BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, sedang giat melaksanakan pembangunan di segala bidang baik pembangunan yang bersifat fisik maupun non fisik dan tidak jarang menimbulkan berbagai masalah. Agar pelaksanan pembangunan itu tersebut mencapai hasil yang maksimal maka pemerintah daerah menyerahkan pelaksanaan pembangunan tersebut kepada perusahaan-perusahaan tertentu yang memiliki spesifikasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh pemerintah. Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan, pekerjaan yang dilakukan untuk pembangunan ini bersifat fisik dan juga non fisik. Sarana tersebut berfungsi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Proyek konstruksi dikelola oleh sekelompok orang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Setiap proyek dikelola oleh tim yang terdiri dari manajer proyek (project manager), site manager, teknik, administrasi kontrak, 1
Universitas Sumatera Utara
personalia dan keuangan. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi maka terjadinya konflik sangat besar sehingga dapat dikatakan bahwa proyek konstruksi mengandung konflik yang cukup tinggi.1 Didalam pelaksanaan berbagai pembangunan yang bersifat fisik, pihak pemberi kerja menginginkan agar suatu sarana bangunan yang di bangun itu dapat diselesaikan tepat waktu dan sasuai seperti yang tertera di dalam kontrak serta mempunyai mutu yang baik dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama. Untuk mencapai keinginan tersebut telah di lakukan berbagai upaya antara lain dengan mengadakan penilaian terhadap bonafiditas calon kontraktor yang akan melaksanakan pekerjaan melalui prakualifikasi dan pelelangan. Dalam praktek hal ini belum terlaksana dengan baik dan masih menyimpang dari berbagai ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan pembuatan wujud fisik lainnya, meliputi keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan untuk mewujudkan selain bangunan antara lain, namun tidak terbatas pada: 2 a. Konstruksi bangunan kapal, pesawat atau kendaraan tempur b. Pekerjaan yang berhubungan dengan persiapan lahan, penggalian dan/atau penataan lahan (landscaping) c. Perakitan atau instalasi komponen pabriksasi d. Penghancuran (demolition) dan pembersihan (removal)
1
Wulfram I. Ervianto, Manajemen Proyek Konstruksi, Penerbit Andi, Edisi Revisi, Yogyakarta, 2005, hal. 11 2 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (penjelasan pasal 4 huruf b)
Universitas Sumatera Utara
e. Reboisasi Usaha jasa pemborongan sudah lazim digunakan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam hal ini sebagai bouwheer dalam pekerjaan proyek berskala besar. Maka para pihak yang memiliki pekerjaan (owner/bouwheer) dan pemborong (kontraktor), terikat dalam suatu bentuk perjanjian pemborongan tentang pembuatan suatu karya (het maken van werk).3 Ketentuan mengenai perjanjian pemborongan telah diatur dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. 4 Sebelum ditentukan pemborong mana yang dipilih untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintah, terlebih dahulu haruslah dilakukan prakualifikasi terhadap calon-calon pemborong yang ada. Perbuatan prakwalifikasi pemborong ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dasar perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum dimana mereka mempunyai usaha pokok berupa pelaksanaan pekerjaan pemborongan, konsultasi dan pengadaan barang/jasa lainnya.5
3
FX. Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 5 4 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, hal 391. 5 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 170
Universitas Sumatera Utara
Prakwalifikasi adalah sebelum ditentukan pemborong mana yang dipilih untuk mengerjakan proyek proyek pemerintah, terlebih dahulu haruslah dilakukan prakwalifikasi
terhadap
calon-calon
pemborong
yang
ada.
