GEREJA YANG DINAMIS Terus-menerus mencari untuk menemukan Wawancara khusus Nuntius dengan Mgr. A. Henrisoesanta seputar Visi Dasar Pastoral Keuskupan Tanjungkarang Tahun 1999
Kata Pengantar Angin segar pembaharuan berhembus dalam Gereja Katolik sejak Paus Johanes XXIII memaklumkan ke seluruh dunia bahwa ia bermaksud menyelenggarakan Konsili Vatikan II. Beliau ingin mengajak Gereja untuk mengevaluasi kehidupan dan pelaksanaan misinya. Ada tiga hal yang hendak dicapai dalam konsili itu yaitu: pembaharuan rohani dalam terang Injil, penyesuaian dengan masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan zaman modern, dan mengembangkan persekutuan segenap umat Kristen sesuai kehendak Kristus. Konsili Vatikan II yang terselenggara tahun 1962 – 1965 itu menjadi dasar pembaharuan di banyak segi kehidupan Gereja. Disemangati oleh konsili itu pula, pemahaman tentang Gereja pun diperbaharui. Pada masa sekarang ini Gereja lebih dipahami sebagai communio atau himpunan umat Allah. Kita semua adalah anggota dalam satu tubuh (I Kor.12 : 12 – 31). Setiap anggota mempunyai martabat yang sama. Dengan demikian Gereja meminta peran serta dan tangungjawab bersama dari setiap warganya pula. Setiap warga Gereja dipanggil dan diutus oleh Kristus sendiri untuk menampakkan dan menghadirkan keselamatan Tuhan di tengah masyarakat dengan cara masing-masing sesuai panggilan dan karismanya. Umat tertahbis harus “profesional” dalam pelayanan rohani dan sakramen, sedangkan kaum awam harus “profesional” dalam bidang tata dunia. Buklet berjudul GEREJA YANG DINAMIS ini merupakan hasil wawancara redaksi Nuntius dengan Uskup Keuskupan Tanjungkarang, Mgr. Anderas Henrisoesanta. Pertama kali dimuat dalam buletin Keuskupan Tanjungkarang, Nuntius, dalam edisi X, Juli 1996, dalam rangka menyambut 20 tahun tahbisan uskup Mgr. Andreas Henrisoesanta. Kini tulisan ini dihadirkan lagi secara khusus agar lebih dapat disebarluaskan di Keuskupan Tanjungkarang, dan dikenal oleh masyarakat luas. Tulisan ini mengungkapkan dinamika Gereja Lampung dari masa ke masa, yang pada prinsipnya dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dalam terang Roh Kudus. Bapa Uskup selaku pemimpin Gereja Lampung mengajak jemaat untuk semakin membuka diri, berdialog dan memasyarakat dengan menyadari panggilannya. Meninggalkan budaya introvert menuju budaya extrovert, dari pendekatan top down menjadi bottom up. Sekilas Bapa Uskup juga menyinggung kegelisahan kaum muda Katolik saat ini : arah hidup yang tidak jelas, kurang pengetahuan agama dan sulitnya mencari kerja. Yang
pertama dan kedua lebih merupakan problema intern Katolik sendiri, sedangkan yang ketiga adalah problema sosial generasi muda Indonesia saat ini. Untuk mengatasi masalah-masalah semacam ini tentu saja Gereja tidak lepas tangan. Bapa Uaskup meminta tiga komisi (yang kini berfungsi sebagai Litbang) yaitu : Katekese, HAK dan Komsos untuk memulai penelitian guna menemukan pola yang tepat dalam pembinaan umat. Katekese mencari pola pembinaan iman, intern di antara umat Katolik sendiri. HAK mencari pola hubungan yang tepat antara orang Katolik dan penganut agama lain, bagaimana orang Katolik dapat hidup harmonis dalam masyarakat di tengah zaman modern ini. Sedangkan Komsos merangkum keduanya, meliputi bagaimana orang Katolik itu dapat berinteraksi dengan orang-orang yang seiman dan masyarakat beragama lain. Seperti setiap warga Gereja yang lain, umat muda ini harus terus meningkatkan komunikasi intern di antara umat Katolik, dan komunikasi ekstern di antara masyarakat majemuk bangsa Indonesia. Dengan komunikasi serta penggunaan “ke dalam” dan “ke luar” semacam itu diharapkan generasi muda ini kuat iman Katoliknya dan peka rasa kebangsaannya. Mereka akan merasa menjadi bagian integral dari masyarakat, menghadapi dan mengolah tantangan sosial kemasyarakatan bersama mereka. Anak muda Katolik yang telah mendapat kegembiraan Kristus itu diharapkan pula tidak melupakan panggilan khasnya. Mereka akan sanggup menjadi pewarta kegembiraan itu bagi sesamanya, baik sesama warga Gereja maupun masyarakat luas. Semoga tulisan sederhana ini dapat membantu pembaca untuk lebih mengenal Gereja Lampung. Bandar Lampung, September 1997.
Pengantar pada cetakan II Setelah tujuh tahun perjalanan Perpas Gelar, terasa perlu adanya penyegaran. Kita perlu mengingat kembali “the turning point” ketika sama-sama mencanangkan semangat untuk berparadigma baru lebih penting dari itu semua adalah bagaimana mengimplementasikan kesepakatan itu dalam kehidupan menggereja di tengah kemajemukan masyarakat saat ini. Alasan inilah yang mendasari Nuntius untuk menerbitkan kembali leaflet GEREJA YANG DINAMIS ini. Dalam terbitan kali ini kami tambahkan wawancara tentang
pendirian Unit Pastoral, Lampung.
yang merupakan momen penting dalam perjalanan Gereja
Penerbitan kembali leaflet ini juga karena didasari alasan yang sangat alamiah. Generasi baru terus hadir, yang lama menjadi dewasa dan yang dulu dewasa menjadi kian arif. Untuk menuju kearifan, gerenasi muda dan remaja perlu dibekali dengan referensi sejarah agar mampu mempelajari apa yang telah di capai oleh generasi pendahulunya. Demikian juga dalam hal menggereja. Generasi muda perlu memahami latar belakang, tujuan dan cita-cita mengapa sebuah keputusan diambil oleh para pendahulunya. Tentu saja bukan untuk sekedar mengamini tetapi untuk belajar, berpikir dan bersikap kritis. Lewat cara inilah akan terbuka lorong dialog seperti dua murid yang menuju Emaus (Lukas 24 : 13 – 25). Dengan demikian kita semua kian berproses mendekati cita-cita bersama yang di sepakati. Bandar Lampung, Nopember 1999.
GEREJA YANG DINAMIS TERUS MENERUS MENCARI UNTUK MENEMUKAN Pertemuan pastoral Gereja Partikular Lampung telah beberapa tahun berlalu. Untuk kembali mengumatkan hasil kesepakatan yang dicapai Nuntius mengadakan wawancara khusus dengan Mgr. A. Henrisoesanta, seputar sejarah perjalanan dan latar belakang visi dasar itu. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai penyegaran bagi para petugas pastoral di keuskupan ini sekaligus merayakan dua puluh tahun tahbisan uskup Mgr. A. Henrisoesanta. Bapa Uskup menerima tahbisan uskup telah 20 tahun. Mengapa Bapa Uskup waktu itu memilih motto : ERITIS MIHI TESTES? Masih ingat, itu dari Kis I : 8. Saya hidup dan terpanggil untuk jadi saksi Kristus. Ingat, waktu itu Kristus mengatakan ini pada waktu akan naik ke surga. Sebelum naik ke surga, masih ada 40 hari. Dia membina rasul-rasul dalam hal iman dan tugasnya. Nah, pada waktu itulah ditegaskan “ERITIS MIHI TESTES” (Kamu akan menjadi saksi bagiKu). Sebetulnya sebelum itu ada pertanyaan menarik dari para rasul : “Tuhan, apakah Tuhan nanti datang memperbaharui Kerajaan Allah?” Saya ambil motto dan menempatkan itu dalan situasi kongkret di Lampung ini, yang telah digembalakan oleh alm. Mgr. A. Hermelink, SCJ. dengan segala keberhasilan dan tantangan yang besar. Ia perintis besar untuk karya di sini. Saya juga mau menempatkan diri sebagai SAKSI bersama umat dan masyarakat di Lampung ini dengan segala permasalahan yang ada.
