Kompasiana, 2 September 2013
Gelandangan di Perkotaan dan Kompleksitas Masalahnya Arif Rohman School of Humanities and Social Sciences Charles Sturt University
Cite: Rohman, Arif. (2013). Gelandangan di Perkotaan dan Kompleksitas Masalahnya. Kompasiana, 2 September 2013.
Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya. Tulisan ini ingin menunjukkan kompleksitas permasalahan gelandangan melalui penyajian data dan fakta yang dianggap relevan, dan memunculkan pertanyaan tentang kapan persoalan gelandangan akan selesai kita tangani? Anomali Istilah Gelandangan, Pengemis dan Pemulung Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal. Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut 1
Kompasiana, 2 September 2013
atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa (dehabilitation) dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004). Selama ini sebagian besar masyarakat masih dibingungkan oleh pengertian gelandangan, pengemis dan pemulung. PP No. 31 Tahun 1980 mendefinisikan gelandangan yaitu orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali mengemis (hidup dari belas kasihan orang lain) atau bekerja sebagai pemulung. Ali, dkk. (1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Adapun indikator gelandangan yaitu sebagai berikut : (1) Anak sampai usia dewasa; (2) Tinggal disembarang tempat dan hidup mengembara atau mengelandang ditempat-tempat umum, biasanya dikota-kota besar; (3) Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku bebas/ liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat umumnya; (4) Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas. Secara umum gelandangan ada 2 yaitu gelandangan psikotik dan gelandangan non-psikotik. Gelandangan non-psikotik pun dibagi menjadi dua yaitu mereka yang menggelandang karena malas bekerja dan mereka yang menggelandang karena desakan ekonomi. Mereka yang menggelandang karena malas, biasanya tinggal pergi ke belakang McDonald atau KFC untuk sekedar makan enak dengan menunggui sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah. Mereka juga sering menjadikan panti-panti pemerintah sebagai tempat makan gratis. Bosan di satu panti, mereka akan pindah ke panti lain. Begitu seterusnya. Jadi saya tidak setuju kalau ada penggeneralisasian bahwa seluruh gelandangan pada dasarnya pemals. Studi yang saya lakukan beberapa tahun yang lalu menunjukkan bagaimana sebagian dari mereka bekerja siang malam tanpa mengenal lelah. pagi buta sudah berangkat memulung, pulang malam dan terkadang mereka membersihkan hasil pulungannya sampai jam 12 malam di gubuk-gubuk sederhana dimana mereka tinggal. Ada beberapa mereka yang minum arak/alkohol sambil bernyanyi-nyanyi. Saya melihat ada nada kesedihan dalam suara-suara mereka. Mungkin mereka frustasi dengan hidup. Tapi dari perspektif saya mereka adalah orang2
Kompasiana, 2 September 2013
orang kuat yang mengarungi kejamnya kehidupan di kota besar. Saya percaya bahwa fenomena gelandangan adalah fenomena gagalnya suatu masyarakat dalam mencegah dan memproteksi warganya. Ketidakpedulian dan kurangnya dukungan dari masyarakat secara umum berkontribusi terhadap terciptanya gelandangan-gelandangan di kota besar. Jelas program penanganan antara mereka yang psikotik, non psikotik karena mentalitas dan non psikotik karena kesulitan ekonomi akan berbeda. Dan tentu saja penanganannya harus humanis dan mengedepankan hak-hak mereka. Sedangkan pengemis dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan minta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain (PP No. 31 Tahun 1980). Adapun indikator untuk menjustifikasi bahwa sesorang adalah pengemis adalah sebagai berikut : (1) Anak sampai usia dewasa; (2) Meminta-minta dirumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya; (3) Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan, berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan organisasi tertentu; dan (4) Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap membaur dengan penduduk pada umumnya. Istilah terakhir yang sering diasosiasikan dengan gelandangan