Prakwalifikasi
dimaksudakan untuk mengetahui kemampuan dasar perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum, maupun yang tidak berbentuk badan hukum dimana mereka mempunyai usaha pokok berupa pelaksanaan pekerjaan pemborongan, konsultasi dan pengadaan barang/ jasa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam proses prakwalifikasi pemborong yaitu: 1. Registrasi : a. data administrasi. b. data keuangan. c. data personalia. d. data peralatan. e. data perlengakapan. f. data pengalaman dalam melakukan pekerjaan. 2. Klasifikasi: ini merupakan pengggolongan perusahaan menurut bidang, sub bidang dan lingkup pekerjaannya. 3. Kualifikasi: proses penilaian dan penggolongan perusahaan menurut tingkat kemampuan dasarnya pada masing-masing bidang, sub bidang dan lingkup pekerjaannya/ yang menjadi spesialisasinya.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum pekerjaan mulai dilaksanakan oleh kontraktor terlebih dahulu pemberi kerja membuat perjanjian pemborongan (kontrak) dengan pihak perusahaan jasa konstruksi yang akan bertindak sebagai kontraktor. Dalam proyek konstruksi harus mempunyai dokumen kontrak
yang terdiri dari gambar kontrak (contract
drawing), spesifikasi (spesification), syarat-syarat umum kontrak (general condition of contract), dan risalah penjelasan pekerjaan pemborongan (formal agreement). Perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun lisan. Dalam praktek, apabila perjanjian pemborongan menyangkut biaya yang besar, biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis. Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu sebagai berikut: 1.
Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian semacam ini hanya mengikat para pihak dalam perjanjian tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal oleh pihak ketiga, maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian tersebut berkewajiban untuk mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga adalah tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan;
2.
Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak;
3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu: 6 a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu b. Perjanjian kerja/perburuhan c. Perjanjian pemborongan pekerjaan Untuk proyek-proyek Pemerintah, perjanjian pemborongan biasanya dibuat secara tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir-formulir tertentu. Perjanjian yang dibuat dengan formulir-formulir tertentu disebut perjanjian standar. Perjanjian pemborongan dibuat dengan Perjanjian Standar, karena hal ini menyangkut Keuangan Negara yang besar jumlahnya dan untuk melindungi keselamatan umum. Arti perjanjian standar adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan peraturan standar. Perjanjian pemborongan diatur dalam Pasal 1601 b, Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616 KUHPerdata dan UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Perjanjian pemborongan dibuat dengan perjanjian standart, yaitu perjanjian yang dibuat berdasarkan peraturan standart. Adapun peraturan standart untuk perjanjian pemborongan yaitu: AV.1941 (singkatan dari Algemene Voorwarden voor de uitvoering bij aanneming van openbare werken in Indonesia) artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.
6
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesepuluh, Bandung, 1995,
hal. 57
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang berarti bahwa yang bersangkutan haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Sehingga apabila haknya tidak dipenuhi secara sukarela, dia berhak menuntut melalui pengadilan supaya orang yang bersangkutan dipaksa untuk memenuhi atau menegakkan haknya.7 Perjanjian pemborongan pekerjaan dibedakan dalam dua macam, yaitu: 8 a. Dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut b. Dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja. Adapun perjanjian pemborongan yang terdapat di dalam penulisan tesis ini adalah perjanjian antara CV. Dina Utama dengan Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara selaku pemilik pekerjaan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara No. 188.44/134/KPTS/2010 tanggal 25 Februari 2010 yang bertujuan untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan saluran drainase perbatasan medan – Deli Serdang di dusun I Pauh Hamparan Perak Kab. Deli Serdang sepanjang 1500 meter. Dalam perjanjian antara pemberi kerja atau bouwheer dengan kontraktor, sering dijumpai bentuk perjanjian yang belum saling menguntungkan para pihak yang mengadakan perjanjian, dimana perjanjian belum berpihak pada kontraktor, yaitu
7
I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin divisi dari Kesaint Blanc, Jakarta, 2003, hal. 23 8 R Subekti , Op.Cit, hal. 65
Universitas Sumatera Utara
