77
BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN V.1.Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah: 1. Pemberian MSG per oral hingga dosis 4 mg/gBB tidak menimbulkan perubahan respon nyeri yang bermakna pada regio orofasial tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan. 2. Pemberian MSG per oral hingga dosis 4 mg/gBB tidak menimbulkan penurunan jumlah neoron sensoris ganglion trigeminal tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan. V.2. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan waktu paparan yang lebih lama (lebih dari 3 bulan) sehingga dapat diketahui pengaruh pemberian MSG secara kronik. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang diikuti dengan pemeriksaan kadar glutamat di dalam darah, cairan interstisial atau di dalam ganglion trigeminal. 3. Perlu
dilakukan
penelitian
dengan
menggunakan
pendekatan
elektrofisiologi untuk mengamati perubahan potensial aksi pada serabut saraf akibat pemberian MSG.
77
78
4. Perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan ekspresi substansi kimia yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan/kematian neuron sensoris seperti Bax dan Fas-ligand. 5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap sel glia satelit untuk mengetahui perannya dalam perubahan respon nyeri akibat pemberian MSG. 6. Perlu menggunakan penanda spesifik untuk neuron sensoris tipe A dan tipe B ganglion trigeminal, sehingga tidak sulit untuk membedakan tipe neuron pada ganglion trigeminal.
V. 3. Ringkasan V.3.1 Latar Belakang Kehidupan modern di beberapa dekade terakhir mengubah gaya hidup manusia menjadi serba instan sehingga meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap makanan instan. Makanan instan baik makanan ringan maupun makanan berat mengandung berbagai bahan tambahan, seperti pemanis, pewarna, dan penyedap rasa. Monosodium glutamat (MSG) merupakan bentuk garam Lglutamat yang sering digunakan sebagai penyedap rasa dalam makanan-makanan instan. Monosodium glutamat yang beredar di pasaran dikatakan dapat memberikan rasa gurih dalam makanan. Rasa gurih yang berkaitan dengan glutamat tersebut pertama kali ditemukan oleh Kikunae Ikeda pada tahun 1913 dan dikenal dengan sebutan ‘umami’. Umami kemudian dimasukkan dalam rasa dasar selain rasa asin, manis, asam dan pahit (Ault, 2004). Hasil riset kesehatan
79
dasar tahun 2013 mennunjukkan bahwa sebanyak 77,3% penduduk Indonesia mengkonsumsi MSG lebih dari 1 kali per hari (Kemenkes, 2013). Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik yang berperan dalam proses penghantaran impuls baik pada sistem saraf pusat maupun perifer. Konsentrasi glutamat yang tinggi menyebabkan transformasi sifat glutamat dari neurotransmiter menjadi bersifat neurotoksik dan mampu menyebabkan kerusakan saraf yang berat (Gill & Pulido, 2005). Peningkatan glutamat akan memicu peningkatan aliran ion Ca2+ ke dalam sel. Peningkatan konsentrasi Ca2+ di dalam sel diduga sebagai penyebab awal nekrosis sel (Larsen et al., 2014). Ganglion trigeminal tersusun atas kompleks badan sel saraf sensoris n.trigeminus dan sel glia satelit. Berdasarkan bentuk, ukuran dan kepadatan sitoplasma, neuron sesnsoris ganglion trigeminal dibedakan menjadi: (a) Neuron tipe A yang berukuran besar dan sitoplasmanya cenderung jernih. Nukleolus terlihat gelap dan terletak di tengah nukleus. Nukleolus dikelilingi oleh badan Nissl yang berukuran kecil sampai sedang. (b) Neuron tipe B yang berukuran kecil sampai sedang. Sitoplasma terlihat gelap karena dipenuhi oleh badan Nissl yang terdistribusi merata dalam sitoplasma. Tidak jarang badan Nissl tersusun di perifer atau mengelilingi nukleus (Lagares & Avendano, 2000). Neuron tipe A tersusun atas serabut tipe Aβ yang bermyelin dan dapat menghantarkan impuls dengan cepat sedangkan neuron tipe B tersusun atas serabut Aδ dan serabut C yang tidak bermyelin sehingga menghantarkan impus lebih lambat (Hanani, 2005; Rusu et al., 2011).