Kalau menjadi saksi, itu pertama-tama yang berperan adalah Roh (lihat Kitab Suci). Roh itu yang akan membukakan segala rahasia yang dikehendaki Allah. Jadi bukan kekuatan dalam diri saya sendiri. Kesaksian itu tidak dibatasi pada demografi, geografi, suku, bangsa, ras dan agama. Dalam Kitab Suci dinyatakan : “…….dan kamu akan manjadi saksik-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”. Nah, saya mau mewujudkan kesaksian itu tanpa ada batasan di Lampung ini saja. Jadi menempatkan diri dalam situasi konkret di sini, tetapi medannya luas. Saya mau menjadi saksi tidak seorang diri, tapi dalam kebersamaan dengan yang lain. Karena Kristus waktu menyampaikan pesan itu kepada murid-Nya, juga dalam kebersamaan. Itu kalau dengan bahasa sekarang, kebersamaan dengan orang yang tertabis dan tak tertabis, begitulah. Itulah hidup saya, dari sana terungkap macam-macam kebijakan dan kegiatan antara lain RKPK. Ini sebetulnya sudah mulai dari situ itu. Biasanya uskup itu menggambarkan hidupnya dalam mottonya. (Uskup melihat logo di dinding). Coba lihat itu kan hanya putih kosong. Hanya salib yang menancap di Lampung. Itu pun dimulai dengan garis tipis sekali. Maksudnya itu agar bisa nyeblok (menancap – red). Sengaja itu, salib mulai menancap tipis sekali. Itu dengan maksud agar bisa kontak dengan rakyat di Lampung dengan cara tahap demi tahap. Kalau menancapkan salib begitu saja, tidak mungkin! Harus bijaksana. Maka, mulai dengan tipis sekali, kemudian makin menebal. Ini untuk meluruskan beberapa pandangan : bagi saya salib itu dipandang tidak hanya sebagai tanda (lambang) penderitaan, tetapi sebagai kemenangan yang dicapai dalam perjuangan. Keberhasilan dan kemenangan selalu ada hasil perjuangan itu. Nanti….yang memberi kemenangan itu Roh Kudus, Allah sendiri. Tadi Bapa Uskup menyatakan, proses itu harus dilakukan tahap demi tahap agar salib bisa nyeblok. Tahun 1980 muncul konsep berpastoral Keuskupan Tanjungkarang yang lebih dikenal Rencana Kerja Pastoral Keuskupan (RKPK). Apa latar belakang dan visi yang mau dicapai dengan kebijakan tersebut? Mungkin kalau mau tahu latar belakangnya ya…..mulai dari pengalaman hidup saya (Mgr. A. Henrisoesanta SCJ, diangkat menjadi Uskup Dioses Tanjungkarang pada tanggal 21 Desember 1978, namun serah terima jabatan dari Mgr. A. Hermelink, baru dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 1979 – red). Saya ini hidup pada tiga zaman, yakni zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan zaman Republik. Saya mengikuti perkembangan Gereja di sini sejak masuk ke Lampung tahun 1939. Situasi Lampung ini saya alami sejak kecil dalam perjuangan sosial ekonomi, sosial kemasyarakatan dan lainnya. Lalu dari pengalaman itu diteruskan dengan pendidikan yang saya peroleh. Saya melihat perkembangan Gereja waktu itu; awam, pastor/misionaris yang bersemangat, tapi agaknya (pada waktu itu belum urgen) kurang koordinasi, rencana dan arah. Masing-masing punya arah, rencana. Jalan sendiri-sendiri. Dan itu sangat tepat dalam situasi pada waktu itu, karena komunikasi satu sama lain pun masih sangat sulit. Mereka mempunyai semangat tinggi. Mereka dikirim kesini istilahnya mau menanamkan Gereja, Kerajaan Allah. Jadi koordinasi dan kerja sama yang perlahanlahan jalan dengan sendirinya. Apalagi dari segi (istilah sekarang) manajemen, belum
dirasakan dan saya kira belum dituntut waktu itu. Tidak dituntut. Masih dalam situasi yang demikian itu, pastoral itu lebih bersifat karismatis. Artinya, masing-masing romo dapat karisma, dan karisma itu dikembangkan, sesuai dengan keadaan waktu itu. Setelah berpengalaman hidup di Indonesia, lalu saya di kirim ke Eropa. Belajar di Eropa dan melihat perkembangan di Eropa. Saya belajar di sana dan bekerja di tempattempat lain. Dapat pengalaman di situ dan menyaksikan masyarakat sendiri yang makin lama makin maju. Ini memerlukan suatu planning, suatu arah. Dan saya juga mengalami peristiwa Konsili Vatikan II dari tahun 1962 – 1965. Saya masih ada di Roma waktu itu. Bahkan saya mengalami kejadian-kejadian yang berkaitan dengan pemilihan beberapa Santo Bapa. Gereja makin hari makin berkembang. Dan kalau mewartakan sesuatu harus memperhatikan kepada siapa itu mau diwartakan. Harus diketahui siapa yang akan diberi warta itu? Para pemimpin Gereja yang sadar, kalau mau mewartakan Injil harus juga memperhatikan siapa yang akan menerima pewartaan itu. Maka saya mencoba untuk menyebarluaskan Kabar Gembira dengan cara yang bisa dimengerti dan dipahami oleh mereka yang akan memperolehnya. Dari tahun 1966 saya menjalani Pastoral Paroki Telukbetung; Ini pertama kali saya menjadi pastor paroki, selain itu saya menjadi Kepala Sekolah SMA Xaverius Pahoman, dimana saya banyak bergaul dengan anak-anak muda. Kalau di sekolah itu mesti ada rencana. Kerjasama dengan banyak orang. Maka saya pikir, karena pastoral itu makin hari makin berkembang, maka harus dilaksanakan dengan konsep. Saya menggunakan waktu itu kata konsepsional-sistematis. Jadi adanya konsepnya, ada sistem tertentu. Kalau ada konsep tentu ada termin juga. Konsepnya dalam membuat rencana. Nah, di situlah sesuatu yang tidak begitu mudah pada awal, karena belum terbiasa bagi orang Indonesia untuk membuat planning. Ini tidak hanya pada orang-orang Katolik saja ya?! Di paroki saya juga mencoba berpastoral dengan membuat konsep lebih dulu. Usaha untuk mendekati masalah-masalah dengan strategi tertentu. Pengalama-pengalaman itulah latar belakangnya, apalagi karena melihat perkembangan kedepan. Lalu dadakannya yang mendesak adalah : Keluarnya SK Menag No.70 dan 77 (tahun 1978) – dibatasinya kegiatan misionaris dan dibatasinya bantuan luar negeri untuk lembaga keagamaan. Dan itu juga berarti dipacu peralihan “Indonesianisasi”. Untuk itu orang harus memikirkan suatu perencanaan toh? Kegiatan dalam konsep pastoral waktu itu diprioritaskan pada tiga hal, yakni Katekese, Kitab Suci dan Liturgi. Yang intinya pembinaan umat, misalnya adanya PORAP, memperebutkan HENRY CUP. Kegiatan itu sampai sekarang masih di inginkan oleh banyak umat disini. Bagaimana pandangan Bapa Uskkup? Ya, karena begini. Kalau mau berpastoral menurut konsep dan sistem, yang berpastoral itu siapa? Kan umat Katolik! Nah ini, umat Katolik itu sendiri yang harus pertama-tama disadarkan betul-brtul, bahwa Gereja adalah kita ini!. Gereja itu mereka. Ini masih perlu disadarkan! Mengapa! Karena pengertian pemahaman umat sebelumnya, Gereja kan sering kali disamakan dengan pastor, hirarki. Jadi kalau mau melangkah yang agak konkret, mengenai perubahan suatu konsep planning tertentu, harus jelas dasarnya. Harus tahu planning itu milik siapa? Maka dalam pertemuan itu saya mendorong dan menyadarkan secara mendalam bahwa Gereja itu kita.
Jadi meningkatkan conscientisasi (kesadaran) bahwa Gereja itu kita. Dan planning itu milik kita. Sebetulnya sudah ada kesadaran, tapi belum terlalu banyak. Dalam Konsili Vatikan II sudah tegas dinyatakan bahwa Gereja itu kita, umat beriman, umat Allah. Ada yang mengistilahkan communio. Ada macam-macam istilah. Pokoknya Anda itu juga Gereja. Untuk mengacu kesadaran itu, langkah kongkret apa yang dilakukan di tingkat keuskupan? Di tingkat keuskupan disusun semacam model, kerangka dasar kegiatankegiatan. Dari macam-macam kegiatan itu yang diperioritaskan, tiga jalur tadi. Kitab Suci, Katekese dan Liturgi. Mengapa? Lho, kalau kita itu umat beriman, dasar yang paling pokok itu Kitab Suci. Lalu Kitab Suci itu tidak hanya di pelajari, tetapi dihayati – dipraktekkan. Lalu itu dalam Liturgi dirayakan. Firman Allah yang dirayakan dalam Liturgi ini juga hrus dimantapkan pada umat. Pengarahan hidupnya dilakukan dalam katekese itu. Jadi dengan tiga jalur itu yang mau dicapai adalan conscientisasi Gereja yang mendalam. Kalau mau dengan istilah gampang, segala kegiatan itu harus mencakup tiga hal yakni : mempersatukan sebagai Gereja, bertangungjawab berama dan mengandung kegembiraan Injil. Jadi conscientisasi itu harus mencakup tiga hal. Dan itu melalui banyak kegiatan. Di tingkat keuskupan dibuat dalam kerangka dasar dalam RKPK. Kemudian di setiap Gereja setempat (di paroki, setasi) silakan menyusun RKPS. Menyususn program yang mengacu pada RKPK, tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat setempat. Masalahnya begini, Bapa Uskup, RKPK dengan segala kegiatannya itu membuat umat merasa senang. Namun mereka belum puas dengan kegiatan intern di dalam, tibatiba Bapa Uskup menggebrak dengan Gerakan Pembaharuan Pembangunan Pastoral (GPP). Itu latarbelakangnya apa? Kembali kepada sejarah terbentuknya RKPK dan untuk ber-RKPK. Itu ada tim keliling bersama awam, biarawan/biarawati untuk menjabarkan RKPK kepada uamt. Dan mendorong supaya mereka juga menyusun RKPS. Itu dilakukan dengan bersemangat. Tanggapanya dalam bentuk kegiatan-kegiatan lancar sekali. Karenanya hubungan satu sama lain jadi enak. Sangat giat sekali. Bergembira. Kemudian menyusul evaluasi. Pertama, evaluasi kami sendiri secara dangkal, dalam arti kami sendiri ikut memonitor, memantau kegiatan itu dalam kunjungan saya; Kedua, evaluasi dalam beberapa conveniat (rekoleksi bersama romo-romo SCJ dan Projo-red.). Oleh para pastor pun belum terlalu lengkap; Ketiga, evaluasi juga oleh umat sendiri dan Depar seluruh keuskupan yang pernah dikumpulkan di keuskupan Bandar Lampung. Apa hasil evaluasi tersebut? Bagaimana pendapatnya? Evaluasinya : positif dan negatif. Positifnya antara lain: kita sekarang lebih bersatu, kita lebih bertanggungjawab, kita tidak hanya jadi pelaksana tetapi ikut merencana, wawasan kita juga menjadi luas. Negatifnya; misalnya mau mengerjakan pastoral secara konsepsional padahal orang-orang belum terlalu biasa. Dan yang bisa membuat sistem I planning tertentu ya hanya kelompok tertentu atau paroki itu, maka yang membuat rencana ya orang-orang itu saja. Kegiatannya pun kurang bervariasi. Sebetulnya pernah mau mengadakan evaluasi yang agak lengkap, tapi sulit karena banyak pastor yang cuti (ada 8 pastor yang cuti waktu itu).