perjanjian yang dalam klusula-klausulanya selalu menguntungkan kepentingan pihak bouwheer atau pemberi kerja. Menurut pasal 1601 b KUH Perdata (kitab Undang-undang Hukum Perdata), perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu, (si pemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, (pihak yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian pemborongan yaitu: pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan atau prinsipal, (bouwheer, Kepala Kantor, satuan Kerja, Pemimpin Proyek); dan pihak kedua disebut pemborong atau Rekanan, Kontraktor.9 Saat ini pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang dan jasa termasuk didalamnya jasa pemborongan, yang seluruh biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), harus mengacu kepada ketentuan perundang-undangan yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan milik pemerintah sering terjadi wanprestasi. Wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan merupakan 9
FX. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal 3
Universitas Sumatera Utara
fenomena yang sering terjadi dalam praktek. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi, bisa karena faktor kesalahan para pihak maupun diluar kesalahan para pihak. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi intuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Akan tetapi yang jelas bagaimanapun dengan terjadinya wanprestasi, masyarakat pasti dirugikan karena tidak juga dapat menikmati manfaatnya. Dalam pelaksanaan jasa pemborongan terhadap proyek-proyek pemerintah, harus diketahui kemampuan dasar pemborong atau penyedia jasa sesuai dengan spesialisasinya. Kegiatan menilai kemampuan dasar pemborong, sesuai dengan pekerjaan yang menjadi spesialisasinya tersebut dinamakan klasifikasi.10 Oleh karena itu dalam praktek pada umumnya, pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan dilakukan berdasarkan prinsip persaingan sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan pelelangan umum atau terbatas. Selain itu dalam pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan, tidak tertutup kemungkinan adanya keterlambatan, kelalaian dari salah satu pihak (wanprestasi), baik secara sengaja maupun karena keadaan memaksa (force majeur/overmacht). Seringkali terjadi bahwa setelah ditunjuknya pihak kontraktor maka kontraktor tersebut selanjutnya akan menunjuk pihak subkontraktor untuk disubkan
10
FX.Djumaialdji, Op.Cit, hal 38.
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari kontrak tersebut. Dan ini memang sudah lazim dilakukan dan diterima dalam praktek.11 Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai ‘keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk (lihat pasal 1244 KUHPerdata). Dari rumusan pasal tersebut dapat dilihat kausa-kausa force majuere menurut KUHPerdata, yaitu sebagai berikut: 1. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga Dalam hal ini, menurut Pasal 1244, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya di pihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan dalam termasuk kedalam kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beritikad jahat, di mana dalam hal ini debitur tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya. 2. Force majeure karena keadaan memaksa Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan force majeure sehingga dia tidak perlu bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa (lihat pasal 1245 KUH Perdata). 11
Munir Fuady, Op. Cit, hal 183
Universitas Sumatera Utara
3. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang12 Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh perundang-undangan yang berlaku). Maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (Pasaal 1245 KUH Perdata). Wujud wanprestasi bisa berupa: debitur sama sekali tidak berprestasi, debitur keliru berprestasi, debitur terlambat berprestasi.13 Maksud dari debitur dalam hal ini adalah pihak kontraktor. Namun karena yang namanya ganti rugi itu adalah untuk mengganti apa seharusnya dalam keadaan normal akan diperoleh kreditur, kalau debitur tidak wanprestasi maka tuntutan ganti rugi, sebagai akibat sita jaminan.14 Timbulnya wanprestasi dapat terjadi karena a. kesengajaan, b. kelalaian, c. tanpa sengaja. Wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim.15 Disamping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian) tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain 12
Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut pandang Hukum Bisnis), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 114 13 J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 122 14 Ibid, hal. 181 15 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 45
Universitas Sumatera Utara