80
Peningkatan konsentrasi glutamat pada celah antara neuron sensoris dan sel glial satelit pada ganglion trigeminal dapat memicu terjadinya proses sensitisasi serabut saraf pada area kraniofasial. Sensitisasi yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan respon nyeri terhadap stimulus yang diberikan pada area orofasial. Rasa nyeri akibat sensitisasi dapat berupa hiperalgesia, yaitu nyeri hebat akibat stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri ringan atau dalam bentuk alodinia, yaitu nyeri hebat muncul akibat stimulus ringan yang secara normal tidak menimbulkan nyeri (Purves et al., 2004). Pemberian MSG per oral sebanyak 150 mg/kgBB pada laki-laki dewasa menunjukkan adanya peningkatan kadar glutamat interstisial meskipun tidak ditemui adanya peningkatan sensitivitas musculus masseter baik 2 jam maupun 5 hari setelah konsumsi MSG (Baad-Hansen et al., 2009; Shimada et al. 2015). Injeksi glutamat intravena sebesar 10 dan 50 mg/kgBB pada tikus SpragueDawley menunjukkan peningkatan kadar glutamat pada musculus masseter diikuti dengan penurunan ambang stimulus mekanik pada serabut aferen pada area musculus masseter Cairns et al., 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) mengamati perubahan respon nyeri pada regio orofasial tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan yang diberi paparan MSG dengan dosis pemberian yang berbeda-beda (1 mg/g BB; 2 mg/g BB; dan 4 mg/g BB) selama 30 hari. (b) Menghitung jumlah neuron sensoris ganglion trigeminal tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan yang diberi paparan MSG per oral dengan dosis pemberian yang berbeda-beda (1 mg/g BB; 2 mg/g BB; dan 4 mg/g BB) selama 30 hari.
81
V.3.2. Tinjauan Pustaka V.3.2.1. Monosodium glutamat (MSG) Monosodium glutamat (MSG) merupakan bentuk garam L-glutamat. Monosodium glutamat ditemukan dalam bentuk bubuk kristal putih yang akan terlarut menjadi natrium sebagai kation dan asam glutamat sebagai anion (Ault, 2004; Onaolopo & Onaolopo, 2011). Asam glutamat dan MSG terdiri atas 3 bentuk yang berbeda berdasarkan 2 isomer L dan D. L-glutamat merupakan asam amino non esensial yang ditemukan di alam dalam jumlah banyak dan memiliki kemampuan sebagai penyedap rasa dengan memberikan rasa gurih pada makanan (Ault, 2004). Masyarakat secara sadar maupun tidak sadar mengkonsumsi MSG melalui makanan-makanan instan dalam kemasan maupun olahan. Rerata konsumsi MSG di negara-negara Eropa bervariasi dari 0,3 sampai 0,5 g/hari, sedangkan di negaranegara Asia dapat mencapai 1,2 - 1,7 g/hari (Beyreuther et.al., 2007). Di Indonesia, rerata konsumsi MSG orang Indonesia mencapai 0,12 kg per orang per tahun, bahkan anak-anak mengkonsumsi MSG sebanyak 0,06 kg per anak per hari (Tarwotjo, 1979 cit. Winarno, 1990). Riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 77, 3 % penduduk Indonesia mengkonsumsi MSG lebih dari 1 kali perhari (Kemenkes, 2013). Konsesus FAO/WHO tahun 1974 menyepakati bahwa asupan harian MSG yang dapat diterima tubuh adalah 0-120 mg/kgBB.
82
V.3.2.2. Glutamat Glutamat merupakan neurotransmiter jenis asam amino yang terdistribusi secara meluas pada sistem saraf pusat maupun perifer. Glutamat memiliki peranan penting dalam perkembangan neuronal, plastisitas sinaps serta kemampuan belajar dan memori pada kondisi fisiologis (Burrin & Stoll, 2009; Wang & Qin, 2010; Kung et al., 2013). Glutamat berperan dalam penghantaran impuls baik pada serabut saraf aferen maupun serabut saraf eferen. Kung et al. (2013) berhasil membuktikan adanya glutamat sebagai neurotransmiter pada ganglion sensoris. Reseptor glutamat juga ditemui pada permukaan badan sel saraf sensoris dan pada permukaan sel glia satelit. Adanya glutamat di dalam badan sel saraf sensoris memungkinkan terjadinya transmisi glutamatergik yang bersifat lokal non sinaptik. Glutamat juga berperan dalam penghantaran impuls saraf pada neuron motorik. Hasil kultur neuron motorik tanpa jaringan otot serta celah neuromuskular menunjukkan adanya ekspresi transporter glutamat VGlut2. Pengamatan terhadap medulla spinalis menunjukkan glutamat berperan dalam aktivasi sinap antar neuron motorik serta pada neuron motorik yang berkaitan dengan celah neuromuskular (Zhang et al., 2011). Metabolisme utama glutamat yang berasal dari MSG terjadi di lambung, usus halus dan hepar. Sebagian besar glutamat yang masuk melalui jalur enteral akan mengalami metabolisme di usus halus pada enterosit (Reeds et al., 2000; Burrin & Stoll, 2009). Metabolisme glutamat di usus halus akan menentukan
83