Kemudian muncul kritik tajam ini : ”Begitu banyak membuat program sehingga menjadi beban umat”. Dari keuskupan membuat program kegiatan-kegiatan yang sering kurang koordinatif. Di semua paroki juga dibuat program. Ya, semua bersemangat merencana, memprogram. Akibatnya bagi umat? Wah….ini ada kegiatan ini, ada kegiatan itu, masih ada kegiatan lainnya. Apalagi di bidang finansial juga berat. Maka umat mengeluh lagi, “Ini komando saja, setor ini, setor itu, agar ada kegiatan”. Jadi di situ sisi betul menggairahkan, tetapi di lain pihak ada kekurangan, ada beban. Tapi salah satu segi negatif yang menonjol atau saya sebut efek sampingan yang tidak diduga semula, ialah bahwa gereja lalu cenderung introvert (ke dalam). Artinya mereka merasa bersatu, gembira, bersama, bisa bekerja banyak, bisa tampil layak. Tapi hanya di dalam lingkungan umat sendiri. Padahal kita dipanggil untuk mewartakan Injil. Ini karisma, juga perutusan. Mewartakan Injil dalam kisah Rasul itu (Uskup menunjuk logo di dinding) kan …..”Kamu menjadi saksi-saksi-Ku dari Yerusalem sampai seluruh dunia”. Ini kurang mendapat perhatian! Senang ke dalam, tapi ke luar tidak ada, atau belum diperhatikan semestinya. Nah bagaimana mengajak jemaat ini untuk mengembangkan karisma “Mewartakan Injil” itu? Telah dicoba mengajak sana-sini tapi masih sulit karena semua orang senang bergiat”ke dalam”. Senang semua. Apalagi ada kesulitan lain waktu itu. Pastor SCJ banyak yang diganti. Kami mau mengadakan evaluasi yang betul lengkap, sulit! Pastor yang cuti delapan orang. Dan mereka yang diganti maupun pastor yang baru juga tidak mengikuti proses RKPK dari permulaan. Kadang-kadang teks (hasil pertemuan pastoral) itu masih ada di paroki, tetapi boleh dikatakan “kering”, sebab hanya berupa rangkuman saja. Sedangkan teks lain-lainnya yang sebetulnya lebih kaya (misalnya notulen lengkap dari diskusi kelompok atau pleno) sudah tidak ada lagi. Akibatnya masih banyak pastor yang ingin meneruskan kegiatan seturut pola yang ada itu. “Masih baru tooo….., bagus itu, mau membina umat bersatu. Apalagi umatnya senang, dan masih meminta “, kata mereka. Tapi sekali lagi lupa……ada efek sampingan yang saya kira nanti sulit untuk “ke luar”(ad extra) padahal Gereja didorong terus mewartakan Injil. Itu artinya “ke luar” ! Kalu terus “ke dalam”, perkembangan masyarakat di luar makin hari makin jauh dari kita. Kita makin tidak dikenal lagi, dan tak mengenal perubahan di luar kita, gap kesenjangan ini terus melebar! Bagaiman dalam situasi seperti ini kita bisa mewartakan Injil ke masyarakat? Nah, untuk coba memberi dorongan, perlu digebrak. Maka saya tawarkan :”Ini ada GPP. Saya tidak stop kegiatan yang ada. Tetapi sekarang ada kegiatan Gerakan Pembaharuan Pastoral.” Nah, namanya gerakan itu, ya yang bergerak. Menggebrak begitu! Dan ini banyak yang mengagetkan, saya kira. Banyak yang kaget. Untuk menjelaskan apa maksud gerakan pembaharuan itu, saya keliling bertemu dengan tokoh –tokoh, kelompok tertentu, guru-guru, dengan semua komisi-komisi dan Dewan Paroki. Langkah ini perlu ditempuh karena waktu itu dalam masyarakat ada macam-macam gerakan. Di mana letak perbedaan “gerakan” di masyarakat dan gerakan pembaharuan pastoral itu? Nah ini yang makin sulit untuk menjelaskannya. “Barunya” ialah titik tolak berpastoral; itu sekarang beralih. Tidak dari atas (top down), tetapi dari bawah (bottom up). Lho, mengapa? Ini berkaitan dengan tuntutan zaman. Kalau mau mewartakan sesuatu, itu yang dipentingkan ialah kepada siapa Injil itu
diwartakan. Nah, “kepada siapa” ini yang penting, siapanya itu kan orang-orang konkret itu. Di sana justru jadi titik tolaknya. Memang Gereja sudah lama sekali mewartakan; ia punya kekayaan dari Tuhan, dan itu diberikan kepada mereka yang mau menerima tawaran itu! Memang mau atau tidak mau ya Gereja tetap mewartakan. Tetapi harus dilihat perkembangan sekarang, di mana orang-orang juga mulai sadar diri akan martabatnya, akan nilai-nilai. Dan kita tahu bahwa di sana pun ada nilai-nilai penebusan karena Kristus toh sudah menebus dunia ini. Maka kalau mau mewartakan Injil pada zaman ini, pada hemat kami harus ada gerakan pastoral, itu bukan sekedar mengubah cara, atau metode kegiatan tertentu, tidak! Tetapi memperbarui titik tolak berpastoral itu. Sebagai ilustrasi lihat simbol saya ( Uskup melihat logo di dinding), “Jadilah kamu saksiKu”. Dalam situasi waktu itu, para rasul mewartakan Injil. Bukan mereka yang langsung mengubah situasi itu, tapi berada dan hidup dalam situasi itu. Titik tolaknya ya orang-orang konkret dalam situasi ini. Orang-orang sangat sederhana. Itu bisa menjadi inspirasi juga bagaimana kalau sekarang ini, dalam situasi yang sekarang juga diadakan gerakan pendekatan semacam itu. Itu kemudian yang disebut PARADIGMA BARU. Itu pun masih sulit untuk dimengerti, karena dulu kita mendapatkan penjelasan sebagai berikut : “Wahyu disampaikan lewat ajaran-ajaran, lalu dijabarkan dalam hukum (aturan-aturan). Aturanaturan itu diterapkan dalam hidup orang. Ini tidak salah! Hanya pendekatannya kan begitu, dari “atas”. Sekarang pendekatannya macam apa? Dari “bawah”, dan situasi konkret. Misalnya ini, orang-orang ini ( orang-orang baik dan jahat) sudah ditebus oleh Kristus. “Tebusan” itu ada dalam benih-benih firman. Pada orang yang paling jahat pun masih terdapat kebaikan itu (benih-benih iman yang tertaburkan ). Nah, ini yang kita tumbuhkan supaya nanti meningkat ke atas, ke ajaran Kristus dan masuklah kekayaan Injil. Ini pendekatan baru. Dari evaluasi RKPK itu ternyata ada efek negatif, yaitu orang menjadi introvert, yang dulu tidak diduga oleh Gereja. Ini lalu menjadi perhatian serius Gereja. Memang, perkembangan situasi konkret dalam masyarakat dan negara sekarang ini sudah begitu berubah. Sedangkan dinamika Gereja kurang nampak. Ini situasi yang sungguh berbeda. Sementara itu, kegiatan-kegiatan yang menyenangkan umat masih dirindukan terus. Sehingga GPP itu dianggap sebagai sesuatu yang membingungkan atau mengacaukan pastoral. Bagaimana ini? Ya, memang membingungkan. Pertama, kita ini diseminar sendiri masih dididik model yang dari “atas” ke bawah (top down). Saya sendiri juga dididik seperti itu. Pendidikan diseminar masih “Barat”. Nah, sekarang di Asia, para teolog mulai dengan pendekatan baru. Paradigma baru. Betuk baru jadi seandainya mau merefleksikan dengan pendidikan yang dulu didapat di sekolah, memang agak sulit. Dan itu yang barang kali mengacaukan atau menganggap pendekatan baru ini tidak benar. Saya masih siap berdialog. Kita (umat Allah) berdialog saja dengan siapa saja mengenai hal ini. Pendekatan ini adalah salah satu segi menaburkan benih firman dengan macammacam cara. Orang yang masuk Gereja belum tentu selamat. Ini untuk mengatakan bahwa di luar Gereja ada keselamatan. Dan itu yang sering dipertanyakan to? Bukan di luar Kristus, tapi di luar Gereja. Nanti salah mengerti! Jadi kalau ada yang mengatakan
GPP itu mengacau (pernah hal ini dikatakan dalam salah satu pertemuan), memang saya katakan waktu itu, “Ya, saya memang ‘mengacau’. Tapi itu perlu dirintis dan dilaksanakan bersama”. Kedua yang membuat sulit itu, soal budaya. Memang kita ini masih dalam “budaya menunggu”. Minta petunjuk. Pastor bilang apa? dan sebagainya. Tidak hanya menunggu, tapi juga “Pastor bilang apa?” Ketiga, ya pengalaman mereka sendiri. Kalau dulu enak, nah kan sekarang dikacaukan! Betul hidup dikacaukan. Disuruh bertangunggjawab kan tidak mudah. Kami dapat gambaran begini, dulu Gembala itu di depan dan dombanya di belakang. Tapi arah itu tiba-tiba berubah, Gemabalanya Tut Wuri, benar semacam itu? Ya, malah pada akhirnya saya membuat sebuah gambar (struktur keuskupan-red). Dalam gambar struktur itu saya ada di tengah. Memang ada yang mengusulkan, Tut Wuri Handayani ya…..Tapi saya gambarkan saja di tengah, karena mau menekankan persekutuan communio. Akibatnya umat menjadi bingung, mau jalan kemana? Ya, jalan Dia. Ya kesitulah, ke Dialah! Umat merasa aman, enak, maka saya tampilkan juga gambaran Gereja bagai bahtera. Itu lukisan Gereja dari RKPK; Gereja sebagai bahtera (bdn. nyanyian dalam Madah Bakti no.518). Enak di dalam kapal; ya ….saya jadi nahkodanya….semua oramg Katolik di dalamnya. Tapi sudah tiba saatnya kapal itu merapat. Jemaatnya mendarat dan berjalan bersama, bersama dengan saya untuk mencari dan memilih jalan yang mana yang akan ditempuh. Bahkan dalam perjalanan itu tidak hanya orang Katolik, tapi lebih luas lagi bersama banyak orang dengan aneka agama, ras, suku dan sebagainya . Jalan menuju ke sana, ke PASTOR (=Gembala yakni TUHAN : bdn. Mzm.23). Keempat, dulu kita dididik atau diberi gambaran Gereja sebagai organisasi. Kalau organisasi itu kan semua jelas. Ada pimpinan, sarana, tuannya jelas. Sekarang ini tidak terlalu jelas. Nah, ini justru yang mau dicapai dalam GPP. Anda itu bukan organisasi. Tapi himpunan umat beriman atau paguyuban umat Allah. Di satu pihak, jelas anda bersama-sama sebagai manusia. Di lain pihak kebersamaan itu bukan melulu dalam organisasi seperti organisasi lain. Jadi sebagai umat Katolik itu masih ada unsur misterinya. Ada sesuatu yang tidak jelas. Nanti akan menjadi jelas kalau kita sudah bertemu dari wajah ke wajah dengan Kristus. Nah, ini sulit untuk umat kita yang sudah terbiasa memandang Gereja Katolik sebagai organisasi biasa (lembaga) yang tampil dengan jelas kelihatan dan berperan jelas. Semua orang tahu, aspek iman yang mencangkup misteri atau Allah yang transenden, Yang Maha Agung, yang tidak bisa dikemas dalam budi kita, ini sukar dipahami. Dan mungkin yang menyebabkan umat kita sedikit banyak bingung atau tidak mantap lagi dalam Gereja sebab sekarang tidak jelas seperti tempo doeloe. Bapa uskup tadi menyebutkan upaya mengumatkan GPP itu dilakukan secara bersama-sama. Namun masih ada pertanyaan, sebetulnya siapa yang bertanggungjawab mengumatkan hasil-hasil kesepakatan GPP itu? Bapa Uskup, para pastor atau awam?
Kalau anda semua sadar, Gereja adalah kita, maka penanggungjawabnya : kita bersama. Nah, kalau tanggungjawab bersama, lalu siapa yang membuat inisiatif? Kan begitu to? Yang menggerakkan? Itu harus digerakkan pertama-tama oleh Roh Kudus. Anda mau mendengarkan Dia atau tidak di tempat anda masing-masing? Lalu yang kedua, karena kita juga manusia, Roh Kudus ini kadang-kadang tampil dengan caranya sendiri lewat peristiwa manusiawi tokoh-tokoh, hirarki, dan sebagainya. Juga diyakini bahwa hirarki punya karisma Roh Kudus. Jadi nanti ada yang bertanggungjawab secara khusus tentu saja. Selain hirarki bertanggungjawab terhadap umat semuanya, umat sendiri pun bertangungjawab terhadap Tuhan. Gerakan itu dilakukan bersama. Tidak diatur oleh hirarki begitu saja! Kembali kepada ketentuan, kita itu bertitik tolak pastoral pada situasi konkret. Jadi anda semua bisa mencoba bertanggungjawab mengumatkan GPP itu di dalam pekerjaan atau tugas masing-masing, asal kita berpegang pada communio – umat beriman. Kalau nanti ada sesuatu yang perlu disampaikan, ada hiraki yang memperhatikan. Di tingkat “bawah” ada pastor-pastor. Itu artinya para pastor di keuskupan ini punya khas dalam mengumatkan GPP itu? Tidak hanya khas dalam mengorganisir sesuatu. Dengan adanya GPP dan memperhatikan titik tolak pastoral pada situasi konkret, sekaligus mengarahkan perlahanlahan. Kita itu harus menjadi “propesional”dalam panggilan, mewujudkan panggilan khas kita masing-masing. Apa itu yang dimaksud? Panggilan khas dari yang terohani. Pelayanan suci, istilahnya. Jadi aspek rohani dalam kegiatan apa saja, itu menjadi tangungjawab utama panggilan khas rohaniwan. Sedangkan umat, kaum awam, mereka itu punya tanggung-jawab khas/khusus dalam hal sekularitas kehidupan dunia ini. Maka dengan tangungjawab masing-masing itulah kita ada gerakan. Tetapi kita tetap satu dalam Gereja, tidak bisa terpecah-pecah. Harus ada kesatuan itu. Dalam pengpenghayatanya, dalam mewujudkan Gereja tersebut, perlu dicermati masalah apa yang dihadapi dan siapa yang “profesional”, yang tertahbis (rohaniwan) memberikan arah tentang kerohaniannya. Supaya kegiatan di bidang IPOLEKSOSBUDHANKAM itu dibimbing oleh Roh Kudus menuju ke pengadilan kita bersama sebagai Gereja yang diberikan oleh Kristus. Sebaliknya, kalau ada kegiatan yang lebih terkait langsung pada bidang rohani seperti Kitab Suci, Katekese dan Liturgi, itu pastornya yang “propesional”. Sekali lagi, bukan pemisahan, tetapi penekanan pelaksaan panggilan khas unsur umat Allah. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Hanya masalahnya, siapa di bidang itu lebih “propesional”. Siapa yang kurang “propesional”.Tanggungjawab bersama. Bidang politik pun tangungjawab bersama. Politik tanpa aspek kerohanian, ya….kosong. Sebaliknya, kalau liturgi tanpa sesuatu yang konkret yang dihayati jemaat, ya…kosong juga. Ndak ada liturgi di awan. Tapi kalau ditanya upaya mengumatkan GPP itu tanggungjawab siapa, ya tanggungjawab bersamalah! Jangan sampai salah mengerti, seolah-olah mau dipisahkan ‘yang tertahbis’ dengan yang ‘tak tertahbis’ (rohaniwan dan awam).Tidak! Sebab yang mengutus sama. Yang dilayani sama.
Masih soal mengumatkan hasil-hasil kesepakatan Perpas Gelar. Kami melihat Bapa Uskup banyak melakukan kunjungan ke stasi-stasi. Barangkali Bapa Uskup bisa menceritakan apa saja yang telah dilakukan untuk hal ini? Jadi untuk mengkonkretkan apa yang disebut dengan pembaharuan, yang boleh disebut radikal itu, saya telah memberikan beberapa usul. Misalnya soal DEPAR (DEWAN PAROKI) supaya menjadi DEPAS (Dewan Pastoral). Ini masalah pastoral dan ada dalam hukum Gereja (kanon 536). Kata ”Pastoral” di Lampung bermakna luas, yakni segala kegiatan yang mengantar manusia kapada PASTOR kita, ALLAH yang menyelamatkan; dan segala kegiatan/usaha yang mengusahakan agar PASTOR ini mendatangi kita. Jadi cakupannya luas, apa saja, bidang apa saja. Jadi DEPAS yang saya ambil dari hukum Gereja itu, lebih membantu menghidupkan Gereja (ad intra). Depas adalah orang-orang yang mestinya menjadi penggerak-pemersatu, pemberi inspirasi (ke dalam) kegiatan-kegiatan umat Katolik “ke dalam” umat Katolik. DEPAS, ketuanya imam. Sedangkan “yang keluar” (ad extra), ke masyarakat atau yang sering saya katakan – kalau di Indonesia, menurut istilah GBHN, bidang IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS. Dewan apa yang menangani? Bagaimana bentuknya? Saya belum mengusulkan apa-apa. Baru melontarkan ide; misalnya ada semacam Forum Komunikasi dululah. Jelas sudah banyak kegiatan-kegiatan awam di bidang tata dunia. Dan di tiap wilayah kan pastornya sudah ada sebagaia penasehat rohani. Jadi dia menasehatkan bidang rohaninya. Ini bertujuan agar imam dan awam tetap bersatu sebagai jemaat, baik sebagai awam maupun imam. Dalam Gereja sebagai persekutuan umat beriman, dia yang “propesional” di bidang rohani, bila dia di bidang tata dunia, sifatnya dapat menasehati mereka tentang kerohanianya. Sebaliknya, kalau awam itu menasehati pastor di bidang tata dunia. Dalam Hukum Gereja, DEPAS mempunyai suara konsultatif. (Kanon 536 $2). Bapa Uskup, menyinggung peran khas pastor dalam GPP, apakah tidak perlu disusun satu buku semacam RKPK – pedoman pelaksanaan pastoral. Kami punya kesan, Bapa Uskup, agak melepas dalam hal ini? Ya, memang. Mengapa? Dulu sehabis Perpas Gelar juga ada usul-usul itu. Bagaimana hasil Perpas Gelar ini nanti bisa berjalan? Ada yang mengusulkan agar di buat satu buku, hasil Perpas Gelar, berikut langkah-langkah yang pernah dijalani: Pertama, dulu SC dan OC-panitia berkumpul dengan saya untuk membahas soal-soal tersebut secara berkala. Kedua, ada pula yang mengusulkan agar dibuat semacam ringkasan, lalu dibuat juklaknya. Dan diedarkan supaya menjadi pegangan di parokiparoki. Ketiga, usul lain lagi dibuat seperti RKPK dulu, dibuat kerangka dasar kegiatankegiatan. Keempat, saran untuk dibiarkan begitu saja. Akhirnya saya putuskan untuk memberi kesempatan berkembang-tumbuh sendiri. Memang dibiarkan! Mengapa? Usul yang pertama dan kedua itu ada untung dan ruginya. Untungnya : konsensus Perpas Gelar tampak jelas. Ada tulisan jelas. Buku jelas. Tapi pikirkanlah, kalau itu seluruhnya dibuat buku, siapa yang membaca? kan harus memperhatikan budaya kongkret yang belum membaca minded. Dibuat ringkasan? Namanya ringkasan itu memiskinkan dari apa ada. Padahal ada kekayaan yang lebih dari itu, dalam proses berPerpas Gelar itu, dari permulaan sampai akhir. Usul yang ketiga dibuat semacam kerangka dasar ala RKPK. Ini akan membuat orang-orang itu menjadi pelaksana saja,
