WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
GOTONG ROYONG DALAM DWILOGI PADANG BULAN DAN CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra) Andika Hendra Mustaqim STBA NUSA MANDIRI Jalan Ir.H.Juanda No.39 Ciputat
[email protected].
ABSTRACT Partnership is the Indonesian ancient norm and nowadays becomes a little disappear. The research tries to explore how the partnership is growing in the village society which shows in a two serial novel, Padang Bulan and Cinta di Dalam Gelas, by Andrea Hirata. Using sociology in literature, the researcher concludes the story contain about partnership which becomes a foundation for a true friendship and a strong society. Keywords: Partnership, Sociology in Literature, Padang Bulan, Cinta di Dalam Gelas
I. PENDAHULUAN Ketika membaca semua karya Andrea Hirata, mulai dari Tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov kemudian Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di dalam Gelas. Semua karya sastra yang ditulis Andrea benar-benar menggambarkan sastra proletar dan sastra revolusioner. Semuanya karyanya mengangkat kaum termarjinal atau orang termajinal di dalam sebuah masyarakat yang ingin melakukan sebuah pemberontakan. Itu semua dibalut dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Hanya saja, Andrea membalut pembelaan terhadap kaum termarjinalkan itu dalam tema-tema keseharian yang sangat dekat dengan masyarakat. Andrea pun mengupas pemberontak dan revolusi yang dilakukan sekelompok anggota masyarakat dalam dengan duka dan canda. Dalam catatan sejarah sastra di Indonesia, belum ada sastrawan yang mampu menggabungkan tema revolusi dan perjuangan kaum termarjinalkan dalam bahasa keseharian masyarakat Indonesia. Andrea ingin menyisihkan anggapan bahwa sastra adalah suatu hal yang berat dan sulit dipahami oleh pembaca awam. Dia menghadirkan sebuah topik yang sebenarnya berat tetapi dengan bahasa yang ringan dengan suguhan konflik dan plot dengan efek kejut yang sangat dramatis. Dia mampu membuat sebuah karya sastra yang dibaca banyak rakyat Indonesia dan menjadi inspirasi dengan kisahkisah yang manusiawi.
Selain itu, Andrea juga berusaha memaparkan mengenai nilai-nilai keindonesiaan yang selama kerap diabaikan oleh masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah gotong royong. Budaya materialisme dan modernisme yang telah menguasai sendisendi kehidupan bangsa Indonesia cukup menjadi penyebab runtuhnya nilai-nilai gotong royong. Itu yang disindir oleh Andrea dalam Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di dalam Gelas. Penelitian ini berusaha mengungkapkan konsep gotong royong yang dalam dwilogi tersebut dengan dengan kajian kritik menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Sastra Sastra adalah karya tertulis yang berkaitan dengan suatu topic yang ditulis dengan bahasa dan kerap memiliki standar budaya (Bladick, 2001: 141). Sejak abad 19, sastra lebih luas dianggap memiliki kriterian imajinatif, kreatif, memiliki nilai seni dan kerap dikaitkan dengan fakta atau referensi praktis. Bladick mengungkapkan karya sastra terdiri dari puisi, drama dan fiksi atau novel. Menurut Plato dalam (Saraswati, 2003: 20) karya sastra adalah sebagi tiruan dari kenyataan. Karya sastra adalah adalah karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang mempunyai arti, yaitu bahasa (Pradopo, 2001:47). Karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat, sesuai pendapat
1
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Abrams yang diperjelas oleh Endraswara (2011:89), bahwa sebuah novel tidak hanya mencerminkan “realitas” melainkan lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamika” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Adapun hal menarik dari novel karena adanya dimensi representasi yang mampu meningkatkan permasalahan dan sangat akrab dengan realitas (Childs dan Fowler, 2006:157). Selanjutnya, Childs dan Fowler menjelaskan adanya penggambaran di dalam novel terhadap fakta sesunggunya serta dikaitan dengan unsur sosial yang mampu menarik perhatian secara kritis. Novel dikenal sebagai prosa (Baldick, 