Gosip dan Dinamika Relasi: Studi Ujaran Gosip dalam Speech Community di Perusahaan Robert Bosch Indonesia

 

Gosip dan Dinamika Relasi: Studi Ujaran Gosip dalam Speech Community di Perusahaan Robert Bosch Indonesia Ghea Adasta Fauzan dan Ezra M. Choesin Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: [email protected]    

Abstrak Lingkungan sebuah perusahaan multinasional di salah satu kawasan perkantoran Jakarta Selatan menunjukkan adanya intensi lain dalam perilaku menggosip, yaitu lebih dari sekadar mendapatkan pengetahuan tetapi juga melanggengkan relasi. Sebagai sebuah institusi bisnis formal, PT Robert Bosch Indonesia membentuk sistem alur komunikasi organisasi yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Akan tetapi, sebagai makhluk sosial, karyawan perusahaan tidak hanya mengaktifkan komunikasi formal, tetapi juga komunikasi informal yang juga berpotensi melanggengkan kelompok. Komunikasi ialah hal yang patut diperhatikan ketika berbicara mengenai kebudayaan sebuah masyarakat. Eksistensi individu maupun kelompok terkonstruksi melalui adanya pertukaran nilai, sentimen, dan informasi dalam interaksi. Pembentukan kelompok salah satunya terjadi berkat hal yang dimiliki bersama karena adanya interaksi antar individu. Tidak hanya berkonsentrasi pada pertukaran pesan, komunikasi juga memiliki peran dalam konstruksi kelompok-kelompok dalam masyarakat. Menyadari pentingnya komunikasi dalam sebuah arena sosial perusahaan multinasional, tulisan ini memaparkan lebih jauh bagaimana sebuah ujaran gosip mampu menggambarkan dinamika relasi karyawan di dalamnya. Fokus tulisan ini adalah penggunaan konsep speech community yang memandang individu di dalam perusahaan ini sebagai sebuah komunitas yang memiliki kesamaan pemahaman atas sebuah ujaran dan aturan terhadap ujaran tersebut. Pembatasan persamaan pemahaman turut membatasi siapa yang menjadi anggota komunitas tersebut. Tulisan ini menunjukkan bagaimana sebuah ujaran dapat menjelaskan pelanggengan, pelemahan, dan pembentukan relasi sosial yang dinamis di dalam lingkungan organisasi yang kaku. Kata kunci

: gosip, relasi sosial, perusahaan, speech community, dinamika

Gossip and The Dynamics of Relations: Study of Gossip within a Speech Community at Robert Bosch Indonesia Abstract The working environment of a multinational company in one area of the South Jakarta office district indicates another intention of gossip behavior, which is not only to gain knowledge but also to perpetuate relations. As a formal business institution, PT Robert Bosch Indonesia formed an organizational communication system to support the attainment of company goals. However, as social beings, the employees not only perform formal communications, but also conduct informal communications that potentially perpetuate groups. Communication is noteworthy when talking about the culture of a society. The existence of individuals or groups is constructed through an exchange of values, sentiments, and information in interaction. Group formation occurs due to things that belong together because of the interaction between individuals. Not only does communication concentrate on the exchange of messages, it also plays a role in the construction of groups in society. Recognizing the importance of communication in a social arena of multinational corporations, this paper further describes how gossip is able to describe the dynamics of employee relations. This paper is focused on the speech community that views employees as a community possessing a common understanding of utterances and the rules governing them. The understanding of utterances is limited to members of the community. This article shows how an utterance can explain the strengthening, weakening, and forming of dynamic social relations within the rigid organization. Keywords : gossip, social relations, corporate, speech community, dynamics

  Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

Pendahuluan Dalam kehidupan sosial, komunikasi memiliki interrelasi erat dengan kebudayaan. Berbagai kajian sosial mencoba mengemukakan kompleksitas kebudayaan melalui pola komunikasi yang terjadi. Dalam tiga istilah berikut, bersama (common), masyarakat (community), dan komunikasi (communication), terdapat interrelasi yang lebih dari sekadar hubungan verbal. Manusia hidup dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai kebaikan yang dimiliki bersama; dan mereka mengaktifkan rasa kepemilikan bersama itu melalui komunikasi (Dewey, 1916:5). Gosip diposisikan sebagai fenomena yang berpotensial dalam menganalisis bagaimana kebudayaan dan masyarakat beroperasi. Dewey berada dalam pemahaman bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang dimiliki bersama (shared). Perspektif yang diutarakan Du Bois (2000:94), mengenai kebudayaan ialah wujud dari pola yang memberikan makna pada tindakan dan entitas sosial, sehingga cara aktor sosial berlaku dalam kebudayaan dapat ditelaah salah satunya melalui ujaran yang terpola dan tindakan yang terpola (Saville-Troike, 2003:11). Sebagai sebuah peristiwa ujaran, gosip selayaknya mampu memberikan petunjuk tentang dimensi lain yang terorganisasir dan tersegmentasi dalam sebuah kelompok (Saville-Troike (2003:27). Speech community (Hymes, 1972) muncul sebagai konsep yang merepresentasikan kebudayaan kelompok melalui pemahaman sebuah ujaran. Penuturan sebuah peristiwa ujaran muncul sebagai akibat dari konstelasi aturan berbicara yang disepakati secara tidak sadar oleh individu–individu yang berada dalam satu kelompok. Speech community telah lama digunakan untuk menjelaskan ikatan penutur bahasa secara spasial. Namun dalam konteks penuturan gosip, speech community berlaku sebagai kelompok penutur yang berbagi aturan ujaran yang sama, mampu memahami dan dipahami atas ujaran yang berlaku. Konteks ujaran yang dimaksud adalah hal-hal yang dikonsepsikan sebagai gosip. Arti yang ditekankan dari community adalah sesuatu yang dimiliki bersama, yakni kesamaan interpretasi terhadap sebuah isu, aturan main dan nilai dalam berbicara. Saville-Troike (2003) menekankan kriteria terhadap community sebagai dimensi pengalaman signifikan yang dimiliki bersama (shared), dan untuk speech community, dimensi yang dimiliki bersama terkait dengan cara anggota kelompok menggunakan, menilai, dan mengartikan bahasa. Tulisan ini menekankan pada interrelasi antara gosip dan pengorganisasian relasi sosial dalam sebuah organisasi korporat. Upaya mendefinisikan hubungan tersebut bersinggungan dengan upaya kajian antropologi linguistik yang menggunakan bahasa sebagai dasar bagi para agen dalam mengonstruksi   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