padahal kita sudah mendorong supaya mereka menjadi perencana. Perencana sebagai Gereja. Jangan sampai kembali lagi seperti pengalaman yang dulu. Dalam Perpas Gelar II (tahap ke II) yang lalu, disepakati peletakan pastoral dasar adalah 24: 13-35, perjalanan dua murid Ke Emaus. Itu mejadi identitas kita dalam berpastoral sekarang ini; ya seperti murud-murud itu; berdiskusi, berbincang-bincang. Dalam perjalan itu kan bisa dialami bermacam-macam rasa: dongkol, tidak senang dan sebagainya. Tapi justru kalau k ita mau hidup, kita harus dibiarkan mencari, dan terus berusaha mencari. Dan Kristus akan datang menemani. Kita akan ditegur, didampingi, diajar, diterangi. Kesannya bisa jadi “merasa dilepas-biarkan”, tetapi nyatanya diberi keleluasaan untuk mengembangkan. Kan pastoral itu amat luas jangkauannya, perspektif dan cakupannya. Maka saya sering mengatakan, pastoral sekarang ini pastoral yang TERBUKA, DINAMIS dan KOMPREHENSIF. Ini kata-kata berat semua. TERBUKA, di sini terutama dalam kaitannya dengan umat Islam. Ini adalah situasi konkret di sini. Gap (kesenjangan) dengan situasi konkret, juga berarti gap dengan mereka itu. Tidak sambung dengan mereka itu. Maka harus terbuka. Lalu DINAMIS artinya, dari kita siap untuk perubahan pembaharuan. Tidak hanya dari luar, tapi dari diri kita sendiri, dari manusianya sendiri. Manusianya itu juga siap untuk menjadi dinamis : ikut berubah, memperbaharui, tidak hanya menyesuaikan. GPP justru mendasari perubahan dan pembaharuan itu. KOMPREHENSIF, itu maksudnya macam-macam unsur, dicoba diintegrasikan. Kalau dipandang dari segi pembaharuannya, dikatakan “transformatif”. Disebut integratif jika dipandang dari segi keutuhannya. Waktu itu salah satu kesepakatan yang diambil dalam Perpas Gelar adalah memberi perhatian pada keluarga dan kaum muda. Apa alasannya? Ya, ini kan merupakan lanjutan apa yang termuat dalam GPP. GPP itu kan mau mencoba menyadarkan umat Katolik untuk mengembangkan karisma menyebarkan Injil secara konkret di Lampung. Dalam mewartakan Injil itu siapa yang dapat berperan paling utama? Kan …..keluarga! Dalam operasionalnya keluarga merupakan “sasaran” untuk jangka pendek. Sedangkan yang mau dijangkau dalam jangka panjang adalah kaum mudanya. Kaum muda itu dalam waktu dekat akan menjadi dewasa. Maka sangat tepat kesepakatan tersebut, dan ini sesuai dengan hasil angket yang diadakan sebelum Perpas Gelar yang mengutamakan pembinaan keluarga dan kaum muda. Hasil angket tersebut seakan-akan diambil oper oleh Perpas Gelar yang tahap ke II itu. Keluarga dan kaum muda merupakan prioritas utama. Subjek-subjek yang diajak berdiskusi, didampingi, diajak berbincang-bincang dalam pastoral. Maka setelah Perpas Gelar, lembaga LPK3 (Lembaga Pembinaan Katolik Untuk Kesejahteraan Keluarga) dirubah menjadi Komisi Keluarga. Itu dalam rangka memacu prioritas pastoral dasar. Prioritas ini juga ditunjukan pada kegiatan kuperper yang ditunjang dengan sarana dan fasilitas misalnya gambargambar untuk paroki-paroki. Landasan pendampingan kaum muda yaitu ya Lukas 24 :1335. Di samping itu saya kan tiga tahun berdialog khusus dengan kaum muda itu. Menyenangkan. Mendengarkan keluhan dan uneg-uneg serta mendorong agar mereka
menjadi pewarta yang menggembirakan diri sendiri, tapi juga menggembirakan orang lain. Selama tiga tahun Bapa Uskup berkunjung ke daerah-daerah bertemu kaum muda. Mungkin ada catatan-catatan yang tercecer selam kunjungan itu? Ya, memang ada catatan dan hal-hal yang tercecer dalam kunjungan itu. Pertamatama saya melihat orang muda itu bersemangat. Mereka mempunyai kebtuhan besar untuk mengetahui keperluan hidup yang sekarang ini ke masa depan itu. Itu saya merabaraba dan coba merumuskannya sebagai masalah tujuan hidup! Jadi mereka itu mempunyai semangat besar untuk mencari dan menemukan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan, termasuk hidup rohani. Besar! Maka mereka minta diadakan banyak rekoleksi dan retret. Karena di satu pihak mereka melihat perkembangan di luar. Di lain pihak bagaimana mereka itu mengintegrasikan panggilannya sebagai orang muda Katolik dengan perubahan dan “kemajuan” yang mereka saksikan. Dalam hal ini kelihatannya mereka mengalami banyak kesulitan. Salah satunya ialah pengertian di bidang agama. Secara konkret kan mereka menghadapi teman-teman yang beragama lain. Hubungan mereka dalam hal yang sederhana pun kadang-kadang nampak sulit. Jadi orang muda kita perlu bantuan pembinaan itu. Dalam bidang rohani pembinaan ini menurut saya mendesak. Dan merupakan salah satu prioritas. Maka saya meminta komisi-komisi yang mulai sekarang bertugas sebagai litbang untuk memelopori pembinaan itu. Komisi-komisi tersebut adalah Katekese, HAK dan Komsos. Tingkatkan komunikasi “umum” antar umat Katolik sendiri. juga komunikasi umum tentang masalah sosial-politik, budaya dan seterusnya. Jadi hubungan intern dan ekstern. Sedang HAK , komunikasi antar agama dan kepercayaan. HAK coba meneliti dan mengembangkan cara bagaimana jemaat sekarang itu hidup bersama-sama dengan orang lain, dalam zaman kemajuan yang sekarang ini. Kalau melihat ketiga peristiwa yang dialami umat, yakni GPP, kunjungan Dubes Vatikan dan Sidang Agung KWI/Umat, nampaknya ada “benang merah” atau urgensi dengan masalah orang muda di Indonesia, khususnya di Lampung ini. Apakah benar begitu? Kedatangan Duta Vatikan ke sini, karena saya undang. Itu biasa, supaya melihat situasi di keuskupan ini. Jadi saya tidak punya maksud lain dari pada itu. Malah sebetulnya saya itu agak malu, karena tempat-tempat lain sudah lebih dulu mengundang. Kita belum, padahal Lampung itu tidak jauh dari Jakarta. Dan kesan-kesan beliau sudah pernah di tulis tersendiri dalam Nuntius. Dia sendiri bergembira juga, terutama karena meliau menyaksikan adanya rencana untuk meningkatkan perhatian dan usaha bagi masa depan Gereja. Ada rencana, ada persiapan,. Persiapan secara material, dan terutama persiapan orang-orangnya. Ada seminaris-seminaris, baik seminaris menengah maupun seminaris tinggi sebagai persiapan Gereja di masa mendatang. Bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi martabat dan panggilan manusianya. “Sumber daya” itu kan hanya dimanfaatkan orangnya. Tapi ini “seluruh manusianya”, yaitu PRIBADI. Beliau juga terkesan bahwa Gereja di sini telah menetapkan policy atau kebijakan pastoralnya untuk memasyarakat.