2001:173). Baldick memaparkan novel memiliki bentuk, struktur dan subyek permasalahan. Sedangkan, Stanton (2007:90) mengungkapkan novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa yang ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Novel juga dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks dari pada cerpen (Nurgiantoro, 1998:11). Selain realitas, sastra juga selalu dikaitan dengan imajinasi. Seperti yang dikemukakan oleh Setiawan Santana Kurnia (2007:24), dalam buku berjudul: Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif, disebutkan bahwa imajinasi (fiksi) sastra dibuat dari kegiatan yang bersifat konstruktif, inventif, dan kreatif. Imajinasi sastra merupakan upaya mengonstruksi, menginvensikan, dan menkreasikan kenyataan. Fiksi sastra merupakan kegiataan pengindraan manusia terhadap kehidupan sosial, memiliki keterkaitan dengan realitas-fakta. Imajinasi menjadi alat bantu sastra dalam mereplikakan pencitraan kenyataan. Hal ini dibutuhkan bagi manusia sebagai mahluk sosial dalam berhubungan dengan kenyataan yang ditemui sehari-hari (Kurnia, 2007:25). Lebih lanjut, Kurnia (2007:25) menyatakan imajinasi sastra, karena itu, menjadi satu sarana manusia memenuhi kebutuhannya akan "citra". Pencitraan ini diperlukan manusia untuk memahami berbagai persoalan kemasyarakatan yang terjadi. B. Sosiologi Sastra Perkembangan sosiologi mulai marak sejak Jürgen Habermas pada 1964 yang
2
mengembangkan filsafat dan sosiologi sebagai sebuah teori kritis. Dalam pandangan Gregory Castle (2007:69) menyebutkan sosiologi sebagai kritik yang mampu mewujudkan strategi untuk transformasi sosial. Dalam perkembangannya, sosiologi juga diaplikasikan dalam dunia kritik sastra. Itu bertujuan untuk mendapatkan kritik yang lebih mendalam dalam menganalisis karya sastra sehingga menimbulkan transformasi sosial yang benarbenar terjadi di dalam masyarakat. Pada awalnya, kritik sastra berusaha menggunakan pendekatan untuk menginvestifasi fenomena baru dan salah satu yang tepat adalah sosiologi (Childs dan Fowler, 2006:45). Salah satu kritikus sastra awal yang menggunakan sosiologi sastra untuk menganalisis karya sastra adalah Richard Hoggart dengan bukunya The Uses of Literacy (1957) yang memicu ketertarikan lebih luas mengenai kajian tersebut. Dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms, Chris Baldick (2001:238) mengungkapkan sosiologi Sastra dikenal sebagai cabang kajian sastra yang menguji hubungan antara karya sastra dan konteks sosialnya, termasuk, aspek keterbancaan, jenis pembaca, model publikasi dan presentasi dramatic dan posisi kelas sosial si penulis dan pembaca. Bearti sosiologi sastra lebih mengaitkan antara karya sastra dan sosial itu disebabkan karena sebuah karya tidak lepas dari masyarakat di mana cerita itu dibentuk dan dikemas. Dalam pandangan, Rene Wellek dan Austin Werren menyatakan sosiologi satra yaitu mengkaitkan sastra dengan situasi tertentu, atau dengan system politik, ekonomi dan sosial tertentu. Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat (1990:110). Sastra sendiri tidak dapat dilepaskan dari masyarakat yang melingkungpinya. Jadi, masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dalam sastra. Menurut Jonathan Culler dalam bukunya berjudul “Literary Theory: A Very Short Introduction” menyebutkan sastra sebagai jenis penulisan khusus yang mampu diterima bukan hanya kelas paling bahwa, tetapi juga aristocrat dan kelas menengah. Pandangan bahwa sastra sebagai obyek estetika yang dapat membuat manusia menjadi orang yang lebih baik itu terkait dengan ide subyek yang disebut dengan subyek liberal. Menariknya, individu juga didefinisikan bukan hanya situasi sosial dan kepentingan, tetapi oleh subyektivitas dengan mengutamakan rasionalitas dan moralitas untuk mencapai apa
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