dunia sosial (Besnier, 2009:3). Unsur linguistik gosip tidak hanya menjelaskan bagaimana cara pemahaman sebuah ujaran, tetapi juga konteks sosial secara luas yang tidak dapat dipisahkan dari ujaran gosip. Penelitian ini dilakukan pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perdagangan umum, PT Robert Bosch Indonesia atau disingkat RBID. Gosip adalah hal yang banyak ditemukan dalam interaksi sehari-hari karyawan RBID. Produksi gosip terus dilakukan terkait intensitas pertemuan antar karyawan yang cukup tinggi, kurang lebih 40 jam dalam satu minggu. Interaksi antar karyawan di sela pekerjaan melalui obrolan kecil menjadi kebutuhan untuk menghilangkan jenuh dalam bekerja. Interaksi yang dilakukan berulang-ulang membentuk pola komunikasi yang menjadi perhatian para pakar sosial dalam mengkaji kebudayaan sebuah kelompok. Fenomena gosip hanya dapat dipahami jika melekat dengan konteks relasi sosial yang lebih besar. Studi Besnier (2009) terhadap masyarakat atol Nukulaelae mengemukakan bahwa mereka memetakan kehidupan sosial dan aktivitas politik mereka melalui gosip. Beberapa penelitian terdahulu mengenai gosip juga telah membuktikan relasi antara pola komunikasi dengan pengaktifan nilai-nilai masyarakat yang dimiliki bersama. Dengan banyak dipengaruhi studi Herskovitz, Gluckman (1963) berpendapat bahwa gosip turut berperan dalam memelihara kerekatan dan moralitas dalam sebuah masyarakat. Dari sejumlah kajian yang telah dibahas di atas, tulisan ini didasari berbagai pemikiran mutakhir para peneliti sosial yang menempatkan fenomena gosip dalam konteks relasi masyarakat yang hidup bersama. Lekatnya peran fungsional ujaran gosip dalam kelompok membuat kita harus memahami kembali apa yang menjadi tujuan dan fungsi dari komunikasi itu sendiri. Jakobson (1960:350-377) adalah salah satu yang mengelaborasi fungsi komunikasi secara komprehensif. Fungsi phatic komunikasi membuka ruang terhadap pendekatan fungsi komunikasi bukan hanya pada perpindahan pesan—atau yang sering disebut sebagai fungsi referensial—melainkan kerekatan sosial. Hal ini diperjelas oleh studi Carey (2009) yang menyebutkan proses komunikasi sebagai ritual yang tidak menekankan pada keberhasilan penyampaian pesan, namun apa yang diperoleh si penerima pesan itu sendiri, yakni pengalaman simbolik yang memproduksi, melanggengkan, serta mengubah realita. Realita terbangun dalam simbol-simbol yang direpresentasi lewat medium komunikasi. Penekanan pendekatan ini lebih kepada pemeliharaan masyarakat dalam waktu; bukan tindakan penyampaian informasi melainkan representasi keyakinan bersama (representation of shared beliefs). Penelitian yang saya lakukan hendak menunjukkan bahwa studi penuturan gosip tidak hanya terpaku pada konten ujaran itu sendiri, tetapi adanya pertukaran maupun   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

pelanggengan nilai kelompok yang terjadi selama interaksi tersebut berlangsung. Pada tataran individu dan kelompok yang berinteraksi satu sama lain, fungsi dari komunikasi yang terjadi terkait secara langsung pada kebutuhan dan tujuan para partisipan (Hymes, 1972). Analisis peristiwa ujaran dimulai dari penjelasan tentang komponen komunikasi yang penting; dan juga dipertimbangkan untuk menjelaskan model kognisi karyawan yang terwujud sebagai ujaran. Hymes menyebutnya sebagai komponen ujaran (Hymes, 1972:5964, 1964:13). Agar mudah diingat, ia merangkumnya dalam singkatan SPEAKING: setting and scene, participants, ends, act sequence, key, instrumentalities, norms, dan genre. Penjelasan kedelapan komponen di atas dapat diaplikasikan dalam berbagai macam diskursus. SPEAKING digunakan untuk melihat bagaimana gosip sebagai peristiwa ujaran tidak dapat dipisahkan dari konteks pengujar dan fungsinya. Maka dari itu, perlu adanya penjelasan tentang makna gosip bagi karyawan RBID dan bagaimana penggunaan SPEAKING di atas menjadi acuan untuk mengenali ujaran gosip dan ciri-cirinya. Perspektif psikologis yang dituturkan oleh Baumeister, Zhang, dan Vohs (2004) berada dalam jalur yang sama dengan Gluckman tentang fungsi kebaikan gosip dalam masyarakat. Gosip memberikan informasi berguna tentang bagaimana kebudayaan dan masyarakat kita beroperasi. Di satu sisi, gosip memiliki fungsi untuk memahami aturan dan norma yang tidak dapat dikomunikasikan secara deskriptif karena lebih efektif jika dikomunikasikan dalam narasi. Di sisi lain, gosip juga berbuah risiko dan problema yang tidak terduga (Baumeister, Zhang, & Vohs, 2004:111). Tulisan Stewart dan Strathern (2004) memberikan perspektif tentang interrelasi antara gosip dengan kekerasan dalam ranah sosial dan politik: contoh yang diberikan adalah pemberontakan petani dan perburuan penyihir (Stewart & Strathern, 2004). Ketiga perspektif ini memberikan satu benang merah bahwa gosip dan konteks relasi masyarakat tidak dapat dipisahkan. Pada dasarnya gosip juga berperan pada bagaimana masyarakat mengelola interaksi dalam sebuah kebudayaan. Elaborasi yang coba saya ajukan mengenai bagaimana karyawan memahami gosip dan bagaimana persebaran gosip membatasi atau membuka jaringan relasi lebih besar, dilakukan dengan menelusuri postulasi pendekatan fungsional komunikasi dari Jakobson (1960) dan Carey

(2009)

dengan

mempertimbangkan

kajian-kajian

gosip

sebelumnya,

serta

mengaplikasikannya dalam ranah konsep speech community dari Hymes (1972) dan paparan kritis Saville-Troike (2003). Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan interrelasi ujaran bahasa dan perubahan relasi sebuah masyarakat. Dengan signifikansi melengkapi kajian sosial terutama soal speech community dan relasi sosial, penelitian ini diharapkan mampu menjadi alternatif   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

untuk memahami kebudayaan dalam sebuah organisasi dengan menggunakan fenomena linguistik sebagai alat analisisnya. Hymes berpendapat bahwa etnografer dapat menganalisis pola komunikasi dengan menggunakan metode penelitian antropologi, yaitu observasi partisipasi. Metode pengambilan data selanjutnya yang saya gunakan adalah wawancara mendalam dengan karyawan RBID. Oleh karena keterbatasan waktu penelitian dan aksesibilitas, saya memilih beberapa informan kunci yang dianggap paling beredar di kantor dengan indikasi kenal dengan banyak karyawan dan sudah bekerja cukup lama di kantor RBID. Saya juga turut serta dalam percakapan informal karyawan RBID pada saat makan siang. Hambatan selama penelitian ini adalah membangun kepercayaan informan pada saya untuk menceritakan secara gamblang mengenai gosip yang ia ketahui. Hal ini disebabkan gosip adalah salah satu percakapan yang sensitif. Pemetaan ujaran gosip dalam arena sosial Berdasarkan definisi gosip sebagai sebuah fenomena sosial, memposisikan gosip sebagai alat analisis menjadi signifikan sesuai dengan pernyataan Besnier (2009) tentang fenomena gosip yang hanya dapat dipahami jika melekat dengan konteks relasi sosial yang lebih besar. Studi yang ia lakukan selama satu dekade menggambarkan bagaimana cara masyarakat atol Nukulaelae memetakan kehidupan sosial dan aktivitas politik melalui gosip. Menurutnya sekelompok masyarakat dapat memahami apa yang terjadi di sekitarnya, menginterpretasikan peristiwa, orang-orang, dan dinamika sejarah melalui produksi gosip. Oleh sebab itu, penjelasan penelitian ini diawali tentang konteks sosial dalam RBID. Sebagai sebuah institusi formal, RBID mengelompokkan individu anggotanya dalam satuan divisi sesuai fungsi dalam organisasi. Relasi sosial yang terjalin di dalam kantor tidak hanya mencakup urusan formal organisasi, tetapi relasi secara informal yang memiliki fungsi penting untuk memuaskan kebutuhan sosial anggota-anggotanya (Robbins, 1996:295). Oleh sebab itu, para karyawan RBID secara sadar maupun tidak mengelompok dalam peer group yang terbentuk akibat persamaan kebiasaan, usia, hobi, kepentingan, atau jenis kelamin. Gosip beroperasi dalam jaringan peer group karena pengelompokan tersebut menandakan adanya satu pemahaman terhadap sebuah isu. Seiring dengan kegiatan yang terus dilakukan, semakin mapan pengalaman atas sebuah ujaran. Atas dasar kesamaan pengalaman tersebut, speech community adalah konsep yang tepat untuk menggambarkan bagaimana relasi-relasi yang terjalin dalam sebuah jaringan gosip. Proses jalannya sebuah organisasi korporat dijembatani oleh komunikasi formal, secara vertikal antara atasan dengan bawahan atau sebaliknya, dan secara horizontal, yaitu   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