adalah pemulung. Pemulung dapat diartikan sebagai orang yang kegiatannya mengambil dan mengumpulkan barang-barang bekas yang masih memiliki nilai jual yang kemudian akan dijual kepada juragan barang bekas (Saraswati dalam Aswab, 1986). Pemulung juga dapat didefinisikan sebagai orang yang mempunyai pekerjaan utama sebagai pengumpul barang-barang bekas untuk mendukung kehidupannya seharihari, yang tidak mempunyai kewajiban formal dan tidak terdaftar di unit administrasi pemerintahan (Y. Argo Twikromo, 1999). Dari pengertian-pengertian di atas, terlihat jelas bahwa seorang gelandangan dapat melakukan aktifitas seperti mengemis dan memulung, namun seorang pengemis dan pemulung belum tentu seorang gelandangan. Karena seorang pengemis atau pemulung bisa jadi memiliki tempat tinggal yang tetap. Data dan Fakta Seputar Gelandangan Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data jumlah orang gelandangan sendiri meningkat hamper 2 kali lipat pada tahun 2009 dan mencapai 54.028 orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas 3
Kompasiana, 2 September 2013
mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan. Angka gelandangan diperkirakan terus naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada ‘gejala satu kota’ yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila. Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung. Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya. Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali 4
Kompasiana, 2 September 2013
menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat. Gelandangan, Migrasi Desa-Kota dan Gagalnya Pemerintah Kota Dalam Melakukan Antisipasi Kaum urban yang datang ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client).Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Sebagai konsekuensinya, para pedagang yang dulu tidur di pasar Senen dengan memeluk dagangannya akhirnya mengikuti pola yang sama yaitu mendirikan gubuk-gubuk di sepanjang rel kereta api. Kalau petugas PJKA bisa kenapa mereka tidak? Pada konteks ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar. Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut. Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika migrasi desa-kota dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya 5
Kompasiana, 2 September 2013
penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait. Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan(trafficking). Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan beberapa program andalan pemerintah justru tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis. Kapan Persoalan Gelandangan Akan Selesai? Terkadang dalam menyikapi permasalahan sosial, kita dituntut untuk tetap optimis. Bagaimana layanan sosial akan dilakukan dengan baik apabila orang-orang yang didalamnya justru pesimis? Namun demikian diperlukan perencanaan sosial yang baik dengan memahami budaya dan cara pandang mereka. Terus kapan persoalan ini akan selesai? Tidak ada magic answer untuk pertanyaan ini. Menurut saya, persoalan gelandangan di Indonesia dapat ditangani secara lebih baik asalkan Pemerintah mengeluarkan kebijakan nasional semacam perlindungan sosial sehingga setiap orang di bumi pertiwi ini bisa hidup standar dan layak, yang memungkinkan mereka dan keluarganya dapat mengakses layanan pendidikan, 6
Kompasiana, 2 September 2013
kesehatan, ekonomi, dan sosial dengan baik. Hal ini dikarenakan masalah gelandangan merupakan masalah makro yang juga harus diselesaikan dengan program dan kebijakan yang makro. Pendekatan mikro tidak akan dapat mengatasi persoalan secara comprehensive dan holistic. Memberi rumah, modal dan pelatihan saja tidak cukup. Butuh penyediaan lapangan pekerjaan, jaminan sosial dan kesehatan, serta jaminan pendidikan. Gap kesenjangan ekonomi harus dipangkas. Pajak orang kaya harus dinaikkan untuk mensubsidi mereka yang miskin. Bukan semata-mata masalah peraturan, namun perlu ditekankan bahwa ini adalah masalah moralitas dan kemanusiaan. Sudah waktunya orang miskin yang penghasilannya di bawah standar hidup harus disubsidi