kadar glutamat yang di absorbsi dan bersirkulasi melalui pembuluh darah. Peningkatan konsentrasi glutamat pada diet akan meningkatkan laju metabolisme glutamat di usus hingga mencapai kapasitas metabolisme glutamat. Konsentrasi glutamat di plasma darah sekitar 20 – 50 µM (Janeczko et al., 2007; Burrin & Stoll, 2009; Julio-pieper, et al., 2011). Konsentrasi glutamat pada ganglion trigeminal diatur oleh sel glia satelit melalui transporter untuk glutamat. Laursen et al. (2014) menemukan bahwa sel glia satelit mengekspresikan transporter EAAT 1 dan 2 pada permukaan selnya. Excitatory Amino Acid Transporter (EAATs) tersebut akan terekspresi di permukaan sel glia satelit apabila konsentrasi glutamat ekstra sel melebihi 2 µM atau adanya peningkatan kadar kalium di ekstra sel sehingga glutamat dilepaskan ke ekstra sel. Kadar glutamat pada ekstra sel yang tinggi dapat menyebabkan glutamat berubah peran dari neurotransmiter menjadi bersifat neurotoksik. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek peningkatan kadar glutamat di ekstra sel, terutama pada ganglion trigeminal. Gangguan yang terjadi dapat berupa nyeri pada regio wajah, kepala dan migrain (Gill & Pulido, 2005; Laursen et al., 2014) V.3.2.3. Nervus trigeminus (N.V) dan ganglion trigeminal V.3.2.3.1. Anatomi nervus trigeminus dan ganglion trigeminal Nervus trigeminus (N.V) merupakan cabang nervus kranialis yang berakar pada batang otak (area pons). Nervus trigeminus bercabang menjadi 3 yaitu nervus opthalmicus (N.V1), nervus maxillaris (N.V2) dan nervus mandibularis (N.V3), sehingga nervus tersebut mempersarafi regio mata, kepala, wajah dan
84
rongga mulut. Serabut saraf aferen nervus trigeminus (sensoris) menghantarkan stimulus sensoris dari regio kepala, rongga mulut dan wajah menuju ke pusat sensoris di otak (Moore, 2014; Lazarov, 2012). Neuron sensoris ganglion trigeminal memiliki morfologi yang spesifik yaitu berbentuk pseudounipolar Serabut saraf aferen neuron sensoris ganglion trigeminal menghantarkan informasi somato-sensori dari mekanoreseptor, termoreseptor dan reseptor nyeri pada wajah, rongga mulut dan hidung. Serabut saraf aferen akan bersinaps pada nukleus sensoris trigeminal di batang otak (Lazarov, 2009). Lagares & Avendano (2000) membedakan neuron sensoris pada ganglion trigeminal tikus berdasarkan bentuk, ukuran dan kepadatan sitoplasma menjadi: c. Neuron tipe A, neuron tipe ini berukuran besar dan sitoplasmanya cenderung jernih. Nukleolus terlihat gelap dan terletak di tengah nukleus. Nukleolus dikelilingi oleh badan Nissl yang berukuran kecil sampai sedang. d. Neuron tipe B, neuron tipe ini berukuran kecil sampai sedang. Sitoplasma terlihat gelap karena dipenuhi oleh badan Nissl yang terdistribusi merata dalam sitoplasma. Tidak jarang badan Nissl tersusun di perifer atau mengelilingi nukleus. V.3.2.3.2. Sel Glia Satelit Badan sel saraf N.V dikelilingi oleh sel-sel glia satelit yang peranannya menyerupai sel glia pada sel-sel saraf pusat. Sel-sel glia satelit membentuk suatu lapisan yang menyelubungi setiap badan sel saraf dan melekat pada neurolemma.
85
Sel glia satelit berbentuk laminar, tidak memiliki prosesus dan tidak memiliki kemampuan untuk mengahantarkan impuls. Jarak antara sel glia dan badan sel saraf adalah sekitar 20 nm. Terlihat adanya perpanjangan badan sel saraf, menyerupai mikrovili, yang menempel pada sel glia satelit. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan badan sel saraf sehingga memudahkan proses pertukaran zat diantara kedua sel tersebut (Krastev, 2007; Hanani, 2005). V.3.2.3.3. Penjalaran impuls saraf pada jalur trigeminal Penjalaran impuls saraf sensoris pada regio leher kepala sedikit berbeda dengan area di bawah leher. Stimulus sensori yang diterima oleh area orofasial akan diteruskan hingga ke sistem saraf pusat melalui melalui traktus trigeminothalamicus anterior, posterior serta jalur trigeminal spinalis. Sensasi taktil yang diterima pada regio orofasial akan dihantarkan oleh serabut saraf Aβ. Stimulus sensori yang bersifat nyeri akan diterima oleh serabut saraf Aδ dan C (Warren et al., 2007a; Warren et al., 2007b). V.3.2.4. Pengaruh monosodium glutamat terhadap neuron sensoris ganglion trigeminal Peningkatan konsentrasi glutamat pada cairan ekstrasel akan menyebabkan glutamat berubah perannya dari neurotransmiter menjadi bersifat neurotoksik. Pada serabut saraf sensoris, keadaan tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf berupa sensitisasi yang ditandai dengan adanya abnormalitas respon nyeri seperti hiperalgesia dan alodinia (Bridges et al.,. 2001; Purves et al., 2004). Hiperalgesia ditandai dengan nyeri hebat akibat stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri ringan atau dalam. Keadaan tersebut disebabkan
86