antar sesama karyawan. Pada umumnya, gosip menyebar melalui jalur-jalur informal yang terbentuk di luar kendali perusahaan. Intensitas pertemuan yang cukup tinggi—karyawan menghabiskan waktu kurang lebih 40 jam dalam seminggu di kantor—membuka peluang tiap individu untuk membangun jaringan pertemanan. Dalam ruang inilah para karyawan berbagi pengalaman ujaran yang sama dan nilai yang dipahami bersama sehingga menguatkan aturan dalam komunikasi. Robbins (1996) menjelaskan bahwa terkadang gosip dikaitkan dengan informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya, tetapi menurutnya gosip—dalam konteks korporasi— adalah sumber informasi yang lebih bisa dipercaya dan diandalkan dibandingkan komunikasi resmi dari manajemen tingkat atas perusahaan. Selain itu, sebagian besar percakapan digunakan untuk melayani kepentingan diri dari orang-orang di dalamnya (Robbins, 1996:383). Kepentingan yang terwujud dalam komunikasi gosip di RBID adalah upayaupaya untuk adaptasi dan kebutuhan untuk bertahan menghadapi tantangan yang ada di dunia korporat. Beratnya beban kerja, ketatnya tenggat waktu, dan keinginan mencapai target menempatkan karyawan di bawah tekanan struktur organisasi dan harus berlomba-lomba untuk mencetak performa memuaskan untuk meningkatkan status dan berakhir pada naiknya tunjangan. Relasi antar karyawan harus dibina dengan baik karena tiap peranan yang diemban membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang baik satu dengan yang lain. Dalam lingkungan perusahaan, pihak yang sering menjadi sasaran empuk salah satunya adalah pihak manajemen perusahaan. RBID menyediakan saluran formal untuk mengomunikasikan secara langsung ketidakpuasan terhadap kebijakan atasan atau jajaran manajemen. Namun pada kenyataannya, banyak keluhan yang tidak tersampaikan pada pihak berwenang dan hanya menjadi gosip semata. Hasil wawancara dengan beberapa informan menunjukkan mereka kurang puas dengan beberapa kebijakan kantor RBID. Salah satu contoh adalah kebijakan medical allowance—tunjangan kesehatan—yang

menuai kritik

karyawan karena pembiayaan tersebut dianggap kurang proporsional. Fakta menarik lainnya ialah divisi personalia mencatat tingginya angka pergantian (turnover) karyawan pada tahun 2013 lalu. Pergantian karyawan adalah hal yang biasa dalam kehidupan perkantoran, akan tetapi tingginya angka karyawan yang mengundurkan diri cukup mengkhawatirkan karyawan-karyawan RBID tentang bagaimana pihak manajerial mengakomodir kebutuhan karyawannya. Isu manajerial adalah topik yang sering dijadikan gosip oleh karyawan, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya gosip mengenai karakter orang lain dan masalah pribadi karyawan. Perkembangan isu dan kondisi sosial di RBID menarik untuk dikaji.

  Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

Suasana fisik lingkungan RBID sengaja dibentuk perusahaan untuk memberikan kebebasan karyawan dalam berinteraksi. Tata ruang yang terbuka dan tersedianya beragam saluran komunikasi menjadi salah satu faktor pendukung. Salah satu informan bahkan meyakini bahwa keterbukaan area kerja RBID memberikan peluang bagi karyawan untuk menjalin hubungan baik antar karyawan. Wawancara dengan karyawan divisi HR memperkuat pernyataan bahwa manajemen RBID memang sengaja membentuk lingkungan kantor dengan prinsip Openness and Trust yang memberikan ruang terbuka bagi karyawan untuk berinteraksi secara vertikal maupun horizontal. Definisi gosip Esensi dari kata community dalam speech community bermakna berbagi pengalaman terkait cara individu menggunakan, menilai atau memahami ujaran (Saville-Troike, 2003:15). Oleh karena itu, gosip sebagai salah satu peristiwa ujaran diinterpretasi dan dipahami dengan kaidah yang sama. Kajian antropologi yang mengedepankan pandangan emik, membuat definisi dari karyawan RBID mengenai gosip menjadi yang terpenting. Jika dianalisis menggunakan konsep sosiolinguistik yang diajukan oleh Hymes (1972), sebagai peristiwa ujaran, gosip meliputi komponen komunikasi dan keberadaannya melekat pada norma sebuah speech community. Jika pandangan ini dilengkapi dengan analisis Saville-Troike, gosip dipahami sebagai kategori obrolan (categories of talk)—atau dalam beberapa kesempatan Saville-Troike menyebutnya genre—yang diidentifikasi dengan membuat label untuk mengategorikan peristiwa ujaran yang menunjukkan hal-hal apa yang dianggap penting (Saville-Troike, 2003:26). Label atau karakteristik inilah yang dipahami sebagai penanda atau ciri-ciri yang membedakan ujaran gosip dari ujaran yang lainnya. Terdapat berbagai genre percakapan di RBID mulai dari lelucon, keluhan, diskusi, dan lainnya. Karakteristik tiap genre bisa tumpang tindih sehingga ada kekhasan yang dapat membedakannya. Klasifikasi karyawan terhadap sebuah genre merepresentasikan hal-hal yang mereka anggap penting. Ini bersinggungan dengan norma dan aturan yang kemudian muncul dan dipahami bersama setelah terbiasa berinteraksi. Selama penelitian ini, saya mengidentifikasi adanya empat ciriciri ujaran gosip dalam hubungan sosial karyawan RBID. Gosip adalah membicarakan orang di “belakang” Konten informasi yang dianggap kurang pantas dikomunikasikan secara langsung menyebabkan penuturan gosip seakan ditutupi dari sepengetahuan orang yang bersangkutan. Jika seseorang mengomunikasikan informasi tersebut langsung pada orang yang dituju, maka   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

tindakan tersebut tidak termasuk dalam kategori penuturan gosip. Gosip terdiri atas cerita dan anekdot tentang orang lain yang bersifat partikular, terutama pada cerita yang terkesan negatif pada target (Baumeister, Zhang, dan Vohs, 2004:113). Berikut adalah salah satu definisi gosip yang diutarakan seorang informan. “gosip lah, digosok makin sip haha itu kan kepanjangannya. Gosip tuh apa ya menyebarkan berita tentang seseorang tapi orang itu tidak tahu. Kayak talking behind your back” Apabila pihak yang digosipkan mengetahui bahwa dirinya sedang dibicarakan, potensi risiko konflik terbuka lebar. Konflik yang dimaksud dalam arti relasi antara penggosip dengan target gosip menjadi buruk. Padahal selayaknya sebagai sesama karyawan, mereka diharuskan untuk menjalin hubungan baik agar tercipta lingkungan kerja yang kondusif. Aturan ini juga berlaku pada pihak-pihak yang dekat dengan target gosip. Asumsinya, jika seseorang menceritakan keburukan seseorang pada pihak yang memiliki hubungan dengan orang yang bersangkutan, maka isi pembicaraan tersebut bisa saja diketahui oleh pihak yang dibicarakan bahkan sampai tersebar luas. Dengan demikian, gosip yang ingin dituturkan harus menyesuaikan dengan identitas pihak yang akan diajak bicara. Seleksi interlokutor inilah yang menjadikan gosip sebagai ujaran yang unik karena membangun batasan partisipasi interaksi dalam kelompok. Namun, ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa gosip memang dimaksudkan untuk diketahui secara perlahan oleh yang bersangkutan dalam konteks kontrol sosial. Gosip adalah sarana untuk menambah pengetahuan Saat saya melakukan penelitian ini, terdapat satu oknum yang sering menjadi bahan gosip para karyawan, sebut saja ia bernama Karina. Ia seringkali berpakaian unik ketika datang ke kantor. Penggunaan pakaian yang dianggap tidak lazim saat bekerja, dianggap karyawan RBID sebagai hal yang aneh. Oleh sebab itu, Karina sering digosipkan para karyawan karena keanehan cara berpakaiannya. Ditambah lagi perilaku Karina yang dianggap kurang sopan, gosip tentang dirinya semakin menjadi-jadi. Dari gosip yang beredar, ada upaya menampilkan nilai-nilai moral yang dianggap penting dalam kebudayaan karyawan di RBID. Sebagai contoh dalam kasus Karina adalah agar orang mengenakan pakaian yang pantas dan sopan ketika di kantor, sebagai karyawan baru harus menjaga sopan santun terhadap karyawan yang lebih senior, saling bersikap ramah, dan menggunakan kata ‘tolong’ jika ingin meminta orang lain mengerjakan sesuatu. Lambat laun, Karina mengetahui bahwa dirinya digosipkan dan ia mencoba untuk mengubah perilakunya. Dampak gosip yang   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