pemerintah. Sudah waktunya mereka yang miskin dan ingin sekolah tapi tidak mempunyai uang bisa meminjam pada pemerintah. Sudah waktunya orang miskin yang ingin berwira usaha namun kesulitan dalam mengakses layanan modal mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Sudah waktunya orang miskin yang tidak mampu berobat harus ditanggung pemerintah. Itulah gunanya sebuah negara didirikan untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan kesejahteraan pada rakyatnya. Jika negara mengingkari ini semua, kemudian siapa yang akan memikirkan nasib mereka? Namun demikian perlu adanya pusat data dan administrasi publik yang kuat untuk mendukung kebijakan nasional semacam ini. Sebagai contoh, di Australia semua data orang miskin satu pintu di bawah centre link. Dan mereka yang tidak atau belum terdata bisa mendaftar secara langsung ke centre link cabang terdekat di tempat tinggalnya. Akan diadakan semacam interview dan validitas informasi olehsocial workers apakah mereka benara-benar miskin atau mengaku miskin. Hal ini untuk menghindari adanya fenomena off rider yaitu mereka yang seharusnya tidak menerima jaminan sosial justru menerima (salah target) atau free rider yaitu mereka yang mengaku-aku miskin. Ini berarti data orang miskin adalah data bergerak yang dinamis serta tidak bersifat tetap misal 2 tahunan atau 5 tahunan sekali. Data itu bisa berubah dalam ukuran detik. Jadi tidak ada istilah mereka yang tidak terdaftar oleh BPS terus menyesali nasib dan akhirnya menyayat nadinya sendiri. Sekali lagi perencanaan sosial harus kuat dan baik. Ingat pepatah lama ‘Fail to plan is a plan to fail’. Sudah saatnya pula pembangunan di daerah-daerah harus digenjot pertumbuhannya untuk menghindari terjadinya gejala satu kota. Sebagaimana di Australia, orang mau tinggal di Sydney, Armidale, Albury, Newcastle, semua relatif sama. Semua dapat hidup di daerah-daerah tersebut tanpa harus pergi dan tinggal di Sydney. Pengembangan daerah-daerah tersebut untuk memecah laju ke kota besar. Jelas ini butuh kerja keras tidak hanya dari gubernur, tetapi juga walikota/bupati untuk memajukan daerahnya. Mungkin sudah saatnya ada spesialisasi sesuatu yang khas yang ditawarkan oleh daerah tersebut. Semisal daerah ini penghasil pertanian semangka, apel, terasi udang, ikan panggang, dll. Tentu saja hal ini juga membutuhkan dukungan yang luar biasa dari pemerintah pusat sehingga duit tidak hanya berputar di Jakarta saja. 7
Kompasiana, 2 September 2013
Sudah saatnya kemitraan dan kolaborasi yang efektif harus ditingkatkan. Gelandangan tidak hanya urusan pemerintah tapi juga LSM, dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Belajar dari Amerika, persoalan gelandangan tidak hanya di tangani oleh sektor sosial saja namun juga melibatkan departemen pertahanan dan keamanan, dimana mereka menyediakan barak-barak tentara untuk alternative tempat tinggal gelandangan sementara sebelum diberikan solusi tempat tinggal murah. Jadi sangat menyedihkan apabila di negara kita semua diserahkan pada sektor sosial saja tanpa dukungan sektor lain dengan alokasi anggaran nomor kesekian belas. Ini jelas tidak bisa mewujudkan ekspektasi masyarakat dalam penghapusan gelandangan di Indonesia. Dan menurut saya, sudah saatnya di era otonomi daerah pelaksanaan penanganan dilakukan oleh LSM-LSM terseleksi melalui metode lelang dan kontrak. Pemerintah harus mulai menempatkan diri sebagai decision maker dan monitoring dan evaluasi. Kalau semua ditackle semua oleh pemerintah, saya khawatir dengan keterbatasan dari segi jumlah dan kualitas SDM. Tugas pemerintahlah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa ini adalah persoalan kita semua. Tidak semua yang berbau negara Barat dapat diterapkan di Indonesia. Perlu studi lebih lanjut untuk mencari pola penanganan yang sesuai dengan karakteristik masalah dan budaya Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menggugah kesadaran akan persoalan gelandangan di Indonesia, siapapun kita, entah itu para pengambil kebijakan, sektor swasta, politician, LSM, praktisi, ataupun masyarakat umum.
8