karena nosiseptor pada serabut saraf perifer mengalami hipereksitasi. Sedangkan adanya nyeri hebat yang muncul akibat stimulus ringan yang secara normal tidak menimbulkan nyeri dikatakan sebagai tanda-tanda alodinia. Alodinia terjadi akibat gangguan pengkodean stimulus yang ditangkap oleh serabut sensoris non nyeri (Bridges et al., 2001). Mekanisme gangguan respon nyeri pada tingkat seluler yang disebabkan adanya neurotoksika masih menjadi topik penelitian yang terus berkembang hingga saat ini. Gangguan fungsi neuron terkait glutamat melibatkan berbagai jalur mekanisme seluler. Gangguan fungsi neuron diawali dengan hilangnya homeostasis sel akibat disfungsi mitokondrial akut yang memicu kegagalan penyediaan energi secara besar-besaran. Gangguan fungsi neuron akan berkembang lebih lanjut hingga sel mengalami kematian. Kematian neuron melalui berbagai jalur baik nekrosis maupun apoptosis (Lau & Tymianski, 2010; Reichling & Levine, 2011). V.3.3. Landasan Teori Monosodium glutamat semakin banyak dikonsumsi masyarakat baik dalam masakan olahan ataupun makanan kemasan yang beredar di pasaran sebagai bahan penyedap rasa. Produksi MSG di Indonesia diawali dengan proses isolasi L-glutamat dengan menggunakan bahan dasar molase gula tebu. (Winarno, 1990; Ault, 2004). Sebagian besar glutamat yang masuk melalui jalur enteral akan mengalami metabolisme di usus halus pada enterosit. Metabolisme glutamat di usus halus akan menentukan kadar glutamat yang bersirkulasi melalui pembuluh darah yaitu sekitar 20 – 50 µM (Reeds et al., 2000; Burrin & Stoll, 2009; Julio-
87
pieper et al., 2011). Peningkatan konsentrasi glutamat dalam diet akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi glutamat di sirkulasi serta meningkatkan konsentrasi asam amino esensial lainnya yaitu alanin, arginin, prolin dan glutathion. Kelebihan glutamat pada ekstra sel akan diubah menjadi bentuk glutamin dan akan dibawa menuju ke neuron presinaptik (Burrin & Stoll, 2009; Julio-pieper et al., 2011). Glutamat sebagai neurotransmiter terdistribusi secara meluas pada sistem saraf pusat maupun sistem saraf perifer dan berperan dalam penghantaran stimulus nyeri maupun stimulus non nyeri pada serabut saraf sensoris. Kung et al. (2013) berhasil membuktikan adanya glutamat sebagai neurotransmiter pada ganglion sensoris. Reseptor glutamat yang ditemukan pada neuron sensoris ganglion trigeminal berupa reseptor ionotropik (NMDA, reseptor GluR5 dan KA2 (termasuk tipe reseptor kainat) serta reseptor metabotropik (mGluR1α, mGluR2/3 dan mGluR8) (Sahara et al., 1997; Julio-pieper et al., 2011; Larsen et al., 2014). Adanya glutamat di dalam badan sel saraf sensoris memungkinkan terjadinya transmisi glutamatergik yang bersifat lokal non sinaptik. Konsentrasi glutamat dipertahankan pada cairan ekstra sel atau celah antara neuron sensoris dan sel glia satelit sekitar 1-2 µM agar neuron pada ganglion trigeminal tidak mengalami kerusakan (Gill & Pulido, 2005; Laursen et al., 2014). Peningkatan konsentrasi glutamat pada ekstrasel akan menyebabkan glutamat tidak hanya berperan sebagai neurotransmiter tetapi dapat berubah sifatnya menjadi neurotoksik. Pada serabut saraf sensoris, keadaan tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi neuropatik berupa sensitisasi. Manifestasi
88
gangguan fungsi neuron pada serabut saraf sensoris adalah nyeri neuropati yang ditandai dengan adanya sensasi seperti terbakar dan diikuti dengan tanda-tanda abnormalitas respon sensoris seperti hiperalgesia dan alodinia (Bridges et al., 2001; Purves et al., 2004). Masuknya ion Ca2+ ke dalam neuron yang disebabkan oleh aktivasi reseptor NMDA menjadi awal dari jalur kerusakan neuron. Peningkatan konsentrasi Ca2+ di dalam sel akan menyebabkan gangguan fungsi berbagai organela seperti disfungsi mitokondria, stres retikulum endoplasmik, lisosom menjadi tidak stabil. Perubahan keseimbangan Ca2+ intra sel juga akan menyebabkan gangguan fungsi molekul sinyal di dalam sel seperti aktivasi faktor transkripsi, enzim yang tergantung oleh kalsium, protein kinase dan produksi ROS. Gangguan fungsi organela dan molekul sinyal di dalam sel akan memicu kematian sel secara autofagi, apoptosis dan atau nekrosis (Lau & Tymianski, 2010; Wang & Qin, 2010). V.3.4. Cara Penelitian Penelitian ini dilakukan secara eksperimental kuasi dengan rancangan post test group design untuk penghitungan jumlah neuron sensoris ganglion trigeminal dan pre-post test group design untuk pengukuran perubahan respon nyeri berupa hiperalgesia dengan uji tusukan jarum dan alodinia dengan uji hembusan udara. Variabel bebas penelitian ini adalah monosodium glutamat (MSG), sedangkan variabel terikat adalah jumlah neuron sensoris ganglion trigeminal yang dihitung dengan metode stereologi, respon hiperalgesia yang diuji dengan uji tusukan jarum dan respon alodinia yang diamati nilai ambangnya dengan uji hembusan udara.