muncul ialah kesadaran Karina untuk mengubah perilakunya agar sesuai dengan kebiasaan karyawan RBID. Penuturan gosip dapat menambah pengetahuan seseorang—target gosip, maupun interlokutor—tentang nilai moral yang signifikan dalam sebuah kelompok. Gosip memiliki fungsi sosial terutama salah satu upaya untuk memupuk rasa kebersamaan atas komunitas dan memelihara nilai-nilai yang ada di dalamnya (Gluckman, 1963: 308). Pemahaman tentang gosip di atas sesuai dengan definisi yang diajukan Baumeister, Zhang, dan Vohs (2006) bahwa gosip memiliki potensi yang kuat dan efisien dalam mentransmisikan informasi mengenai aturan, norma, dan tata cara untuk hidup dalam sebuah kebudayaan. Akibat sering digosipkan, tanpa sadar Karina mendapatkan pelajaran mengenai budaya karyawan RBID, yaitu hal-hal yang dianggap penting dan digunakan sebagai pedoman untuk berperilaku sesuai aturan yang telah disepakati. Meskipun demikian, pandangan pembelajaran kultural memprediksi bahwa mayoritas gosip bersifat merendahkan (Baumeister, Zhang dan Vohs, 2004:113). Justru hal ini menjadi lebih efektif karena individu dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk mewaspadai agar tidak mengalami hal yang sama. Perlu diingat bahwa ketika seorang karyawan gagal beradaptasi dengan baik dengan kebudayaan perusahaan, hal itu akan berpengaruh pada kinerja dirinya. Kotter dan Heskett (1991) beragumentasi bahwa kebudayaan sangat mempengaruhi kinerja jangka panjang organisasi, yakni menghasilkan peningkatan pendapatan dan pendapatan bersih yang lebih besar. Buruknya kinerja karyawan akan berpengaruh pada penilaian atasan yang bisa menghambat kenaikan jabatan, kenaikan insentif, atau bahkan pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi, pernyataan tentang strategi adaptasi karyawan seperti membenarkan gosip sebagai upaya untuk mengetahui norma dan nilai kebudayaan dalam bekerja di perusahaan. Bila ditinjau menggunakan analisis kognitif, Bordieu (dalam Strauss & Quinn, 1997) mengemukakan bahwa sebagian besar pengetahuan individu diperoleh melalui proses belajar yang bersifat informal atau melalui pengamatan (penerimaan rangsangan) sehari-hari, bukan berasal dari instruksi formal. Gosip berperan penting dalam proses belajar karyawan untuk mengenali aturan dalam lingkungannya dengan baik agar ia mampu mengantisipasi kegagalan atau kemalangan suatu hari nanti. “kadang-kadang lo juga mesti antisipasi. Kadang kita juga bukannya perlu denger cerita orang terus jadi ya pastinya lo terpengaruh. Tapi terpengaruh itu kan maksudnya untuk ke depannya tuh lo lebih baik” Tujuan karyawan RBID terlibat dalam gosip salah satunya adalah untuk mencari tahu informasi yang sedang hangat dibicarakan orang-orang, informasi mengenai alur sistematis kerja RBID, informasi tentang kebijakan yang akan atau sudah diputuskan, informasi   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

mengenai karakter karyawan lain dalam upaya antisipasi hal buruk yang bisa saja terjadi. Dalam perspektif Jakobson (1960), tujuan gosip di atas mengarah pada fungsi bahasa referential. Fungsi referensial sejajar dengan konteks atau fungsi “denotatif”, “kognitif” (Jakobson 1960:151). Tujuan bergosip untuk mendapatkan informasi memiliki fungsi referensial, bahwa komunikasi mengacu pada pesan yang ingin disampaikan. Berbicara mengenai tujuan gosip, ditemukan berbagai variasi jawaban informan dan saya klasifikasikan dalam dua tujuan utama. Selain menambah pengetahuan, gosip dijadikan alasan karyawan untuk saling berinteraksi. Beberapa variasi jawaban mengenai tujuan bergosip mengarah pada pelanggengan hubungan. Dengan mengkomunikasikan gosip, karyawan berbagi pengalaman dan menemukan kesamaan-kesamaan rasa dan pengalaman di antara mereka. Fungsi phatic dalam komunikasi menunjukkan adanya jalinan relasi yang semakin langgeng. Terdapat ujaran yang ditujukan untuk memulai, memperpanjang, atau memutuskan komunikasi, memeriksa apakah saluran komunikasi tersebut berfungsi, menarik perhatian lawan bicara atau memastikan lawan bicaranya mendengarkan (Jakobson 1960:152). Dalam kasus RBID, yang menjadi penting bukanlah informasi yang diraih saat bertukar gosip melainkan relasi yang terjalin saat bergosip dengan orang-orang terdekat. Gosip adalah informasi yang “dibumbui” Untuk memperjelas maksud bumbu di sini, perlu disimak pernyataan salah satu informan mengenai gosip di bawah ini. “yang gue omongin bener dong. Gue kan hanya men-“cheer up” cerita itu supaya lebih seru” Pernyataan ini dibenarkan oleh informan lain bahwa ada kecenderungan untuk melebih-lebihkan cerita sesungguhnya dalam penyampaian gosip. Cerita mulai dari hal-hal sepele hingga pada fase skandal, jika dikomunikasikan dengan komponen non-verbal tertentu akan mendorong seseorang untuk terlibat dalam gosip. Seorang informan mengatakan sebagai karyawan yang berada kehidupan perkantoran yang monoton, perlu sentuhan drama untuk menghindari kejenuhan dan menghidupkan suasana sehingga menuturkan gosip pun menjadi kesenangan sendiri untuk lepas dari kejenuhan. Klasifikasi kategori percakapan salah satunya dengan identifikasi kalimat penanda pembuka dan penutup. Sebagai peristiwa ujaran, gosip memiliki penanda yang mengindikasikan ujaran sudah dimulai atau sudah berhenti. Dalam sebuah speech community RBID memiliki penanda dimulainya ujaran gosip adalah kalimat “eh tau gak sih lo?” Kalimat   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

