 2014 pukul 13.04 WIB pada http://www.dailyfinance.com/2011/02/12/the-history-of-greenwashing-how-dirtytowels-impacted-the-green/ Lockard, Victoria Davis, Becker, Josh, “Greenwashing claims: how to avoid becoming an eco-fraud target” diakses pada Senin, 18 Mei 2015 pada 06.35 WIB pada http://www.alston.com/Files/Publication/bc226314-ad0f-456c-b55e-
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013
0bcd223173b6/Presentation/PublicationAttachment/c6d92e23-a35f-45fc-850d10ba51acdc7e/Becker%20Lockard.pdf Rhett A. Butler, “In the Battle to Save Forests, Activists Target Corporations”, diakses Senin, 1 Desember 2014, 03.53 WIB pada http://e360.yale.edu/feature/in_the_battle_to_save_forests_activists_target_cocorporat io/2267/ The OECD Committee on Consumer Policy, “Environmental Claims Findings and Conclusions of the OECD Committee on Consumer Policy” diakses pada Jumat, 12 Desember 2014 pukul 16.55 WIB pada http://www.oecd.org/sti/consumer/48127506.pdf Yudha Manggala P. Putra, “Kerajinan Ramah Lingkungan Semakin Diminati Eropa”, diakses Kamis, 11 September 2014, 05.10 WIB pada http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/02/17/midciukerajinan-ramah-lingkungan-semakin-diminati-eropa Zal, “Broker Karbon Australia Jadikan Hutan Aceh Aset Transaksi”, diakses Senin, 29 September 2014, 05.00 WIB pada http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/broker-karbon-australia-jadikanhutan-aceh-aset-transaksi.php
Greenwshing in..., Lili Indah Sari, FISIP, 2013