89
Prosedur penelitian ini telah ditelaah dan disetujui oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan nomor KE/FK/66/EC/2016. Sebanyak 28 ekor tikus Wistar jantan (Rattus norvegicus) berusia 6-8 minggu (100-150 gram) dikelompokkan secara acak menjadi kelompok C (kontrol, 2 ml NaCl 0,9%), kelompok T1 (1 mg/g BB MSG dalam 2 ml NaCl 0,9%), kelompok T2 (2 mg/g BB dalam 2 ml NaCl 0,9%) serta kelompok T4 (4 mg/g BB dalam 2 ml NaCl 0,9%). Hewan coba diadaptasikan selama 7 hari dengan suasana kandang dan lingkungan di sekitar kandang yaitu dengan mempertahankan intensitas cahaya (12 jam terang dan 12 jam gelap). Pakan tikus diberikan secara ad libitum dan dikontrol setiap hari. Monosodium glutamat yang digunakan dengan konsentrasi 99+% MSG (PT. Sasa Inti, Probolinggo, Indonesia) sebanyak 1 mg/gBB; 2 mg/gBB; dan 4 mg/gBB dan dilarutkan dengan 2 ml NaCl 0,9% untuk setiap dosis MSG. Sediaan ini dibuat segar setiap hari sebelum perlakuan dimulai agar tidak terjadi kristalisasi (Prastiwi et al., 2015) Larutan MSG ini selanjutnya dipaparkan per oral dengan sonde. Paparan MSG dilakukan selama 30 hari pada ketiga kelompok perlakuan. Sedangkan kelompok kontrol hanya mendapatkan 2 ml NaCl 0,9% per oral. Perubahan respon sensoris yang diamati pada penelitian ini berupa respon hiperalgesia dan respon alodinia dan dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada hari ke8 dan 9 (pretest), pada hari ke-41 dan 42 (posttest 1) dan pada hari ke-55 dan 56 (posttest 2). Setiap uji diawali dengan proses habituasi 24 jam sebelumnya dan proses adaptasi pada alat penahan (Gambar 13). Untuk memudahkan dalam
90
menganalisa hasil uji maka setiap uji di rekam menggunakan video yang diputar 15 frame per detik. Uji ini dilakukan dengan memberikan stimulus nyeri kepada tikus dan diamati respon terhadap stimulus tersebut. Uji tusukan jarum menggunakan jarum injeksi ukuran 24 yang dibengkokkan 300 dan dipasangkan pada syringe. Syringe ditusukkan tanpa menembus kulit pada vibrissae pad kanan (Gambar 14). Tusukan dilakukan 2 kali pada setiap sisi dengan interval kurang dari 1 detik (Vos et al., 1994; Krzyzanowska et al., 2011). Setiap respon hewan coba ditentukan skornya yaitu: Skor 0
: tidak ada respon
Skor 1
: Respon non aversif, apabila hewan coba dapat mendeteksi sumber stimulus.
Skor 2
: Respon aversif ringan, apabila hewan coba dapat mendeteksi sumber stimulus dan memberikan respon mengelak.
Skor 3
: Respon aversif kuat, apabila hewan coba dapat mendeteksi sumber stimulus, memberikan respon mengelak dan melakukan gerakan menyerang atau melarikan diri
Skor 4
: Perilaku aversif berkelanjutan, apabila hewan coba dapat mendeteksi sumber stimulus, memberikan respon mengelak, melakukan gerakan menyerang atau melarikan diri, serta diikuti dengan gerakan mengusap wajah ipsilateral dengan region pemberian stimulus (lebih dari 3 usapan).