Juga dalam Sidang Agung KWI/Umat Gereja Katolik Indonesia diarahkan pada pembangunan persaudaraan sejati. Itu kan arah dan kegiatan yang meneguhkan apa yang sudah kita mulai di Lampung ini sejak GPP. Maka ada benang merah! Dalam diagram Visi Dasar Pastoral sangat jelas istilah “persaudaraan sejati” masuk di situ. Kita sudah jauh sebelumnya mengantisipasi itu. Memasyarakat, melibatkan diri di bidang sosial politik dalam situasi konkret. Bahkan seperti yang saya utarakan dimana-mana: “Tidak ada duit Katolik, tidak ada volley Katolik” dan sebagainya. Sebetulnya tidak terlalu pas tapi ini toh berguna untuk pendidikan. Sekarang ini Umat Katolik Lampung mengarah menghayati “profesionalitas panggilan” sebgai awam. Jangan ditinggalkan identitas yang dibangun berkat RKPK. Sekarang, setelah pembangunan ad intra. Karisma mewartakan Injil ad gentes (ad extra) banyak dilalaikan. Kurang diperhatikan. Untuk menggebrak menyadarkan hal itu harus mengerti kaitanya dengan perkembangan situasi konkret zaman sekarang ini misalnya orang semakin jadi matearealis, individulais. Santo Bapa pun terus menerus mendorong umat Katolik supaya sadar bahwa hakekat Gereja itu misioner. Misioner! Begini Bapa Uskup, dari sekian kali kami mengikuti kunjungan Bapa Uskup ke daerah-daerah, ternyata salah satu masalah pokok kaum muda Katolik adalah sulitnya mencari kerja. Menurut Bapa uskup penyebab masalah ini apa? Ya…..mencari kerja sulit ya……? Saya kira yang pertama yang harus saya katakan seperti yang sering saya utarakan dalam dialog itu ialah masalah “cari kerja”. Ini memang bukan pertama-tama masalah Gereja. Tapi masalah sosial bangsa Indonesia. artinya soal seluruh bangsa Indonesia termasuk umat Katolik (Gereja). Ini menjadi keprihatinan bersama. Dan pasti ini juga menjadi urusan DEPNAKER (dari segi kerjanya). Bukan berarti kita (Gereja) lepas tangan. Tidak! Kita semua gereja memberikan arah yang tepat pada nilai kerja itu. Memang belum cukup kerja ‘asal kerja’. Harus bekerja yang mengarah pada kerajaan Allah. Agar Dia yang menjadi Raja hidup kita. Lalu, kalau ini masalah bersama, bagaimana? Ini justru mendesak untuk dioperasionalkan, pastoral yang digalakkan disini : memasyarakat itu! Secara konkret saya lalu menjelaskan : “Apa yang dibutuhkan kalau sekarang ini mau cari kerja?” Pertama, hubungan. Membina hubungan baik. Di kalangan orang Katolik saya kira hanya ada sedikit sekali konglomerat. Bina hubungan dengan yang ‘di luar’-lah. Kedua, kalau sudah ada hubungan kan bisa minta rekomendasi. Akan dapat rekomendasi kalau ada hubungan baik. Bisa minta rekomendasi kalau kenal dengan yang dimintai. Yang ketiga, adalah soal mutu. Jadi ada tiga hal penting di sini, yaitu hubungan baik, rekomendasi dan mutu. Mutu dalam arti luas. Tanpa ini akan sulit sekali memperoleh pekerjaan. Dan saya kira cukup banyak keistimewaan yang kita miliki. Mutu yang harus muncul dari umat Katolik adalah mutu kejujuran, kerja keras dan tekun. Saya masih ngomong, kalau soal kertrampilan selalu bisa dipelajari. Keistimewaan sebagai orang muda Katolik ya itu jugalah ! Mau kerja keras, jujur dan tekun. Jangan terlalu capat pindah…….., walau mungkin nggak enak. Saya juga sering mengatakan, “tantangan itu jangan dihindari tapi dihadapi sekaligus diatasi” kalau selalu menghindari tantangan terus menghindar….apakah mau terus menerus transmigrasi? Ini ngak bisa lagi…ha…ha…ha….
Untuk sekedar menjelaskan saja. Kalau dulu gampang bertransmigrasi, ribut disana lari kesini, ribut disini lari ke sana, cari tempat lain….sekarang mau kemana saja mudah dicari dan bisa ditangkap. Maka atasilah kesulitan! Kembali ke soal kerja. Gereja sendiri sebagai Gereja jangan diharapkan mau bgitu saja membangun pabrik. Kalau mau bergerak dibidang semacam ini, lakukan bersama-sama sesama warga Indonesia, meski berlainan agama. Dan saya senang sekali, bahwa Bapa Kardinal Yulius Darmaatmadja terus-menerus mengarahkan umat untuk memasyarakat. Negara kita adalah negara Pancasila. Untuk itu kita harus hidup dan bekerja dengan orang-orang lain yang berbeda agama, suku, ras atau golongan. Yang menjiwai kita adalah semangat Kristus. Dan ini arah baru yang tidak semua kegiatan atau usaha harus selalu dengan cap Katolik, cap Gereja Katolik atau cap salib palang kayu yang besar. Bapa Uskup beberapa kali mengatakan bahwa ada masalah yang lebih mendasar di tengah umat kita selain masalah sosial tersebut diatas, yaitu soal arah hidup yang kurang jelas, yang menyangkut iman dan dan pengetahuan agama Katolik. Indikasi ini jelas nampak pada banyaknya kasus nikah di luar Gereja/murtad. Bagaimana pendapat Bapa Uskup? Soal kawin campur di luar Gereja sebenarnya bukan pertama-tama kurang pengetahuan agama. Saya lebih suka melihat dan mendalami alasan-alasan dari segi positifnya juga. Orang melihat bahwa dalam diri orang lain itu ada kebaikan. Possitive thinking! Misalnya kalau kita medengar suara adzan keras itu sebagai ajakan bagi kita untuk ”berdoa pula”, sehingga tidak ada “beban hidup”. Seorang gadis mellihat kebaikan ada pada seorang cowok beragama lain dan tidak ditemukan diantara pemuda-pemuda yang seiman. Ia tertarik lantas pacaran. Maka kalau mau mencari pacar yang seiman tidak cukup kalau hanya mengadakan kegiatan PORAP, PORSENI, HENRY CUP dan sebgainya seperti tempo doeloe. Itukan hanya bentuk atau sarana lahiriah saja yang terpenting ; Apakah terdapat kebaikan-kebaikan yang menonjol sehingga memikat lawan jenisnya? Kebaikan yang harus muncul dari imanya? Seorang yang beragama Katolik belum berarti segala perbuatan yang dikerjakan otomatis muncul (bermotif) dari imannya. Memang iman perlu didukung oleh pengertian agama agar murni dan otentik. Memperhatikan situasi konkret di Lampung ini dan umat kita yang hidup di tengah-tengah umat beriman lain serta ”tidak mudah bertemu sesama umat muda Katolik”, maka Gereja mengambil kebijakan tertentu dalam pemberian dispensasi untuk menikah. Keluarga Katolik yang dibangun atas pernikahan, dengan dispensasi (beda agama, atau beda gereja) dapat berkembang menjadi keluarga yang baik. Tapi ingatlah, mereka harus mempersiapkan diri secara masak-masak sebab nikah dengan perbedaan iman itu bagaikan “membawa duri dalam daging”. Jadi ini agar disadari terus. Bahwa ada perbedaan fundamental dalam perkawinan beda agama itu, yakni soal iman. Tapi kalau perbedaan-perbedaan itu didialogkan terus menerus mungkin bisa menjadi kebaikan. Maka Gereja juga comitted untuk mendampingi mereka. Untuk mendampingi yang mengarah pada keteguhan iman ini perlu melibatkan semua pihak, baik imamnya maupun umatnya sendiri. Bahkan sekarang juga telah keluar katekismus Indonesia baru yang berjudul : “Iman Katolik”. Dimaksudkan sebagai buku informasi dan refrensi tentang iman kita. Mungkin bemanfaat.
Begini Bapa Uskup, tadi di bagian awal dikatakan bahwa kita keasyikan bergiat “ke dalam” sehingga lupa perkembangan diluar Gereja. Sekarang kita melihat Islam bangkit dan masuk dalam “struktur”. Banyak orang Katolik yang kaget, tidak siap dengan situasi yang semacam ini. Bagaimana Gereja dalam arti umat Allah, menempatkan diri dan mengantisipasi situasi sosial macam ini? Gereja Katolik kan sudah berpengalaman dalam sejarah. Menurut saya strategi yang dipakai oleh saudar-saudara Islam sekarang ini, pernah dulu dipakai oleh Gereja Katolik. Sekarang kita itu lebih sadar; kita itu lebih merupakan paguyuban dari pada lembaga atau institusi. Jadi pertama-tama bukan memperjuangkan kekuasaan atau mau mendominir, menjadikan semua dibawah kekuasaan Gereja. Atau seolah-olah kita kerajaan Allah. Gereja sadar Allah yang bekerja. Dan Roh Allah yang berkuasa, Roh Kristus. Kita menjadi alatNya. Jadi Gereja mengantisipasi ini dengan menetapkan arahnya yang sekarang ini yakni: Memasyarakat! Gereja juga mencita-citakan adanya suatu masyarakat Katolik dalam arti semua diatur dengan undang-undang Katolik; semua dengan pemimpin Katolik. Tidak! Dari dulu pun tidak! Tapi karena dituasi kondisi tertentu maka umat kita banyak yang bertanya-tanya. Misalnya dulu umat Katolik tampil menyolok sekarang ini tidak. Hirarki pun terkesan pasif dan sebagainya. Kita sebagai Gereja ditegaskan ikut membangun kerajaan Allah. Kerajaan cintakasih, kebenaran dan keadilan dalam segenap umat manusia. Bukan membangun Gereja sebagai organisasi yang hebat. Sekarang kan beda situasinya dengan dulu. Kita harus rela menerima kenyataan yang lebih mendalam ini. Jadi sekali lagi antisipasinya adalah arah Gereja yang sekarang ini. MEMASYARAKAT, dan kita punya identitas iman yang harus menjadi jiwa, inspirasi hidup. Dalam Sidang Agung KWI Umat yang lalu, Bapa Kardinal menegaskan agar umat Katolik di Indonesia berani menceburkan diri kedalam masyarakat-pergulatan bangsa. Bagaimana ini realisasinya menurut Bapa Uskup? Umat Katolik harus berusaha aktif dan terlibat dalam bidang IPOLEKSOSBUDHANKAM. Itu sebetulnya memang tugas bagi semua warga negara Indonesia. Tugas panggilan umat Katolik; khususnya kaum awam. Kita harus menghayati Pancasila sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya. Sudah banyak omong tentang Pancasila tetapi mungkin orang-orang Katolik sendiri masih kurang menghayati Pancasila itu. Apa indikasinya? Kita cenderung mengelompok sendiri saja. Berjuang untuk kesejahteraan kelompok sendiri saja; kurang mengingat saudara-saudara lain. Padahal kita bersama mau membangun negara Pancasila yang makmur sejahtera mereta bagi semua. Dalam surat Gembala, para uskup se-Indonesia dalam masa Pra-Paskah, pernah ditegaskan “kaum muda diharapkan lebih menghayati Pancasila ini dalam kegiatannya”. Dan itu yang juga tiap-tiap kali saya katakan : lakukan….misalnya dalam berolahraga, piknik, kesenian dan kegiatan semacamnya. Pengalaman pribadi saya dulu di Lampung ini semasa masih muda : enak bergaul dengan orang lain dalam soal seperti saya sebutkan diatas tadi. Dulu hubungan kita baik dengan mereka yang berbeda agama. hubungan mulai kurang baik setelah kita terlalu banyak “kegiatan ke dalam”, sendiri. Dan gap (jurang pemisah) itu semakin nampak. Sekali lagi, kita harus tahu perkembangan situasi dan dinamikanya. Kita akan tetap bisa
mewartakan akan melaksanakan panggilan kita dengan cara dan bentuk lain, ini bukan dogma. Dogmanya adalah kita harus hidup bersatu dengan Kristus. Barangkali masih ada hal lain yang ingin disampaikan Bapa Uskup kepada Pembaca NUNTIUS lewat kesempatan ini? Saya pernah diminta memberi pengarahan pada guru-guru TK di Tanjungseneng. Saya pikir-pikir dalam hati : apa yang mungkin bisa menggerakkan dan menjadikan jiwa (semangat) hidup manusia, yang dapat saya komunikasikan pada guru-guru Tk ini? Guruguru TK yang mendidik anak-anak kecil itu biasanya senang dan pandai bernyanyi. Maka saya carikan sebuah nyanyian syukur. Saya temukan dan saya bilang. “Ini nyanyian wajib bagi kalian yang harus jadi jiwa hidup dan kegiatan hidup kalian”! Lagu ini ciptaan Dra. Elly Bastian. Demikian syairnya: Aku tercipta untuk-Mu Aku tercipta hanya untuk-Mu Tuhan Aku dilahirkan untuk-Mu menyayangi-Mu Segenap hati, jiwa dan ragaku, kupasrahkan semua jadi milik-Mu Reff. Tingginya gunung dan luasnya samudera Tak dapat memisahkan Dia dari-Mu Kuserahkan seluruh cintaku kapda-Mu Aku tercipta hanya untuk-Mu Tuhan Aku tidak akan ragu dan bimbang lagi Akan cintakasih dan kesetiaan-Mu Kini aku sadar dan mengerti seluruh hidupku hanyalah untuk-Mu. Saya katakan, “Ini lagu wajib!” bagi guru TK. Sebetulnya ini juga ungkapan dari hidup saya. Ini harapan tiap-tiap orang yang menyerahkan diri; yakni akan cintakasih Tuhan dan Dia merupakan satu-satunya yang dirindukan dalam hidupnya seperti dikatakan St. Agustinus, “Aku tidak akan tenang sebelum aku beristirahat didalamMu…..Tuhan, jiwaku selalu gelisah sebelum beristirahat dalam Dikau” Nah, ini sebetulnya program hidup saya: menjadi saksiMu. Dalam memberi kesaksian itu berharap dibimbing oleh Roh Kudus dan berani menyerahkan diri pada-Nya. Penyerahan itu butuh keberanian betul ya, Bapa Uskup? Ya memang ha..ha…ha….Dan ada dinamikanya. Kalau waktu enak “semua berjalan mulus”, agak mudah menyerahkan diri. Tetapi kalau nanti menghadapi tantangan, menemui hambatan, sulit mengatakan “saya menyerahkan diri….” Bahkan mungkin lantas timbul kebingungan dan kekecewaan. Kami menangkap kesan waktu itu dalam pelaksanaan dalam GPP juga ada kebingungan?
Ya, dan karena itu saya mendapat banyak “serangan”. Dalam surat Gembala tahun 1991 saya tulis tentang hal ini. Banyak orang bilang; tapi saya katakan ada senangnya juga, karena inilah dinamika kehidupan umat yakni mencoba hidup bersama, mencari dan menemukan bersama. Kegembiraan orang di dunia itu kan ada dalam mencari. Kebersamaan terus mencari. Tak merasa jenuh. Gembira penuh di alam nanti!
Wawancara dengan Mgr. A. Henrisoesanta Tentang Unit Pastoral: “MANUSIA”, SUBJEK BIDIK PELAYANAN GEREJA Cukup mengejutkan, begitu komentar sebagaian umat. Ketika tahun lalu Mgr. A.Henrisoesanta menetapkan beberapa wilayah menjadi unit pastoral baru. Tak kalah mengherankan pula pemilihan lokasi gereja pusat. Untuk mengetahui labih jauh berbagai alasan dan latar belakang masalah itu, inilah petikan wawancara NUNTIUS dengan beliau.
Selain paroki, di keuskupan ini dikenal adanya unit pastoral. Padahal yang ada dalam Kitab Hukum Kanonik adalah Kuasi paroki. Apakah ini hanya perbedaan istilah ataukah ada perbedaan makna yang lebih dalam? Perubahan istilah itu saya maksudkan untuk menekankan segi manusia. Pelayanan dan pendampingan manusia dalam struktur unit pastoral itu, perlu mendapat tekanan lebih besar dari pada lembaganya. Struktur itu harus membantu, tidak menghambat. Diperlukan sutu cara agar manusia nya diutamakan. Dalam struktur kuasi paroki, menurut pengalaman dan kesan saya-sama seperti di paroki-tekananya lebih banyak pada lembaga, struktur dan lingkup geografisnya. “Pokoknya itu daerah saya, begitu lho”. Saat ini dimana dibutuhkan pelayanan pastoral lintas sektoral atau paroki, kalau tekanan lebih pada struktur seperti itu, justru bisa merugikan jemaat. Karena itu saya mencoba menemukan fungsi lain, yang tidak merugikan. Mungkin tidak disebutkan dalam hukum gereja, tapi bisa menolong tujuan yang tadi saya utarakan. Itulah kenapa dipakai istilah unit pastoral. Maksudnya tentu untuk mendukung arah pastoral di keuskupan Tanjungkarang: umat Allah berziarah. Tekanan pada manusianya, yang berubah, memperbarui diri. Contoh : pelayanan orang yang mau menikah tetapi orang itu sudah pindah ke paroki lain. Urusan itu bukan kewajiban paroki lama. Dalam Hukum Gereja, (KHK K. 102, $2) ia telah menjadi warga paroki yang baru setelah tiga bulan menetap di situ. Tapi bagaimana kalau KTP masih KTP lama? Lalu bagaimana dengan strukturnya? Dari segi itu strukturnya, unit pastoral itu sama dengan kuasi paroki (KHK K 102 $2 dan K. 516,$1). Unit pastoral itu mandiri dalam hal apa saja? Berdasarkan kodeks Hukum Gereja, dalam suatu kuasi paroki sudah ada pastor yang melayani di situ, meski belum menetap. Selain tenaga pastor, harus juga ada tenaga pembina yang lain. Lalu yang ke tiga finansial : sedikit banyak harus mampu menghidupi unit pastoral itu sendiri. Bukan sekedar memberi makan pastornya, tapi membiayai karya pastoral di situ. Juga umat diharapkan dapat berkembang dalam persatuan bukan hanya fisik, tapi visi dan misi. Bila dalm hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan dan lingkungan belum memungkinkan didirikan paroki, suatu wilayah masih dapat dijadikan kuasi paroki. Apakah ada batasan minimal jumlah umat untuk membentuk satu unit pastoral? Bagaimana pertimbanganya? Seperti yang ditulis dalam Hukum Gereja : ada paroki, stasi . Di bawah paroki ada kuasi paroki. Lalu diciptakan stasi. Kring atau lingkungan, maksudnya mempermudah pelayanan dan pewartaan. Di sini saya coba dengan unit pastoral . Terdiri dari beberapa ribu umat? Ya harus mempertimbangkan antara lain : tenaga pastornya, tenaga yang lain seperti ketua stasi, kring, pembina umat, dan lain-lain, finansial segi geografis mudah dicapai atau tidak, dan mungkin cakupan atau luas wilayah juga. Setelah melihat pertimbangan tersebut, daerah itu di jadikan unit pastoral, supaya di situ ada kesatuan. Jumlah umat, tidak menjadi faktor penentu. Tapi, yang ideal menurut saya satu pastor melayani 1000 orang. Situasi konkret di keuskupan ini, maksudnya unit-unit baru itu, adalah translok. Orang datang dari berbagai paroki yang punya mentalitas dan gambaran
Gereja yang berbeda-beda. Mereka ini bersatu ingin membentuk paroki atau kuasi paroki baru. Yang lebih dipentingkan adalah proses sebagai jemaat yang berziarah. Proses ini memungkinkan tercipta suatu bentuk atau cara baru dalam berpastoral sehingga nanti orang tidak mati-matian mempertahankan pendapat misalnya, “Gereja harus seperti ini”, dan dibentuk dengan “cara saya begini”. Cobalah membangun Gereja dalam persatuan iman, harap, kasih. Jadi perlu kreatifitas dalam mengembangkan pelayanan? Tentu saja. Unit pastoral sangat membuka kesempatan untuk mencoba pola-pola baru. Belum ada pola yang begitu baku. Saya selalu katakan kepada umat dan pastor : cobalah cari bentuk yang tepat untuk berpastoral. Apalagi kalau berhadapan dengan generasi muda yang punya pola-pola yang tidak sama. Anak muda agraris bila berhubungan dengan anak muda yang telah terbiasa hidup di Balaraja, misalnya. Mereka ini kalau pulang ke desanya, akan lain sekali. Apa yang perlu kita buat? Perlu banyak komunikasi. Unit pastoral bergantung dalam hal apa saja dengan paroki induknya? Konsultasi: untuk membina bermacam-macam itu harus dilihat darimana asalnya. Maksudnya supaya dalam bentuk kesatuan yang baru itu nanti efektif. Saling membantu tenaga, maksudnya berbagi pengalaman. Sebenarnya saya tidak suka kata bergantung, tetapi lebih menekankan pada kerja sama pastor maupun pembina supaya jemaat mampu menjadi Gereja partikular sesuai dengan arah pastoral keuskupan ini, yaitu mampu menjadi saksi dalam persaudaraan sejati. Unit pastoral dalam paroki itu harus bekerja sama. Secara konkret ambil langkah-langkah persaudaraan sejati. Di situ kita akan menjadi saksi. Selain itu mungkin masih ada ketergantungan finansial. Di luar itu semua, misalnya administrasi, harus berdiri sendiri. Buku-buku yang dituntut oleh Hukum Gereja harus ada, seperti buku babtis, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Apakah di stasi ada juga buku-buku seperti itu? Tidak. Jadi stasi tidak bisa mengeluarkan surat baptis sendiri. Jadi unit pastoral itu tidak ditetapkan berdasar ada atau tidaknya pastor yang menetap di situ? Tidak. Unit pastoral harus dilihat pertama-tama perkembangan kualitatif umat di situ. Kalau sudah menunjukan adanya kesatuan, lantas diperlukan pelayanan yang lebih mantap, ada pembinaan-pembinaan, administrasi juga harus ditata dengan baik, kemudian bisa dibentuk unit pastoral sendiri. Tetapi unit pastoral ini sebenarnya lebih bebas bergerak dari pada paroki. Seperti di Mesuji misalnya, pastor bisa beberapa hari di unit IV, lalu pindah lagi. Kalau paroki ada aturannya, jika misalnya pastor mau meninggalkan daerahnya. Unit pastoral tidak demikian, sepanjang masih dalam lingkup daerahnya. Istilah unit pastoral ini di keuskupan lain juga ada? Tidak ada.