dalam kontrak atau dalam Undang-undang, maka wanprestasi nya si debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur (lihat pasal 1238 KUH Perdata). Akta lalai ini adalah khas dari negara-negara yang tunduk kepada Civil Law seperti prancis, Jerman, Belanda dan karenanya juga Indonesia. Akta lalai ini sering disebut dengan somasi. Somasi merupakan teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berhutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesusai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Tenggang waktu penyampaian somasi dilakukan maksimal tiga kali dalam waktu 90 hari, jika waktu ini terlewati dan ternyata prestasi juga tidak dipenuhi maka barulah dikatakan pihak tersebut melakukan wanprestasi dan karenanya dapat dituntut ke pengadilan. Di samping itu, untuk menghindari terjadinya wanprestasi juga dilakukan pengawasan yang ketat agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam kenyataannya hal ini belum sepenuhnya dilaksanakan dan masih menyimpang dari berbagai petunjuk yang telah ditentukan dan berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku. Kenyataan diatas menyebabkan banyak bangunan fisik yang di bangun tidak dapat diselesaikan sesuai kontrak dan tidak dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu seperti yang di rencanakan. Hal ini disebabkan karena kualitas dari bangunan itu memiliki mutu yang rendah dan dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstruksi. Di dalam proyek konstruksi , kontraktor harus menyerahkan jaminan sebelum melakukan pekerjaan di bidang konstruksi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 1820 dan 1316 KUH Perdata, definisi jaminan adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berhutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perhutangan ataupun mengganti kerugian si berhutang manakala si berhutang melakukan wanprestasi. Jenis jaminan dalam proyek konstruksi adalah jaminan penawaran (Bid Bond), jaminan uang muka (Advance Payment Bond), jaminan pelaksanaan (Performance Bond), jaminan pembayaran (Payment Bond), Jaminan pemeliharaan (Maintenance Bond), Retensi (Retention).16 Perjanjian jasa pemborongan pekerjaan pembangunan saluran drainase perbatasan Medan – Deli Serdang di dusun I Pauh Hamparan Perak Kab. Deli Serdang sepanjang 1500 meter, antara antara CV. Dina Utama dengan Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara sebagai pengguna jasa yang telah dituangkan dalam Surat Perjanjian (Kontrak), dalam pelaksanaannya terdapat kekurangan fisik pekerjaan pada lima paket pekerjaan saluran/dreinase, terlambatnya dalam hal penyelesaian pekerjaan dan adanya jaminan pelaksanaan yang belum dicairkan. Suatu hal yang menarik dari hal ini adalah apabila ternyata pihak kontraktor tidak menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana waktu yang telah ditentukan maka pihak pemberi kerja dapat mengambil tindakan hukum sebagaimana yang diterangkan dalam perjanjian kerja yang disepakati oleh para pihak. Hal-hal diatas inilah yang menjadi latar belakang sehingga penulis ingin meneliti masalah wanprestasi perjanjian pemborongan dan berbagai masalah yang 16
Wulfram I. Ervianto, Op. Cit., hal 86
Universitas Sumatera Utara
melingkupinya, maka perlu diadakannya penelitian lebih lanjut tentang perjanjian khususnya wanprestasi dalam perjanjian pemborongan yang saya tuangkan dalam judul tesis, yaitu “Wanprestasi dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Milik Pemerintah antara CV. Dina Utama dengan Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
pelaksanaan
perjanjian
pekerjaan
pemborongan
milik
pemerintah antara CV. Dina Utama dengan Dinas Penataan Ruang Dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dalam pembangunan saluran drainase di Kabupaten Deli Serdang ? 2. Bagaimanakah wanprestasi dalam pelaksanaan pemborongan pekerjaan milik Pemerintah yang dilaksanakan oleh CV. Dina Utama? 3. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara?
C. Tujuan Penelitan Berdasarkan kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat di kemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian pekerjaan pemborongan milik pemerintah antara CV. Dina Utama dengan Dinas Penataan Ruang Dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dalam pembangunan saluran drainase di Kabupaten Deli Serdang 2. Untuk mengetahui wanprestasi dalam pelaksanaan pemborongan pekerjaan milik Pemerintah yang dilaksanakan oleh CV. Dina Utama. 3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan mendukung teori yang telah ada, dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan bagi pengembangan intelektual dan memperkaya kajian di bidang Hukum Perdata, khususnya mengenai perjanjian pemborongan kerja. 2. Secara praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah yang berarti dalam kajian Hukum Perdata, dan dapat pula digunakan sebagai tambahan informasi bagi pihak instansi Pemerintah dan Swasta, akademisi, serta masyarakat pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya, yang tertarik dengan masalah ini, untuk melakukan penelitian atau pengembangan yang lebih baik di masa yang akan datang.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Wanprestasi dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Milik Pemerintah antara CV. Dina Utama dengan Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Perjanjian Pemborongan namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran yang bersifat membangun dan konstruktif. Penelitian serupa yang pernah dilakukan namun berbeda rumusan masalahnya adalah, sebagai berikut: 1.