ini serupa dengan pertanyaan retorikal, sehingga tujuan pertanyaan tersebut seakan ingin membangun suasana sebelum gosip dituturkan. Kalimat penanda dimulainya gosip dengan mudah dapat diidentifikasi, tetapi banyak karyawan yang tidak menyadari apa yang mendandakan ujaran gosip berakhir; karena sifatnya yang cepat berubah-ubah, maka ujaran gosip dinyatakan selesai ketika pembicara sudah beralih topik atau kembali melakukan kegiatan yang lain. Ujaran gosip juga bisa terhenti ketika ada gangguan dari luar seperti dering telepon, dipanggil atasan, atau jika melalui saluran telepon atau internet terdapat noise seperti nada alih, atau koneksi terputus. Bila ditinjau dari komponen komunikasi Hymes (1972), Saville-Troike (2003:23) juga menyebutkan bahwa mengidentifikasi peristiwa komunikasi dengan penggunaan variasi bahasa yang mempertahankan nada bicara atau key dalam sebuah ujaran. Komponen ini juga bertalian dengan instrumentalities atau bentuk ujaran, di antaranya dialek, kode, varietas bahasa dan tingkat nada (Hymes, 1972:63). Pembicara menceritakan gosip biasanya menunjukkan rasa antusias terhadap berita yang akan ia sampaikan. Ia akan memulai dengan nada suara cenderung rendah dan naik turun ketika menceritakan gosip. Penuturan dengan nada atau cara yang berbeda akan menghasilkan keluaran yang berbeda. Komponen komunikasi key dan instrumentalities di RBID mengakomodir fungsi sosial gosip bahwa tidak hanya transmisi pesan saja yang tercapai, tetapi juga menguatkan ikatan yang terjalin. Gosip juga memiliki signifikansi emosional dan motivasional. Respon terhadap gosip ditandai dengan fitur paralinguistik atau gabungan dengan simbol non verbal (Saville-Troike, 2003:113). Studi yang dilakukan oleh Baumeister, Zhang, dan Vohs (2006) memperlihatkan bahwa respon negatif terhadap gosip cenderung lebih tinggi. Selain respon negatif, respon yang muncul juga meliputi respon positif dan netral, seperti terkejut. Analisis komponen komunikasi Hymes menunjukkan ujaran tidak dapat dipisahkan dari konteks linguistik maupun non-linguistiknya. Gosip membicarakan hal sensitif Gosip merupakan salah satu ilustrasi dari prinsip berikut: Seseorang akan lebih tertarik mendengarkan dan menceritakan hal-hal buruk tentang seseorang daripada hal yang baik (Baumeister, Zhang, dan Vohs, 2004:114). Kenyataannya, tidak semua orang menyukai kabar buruk tentang dirinya disebarluaskan. Studi mengenai peran gosip dan eksistensi ahli sihir dan ahli ilmu guna-guna yang dilakukan oleh Stewart dan Strathern (2004) membuktikan bahwa gosip dan rumor memiliki peran penting dalam proses pembentukan tuduhan terhadap pelanggaran. Menggosip artinya dapat berujung pada rusaknya reputasi   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

orang yang dituduh. Penuturan gosip melekat dengan seperangkat aturan dan kemampuan pengujarnya agar informasi tersebut tidak melanggar batas-batas norma sosial yang berkembang di dalam RBID. Individu memiliki

pengetahuan dan ekspektasi mengenai

bagaimana ia memilah informasi yang akan disampaikan, kapan ia harus berbicara dan kapan ia tidak diperbolehkan bicara, bagaimana cara penyampaian informasi kepada individu dengan perbedaan peran dan status, ataupun bagaimana perilaku nonverbal yang pantas dalam konteks tertentu; pendeknya, semua yang mencakup penggunaan bahasa dan penggunaan komunikatif dalam keadaan sosial tertentu (Saville-Troike, 2003:18). Kemampuan inilah yang disebut Hymes (1972) sebagai communicative competence— termasuk dalam komponen act sequence. Karyawan diharuskan menyesuaikan informasi dan siapa pendengarnya agar tujuan komunikasi tercapai. Jika menggosipkan hal yang bersifat negatif, pembicara harus mematuhi aturan dalam bergosip untuk menjaga reputasi dirinya. Dalam proses sosial, gosip adalah sebuah katalis karena berada dalam dua posisi untuk menghindari konflik atau memperburuk konflik (Paine, 1967 dalam Stewart dan Strathern, 2004:36). Melihat posisi gosip yang mampu menimbulkan kerugian, seperangkat aturan dan norma berbicara gosip pun diberlakukan. Dalam konteks sifat kerahasian (confidential) dalam ujaran gosip, aturan ketika menuturkan gosip terkondisikan agar tidak disampaikan pada orang yang berpotensi membocorkannya, karena dianggap akan berdampak buruk pada penilaian terhadap penutur gosip dan target gosip. Aturan dan norma dalam bergosip di RBID memenuhi komponen norms yang menandakan bahwa dalam setiap ujaran memiliki kaidah yang mengatur interaksi dan interpretasi informasi (Hymes, 1972). Pandangan karyawan RBID terhadap keteraturan sosial sebuah organisasi melandasi cara mereka dalam merespon cerita gosip. Dalam sebuah organisasi perusahaan seperti RBID, kegagalan mematuhi norma kerahasiaan dalam gosip bisa menyebabkan dikeluarkan dari perusahaan, atau mendapat penilaian buruk yang menghambat karier seseorang, sebagai sanksi diterima karyawan. Sebagian besar karyawan RBID menyadari efek buruk yang dihasilkan gosip, akan tetapi membicarakan keburukan orang lain adalah kesenangan tersendiri bagi mereka. Gosip memang identik dengan membicarakan keburukan orang lain. Karyawan RBID menganggap pembicaraan positif bukanlah sebuah gosip, melainkan pujian. Selain itu, informan juga mengemukakan motif kecenderungan karyawan lebih tertarik menggosipkan keburukan orang lain, yaitu semua individu memiliki kebutuhan untuk merefleksikan diri mereka terhadap orang lain dengan cara membanding-bandingkan keburukan orang lain dengan dirinya sendiri. Cerita tentang pelanggaran norma dianggap lebih informatif   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

dibandingkan cerita mengenai konformitas norma (Baumeister, Zhang, dan Vohs, 2004:114). Beberapa karyawan juga berpendapat bahwa gosip tidak selalu menuturkan keburukan orang lain, dan tidak jarang ditemukan gosip berisikan informasi yang positif. Karakteristik gosip yang cenderung diketahui secara negatif mengakibatkan konten gosip diklasifikasikan menjadi dua—berdasarkan klasifikasi informan—yaitu berita yang dianggap “parah” dan “tidak parah”. Konsep parah atau tidak didasarkan besarnya dampak yang dihasilkan jika berita tersebut tersebar luas atau diketahui pihak yang salah sehingga merugikan banyak pihak. Jika berita dikategorikan tidak parah, maka dampak buruk maupun kerugian yang dihasilkan tidaklah besar. Menganalisis dampak yang ditimbulkan, apabila membicarakan keburukan atau perbuatan yang memalukan atau keji yang dimaksudkan untuk menjatuhkan reputasi seseorang disebut juga skandal. Skandal dapat diartikan sebagai berita yang secara jelas mengganggu pihak yang ditujukan, berbeda dengan gosip atau rumor yang tidak selalu memiliki tujuan tersebut (Stewart & Strathern 2004:38). Skandal memiliki tujuan untuk memojokkan seseorang bahkan merusak nama baik seseorang. Gosip saling disebarkan oleh orang-orang yang berada dalam sebuah jaringan atau kelompok, sedangkan rumor adalah informasi yang belum dapat dibuktikan kebenarannya, disebarkan dari mulut ke mulut, terkadang dalam jaringan yang lebih luas dari gosip (Stewart dan Strathern, 2004:39). Karyawan RBID sendiri menganggap rumor adalah berita yang belum pasti kebenarannya. Ketika karyawan RBID belum mengetahui kebenaran informasi secara keseluruhan, maka istilah ujaran tersebut adalah rumor. Definisi rumor di RBID tidak menitikberatkan pada persebaran informasi dalam cakupan lebih luas seperti yang diajukan Stewart dan Strathern (2004), tetapi cenderung menggarisbawahi kesahihan informasi. Pada dasarnya pemisahan antara gosip dan skandal di RBID didasarkan pada klasifikasi terhadap besarnya dampak yang dihasilkan. Perbedaan penyebutan menjadi signifikan di kalangan karyawan, dan apabila dampak sebuah gosip sudah memasuki tahapan yang bertujuan menjatuhkan orang lain, maka fase gosip sudah berubah menjadi skandal atau suatu informasi yang diniatkan untuk menjatuhkan orang lain. Kadangkala, gosip memiliki tujuan yang sama dengan skandal, yakni mengecilkan atau mengganggu pihak yang bersangkutan. Penjelasan empat karakteristik ujaran gosip di atas diharapkan dapat menggambarkan pandangan karyawan RBID terhadap gosip. Gosip dapat didefinisikan sebagai peristiwa ujaran yang dibicarakan tanpa menyertakan orang yang bersangkutan dalam percakapan, memiliki fungsi dan tujuan untuk menambah pengetahuan karyawan mengenai kebudayaan   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

lingkungan perkantoran, disampaikan dalam semangat mendramatisir sebuah kejadian dengan cara penyampaian yang melibatkan emosi, menggunakan aturan, gestur, dan kode yang dipahami bersama, dan persebaran gosip memetakan pengelompokan karyawan dalam batasan partisipasi linguistik dalam speech community yang sama. Sementara itu, informan dari divisi HR mengatakan bahwa gosip bukanlah berita bohong atau informasi yang dibuatbuat melainkan cara karyawan mengungkapkan isu yang mewakili kepentingan mereka namun tidak dapat mereka sampaikan secara langsung pada pembuat kebijakan. Dengan berlandaskan pendapat tersebut, divisi HR diharuskan untuk peka terhadap gosip yang beredar untuk mempertimbangkan keputusan dan kebijakan yang akan diambil. Pada kasus demikian, gosip memberikan manfaat menurut perspektif divisi HR sebagai pembuat kebijakan kantor. Gosip dalam Dinamika Relasi Sosial Gosip tersebar pada jalur relasi yang terbentuk di luar struktur formal. Mekanisme persebaran gosip terjadi dalam jalur-jalur peer group karyawan RBID. Penyebaran gosip bersifat grapevines atau merambat dari satu kelompok ke kelompok yang lain (Robbins, 1996). Terdapat beberapa agen dalam peer group tersebut yang aktif menyebarkan gosip yang ia ketahui. Agen-agen inilah yang membentuk jaringan gosip secara luas sehingga berita bisa tersebar dengan cepat. Tumpang tindihnya keanggotaan peer group memudahkan proses persebaran gosip karena memanfaatkan jaringan yang sudah terbentuk akibat interaksi sebelumnya. Oleh karena itu, pemetaan keanggotaan sebuah speech community bisa dilihat dari jalur persebaran gosip karena mengikuti jaringan peer group. Melihat pemetaan relasi di RBID, seseorang mungkin berada pada dua bahkan lebih speech community. Hal ini sesuai dengan penjelasan Saville-Troike (2003) mengenai identifikasi speech community yang primer dan mana yang sekunder. Perbedaan primer dan sekunder berdasar pada batasan partisipasi linguistik. Aturan-aturan berbicara dalam menuturkan kategori ujaran, termasuk gosip, pada akhirnya terinternalisasi ke setiap anggota speech community. Topologi informal dalam speech community sebagai “hard-shelled” (kaku) dan “soft-shelled” (lunak) dapat dibedakan melalui dasar kekuatan pembatasan atas pemahaman bahasa (Saville-Troike, 2003:15). Entitas RBID sebagai speech community bersifat cair (soft-shelled) karena kesamaan bahasa yang digunakan menyebabkan seluruh karyawan dapat memahaminya. Namun, untuk kelompok yang lebih kecil seperti divisi atau peer group, batasan akan pemahaman bahasa semakin kaku (hard-shelled) karena hanya sedikit orang di luar keanggotaan kelompok tersebut memahaminya.

  Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

Ketika seorang karyawan menggosip dengan peer group-nya, ia dapat berpartisipasi pada semua kegiatan linguistik kelompoknya sebab ia sudah memahami tiap aturan verbal dan nonverbal dalam speech community tersebut yang mungkin saja tidak dapat dipahami oleh individu di luar kelompok. Namun, saat bergosip dengan peer group lain, karyawan bersangkutan hanya bisa berpartisipasi sebagian dalam kegiatan speech community tersebut. Hal ini yang diungkapkan Saville-Troike (2003) mengenai pentingnya membedakan antara berpartisipasi dalam speech community dan menjadi anggota speech community; berbicara bahasa yang sama cukup untuk beberapa tingkat partisipasi, namun keanggotaan tidak dapat didasari pengetahuan dan kemampuan saja (Saville-Troike, 2003:15). Seseorang harus berada dalam persamaan pengetahuan, perilaku, dan budaya dengan anggota speech community tertentu agar bisa tergabung menjadi anggota. Observasi pola komunikasi karyawan memunculkan beberapa isu yang awalnya tidak ditujukan untuk dikaji, yakni persoalan gender dan kebangsaan. Di RBID, meskipun tidak terkelompokkan secara signifikan antara lelaki dengan perempuan, namun dalam kenyataannya ada berbagai topik yang diseleksi ketika berbicara dengan perempuan atau lelaki. Perempuan lebih sering membicarakan topik yang bersifat pribadi, sementara lelaki cenderung membicarakan masalah umum seperti pekerjaan atau topik sosial, politik dan olahraga. Kedekatan personal antara karyawan asing dan lokal masih jarang ditemui, walaupun ada beberapa orang yang memang akrab dengan ekspatriat. Informan saya menyebutkan bahwa ekspatriat cenderung membentuk lingkaran pertemanannya sendiri dengan sesama ekspatriat. Salah satu faktor penyebabnya adalah perbedaan budaya dan bahasa. Interaksi melalui batasan bahasa menjadi sulit bagi karyawan lokal yang kurang mahir berbahasa Inggris dan tentunya menyulitkan penyebaran gosip. Pengetahuan mengenai kategori sosial dalam sebuah kelompok dibutuhkan untuk memberikan gambaran jelas bagaimana sistem ini terefleksi secara linguistik. Terlebih lagi adalah bagaimana karyawan RBID mendefinisikan dan memberikan batasan-batasan dalam interaksi interpersonal dalam situasi komunikatif. Esensi dari speech community dari SavilleTroike

(2003:15)

adalah

persamaan

pandangan

terhadap

penggunaan,

nilai

dan

mengintepretasi ujaran. Keanggotaan seseorang dalam sebuah speech community tidak hanya dibatasi dalam saling memahami, akan tetapi berbagi aturan terkait menuturkan ujaran karena terdapat unsur kebudayaan dalam komunikasi. Setiap kelompok atau peer group bisa jadi membentuk aturan berbeda. Contohnya, kebiasaan menuturkan gosip sebuah peer group dilakukan secara antusias, menggebu-gebu dan menggunakan istilah atau kode agar percakapan tidak bersifat frontal.   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

Peran gosip dalam dinamika relasi sosial Fenomena penuturan gosip yang terjadi dalam RBID menggambarkan bagaimana keunikan karakteristik ujaran ini dalam mengotak-ngotakkan interlokutor, menyeleksi topik, dan merefleksikannya pada konteks perusahaan, yaitu pentingnya reputasi, meminimalisir konflik, dan membentuk jaringan. Oleh sebab itu, kesenangan menggosip karyawan RBID berdampak pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Speech community menandakan adanya keterkaitan antara kegiatan linguistik dengan relasi sosial. Ketika relasi sosial semakin kuat maka pemahaman atas situasi bahasa semakin kuat, dan begitupun sebaliknya. Hubungan antara gosip dan dinamika relasi karyawan saling mengumpan balik dalam konteks sosial organisasi korporat. Selama observasi, terdapat tiga bentuk perubahan terhadap relasi sosial yang terkait dengan penuturan gosip di RBID, yakni gosip turut dalam pelanggengan relasi, pelemahan relasi, dan pembentukan relasi baru. Gosip tidak hanya berfungsi untuk memberikan pengetahuan kebudayaan untuk interlokutornya, melainkan fungsi phatic yang menitikberatkan tujuan komunikasi pada penguatan hubungan kelompok. Fungsi phatic pada ujaran gosip memiliki kesesuaian dengan metafor komunikasi sebagai ritual dari Carey (2009). Perilaku menggosip di kalangan karyawan adalah hal yang pastinya ditemukan sehari-hari di lingkungan kantor, terutama pada saat istirahat kantor. Gosip sering dianggap sebagai pelengkap atau teman saat makan siang dan saat istirahat minum kopi. Artinya, tujuan dari menggosip bukan pada memperoleh informasi atau menambah pengetahuan baru, melainkan pada pemenuhan kebutuhan sosial akan interaksi dan menjalin hubungan dengan individu lain. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan menggosip adalah upaya untuk mengidentifikasi kembali keanggotaan individu dalam sebuah kelompok yang sama, atau yang disebut Carey (2009:15) sebagai representasi kepercayaan bersama. Dalam konteks speech community, semakin kuat ikatan kelompok maka semakin mapan aturan bicara dan pemahaman atas bahasa yang menjadi hal yang dimiliki bersama dalam sebuah speech community. Oleh sebab itu, semakin sering berinteraksi, semakin mereka paham bahwa mereka adalah bagian dari sebuah kelompok, dan semakin langgeng hubungan yang terjalin. Menurut beberapa pandangan, gosip memiliki dua fungsi yang bertolak belakang. Menurut Besnier (2009), gosip dapat menguatkan posisi seseorang sekaligus melemahkan posisi orang lain. Gosip dan skandal di satu sisi mengindikasikan adanya keretakan kelompok, dan di sisi lain merepresentasikan adanya nilai-nilai yang dipegang teguh dan memperkuat ikatan kelompok tersebut (Gluckman, 1963). Dua hal ini layaknya dua sisi mata   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

uang yang tidak dapat dipisahkan. Penyampaian gosip menjadi faktor proses sosial untuk menghindari konfrontasi secara langsung, namun juga bisa digunakan untuk menjatuhkan reputasi orang lain. Jika gosip memiliki potensi untuk menguatkan relasi layaknya proses ritual,

maka

postulasi

metafor

komunikasi

sebagai

transmisi

oleh

Carey

tepat

menggambarkan bahwa gosip juga dapat melemahkan relasi. Metafor transmisi membantu saya dalam menyederhanakan proses transmisi gosip sebagai informasi yang mampu memengaruhi atau mengubah tindakan seseorang. Sekumpulan informasi digunakan dalam proses kognitif seseorang untuk mewujudkan tindakan mereka. Kumpulan studi mengenai keterkaitan gosip dan rumor dengan ahli sihir dan guna-guna yang disusun oleh Stewart & Strathern (2004), menunjukkan bahwa gosip membantu proses tuduhan seseorang yang melakukan praktik sihir meskipun tidak dikomunikasikan secara langsung terhadap orang yang dituduh. Gosip memiliki kekuatan untuk membentuk stigma yang diterima kelompok apabila terus menerus diartikulasi sehingga akhirnya mempercayai bahwa tuduhan yang dimaksud memang demikian adanya. Berdasarkan pernyataan tersebut, gosip adalah instrumen kuat untuk menciptakan opini publik. Jika dikondisikan secara kontekstual dalam speech community, individu yang bukan anggota speech community memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi dalam interaksi kelompok tersebut. Apabila batasan tersebut semakin kuat, maka relasi antara anggota dalam kelompok semakin kuat. Namun, hal ini memperkecil kesempatan partisipasi individu lain. Perlu dipahami kembali bahwa gosip bersifat sangat kontekstual. Ujaran gosip adalah bentuk komunikasi yang dapat memengaruhi pandangan seseorang terhadap orang lain. Hubungan karyawan RBID secara vertikal maupun horizontal harus terpelihara dengan baik, akan tetapi tetap ada batasan agar tidak terlalu terbuka dengan karyawan lain. Hal ini disebabkan karyawan tidak tahu menahu kapan ia akan berada pada posisi yang strategis, sehingga menjaga reputasi dan jaringan adalah hal yang paling penting. Tercemarnya nama baik seseorang bisa ditimbulkan oleh peredaran gosip yang berisi tuduhan penggosip terhadap target gosip. Hal ini menjadikan relasi yang terbangun bisa retak, bahkan putus jika gosip tersebar luas dan merugikan orang yang dituju. Satu kasus di RBID menunjukkan adanya pelemahan relasi dua individu akibat salah satu di antara mereka menyebarkan informasi tentang individu lain bahwa dirinya bukanlah karyawan yang profesional. Oleh sebab itu, relasi kedua individu ini pun merenggang akibat gosip yang dituturkan. Perspektif ini memberikan petunjuk bahwa gosip memiliki kekuatan untuk memengaruhi pertimbangan seseorang dan mendorong tindakan yang pada akhirnya akan berdampak pada retaknya hubungan antar individu.   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

Dalam konteks sebagai karyawan, individu-individu diharuskan untuk berkoordinasi satu sama lain dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Oleh karenanya, para karyawan dibiasakan membangun relasi baik dalam lingkungan kantor. Mereka membangun jaringan atau networking karyawan yang diharapkan akan saling membantu satu sama lain. Didorong motif tersebut, karyawan RBID mencoba untuk mengakrabkan diri satu sama lain. Gosip dijadikan alasan untuk memulai pembicaraan dengan karyawan lain yang kurang akrab untuk mencairkan suasana. Selain itu persebaran gosip yang terjadi antar peer group membuka peluang terbentuknya relasi-relasi baru dan speech community baru. Keanggotaan kelompok yang saling tumpang tindih membentuk sebuah relasi baru dalam jaringan persebaran gosip. Dalam konteks speech community, pemahaman ujaran dan aturan gosip akan membatasi partisipasi individu di luar kelompok. Jika pemahaman tersebut disebarluaskan dengan individu atau kelompok lain, maka gosip menyatukan mereka dengan meleburkan batasan partisipasi linguistik yang ada, yaitu mencapai persamaan pemahaman yang sama atas sebuah ujaran dan membentuk jaringan speech community yang lebih besar. Jika mengamati hubungan lintas divisi yang terjadi di RBID, gosip terdistribusi melalui agen antar divisi; sama halnya dengan hubungan lintas peer group. Pada akhirnya kesatuan individu yang memiliki pengalaman ujaran gosip yang sama membentuk relasi dan jaringan baru. Peran gosip tidak dapat dilepaskan dari dinamika relasi sosial pengusungnya. Organisasi korporasi RBID adalah sebuah kelompok besar yang terstruktur dan terbagi atas kelompok-kelompok yang lebih kecil, misalnya divisi. Relasi yang terjalin tidak hanya memenuhi kebutuhan karyawan sebagai makhluk sosial, namun juga memenuhi kebutuhan membentuk jaringan agar dapat menjalankan peran dan fungsinya dalam organisasi. Gosip memainkan perannya dalam mengumpan balik dinamika relasi yang ada dengan membentuk relasi baru, menguatkan dan melemahkan relasi yang sudah ada. Saya tidak memberi batasan bahwa gosip hanya berperan pada satu bentuk perubahan saja, tetapi gosip bisa saja mengentaskan perubahan tersebut secara sekaligus. Tentunya hal ini mempertimbangkan fakta bahwa gosip yang beredar dalam sebuah kelompok dimaknai secara kontekstual. Sulit untuk memisahkan gosip sebagai sebuah ujaran dengan konteks pelakunya, hingga akhirnya penelitian ini memfokuskan pertalian gosip dengan dinamika relasi sosial. Di satu sisi gosip menguatkan sebuah hubungan, ia juga melemahkan hubungan di sisi lain akibat konteks gosip yang bekerja seperti halnya tuduhan negatif terhadap seseorang. Persebaran gosip di dalam lingkaran-lingkaran tersebut pada akhirnya akan membentuk sebuah jaringan baru yang menandakan persamaan pengalaman atas sebuah ujaran. Dengan demikian, sesuai hipotesis terkait keterkaitan antara relasi sosial dan gosip, keduanya tidak   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

dapat dikatakan muncul sebagai dua unsur yang berbeda, namun saling mengumpan balik dan menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kesimpulan Komunikasi dan komunitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Interaksi dalam sebuah organisasi mencakup jalur formal dan informal, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Dalam kasus ini, komunikasi informal dianggap lebih efektif dalam menggambarkan lingkungan sosial organisasi karena pada dasarnya peredaran informasi dalam komunikasi informal pun terbatas hanya pada lingkup tertentu dan memperlihatkan hal-hal yang paling penting bagi tiap individu. Sebagai sebuah peristiwa ujaran, gosip adalah salah satu genre komunikasi informal yang selalu diproduksi, direproduksi, disebar, dan dipahami dengan aturan dan norma yang telah disepakati sebuah kelompok. Hal ini kemudian jadi menarik ketika gosip beroperasi dalam ruang-ruang struktur formal sebuah organisasi— khususnya perusahaan—yang mewajibkan individu anggotanya menaati seperangkat peraturan dalam masalah relasi. Tulisan ini menempatkan gosip sebagai fokus utama dalam pemahaman kompleksitas kebudayaan sebuah perusahaan swasta di Jakarta, Robert Bosch Indonesia. Kebutuhan sosial karyawan diwujudkan pada komunikasi informal dan pembentukan kelompok informal—atau dalam tulisan ini disebut peer group. Gosip dipandang sebagai sebuah informasi yang memiliki konotasi negatif, akan tetapi keberadaannya mampu memberikan berbagai keuntungan bagi pelakunya. Dengan bergosip, tiap karyawan meraih kebebasan dalam beropini, berasumsi dan mengungkapkan penggambaran reflektif dirinya terhadap orang lain. Namun kebebasan tersebut memiliki batasan dalam hal mempertahankan reputasi dan kelanggengan kelompok. Oleh karena itu, gosip bertalian erat dengan pemeliharaan nilai-nilai moral. Dua fungsi gosip yang dapat memecah dan mempererat ikatan dalam kelompok, berkaitan erat dengan pemahaman ujaran gosip dan batasan linguistik yang melingkupinya. Sebagai peneliti, tidak dapat dipungkiri keberadaan selama di lapangan mengubah tatanan relasi yang sudah ada. Selama penelitian ini dilakukan, saya juga melakukan refleksi terhadap sudut pandang saya sebagai individu yang juga terlibat dalam gosip—baik menerima gosip, menyebarkan kembali, atau bahkan menjadi bahan gosip. Cerita-cerita gosip, lelucon, dan rumor membantu saya—yang saat itu masih tergolong karyawan baru di RBID—untuk belajar memahami lingkungan sosial dan aturan-aturan tidak tertulis yang

  Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

berlaku. Hal yang juga penting dari gosip adalah mengajarkan saya untuk menjaga mulut ketika mengetahui rahasia seseorang. Teori Hymes (1972) memudahkan saya dalam mengenali ujaran gosip sesuai dengan kerangka pikir para informan. Singkatan SPEAKING yang menunjukkan komponenkomponen dalam komunikasi adalah bukti bahwa tiap ujaran tidak dapat dipisahkan dengan konteksnya. Makna linguistik yang sama dapat diatur untuk tujuan komunikatif yang berbeda, tujuan komunikatif yang sama dapat dilakukan oleh pengorganisasian beragam makna atau hanya satu fokus makna (Hymes, 1964:3). Gagasannya mengenai speech community memberikan perspektif bagaimana sebuah kelompok membatasi dirinya berdasarkan pengalaman dan interpretasi atas ujaran sesuai dengan delapan komponen komunikasi Hymes. Kajian mengenai gosip sebelumnya lebih terfokus pada masyarakat tradisional, di antaranya masyarakat atol Nukulaelae, masyarakat Trobriand, atau masyarakat Eropa kuno. Tulisan ini mencoba memberikan perspektif baru dalam kajian gosip di masyarakat yang lebih modern. Sebagai upaya menempatkan penelitian ini dalam satu konteks lebih besar, saya mencoba merefleksikan ini pada interaksi masyarakat perkotaan—terutama yang memiliki mata pencahariaan dalam naungan korporasi swasta maupun milik negara. Sebagai sebuah organisasi formal, korporasi menerapkan seperangkat aturan yang bersifat kaku dan harus diikuti seluruh anggotanya. Di era kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi, kita dapat dengan mudah mengakses segala macam data dengan tingkat keakuratan tinggi. Meskipun demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa tradisi salah satu interaksi informal, yaitu menggosip, masih menjadi penting dan efektif dalam menambah pengetahuan kebudayaan masyarakat dan menjadi indikator untuk melihat relasi sosial anggota organisasi. Gosip juga merupakan salah satu saluran aspirasi individu yang belum dapat dikomunikasikan langsung dengan pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, gosip dengan masyarakat saling mengumpan balik memengaruhi satu sama lain. Masyarakat cenderung membuat dugaan untuk memahami bagaimana dunianya. Dugaan dan asumsi dimunculkan melalui gosip, diformulasikan untuk kembali digunakan untuk merefleksikan dirinya. Akan tetapi bila ditarik kesimpulan besarnya, tujuan berinteraksi tidak hanya bermakna pada kebutuhan hakiki individu, tetapi menjadi motif seseorang dalam menambah manfaat untuk bertahan hidup. Rasa keingintahuan yang tinggi hingga upaya menjatuhkan reputasi seseorang tercermin pada ujaran gosip menjadi salah satu cara adaptasi untuk bertahan dalam tekanan dan tuntutan pekerjaan. Interaksi bukan hanya berarti pertukaran pengetahuan, melainkan membangun jaringan yang luas untuk kepentingan individu dalam menghadapi   Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

realita modernitas. Tentunya penelitian ini masih jauh dari sempurna dan butuh banyak perbaikan dari sisi teori maupun analisis, terutama tentang bagaimana cara karyawan mengartikulasikan gosip secara kognitif atau analisis efektivitas instrumen komunikasi dalam perusahaan yang belum menjadi fokus utama penelitian ini. REFERENSI Buku Aslinda & Leni Syafyahya. 2007 Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama. Besnier, Niko. 2009 Gossip and The Everyday Production of Politics. Honolulu: University of Hawai’i Press Carey, James W. 2009 Communication as Culture. New York: Routledge Hymes, Dell. 1962 “The Ethnography of Speaking”. Dalam Thomas Gladwin dan Willian C. Sturtevant, Anthropology and Human Behaviour. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. hal. 55-83 1972 “Models of Interaction of language and social life”. Dalam John J. Gumperz dan Dell Hymes, Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Hot, Rinehart and Winston, Inc. hal. 35-71 Jakobson, Roman. 1985 “Closing Statement: Linguistics and Poetics”. Dalam Robert, E. Innis, Semiotics an introductory anthology. Indiana: Indiana University Press. hal. 147-175 Kotter, John P., & James L. Heskett 1991 Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press Radcliffe-Brown, Alfred R. 1922 The Andaman Islanders. New York: The Free Press Robbins, P. Stephen. 1996 Organizational Behaviour. New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Ruben, Brent D., & Lea P. Stewart. 2006 Comunication and Human Behaviour Fifth Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Saville-Troike, Muriel. 2003 The Ethnography of Communication: an Introduction. Oxford: Blackwell Publishing Stewart, Pamela J., & Andrew Strathern 2004 Witchcraft, Sorcery, Rumors, and Gossip. New York: Cambridge University Press Strauss, Claudia., & Naomi Quinn 1997 A Cognitive Theory of Cultural Meaning. New York: Cambridge University Press

  Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014

 

Sweetser, Eve E. 1987 “The Definition of Lie” dalam Dorothy Holland dan Naomi Quinn, Cultural Models in Language and Thought. New York: Cambridge University Press Jurnal Akademis Hymes, Dell 1964 “Introduction: Toward Ethnography of Communication.” American Anthropologist, Vol. 66 No. 6. hal. 1-34 Gluckman, Max. 1963 “Gossip and Scandal.” Current Anthropology, Vol. 4 No. 3. hal. 307-316 Paine, Robert 1967 “What is gossip is about? An Alternative Hypothesis.” Man, Vol. 2, No. 2 hal. 278-285 Vohs, Kathleen D., Roy F. Baumeister, & Liqing Zhang 2004 “Gossip as Cultural Learning.” Review of General Psychology, Vol. 8, No. 2 hal. 111-121

  Gosip dan dinamika..., Ghea Adasta Fauzan, FISIP UI, 2014