Umumnya unit pastoral baru, merupakan daerah translok, umatnya kebanyakan para petani yang membuka lahan baru, baik karena tergusur maupun desakan ekonomi. Apakah memang hadirnya unit pastoral karena tuntutan situasi seperti itu? Saya memang membaca situasi konkret itu, lalu mencoba mengembangkan umat di sini agar menjadi saksi. Di tempat lain, dengan situasi yang lain, tentu saja tidak demikian. Hal-hal semacam ini kan di serahkan kepada uskup setempat. Termasuk menetapkan suatu daerah tertentu sudah layak menjadi sebuah unit pastoral? Pasti. Kami memantau itu dari banyak mata, juga dipertimbangkan dari berbagai segi. Tidak hanya finansial. Tetapi yang banyak dilupakan orang adalah juga tenaga. Bukan hanya pastor tetapi juga awam. Jadi penting dilihat bagaimana umat menghidupi imannya secara mandiri? Ya, dan itu harus dihayati. Maka terhadap banyak permintaan tenaga pembina saya selalu katakan bahwa umat sendirilah yang harus saling membina. Apakah dalam keputusan mendirikan unit pastoral itu dewan imam itu dilibatkan? Dewan imam itu disini semua pastor masuk. Karena para pastor itu kan bisa berkumpul rutin. Di situ semua masalah dibicarakan, lalu kami sharing lewat Dewan Penasehat Keuskupan. Selanjutnya Dewan Penasehat Keuangan juga diajak bicara. Kapan sebuah unit pastoral dapat menjadi paroki? Ya, harus dilihat dulu, apakah unsur-unsur yang disebut tadi sudah bisa dipenuhi. Tapi masalahnya kan bukan seperti sekolah, tiga tahun tamat SMP, lalu SMA. Bukan itu. Yang penting adalah bagaimana iman jemaat itu dapat berkembang dalam membentuk Gereja. Kalau dibentuk menjadi paroki tapi tidak menjalankan panggilannya, ya apa manfaatnya. Apakah itu tidak karena gengsi-gengsian saja? Paroki yang sekarang kan tidak menuruti pola yang tadi Bapa Uskup sebutkan? Pengertian paroki ini sebenarnya saya ubah juga. Mudah-mudahan umat juga tahu. Dulu, paroki itu suatu wilayah di kota. Sekarang saya ubah : paroki adalah gabungan stasi-stasi. Ada stasi pusat ada stasi daerah. Maka dalam dewan paroki/dewan pastoral, saya harapkan terdiri dari tidak hanya orang-orang stasi pusat tetapi juga stasi daerah. Mengapa? Ini bertolak dari pelayanan dan pembinaan yang harus adil dan memadai bagi stasi daerah. Tentu saja paroki Telukbetung dikecualikan, karena hanya punya dua stasi? Itu kan baru sekarang. Dulu juga ada beberapa stasi daerah. Dulu stasi bergantung pada tenaga pastornya. Misalnya, pastor di Tanjungkarang ada tiga. Meski stasi-stasi luar kota itu lebih dekat ke Telukbetung, tetapi masuk dalam paroki Tanjungkarang padahal dari segi geografis mestinya kan masuk Telukbetung. Maka unit pastoral itu kalau lebih mementingkan pastornya, akan menimbulkan masalah. Untuk hal-hal semacam ini harus melihat sejarah. Sering kita ini melupakan sejarah. Jangan lupa menempatkan masalah selalu dalam konteks sejarah; kenapa sebuah stasi masuk dalam paroki tertentu, misalnya
Hanura, Sribawono, dan sebagainya. Dalam kurun waktu tertentu posisi bisa saja berubah-ubah. Untuk daerah Hanura ke barat itu belum ada rencana untuk dijadikan unit pastoral tersendiri? Rencana itu ada. Tapi banyak aspek yang dipertimbangkan. Apakah ada debat yang seru dalam menentukan suatu wilayah menjadi unit pastoral tersendiri? Dengan dewan yang dulu, ada. Saya waktu itu belum uskup, tapi sudah ikut rapat. Misalnya kenapa Kalirejo dipilih sebagai stasi pusat, padahal cuma ada sedikit orang Katolik di situ. Lalu kenapa juga yang dipilih Bandar Jaya, padahal kalau pertimbangannya jumlah umat, tentu saja Fajar Mataram lebih memenuhi syarat. Pemilihan itu harus disesuaikan dengan visi Gereja. Saya mengerti kekecewaan umat : kami ini sudah siap kok tidak dipilih. Tapi yang lebih seru sebenarnya adalah penunjukan orangnya; pastor siapa harus bekerja sama dengan pastor siapa. Bagaimana dengan Bakauheni, yang jumlah umatnya sedikit? Mengapa pula Gereja pusat di Umbul Jering, bukan Pasuruan atau Kalianda? Bakauheni itu saya pilih sebagai eksperimen atau pilot project. Juga dipilih pastor “misionaris” yang sudah banyak pengalaman. Kenapa tidak Kalianda yang merupakan pusat pemerintahan, atau Pasuruhan yang umat Katoliknya sudah cukup lama? Umbul Jering itu memungkinkan usaha-usaha pola berpastoral yang baru, karena merupakan suatu daerah yang belum punya tradisi yang tetap. Juga karena Gereja diutus jadi saksi. Gereja harus mewartakan, tidak hanya untuk diri sendiri. Bakauheni lebih terbuka untuk visi Gereja semacam itu. Apakah hal ini juga yang menyebabkan kenapa Fajar Mataram tidak dipilih menjadi unit pastoral baru?Mereka itu terdiri dari 500 KK, lebih banyak dari Liwa atau Bakauheni. Fajar Mataram itu sudah unit pastoral tersendiri. Istilah dulu kuasi paroki. Bahkan bersama dengan Margo Agung merupakan bentukan lama, jamannya Mgr.Hermelink dulu. Fajar Mataram itu saya pikir dinamikanya masih perlu ditingkatkan. Kita kan harus menjadi Gereja yang terbuka-dinamis. Tapi tampaknya belum dislenggarakan administrasi tersendiri? Dulu sudah dimulai tapi ditarik lagi ke Bandar Jaya, karena tidak ada pastornya di sana, bahkan pastoran pun tidak ditunggu. Mengapa tidak diberi pastor? Saya mengerti keinginan umat di sana. Tapi kan harus ditekankan bahwa Gereja itu jangan dipandang semacam organisasi, ada umat, lalu harus ada pastor, diatasnya ada uskup. Gereja itu umat Allah. Umat itu siapa? Kita semua ini. Tentang penempatan pastor, itu harus dipertimbangkan dari banyak faktor dan segi.
Tentang pemilihan gereja pusat di Simpang Pematang. Apakah itu tidak terlalu ujung. Mungkin Menggala atau unit I lebih sentral? Memang terlalu ujung. Tapi itu karena kita lebih menekankan, Gereja, “ada” di tengah rakyat biasa, hadir di situ memberi kesaksian. Dulu, dipikirkan unit IV sebagai sentral atau pusat, karena dari segi geografis memang terletak di tengah-tengah. Tapi kemudian kurang berkembang. Mungkin nanti unit II atau unit I lebih tepat. Ini mengenai Sidobangun. Dulu konon akan menjadi paroki tersendiri, kenapa sekarang tidak diarahkan menjadi unit pastoral lepas dari Kalirejo? Seperti tadi saya katakan, harus melihat perkembangan. Lagi pula sekarang ini lebih membutuhkan pelayanan dan pendampingan intensif kan daerah translok. Mengapa di daerah translok, unit pastoral yang baru, banyak berkarya para imam projo yang muda-muda? Pastor SCJ labih banyak di daerah yang agak kota. Padahal dalam sejarah perkembangan Gereja Lampung para misionaris SCJ-lah yang dulu merintis paroki-paroki baru. Itu karena ada konvensi, kesepakatan antara keuskupan dan tarekat SCJ. Daerahdaerah baru itu sekarang tidak menjadi daerah SCJ. Dulu Indonesia dikapling-kapling menjadi daerah pelayanan tarekat tertentu. Kemudian setelah berdiri hirarki Indonesia daerah-daerah itu diserahkan ke keuskupan. Maka uskupnya dinamai uskup diosesan. Konsekuensinya semua tarekat yang akan berkarya di daerah itu diatur sesuai konvensi dan/atau harus mendapat ijin dari uskup setempat.***