Khairani NIM : 943105012 dengan judul “Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan dalam Usaha Jasa Konstruksi (Suatu Studi di Kotamadya Banda Aceh)”, dengan rumusan permasalahan:
Universitas Sumatera Utara
a. Bagaimanakah prosedur yang dilakukan sebelum pelaksanaan perjanjian pemborongan bangunan? b. Bagaimanakah hubungan hukum dan kedudukan para pihak dalam perjanjian pemborongan bangunan? c. Bagaimana kaitannya dengan keterlibatan subkontraktor serta faktor-faktor apah
yang
menyebabkan
terjadinya
wanprestasi
dalam
perjanjian
pemborongan? 2.
Nanik Triuntami NIM : 002111032 dengan judul “Perlindungan terhadap pihak
kontraktor
dalam
perjanjian
pemborongan
(Studi
Kasus
Perjanjian antara PT. Barata Indonesia Medan dan Pertamina)”, dengan rumusan permasalahan: a. Bagaimanakah
bentuk,
proses
dan
asas
pelaksanaan
perjanjian
pemborongan antara pemberi kerja dengan kontraktor? b. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab tidak terlaksananya perjanjian pemborongan secara efektif? c. Bagaimanakah perlindungan hukum pihak kontraktor apabila terjadi cidera janji dan pemutusan kontrak?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum juga mengalami perkembangan. Hukum tidak sebatas berfungsi
Universitas Sumatera Utara
meneguhkan pola-pola yang sudah ada, tetapi juga melakukan perubahan ke arah kebutuhan masa depan.17 Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia.18 Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.19 Teori hukum sendiri tidak boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah direkonstruksi kehadiran teori hukum secara jelas.20 Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,21 yang merupakan masukan bersifat eksternal dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, paling tidak terdapat 4 (empat) kegunaan kerangka teoritis bagi suatu penelitian sebagai berikut:
17
Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, 2009, hal. 1 18 H.R.Otje Salman-Anthon F.Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 22 19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 254. 20 Ibid, hal. 253. 21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, C.V. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
a. Teori
tersebut
berguna
untuk
lebih
mempertajam
atau
lebih
mengkhususkan fakta yang kehendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisidefinisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.22 Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu. 23 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.24 Pada hakikatnya, teori merupakan serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam system deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas sesuatu gejala. Umumnya terjadi 3 (tiga) elemen dalam suatu teori: 25
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 121. J. J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 2. 24 J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas, editor M. Hisyam, FE UI, Jakarta, 1996, Hal. 203. 25 Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebgai Perjanjian Tak Bernama Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Bandung, 1999, hal. 16. 23
Universitas Sumatera Utara
a. Penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam teori. b. Teori menganut system deduktif, yaitu suatu yang bertolak dari suatu yang umum (abstrak) menuju suatu yang khusus dan nyata. c. Bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakan. Dengan demikian, untuk kebutuhan penelitian, maka fungsi teori adalah mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini teori perjanjian sangat relevan untuk ditinjau dari hukum perdata, sebab menurut ketetapan undang-undang hukum perdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat. Perjanjian Menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah : 26 “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Pengertian perjanjian di atas belumlah lengkap dan terlalu luas, belum lengkap karena perumusan diatas hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena cakupan rumu san di atas bisa saja keluar dari maksud perjanjian dalam KUH Perdata yakni pada lapangan hukum kekayaan. Sehingga pasal 1313 KUHPerdata tidak dapat diajukan acuan dalam memperoleh pengertian perjanjian. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
26
Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
suatu hal mengenai harta kekayaan.27 Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat sebagaimana yang disebut dalam pasal 1320 KUHPerdata yakni: a. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ; b. Cakap untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Pada dasarnya setiap orang bebas untuk melakukan sesuatu, selama itu tidak terlarang, sebagaimana dikemukakan oleh J. Satrio: 28 “Asas kebebasan berkontrak, memang asas yang baik dan sangat patut, tetapi kalau para pihak saling mengikatkan diri kedudukannya – seperti yang ada kalanya dilihat dalam praktek – tidak seimbang, maka kebebasan itu dapat – melalui cara-cara yang tak dibenarkan – menghasilkan suatu perjanjian yang berat sebelah, yang dirasakan terlalu memberatkan dan karenanya dirasakan tidak patut adanya kelebihan ekonomis ataupun psikologis pada salah satu pihak dalam perjanjian yang memungkinkan, bahwa salah satu pihak lebih dominan dalam menentukan syarat-syarat perjanjian, seperti yang sering tampak pada perjanjian-perjanjian standard, sehingga pihak yang lain hanya ada kesempatan untuk menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya…”. Kebebasan berkontrak pada intinya mengandung pengertian bahwa para pihak bebas memperjanjikan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Lebih jauh lagi para pihak yang
membuat
perjanjian
mempunyai
posisi
yang
setara
dalam
memperjuangkan hak dan kewajibannya, sehingga menjadi seimbang hak dan
27
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 225. 28 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 149.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban diantara para pihak. Mengenai sebab dari suatu perjanjian haruslah halal, hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.29 Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas-asas yaitu: 30 a. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak) Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Di dalam hukum perjanjian nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan
ini
tetap
perlu
dipertahankan,
yaitu
“pengembangan
kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kepribadian hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. b. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
29
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1985, hal. 88. 30 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996, hal. 108-118.
Universitas Sumatera Utara
c. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam suatu perjanjian terkandung suatu asas mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. d. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. e. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihakpihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, walaupun tidak mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila suatu saat ada pihak yang tidak mengakui adanya perjanjian tersebut sehingga
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan sengketa, maka hakim akan menyatakan perjanjian itu batal. Syarat pertama dan kedua yakni kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek pelaku sedangkan syarat kedua merupakan syarat obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian.31 Teori keadilan berbasis perjanjian yang dianut oleh John Rawls menyebutkan keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan perjanjian, dimana asas-asas keadilan yang dipilih bersama benar-benar merupakan kesepakatan bersama para pihak, bebas, rasional dan sederajat.32 Melalui pendekatan perjanjian dari sebuah teori keadilan mampu untuk menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual haruslah dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.33 Dalam perkembangannya kebebasan berkontrak, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining power yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang mempunyai bargaining power lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungan dirinya sendiri. syarat-syarat atau ketentuanketentuan dalam kontrak semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan
31
Ibid Agus Yudha Hernoko, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang. Mediantama, Yogyakarta. 2008., hal. 43. 33 Ibid., hal. 43 32
Universitas Sumatera Utara
yang adil dan layak. Di dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki bargaining power yang seimbang sehingga Negara perlu campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah.34 Terkait dengan prinsip kepatuhan hukum dalam suatu tata kelola yang baik, maka secara hukum perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana sebenarnya perkembangan teori dan konsep tanggung jawab hukum serta perbuatan melawan hukum yang memberikan hak kepada pengguna sistem untuk menuntut ganti rugi terhadap penyelenggara sistem yang merugikan kepentingannya. Umumnya konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk kepada tanggung jawab dalam bidang hukum publik (mencakup tanggung jawab hukum administrasi negara dan tanggung jawab hukum pidana), serta tanggung jawab hukum privat (perdata). Mengingat fokus yang akan dibahas dalam tesis ini adalah Wanprestasi dalam perjanjian pemborongan kerja milik pemerintah, maka akan dibahas tanggung jawab pelaku usaha terhadap sustu perbuatan yang bersifat melawan hukum. Secara umum dapat dibedakan adanya dua jenis tanggung jawab dalam hukum perdata berdasarkan hukum perikatan, yakni: (a) tanggung jawab huku karena perjanjian/hubungan kontraktual (privity of contract), dan b. tanggung jawab karena Undang-undang.
34
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
2. Kerangka Konsepsi Konsepsi merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan pernulis. Konsep dasar yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini, antara lain: 1. Wanprestasi adalah suatu bentuk tidak terlaksananya suatu perjanjian dengan baik akibat dari kelalaian salah satu pihak. Wanprestasi atau yang kadang disebut dengan cidera janji adalah kebalikan dari pengertian prestasi, dalam bahasa inggris sering disebut dengan istilah default atau non fulfillment atau breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam kontrak bersangkutan. Konsekwensi dari yuridis dari tindakan wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan wanprestasi.35 Para sarjana mendefinisikan ingkar janji ke dalam pengertian wanprestasi. Atau ingkar janji menjadi tiga bentuk, yaitu 36: a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. b. Terlambat memenuhi prestasi
35 36
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 17 Ibid. Hal. 17
Universitas Sumatera Utara
c. Memenuhi prestasi secara tidak baik, sedangkan prestasi itu sendiri merupakan objek perikatan berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. 2. Perjanjian adalah suatu keadaan dimana para pihak berjanji untuk berjanji akan sesuatu dengan syarat-syarat dan ketentuan yang disepakati diantara para pihak. R. Wirjono Prodjodikoro, mendefinisikan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.37 Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya.38 3. Perjanjian pemborongan kerja adalah Perjanjian pemborongan menurut Subekti adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan) dengan seorang lain (yang memborong), dimana pihak pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan
37 38
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1991, 9. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran harga tertentu sebagai harga borongan.39 4. Pemerintah adalah sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu Negara atau bagian-bagiannya; sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan.40
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat perskriptif analitis tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Milik Pemerintah. Sifat penelitian preskriptif, artinya penelitian ini berupaya menggambarkan, menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan wanprestasi dan perjanjian pemborongan kerja. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum, di mana sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.41 Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
39
R. Subekti, Aneka Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1984, hal. 58. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 859. 41 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, Hal. 22 40
Universitas Sumatera Utara
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode yuridis
normatif42
dengan
pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach), yaitu menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal
melakukan
analisis43
terhadap
wanprestasi
dalam
perjanjian
pemborongan kerja milik Pemerintah. Karena merupakan sebuah kegiatan ilmiah yang didasarkan atas metode sistematika serta pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum, sehingga perlu dilakukan proses wawancara untuk mendukung penelitian kepustakaan. Penelitian hukum normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan
hanya pada peraturan perUndang-Undangan yang relevan
dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.44
2. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan Hukum Primer 42
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, Hal. 13. 43 Mukti Fajar MD, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hokum Normatif Dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 185 44 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan secara langsung melakukan penelitian pada Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Sumatera Utara serta memperoleh data dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) antara Kuasa Pengguna Anggaran Balai Pembinaan Wilayah I dan II Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Dina Utama dengan nomor kontrak : 600/696/KPA.UPT.BPW-I.II/2010 tanggal 24 Mei 2010. Serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu : - Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tantang Jasa Konstruksi -
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
-
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder diperoleh melalui berbagai literatur berupa buku-buku bacaan, jurnal, serta referensi lainnya yang dianggap relevan dan berhubungan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier
Universitas Sumatera Utara
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,45 berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dipergunakan untuk pengumpulan data atau bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan 2 (dua) cara: 1. Studi Kepustakaan (documentary study) Studi kepustakaan ini adalah cara mencari bahan hukum atau data dengan mengkaji dokumen hukum, berupa konsep-konsep, teori, pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan dalam berbagai literature buku-buku hukum, jurnal hukum dan ketentuan perundang-undangan. 2. Studi Lapangan (field research) Untuk mendukung data sekunder maka diperlukan wawancara terhadap informan. Informan dalam penulisan tesis ini adalah - H. Ali Muhar, ST., sebagai kuasa pengguna anggaran pada Balai Pembinaan Wilayah I dan II Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara (Pemilik Pekerjaan). - Zulkifli Dahlan, sebagai Direktur CV. Dina Utama Medan
45
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
- Achmad
Fadly
sebagai
Wakil
Direktur
CV.
Dina
Utama
(kontraktor/pemborong) - Zulkifli Siregar, sebagai Pengawas pada Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara. Sebelum dilakukan wawancara dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dalam penelitian. Sehingga ketika dilakukan wawancara bisa dapat mengetahui jawaban atas permasalahan yang diajukan kepada para informan tersebut. 4. Analisis Data Bahan hukum dan bahan non hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara preskriptif dengan menggunakan metode deduktif yaitu data umum tentang konsepsi hukum baik berupa asas-asas hukum, postulat serta ajaran-ajaran (doktrin) dan pendapat para ahli yang dirangkai secara sistematis sebagai susunan fakta-fakta hukum untuk mengkaji kemungkinan penerapan prinsip-prinsip perjanjian kontrak pemborongan kerja milik pemerintah.
Universitas Sumatera Utara