91
Uji hembusan udara adalah uji untuk mengetahui adanya perubahan nilai ambang alodinia. Hembusan udara dialirkan melalui jarum dengan ukuran 26 panjang 2 cm. Ujung jarum diletakkan 1 cm di depan vibbrisae pad kanan dengan sudut 900 (Gambar 15) (Jeon et al., 2012). Intensitas tekanan udara dikontrol menggunakan manometer terkalibrasi (PT. Multi Instrumentasi Mandiri, No. 4219/MIM/2015). Tekanan udara yang diberikan pada awal prosedur adalah sebesar 0,3 MPa dan menurun secara bertingkat dengan interval 0,025 MPa, hingga tidak menimbulkan respon mengelak (Vos, et al., 1994). Nilai ambang alodinia merupakan tekanan udara pertama yang tidak menimbulkan reaksi mengelak setelah pemberian hembusan udara secara bertingkat (semakin kecil) dimulai dengan kekuatan 0,3 MPa. Uji dilakukan sebanyak 10 kali untuk setiap tekanan udara dengan durasi masing-masing uji 4 detik dan interval 10 detik. Adanya reaksi mengelak sebanyak minimal 5 kali dari 10 kali percobaan menunjukkan adanya respon alodinia (Krzyzanowska et al., 2011). Pengambilan ganglion trigeminal dilakukan pada hari ke-61 dengan metode perfusi transkardial. Anestesi hewan coba menggunakan ketamin dengan dosis 0.15 cc/g BB. Fiksasi menggunakan PBS-paraformaldehida 4% hingga seluruh jaringan ganglion trigeminal terfiksasi. Organ ganglion trigeminal yang diperoleh disimpan dalam larutan PBS-paraformaldehida 4% selama 24 jam dan selanjutnya melalui proses dehidrasi, clearing dan ditanam dalam blok parafin. Dokumentasi foto organ ganglion trigeminal sebelum proses dehidrasi dan setelah proses clearing dilakukan sebagai data awal dan akhir untuk
92
perhitungan penyusutan volume ganglion trigeminal. Penyusutan dihitung dengan menggunakan grid yang diletakkan di atas foto ganglion trigeminal yang diambil sesaat setelah ekstraksi ganglion trigeminal dan foto ganglion trigeminal setelah proses clearing (Gambar 17). Perhitungan dilakukan dengan bantuan program ImageJ®. Penyusutan volume ganglion trigeminal dihitung dengan rumus berikut ini (Nyengaard, 1999): Penyusutan Volume = 1 − (
)1,5
Ganglion trigeminal dipotong melintang menggunakan mikrotom Leica RM 2235 (Biosystems Nussloch GmbH, Jerman) dengan ketebalan 3 µm secara serial. Potongan pertama yang menunjukkan area ganglion trigeminal dianggap sebagai slide pertama kemudian slide selanjutnya diberi nomor berurutan. Prosedur pengambilan slide untuk penghitungan jumlah neuron sensoris ganglion trigeminal dilakukan secara acak dan sistematis. Baku emas untuk penghitungan sel dengan metode stereologi adalah 5-10 pasang potongan, 50 lapang pandang dan 100 – 200 poin untuk setiap sampel (Boyce et al., 2010). Untuk mendapatkan baku emas tersebut maka jarak potongan adalah 30 potongan atau 90 µm. Preparat histologis teresebut diwarnai dengan toluidine blue 1%. Penghitungan jumlah neuron sensoris ganglion trigeminal menggunakan probe disektor fisik dengan nukleolus sebagai unit hitung. Total jumlah neuron sensoris ganglion diperoleh dari hasil perkalian volume ganglion trigeminal (Vref) dengan densitas neuron sensoris ganglion trigeminal (Nv). Pengamatan dilakukan dengan Mikroskop cahaya Olympus CX21FS1 (Olympus Singapore PTE, LTD)
93
dilengkapi dengan kamera digital (Optilab CX-21, Miconos Indonesia). Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 40 kali (untuk perhitungan volume) dan 400 kali (untuk perhitungan kepadatan neuron sensoris ganglion trigeminal). Perhitungan volume ganglion trigeminal dilakukan dengan prinsip Cavalieri. Program ImageJ® digunakan untuk perhitungan jumlah titik yang jatuh pada area ganglion trigeminal dengan menggunakan grid ukuran 21 mm x 21 mm dan dihitung jumlah point grid yang jatuh pada area ganglion trigeminal (Gambar 18). Volume ganglion trigeminal dihitung dengan rumus berikut: a Volume ganglion = T. . ΣP. (1 + penyusutan volume) p
Keterangan : T
= Jarak antar potongan (µm) = luas area per poin (µm2)
∑P = jumlah total titik yang terletak di regio ganglion trigeminal Penghitungan densitas neuron sensoris ganglion trigeminal dilakukan dengan menggunakan probe disektor fisik. Penghitungan densitas neuron sensoris ganglion trigeminal diawali dengan proses pengambilan sampel lapang pandang secara acak dan sistematis sehingga diperoleh minimal 50 lapang pandang dari setiap hewan coba. Area ganglion trigeminal yang tidak ditempati oleh neuron tidak dimasukkan dalam pengambilan sampel lapang pandang. Bingkai hitung dengan ukuran lebih kecil dari lapang pandang (ukuran 75 mm x 75 mm) diletakkan pada gambaran neuron sensoris ganglion trigeminal yang akan dihitung. Nukleolus neuron sensoris yang dihitung adalah apabila terlihat pada test section tetapi tidak terlihat pada look-up