yang disebut dengan kebebasan penentuan sosial (Culler, 1997:37). Dalam sosiologi sastra juga tidak dapat dilepaskan kalau sastra juga ditulis oleh manusia. Manusia pastinya bakal memasuki pemikiran dan perspektif pribadinya mengenai sosial di sekitarnya. Itu bukan memperkeruh atmosfir, namun itu justru bakal memperkaya pemikiran sosial yang semakin beragam. Itu diperkuat pandangan Eagleton (2005:2-3) yang menyebutkan karya sastra merupakan sebuah kendaraan ide, sebuah refleksi terhadap realitas sosial atau inkarnasi dari kebenaran trasedental. Sedangkan, Sutejo dan Kasnadi memandang sosiologi merupakan ilmu yang mengkaji segala aspek kehidupan sosial manusia, yang meliputi masalah perekonomian, politik, keagamaan, kebudayaan, pendidikan, ideologi dan aspek yang lain (2010: 56). Begitu luasnya kajian sosiologi menjadikan pengkajian sosiologi sastra dalam mengkaji karya sastra juga sangat luas perspektifnya. Untuk memudahkan, maka peneliti kerap mempersempit kajian yang bakal diteliti dengan menggunakan kajian sosiologi sastra. Abrahm (1999:288-289) memandang sosiologi sastra dengan mengaitkan antara penulis dengan kondisi sosial dan budaya di mana penulis hidup dan menulis karena itu terdapat keterkaitan antara karya sastra dan masyarakat yang mewakilinya. Permasalahan status kelas, jender, politik dan kepentingan lain menjadi hal yang penting untuk mengetahui pola pikir dan karakteristik perasaan pada era tersebut. Dalam sosiologi sastra lebih fokus terhadap pilihan dan perkembangan permasalahan, pola pikir mengenai kehidpan dan kualitas formal di dalam sosial, politik dan ekonomi pada jamannya (Abrahm, 1999: 288-289). Terus, apa sebenarnya tujuan kritik sosiologi sastra? Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan (Ratna, 2009: 11). Tidak mungkin sastra dan masyarakat bertolak belakang. Pada dasarnya, karya sastra merupakan representasi masyarakat. C. Gotong Royong Sebenarnya kata gotong royong berasal dari kata gotong dan royong. Itu diambil dari bahasa Jawa. Di mana gotong atau menggotong berarti mengangkat benda yang berat yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama. Sedangkan kata royong mencerminkan penikmatan hasil pekerjaan
secara adil, sesuai dengan besar sumbangan yang diberikan. Dengan demikian, gotong royong itu berarti bekerja secara bersama-sama dan menikmati hasil pekerjaannya dengan adil. Hanya saja gotong royong bukan dikenal di Pulau Jawa semata. Di berbagai daerah di Indonesia memiliki istilah gotong royong. Di Jawa dipakai istilah sambatan atau gugur gunung. Di Ambon dipakai istilah Masohi. Di Bali dipakai istilah Subak. Di Batak dikenal istilah Siadapari. Di Kalimantan Tengah dipakai istilah Lemeh. Di Sulawesi Utara menggunakan istilah Mapalus. Seperti ditegaskan, Kamsori dkk. (2008:33), gotong royong dapat diartikan sebagai sesuatu sikap ataupun kegiatan yang ditakukan oleh anggota masyarakat secara kerjasama dan tolong menolong dalam menyelesaikan pekerjaan maupun masalah dengan sukarela tanpa adanya imbalan. Sikap gotong royong ini telah melekat pada diri masyarakat pedesaan dan merupakan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang. Sikap gotong royong ini sangat berperan sekali untuk memperlancar pembangunan yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat. Kemudian, Azinar Sayuti (1983:187) Kamsori dkk. (2008:31), gotong royong memiliki beberapa faedah yakni keikutsertaan dan tanggung jawab bersama warga masyarakat bersangkutan dalam usaha pembangunan baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik atau menurut bidang-bidang kehidupan yang terdapat dilingkungan masayarakat setempat. Menurut Kamsori dkk. (2008:32), kegiatan gotong royong merupakan warisan nenek moyang kita yang perlu dilestarikan, karena sikap ini sangat positif sekali dan menunjang bagi keselarasan dan kenyamanan masyarakat dalam kehidupannya. Syamsudin Hichalid (1983:148) dalam Moch Eryk dkk. (2008:32) menjelaskan memiliki kedua kekuatan medan, yaitu faktor penghambat dan faktor pendukung yang saling bertentangan, kita dapat melestarikan nilai-nilai budaya yang merupakan jiwa gotong royong masyarakat desa, termasuk sistem pengerahan lenaga dalam kegiatan masyarakat desa, kerja bakti dan kegiatan tolong-menolong. Dengan demikian, dapat dilihat kalau dianggap sebagai tindakan spontan yang bersifat suka rela dengan tujuan kesejahteraan.
III. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan
3
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
metode analisis. Ini digunakan karena obyek penelitian adalah teks. Metode dalam analisis data umumnya ditujukan untuk memproses data dan menerapkan konstruksi analisis untuk menggali makna data sehingga mengerucutkan kepada kesimpulan yang valid. Dilanjutkan dengan proses analisis isi terdiri atas sembilan tahap, (Mayring, 1988:42) dalam Titscher et al. (2009:108): (1) penentuan materi; (2) analisis situasi tempat asal teks; (3) pengarakteran materi secara formal; (4) penentuan arah analisis; (5) diferensiasi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan teori yang ada; (6) penyeleksian teknik-teknik analisis (ringkasan, eksplikasi, penataan); (7) pendefinisian unit-unit analisis; (8) analisis materi (ringkasan, eksplikasi, penataan); dan (9) interpretasi. Pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis isi. Dikarenakan penelitian ini lebih mengutamakan analisis teks. Analisis teks merupakan bagian dari analisis isi. Selanjutnya, Titscher et al. (2009:22-25) mengutip pendapat Mayring (1988) mengenai prosedur analisis isi yang terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: 1. Ringkasan mencoba mengurangi materi sedemikian rupa sehingga bisa mengabadikan sisi pokoknya dan dengan melakukan abstraksi mencoba menciptakan suatu korpus yang bisa dikelola yang masih bisa mencerminkan materi aslinya. Untuk itu, teks (a) diparafrasakan, (b) digeneralisasikan atau diabstraksikan, dan (c) dikurangi. 2. Eksplikasi melibatkan kegiatan penjelasan, pengklarifikasian, dan penganotasian materinya. 3. Penataan struktur kurang lebih berkaitan dengan prosedur-prosedur yang digunakan dalam analisis konteks klasik dan oleh Mayring juga dipandang sebagai teknik analisis isi yang paling penting, karena tujuannya adalah menyaring struktur tertentu dari materi yang dikaji.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gotong Royong dalam Padang Bulan Dalam novel Padang Bulan, dikisahkan tentang seorang Maryamah Karpov yang bernama asli Enong menjadi menjadi perempuan pendulang timah pertama. Dia harus berjibaku dengan timah karena harus menghidupi dua adik dan ibunya setelah
ditinggal ayah tercintanya. Meski tangannya telah menjadi kasar dan kulitnya menjadi hitam kelam, Enong tetap memiliki semangat belajar bahasa Inggris. Kisahnya berlanjut dengan kisah percintaan Ikal. Dalam novel ini, diceritakan bahwa musuh utama yang Ikal adalah Zinar, kekasih A Ling. Ikal menjalin persekutuan dengan Enong, dan Detektif M. Nur untuk mengalahkan Zinar dalam pertandingan permainan catur. Sekilas, kisah itu sangat sederhana. Memang benar. Itulah Andrea. Dia mampu mengulas dari hal kecil menjadi suatu hal yang sangat kompleks penuh makna. Sebuah kisah pertemanan yang didasar oleh rasa senasib, sepenanggungan, dan seperjuangan. Kisah yang menceritakan bagaimana gotong royong mampu mendorong seseorang untuk lebih berkembang. Meski kadang, hasil akhirnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Aku bekerja di warung kopi Paman dan fokus pada tujuanku yang sederhana, namun ambisius: mengalahkan Zinar bermain catur, menunjukkan pada A Ling bahwa aku bukanlah seorang pecundang, lalu merebutnya kembali dari tangan lelaki ganteng yang tinggi itu. Inilah rencana D hidupku. Pasti dan teguh, tak bisa, sama sekali tak bisa, diganggu gugat. (Hirata: Padang Bulan, 2010: 154) Sama seperti pada novel Laskar Pelangi, dalam Padang Bulan, Ikal juga memimpikan mimpi. Jika pada novel sebelumnya mimpinya adalah mengejar citacita untuk belajar di luar negeri. Kali ini, mimpinya sangat sepele yakni mengalahkan kandidat cowok yang menyukai A Ling. Diakui memang, ide itu sangat sepele dan terkesan murahan. Tetapi, prosesnya untuk mengalahkan Zinar itu dipenuhi dengan intrik dan perjuangan tanpa henti sebagai seorang manusia yang ingin dihargai. Kepada Detektif M. Nur kujelaskan detail rencana D itu. Termasuk soal bagaimana Ninochka Stronovsky akan mengajariku main catur. Aku tahu bahwa setiap buah dan kotak-kotak di papan catur memiliki kode, namun aku belum paham mengenai itu. (Hirata: Padang Bulan, 2010: 55)
A.