94
section. Penghitungan nukleolus dilanjutkan dengan menukar slide yang menjadi test section menjadi look-up section dan slide yang awalnya menjadi look-up section menjadi test section (Gambar 18). Densitas sel (Nv) dihitung dengan rumus berikut: Nv =
∑Q a. h. (1 + penyusutan volume)
Nv = densitas neuron sensoris ganglion trigeminal ∑ Q- = jumlah total penghitungan nukleolus a
= luas area total test section (µm2)
h
= tebal pemotongan / ketebalan disektor (µm) Data penelitian akan dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi
16 (IBM Company). Data numerik pada penelitian ini, yaitu perubahan berat badan, nilai ambang alodinia, volume ganglion trigeminal dan jumlah neuron sensoris ganglion trigeminal diuji normalitas data dan homogenitas varian sebagai syarat uji beda ANOVA. Data nilai ambang alodinia tidak terdistribusi normal, hasil transformasi data tidak dapat membat data terdistribusi normal sehingga analisis data menggunakan analisis non parametrik yaitu Uji Kruskall-Wallis dan Uji Friedman. Respon hiperalgesia yang tersaji dalam bentuk skor (data ordinal) dibandingkan antar waktu uji (pretest, posttest 1 dan posttest 2) menggunakan Friedman’s Test serta diuji perbedaan antar kelompok menggunakan uji KruskallWallis. V.3.5. Hasil Penelitian dan Pembahasan
95
Tabel 2 menunjukkan peningkatan berat badan pada semua hewan coba di akhir pemberian MSG. Uji one-way ANOVA menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna antar kelompok perlakuan (p> 0,05). Respon hiperalgesia ditandai dengan perubahan skor uji tusukan jarum sebelum pemberian MSG (pre test), sesaat setelah pemberian MSG (post test 1) dan 14 hari setelah pemberian MSG (post test 2). Analisis uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna skor uji tusukan jarum antar kelompok (p>0,05). Respon alodinia ditandai dengan adanya penurunan nilai ambang tekanan udara yang menyebabkan reaksi mengelak oleh hewan coba. Hasil analisis uji Saphiro-Wilk menunjukkan bahwa data nilai ambang alodinia tidak terdistribusi normal (p<0,05). Hasil uji Kruskal Wallis tidak menunjukkan perbedaan nilai ambang alodinia antar kelompok sebelum perlakuan (pretest), pada hari ke-42 (posttest 1) dan hari ke-56 (posttest 2) yang bermakna (p>0,05). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian glutamat terhadap terjadinya sensitisasi serabut saraf aferen dan hasilnya bervariasi tergantung pada dosis, rute pemberian dan durasi pemberian MSG (Miller et al., 2011). Dosis MSG per oral yang diberikan pada penelitian ini termasuk dosis toksisitas rentang rendah sampai dengan tinggi sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Baad-Hansen, et al., 2009; Shimada et al., 2015). Hasil konversi dosis penelitian ini pada manusia dengan berat 60 kg menunjukkan bahwa dosis tersebut mencapai 38.4 g MSG/hari. Dosis MSG tersebut telah melebihi ADI (Acceptable Daily Intake) menurut FAO/WHO (1974) yaitu 120 mg/gBB serta melebihi rerata konsumsi MSG di Indonesia dan
96
di kota-kota besar dunia seperti di negara-negara Eropa (0,3 sampai 0,5 g/hari), di Jerman (10 g per hari) dan negara-negara Asia (1,2 - 1,7 g/hari) (Beyreuther et.al., 2007). Konsumsi MSG harian masyarakat Indonesia kemungkinan dapat mencapai angka tersebut bahkan lebih tinggi dikarenakan tidak adanya keterangan jumlah MSG yang ditambahkan dalam makanan olahan (Cemaluk et al., 2010). Rute pemberian MSG pada subjek penelitian memberikan efek sensitisasi serabut saraf aferen yang berbeda-beda. Injeksi glutamat 1 M secara intramuskular menimbulkan sensitisasi serabut aferen musculus masseter dan menurunkan ambang mekanik musculus masseter hingga 50% ketika diukur 30 menit setelah injeksi (Cairns et al., 2002). Cairns et al. (2007) menunjukkan bahwa injeksi intravena MSG dengan dosis 50 mg/kgBB dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi glutamat interstisial musculus masseter sehingga terjadi sensitisasi serabut aferen musculus masseter serta penurunan nilai ambang mekanik musculus masseter. Injeksi 500 mM glutamat intraganglia pada ganglion trigeminal menyebabkan sensitisasi serabut afferen dan terbukti bermakna menimbulkan penurunan nilai ambang mekanik musculus masseter (Laursen et al., 2014). Pemberian glutamat per oral menunjukkan hasil yang berbeda dari pemberian secara parenteral. Pemberian larutan MSG 75 mg/kgBB atau 150 mg/kgBB per oral pada 14 laki-laki sehat tidak menyebabkan nyeri otot dan perubahan sensitivitas mekanik 2 jam setelah mengkonsumsi MSG per oral. Penelitian Shimada et al. (2015) yang memberikan larutan MSG 150 mg/kgBB per oral selama 5 hari menyebabkan peningkatan konsenstrasi glutamat interstisial