4
Sebagai manusia, Ikal tak bisa mewujudkan ambisinya seorang diri. Sudah menjadi kodrat manusia yakni tidak bisa hidup sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial, mau tak mau, harus membutuhkan bantuan dari orang lain untuk merealisasikan ambisinya. Ya,
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
gotong royong dan kesetiakawanan sosial menjadi senjata utama dalam mewujudkan mimpi itu. Menurut Koentjaraningrat (2004, 6263), konsep gotong royong mengandung empat hal, ialah (1) manusia itu tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. (2) Dengan demikian dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakekatnya bergantung kepada sesamanya. (3) Karena itu ia harus selalu berusaha sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata-sama-rasa, dan (4) selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama-tinggi-sama-rendah. Lalu, datanglah Enong. Rupaya ia tahu bahwa aku telah dilipat Zinar dalam dua pertandingan. Ia adalah salah satu sahabat yang baik dan ia berusaha membesarkan hatiku. Pembicaraan kami merambat ke soal kursusnya. Matanya bersinar menceritakan senangnya ia belajar dan lingkaran baru perkawanannya. (hal. 181) “Janganlah berputus asa. Lihatlah Kakak, ni, dari kecil Kakak susah. Cobaan datang bertubi-tubi, tapi mana pernah Kakak patah arang. Tak pernah! Hidup ini harus tabah. Memang benar badanmu pendek, tapi mukamu tak jelek-jelek betul. Paling tidak, kau lihai berbahasa Inggris!” (Hirata: Padang Bulan, 2010: 221) Jelas sekali bahwa melalui jalur gotong royong, terbentuk sebuah kelompok kecil yang saling memberikan pengertian. Bukan hanya sebagai pergaulan dan ajang curhan hati semata. Tetapi, sebagai sebuah kelompok yang mampu memotivasi dan menjadi sebuah kekuatan yang mendorong sebuah lecutan harapan. Dalam gotong royong untuk membantu menyelesaikan sebuah persoalan, di situlah timbul kesetiakawanan sosial. Dalam gotong royong yang dipelopori oleh Ikal bersama Enong, Detektif M. Nur, Alvin and the Chipmunks didasari oleh rasa memiliki satu sama lain. Rasa memiliki merupakan pondasi utama dari sebuah konsep gotong royong. Di dalam rasa memiliki terdapat rasa saling pengertian, rasa senasib,
rasa sepenanggungan, dan rasa seperjuangan. Rasa-rasa tersebut yang ditampilkan dalam karakter Ikal, Enong, Detektif M. Nur, benarbenar tulus dan didasari atas keikhlasan, kecuali Alvin and The Chipmunk karena dia masih kecil. Kemudian, kebersamaan menjadi ruh gotong royong. Tanpa kebersamaan tak ada namanya gotong royong. Kebersamaan bisa dibangun dengan berbagai motif. Yang pasti, dalam konsep gotong royong kebersamaan harus dilandasi oleh aksi sosial dan kesetiakawanan sosial. Jika ada motif uang atau materi, maka itu bukan lagi gotong royong. Dengan kebersamaan dalam gotong royong, semuanya akan bahu membahu untuk mencapai misi yang telah disepakati. Dalam Padang Bulan, hampir semua bagian novel tersebut menceritakan tentang kebersamaan. Sebaliknya, Detektif M. Nur sangat disiplin dengan operasinya. Ia mulai mengintipintip dan mencatat permainan Zinar jika ia sedang bercatur di warung-warung kopi. Ia berpura-pura menikmati kopi atau mengisi teka-teki silang, padahal dalam buku tekateka silang itu terselip diagram catur. Kukirim diagram permainan Zinar itu kepada Nochka dan grand master itu mulai mengajari berbagai bentuk pembukaan. Ada pembukaan Spanyol, pembukaan Inggris, dan sebagainya. Beberapa bentuk pembukaan lainnya tak kupahami, mungkin pembukaan Taiwan atau Kamerun. (Hirata: Padang Bulan, 2010: 161-162) Bagaimana antara Ikal mendapatkan bantuan atas kebersamaan yang dilakukan Detektif M. Nur dan Nochka. Di dalam kebersamaan antara tokoh-tokoh tersebut terjalin sikap saling mempercayai satu sama lain. Dalam kebersamaan tersebut tersebut juga terkandung suatu semangat untuk menggapai suatu tujuan yang telah dirumuskan. Dengan hal itu, strategi dan operasi untuk mencapai target dalam dengan mulus dilaksanakan. Dalam Padang Bulan, Andrea mengajarkan kepada semua pembacanya bahwa bangsa Indonesia memiliki nilai luhur yang maha agung yang hampir luntur yakni gotong royong. Andrea mengajak, semua orang, terutama generasi muda untuk kembali meneguhkan kembali prinsip-prinsip gotong royong dalam keseharian kehidupan umat manusia. Andrea pun mengajak pembacanya bahwa tak semua impian dan mimpi yang dikumandangkan serta dicita-citakan bakal terwujud. Namun, bukan berarti bermimpi
5
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
menjadi suatu hal yang tak ada gunanya. Berbesar hati dan menerima kekalahan dan kenyataan bahwa target tidak tercapai memang merupakan suatu hal yang menyakitkan. Itu berlaku bagi semua orang. Tapi, Andrea berusaha menyakinkan bahwa semua orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Terimalah kelebihan dan kekurangan pada diri manusia itu sendiri. Menerima kekalahan adalah orang yang berjiwa besar. Semua mampu menerima kekalahan, meski membutuhkan proses cukup panjang. Orang yang cemburu sepertiku, jika menjadi politisi, akan korupsi. Jika menjadi suporter, akan menyalah-nyalahkan wasit. Jika becermin, membelah cermin. Jika mencinta, akan menyakiti. Jika pemilu, akan menjadi golongan putih. Namun, adakah aku menjadi golput? Tidak. Adakah tubuhku meraing waktu melihat Zinar menerima piala? Tidak. Aku bahkan, seperti orang lain, bertepuk tangan tanda salut padanya. Wahai Zinar, tak apa-apa, terimalah seluruh piala yang yang ada di dunia ini sebab aku sudah punya senjata rahasia yang akan membalasmu secara setimpal: Octoceria!! (Hirata: Padang Bulan, 2010: 209) B. Gotong Royong dalam Cinta di dalam Gelas Dalam novel ini diceritakan bahwa Maryamah Karpov alias Enong menjadi tokoh utama novel ini. Maryamah mendobrak tradisi patriarki dengan menjadi perempuan pertama dalam pertandingan catur 17 Agustus. Maryamah adalah feminis sejati yang memperjuangkan hak-hak sebagai manusia. Hingga di akhir cerita, Maryamah berhasil mengalahkan mantan suaminya, Matarom. Inti dalam novel tersebut adalah bagaimana konsep gotong royong mampu mewujudkan mimpi seseorang. Meski, konsep gotong royong lebih bersifat pada orientasi dan targetnya pun pribadi. Sama seperti dengan Padang Bulan, Cinta di dalam Gelas pun kisah cinta yang kandas menjadi motivasi kuat untuk bersatu dan bergotong royong. Tak seperti perkawinan ibu dan ketiga adiknya, Enong tidak beruntung. Kelakuan buruk suaminya telah tampak sejak awal perkawinan, namun ia bertahan. Seburuk apa pun ia diperlakukan, ia menganggap dirinya telah mengambil keputusan dan dia selalu berusaha menjaga perasaan ibunya. Namun, pertahanan Enong berakhir ketika suatu hari datang seorang perempuan yang
6
mengaku sebagai istri Matarom. Perempuan itu dalam keadaan hamil. Ia tidak datang dengan marah-marah karena tahu apa yang telah terjadi bukan kesalahan Enong. Enong meminta maaf dan mengatakan bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah mengenal lelaki dan tak tahu banyak tentang Matarom. Enong mengakhiri perkawinannya secara menyedihkan. Ia meminta diceraikan. (Hirata: Cinta di dalam Gelas, 2010: 17) Nilai-nilai gotong royong yang dimasukkan Andrea dalam novel Cinta di dalam Gelas sangat kentara. Semua masalah, jika diselesaikan dengan gotong royong maka akan menjadi mudah urusannya. Dia pun ingin menunjukkan kepada pembaca tentang nilainilai luhur gotong royong dalam persahabatan. Andrea Hirata ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia adalah makhluk sosial. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Pertanyaan selanjutnya yang menjadi perenungan adalah kenapa manusia harus saling membantu satu sama lain? Jawabannya karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang diberi bekal untuk berpikir. Awal dari berpikir adalah bertanya. Setelah bertanya, manusia juga akan menjawab pertanyaan baik dari dirinya sendiri atau orang lain. Dalam novel tersebut menunjukkan bahwa semua karakternya selalu bertanya kepada dirinya, temannya, dan kawan-kawannya mengenai bagaimana membantu Maryamah memenangkan pertandingan catur melawan Matarom. Mereka juga berpikir cepat dan lugas dalam menjawab kondisi dan situasi yang selalu berkembang dalam kehidupan tokohtokoh dalam novel tersebut. Dengan bertanya dan berpikir tersebutlah semakin menjadi titik awal untuk sebuah aksi gotong royong. Namun, itu saja belum cukup. Semua tokoh dalam novel memiliki budi pekerti atau moral yang baik pada awalnya. Meski nantinya ada pengkhianat dalam persahabatan tersebut. Tapi, Ikal, Maryamah, Alvin and The Chipmunks, Giok Nio, Selamot, Detektif M. Nur, dan Preman Cebol merupakan orang-orang yang baik. Tak ada yang berwatak penjahat. Pasalnya, gotong royong akan langsung roboh jika tidak dilandasi oleh etika dan moral. Menurut Surbakti (2009:230), falsafah gotong royong hanya bisa berjalan dengan baik jika dilandasi budi pekerti. Tidak mungkin semangat gotong royong bisa dilaksanakan jika orang-orang yang terlibat di dalamnya
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
memiliki watak yang buruk, hanya memikirkan diri sendiri, atau berperilaku curang. Kemudian, salah satu ciri menonjol falsafah gotong royong adalah semangat kekeluargaan yang diusungnya. Seperti diungkapkan dalam Surbakti (2009:232), kekeluargaan merupakan pengikat kuat semangat kerja sama untuk menuntaskan setiap permasalahan yang timbuh. Semangat kekeluargaan mendorong seseorang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Selanjutnya, fakto lainnya yang mendukung gotong royong adalah tidak adanya tempat bagi penonjolan diri, melainkan kebersamaan. Adanya kebersamaan, saling menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan peran memungkinan tercapainya tujuan bersama tanpa ada pihak atau kelompok yang merasa paling berjasa, berperan, atau berkelompok. Kemudian, kesetaraan peran. Aku masuk ke dalam pasar. Kulihat banyak orang duduk di pelataran stanplat pasar ikan dan di emper-emper toko. Mereka adalah para perempuan pedagang kaki lima, para pedagang kecil buah-buahan, penjaja kue baskom, penjual sirih dan gambir, pedagang bumbu dapur, beras, sayur, dan ikan. Giok Nio tampak di antara merek bersama karyawannya, Selamot dan Chip. Selidik punya selidik, rupanya mereka mogok berjualan karena menuntut agar Maryamah tidak dihalangi bertanding catur pada peringatan hari kemerdekaan. Keadaan jadi makin kacau sebab pedagang lainnya ancam ikut mogok. Jika itu terjadi, pasar kami bisa lumpuh. Sersan Kepala tak bisa berbuat apa-apa melihat pemogokan yang baru pertama kali terjadi di kampung kami ini. (Hirata: Cinta di dalam Gelas, 2010: 92-93) Jelas sekali tidak mungkin Giok Nio, Selamot, Detektif M. Nur dan Preman Cebol mampu menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi menuntut Maryamah maju dalam pertandingan catur tanpa adanya kebersamaan, saling menghargai, dan menjunjung tinggi kesetaraan peran. Mereka tidak takut mengambil resiko meski berhadapan dengan Sersan Kepala dan Ketua Karmun serta tokoh masyarakat. Mereka memiliki keberanian karena mereka menganggap upaya mereka adalah suatu kebenaran. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, mereka juga berani berinovasi dengan menggalang demonstrasi dari kalangan perempuan. Umumnya, para peserta demonstrasi adalah kaum feminis yang berjuang untuk dirinya dan peduli dengan
perjuangan kaum perempuan yang ingin maju. Mereka pun tidak malu dan tabu dalam berdemonstrasi, padahal itu adalah yang pertama kali di daerah tersebut. Jiwa pemberontakan dan revolusi yang muncul dari benak semua perempuanperempuan memuncak. Mereka ingin menunjukkan eksistensinya sebagai warga negara dengan mengikuti lomba permainan catur. Motor penggerak utamanya adalah Maryamah. Dia adalah pahlawan feminisme sejati yang muncul dari akar rumput masyarakat dengan dukungan kaum Hawa lainnya serta didorong gotong royong dibalut dengan kesetiakawanan sosial yang tinggi dari kawan-kawannya. Perjuangan feminisme tidak akan berhasil tanpa dukungan gotong royong dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Sementara itu, aspek lain yang ditonjolkan oleh Andrea Hirata adalah kepedulian dalam gotong royong. Kepedulian menjadi sebuah atmosfir yang selalu menyejukkan dalam aksi gotong royong. Adanya sikap saling terikat satu sama lain untuk selalu bekerja sama tanpa henti demi satu tujuan. Sementara itu, Maryamah dan Alvin the Chipmunks, susah payah memahami maksud Grand Master Nochka. Aku salut pada tekad Maryamah. Ia mengulangi petunjuk Grand Master sampai beratusratus kali, tak pernah lelah. (Hirata: Cinta di dalam Gelas, 2010: 121-122) Dalam gotong royong, masing-masing memiliki tugas dan peranannya masing-masing. Semuanya menjalankan tugas dan peranannya dengan tepat, jika tidak maka semuanya bisa gagal di pertengah jalan. Alvin the Chipmunks, misalnya, bertugas sebagai mitra tanding bagi Maryamah. Dia juga membantu Maryamah dalam menyelesaikan semua persoalan dan permasalahan diagram catur yang akan dijadikan strategi dalam pertandingan nantinya. Masing-masing peranan dan tugas yang dilakukan pun dikoordinasi dan terstruktur. Satu peran yang dilakukan oleh Detektif M. Nur akan membuka jalan bagi Ikal untuk berkonsultasi dengan Nochka. Peranan Ikal akan membantu Maryamah dan Alvin and The Chipmunks. Adanya sinergisitas yang sangat manis menunjukkan adanya keterikatan yang tak bisa dilepaskan satu sama lain. Saya menganggap dalam Cinta di dalam Gelas mampu menjawab tanda tanya besar kelanjutnya novel Maryamah Karpov yang menjadi bagian Tetralogi Laskar Pelangi. Jika dalam Maryamah Karpov, Maryamah
7
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
sangat pandai memainkan biola. Dalam Cinta di dalam Gelas, Maryamah sangat lihai memainkan permainan catur. Semuanya tak mungkin dilakukan Maryamah seorang diri tanpa bantuan gotong royong dari sahabat setianya. Dalam Cinta di dalam Gelas, Andrea Hirata ingin menggugah semua perempuan bahwa mereka dapat bangkit dari keterpurukan dengan satu syarat yakni gotong royong dengan dilandasi kesetiakawanan sosial. Jangan menyelesaikan masalah sendiri, karena itu akan berujung kepada penderitaan. Jangan memendam permasalahan di hati, karena itu nanti bakal menjadi penyakit dan bumerang bagi diri sendiri. Berbagai dengan kawan dan mintalah bantuan kepada teman dan sahabat atau pun saudara. Tak ada perjuangan yang berhasil jika dilakukan seorang diri. Perjuangan yang berhasil pasti dilakukan secara gotong royong.
Semua karya-karya yang ditulisnya mengandung dua konsep yang menjadi akar sosial bangsa Indonesia yang kini telah sedikit dilupakan dan hampir saja ditinggalkan. Dalam dwilogi itu mengingatkan kembali tradisi gotong royong dan kesetiakawanan sosial yang sepertinya hampir diabaikan semua elemen bangsa ini. Padahal, kedua konsep kebangsaan itu yang melandasi perjuangan bangsa ini dan menjadi akar kehidupan pada semua suku-suku di seluruh Indonesia. Andrea ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk kembali melaksanakan kedua konsep agar hidup ini damai dan terjalin rasa ikatan saling pengertian.
Perempuan yang sepakat untuk bahumembahu takkan pernah terkalahkan. (Hirata: Cinta di dalam Gelas, 2010: 266)
Baldick, Chris. 2001. The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms. Oxford: Oxford University Press.
Masih ingat dengan pepatah “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh”? Jika kita bersatu, salah satu jalannya adalah gotong royong. Jika kita bercerai, maka tinggalkan gotong royong. Sebagai pamungkas, “Apa yang dimaksud dengan "kepribadian bangsa" oleh Presiden Soekarno adalah jiwa gotong royong yakni sebagai ciri sekaligus kekuatan bangsa Indonesia untuk menjawab tantantan yang dihadapinya.” (Hisyam, 2003:99) Melalui Dwilogi Padang Bulan, Andrea Hirata kembali ingin mengingatkan konsep dan aksi gotong royong bagi masyarakat Indonesia. Gotong royong adalah budaya bangsa Indonesia, bukan hanya pada suku Melayu di Pulau Belitong semata. Gotong royong adalah semangat bangsa Indonesia yang harus terus ditanamkan mulai dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan berbangsa. Jika bangsa Indonesia mampu menggalakkan gotong royong, semua persoalan akan terselesaikan. Tentunya dengan keyakinan penuh.
Castle, Gregory. 2007. The Blackwell Guide to Literary Theory. Malden: Blackwell Publishing.
IV. KESIMPULAN
Hisyam,Muhamad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata karya-karya mengusung dengan konsep-konsep kemasyarakatan yang ada di Indonesia yakni gotong royong dan kesetiakawanan sosial.
8
DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H, 1999. Gloossary of Literary Terms. Boston: Heinle & Heinle.
Childs, Peter dan Fowler, Roger. 2006. The Routledge Dictionary of Literary Terms. London: Routledge. Culler, Jonathan. 1997. Literary Theory: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press. Eagleton, Terry. 2005. Literary Theory. Malden: Blackwell Publishing. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra-Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS. Hirata,
Andrea. 2010. Padang Bulan. Yogyakara: PT Bentang Pustaka
Hirata, Andrea. 2010. Cinta di dalam Gelas. Yogyakara: PT Bentang Pustaka
Kamsori, Moch Eryk dkk. 2008. Study Masyarakat Pedesaan Di Indonesia.
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Bandung: Indonesia
Universitas
Pendidikan
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Kajian Prosa. Yogyakarta: Pustaka Felicha. Kurnia, Santana Setiawan. 2007. Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi sastra : sebuah pemahaman awal. Malang : Bayu Media dan UMM Press. Surbakti, E.B. 2009. Kenalilah Anak Remaja Anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stefan Titscher et al. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Terjemahan (Gozali dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: kajian puitika bahasa, sastra, dan budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
9