97
pada hari ke-5 tetapi tidak dapat menunjukkan perubahan sensitivitas musculus masseter. Monosodium glutamat yang diberikan per oral akan mengalami metabolisme di usus halus pada enterosit. Metabolisme glutamat di usus halus akan menentukan kadar glutamat yang bersirkulasi melalui pembuluh darah yaitu sekitar 20 – 50 µM (Reeds et al., 2000; Burrin & Stoll, 2009; Julio-pieper et al., 2011). Durasi paparan MSG juga memainkan peranan penting dalam peningkatan konsentasi glutamat pada jaringan target. Pada penelitian ini MSG diberikan per oral selama 30 hari dengan harapan terjadi akumulasi kelebihan glutamat pada ganglion trigeminal sehingga terjadi sensitisasi perifer dan terjadi perubahan respon nyeri alodinia dan hiperalgesia. Adanya metabolisme menyebabkan peningkatan konsentrasi glutamat pada ganglion trigeminal diasumsikan belum mencapai 500 mM sehingga belum terlihat perubahan respon nyeri pada regio orofasial berupa alodinia dan hiperalgesia. Hasil perhitungan volume ganglion trigeminal menunjukkan adanya penurunan volume ganglion trigeminal pada kelompok perlakuan (Tabel 5). Hasil analisis one-way ANOVA menunjukkan tidak adanya perbedaan volume ganglion trigeminal antar kelompok yang bermakna (p=0,860). Estimasi jumlah neuron sensoris ganglion trigeminal terlihat pada Tabel 6 dan 7. Uji beda one-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan penurunan jumlah neuron tipe A maupun tipe B ganglion trigeminal yang bermakna antar kelompok (p>0,05). Hasil analisis estimasi presisi menunjukkan bahwa efektivitas kerja
98
selama prosedur stereologi masih rendah (CE2/CV2 neuron tipe A = 0,12 dan CE2/CV2 neuron tipe B = 0,11). Pemberian MSG dengan dosis 1 mg/gBB, 2 mg/gBB dan 4 mg/gBB selama 30 hari belum dapat menunjukkan penurunan volume ganglion trigeminal, penurunan jumlah neuron sensoris tipe A dan tipe B yang bermakna. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kelebihan glutamat baik pada akhiran serabut saraf aferen maupun pada ganglion trigeminal dapat diregulasi dengan baik oleh sel glia satelit. Sel glia satelit bertanggung jawab untuk menjaga konsentrasi glutamat pada ekstra sel atau celah antara neuron sensoris dan sel glia satelit sekitar 1-2 µM melalui transporter EAATs. Excitatory Amino Acid Transporter (EAATs) tersebut akan terekspresi di permukaan sel glia satelit apabila konsentrasi glutamat ekstra sel melebihi 2 µM atau adanya peningkatan kadar kalium di ekstra sel sehingga glutamat dilepaskan ke ekstra sel. Adanya gangguan pada transporter glutamat di sel glia satelit yaitu EAATs memicu terjadinya peningkatan konsentrasi glutamat pada ganglion trigeminal sehingga terjadi kerusakan neuron sensoris dan sensitisasi pada musculus masseter (Gill & Pulido, 2005; Laursen et al., 2014). Penelitian serupa pada sistem saraf pusat dengan parameter biokimiawi menunjukkan hasil yang berbeda. Abas dan El-Haleem (2011) memberikan MSG dengan dosis tunggal sebesar 0,83 mg/g BB selama 28 hari dan hasil pemeriksaan histologis menunjukkan adanya pembentukan vakuola dan piknosis sel pyramidal cortex frontalis. Meskipun tidak menunjukkan penurunan jumlah sel pyramidal, tetapi terlihat adanya ekspresi Bax pada sel pyramidal yang menunjukkan
99
terjadinya apoptosis. Dief et al. (2014) memberikan MSG dosis tunggal sebesar 2 mg/gBB selama 10 hari berturut-turut dan hasilnya menunjukkan adanya tandatanda kerusakan hippocampus tikus berupa peningkatan ekspresi Fas-ligand sebagai mediator apoptosis. Penurunan AMPK dan penumpukan β-amyloid pada hippocampus tikus menunjukkan adanya toksisitas hippocampus akibat pemberian MSG. V.3.6. Kesimpulan 1. Pemberian MSG per oral hingga dosis 4 mg/gBB tidak menimbulkan perubahan respon nyeri yang bermakna pada regio orofasial tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan. 2. Pemberian MSG per oral hingga dosis 4 mg/gBB tidak menimbulkan penurunan jumlah neoron sensoris ganglion trigeminal tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan.