Gatot Soemartono
[email protected]
KASUS KARAHA BODAS
A. Latar Belakang 1. Para Pihak Proyek Karaha Bodas Dari hasil penelitian, ditemukan adanya 3 pihak yang terkait dengan proyek Karaha Bodas sebagai berikut: a. Karaha Bodas Company (KBC) KBC adalah Perseroan Terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. TB Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia. KBC diberi kuasa berdasarkan kontrak pengembangan proyek geo-termal (sumber panas bumi) Karaha Bodas,51 dengan kewajiban untuk mengembangkan energi geo-termal berkapasitas 400 MW (empat ratus mega
watt)
dengan
membangun
serta
menjalankan
fasilitas
pembangkitan tenaga listrik, yang selanjutnya menjual tenaga listrik tersebut kepada PLN atas nama Pertamina. Disebutkan dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL bahwa pihak yang mewakili KBC sebagai penggugat adalah Jonathan D. Schiller (claimant, represented by Mr. Jonathan D. Schiller, Boies & Schiller, 5301 Wisconsin Avenue, NW, Suite 570, Washington DC 20015, USA).52
b. Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (Pertamina) Pertamina adalah suatu perusahaan minyak dan gas bumi yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Kramat Raya No.
59, Lantai 4, Jakarta 10450, Indonesia. Pertamina
didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 dan dimiliki oleh 51
Proyek tersebut melingkupi terutama dua wilayah, yaitu: wilayah Karaha dan wilayah Telaga Bodas, di Jawa Barat, sehingga dikenal sebagai Proyek Karaha Bodas. 52 Measley’s International Arbitration Report (2001) Final Award in An Arbitration Procedure under the UNCITRAL Arbitration Rules, New Jersey: LexisNexis, Vol. 16, hlm. 1.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
1
Gatot Soemartono
[email protected]
Pemerintah Republik Indonesia. Pertamina dipercaya untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya panas bumi dan menghasilkan listrik di Indonesia. Dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL disebutkan pihak yang mewakili Pertamina, yaitu: Adnan Buyung Nasution dan Edwin Mishkin (respondent, represented by Adnan Buyung Nasution & Partners, Wisma Danamon Aetna Life, 18th Floor, JL. Jend. Sudirman Kav. 45-46, Jakarta 12930, Indonesia, and by Mr. Edwin Mishkin, Clearly Gottlieb & Hamilton, One Liberty Plaza, New York, NY 1006-1470, USA).53
c. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (disingkat PLN) PLN adalah sebuah perusahaan yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di
Jl. Trunooyo No. 135,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160, Indonesia. Sebagai perusahaan negara yang tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998, PLN adalah pemakai tenaga listrik yang mengusahakan penyediaan listrik kepada umum di Indonesia. Catatan: Dalam kasus ini PLN bersama-sama dengan Pertamina diwakili oleh para pengacara dari kantor hukum yang sama.
2. Gambaran Umum Kasus Karaha Bodas Tentang kasus karaha Bodas tersebut, dari hasil penelitian secara kronologi dapat diuraikan sebagai berikut: a. Kontrak-kontrak Pada 28 November 1994, KBC dan Pertamina menandatangani sebuah perjanjian, yaitu kontrak operasi bersama atau Joint Operation Contract (JOC). Di dalam kontrak tersebut ditentukan bahwa Pertamina bertanggung
53
Ibid., hlm. 2.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
2
Gatot Soemartono
[email protected]
jawab untuk mengelola pengoperasian geo-termal di dalam proyek, sedangkan KBC bertindak sebagai kontraktor. Dalam kontrak dengan tegas disebutkan bahwa KBC diwajibkan untuk mengembangkan enerji geo-termal di daerah proyek, serta to build, own and operate generating facilities (untuk membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik). Pada tanggal tersebut PLN di satu pihak dan KBC dengan Pertamina di lain pihak juga menandatangani sebuah kontrak yaitu Energy Sales Contract (ESC) yang isinya menentukan bahwa PLN setuju untuk membeli dari Pertamina tenaga listrik yang berasal dari fasilitas pembangkitan tenaga listrik yang dihasilkan oleh KBC (sebagai kontraktor dari Pertamina berdasar JOC).
b. Pelaksanaan awal proyek Sejak penanda-tanganan kontrak tersebut, khususnya antara tahun 1995 dan 1997, KBC telah mulai serta menyelesaikan sebagian program eksplorasi dan pemboran.54 Khususnya pada 12 Agustus 1997, dalam pertemuan Komite Bersama diputuskan bahwa KBC
harus menyerahkan Notice of
Resource Confirmation (NORC) atau pemberitahuan pembenaran adanya sumber daya alam dengan kapasitas sebesar 55 MW di wilayah Karaha pada atau sekitar 15 September 1997, dan kapasitas sebesar 55 MW untuk Telaga Bodas pada 1 November 1997. KBC juga diminta untuk menyerahkan Notice of Intent to Develop (NOID) atau pemberitahuan untuk melakukan pengembangan
kapasitas listrik sebesar 110 MW pada tanggal 20
Desember 1997. Atas kewajiban-kewajiban tersebut, pada tanggal 18 September KBC telah menyerahkan kepada Pertamina NORC yang pertama untuk kapasitas sebesar 60 MW di Karaha.
54
Hal ini didasarkan pada Notulen Rapat dari beberapa pertemuan Komite Bersama yang dihadiri oleh KBC, Pertamina, dan PLN, di mana KBC menyampaikan rencana kerja dan anggaran secara teratur kepada Pertamina pada 1995, 1996, dan 1997.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
3
Gatot Soemartono
[email protected]
c. Penangguhan proyek Atas saran International Monetary Fund (IMF), pada tanggal 20 September 1997, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan Proyek Pemerintah, yang isinya: “… untuk memelihara kelangsungan ekonomi dan secara umum kemajuan ekonomi nasional, perlu dilakukan langkah penanggulangan fluktuasi keuangan dan akibat yang ditimbulkan.” Dalam rangka penanggulangan masalah tersebut, Pasal 5 Keppres menyatakan bahwa, “… perlu diambil langkah penundaan/peninjauan kembali sejumlah proyek, sebanyak 75 proyek, termasuk proyek Karaha Bodas.” Namun demikian, para pihak menganggap bahwa penangguhan proyek Karaha Bodas tidak akan berlangsung lama, bahkan Pertamina dan PLN dalam pertemuan Komite Bersama 14 Oktober 1997 menyatakan keyakinannya bahwa status proyek akan dipulihkan kembali. Prediksi yang mencerminkan sikap optimis tersebut akhirnya terbukti pada 1 November 1997, yaitu pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1997 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional yang berisi perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek Karaha Bodas dapat diteruskan lagi. Dengan adanya Keppres No. 47 Tahun 1997 tersebut, KBC melanjutkan kembali aktivitas eksplorasi dan pengembangan proyek Karaha Bodas tersebut. Pada 16 Desember 1997, KBC menyerahkan NORC kepada Pertamina yang menunjukkan kemungkinan adanya kapasitas sebesar 210 MW sumber daya alam di wilayah Karaha dan Telaga Bodas. KBC menyampaikan pemberitahuan tersebut dengan maksud untuk mengembangkan pembangkit tenaga listrik sebesar jumlah tersebut, yang hal ini dilanjutkan dengan aktivitas eksplorasi dan pengembangan oleh KBC. Namun demikian, pada tanggal 10 Januari 1998 proyek Karaha Bodas kembali ditunda dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun Based on Gatot’s Research Only for Private Use
4
Gatot Soemartono
[email protected]
1998
tentang
Pembatalan
Proyek
Pemerintah.
Keppres
tersebut
membatalkan Keppres No. 47 Tahun 1997 dan mengkonfirmasikan penundaan proyek Karaha Bodas. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut, KBC dengan pertimbangan bahwa proyek Karaha Bodas akan tertunda untuk jangka waktu yang tidak pasti, pada tanggal 30 April 1998 menyampaikan gugatan arbitrase (Notice of Arbitration) kepada Pertamina, PLN dan Pemerintah Indonesia
(Departemen Pertambangan dan Energi) untuk mengadakan
proses pemeriksaan arbitrase di Jenewa, Swiss. Antara dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 (pada 10 Januari 1998) dan pemberitahuan untuk arbitrase (pada 30 April 1998) terdapat beberapa peristiwa yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut: a. Pada Januari 1998 KBC dan Pertamina memutuskan untuk secara bersama-sama
melakukan
usaha
untuk
meyakinkan
pemerintah
Indonesia agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari keputusan Keppres No. 5 Tahun 1998. Atas permohonan Pertamina, KBC mengirim surat pada tanggal 23 Januari 1998, yang isinya argumentasi untuk mendukung pembatalan keputusan penangguhan proyek tersebut. Selain itu, Pertamina menyampaikan kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 11 Februari 1998, yang isinya meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kelanjutan proyek “dalam waktu dekat.” b. Sementara itu sebelumnya, 10 Februari 1998, KBC telah mengirim pemberitahuan kepada Pertamina dan PLN bahwa pemberlakuan Keppres No. 5 Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan keadaan memaksa (force majeur) berdasarkan kontrak JOC dan ESC. Untuk itu KBC menyarankan untuk mengadakan pertemuan segera dengan pihak Pertamina dan PLN, di mana KBC memiliki hak untuk menyampaikan klaim. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
5
Gatot Soemartono
[email protected]
Catatan: Pertemuan antara tiga pihak, sebagaimana yang diminta oleh KBC tersebut, tidak pernah berlangsung.55 c. Pada 5 Maret, KBC mengirim kepada Pertamina program kerja dan anggaran yang telah diperbaiki untuk tahun 1998 yang memperhitungkan penangguhan proyek didasarkan pada perkiraan bahwa pekerjaan akan dilanjutkan pada kuartal ke-4 tahun tersebut. Pertamina menyetujui program kerja dan anggaran yang disampaikan oleh KBC tersebut pada 11 Maret 1998, sesuai dengan perbaikan yang telah dilakukan. d. Pada 6 Maret 1998, PLN menulis kepada Pertamina dan KBC yang isinya adalah: “Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut di atas (No. 39/1997 dan No. 5/1998) proyek geo-termal Karaha dikategorisasikan sebagai proyek yang ditangguhkan. Oleh sebab itu, Pertamina dan Perusahaan sebagai pihak yang dikontrak di bawah kontrak penjualan energi (ESC) harus tunduk kepada Keputusan Presiden tersebut. Akibatnya, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda yang tidak tercantum di dalam keputusan presiden tersebut sehubungan dengan proyek geo-termal Karaha harus menjadi tanggungan dan risiko anda.” e. Pada 30 April 1998, KBC mengajukan pemberitahuan untuk penyelesaian melalui Arbitrase.
d. Proses arbitrase Proses arbitrase didahului dengan membentuk majelis arbitrase pada 24 Juli 1998, dengan dipilihnya Mr. Yves Derains sebagai ketua arbitrator oleh Prof. Piero Bernardini (yang dipilih oleh KBC sebagai arbitrator pertama pada 30 April 1998) dan Dr. Ahmed S.EL Kosheri (sebagai arbitrator kedua yang dipilih oleh Secretary General of ICSID pada 15 Juli 1998).
55
Lihat Measley’s International Arbitration Report, op. cit., hlm. 4.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
6
Gatot Soemartono
[email protected]
Catatan: Penunjukkan arbitrator kedua yang dipilih oleh Sekjen ICSID tersebut disebabkan Pertamina tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih arbitrator yang akan memutuskan sengketa Pertamina melawan KBC. Meskipun demikian, Pertamina membantah telah diberitahu secara layak untuk memilih arbitrator.56
Pemberitahuan untuk melakukan arbitrase (notice of arbitration) pada 30 April 1998 yang diajukan oleh KBC tersebut tidak hanya ditujukan kepada Pertamina dan PLN, tetapi juga kepada Pemerintah Indonesia. Pada tahap awal, ketiga tergugat mengajukan keberatan sehingga pada 30
September
1998
pengadilan
arbitrase
mengeluarkan
putusan
pendahuluan sebagai berikut: a. Pengadilan arbitrase tidak memiliki yurisdiksi terhadap Pemerintah Indonesia. (Di sini pemerintah Indonesia dikeluarkan dalam proses pemeriksaan selanjutnya.) b. Keberatan Pertamina dan PLN terhadap yurisdiksi pengadilan arbitrase ditolak. c. KBC berhak menyampaikan gugatan, berdasarkan JOC dan ESC, melalui prosedur arbitrase tunggal (satu dan tidak terpisah), sehingga keberatan Pertamina dan PLN dalam hal ini ditolak. 56
Secara terpisah Simson Panjaitan, koordinator pengacara Pertamina mengatakan bahwa situasi di dalam organisasi Pertamina saat itu sangat sibuk (karena Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi), sehingga tidak ada koordinasi penanganan kasus tersebut. Lebih lanjut, menurut Simson, di kalangan Pertamina sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang pengertian “Notice OF Arbitratiton” yang diartikan sekedar pemberitahuan akan digunakannya lembaga arbitrase. Pemberitahuan tersebut hanya sebuah informasi untuk memperingatkan, tetapi belum masuk kepada proses pelaksanaan arbitrase sendiri. Menurutnya, jika telah masuk pada proses arbitrase maka seharusnya digunakan “Notice FOR Arbitration” (bukan OF tapi FOR). Akibatnya, Pertamina terlambat mengantisipasi dalam penunjukkan arbitrator. Simson berkesimpulan bahwa dengan tidak diangkatnya arbitrator oleh Pertamina tersebut, sebenarnya sejak awal Pertamina telah kalah 50% dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase UNCITRAL di Jenewa. (Hasil wawancara dengan penulis 21 Maret 2005 di Kantor Pertamina, Jakarta.)
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
7
Gatot Soemartono
[email protected]
d. Pertamina
dan
PLN
secara
bersama-sama
dan
masing-masing
diharuskan membayar sejumlah US$16,666 dan US$350,416.56 kepada KBC. Sementara itu, KBC diharuskan membayar US$203,833.04 kepada Pemerintah Indonesia. e. Hal-hal yang belum ditangani di dalam putusan pendahuluan masih belum dapat dinyatakan.
Oleh pengadilan arbitrase telah dikeluarkan Procedural Order No. 1 atau prosedur penanganan perkara pada 19 November 1998 yang memberi KBC waktu selama satu bulan untuk memperbaiki berkas tuntutan tertanggal 11 November 1998 sebagai tanggapan atas putusan pendahuluan tersebut. Untuk Pertamina diberi waktu selama dua bulan untuk memberikan tanggapan terhitung sejak diterimanya berkas perkara yang telah diperbaiki atau diterimanya pemberitahuan dari KBC bahwa berkas perkara tidak memerlukan perbaikan. Pada 24 November 1999, KBC menyerahkan perbaikan berkas tuntutan bersama dengan bukti dan pernyataan saksi. Tetapi, setelah melalui beberapa kali surat pemberitahuan untuk minta pengunduran, penasihat hukum Pertamina melalui surat tertanggal 9 Desember 1999 memberitahu pengadilan arbitrase bahwa mereka belum dapat menyampaikan berkas tanggapannya sebelum tanggal 24 Januari 2000 dan ada kemungkinan mereka masih membutuhkan perpanjangan waktu. Bahkan Pertamina tidak dapat memberikan jawaban mengenai tanggal pemeriksaan dan meminta perpanjangan waktu selama sepuluh hari untuk memberi jawaban. Melalui surat tertanggal 13 Desember 1999, penasihat hukum KBC menyampaikan
keberatannya
terhadap
permohonan
Pertamina
untuk
perpanjangan waktu. Melalui surat tertanggal 7 Januari 2000, majelis arbitrase mewajibkan Pertamina untuk menyatakan putusan mereka selambat-lambatnya tanggal 12 Januari 2000. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
8
Gatot Soemartono
[email protected]
Pada tanggal 14 Januari 2000, penasihat hukum Pertamina memberitahu majelis arbitrase bahwa mereka memerlukan perpanjangan waktu untuk memasukkan berkas tanggapan sampai tanggal 24 Maret 2000. (Bahkan dengan alasan karena terjadi perubahan organisasi di dalam tubuh PLN, mereka meminta jadwal yang baru.) Melalui surat 14 Januari 2000 majelis arbitrase meminta KBC mengirim komentar mereka selambat-lambatnya tanggal 18 Januari 2000. Pada tanggal 18 Januari 2000 penasihat hukum KBC mengirim surat kepada majelis arbitrase yang isinya menyatakan keberatan mereka terhadap penundaan dan perpanjangan waktu yang diminta oleh Pertamina dan menekankan bahwa “…sebagaimana majelis arbitrase meninjau kembali permohonan perpanjangan waktu yang disampaikan oleh Pertamina, maka KBC menyampaikan permohonan agar tanggal pemeriksaan telah dipastikan sehingga pemeriksaan dapat selesai sebelum liburan musim panas, dan diharapkan bahwa putusan majelis arbitrase telah keluar selambat-lambatnya pada kuartal ke empat tahun ini”. Di dalam Procedural Order No. 3 tertanggal 12 Januari 2000, majelis arbitrase menyatakan bahwa: a. Pertamina memasukkan berkas tanggapan mereka pada 24 Maret 2000. b. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada 24 April 2000. c. Pertamina memasukkan berkas replik mereka, jika ada, pada 19 Juni 2000. Pemeriksaan berdasarkan fakta-fakta akan dilakukan di Paris dari tanggal 19 Juni sampai dengan 30 Juni 2000.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
9
Gatot Soemartono
[email protected]
Majelis arbitrase menekankan bahwa kecuali jika ada alasan yang kuat, jadwal tersebut di atas tidak akan dirubah dan majelis arbitrase tidak akan memberikan ijin bagi para pihak untuk membuat perpanjangan waktu.57 Berdasarkan
kesepakatan
para
pihak,
dan
dikonfirmasikan
oleh
Procedural Order No. 4 tertanggal 14 Maret 2000 jadwal prosedur telah diperbaiki sebagai berikut: a. Pertamina akan memasukkan Berkas Tanggapan mereka 7 April 2000. Saksi yang diajukan KBC, penunjukan saksi dan laporan-laporan (termasuk laporan saksi ahli) jika tidak termasuk di dalam Berkas Tanggapan akan dimasukkan pada 14 April 2000. b. KBC akan memasukkan Berkas Bantahan mereka jika ada, (termasuk bukti-bukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 8 Mei 2000. c. Pertamina akan memasukkan Berkas Replik, jika ada (termasuk buktibukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 9 Juni 2000. d. Pemeriksaan berdasarkan fakta yang diajukan tetap dilaksanakan pada tanggal yang sudah ditetapkan yaitu dari tanggal 19 Juni 2000 sampai 30 Juni 2000.
Atas kesepakatan tersebut, Pertamina pada tanggal 7 April 2000 memasukkan berkas tanggapan mereka bersama dengan bukti-bukti dan pernyataan saksi. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada tanggal 8 Mei 2000.
57
Kantor Hukum Clearly Gottlieb Steen & Hamilton (dengan surat tertanggal 6 Maret 2000) memberitahu majelis arbitrase dan KBC bahwa para pengacara dari kantor tersebut telah ditunjuk oleh Pertamina untuk bersama-sama Adnan Buyung Nasution & Partners menjadi penasihat hukum Arbitrase di dalam proses Arbitrase.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
10
Gatot Soemartono
[email protected]
Pada tanggal 31 Mei 2000, majelis arbitrase mengeluarkan Procedural Order No. 5 yang menyatakan sebagai berikut: a. Majelis arbitrase telah dengan seksama mempertimbangkan pembicaraan di antara para pihak mengenai pengaturan pemeriksaan di pengadilan yang akan dilaksanakan di Paris dari tanggal 19 Juni sampai dengan 30 Juni 2000. b. Para pihak secara umum sepakat dan hanya beberapa masalah yang akan diputuskan oleh majelis arbitrase.
Selama sidang pemeriksaan disepakati hal-hal sebagai berikut: a. Para pihak menyatakan bahwa mereka membatalkan permintaan masingmasing untuk pengadaan pemeriksaan prapersidangan. b. KBC membatalkan keberatan mereka bagi pengajuan Putusan Sela walaupun mereka tetap berkeyakinan bahwa pembatalan tersebut tidak seharusnya diajukan dan menekankan bahwa seharusnyalah hal itu tidak diperlakukan sebagai preseden. c. KBC setuju bahwa putusan tersebut tidak lebih bernilai dari Putusan Arbitrase lainnya, meskipun mereka menekankan pula bahwa putusan tersebut tidak bisa dianggap remeh.
Hal-hal di atas dicantumkan di dalam Procedural Order No. 6 pada tanggal 28 Juni 2000. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan Ketua Majelis Arbitrase, para pihak mengkonfirmasikan bahwa mereka tidak memiliki keberatan terhadap pelaksanaan di dalam proses persidangan. Di dalam Procedural Order No. 6 majelis arbitrase memutuskan bahwa: a. Selambat-lambatnya tiga minggu setelah menerima transkrip sidang pemeriksaan, para pihak secara bersama-sama menyerahkan surat permohonan sehubungan dengan sidang perkara selanjutnya; perlu
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
11
Gatot Soemartono
[email protected]
diperhatikan bahwa berkas permohonan tersebut tidak ditambah faktafakta yang baru. b. Permintaan masing-masing pihak untuk mengadakan pemeriksaan prapersidangan ditarik kembali. c. Putusan sela diberlakukan di dalam arbitrase ini dan dianggap sama pentingnya dengan berkas putusan lainnya. Berkas berisi fakta (sesudah pemeriksaan) akan dimasukkan selambatlambatnya pada 27 Agustus 2000 oleh Pertamina dan KBC. Pada tanggal 10 Agustus 2000 Pertamina mengirim surat kepada majelis arbitrase bahwa di dalam berkas berisi fakta pemeriksaan yang dikirim oleh KBC terdapat dua pernyataan yang salah. Melalui fax pada hari yang sama, KBC meminta bahwa surat Pertamina tersebut dan argumen selanjutnya ditolak. Di dalam berkas berisi fakta perkara tertanggal 7 Agustus 2000 KBC dan Pertamina meminta untuk diberi kuasa memasukkan daftar biaya yang telah mereka tanggung selama proses sidang perkara berlangsung. Di dalam Procedural Order No. 7 tertanggal 31 Agustus 2000, majelis arbitrase membuat keputusan sebagai berikut: a. Berhubung Procedural Order No. 6 tidak lagi mencantumkan surat Pertamina tanggal 10 Agustus 2000 dan majelis arbitrase akan memeriksa ketepatan setiap pernyataan para pihak sehubungan dengan keputusan ini, maka surat tersebut tidak akan dipertimbangkan oleh majelis arbitrase. b. Sidang perkara ditutup dan segala argumentasi atau penyerahan bukti tidak akan diterima lagi, kecuali diijinkan atau diminta oleh majelis arbitrase sendiri. c. Para pihak dianjurkan untuk menyerahkan Laporan Biaya masing-masing selama proses sidang perkara, termasuk seluruh biaya dan pengeluaran serta ongkos pengacara selambat-lambatnya tanggal 15 September 2000 jam 6 sore waktu Paris. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
12
Gatot Soemartono
[email protected]
Pada tanggal 15 September 2000 para pihak menyerahkan Laporan Biaya mereka. KBC dalam hal ini meminta sebesar US $2.510.658 (dua juta lima ratus sepuluh ribu enam ratus lima puluh delapan) dolar ditambah dengan US $365,244.35 (tiga ratus enam puluh lima ribu dua ratus empat puluh empat dan tiga puluh lima sen) dolar Amerika berikut bunga sebesar 4,53% per tahun. Biaya ini mewakili biaya yang dicantumkan di dalam putusan awal, walau belum dibuktikan kebenarannya, yaitu sebesar US $ 350.415,56 (tiga ratus lima puluh ribu empat ratus lima belas dan lima puluh enam sen) dolar. Biaya yang ditanggung oleh Pertamina adalah sebesar US $ 2.823.621,18 (dua juta delapan ratus dua puluh tiga ribu enam ratus dua puluh satu dan delapan belas sen) dolar.
e. Gugatan dan ringkasan putusan arbitrase Di dalam berkas gugatan yang sudah diperbaiki, tertanggal 24 November 1999, KBC menuntut ganti kerugian sebagai berikut: 1. Ganti kerugian akibat pelanggaran kontrak a. kerugian tersebut termasuk: 1) pembayaran atas kerugian sebesar US $96 juta (sembilan puluh enam juta) dolar; 2) kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$512.5 juta (lima ratus dua belas dan lima sen) juta dolar 3) sebagai
alternatif
untuk
ganti
kerugian
akibat
kehilangan
keuntungan, diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus dikirim adalah sebesar US$ 437 (empat ratus tiga puluh tujuh) juta dolar; b. secara alternatif, pembatalan kontrak dan kerugian-kerugian; dan c. secara alternatif, pelaksanaan secara khusus. 2. Kerugian akibat perolehan harta dengan tidak wajar/adil. 3. Bunga dan kerugian yang diderita oleh KBC sejumlah US$ 58.6 (lima Based on Gatot’s Research Only for Private Use
13
Gatot Soemartono
[email protected]
puluh delapan koma enam) juta dolar Amerika pada tanggal 24 November 1999 dari denda yang harus dibayarkan kepada KBC sejumlah US$608,5 juta dolar (US$ 96 juta + USS $ 512.5 juta) atau secara alternatif sebesar US$51.3 juta dolar apabila majelis arbitrase menyampaikan bahwa KBC berhak memperoleh US$532.9 juta dolar (US$96 juta + US$437 juta dolar).
KBC menjelaskan bahwa permohonan pembatalan kontrak bukan merupakan alternatif terhadap permohonan untuk ganti kerugian dan bahwa KBC mengajukan permohonan atas pembatalan dan penggantian kerugian. Di samping itu, Pertamina diminta untuk membayar biaya arbitrase. Dalam semua berkas yang dimasukkan, Pertamina telah mengajukan permohonan agar tuntutan KBC ditolak dan KBC dikenakan ongkos dan biaya arbitrase. Dalam penyelesaian melalui arbitrase ini, majelis arbitrase mengeluarkan 2 (dua) putusan yaitu putusan pendahuluan (Preliminary Award) pada 30 September 1999 dan putusan akhir (Final Award) pada 18 Desember 2000. Dalam Preliminary Award, intinya majelis arbitrase menyatakan bahwa arbitrase
Jenewa
memiliki
yuridiksi
terhadap
Pertamina
dan
PLN,
berdasarkan perjanjian arbitrase dalam JOC dan ESC. Selanjutnya dalam final award, arbitrase Jenewa menyatakan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi sebesar US$ 261.100.000 termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas. Atas putusan arbitrase Jenewa tersebut, Pertamina dan PLN tidak bersedia melaksanakannya. Sebagai upaya hukum Pertamina mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 14 Maret 2002. Pada 27 Agustus 2002, majelis hakim mengeluarkan putusan yang membatalkan Preliminary Award dan Final Award yang dihasilkan oleh Majelis Arbiatrase di Jenewa, Swiss. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
14
Gatot Soemartono
[email protected]
B. Pembahasan 1. Penyelesaian Sengketa di Arbitrase UNCITRAL Penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di Jenewa melalui persidangan arbitrase UNCITRAL memeriksa beberapa hal terkait, yaitu pelanggaran atas kontrak ESC dan JOC yang dilakukan oleh Pertamina, masalah pengakhiran kontrak, perdebatan mengenai ganti kerugian atas kehilangan modal dan hilangnya keuntungan yang diharapkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan para pihak yang bersengketa, majelis arbitrase memutuskan penggantian kerugian yang timbul, disertai bunga dan biaya arbitrase.
a. Pelanggaran atas Kontrak ESC dan JOC Dari dokumen-dokumen yang diperolah dari hasil penelitian diketahui bahwa pertanyaan pertama yang diangkat oleh Arbitrase UNCITRAL adalah mengenai posisi Pertamina, yaitu: “Apakah ia telah melanggar kewajiban berdasarkan baik kontrak ESC maupun kontrak JOC?” Untuk itu sebelum sampai pada keputusan majelis arbitrase, perlu diuraikan posisi KBC dan Pertamina lebih dahulu sebagai berikut:
1) Posisi KBC sebagai penggugat KBC menuduh bahwa Pertamina telah melanggar beberapa kewajiban berdasarkan kontrak ESC dan JOC dengan cara, antara lain, mencegah KBC untuk menyelesaikan pembangunan unit-unit pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas maksimum 400 MW. KBC menyatakan bahwa PLN tidak akan membeli dan Pertamina tidak akan menjual tenaga listrik yang dihasilkan oleh KBC. Secara khusus, KBC menekankan bahwa Pertamina melalui kontrak ESC dan JOC setuju untuk menanggung risiko atas tindakan Pemerintah. Dengan demikian Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun 1998 Based on Gatot’s Research Only for Private Use
15
Gatot Soemartono
[email protected]
bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak. Jadi Pertamina tetap harus menjalankan kewajiban mereka dan tidak melanggarnya.58 KBC menyatakan bahwa hubungan dekat antara Pertamina dan Pemerintah
Republik
Indonesia
adalah
alasan
yang
cukup
untuk
pengalokasian risiko. Menurut pandangan KBC, Keputusan Presiden tidak ada sangkut pautnya dengan pembatalan oleh Pertamina. KBC menambahkan bahwa dengan melakukan berbagai tindakan dan usaha untuk menghindari dan atau menolak kontrak, Pertamina telah melanggar kewajiban untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik, seperti ditentukan di dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3). KBC menganggap sikap
Pertamina
tersebut
sebagai
penolakan
secara
sengaja
atas
pelaksanaan kewajiban mereka yang hal ini sama dengan pelanggaran kewajiban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Selanjutnya, KBC menuduh bahwa Pertamina (dan PLN) telah melanggar kewajiban mereka sebagaimana tercantum di dalam kontrak ESC, yaitu: "… untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya, yang diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan dalam Perjanjian ini."59
2) Posisi Pertamina sebagai tergugat Pertamina telah memposisikan dirinya sebagai pihak yang tidak dapat dipersalahkan dan sebaliknya menyatakan bahwa, KBC dengan cara yang tidak benar telah mencoba untuk membuat Pertamina bertanggungjawab atas tindakan yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia walaupun majelis arbitrase telah mengeluarkan putusan awalnya pada 30 September
58
KBC menyimpulkan dari kontrak ESC [Pasal 9.2 (e)] dan JOC [Pasal 5.2 (e)] bahwa tindakan yang dilakukan Pemerintah merupakan suatu keadaan memaksa jika hal itu berkenaan kepada KBC saja. 59 Lihat Pasal 21.1 JOC, dan Pasal 15.1 ESC.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
16
Gatot Soemartono
[email protected]
1999
bahwa
“…
tindakan
Pemerintah
tersebut
bukan
merupakan
pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh PLN atau Pertamina.” Pertamina menjelaskan bahwa secara tidak jujur KBC telah membedakan antara Keputusan Presiden dan kewajiban Pertamina untuk mentaati Keputusan
Presiden
tersebut.
Pertamina
menekankan
bahwa
tidak
seorangpun di antara mereka yang bertanggungjawab terhadap keluarnya keputusan tersebut. Sebaliknya, Pertamina dengan itikad baik telah berusaha untuk membujuk Pemerintah agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari Keputusan No. 5 Tahun 1998. Berbagai upaya tersebut dilakukan oleh Pertamina sejak proyek masih dalam taraf awal pembangunan; proyek pembangkit tenaga listrik belum dibangun sehingga belum ada kewajiban membayar. Pertamina menekankan bahwa usaha tersebut tetap dilanjutkan⎯bahkan setelah KBC menghentikan pelaksanaan pekerjaannya yang sudah tercantum di dalam kontrak⎯sebagaimana ditulis di dalam surat yang dikirim kepada Pemerintah pada tanggal 11 Juni 1998. Di samping itu, sebelumnya Pertamina juga berusaha untuk dapat membatalkan Keputusan Pemerintah No. 39 Tahun 1997, dan hal itu telah berhasil dilakukan dengan dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997. Kenyataan
bahwa
usaha
Pertamina
telah
terbukti
gagal
dengan
dikeluarkannya Keputusan No. 5 Tahun 1998 memperlihatkan bahwa tuntutan KBC tidaklah didasarkan atas perbuatan (upaya) Pertamina namun berdasarkan keputusan itu sendiri. Pertamina
menilai KBC telah mencoba untuk mempengaruhi majelis
arbitrase agar membatalkan putusan awal, dengan menggunakan Keputusan Presiden sebagai alasan bahwa Pertamina telah melanggar kontrak. Tindakan ini tidak sejalan dengan prosedur yang telah ditentukan oleh majelis
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
17
Gatot Soemartono
[email protected]
arbitrase sendiri yang, di dalam putusan awalnya, membatasi masalahmasalah yang harus diselesaikan dalam waktu ini. Menurut Pertamina, di dalam putusan awal, majelis arbitrase telah memutuskan dengan benar bahwa keadaan memaksa yang timbul sebagai akibat tindakan Pemerintah bukanlah tindakan pelanggaran kontrak JOC dan ESC. Keadaan memaksa tersebut juga mengampuni KBC untuk tidak melakukan pekerjaannya. Pertamina menyatakan pula bahwa tindakannya dan PLN untuk menolong KBC dengan cara mendorong Pemerintah Indonesia mengambil tindakan merupakan bukti bahwa ia tidak memiliki kewajiban kontrak akibat tindakan Pemerintah mengeluarkan keputusan pemberhentian proyek. Pertamina menolak tuduhan bahwa ia telah melanggar kewajiban karena telah memberikan jaminan kepada KBC untuk tetap melaksanakan proyek. Sebaliknya, KBC-lah yang melanggar kewajiban karena secara sepihak memutuskan untuk tidak meneruskan kontrak dalam waktu sebulan setelah keputusan presiden tertanggal 10 Januari 1998 keluar. Berlawanan dari pernyataan KBC, Pertamina tidak melanggar atau membatalkan kontrak. Secara khusus, surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 kepada KBC dan Pertamina yang menyatakan bahwa seluruh pihak harus tunduk kepada Keputusan Presiden, dan jika tidak, segala tindakan masingmasing adalah tanggungan sendiri, pada prinsipnya menyampaikan bahwa KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama, tidak jelas bentuk risiko yang harus ditanggung. Hal ini bukanlah penolakan terhadap kontrak. Tambahan pula, KBC tidak dapat berpatokan pada surat tanggal 6 Maret 1998 untuk menuduh PLN melanggar kontrak karena melalui surat tanggal 10 Februari 1998, KBC telah mengumumkan bahwa pihaknya tidak melanjutkan proyek. Sebaliknya, persetujuan yang dikeluarkan Pertamina terhadap Rencana Kerja dan Anggaran KBC yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret Based on Gatot’s Research Only for Private Use
18
Gatot Soemartono
[email protected]
1998, menunjukkan bahwa Pertamina masih berharap proyek tersebut dapat dilanjutkan kembali.60 Akhirnya di dalam surat tertanggal 30 April 1998 (yang menurut Bapak Sulaiman, salah satu saksi Pertamina, sesungguhnya ditulis pada tanggal 25 Juni 1998)61 dan pada tanggal 4 Desember 1998, KBC mengkonfirmasikan bahwa tidak terdapat konflik antara KBC dan Pertamina "pada tanggal tersebut ataupun sebelumnya". Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pertamina menekankan dalam hal apapun, KBC telah gagal membuktikan bahwa pihak tersebut siap, bermaksud dan sanggup melaksanakan perjanjian karena pihak tersebut tidak memiliki dan tidak dapat memenuhi pembiayaan yang diwajibkan dan tidak menunjukkan bahwa pihak tersebut sanggup membangun pembangkit tenaga listrik berkapasitas 210 MW. Dengan demikian, pihak KBC tidak dapat menuntut ganti kerugian atas tuduhan pelanggaran kontrak serta tidak memiliki dasar untuk menerima pengiriman uang seperti yang diperkirakan.
3) Dasar dan putusan majelis arbitrase Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998 pada 10 Januari 1998, maka para pihak tidak sanggup melaksanakan kewajiban utamanya
untuk
melaksanakan
kontrak.
Ketidakmungkinan
untuk
melaksanakan kontrak tersebut telah disampaikan oleh KBC melalui surat tertanggal 10 Februari 1998 yang ditujukan kepada Pertamina dan PLN, yang di dalamnya dicantumkan peringatan bahwa Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan bagian dari keadaan memaksa (force majeure) berdasarkan perjanjian ESC dan JOC. KBC 60
Tindakan lain yang dinilai oleh Pertamina sebagai pelanggaran tersebut dilakukan setelah KBC menghentikan pelaksanaan proyek dan bahkan setelah dimulainya arbitrase. 61 Sayfi Sulaiman bersama dengan John Norris dan Assistia Semiawan adalah saksi dari Pertamina, sedangkan saksi-saksi dari KBC adalah: Christopher McCallin, Leslie Gelber, Robert McGrath, dan Barbara Bishop Gollan.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
19
Gatot Soemartono
[email protected]
menyebutkan bahwa: "... keadaan memaksa seperti yang disebut di atas telah menyebabkan ditangguhkannya perjanjian yang tercantum di dalam ESC dan JOC, yang bersamaan dengan penangguhan waktu berdasarkan perjanjian tersebut menyangkut juga hal-hal lain sejauh memang sudah dicantumkan." Namun demikian, Pertamina tidak pernah mengajukan penilaian terhadap situasi tersebut. Sebaliknya, pada tanggal 11 Maret 1998, Pertamina menyetujui perbaikan Rencana Kerja dan Anggaran 1998 yang disusun oleh KBC untuk menanggulangi situasi akibat Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998, dan Pertamina meminta KBC untuk melakukan penyesuaian sebagaimana diperlukan karena situasi tersebut. Dalam kaitan itu, tidak diragukan bahwa penundaan proyek yang menimbulkan keprihatinan di kalangan para pihak ini merupakan suatu keputusan yang harus dihormati. Akan tetapi, konsekuensi hukum dari situasi ini tidak sama terhadap KBC di satu pihak, dan kepada Pertamina dan PLN di lain pihak. Para pihak maklum bahwa Keputusan Presiden untuk menunda proyek Karaha Bodas merupakan Government Related Event sebagaimana didefinisikan di dalam ESC dan JOC, yang menyatakan bahwa: “Kejadiankejadian yang disebabkan oleh keadaan memaksa mencakup, tetapi tidak terbatas pada hal-hal: …
(e) setiap tindakan yang berhubungan dengan
Pemerintah berhubungan dengan Kontraktor saja.”62 Oleh sebab itu, melalui dua kontrak tersebut dinyatakan bahwa Keputusan Presiden adalah keadaan memaksa bagi KBC, dan bukan bagi Pertamina dan PLN. Konsekuensi hukumnya adalah, bahwa KBC berhak untuk
memakai
keputusan
presiden
sebagai
alasan
untuk
tidak
melaksanakan kewajibannya, sedangkan Pertamina dan PLN tidak berhak 62
Pernyataan yang sama terdapat di dalam Pasal 9.2 (e) ESC, kata "Kontraktor” diganti dengan kata '”Company”, di mana keduanya mengacu kepada KBC.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
20
Gatot Soemartono
[email protected]
untuk
melakukan
tanggungjawabnya.
hal
yang
sama,
Pernyataan
yaitu
sebaliknya
melepaskan adalah
diri
dengan
dari tidak
melaksanakan kewajibannya, maka Pertamina telah mencoba untuk menghindar dari kewajiban [sebagaimana tercantum di dalam Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang menyatakan bahwa Government Related Event bukanlah keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN].63 Mengingat Pertamina dan PLN tidak dapat menggunakan Keputusan Presiden sebagai alasan yang sah untuk tidak melakukan kewajiban mereka di bawah ESC dan JOC, maka tindakan Pertamina dan PLN untuk tidak melakukan kewajiban tersebut adalah pelanggaran kontrak sehubungan dengan tanggungjawab mereka, kecuali jika mereka dapat menunjukkan keadaan yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan pelanggaran tersebut. Dalam hal ini, pernyataan Pertamina bahwa KBC telah gagal membuktikan kesiapan dan kesanggupan dalam melaksanakan Perjanjian Proyek dianggap tidak penting. Kesimpulan tersebut tidak bertentangan dengan penemuan majelis arbitrase yang dicantumkan di dalam putusan awal tertanggal 30 September 1999, yang menyatakan bahwa "Keputusan Pemerintah yang menghalangi KBC
untuk
melakukan
kewajibannya
tidak
dipertimbangkan
sebagai
pelanggaran yang dilakukan Pertamina dan PLN terhadap kontrak tersebut namun sebagai keadaan memaksa yang mendasari KBC untuk tidak melakukan
pekerjaannya."
Penemuan
tersebut
menekankan
bahwa
Pemerintah bukanlah pihak yang berkepentingan di dalam kontrak tersebut. Berbeda dengan pandangan Pertamina, kenyataan bahwa mereka tidak bertanggungjawab
terhadap
keluarnya
Keputusan
Presiden
yang
63
Menurut Simson Panjaitan, perlu diteliti secara kronologis mengapa perjanjian (yang jelas-jelas melemahkan Pertamina) tersebut tetap ditanda-tangani. Perjanjian yang menyatakan force majeure hanya berlaku bagi KBC, dan tidak bagi Pertamina, merupakan suatu kelemahan yang nyata. Menurutnya secara substansi Keppres tersebut merupakan hal di luar kekuasaan kedua belah pihak, sehingga seharusnya force majeure berlaku pula bagi kedua belah pihak.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
21
Gatot Soemartono
[email protected]
menghalangi pelaksanaan kontrak tidaklah membebaskan mereka dari tanggungjawab jika mereka tidak melaksanakan kewajiban mereka dalam rangka tunduk kepada keputusan tersebut. Karena Government Related Event tidaklah termasuk keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN, maka bukanlah alasan yang tepat bagi mereka untuk tidak melaksanakan kontrak, sehingga hal ini dianggap pelanggaran kontrak. Perbedaan penerapan tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, sebagaimana dinyatakan oleh Pertamina. Hal ini juga berlaku bagi setiap pihak yang terhalang untuk melaksanakan kewajiban kontrak dikarenakan situasi yang bukan termasuk keadaan memaksa. Misalnya, pemogokan kerja dapat atau tidak dapat dikategorisasikan sebagai keadaan memaksa. Apabila tidak,
maka
walaupun
perusahaan
dihalangi
untuk
melaksanakan
kewajibannya karena pemogokan tersebut, namun bisa saja dengan tidak melaksanakan
kewajibannya,
perusahaan
tersebut
dapat
dianggap
melanggar kontrak. Begitu pula penjual, menurut ketentuan perdagangan (misalnya CIF; Cost Insurance Freight) tidak mempunyai alasan yang sah untuk tidak mengirim barang dengan alasan karena adanya pembatalan ijin ekspor;
walaupun
pembatalan
tersebut
disebabkan
oleh
keputusan
pemerintah dimana si penjual sesungguhnya tidak bertanggungjawab, namun dengan tidak melakukan kewajiban mengirim barang, maka penjual sudah melanggar kontrak. Dengan menunjuk Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC, KBC secara tepat mencantumkan perihal alokasi risiko, dan menyebutkan bahwa konsekuensi akibat Keputuan Pemerintah yang menghalangi pelaksanaan kontrak adalah menjadi tanggungan Pertamina dan PLN. Majelis arbitrase tidak dapat mengerti maksud Pertamina ketika mereka menyatakan bahwa: “KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama, maka tidak jelas bentuk risiko yang harus ditanggung." Surat tersebut menyatakan bahwa: Based on Gatot’s Research Only for Private Use
22
Gatot Soemartono
[email protected]
"PLN, Pertamina dan Company (KBC) harus tunduk kepada Keputusan Presiden," dan memperingatkan konsekuensi yang timbul jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut, bahwa "harus menjadi tanggungan dan risiko anda, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda sehubungan dengan Proyek Geo-termal Karaha, yang tidak tercantum di dalam Keputusan Presiden tersebut." Bertentangan dengan pendapat Pertamina, bahwa hal itu bukan merupakan kondisi agar KBC dapat meneruskan proyek. Namun, pernyataan tersebut justru merupakan saran untuk tidak melaksanakan proyek dengan mengacu pada pernyataan: "… jika saran tersebut tidak diikuti oleh KBC dan/atau Pertamina, mereka akan menanggung risiko mereka sendiri.”64 Dalam kaitan itu pada 30 April 1998, KBC menyatakan tidak ada perselisihan dengan Pertamina dan tidak ada hubungannya sama sekali, dan pernyataan tersebut dikonfirmasikan lagi pada bulan Juni 1998 dan bulan Desember 1998. Tentu saja, pernyataan ini muncul sebagai usaha untuk memelihara
hubungan
baik
dengan
Pertamina
dan
mengandung
pengharapan bahwa akan ditemukan penyelesaian untuk masalah ini. Di pihak lain dalam suratnya tertanggal 6 Maret 1998, PLN nampak dengan jelas berusaha untuk tidak melaksanakan kewajiban kontrak, dengan peringatan tambahan bahwa pelaksanaan kewajiban oleh KBC dan Pertamina
tidaklah
dianggap
sebagai
bagian
dari
ESC
dan
JOC.
Berdasarkan penjelasan tersebut, PLN bermaksud untuk melanggar kontrak dan hal ini merupakan hasutan kepada Pertamina untuk melakukan pelanggaran yang sama. Dengan tidak adanya sikap keberatan dari Pertamina terhadap pernyataan PLN yang tegas dan sikap setuju dengan
64
Di sini Pertamina dinilai hanya mencari alasan untuk melimpahkan risiko kepada KBC yang bertalian dengan Government Related Event; suatu risiko yang sesungguhnya hanya meliputi Pertamina dan PLN menurut kontrak.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
23
Gatot Soemartono
[email protected]
instruksi PLN, maka dapat dianggap bahwa keduanya memiliki pendapat yang sama, dan hal ini adalah pelanggaran kewajiban di bawah JOC. Pertamina tidak meyakinkan ketika ia mengacu pada suratnya tertanggal 11 Maret 1998 yang isinya menyetujui "Rencana Kerja dan Anggaran 1998" yang sudah diperbaiki sebagai bukti bahwa Pertamina setuju dengan pekerjaan dan rencana KBC sehubungan dengan proyek tersebut; dengan harapan bahwa proyek akan dilanjutkan kembali. Surat tersebut dikirim sebagai jawaban terhadap surat KBC tertanggal 5 Maret 1998 yang isinya menyatakan bahwa: "Karena Keputusan Presiden, KBC tidak dapat menyelesaikan rencana sebelumnya yang pernah diajukan untuk tahun 1998."65 Pertamina menerima keputusan KBC (yang berhak menyatakan diri berada dalam keadaan memaksa). Namun demikian Pertamina cukup tanggap untuk mendorong KBC agar "segera melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk Rencana Kerja dan Anggaran 1998". Pertamina sama sekali tidak bermaksud menyetujui KBC melanjutkan pelaksanaan proyek, namun mendukung penangguhan proyek tersebut dan memperingatkan KBC untuk sepenuhnya tunduk kepada Keputusan Presiden. Majelis arbitrase menilai bahwa surat tersebut sejalan dengan instruksi yang diberikan PLN di dalam surat tertanggal 6 Maret 1998 dan tidak dapat diartikan sebaliknya. Kenyataan yang disampaikan Pertamina bahwa, surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 dikirim setelah KBC memberitahu pada tanggal 10 Februari 1998 mengenai penangguhan pelaksanaan
proyek,
tidaklah
membebaskan
Pertamina dari kewajiban-kewajibannya. Hal ini karena Keputusan Presiden merupakan suatu keadaan memaksa bagi KBC, sehingga KBC berhak 65
Sebagaimana diketahui bahwa berkenaan dengan alasan yang sah untuk membatalkan pekerjaan, yang diberitahukan melalui surat tanggal 10 Februari 1998, KBC menyusun rencana baru dalam rangka pelaksanaan proyek tersebut untuk kuartal keempat 1998 dengan asumsi bahwa pada saat itu proyek akan dilanjutkan kembali.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
24
Gatot Soemartono
[email protected]
menangguhkan aktivitas pekerjaannya. Sebaliknya, keadaan tersebut bukan keadaan memaksa bagi PLN dan Pertamina, sehingga keduanya tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan penangguhan. Tindakan dengan dasar hukum oleh pihak yang dikontrak tidak dapat membenarkan tindakan pihak lainnya sehingga PLN dan Pertamina dapat menjadikan pemberitahuan KBC perihal keadaan memaksa sebagai pembenaran untuk tidak melakukan kewajibannya pada saat itu. Terlebih lagi melalui surat tertanggal 10 Februari 1998, KBC telah meminta dengan sangat kepada Pertamina dan PLN untuk "berusaha sebaik mungkin melanjutkan proyek." Tetapi surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 dan surat Pertamina 11 Maret 1998 dalam hal ini, telah membuat KBC kehilangan harapan. Menurut majelis arbitrase, perlu dipertimbangkan mengenai tuntutan KBC yang berkenaan dengan pelanggaran kontrak di bawah ESC Pasal 15.1 tentang ketentuan “perihal kelanjutan asuransi,” yang isinya: "Masing-masing Pihak sepakat untuk melaksanakan dan menyerahkan perangkat-perangkat lain, dan untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya, yang diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan dalam Perjanjian ini.” Dalam hal ini PLN ataupun Pertamina tidak menyediakan KBC jaminan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban mereka berdasarkan ketentuan tersebut. Sebaliknya dari sikap mereka nampak bahwa mereka tidak melaksanakan kewajiban karena mereka hanya tunduk kepada Keputusan Presiden. Meskipun surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998 kepada Bappenas telah menunjukkan usaha yang serius pada tahap awal untuk meyakinkan Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali kedudukannya, kenyataannya tidak ada tindak lanjut. Khususnya, tidak ada pertemuan di antara PLN, Pertamina dan KBC, yang dapat memberikan jaminan kepada KBC bahwa telah dilakukan cukup usaha agar proyek dilanjutkan kembali. Sebaliknya surat PLN 6 Maret 1998, yang ditentang oleh Pertamina, Based on Gatot’s Research Only for Private Use
25
Gatot Soemartono
[email protected]
menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada hal apapun yang telah dilakukan atau diharapkan akan dilakukan. Di dalam pertemuan pada tanggal 8 Mei 1998, bertempat di kantor Pertamina, KBC diberitahu bahwa: "…menurut Bappenas, langkah-langkah yang harus diambil untuk kelanjutan proyek geotermal diharapkan akan diputuskan pada bulan Juni 1998.”. Di dalam pertemuan tersebut, dinyatakan pula bahwa: "Pertamina mendapatkan prakarsa dari perusahaan industri swasta untuk mengatur suatu seminar para pengusaha industri dan Menteri Pertambangan dan Energi yang baru dengan tujuan memberitahu Menteri tersebut mengenai posisi dan pentingnya industri geo-termal." Adapun waktu yang diajukan untuk pengadaan seminar tersebut adalah bulan Oktober 1998, yang mendorong wakil KBC memberikan tanggapan bahwa "bulan Oktober tampaknya terlalu terlambat dan dapat membuat para investor kehilangan kesabaran." Majelis arbitrase menghargai fakta bahwa Pertamina telah mengirim surat pada tanggal 11 Juni 1998 kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas. Meskipun demikian surat tersebut tidak memperlihatkan usaha keras untuk membuat proyek Karaha Bodas dilanjutkan kembali. Surat tersebut merupakan permohonan untuk mendapatkan penjelasan perihal situasi 6 bulan setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dan 5 bulan setelah dikeluarkannya surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998.
Surat tersebut isinya adalah sebagai berikut: Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 pada tahun 1998 tertanggal 10 Januari 1998 sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda apapun dari Pemerintah yang menunjukkan bahwa proyek akan dilanjutkan kembali, sementara PT PLN (Persero) melalui surat Presiden Direktur bernomor n.107/037/DIRUT/1998-R/M dan n.114/037/DIRUT/1998-R/M tertanggal 6 Maret 1998 telah memberitahu seluruh kontraktor JOC bahvva seluruh risiko yang muncul akibat aktivitas pelaksanaan JOC yang tunduk pada Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 dan Nomor 5 Tahun 1998 harus ditanggung dan dipertanggungjawabkan masing-masing. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
26
Gatot Soemartono
[email protected]
Kondisi yang tidak dikonfirmasi ini mengakibatkan kesulitan bagi para kontraktor JOC untuk membuat rencana selanjutnya, karena menurut pernyataan PT PLN (Persero), komunikasi di dalam Forum JCM telah terhenti. Sementara itu pertemuan JCM sangatlah penting untuk mengantisipasi apa yang sebelumnya harus dilakukan, apabila proyek dilanjutkan kembali. Lebih lanjut lagi kondisi ini memiliki dampak langsung untuk menghentikan setiap aktivitas sehubungan dengan negosiasi kontraktor proyek geo-termal yang memiliki Surat Izin Utama dari Menteri Pertambangan dan Energi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami ingin mengajukan permohonan kepada Pemerintah untuk sedini mungkin memberikan penjelasan dan bimbingan sehubungan dengan kelanjutan proyek geo-termal berdasarkan Keppres No. 39/1997 dan No. 5/1998 dan negosiasi selanjutnya JOC dan ESC yang telah memiliki Surat lzin Utama. Untuk pertimbangan anda dan peninjauan kembali, bersama ini kami lampirkan status proyek geo-termal di daerah di mana JOC dan ESC ditugaskan, dan laporan kemajuan yang telah dicapai di dalam prospek negosiasi JOC dan ESC yang sudah mendapatkan Surat Izin dari Menteri Pertambangan dan Energi. Menurut majelis arbitrase surat tersebut menyatakan bahwa Pertamina dalam pertemuan tanggal 8 Mei telah menyinggung mengenai KBC dan keputusan tentang hal itu diharapkan akan diambil pada bulan Juni 1998, sehingga hal ini seolah-olah hanya mengemukakan harapan-harapan yang tidak ada dasarnya. Surat ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa Pertamina tidak melakukan apa-apa sejak tanggal 10 Februari 1998 untuk melanjutkan proyek, dan PLN masih berpegang teguh dengan isi surat tertanggal 6 Maret 1998. Di dalam situasi ini, majelis arbitrase berkesimpulan bahwa Pertamina telah melanggar kewajiban masing-masing berdasarkan ESC Pasal 15.1 dan JOC Pasal 21.1. Pelanggaran tersebut menjadi berat berdasarkan keputusan
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
27
Gatot Soemartono
[email protected]
untuk tidak memenuhi kontrak sebagai akibat dari Keppres dan pelanggaran kewajiban atas pelaksanaan kontrak dengan itikad baik. Tidak memenuhi kontrak untuk sementara waktu karena keputusan pemerintah merupakan satu hal yang tergantung pada alokasi risiko di antara para pihak, di mana itikad baik tidak dipersoalkan. Akan tetapi sebaliknya, jika pihak pelanggar kontrak lalai melakukan usaha sebaik mungkin untuk membatalkan keputusan pemerintah, sedangkan menurut kontrak pihak itu berkewajiban untuk melakukan usaha tersebut, serta mereka dalam kedudukan untuk ikut campur secara efisien (sebagaimana halnya PLN dan Pertamina), maka kegagalan atas kewajiban pemenuhan kontrak dengan itikad baik dan kewajiban berdasarkan hukum yang harus dilaksanakan oleh pihak tersebut membuat kedua pelanggaran tersebut sangat berhubungan. Demikian pula, meskipun Pertamina telah melakukan usaha yang terbaik demi kelanjutan proyek Karaha Bodas, menurut Kontrak mereka tetap telah melakukan pelanggaran terhadap kewajiban melaksanakan kontrak, karena Keppres tidak dapat dijadikan alasan yang sah untuk tidak melaksanakan kewajiban mereka. Kesimpulan ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa Pertamina selanjutnya wajib untuk menolong KBC dalam hubungannya dengan Pemerintah.66 Dengan beberapa dasar argumentasi di atas, tanpa perlu membuat pertimbangan atas pelanggaran lainnya dari Pertamina, majelis arbitrase memutuskan bahwa Pertamina sebagai tergugat telah melanggar kewajiban mereka menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam ESC dan JOC.
66
Lihat Pasal 11.2 (c) dan (d) JOC; dan Pasal 4.3 ESC, sebagaimana diacu oleh majelis arbitrase melalui Putusan Awal bahwa di dalam kontrak, Pertamina dan Pemerintah Indonesia adalah dua pihak yang berbeda. Dengan tidak memenuhi tanggungjawab menolong KBC tersebut, hal ini menambah berat pelanggaran akibat kegagalan memenuhi kedua kontrak akibat dikeluarkannya Keppres.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
28
Gatot Soemartono
[email protected]
b. Masalah Pengakhiran Kontrak Persoalan lainnya yang mendapatkan putusan Arbitrase UNCITRAL adalah: “Apakah kontrak/perjanjian perjanjian jual beli energi (ESC) dan/atau perjanjian kerja sama operasional (JOC) harus diakhiri?” Untuk itu, perlu diketahui lebih dahulu argumentasi KBC dan posisi Pertamina dalam kaitannya dengan pengakhiran kontrak. 1) Argumentasi KBC Menurut KBC, tindakan Pertamina dan PLN merupakan penolakan yang sudah dipersiapkan, terhadap kewajiban masing-masing untuk membeli dan menjual listrik yang dihasilkan oleh KBC sesuai dengan harga berdasarkan kontrak. Dengan mengetengahkan bukti yang disampaikan oieh saksi ahli Bapak Dermawan yang menyatakan bahwa di dalam hukum Indonesia tidak ada konsep "anticipatory repudiation" (penolakan pembayaran hutang yang sebelumnya sudah direncanakan), KBC menekankan bahwa maksud pernyataan untuk tidak lagi terikat dengan kontrak merupakan pelanggaran terhadap kewajiban untuk melaksanakan kontrak atau perjanjian dengan itikad baik. hukum Indonesia mengijinkan pemutusan kontrak apabila salah satu pihak secara material telah melanggar kontrak. KBC menunjuk isi Pasal 12.1 ESC dan Pasal 20 JOC sebagai berikut: "Para pihak dengan ini mengabaikan ketentuan dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata bekenaan dengan Perjanjian ini untuk memberikan keleluasaan yang diperlukan untuk mengakhiri Perjanjian ini tanpa melalui persetujuan Pengadilan." Sebagai alternatif dari pemutusan atau pemberhentian kontrak tersebut, di dalam Pernyataan Tuntutan yang teiah diperbaiki tertangal 24 Nopember 1999, KBC meminta pelaksanaan perjanjian khusus.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
29
Gatot Soemartono
[email protected]
2) Posisi Pertamina Pertamina tidak mengakui bahwa mereka telah menolak kontrak yang sudah disepakati dan menekankan bahwa konsep penolakan kontrak yang sudah diantisipasi tidak ada di dalam hukum Indonesia. Walaupun mereka mengakui bahwa pemutusan kontrak yang berdasarkan hukum dapat saja terjadi dalam kasus pelanggaran, akan tetapi mereka menekankan bahwa satu pihak tidak dapat mempercepat pelaksanaan kewajiban pihak lainnya. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa pemutusan kontrak bukanlah tuntutan atas tindakan yang berhubungan dengan pemerintah sesuai dengan isi Kontrak.
3) Dasar dan putusan majelis arbitrase Dengan membahas berbagai konsep perihal penolakan dan pemutusan kontrak, KBC sesungguhnya telah memberikan masukan yang cukup lengkap sehubungan dengan hal ini. Lebih jauh majelis arbitrase mengacu pada Bapak Dermawan, saksi ahli Pertamina, bahwa berdasarkan hukum Indonesia, konsep penolakan kontrak di dalam hukum adat tidak cocok apabila dimasukkan di dalam hukum perdata. Sebaliknya, di dalam sistem hukum perdata terdapat konsep pemutusan akibat pelanggaran. Namun demikian, apabila konsep penolakan tersebut diterima di dalam sistem hukum Indonesia, maka majelis arbitrase tetap memutuskan hahwa PLN ataupun Pertamina sesungguhnya telah melanggar Kontrak.
PLN
secara langsung, Pertamina secara tidak langsung telah menyatakan bahwa mereka menangguhkan pelaksanaan kontrak untuk sementara waktu sebagai akibat dari Keputusan Presiden Tahun 1998. Karena mereka tidak memiliki alasan sah untuk melakukan hal tersebut, tindakan ini merupakan pelanggaran kontrak. Kegagalan untuk berusaha sebaik mungkin demi dilanjutkannya kembali proyek Karaha Bodas memperberat pelanggaran pertama yaitu pelanggaran untuk melakukan pelaksanaan kontrak dengan Based on Gatot’s Research Only for Private Use
30
Gatot Soemartono
[email protected]
itikad baik. Pelanggaran-pelanggaran tersebut memberikan hak bagi KBC untuk memutuskan kontrak. Pelanggaran kontrak merupakan alasan yang mendasar untuk pemutusan kontrak berdasarkan hukum Indonesia.67 Sehubungan dengan klausula-klausula yang ditulis di dalam kontrak, majelis arbitrase memiliki kekuasaan perihal pemutusan Kontrak. Dalam kedua kontrak para pihak telah menerima bahwa kontrak dapat diputuskan oleh salah satu pihak tanpa melalui persetujuan pengadilan.68 Karena itu, mereka menerima bahwa pengakhiran dapat diputuskan oleh Pengadilan Arbitrrase. Jadi meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan di dalam kontrak tersebut, majelis arbitrase berkuasa mengakhiri kontrak cukup dengan menunjuk pada kesepakatan para pihak untuk mengajukan sengketa-sengketa mereka agar diputuskan melalui arbitrase. Dengan melakukan hal ini, para pihak telah memberikan wewenang hukum kepada majelis arbitrase untuk memutuskan kontrak. Majelis arbitrase berpendapat bahwa tidak ada satupun ketentuan dari kedua Kontrak yang dapat dianggap menghalangi pemutusan kontrak. Pasal 11.3 ESC mengharuskan agar pihak yang lalai mengirim pemberitahuan perihal kelalaian tersebut sebelum pihak lainnya memutuskan kontrak, dan pihak yang lalai tersebut diberi "jangka waktu yang cukup untuk memperbaiki kesalahan tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama." Mekanisme tersebut yang disusun berkenaan dengan pemutusan kontrak tidak dapat diterapkan di dalam pemutusan yang dilakukan oleh majelis arbitrase. Hal ini pada dasamya diterapkan terhadap kasus-kasus di mana para pihak setuju
67
Meskipun majelis arbitrase selalu mengacu pada peraturan hukum Indonesia, koordinator pengacara Pertamina kepada penulis (dalam wawancara 21 Maret 2005) menyatakan bahwa majelis arbitrase telah salah menerapkan hukum karena tidak menggunakan hukum Indonesia sebagai governing law; padahal pilihan hukumnya (choice of law) yaitu: hukum Indonesia telah ditentukan secara tegas di dalam perjanjian. Dikatakannya bahwa mereka justru menggunakan hukum Swiss, dan hanya hukum acaranya (procedural law) menggunakan ketentuan UNCITRAL. 68 Lihat Pasal 12.1 ESC;dan Pasal 20 JOC.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
31
Gatot Soemartono
[email protected]
bahwa kelalaian dapat diperbaiki, karena mereka harus menyetujui tenggang waktu yang diperlukan untuk memperbaiki kelalaian tersebut. Hal ini tidak berlaku apabila salah satu pihak menyampaikan tuntutan akibat pelanggaran pihak lain yang kemudian pihak lain tersebut tidak mengakuinya. Di dalam kasus ini, peraturan pemutusan kontrak yang diterapkan adalah peraturan berdasarkan hukum yang berlaku. Selanjutnya majelis arbitrase menggarisbawahi fakta berikut ini, yaitu enam tahun telah lewat setelah pelaksanaan kontrak dan hampir tiga tahun sejak dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 yang memutuskan kontrak. Karena itu, dengan menimbang bahwa Pertamina telah gagal melakukan usaha sebaik mungkin demi diteruskannya proyek tersebut dalam waktu dekat, tidaklah masuk akal untuk tetap mempertahankan ikatan para pihak dengan kontrak yang juga bertolakbelakang dengan kepentingan semua pihak, pokok dasar kontrak, dan tujuan yang sah dari masing-masing pihak yang semuanya ini harus dihormati oleh majelis arbitrase berdasarkan Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 (h) ESC. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka majelis arbitrase menyatakan bahwa kontrak JOC dan ESC diputuskan atau diberhentikan. Dengan demikian tuntutan KBC terhadap pelaksanaan tertentu, yang disampaikan di dalam alternatif, sebaiknya diabaikan.
c. Ganti Kerugian atas Kehilangan Modal Perlu digarisbawahi bahwa dalam kasus pelanggaran kontrak, pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut ganti kerugian. Prinsip hukum umum ini juga merupakan bagian dari hukum Indonesia dan tidak dibantah oleh para pihak. Jadi, Pertamina berkewajiban membayar ganti kerugian terhadap KBC karena Pertamina telah melanggar kewajiban yang tercantum di dalam kontrak.
Namun
demikian,
jumlah
ganti
kerugian
tersebut
harus
diperhitungkan dan dinyatakan. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
32
Gatot Soemartono
[email protected]
KBC mengajukan permohonan untuk memperoleh ganti kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan dan sebagai alternatif terhadap ganti kerugian akibat
kehilangan
modal,
KBC
minta
agar
Pertamina
secepatnya
mengirimkan sejumlah uang.
1) Argumentasi KBC KBC terutama menuntut untuk mendapatkan ganti kerugian atas sejumlah uang yang telah dipakai untuk modal ditambah bunga sebesar 15–16 persen dari jumlah tersebut. Menurut KBC tuntutan ini didasarkan pada konsep pendekatan ganti kerugian berdasarkan kontrak yang dinamakan damnum emergens (kerugian yang sebenarnya dan bukan yang diantisipasi), yang sesungguhnya telah diterapkan oleh berbagai arbitrase internasional. Demikian pula berdasarkan asumsi bahwa hukum Indonesia dan prinsip yang dipakai di dalam arbitrase internasional (yang telah diterima dengan baik) memberikan ijin bagi KBC sebagai pengugat untuk menerima ganti kerugian sesuai dengan prinsip keadilan. KBC berpatokan pada bukti yang memperlihatkan bahwa ia telah menggunakan uang sejumlah 94,6 (sembilan puluh empat koma enam) juta dolar Amerika demi mencapai tujuan yang tercantum di dalam kontrak atau perjanjian. KBC menyatakan bahwa berdasarkan dokumen dan kesaksian Mr. Dan Campbell dan Mrs. Barbara Bishop Gollan, yang telah diuji di dalam pemeriksaan silang saksi, ditetapkan bahwa ongkos yang telah dikeluarkan oleh KBC adalah sehubungan dengan pembiayaan yang secara khusus berhubungan dengan eksplorasi dan pembangunan proyek. Akibatnya, jumlah 94,6 juta dolar tidak selayaknya dibantah dan harus dibayar bersama dengan bunganya. Sehubungan dengan hukum Indonesia yang membahas pula masalah damnum emergens, maka menurut KBC, tidaklah menjadi masalah apabila proyek tersebut tidak diselesaikan sesegera mungkin untuk memperoleh Based on Gatot’s Research Only for Private Use
33
Gatot Soemartono
[email protected]
keuntungan; KBC tidak dapat diasumsikan sebagai pihak yang harus menanggung biaya pelaksanaan proyek sebagai akibat dari kegagalan pelaksanaan karena hal-hal di luar kekuasaan pihak tersebut. KBC bersamaan dengan ini menolak argumentasi Pertamina yang mempertanyakan kepatutan jumlah biaya KBC. Dari sudut pandang KBC, tanpa perlu harus menetapkan kepatutan jumlah biaya yang dikeluarkan KBC, jumlah tersebut adalah bukti pengeluaran yang dipakai untuk proyek, bukan untuk maksud lainnya. Selanjutnya, KBC menyatakan bahwa seluruh kesaksian para saksi dari KBC menunjukkan bahwa biaya tersebut dikeluarkan berdasarkan keputusan yang hati-hati dan wajar.
2) Argumentasi Pertamina Karena menyangkut masalah prinsip, Pertamina menolak bahwa KBC berhak memperoleh ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk pembangunan proyek. Pertamina yakin bahwa KBC sendiri mengakui dengan suratnya kepada Pertamina tertanggal 9 September 1997 dan Laporan Keuangan, bahwa pada saat kontrak JOC dan ESC disepakati bersama, pihak ini telah mengasuransikan risiko yang mungkin terjadi; risiko tersebut yaitu, apabila belum ada keuntungan yang cukup dari hasil penjualan listrik kepada PLN, yang dapat menutupi ongkos pembiayaan, maka mereka tidak dapat memperoleh ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan. Pertamina tetap berkeyakinan bahwa sebagai pihak yang mengajukan permohonan pemberhentian proyek, KBC harus menanggung sendiri konsekuensi dari tidak adanya keuntungan yang dihasilkan untuk menutupi biaya yang sudah dikeluarkan. Pertamina menuduh bahwa KBC telah mengeluarkan ongkos yang sia-sia karena tidak tepat dan tidak efisien dalam melakukan eksplorasi sehingga Pertamina sendiri tidak memperoleh keuntungan apapun.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
34
Gatot Soemartono
[email protected]
Berdasarkan laporan ahli yang diajukan oleh Pertamina dinyatakan bahwa KBC selama dua tahun melakukan eksplorasi di utara Karaha, daerah yang tidak produktif, dan mereka tidak mendapat manfaat apa-apa dari program penelitian geologi yang mengukur kadar konduktivitas listrik pada batu yang apabila tidak dilakukan sesungguhnya dapat menghemat jutaan dolar. KBC pada tahap berikutnya telah salah memilih daerah proyek yaitu daerah kawah di Telaga Bodas, yang disinyalir mengandung zat-zat kimia yang membuat daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi, akibatnya, dari segi komersialisasi usaha pembangunan tersebut tidak praktis. Meskipun Pertamina menyatakan bahwa tidak seharusnya ada ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi dan pembangunan, Pertamina mengajukan permohonan berikut: "putusan apapun harus dikurangi, sedikitdikitnya sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) Juta Dolar Amerika sebagai biaya yang dikeluarkan sia-sia sesuai dengan dokumentasi yang diserahkan oleh Mr. Layman." Pertamina juga tetap berkeyakinan bahwa biaya yang diklaim KBC termasuk jutaan dolar yang telah dikeluarkan oleh Pertamina dengan tujuan pembangunan dan infrastruktur serta untuk pelatihan para teknisi tidak lagi bermanfaat apa-apa sebagaimana diakui oleh KBC sendiri di dalam upaya pendekatannya dengan pemerintah Indonesia pada September 1997. Pertamina menyampaikan pula masalah pengeluaran tertentu yang dikeluarkan oleh pemegang saham KBC yaitu PT Sumarah. Pengeluaran tersebut dinyatakan sebagai "ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor pusat” yang jumlahnya sebesar beberapa persen yang telah disetujui dari pengeluaran total KBC. Pertamina seharusnya tidak mengganti pembayaran kepada PT Sumarah dalam bentuk apapun yang disebutnya sebagai "pembayaran tidak tercatat dan tidak beralasan."
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
35
Gatot Soemartono
[email protected]
Akhimya, Pertamina menolak dengan menyatakan bahwa putusan apapun terhadap KBC sehubungan dengan biaya pembangunan tersebut adalah dalam bentuk Rupiah Indonesia, dan bukan Dolar Amerika, serta harus berdasarkan pengeluaran dalam nilai uang Rupiah sesuai dengan nilai tukar uang pada saat biaya tersebut dikeluarkan. Dengan mempertimbangkan turunnya nilai uang Rupiah terhadap Dolar Amerika secara drastis setelah hampir seluruh biaya dikeluarkan, Pertamina menyatakan bahwa sangat melampaui batas dan tidak adil apabila putusan ganti rugi dihitung dalam Dolar Amerika.
3) Penilaian majelis arbitrase dan putusan Berdasarkan permasalahan yang dibahas di dalam Arbitrase sekarang ini, hubungan kontrak di antara para pihak dikategorikan ke dalam Long Term International
Development
Agreements
(Perjanjian
Pembangunan
Internasional Jangka Panjang), di mana penanam modal asing berasumsi pada pelaksanaan awal mengenai kewajiban pokok bahwa pembiayaan, tahap perencanaan, konstruksi, dan pengoperasian alat-alat teknologi modern untuk membangun sarana industri dalam rangka pendayagunaan sumber alam yang tersedia di dalam wilayah Indonesia adalah demi kepentingan masyarakat umum. Dengan melakukan komitmen tersebut, penanam modal asing selama ketentuan di dalam kontrak masih berlaku yang pada akhirnya memberikan hasil kepada masyarakat umum, berhak tidak saja memperoleh kembali modal yang ditanam pada tahap awal, namun juga keuntungan tertentu yang telah dijamin di mana laba bersih telah ditetapkan dan disetujui bersama di dalam analisis keuangan. Hubungan antara hak dan kewajiban para pihak tercermin di dalam struktur kontrak tersebut yang membawa pada kesimpulan yang logis dan tidak dapat dihindari bahwa pada saat penanam modal terhalangi untuk melaksanakan kontrak yang mengikat yang disebabkan oleh hal-hal di luar Based on Gatot’s Research Only for Private Use
36
Gatot Soemartono
[email protected]
kekuasaannya, penanam modal tidak menanggung konsekuensinya. Di sini, penanam modal asing berhak memperoleh ganti rugi dari seluruh modal yang ditanam sebagai bagian penting dari kompensasi tersebut. Artinya, akibat pembatalan atas pekerjaan yang sebelumnya telah diselesaikan, yang hal ini telah diantisipasi di dalam kontrak, maka penanam modal harus mendapat ganti rugi atas pengeluaran yang telah dibuktikan. Perlu dicatat bahwa Pasal 1.1 JOC mewajibkan KBC mengatur keuangan untuk pembiayaan “berbagai aspek” dalam rangka "pengoperasian geotermal” yang didefinisikan sebagai “seluruh aktivitas apapun dalam bentuk eksplorasi, penemuan, pembangunan, dan produktivitas, pembangunan Fasilifas Lapangan dan Pembangkit Tenaga Listrik," dan juga "pemasokan dan penjualan Energi Geo-termal (Panas Bumi) dan Listrik yang kemudian dihasilkan." Sehubungan dengan pelaksanaan aktivitas tersebut di atas dan dengan adanya pembiayaan penuh oleh KBC, sesuai dengan ketentuan Pasal 5.1, telah diberikan kepada KBC "lisensi dan hak tersendiri dan yang tidak dapat dibatalkan selama ketentuan kontrak berlaku untuk menggarap daerah yang dicantumkan di dalam kontrak." Hal ini mengandung pengertian bahwa KBC mendapatkan ijin untuk selama 30 tahun memperoleh Iaba bersih. Bersamaan dengan jaminan dasar lainnya yang diberikan kepada KBC, bentuk-bentuk jaminan yang tercantum di dalam Pasal 6.3 JOC adalah berkaitan dengan "Listrik yang Dihasilkan". Dalam kaitan dengan masalah ini, ESC yang disusun oleh PLN berisi berbagai ketentuan yang memberikan hak dan kewajiban yang sama, dan juga jaminan atas pembelian listrik yang dihasilkan menurut harga yang telah dijamin yang dihitung berdasarkan ongkos dalam nilai uang yang dari awal telah ditentukan oleh KBC; yaitu dalam Dolar Amerika (Pasal 1, 2 dan 5 ESC).
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
37
Gatot Soemartono
[email protected]
Terkait dengan keseluruhan masalah, majelis arbitrase terikat untuk menghormati
ketentuan
yang
tercantum
di
dalam
kontrak
yang
menggambarkan filosofi keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak, khususnya berdasarkan pedoman yang disusun dan diberikan di antara para pihak di dalam Pasal 13.2 (b) JOC dan Pasal 8.2 (b) ESC. Di dalam peraturan telah ditentukan dengan jelas dan langsung, di satu pihak, bahwa pemahaman dan penerapan hukum yang dipilih, yang adalah hukum Indonesia, harus dilaksanakan dengan sikap "konsisten sesuai dengan jiwa Kontrak dan hal-hal yang mendasari keinginan para pihak," dan sikap pelaksanaan
hukum
tersebut
di
pihak
lain
mensyaratkan
"harus
mencerminkan penilaian atas penafsiran yang benar atas semua ketentuanketentuan yang berkaitan serta pelaksanaan yang adil dan tepat atas isi Perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut." Oleh sebab itu, pemberian mandat tertinggi untuk memilih cara penyelesaian perkara bertujuan mencapai keinginan mendasar dan keinginan sah para pihak secara tepat, sebagaimana dimengerti melalui struktur teks secara keseluruhan dari dokumen kontrak atau perjanjian. Bersamaan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan pendapat hukum yang disampaikan oleh para ahli dari kedua pihak.69 Hal ini sehubungan dengan fakta yang tertulis di dalam KUHPerdata Pasal 1423 - 1252, yaitu hukum yang telah dipilih untuk diterapkan, yang memberikan hak kepada pihak yang tidak melanggar kontrak untuk menuntut uang damnum emergens, ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk pelaksanaan yang tercantum di dalam kontrak. Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, majelis arbitrase berpendapat bahwa KBC harus mendapatkan ganti rugi damnum emergens bersamasama dengan ganti rugi atas pengeluaran dalam rangka pelaksanaan kedua 69
Ahli hukum yang diminta kesaksiannya dari Pertamina adalah Didi Dermawan, sedangkan Robert Hornick adalah saksi ahli KBC.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
38
Gatot Soemartono
[email protected]
kontrak yang disusun bersama Pertamina, yaitu melalui perolehan kembali modal yang telah ditanam untuk melaksanakan kegiatan yang tercantum di dalam JOC bersama dengan Pertamina dengan pertimbangan akan ada keuntungan yang dihasilkan di masa mendatang sebagaimana tercantum di dalam ESC bersama-sama dengan PLN. Bertolakbelakang dengan keberatan yang diajukan oleh Pertamina, karena apabila KBC meragukan haknya untuk memperoleh kembali sejumlah uang yang telah ditanam untuk pelaksanaan proyek (yang didasarkan pada bukti-bukti pribadi sampai pada kesimpulan), maka hal ini berarti KBC menolak haknya dalam bentuk apapun yang tercantum di dalam kontrak atau peraturan hukum. Dalam bentuk pernyataan yang lebih konkrit, pandangan Pertamina dalam hal ini tidak konsisten dengan surat KBC kepada Pertamina tertanggal 9 September 1997, maupun Laporan Keuangan atau dokumen berikutnya yang terkait dengan pendekatan KBC terhadap Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat.
Sementara itu, KBC sendiri secara terus-
menerus telah menekankan perihal risiko yang timbul akibat perpanjangan penangguhan proyek dalam bentuk kerugian uang serta akibat biaya yang sebelumnya telah dikeluarkan untuk proyek. Di bawah ini adalah jawaban terhadap argumentasi Pertamina yang menyatakan bahwa sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) juta dolar Amerika yang dikeluarkan oleh KBC adalah sia-sia karena program eksplorasi yang dilakukan KBC tidak tepat dan tidak efisien sehingga tidak memberikan manfaat apa-apa bagi Pertamina. Berdasarkan laporan ahli dari Pertamina yang diserahkan di dalam sidang pemeriksaan, majelis arbitrase yang bertugas setuju sepenuhnya terhadap putusan yang disampaikan oleh majelis arbitrase dalam kasus Himpurna California Energy yang dengan jelas menyatakan bahwa: "Di dalam kasus pelanggaran kontrak, ongkos yang dikeluarkan oleh Penggugat adalah sia-sia jika biaya yang dikeluarkan tidak Based on Gatot’s Research Only for Private Use
39
Gatot Soemartono
[email protected]
ada hubungannya sama sekali dengan apakah biaya tersebut dikeluarkan secara bijaksana atau membawa keuntungan.”70 Tindakan Pertamina tentunya telah menjadikan biaya yang dikeluarkan KBC kehilangan nilai. Pertamina saat ini berhak untuk meragukan kelayakan pengeluaran tersebut karena Pertamina telah memperlakukan KBC sebagai pihak yang tidak dapat mengambil keuntungan dari pengeluaran sehubungan dengan pelaksanaan proyek dan tidak dapat menunjukkan secara nyata kegunaan pengeiuaran tersebut. Sehubungan dengan argumentasi Pertamina tersebut, menurut majelis arbitrase KBC dinilai layak untuk mendapatkan ganti kerugian atas seluruh ongkos yang telah dibuktikan pengeluarannya untuk pelaksanaan proyek, tanpa ia harus mengikuti perdebatan setelah pengeluaran tersebut dilakukan, sehubungan dengan manfaat yang diperoleh dari pemakaian uang tersebut. Dengan kata lain, KBC berhak untuk memperoleh ganti rugi atas ongkosongkos dan modal yang sudah ditanam yang secara layak telah dibuktikan dan langsung berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan Kontrak yang telah disepakati bersama dengan Pertamina. Analisis yang sama juga diterapkan terhadap argumentasi KBC tentang pengeluaran yang diserahkan kepada PT Sumarah selaku pemegang saham KBC. Tidak ada dokumen yang mempertanyakan keterlibatan PT Sumarah sebagai pemegang saham yang telah diumumkan secara publik dan namanya tercantum di dalam Laporan Keuangan dan Laporan yang diserahkan kepada Pertamina dan PLN. Jumlah uang yang disebut sebagai "ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor pusat," yang diterima oleh mitra lokal, telah diumumkan secara terbuka dan telah ditulis bersamaan dengan laporan biaya yang juga disampaikan kepada Pertamina dan tidak
70
Lihat Mealey’s International Arbitration Report, op. cit., hlm. 33, mengutip Final Award dalam Himpurna California Energy Ltd. – Bermuda Case, hlm. 130 – 131.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
40
Gatot Soemartono
[email protected]
menimbulkan keberatan dari pihak Pertamina sampai akhirnya keberatan tersebut dinyatakan di dalam sidang pemeriksaan. Berdasarkan fakta, pengeluaran dalam bentuk persentase yang telah disepakati tidaklah dilakukan dalam bentuk pembayaran sembunyi-sembunyi atau secara tidak pantas. Oleh sebab itu, majelis arbitrase tidak menemukan dasar atas tuduhan bahwa pembayaran tersebut tidak layak dan tidak pantas, dengan demikian majelis arbitrase menolak keberatan Pertamina untuk memberikan ganti rugi atas pembayaran tesrebut. Sebagaimana argumentasi yang disampaikan oleh Pertamina yang menyatakan bahwa jumlah uang yang diberikan kepada KBC sebagai ganti kerugian haruslah dalam bentuk rupiah dan dihitung menurut nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada saat uang tersebut dipakai, majelis arbitrase tidak menemukan kesulitan dalam menolak permohonan tersebut karena tidak diragukan lagi bahwa menurut catatan yang tersedia, seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh KBC adalah dana yang diterima dalam nilai dolar Amerika dari sumber dana luar negeri, terutama dari pemegang saham Amerika Serikat sendiri, dan dimasukkan ke dalam ekonomi nasional Indonesia untuk menutupi biaya lokal. Tidak berhubungan sama sekali kenyataan bahwa uang dalam dolar tersebut selanjutnya ditukar dalam bentuk rupiah Indonesia untuk menutupi biaya, karena pada mulanya modal dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Apabila tidak dilakukan dengan sistem tersebut maka KBC akan menderita kerugian yang secara hukum dan keadilan tidak dapat diterima. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, majelis arbitrase, dalam rangka menyusun perbaikan jumlah biaya modal yang telah dikeluarkan, berpatokan pada dokumen berisi Pembiayaan Proyek oleh KBC yang angka-angkanya dicantumkan di dalam Program Kerja dan Anggaran
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
41
Gatot Soemartono
[email protected]
tahun 1995-1998 dan yang telah disetujui oleh Pertamina berdasarkan Pasal 4.3.1 JOC.71 Karena majelis arbitrase tidak melihat adanya bukti bahwa Pertamina tidak setuju, majelis arbitrase mempertimbangkan bahwa KBC berhak menerima ganti rugi dari pembiayaan yang telah dibuktikan dan tidak disengketakan sebesar 8,3 (delapan koma tiga) juta dolar Amerika untuk tahun 1995; 26,4 (duapuluh enam koma empat) juta dolar Amerika untuk tahun 1996; 48,5 (empatpuluh delapan koma lima) juta dolar Amerika untuk tahun 1997; dan 9,9 (sembilan koma sembilan) juta dolar Amerika untuk tahun 1998; yang semuanya dijumlah secara total adalah sebesar 93,1 (sembilan puluh tiga koma satu) juta dolar Amerika. Majelis arbitrase tidak memiliki dokumen yang dapat digunakan sebagai bukti atas beberapa hal, yang termasuk di dalam klaim secara global, untuk memeriksa akurasi atas hubungan pengeluaran pada tahun 1999 dalam rangka pelaksanaan akhir seluruh operasi yaitu sejumlah 1,6 (satu koma enam) juta dolar Amerika sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam kontrak. Hal ini karena tidak ada lagi program kerja atau anggaran yang diserahkan kepada Pertamina untuk disetujui. Oleh sebab itu, majelis arbitrase tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi sebesar 1,6 juta dolar Amerika, karena tidak cukup bukti-bukti yang menyatakan bahwa jumlah tersebut telah digunakan KBC sebagai modal untuk memenuhi Kontrak. Setelah membuat keputusan bahwa KBC berhak memperoleh ganti rugi atas modal yang sudah ditanam, dan wajib diberikan damnum emergens yang bersamaan dengan pelaksanaan proyek sesuai kontrak berakhir terhitung sebesar 93,1 (sembilan puluh tiga koma satu) juta dolar Amerika,
71
Pasal tersebut isinya antara lain meminta Pertamina untuk menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya dalam tempo 30 hari.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
42
Gatot Soemartono
[email protected]
maka majelis arbitrase sekarang harus menetapkan nilai ganti rugi akibat kehilangan modal. Untuk membuat keputusan yang sulit ini, majelis arbitrase harus menggunakan satu-satunya cara penyelesaian melalui bukti yang diserahkan oleh Professor Ruback, saksi ahli dari KBC, yaitu apa yang disebuf risk-free rate, yaitu: tingkat bunga yang dibayarkan untuk pinjaman uang ketika risiko bahwa bunganya tidak akan dibayarkan dipertimbangkan sebagai nol, sebesar 5,8% per tahun, tarif saat itu yang diambil dari Surat Obligasi di Amerika Serikat yang sudah berlaku selama 20 tahun (US Government Bond). Penggunaan risk-free rate ini memberikan keuntungan karena ukuran yang konservatif tersebut memungkinkan seseorang bersikap hati-hati, dengan menempatkan jumlah tertentu dalam bentuk penanaman modal yang terjamin, serta memperoleh hasil yang tingkat spekulatifnya paling rendah. Dengan membuat kalkulasi berdasarkan petunjuk tersebut, jumlah total yang diperlihatkan kepada majelis arbitrase, terhitung jumlah uang tiap akhir tahun dari mulai dikeluarkan oleh KBC sebagai biaya pengeluaran untuk proyek Karaha Bodas sampai berakhir pada tahun 2000, adalah nilai saat ini yaitu jumlah uang yang dipakai sebagai modal di mana KBC pantas memperolehnya kembali sebagai ganti rugi berdasarkan damnum emergens seperti yang diuraikan di bawah ini: 1995
8,3 Juta Dolar Amerika + (8,3 Juta X 5,8% X 5) =
10,7 Juta
1996
26,4 Juta Dolar Amerika + (26,4 Juta X 5,8% X 4) =
32,5 Juta
1997
48,5 Juta + (48,5 Juta X 5,8% X 3)
=
56,9 Juta
1998
9,9 Juta + (9,9 Juta X 5,8% X 2)
=
11,0 Juta
=
111,1 Juta
TOTAL
KBC mengajukan permohonan agar Pertamina dan PLN secara bersamasama dan masing-masing dijatuhi hukuman berupa kevvajiban membayar ganti rugi. Dari penemuan majelis arbitrase, Pertamina dan PLN bekerja Based on Gatot’s Research Only for Private Use
43
Gatot Soemartono
[email protected]
sama dalam tingkatan yang sama melakukan pelanggaran bersama terhadap kewajiban yang terdapat di dalam kontrak. Oleh sebab itu, majelis arbitrase menjatuhkan hukuman terhadap Pertamina dan PLN kepada KBC secara bersama-sama dan masing-masing untuk membayar KBC
sebesar 111,1
juta sebagai ganti rugi karena jumlah tersebut telah dipakai dalam rangka pembiayaan proyek.
d. Hilangnya Keuntungan yang Diharapkan Di samping kehilangan modal yang ditanam, KBC mohon ganti kerugian jenis kedua, yaitu kehilangan laba sehubungan dengan hilangnya kesempatan pembangunan geo-termal.
1) Posisi KBC KBC menggarisbawahi bahwa alasan yang menyertai permohonan tersebut tidak membuat penghitungan menjadi dua kali lipat karena perkiraan laba tersebut merupakan dasar dari penanaman modal sebelumnya, demikian bukti yang diajukan Professor R. Ruback dari Harvard Business School. Selanjutnya KBC menyatakan bahwa klaim ini sah menurut hukum Indonesia. Klaim tersebut, menyatakan sebagai salah satu pelanggaran kontrak adalah ganti kerugian, termasuk pula kehilangan laba, sebagaimana dibuktikan oleh saksi ahli KBC, Robert Hornick, dan yang saksi ahli Pertamina sendiri tidak menunjukkan keberatan apapun. KBC menunjuk pada Pasal 1246 KUHP yang membahas bahwa ganti rugi adalah termasuk pula “kehilangan yang diderita oleh pihak yang berpiutang dan keuntungan yang seharusnya diperoleh.” Berdasarkan hukum Indonesia dan prinsip arbitrase internasional yang diakui, jumlah ganti rugi dalam bentuk tersebut ditentukan berdasarkan prinsip keadilan atau ex aequo et bono. Menurut KBC, klaim atas kehilangan
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
44
Gatot Soemartono
[email protected]
laba dengan pembuktian, dipertimbangkan bukan berdasarkan ketentuan yang absolut namun berupa perkiraan. Bukti yang diserahkan KBC memperlihatkan bahwa dari persediaan geotermal dapat dibangun pembangkit tenaga listrik berkapasitas 210 MW. Dengan demikian Pertamina telah salah menafsirkan dokumen proyek yang menyebutkan
kapasitas
tenaga
listrik
sebesar
55MW
dan
110MW.
Selanjutnya bukti memperlihatkan bahwa salah satu pemegang saham KBC, FLP Energy, Inc., sesungguhnya akan menyediakan dana suntikan, dan memberikan pertolongan untuk pembiayaan atau penanaman modal secara langsung untuk pelaksanaan proyek tersebut dengan perkiraan bahwa PLN dan Pertamina akan melaksanakan kontrak yang sudah disepakati. FLP Energy Inc. rencananya
akan memberikan bantuan pembiayaan karena,
antara lain, perusahaan ini telah menanam sebesar US$ 40 (empat puluh) juta dolar Amerika ke dalam proyek tersebut dan karena ESC dan JOC memakai nilai mata uang Amerika. Kalkulasi KBC atas kehilangan laba didasarkan pada cash flow yang diperkirakan, yaitu pendapatan yang akan diperoleh dari proyek (yang dihitung berdasarkan jumlah listrik yang akan dipasok, yaitu 210 MW kepada PLN) untuk ditukar dengan pembayaran kapasitas sesuai dengan kontrak ESC. Berdasarkan ESC, pemotongan tarif harga akan dikenakan setelah dipertimbangkan bahwa hasil penjualan listrik akan diterima selama lebih 30 tahun. Menurut Profesor Ruback, tariff tersebut adalah sebesar 8,5 persen. Berdasarkan bukti yang dikemukakan, KBC menyatakan klaim atas kehilangan laba adalah sebesar US $ 512,5 (lima ratus dua belas koma lima) juta dolar amerika, sesuai dengan tingkat perolehan (rate of return) sebesar kira-kira 16,2 persen. KBC mengklaim bahwa “pengiriman pembayaran yang telah dihitung” berdasarkan ESC dianggap sebagai alternatif terhadap kehilangan laba yang dihitung dalam bentuk cash flow yang akan diperoleh. Dalam ESC, PLN Based on Gatot’s Research Only for Private Use
45
Gatot Soemartono
[email protected]
diwajibkan “membayar dengan segera sejumlah uang yang telah dihitung” apabila penggugat tidak dapat membangun pembangkit tenaga listrik sebagai akibat dari keadaan memaksa. Di dalam kasus ini selanjutnya pembayaran pembangunan unit akan dikirim, yaitu kemampuan memasok listrik, dan PLN seharusnya akan terus melaksanakan kewajibannya membayar 90% dari pembayaran “tenaga listrik” sesuai dengan ketentuan Pasal 5.2 ESC dan 100% dari “pembayarn kapasitas listrik” berdasarkan Pasal 5.3 ESC dengan perhitungan volume MW dalam NOID, yaitu 210 MW. Jumlah yang dituntut oleh penggugat berdasarkan rujukan tersebut adalah sebesar US $ 437 (empat ratus tiga puluh tujuh) juta dolar amerika, sehubungan dengan tingkat perolehan sebesar 15,3 persen.
2) Posisi Pertamina Pertamina
tidak
menyangkal
bahwa
menurut
hukum
Indonesia,
sebagaimana menurut semua sistem hukum lainnya, kehilangan laba (lucrim cessans) merupakan suatu ganti rugi yang dapat dikenakan terhadap suatu pihak yang melanggar kontrak, ditambah dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya (damnum emergens). Namun demikian, di samping menolak tanggung jawab untuk pelanggaran kontrak atau semacamnya, Pertamina menegaskan bahwa KBC lalai membuktikan bahwa mereka itu siap, bersedia dan sanggup untuk melaksanakan JOC dan ESC. Secara khusus Pertamina menegaskan bahwa KBC tidak dapat memperoleh pembiayaan yang dipersyaratkan untuk menyelesaikan proyek, yang diperkirakan oleh KBC sendiri akan melampaui US $ 500 (lima ratus) juta dolar. Sebagaimana diakui oleh KBC bahwa pada saat itu tidak tersedia pembiayaan
tanpa
perlindungan
untuk
pelaksanaan
proyek
karena
goncangan ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia (dan bukan karena Keputusan Presiden atau tindakan apapun dari KBC). Based on Gatot’s Research Only for Private Use
46
Gatot Soemartono
[email protected]
Pertamina menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah ini, KBC telah menyatakan bahwa salah satu pemegang sahamnya, FLP Energy Inc., akan menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk waktu yang tidak ditentukan sampai kestabilan politik pulih di Indonesia dan pembiayaan proyek kembali tersedia. Pertamina menantang pula gagasan yang disampaikan KBC bahwa ia telah membuktikan kemampuannya untuk membangkitkan 210 MW tenaga listrik berdasarkan sumber panas bumi yang tersedia. Padahal sebetulnya baru di dalam NORC yang diperbaharui pada bulan Desember 1997 dan NOID
(yang menurut pandangan Pertamina sangat mencurigakan) KBC
menyatakan bahwa ia memperkirakan dapat memproduksi lebih dari 110 MW tenaga listrik. KBC menyatakan bahwa rencana kerja 1998 yang disiapkan oleh KBC menunjukkan bahwa aktivitas eksplorasi 1997 membuktikan dapat menghasilkan 55 MW kapasitas produksi dan bahwa ada rencana yang akan memusatkan perhatiannya untuk membuktikan adanya cadangan tambahan yang cukup untuk mengembangkan sampai pada 110 MW. Konsultan KBC yang independen, GeothermEx, telah memberikan rekomendasi jauh di bawah 210 MW sebagai angka kapasitas listrik yang akan dibangun. Seluruh analisis ahli-ahli yang laporannya telah diajukan oleh Pertamina dalam sidang perkara ini telah menegaskan bahwa perkiraan cadangan KBC didasarkan pada perkiraan yang tidak realistis dan tidak terbukti dan bahwa cadangan yang dieksploitasi adalah jauh di bawah angka 210 MW yang dikemukakan oleh KBC. Para ahli tersebut termasuk ahli dari KBC yaitu GeothermEx, telah menyatakan adanya persoalan dari kandungan kimia tertentu dari geo-termal yang akan digarap. Persoalan tersebut di dalam pandangan Pertamina tidak mudah untuk diselesaikan dan untuk mengatasinya diperlukan modal tambahan. Oleh sebab itu, KBC telah gagal untuk membuktikan kesanggupannya dalam membangun pembangkit tenaga listrik berkapasitas 210 MW. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
47
Gatot Soemartono
[email protected]
Sehubungan dengan teori “pengiriman pembayaran,” menurut Pertamina ESC tidak memberikan hak kepada KBC atas pengiriman pembayaran tersebut sampai perusahaannya membangun unit yaitu telah mencapai tanggal operasi pertama. Selanjutnya, KBC harus mengirim faktur untuk memperoleh pengiriman pembayaran yang seyogyanya harus dibayar setiap bulan, namun ia tidak pernah mengirim faktur tersebut. Akhirnya ketentuan mengenai pengiriman pembayaran tidak dapat diterapkan karena tidak ada NOID yang sah dan tidak ada dasar sama sekali untuk menentukan kapasitas yang dinilai per unit (sebagaimana didefinisikan oleh ESC) dari non-existent unit (unit yang tidak ada) dari KBC. Kalkulasi “kehilangan laba” yang dibuat KBC, berdasarkan laporan Profesor Ruback, di dalam pandangan Pertamina tidak dapat diterima karena didasarkan atas berbagai asumsi yang tidak realistis. Pertama, di dalam laporannya, Profesor Ruback hanya menerima laporan yang diberikan oleh KBC mengenai cash flow pengoperasian yang diproyeksikan untuk masa mendatang. Cash flow tersebut memperkirakan antara lain, bahwa KBC membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik berkapasitas 210 MW pada akhir 2001 dan pembangunan tersebut akan diteruskan selama 30 tahun dengan kapasitas penuh, tanpa alternatif lainnya. Selanjutnya, proyeksi pengoperasian cash flow dipotong oleh Profesor Ruback menjadi nilai sekarang yang tercantum pada tanggal 10 Januari 1998, yaitu pada saat keluarnya keputusan Presiden yang ditetapkan sebagai “tanggal pelanggaran kontrak”, dengan potongan harga 8,5%. Angka terakhir dianggap sebagai risk-free-rate (tarif harga bebas risiko) yaitu 5,8% dan risk premium sebesar 2,7% berdasarkan harga penjualan menurut saham CalEnergy, yaitu perusahaan yang dinyatakan sebagai perusahaan yang sejajar tingkatannya dengan KBC, dan Pertamina menolak pandapat ini. Penggunaan potongan tariff sebesar 8,5% sama sekali telah mengecilkan arti biaya modal yang sesungguhnya di tahun 1998 dan dengan demikian Based on Gatot’s Research Only for Private Use
48
Gatot Soemartono
[email protected]
membesar-besarkan pengertian kehilangan laba karena bunga biaya modal adalah sebesar 22% yaitu angka yang sama dengan hasil obligasi pemerintah Indonesia pada saat itu. Sebagaimana diperlihatkan oleh laporan salah satu ahli Pertamina, Mr. Norris, proyek tersebut berada pada titik break even (titik yang menunjukkan pendapatan = biaya) pada potongan tarif sebesar 20% walaupun telah disetujui oleh KBC seluruh asumsi yang mendasari penerimaan cash flow yang diproyeksikan tersebut. Pertamina berkeyakinan bahwa berdasarkan ahli mereka dalam hal ini Bapak Dermawan, menurut hukum Indonesia kerugian harus dibuktikan dan jika kehilangan laba di masa akan datang tidak dapat ditunjukkan maka tidak akan diberikan ganti rugi. Menurut pandangan Pertamina penentuan ganti rugi tidaklah seharusnya berdasarkan prinsip keadilan, yaitu ex aequo et bono (dan hal ini dilarang dilakukan oleh arbitrator karena tidak disepakati oleh para pihak), seperti ditentukan didalam Pasal 631 KUHPerdata dan Pasal 33 (1) Peraturan UNCITRAL.
Catatan: Untuk mendapatkan kejelasan penghitungan yang dilakukan oleh Prof. Ruback, penulis berusaha untuk mengklarifikasinya secara langsung melalui e-mail ke Universitas Harvard yang isinya sebagaimana tercantum di bawah:
Dear Prof. Ruback: I am pleased to write you an e-mail, and hope that it finds you well. My name is Gatot Soemartono, an 1997 LL.M. graduate of Harvard Law School and currently a senior lecturer at Tarumanagara University Law School in Jakarta, Indonesia. At present I am doing research on Karaha Bodas’s case funded by the University’s research center.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
49
Gatot Soemartono
[email protected]
When exploring all the data related to the case in question, I found that you have been appointed as one of the expert witnesses by Karaha Bodas Company (KBC). Even though I already have collected sufficient data (both from Pertamina and KBC), including a published international arbitration report of LexisNexis, I was unable to have access to some documents presented during the arbitration tribunal. Therefore I would be grateful if you briefly could address the following questions: 1. What is your consideration on using the trading price for the stock of CalEnergy, a company claimed to be comparable to Pertamina? 2. Do you think it is a justifiable expectation (not merely a speculation) to provide for the recovery of lost profit for a period of consecutive 30 years? 3. How did you come up with a discount rate of 8.5% (discounted to the projected operating cash flows’ present value as of January 1998) which, according to Pertamina’s calculation, would have been equal to the Indonesian government bonds of 22% at that time? Since you may have a busy schedule of your own, please do not hesitate to respond even one of the three questions. Thank you very much in advance for your assistance, and I look forward to hearing from you at your time convenience. Sincerely, Gatot Soemartono (Di bawah adalah terjemahan atas surat di atas. Yth. Prof. Ruback, Saya menulis e-mail kepada anda, dan mudah-mudahan anda menerimanya dengan baik. Nama saya Gatot Soemartono, lulusan LL.M dari Fakultas Hukum Universitas Harvard dan saat ini adalah dosen senior (lektor kepala) di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia. Sekarang saya sedang melakukan penelitian mengenai kasus Karaha Bodas yang dibiayai oleh lembaga penelitian Universitas Tarumanagara. Ketika saya mencari data yang terkait dengan kasus tersebut, saya mendapati bahwa anda adalah salah satu saksi ahli dari KBC. Meskipun saya telah mengumpulkan data yang cukup (baik dari Based on Gatot’s Research Only for Private Use
50
Gatot Soemartono
[email protected]
Pertamina maupun KBC), termasuk publikasi internasional atas laporan arbitrase dari LexisNexis, saya tidak dapat memperoleh akses terhadap beberapa dokumen yang digunakan dalam persidangan arbitrase tersebut. Oleh karena, saya akan sangat berterima kasih jika anda dapat secara singkat menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa pertimbangan anda untuk menggunakan harga saham dari CalEnergy, sebuah perusahaan yang dinilai sebanding dengan Pertamina? 2. Apakah menurut anda dapat dibenarkan (dan bukan hanya bersifat spekulatif): suatu perhitungan yang memberikan ganti kerugian atas hilangnya keuntungan yang diharapkan selama periode waktu 30 tahun berturut-turut? 3. Bagaimana anda dapat mengusulkan sebuah tingkat diskon sebesar 8,5% (dikaitkan dengan perkiraan aliran kas pada nilai saat ini, Januari 1998) yang, menurut perhitungan Pertamina, nilainya akan sama dengan bunga obligasi pemerintah Indonesia pada saat itu (ketika jatuh tempo)? Karena anda sendiri mungkin memiliki jadwal yang padat, saya mohon agar anda dapat menjawab pertanyaan tersebut, meskipun hanya satu di antaranya. Terima kasih sebelumnya atas bantuan anda, dan saya menunggu jawaban anda pada waktu yang tepat. Hormat saya, Gatot Soemartono
Namun demikian, patut disayangkan bahwa sampai laporan penelitian ini telah selesai disusun, jawaban dari Prof. Ruback tersebut tidak pernah penulis
terima
(meskipun
telah
dikirim
e-mail
yang
kedua
untuk
mengingatkan). 3) Penilaian dan putusan majelis arbitrase Menurut majelis arbitrase, hukum Indonesia sebagaimana pelbagai peraturan hukum lainnya mengatur pula tentang pemerolehan kembali atas laba yang hilang (lucrum cessans) sebagai bagian dari ganti kerugian terhadap mana pihak yang tidak bersalah berhak mendapatkannya dalam hal pelanggaran Based on Gatot’s Research Only for Private Use
51
Gatot Soemartono
[email protected]
kontrak, selain bagian ganti kerugian yang lain, damnum emergens (ganti rugi darurat). Sebagaimana di dalam peraturan hukum lainnya, pemerolehan kembali ganti rugi terbatas pada kerugian yang dapat diperkirakan ketika kontrak disusun dan mendapat ganti rugi segera dan secara langsung atas pelanggaran yang dilakukan. Majelis
arbitrase
berpendapat
bahwa
KBC
berhak
memperoleh
keuntungan dari hasil tawar menawar sebagai tambahan dari pendapatan kembali atas biaya yang telah dikeluarkan. Kehilangan kesempatan usaha (perte de chance) adalah dasar yang diakui secara luas untuk ganti rugi akibat kehilangan laba. Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang berhak diterima oleh KBC, KBC tidak memiliki rujukan untuk dijadikan patokan sebagai dasar alternatif untuk menentukan jumlah tersebut. Sebagaimana ditunjuk secara tepat oleh Pertamina bahwa kewajiban melakukan pembayaran tersebut didahului dengan perkiraan bahwa suatu unit telah dibangun, yaitu pada saat tanggal kegiatan pertama dimulai. Selanjutnya pembayaran hanya dilakukan apabila terdapat apa yang disebut keadaan memaksa dan selama tindakan keadaan memaksa berlanjut. Hal demikian ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kehilangan laba selama 30 tahun jangka waktu berlakunya ESC. Pertimbangan yang paling penting untuk dicantumkan di dalam kontrak telah disepakati bersama di antara para pihak. JOC dan ESC secara bersama-sama merupakan jaminan bagi KBC bahwa jika tenaga listrik telah siap untuk dijual, suatu langganan, yaitu PLN telah bersedia, yang akan terikat menurut kontrak untuk jangka waktu tiga puluh tahun untuk membeli seluruh produksi dengan harga yang didasarkan atas rumusan yang telah disepakati terlebih dahulu, dan yang akan dibayar dalam dolar Amerika. Kewajiban PLN seharusnya dijamin oleh dukungan surat dari Menteri Based on Gatot’s Research Only for Private Use
52
Gatot Soemartono
[email protected]
Keuangan ataupun Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia. Syarat ini sesungguhnya ditentukan oleh sistem perbankan untuk memperoleh kembali pinjaman atas pembiayaan yang diperlukan untuk pembangunan proyek. Selanjutnya campur tangan apapun dari pemerintah untuk mempengaruhi pelaksanaan
kontrak
adalah
termasuk
keadaan
memaksa
yang
membebaskan KBC dan bukan Pertamina dari kewajibannya. Oleh sebab itu risiko yang paling jelas dihadapi oleh penanam modal asing terutama yang berkecimpung di dalam proyek seperti ini, misalnya risiko komersial terhadap persediaan pasar, fluktuasi harga, inflasi nilai tukar uang, dan risiko campur tangan pemerintah dapat dihilangkan dengan dasar persetujuan kontrak para pihak. Pertamina
secara
benar
menggarisbawahi
risiko
yang
mungkin
mempengaruhi hasil ekonomi proyek tersebut selama pembangunan berlangsung seperti kemungkinan penundaan pembangunan pembangkit tenaga
listrik
dan
pengoperasian
besarnya
persediaan
yang
telah
diperkirakan oleh KBC, meskipun pembiayaan yang sesungguhnya tersedia untuk pembangunan proyek tersebut adalah sebesar jumlah biaya yang disetujui. Risiko-risiko tersebut, walaupun memang harus dipertimbangkan, tidak terlalu penting di hadapan majelis arbitrase, dibanding risiko akibat pengabaian perlindungan terhadap KBC. Sehubungan dengan jumlah yang wajib diganti, KBC berhak untuk mengirim pernyataan kepada Pertamina mengenai maksud mereka untuk membangun Energi Geo-termal melalui penyerahan NORC, yang setelah paling lambat 90 hari disusul dengan NOID. Menurut JOC, Pertamina dapat “secara teknis mengevaluasi” Enerji Geo-termal di bawah NORC, yang memungkinkan terjadinya diskusi di antara para pihak sehubungan dengan jumlah Enerji Geo-termal dan ketepatan data teknis. Akan tetapi setelah surat tersebut dikirim, KBC bebas mengirim NOID kepada Pertamina di mana Based on Gatot’s Research Only for Private Use
53
Gatot Soemartono
[email protected]
Pertamina harus memberikan surat pernyataan kepada pembeli (dalam hal ini PLN) mengenai maksud KBC untuk melaksanakan pembangunan Enerji Geo-termal dan pembangunan unit. Pasal 4.2 ESC menentukan bahwa Pertamina harus berkonsultasi dengan PLN untuk menjamin bahwa pembangunan fasilitas pembangkit tenaga listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan sistem transmisi Jawa. Tidak ada ketentuan yang dibuat dalam JOC ataupun ESC yang mendukung hak Pertamina untuk berkeberatan atau menentang maksud KBC untuk membangun persediaan di dalam jumlah yang dinyatakan di dalam NORC dan NOID. Setelah menyerahkan NORC pada bulan September 1997, KBC telah memberitahu Pertamina tentang NORC yang telah diperbaharui dan NOID pada tanggal 16 Desember 1997, yang mengkonfirmasikan bahwa sedikitdikitnya persediaan enerji sebesar 210 MW telah tersedia untuk dibangun, Pertamina telah mengkritik pemberitahuan tersebut dengan menyatakan bahwa KBC mengirim mereka pemberitahuan tersebut tanpa mengindahkan jangka waktu yang diberikan yaitu 90 hari dan mereka curiga karena jumlah persediaan yang dinyatakan di dalam NORC sebelumnya (pada bulan September) telah bertambah tanpa pembenaran dan saat itu adalah periode ketidakmenentuan
sehubungan
dengan
pembangunan
proyek
dan
berdasarkan Keputusan Presiden. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa hanya pada saat sidang pemeriksaan berlangsung. Pertamina menyatakan keberatan seperti ini terhadap NORC dan NOID yang dikirim penggugat tertanggal 16 Desember 1997. Catatan tertulis menunjukkan adanya persetujuan para pihak yang tidak mengindahkan periode 90 hari untuk pemberitahuan NORC dan NOID
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
54
Gatot Soemartono
[email protected]
Desember 1997 dan di dalam catatan tersebut nampak bahwa Pertamina tidak bereaksi terhadap NORC dan NOID tersebut.72 Perlu juga dicatat bahwa pemberitahuan-pemberitahuan oleh KBC terjadi selama jangka waktu pemberhentian proyek yang diperintahkan menurut Keppres Nomor 39 Tahun 1997 tanggal 20 september 1997 yang telah dibatalkan oleh Keppres Nomor 47 Tahun 1997 tanggal 1 Nopember 1997 karena itu keraguan Pertamina terhadap kebenaran pemberitahuan KBC tidak berdasar sama sekali. Walaupun demikian majelis arbitrase tidak meremehkan kemungkinan bahwa jumlah persediaan sebesar 210 MW yang dapat didayagunakan di wilayah kerja yang dikemukakan oleh penggugat mungkin terlalu tinggi. Hal ini di kemudian hari akan memberatkan, khususnya sehubungan dengan jumlah ganti rugi atas kehilangan laba. Mengenai pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pembangunan proyek menurut pendapat majelis arbitrase tidaklah beralasan sama sekali untuk meragukan kesiapan KBC dalam mengeluarkan biaya tersebut, baik secara langsung maupun melalui para pemegang saham. NORC dan NOID tanggal 16 Desember 1997 telah menunjukkan niat KBC untuk melanjutkan pembangunan Energi Geo-termal dalam jumlah yang telah diumumkan dan untuk pembangunan unit-unit yang diperlukan. Oleh sebab itu, KBC mengajukan permohonan pada tanggal 5 Januari 1998 untuk memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia yang berwenang untuk menggunakan dana alokasi fasilitas sejumlah US $ 380 (tiga ratus delapan puluh) juta dolar Amerika. Setelah dibatalkannya Keppres Nomor 47 Tahun 1997 melalui Keppres Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 10 Januari 1998, KBC telah berusaha mendesak baik melalui jalur politik maupun diplomatik untuk memperoleh 72
Hal ini didasarkan pada notulen tertanggal 14 Desember 1997 yang dibuat di dalam pertemuan Komite Bersama yang menyatakan bahwa persetujuan tersebut telah ditandatangani oleh kedua pihak.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
55
Gatot Soemartono
[email protected]
dukungan atas kelanjutan kembali proyek mereka di Indonesia. KBC mengajukan permohonan kepada Pertamina pada 23 Januari 1998 untuk melibatkan campur tangan
pejabat setempat agar proyek dilanjutkan
kembali. Menurut pendapat majelis arbitrase sikap KBC seperti telah dibuktikan di atas memperlihatkan keyakinan mereka bahwa proyek akan tetap dilanjutkan dan memberikan keuntungan meskipun dihalangi oleh perkembangan politik dan kesulitan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Secara sederhana adalah masuk akal bahwa kesulitan tersebut dapat diatasi bersamaan dengan berlalunya waktu dan penerimaan tindakan-tindakan yang diusulkan oleh IMF. Sebagaimana telah diuraikan tentang perlunya mempertimbangkan sejumlah risiko akibat tidak adanya perlindungan yang dapat dijamin oleh JOC dan ESC termasuk biaya modal yang lebih tinggi dari cash flow yang telah diperkirakan KBC, penundaan pembangunan pembangkit tenaga listrik dan pengoperasiannya, jumlah persediaan sumber geo-termal yang akan dikelola yang ternyata lebih rendah dari yang diharapkan, dan/atau pengelolaan modal dan ongkos operasional lebih tinggi dari cash flow yang direncanakan. Karena terlalu banyaknya variabel yang muncul di dalam proses pengevaluasian tersebut, beberapa pendekatan lain perlu dilakukan dengan tetap mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, yang ternyata dapat mengurangi klaim penggugat atas kehilangan laba. Setelah melakukan pertimbangan secara hati-hati atas elemen-elemen yang dapat timbul di dalam analisis yang disebut, dan untuk menetapkan jumlah kerugian akibat kehilangan laba berdasarkan bukti-bukti yang telah diserahkan oleh kedua pihak maka majelis arbitrase menetapkan jumlah kehilangan laba yang berhak diperoleh penggugat sebagai ganti rugi adalah sebesar US $ 150 (seratus lima puluh) juta dolar Amerika. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
56
Gatot Soemartono
[email protected]
e. Putusan atas Bunga dan Biaya Arbitrase Tentang tingkat bunga yang harus dibayar, majelis arbitrase mempunyai kebebasan
penuh
untuk
menetapkan
tarif
bunga
tersebut
dengan
mempertimbangkan situasi dari masing-masing pihak dan jumlah yang diizinkan. Untuk itu majelis arbitrase menetapkan bunga dengan tingkat 4% per tahun dari tanggal 1 Januari 2001 hingga tanggal pelunasan penuh. Berdasarkan Pasal 40 (1) Peraturan Arbitral UNCITRAL “biaya arbitrase pada dasarnya ditanggung oleh pihak yang kalah dalam persidangan, akan tetapi majelis arbitrase akan membuat seimbang penanggungan setiap ongkos di antara para pihak apabila penyamarataan tersebut masuk akal, dengan mempertimbangkan keadaan kasus tersebut.” Dalam hal ini Pertamina pada dasarnya mengalami kekalahan dalam perkara ini, tetapi tuntutan ganti kerugian KBC dalam jumlah yang cukup besar ditolak oleh majelis arbitrase. Dalam situasi ini majelis arbitrase mempertimbangkan adalah layak bagi Pertamina untuk menanggung 2/3 (dua per tiga) dari ongkos dan biaya arbitrase dan KBC membayar 1/3 (sepertiganya). Untuk itu ongkos dan biaya arbitrase di dalam tahap kedua dan terakhir arbitrase ini telah diputuskan sebagai berikut:
Biaya Arbitrase Yves DERAINS
146.337,00 Dolar Amerika
Piero BERNARDINI
109.752,69 Dolar Amerika
Ahmed EL KOSHERI 109.752,69 Dolar Amerika
Jumlah
pembiayaan
arbitrase
oleh
majelis
arbitrase
adalah
US
$34.140,00 (tiga puluh empat ribu seratus empat puluh) dolar Amerika. Secara total, ongkos dan biaya tahap kedua ini adalah US$ 399.982,38 (tiga ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh dua koma Based on Gatot’s Research Only for Private Use
57
Gatot Soemartono
[email protected]
tiga puluh delapan) dolar Amerika. Jumlah ini ditebus melalui pembayaran para pihak dengan rincian Pertamina membayar US $ 199.982,38 (seratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh dua koma tiga puluh delapan) dolar Amerika dan KBC membayar US $ 200.000 (dua ratus ribu) dolar Amerika, tetapi karena KBC telah diputuskan hanya membayar sepertiga dari jumlah US $ 399.982,38 Dolar Amerika, maka Pertamina diwajibkan untuk membayar sisa dari yang seharusnya dibayar oleh penggugat yaitu sebesar US $ 66.654,92 (enam puluh enam ribu enam ratus lima puluh empat dan sembilan puluh dua sen) dolar Amerika. Pasal 40 (2) Arbitrase UNCITRAL memberikan kebebasan kepada majelis arbitrase untuk memutuskan ongkos penasehat hukum beserta asisten mereka.
Dengan menimbang berbagai aspek di dalam kasus ini serta
berbagai klaim yang dimasukkan oleh KBC, maka majelis arbitrase menetapkan bahwa masing-masing pihak menanggung ongkos pembiayaan para penasehat hukum dan asisten mereka.
f. Putusan Akhir Majelis Arbitrase UNCITRAL Berdasarkan putusan-putusan yang telah dibuat tersebut, pengadilan Arbitrase UNCITRAL, pada 18 Desember 2000 di Jenewa, membuat temuan dan memutuskan sebagai berikut: 1. Pertamina dan PLN telah melanggar Perjanjian ESC dan Pertamina telah melanggar kontrak JOC. 2. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi hukuman dalam bentuk pembayaran ganti rugi sebesar US$ 111.100.000 juta (seratus sebelas juta seratus ribu) dolar Amerika untuk biaya-biaya yang diderita kepada KBC, termasuk bunga sebesar 4% pertahun terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas. 3. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US$ 150 (seratus lima puluh) Based on Gatot’s Research Only for Private Use
58
Gatot Soemartono
[email protected]
juta dolar Amerika untuk laba yang seharusnya diperoleh kepada KBC termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas. 4. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US $ 66.654,92 (enam puluh enam ribu enam ratus lima puluh empat dan sembilan puluh dua sen) dolar Amerika kepada KBC untuk biaya dan ongkos yang dikeluarkan sehubungan dengan fase kedua dan terakhir dari arbitrase ini, termasuk bunga sebesar 4% pertahun terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas. 5. Masing-masing pihak harus menanggung ongkos pembiayaan penasehat hukum dan para asisten mereka. 6. Tuntutan lainnya dari para pihak dinyatakan dibantah atau dihapuskan.
Catatan: Atas putusan arbitrase UNCITRAL di Jenewa tersebut, Pertamina memiliki waktu paling lama 30 hari untuk mengajukan pembatalan putusan tersebut kepada Pengadilan di Jenewa. Pengadilan Jenewa dikategorikan sebagai primary jurisdiction, karena putusan arbitrase diucapkan di Jenewa, sehingga memiliki wewenang untuk membatalkan putusan arbitrase (yang telah bersifat final dan mengikat). Tetapi anehnya sampai batas waktu 30 hari tersebut lewat, Pertamina sama sekali tidak mengambil tindakan hukum apa pun. Hal ini dapat diartikan bahwa Pertamina telah menerima putusan arbitrase tersebut.73
73
Simson Panjaitan sebagai koordinator pengacara Pertamina mengakui bahwa upaya “banding” ke pengadilan di Jenewa sebenarnya telah dilakukan tetapi terlambat; artinya jangka waktu maksimum 30 hari telah terlewati. Menurutnya, peristiwa ini perlu dilakukan penyelidikan (oleh pihak internal Pertamina sendiri): mengapa sampai terjadi keterlambatan tersebut. Artinya, perlu diselidiki mengapa hal yang fatal ini dapat terjadi, apakah ada unsur kelalaian atau bahkan telah terjadi permainan “kotor” di belakang semua ini.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
59
Gatot Soemartono
[email protected]
2. Proses Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat a. Gugatan Pertamina atas Putusan Arbitrase UNCITRAL Atas putusan majelis arbitrase UNCITRAL di Jenewa tersebut, Pertamina melakukan upaya hukum pembatalan putusan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasan-alasan yang digunakan Pertamina untuk meminta pembatalan putusan arbitrase luar negeri adalah, karena putusan melanggar ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 (melalui Keppres No. 34 Tahun 1981) dan Ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta klausula arbitrase yang menjadi sumber utama wewenang majelis arbitrase yang bersangkutan.74 Menurut Pertamina, putusan arbitrase UNCITRAL 18 Desember 2000 memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut: 1. Majelis
arbitrase
telah
melampaui
wewenangnya
karena
tidak
mempergunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia merupakan pilihan hukum (choice of law) yang harus dipergunakan. Untuk itu Pertamina menguraikan lebih jauh, yaitu: a.
Telah disebutkan dalam hal timbul sengketa antara Pertamina dan KBC, penyelesaiannya akan ditempuh dengan arbitrase berdasarkan ketentuan Arbitrase UNCITRAL (UNCITRAL Arbitration Rules). Hukum yang telah dipilih oleh Pertamina dan KBC adalah hukum Indonesia secara berturut-turut dalam Perjanjian JOC Pasal 20, dan dalam Perjanjian ESC Pasal 12.
b.
Majelis arbitrase, berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, Pasal 33 ayat (1) seharusnya mempergunakan hukum yang telah dipilih oleh Pertamina dan KBC, yang adalah hukum Indonesia.
c.
Namun ternyata majelis arbitrase di Jenewa, dalam pertimbangan Putusan
Arbitrase
UNCITRAL
tidak
menghiraukan
dan
telah
74
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tanggal 19 Agustus 2002.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
60
Gatot Soemartono
[email protected]
mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang seharusnya diperlukan. d.
Adapun ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang telah dilanggar oleh majelis arbitrase dalam Perjanjian JOC adalah sebagai berikut: 1) Putusan Arbitrase Jenewa tidak mengindahkan dan secara keliru menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia. Beberapa argumentasi yang digunakan adalah: a) Putusan arbitrase tertanggal 18 Desember 2000 secara keliru mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC maka suatu peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah (Government Related Event) dianggap sebagai peristiwa force majeure (keadaan memaksa) yang hanya berlaku terhadap KBC dan tidak berlaku bagi Pertamina. b) Para
arbitrator
dalam
memberikan
pertimbangannya
berpendapat bahwa dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1998 dianggap sebagai suatu keadaan force majeure hanya bagi KBC sehingga KBC dibenarkan untuk tidak melakukan dan memenuhi kewajibannya dari JOC dan ESC sedangkan bagi Pertamina Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tidak dapat dijadikan alasan force majeure sehingga tetap harus melaksanakan segala kewajibannya dalam JOC dan ESC. Dalam kaitan itu, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh Pertamina tersebut, maka Pertamina dianggap telah melakukan
wanprestasi
dan
karenanya
dihukum
untuk
membayar kerugian kepada KBC kurang lebih sebesar US$ 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat). c) Pertimbangan putusan arbitrase tersebut adalah keliru karena adanya keharusan untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha Based on Gatot’s Research Only for Private Use
61
Gatot Soemartono
[email protected]
(PLN Tahap I) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden adalah bukan karena kesalahan Pertamina tetapi adalah
suatu
tindakan
kebijaksanaan
pemerintah
untuk
mengatasi gejolak krisis moneter yang dihadapi oleh Indonesia yang berada di luar kemampuan Pertamina untuk dapat merubahnya. d) Perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh Keputusan Presiden tersebut bersifat memaksa dan merupakan suatu peristiwa force majeure yang berlaku baik bagi Pertamina maupun KBC. e) Walaupun ketentuan dalam Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC menyatakan bahwa suatu peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah dianggap sebagai suatu peristiwa force majeure (keadaan memaksa) berkenaan dengan KBC tetapi pada kenyataannya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan mematuhi Keputusan Presiden sehingga force majeure berlaku juga bagi Pertamina dan KBC. f) Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata maka suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Bahwa menurut rasa keadilan dan kebiasaan dan undang-undang maka suatu peristiwa force majeure terutama satu kebijaksanaan pemerintah berlaku terhadap semua pihak termasuk Pertamina. 2) Adanya peristiwa force majeure menurut hukum Indonesia membebaskan
Pertamina
dari
kewajiban
untuk
membayar
penggantian biaya, kerugian, dan bunga. 3) Karena
Keputusan
Presiden
No.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
5
Tahun
1998
tersebut 62
Gatot Soemartono
[email protected]
merupakan suatu peristiwa force majeure maka berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata tidak seharusnya putusan arbitrase menghukum Pertamina untuk membayar kerugian sebesar kurang lebih US$ 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat).
2. Kelemahan lainnya adalah putusan Arbitrase UNCITRAL pelaksanaannya harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia.
Penasihat
hukum
Pertamina
dalam
penjelasannya
menggunakan beberapa argumentasi sebagai berikut: a. Pasal 1337 menentukan bahwa suatu causa adalah terlarang apabila hal tersebut dilarang oleh Undang-undang atau bertentangan dengan ketertiban umum. Bahwa sebagaimana telah dikemukakan maka Perjanjian
JOC
dan
Perjanjian
ESC
tidak
dapat
diteruskan
pelaksanaannya karena telah ditangguhkan oleh Keputusan Presiden RI. b. Sebagaimana dapat dibaca dari pertimbangan yang diberikan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tersebut maka dalam upaya mengatasi gejolak moneter yang dihadapi oleh negara Indonesia yang timbul sejak tahun 1997 dan demi untuk penghematan di semua bidang
maka
pemerintah
Indonesia
menganggap
perlu
untuk
menangguhkan proyek-proyek yang membutuhkan dana yang besar antara lain proyek PLTP Karaha (Tahap I PLN) yang diadakan berdasarkan perjanjian JOC dan ESC. c. Dengan demikian Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1998 tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah RI demi kepentingan penyelamatan negara dan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi krisis ekonomi khususnya yang diakibatkan antara lain oleh depresiasi mata uang rupiah terhadap nilai tukar US dollar yang pada saat itu mencapai lebih dari 30% sehingga apabila proyek PLTP tersebut diteruskan pasti Based on Gatot’s Research Only for Private Use
63
Gatot Soemartono
[email protected]
akan menimbulkan beban keuangan yang sangat berat bagi negara dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya demi untuk menjaga ketertiban umum
maka
pemerintah
Indonesia
memandang
perlu
untuk
menangguhkan proyek PLTP Karaha (Tahap PLN I) tersebut. d. Oleh karena itu putusan arbitrase internasional tanggal 18 Desember 2000 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia. Alasan ketertiban umum juga ditentukan dalam Pasal 66 UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh suatu putusan arbitrase internasional untuk dapat dilaksanakan.
3. Perjanjian JOC dan ESC tidak mempunyai kekuatan hukum karena pelaksanaannya mengandung suatu causa yang terlarang. Sebagai dasar alasannya, Pertamina menyatakan bahwa: a.
Dalam rangka pelaksanaan Perjanjian JOC dan ESC, yang tetap dilakukan KBC meskipun telah diterbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia yang secara tegas telah menangguhkan pelaksanaan kontrak perjanjian JOC dan ESC, KBC ternyata telah berhasil memperoleh putusan arbitrase internasional terhadap Pertamina. Saat ini KBC sedang berusaha untuk melakukan sita eksekusi terhadap aset-aset yang menurut perkiraan KBC menjadi milik Pertamina, aset mana berupa rekening-rekening di bank yang berada dalam wilayah Amerika Serikat; padahal perjanjian JOC dan ESC, merupakan kontrak-kontrak yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena adanya larangan pemerintah RI untuk meneruskan pelaksanaan kontrak melalui Keppres No. 39 Tahun 1997 tentang penangguhan proyek pemerintah dan Keppres No. 5 Tahun 1998.
b.
Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata Based on Gatot’s Research Only for Private Use
64
Gatot Soemartono
[email protected]
untuk sahnya satu perjanjian harus dipenuhi antara lain syarat adanya suatu sebab yang halal sedangkan menurut Pasal 1337 KUHPerdata suatu
sebab adalah terlarang apabila dilarang undang-undang,
bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau dengan ketertiban umum, dan Pasal 1335 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian dengan sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas semua bukti yang disampaikan oleh KBC tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga dapat dimintakan pembatalannya. Kontrak Joint Operation dan Energy Sales Contract juga tidak dapat dilanjutkan.
4. Putusan arbitrase seharusnya ditolak karena bertentangan dengan Pasal V (1) huruf B Konvensi New York 1958 dan dengan Pasal V (1) (D).75 Pertamina memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: a. Putusan arbitrase asing tidak dapat dijalankan karena Pertamina sebagai termohon eksekusi, tidak diberi pemberitahuan yang pantas (proper notice) tentang arbitrase ini. Pertamina sebagai termohon eksekusi, tidak diberi kesempatan untuk mengangkat arbitrator yang dipilihnya sesuai dengan perjanjian-perjanjian JOC dan ESC, padahal sesuai dengan ketentuan tentang arbitrase dalam perjanjianperjanjian
tersebut,
Pertamina
seharusnya
diberi
kesempatan
mengajukan arbitrator yang dikehendakinya, hal mana tidak terjadi dalam hal ini. b. Sesuai dengan ketentuan Konvensi New York 1958 Pasal V (1) (d), 75
Kedua pasal tersebut telah dilanggar, yaitu Pasal V (1) huruf B: Pertamina sebagai termohon eksekusi tidak diberitahukan secara layak tentang pengangkatan arbitrator; dan Pasal V (1) (D): susunan tim arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian JOC dan ESC.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
65
Gatot Soemartono
[email protected]
susunan para arbitrator ini harus menurut prosedur yang telah disetujui oleh para pihak dalam klausula arbitrase mereka, sedangkan dalam perkara arbitrase a quo para arbitrator telah dipilih tanpa adanya persetujuan atau pilihan dari Pertamina sebagai pihak dalam prosedur arbitrase ini sehingga susunan tim arbitrase dalam perkara arbitrase a quo bertentangan adanya dengan Pasal V (1) (d): …the composition of the arbitral authority of the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties.
5. Klausula arbitrase dinilai inoperating dan incapable of being performed sesuai dengan Pasal II (3) Konvensi New York 1958 Juncto Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981. Pertamina memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: a. Sesuai dengan ketentuan Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang melalui Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 telah menjadi hukum positif bagi RI, maka perjanjian-perjanjian JOC dan ESC dihentikan oleh pemerintah RI, dengan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998. Dengan demikian perjanjian ini menurut hukum Indonesia menjadi null and void, inoperative of being performed, sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal II Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. b. Klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian JOC dan Pasal ESC menjadi inoperative dan incapable of being performed sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia karena perjanjian JOC dalam Pasal 20 dan ESC dalam Pasal 12 telah menentukan berlakunya hukum Indonesia. Tidak ada jalan lain, karena Keppres No. 39 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun 1998 telah memerintahkan penghentian seluruh proses Perjanjian JOC dan ESC termasuk juga Klausula arbitrase Based on Gatot’s Research Only for Private Use
66
Gatot Soemartono
[email protected]
yang menjadi inoperative dan incapable of being performed (tidak dapat “dijalankan” dan “tidak dapat dilaksanakan”). c. Wewenang para arbitrator yang didasarkan atas klausula arbitrase sebagaimana diuraikan di atas, menurut hukum Indonesia menjadi inoperative tidak dapat dijalankan, dan seharusnya tidak dapat dilanjutkan dengan menghasilkan putusan arbitrase a quo, yang kini ditentang pelaksanaannya dan dimintakan pembatalan.
6. Menurut Pasal V (1) huruf A pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa seharusnya ditolak apabila para pihak tidak memiliki capacity berdasarkan hukum yang berlaku bagi mereka (hukum Indonesia). Penjelasannya adalah,
menurut Pasal V (1) huruf A Konvensi New York 1958
pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase luar negeri dapat ditolak atas permohonan termohon eksekusi hanya apabila yang bersangkutan dapat menyerahkan kepada pengadilan pelaksana bukti bahwa para pihak dalam perjanjian JOC dan ESC berada dalam incapacity berdasarkan hukum Indonesia yang telah dipilih para pihak untuk berlaku.
7. Putusan arbitrase dilakukan berdasar tipu muslihat KBC dengan tidak mengindahkan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi JOC dan ESC, khususnya kerugian dan kehilangan keuntungan yang menurut majelis arbitrase telah diderita oleh KBC. Selanjutnya Pertamina menguraikan beberapa hal, yaitu: a. Pasal 114 e JOC menyebutkan bahwa KBC berkewajiban untuk menyediakan semua dana yang dibutuhkan bagi operasi geo-termal dan risiko operasi geo-termal, dengan ketentuan kewajiban KBC menyangkut juga dana yang diperlukan untuk membangun fasilitas lapangan dan fasilitas pembangkit tenaga listrik dan harus selalu Based on Gatot’s Research Only for Private Use
67
Gatot Soemartono
[email protected]
memberikan
laporan
kepada
Pertamina
mengenai
pendanaan
tersebut. b. Namun demikian selama persidangan arbitrase berlangsung KBC tidak dapat membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa KBC telah siap dan sanggup untuk melaksanakan kontrak-kontrak JOC dan ESC dengan
menyediakan
pembiayaan
yang
dana
bonafide,
yang
nyata
sebagaimana
dari
sumber-sumber
disyaratkan
untuk
pelaksanaan proyek tersebut. c. Di samping itu, proyek geo-termal yang harus dibangun berdasarkan kontrak JOC untuk menjual tenaga listrik sebagaimana diatur dalam kontrak JOC dan kontrak ESC baru mencapai tahap eksplorasi sehingga fasilitas-fasilitas tenaga pembangkit listrik dalam proyek tersebut belum berdiri dan sama sekali belum menghasilkan produksi tenaga listrik dan oleh karenanya KBC belum dapat dikatakan telah memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam JOC dan ESC. d. Kemampuan KBC untuk menghasilkan kapasitas tenaga listrik sebagaimana disyaratkan oleh JOC dan ESC belum teruji dan belum terpenuhi. Oleh karena itu besarnya biaya ganti rugi, kehilangan keuntungan dan bunga sebesar kurang lebih US$ 270 juta yang harus dibayar oleh Pertamina berdasarkan putusan arbitrase adalah tidak benar dan bersifat spekulatif dan fiktif tanpa disertai bukti-bukti yang nyata tentang kecurigaan sebenarnya yang diderita oleh KBC. e. Menurut hukum Indonesia, suatu pembayaran ganti kerugian, harus didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata. Majelis arbitrase dalam membuat putusan a quo telah tidak memakai hukum Indonesia sehingga telah melampaui wewenangnya (exceeds its powers) dan sesuai ketentuan Konvensi New York 1958 batal adanya, atau harus dibatalkan.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
68
Gatot Soemartono
[email protected]
8. Pertamina telah berusaha agar Pemerintah RI mencabut kembali perintah penangguhan perjanjian JOC dan ESC, meskipun tanpa hasil. Upaya Pertamina tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: a. Usaha Pertamina tersebut pada mulanya telah berhasil dengan dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997 yang menyatakan proyek PLTP Karaha Bodas dapat diteruskan. b. Namun usaha ini kemudian gagal lagi dengan dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 yang memerintahkan penangguhan ulang terhadap proyek yang sama. Namun kegagalan ini tidak berarti bahwa Pertamina tidak sudah berusaha secara maksimal akan tetapi dalam instansi terakhir semua juga tetap berada di luar kewenangannya. c. Dalam keadaan demikian sangat tidak adil jika majelis arbitrase yang kini dimohonkan pembatalan putusannya hanya memberlakukan ketentuan force majeure terhadap KBC, tanpa memperhatikan segala upaya Pertamina yang telah maksimal dilakukan. Di sini hukum Indonesia yang selalu mengedepankan keseimbangan antara para pihak telah diabaikan untuk diterapkan, dengan demikian putusan tersebut perlu dibatalkan.
Kesimpulan dari argumentasi Pertamina adalah majelis arbitrase telah melampaui batas wewenang dalam menjatuhkan putusan arbitrase. Menurut hukum Indonesia seperti juga dengan lain-lain sistem hukum, pengadilan tetap mengawasi putusan arbitrase yang dibuat sesuai dengan hukum Indonesia. Banding tidak diperbolehkan, tetapi perlu diawasi integritas fundamental dari proses arbitrase itu sendiri. Menurut Pertamina, pembatalan dari suatu putusan arbitrase perlu dilakukan jika dilampaui batas-batas wewenang yang telah disetujui para pihak dalam perjanjian arbitrase, atau jika majelis arbitrase telah melampaui batasbatas wewenang (excess of power) yang telah diberikan oleh para pihak Based on Gatot’s Research Only for Private Use
69
Gatot Soemartono
[email protected]
atau telah terjadi “berat sebelah” dari majelis arbitrase, atau tidak dipenuhinya
suatu
asas
berperkara
yang
prinsipil
seperti
harus
memperlakukan para pihak secara sama dan tidak boleh berat sebelah seperti ditentukan Pasal 15 UNCITRAL Arbitration.
Lebih jauh Pertamina berargumentasi bahwa putusan arbitrase a quo didasarkan atas dua perjanjian: a. Joint Operation Contract (JOC) antara Pertamina dan KBC b. Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina, KBC dan PLN.
Dalam kaitan itu, KBC belum memulai konstruksi fasilitas pembangkit listrik, tetapi tim arbitrase telah memberikan mereka ganti rugi US$ 111,1 juta untuk kerugian pembiayaan, US$ 150 juta untuk kerugian keuntungan (lost profit), bunga 4% setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas dan US$ 687,737,48 untuk biaya arbitrase. Putusan Arbitrase ini melampaui batas wewenang para arbitrator (exceeded the power) yang diberikan kepada mereka menurut klausula arbitrase para pihak. Di samping itu sebagaimana telah dikemukakan di muka, majelis arbitrase tidak memakai hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure menurut ketentuan dalam kedua kontrak (JOC dan ESC) dan menentukan tanggung jawab Pertamina untuk kehilangan keuntungan (lost profit), secara spekulatif (tidak berdasar). Hal ini melanggar baik klausula arbitrase yang ditandatangani para pihak, maupun UNCITRAL Arbitration Rules, secara merugikan Pertamina. Walaupun telah diperjanjikan dua proses arbitrase tersendiri, satu di bawah JOC dan yang kedua menurut ESC, tetapi tim arbitrase telah menggabungkan kedua proses arbitrase dalam satu proses arbitrase. Secara tegas para pihak telah sepakat dalam ESC, bahwa Pertamina dan KBC bersama-sama harus memilih satu arbitrator menurut ESC, Based on Gatot’s Research Only for Private Use
70
Gatot Soemartono
[email protected]
tetapi majelis arbitrase menyampingkannya dan memaksa Pertamina untuk “memakai” arbitrator bersama dengan PLN dan pemerintah padahal kewajiban Pertamina dan PLN berbeda sedangkan arbitrator sama telah dipilih oleh majelis arbitrase untuk pemerintah RI (yang kemudian telah dikesampingkan oleh tim arbitrase ini sebagai pihak). Dengan demikian majelis arbitrase telah melanggar prosedur yang secara tegas telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase mereka dengan merugikan Pertamina dan PLN. Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa para pihak telah tidak diperlakukan secara sama, karena suatu lembaga ICSID (International Centre For The Settlement of Investment Disputes) telah diminta memilih untuk tiga pihak, padahal KBC menurut perjanjian arbitrase harus diperbolehkan memilih sendiri arbitratornya. Hal ini juga melanggar hukum Indonesia. Kesimpulan lainnya adalah putusan arbitrase ini juga melanggar ketertiban umum dari Republik Indonesia, karena menghukum Pertamina dan PLN sebagai yang bertanggung jawab untuk kepatuhan mereka terhadap hukum Indonesia dan para arbitrator dengan demikian melanggar tata cara berperkara yang layak (due process rights). Sebagaimana diketahui bahwa sesungguhnya KBC telah membuat dua perjanjian terpisah, yakni (1) JOC antara KBC dan Pertamina serta ESC antara KBC, Pertamina dan PLN. Kontrak-kontrak ini mengatur eksplorasi (geo-termal) untuk pembangkit tenaga listrik di area concessie Karaha
dan
Telaga
Bodas.
Kedua
kontrak
ini,
sekalipun
ada
hubungannya, tetapi jelas mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak yang berbeda. Kedua kontrak ini menunjuk KBC yang
harus
menanggung
risiko
dan
pembiayaan
ekplorasi
dan
pembangunan pabrik pembangkit tenaga listrik ini. Dan baru jika kemudian ternyata bahwa KBC berhasil membangun sumber-sumber itu Based on Gatot’s Research Only for Private Use
71
Gatot Soemartono
[email protected]
dan telah berhasil dengan membangun fasilitas yang mampu membangkit listrik sesuai ketentuan kontrak, risiko biaya pengeluaran akan berpindah dari KBC ke PLN. Hal ini tidak pernah terjadi. JOC tidak meletakkan kewajiban Pertamina untuk membeli listrik dari KBC, sebaliknya menyatakan bahwa listrik yang diproduksi oleh operasi pembangkitan bersangkutan akan dijual kepada pembeli (PLN) sesuai dengan ESC. Peranan Pertamina hanya sebagai agen penyaluran untuk pembayaran antara PLN dan KBC dan terhadap JOC ini dipakai hukum Indonesia. Menurut ESC, PLN menyetujui untuk membeli dari Pertamina sesuai ketentuan dan syarat dalam ESC ini semua tenaga listrik yang akan dihasilkan oleh KBC. Juga di sini peranan Pertamina hanya sebagai agen perantara untuk pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN. Jadi jelas Pertamina tidak ada kewajiban untuk membeli tenaga listrik menurut kontrak ESC dan Pertamina juga bukan penjamin untuk kewajibankewajiban PLN. Kewajiban PLN baru mulai setelah ada hasil tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik KBC. Dalam hal terjadi sengketa melalui arbitrase, di mana PLN di satu pihak dan KBC serta Pertamina di pihak lain, masing-masing mengangkat satu arbitrator, yang kemudian bersama-sama akan mengangkat arbitrator ketiga untuk bertindak sebagai ketua majelis arbitrase. Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia sejak tahun 1997, maka IMF telah memaksa pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali secara menyeluruh semua proyek-proyek yang didasarkan pada kewajiban membayar dalam US dollar. Sebagai tindak lanjut saran IMF pemerintah menerbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997 yang mengatur proyek mana dapat diteruskan, ditinjau kembali atau ditangguhkan, dan proyek Karaha Bodas termasuk yang ditangguhkan.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
72
Gatot Soemartono
[email protected]
Setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian di tahun 1994, sampai dengan ditangguhkannya proyek tersebut, KBC hanya melakukan eksplorasi dan pada saat ditangguhkannya proyek bersangkutan, KBC masih harus menambahkan US$ 500 juta (5 x lebih banyak daripada apa yang sudah dikeluarkannya) sebelum ada kemungkinan menghasilkan tenaga listrik yang diharapkan. Tetapi pada 10 Februari 1998 KBC menyatakan telah terjadi force majeure dan menghentikan kontrak-kontrak, serta pada 30 April 1998 KBC mengajukan gugatan arbitrase terhadap Pertamina dan PLN dengan Notice of Claim dalam satu arbitrase berdasarkan dua kontrak JOC dan ESC.
b. Argumentasi KBC atas Gugatan Pertamina Atas gugatan Pertamina di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, khususnya terhadap dalil-dalil yang diajukan di dalam gugatan tersebut, KBC menolaknya dengan memberikan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Gugatan Pertamina tersebut tidak memiliki dasar hukum (Exceptio Onrechmatige of Ongegrond) KBC menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional yang telah diputuskan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 18 Desember 2000 sama sekali tidak memiliki alasan-alasan serta dasar hukum untuk dapat diajukan dan dimohonkan pembatalannya oleh Pertamina. Berdasarkan Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditentukan bahwa: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah Based on Gatot’s Research Only for Private Use
73
Gatot Soemartono
[email protected]
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b) Setelah
putusan
diambil
ditemukan
dokumen
yang
bersifat
menentukan yang disembunyikan pihak lawan; atau c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas dinyatakan bahwa permohonan pembatalan arbitrase internasional hanya dapat dikabulkan apabila putusan arbitrase internasional yang telah diputuskan tersebut nyatanyata telah memenuhi salah satu dari ketiga unsur atau alasan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Pertamina dalam dalil-dalil gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan bahwa putusan arbitrase internasional tersebut telah memenuhi salah satu dari ketiga unsur yang disyaratkan oleh UU Arbitrase agar suatu putusan arbitrase dapat dimohonkan untuk dibatalkan. Pertamina dengan sengaja menguraikan dalil-dalil yang bukan merupakan alasan-alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Hal ini jelas dimaksudkan oleh Pertamina, demi keuntungannya sendiri, untuk mengaburkan fakta dan ketentuan hukum yang berlaku, yang mengatur tentang syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, dimana permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan Pertamina tidak memenuhi ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase, jelas gugatan yang diajukan oleh Pertamina yaitu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional, sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk dilakukan. Oleh karena itu majelis hakim diminta untuk menolak gugatan yang diajukan oleh Pertamina atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard). Based on Gatot’s Research Only for Private Use
74
Gatot Soemartono
[email protected]
2) Gugatan yang diajukan premature (Exciptio Prematuur) Penjelasan
Pasal
70
UU
Arbitrase
secara
tegas
menyatakan:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase
yang
sudah
didaftarkan
di
pengadilan.
Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas ditentukan bahwa suatu putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di Pengadilan. Dalam perkara a quo, KBC sama sekali tidak menemukan adanya dalil-dalil dari Pertamina ataupun fakta-fakta hukum yang ada, yang dapat membuktikan bahwa putusan arbitrase internasional sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di dalam UU Arbitrase, Pasal 67 merupakan satu-satunya pasal yang mengatur
mengenai
pendaftaran
putusan
arbitrase
internasional,
sedangkan terhadap pendaftaran putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 UU Arbitrase. Oleh karena itu, prosedur pendaftaran putusan arbitrase internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Arbitrase, juga berlaku dalam hal pendaftaran putusan arbitrase internasional yang akan diajukan oleh Pertamina untuk dimohonkan pembatalannya. Lebih lanjut Pasal 67 Arbitrase mengatur sebagai berikut : a) Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. b) Penyampaian berkas pemohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Based on Gatot’s Research Only for Private Use
75
Gatot Soemartono
[email protected]
alam ayat (1) harus disertai dengan: (1) lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; (2) lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan (3) keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase, secara tegas dinyatakan bahwa pendaftaran putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan oleh arbitrator atau kuasanya. Dalil-dalil gugatan yang dikemukakan oleh Pertamina dalam perkara a quo sama sekali tidak menguraikan masalah apakah putusan arbitrase internasional yang dimohonkan oleh Pertamina untuk dibatalkan, telah didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya. Pertamina jelas bukan merupakan arbitrator yang memutuskan putusan arbitrase internasional. Akibatnya timbul pertanyaan apakah Pertamina merupakan kuasa dari arbitrator? Jika ditinjau dalil gugatan butir 3, halaman 2, jelas Pertamina telah mencoba mengaburkan ketentuan Pasal 67 UU Arbitrase. Dari dalil yang dikemukakan oleh Pertamina telah sangat jelas bahwa Pertamina bukanlah arbitrator atau kuasa arbitrator, dengan mana Pertamina
memiiki
kewenangan
untuk
melakukan
pendaftaran
berdasarkan Pasal 67 (1) UU Arbitrase. Meskipun demikian, apabila KBC Based on Gatot’s Research Only for Private Use
76
Gatot Soemartono
[email protected]
bersikeras dengan dalilnya tersebut, maka KBC mohon akta kepada Pertamina yang dapat membuktikan bahwa Pertamina merupakan arbitrator ataupun kuasa dari arbitrator yang menetapkan putusan arbitrase internasional. Di samping itu, syarat lain yang harus terpenuhi agar Pertamina dapat mengajukan
permohonan
pembatalan
terhadap
putusan
arbitrase
internasional adalah syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat mengemukakan bukti-bukti bahwa putusan arbitrase internasional yang dimohonkan untuk dibatalkan tersebut telah memenuhi persyaratan pendaftaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase, sebagaimana yang telah diuraikan oleh KBC di atas. Jika putusan arbitrase internasional yang diajukan oleh Pertamina untuk dibatalkan ternyata belum didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya, maka atas dasar apa Pertamina mengajukan permohonan untuk membatalkan
putusan
arbitrase
internasional
tersebut?
Pertamina
seharusnya mengetahui, bahwa sebagaimana yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, secara tegas disebutkan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Oleh karena ternyata terbukti bahwa putusan arbitrase internasional sama sekali belum didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya, maka permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional belum dapat dilakukan oleh Pertamina dalam perkara dan a quo jelas terlalu dini untuk diajukan, atau dengan kata lain gugatan yang diajukan oleh Pertamina premature (prematuur exceptio). Oleh karena itu, KBC mohon agar gugatan yang diajukan Pertamina ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
77
Gatot Soemartono
[email protected]
3) Gugatan Pertamina kabur dan tidak jelas (Exceptio Obscurum Libellum) Pertamina dalam petitum gugatannya memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo agar membatalkan, menyatakan batal, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss, tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan sela (prelimiary award) yang ditetapkan di Jenewa, tanggal 30 September 1999. Namun demikian, Pertamina dalam pokok perkara (posita) gugatannya, justru mengemukakan dalil-dalil yang menyatakan bahwa perjanjian kerja sama (JOC) dan perjanjian kontrak jual beli (ESC) adalah batal demi hukum (null and void). Selanjutnya walaupun dalam petitum gugatannya Pertamina memohon untuk dibatalkannya putusan arbitrase internasional, namun Pertamina dalam dalil-dalil gugatannya (posita) sama sekali tidak menguraikan alasan-alasan yang memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan agar putusan arbitrase internasional dapat dibatalkan. Bahkan, Pertamina dalam posita gugatannya justru lebih banyak menguraikan dalil-dalil yang bertujuan untuk menyatakan serta memohonkan agar JOC dan ESC dinyatakan batal atau batal demi hukum (null and void). Akibatnya maksud dan tujuan dari gugatan yang diajukan oleh Pertamina dalam perkara a quo menjadi tidak jelas, apakah Pertamina menginginkan untuk membatalkan JOC dan ESC.
4) Gugatan Pertamina sebagai perbuatan licik (Exceptio Doli Praesintis) Pertamina dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan licik terhadap KBC, dengan maksud agar pokok sengketa yang terjadi Based on Gatot’s Research Only for Private Use
78
Gatot Soemartono
[email protected]
antara Pertamina dan KBC diperiksa dan diadili kembali oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal berdasarkan ketentuan Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC Pertamina telah menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui arbitrase dan tempat arbitrase tersebut adalah di Jenewa, Swiss. Pertamina
dan
KBC
telah
menyepakati
untuk
menyelesaikan
persengketaan yang terjadi melalui badan arbitrase dan bukan melalui badan peradilan umum (Pengadilan Negeri). Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Arbitrase, secara jelas dinyatakan bahwa apabila para pihak telah menyepakati penyelesaian sengketa dilakukan melalui forum arbitrase, maka kesepakatan tersebut akan meniadakan hak dari Pertamina untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri. Atas dasar ketentuan tersebut, sesungguhnya Pertamina (dan juga KBC) tidak lagi berhak untuk mengajukan persengketaan ini kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, gugatan yang diajukan oleh Pertamina dalam perkara a quo dapat ditafsirkan sebagai upaya licik Pertamina untuk menyidangkan kembali pokok persengketaan yang terjadi antara Pertamina dan KBC. Padahal putusan yang dikeluarkan oleh majelis arbitrase tersebut (putusan arbitrase internasional) merupakan putusan yang terakhir dan mengikat (final and binding). Tindakan Pertamina dengan mengajukan gugatan dalam perkara a quo, justru mengemukakan dalil-dalil yang mengajak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa kembali permasalahan yang menjadi pokok persengketaan yang terjadi antara Pertamina dengan KBC. Tindakan Pertamina tersebut jelas merupakan tindakan yang sangat licik. Fakta ini juga telah membuktikan adanya itikad buruk dari Pertamina yang tidak mau mematuhi putusan arbitrase internasional walaupun Pertamina telah menyepakati untuk menyelesaikan persengketaan yang Based on Gatot’s Research Only for Private Use
79
Gatot Soemartono
[email protected]
terjadi dengan KBC melalui arbitrase sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC. Jika Pertamina beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian (JOC dan ESC), tentunya Pertamina tidak akan memaksakan kehendaknya dengan cara mengajukan gugatan terhadap KBC di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika Pertamina berniat untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, apalagi
dengan
mendasarkan
permohonannya
tersebut
dengan
menggunakan UU Arbitrase, maka seharusnya Pertamina harus mengikuti persyaratan serta ketentuan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Pertamina dalam posita gugatannya semestinya cukup menguraikan apakah putusan arbitrase internasional tersebut telah mengandung salah satu dari ketiga unsur sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, tanpa perlu mengajak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memeriksa serta mengadili (kembali) pokok persengketaan yang terjadi antara Pertamina dengan KBC. Dalam gugatannya Pertamina telah mencoba mempermasalahkan pertimbangan majelis arbitrase dalam mengeluarkan putusan arbitrase internasional. Tindakan Pertamina ini jelas merupakan perbuatan didasari oleh itikad buruk dengan cara mengarahkan pandangan Majelis Hakim agar terjadi penyimpangan dalam penerapan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya dalam hal pemeriksaan perkara yang tunduk pada ketentuan arbitrase. Tentu saja perbuatan Pertamina ini dapat memicu ketidakpastian dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian, apabila
gugatan
dikabulkan
oleh
Majelis
Hakim
yaitu
dengan
membatalkan putusan arbitrase internasional walaupun nyata-nyata permohonan yang diajukan oleh Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak
menunjukkan terpenuhinya syarat pembatalan putusan
arbitrase internasional sebagaimana yang ditemukan dalam Pasal 70 Based on Gatot’s Research Only for Private Use
80
Gatot Soemartono
[email protected]
Arbitrase, maka Pertamina jelas telah mempengaruhi serta membawa Majelis Hakim untuk memeriksa serta mengadili kembali perkara a quo, yang merupakan suatu bentuk pelanggaran atas ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana diuraikan di atas, Pertamina telah melakukan perbuatan licik demi tujuan agar dapat mengajukan gugatan terhadap KBC. Bahkan Pertamina, dalam mengemukakan dalil-dalilnya dalam gugatan, berniat dengan sengaja untuk menjebak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa serta mengadili perkara a quo agar ikut dalam perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang dilakukan oleh Pertamina. Oleh karena itu, KBC mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim agar tidak terpengaruh atas dalil-dalil yang menyesatkan dari Pertamina dengan menolak gugatan yang diajukan oleh Pertamina atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima (niet ontvenkelijk verkland).
Uraian argumentasi KBC di atas dapat diperinci menjadi hal-hal sebagai berikut: 1. Gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional yang diajukan oleh Pertamina sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan (Exceptio Onrechtmatige of Ongegrond). 2. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina premature (Exceptio Prematuur). 3. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina kabur dan tidak jelas (Exceptio Obscurum Libellum). 4. Pertamina dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan licik (Exceptio Doli Prae Sinitis).
Berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan oleh KBC di atas, KBC menolak dengan tegas seluruh argumentasi Pertamina dalam gugatannya, Based on Gatot’s Research Only for Private Use
81
Gatot Soemartono
[email protected]
kecuali dalil yang secara tegas diakui dan diterima oleh KBC. Selanjutnya, untuk memperkuat uraiannya tersebut, KBC menyampaikan beberapa hal, yaitu: 1. Setelah putusan arbitrase internasional dijatuhkan tidak ada surat atau dokumen yang diakui atau dinyatakan palsu. Penjelasan mengenai hal ini dapat disampaikan sebagai berikut: a. Berdasarkan
dalil-dalil
yang
diajukan
oleh
Pertamina
dalam
gugatannya, Pertamina sama sekali tidak dapat menguraikan faktafakta adanya surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan yang diakui palsu atau dinyatakan palsu, apalagi Pertamina dalam gugatannya tidak mengajukan dalil atau bukti apapun yang dapat menyatakan hal tersebut. Padahal hal ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Pertamina dalam mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf a UU Arbitrase, khususnya putusan arbitrase internasional dalam perkara a quo. b. Dokumen JOC dan ESC yang dipermasalahkan oleh Pertamina dan bahkan dinyatakan oleh Pertamina batal demi hukum, bukanlah dokumen palsu dan sama sekali tidak diakui palsu oleh Pertamina. Dokumen berupa JOC dan ESC yang diajukan dalam pemeriksaan arbitrase di Jenewa, Swiss tersebut merupakan dokumen asli.
2. Setelah putusan arbitrase internasional diambil tidak ditemukan adanya dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh KBC. Penjelasan mengenai hal ini meliputi: a. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan fakta-fakta
adanya
dokumen
yang
bersifat
menentukan
yang
disembunyikan oleh KBC dalam pemeriksaan arbitrase. Padahal hal ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Pertamina Based on Gatot’s Research Only for Private Use
82
Gatot Soemartono
[email protected]
dalam
mengajukan
permohonan
pembatalan
putusan
arbitrase
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf b UU Arbitrase. b. Dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara Pertamina dengan KBC telah dilakukan melalui prosedur arbitrase di Jenewa, Swiss. Dalam persidangan perkara tersebut, tidak pernah ada bukti satupun yang dapat menunjukkan bahwa KBC pernah menyembunyikan dokumen yang bersifat menentukan dalam hal dikeluarkannya putusan arbitrase internasional. Oleh karena itu, jelas syarat yang ditentukan dalam Pasal 70 huruf b UU Arbitrase tidak terpenuhi.
3. Putusan arbitrase internasional sama sekali tidak diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC dalam pemeriksaan sengketa. Dalam pemeriksaan sengketa dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: a. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan fakta-fakta yang dapat membuktikan bahwa putusan arbitrase internasional diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC dalam pemeriksaan sengketa. Adanya unsur ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Pertamina dalam mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf c UU Arbitrase. b. KBC menolak dengan tegas seluruh dalil gugatan yang menyatakan bahwa putusan arbitrase diputus berdasarkan tipu muslihat KBC dan tidak mengindahkan hukum Indonesia. Pertamina dengan licik telah membuat judul yang dapat mengelabui Majelis Hakim ataupun pihak lain, seolah-olah putusan arbitrase internasional telah diambil dari tipu muslihat yang dilakukan KBC dalam pemeriksaan sengketa. Padahal jika dibaca dan ditelaah dengan seksama, dalil-dalil gugatan yang diajukan Pertamina sama sekali tidak menguraikan serta menjelaskan tipu muslihat yang dilakukan KBC dalam pemeriksaan sengketa yang Based on Gatot’s Research Only for Private Use
83
Gatot Soemartono
[email protected]
terjadi antara Pertamina dan KBC selama persidangan arbitrase di Jenewa, Swiss. c. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pertamina dalam gugatannya, sama sekali bukan merupakan kondisi atau termasuk dalam konteks “tipu muslihat” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf c UU Arbitrase. Bentuk “tipu muslihat” yang dimaksudkan oleh Pertamina bukanlah termasuk dalam kategori “tipu muslihat”, atau bahkan termasuk dalam bentuk “tipu muslihat” yang dilakukan oleh KBC. Pertamina dalam dalil-dalilnya tersebut hanyalah mempermasalahkan pertimbangan yang diambil oleh Majelis Arbitrator untuk menerapkan hukum Indonesia dengan benar dan memutuskan dengan benar sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Hal ini tentunya bukan merupakan tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC. d. Jika Pertamina menganggap bahwa pertimbangan yang diambil oleh Majelis Arbitrator dalam mengeluarkan putusan arbitrase internasional diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC, apakah semua pihak yang dikalahkan dalam pemeriksaan suatu perkara arbitrase dapat menganggap bahwa pihak lawan yang menang tersebut telah melakukan tipu muslihat? e. Pertamina seharusnya mengerti dan menyadari bahwa setiap putusan yang diambil dalam pemeriksaan suatu sengketa, baik oleh Majelis Hakim ataupun oleh Majelis Arbitrator, diambil berdasarkan adanya bukti-bukti yang otentik serta fakta-fakta dan ketentuan hukum yang berlaku. Jadi keberatan Pertamina yang diajukan dalam dalil-dalil gugatannya, tidak boleh hanya merupakan keberatan Pertamina sebagai pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase internasional. Dari putusan arbitrase internasional dapat dilihat bahwa Majelis Arbitrator telah mengeluarkan suatu putusan yang didasarkan atas bukti-bukti yang otentik, fakta-fakta hukum yang ada serta dengan Based on Gatot’s Research Only for Private Use
84
Gatot Soemartono
[email protected]
memperlakukan para pihak (Pertamina dan KBC) secara adil dan seimbang (audi alterampertem). Jadi, dengan demikian jelas dalam putusan arbitrase internasional, KBC sama sekali tidak melakukan tipu muslihat apapun, baik terhadap Majeis Arbitrator maupun terhadap Pertamina. 4. Alasan-alasan permohonan pembatalan arbitrase internasional harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. a. Di samping dalil-dalil yang dikemukakan di atas, UU Arbitrase telah secara khusus mengkategorikan secara spesifik bukti-bukti yang harus diajukan
oleh
pihak
yang
hendak
mengajukan
permohonan
pembatalan suatu putusan arbitrase. Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, suatu permohonan pembatalan atas putusan arbitrase baru dapat dikabulkan apabila isi permohonan tersebut dapat mengajukan suatu putusan pengadilan sebagai bukti, putusan mana menyatakan bahwa dalam suatu proses arbitrase salah satu atau lebih hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, telah terjadi. b. Dalam dalil-dalil gugatannya, Pertamina sama sekali tidak mengajukan alasan-alasan permohonan pembatalannya yang didasarkan atas adanya suatu bukti putusan pengadilan, yang membuktikan bahwa KBC telah melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Apabila sampai pemeriksaan perkara ini berakhir dan Pertamina tidak dapat mengajukan suatu bukti apapun, bukti mana harus dalam bentuk suatu putusan pengadilan, maka Majelis Hakim semestinya menolak gugatan untuk seluruhnya, dan menyatakan putusan arbitrase internasional tidak dapat dibatalkan dan mengikat Pertamina, dan KBC. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
85
Gatot Soemartono
[email protected]
5. Pertamina telah menerima pemberitahuan secara patut untuk proses arbitrase dan penunjukkan majelis arbitrase sebagaimana ditentukan dalam JOC dan ESC. Di sini KBC dengan tegas menolak dalil gugatan yang menyatakan bahwa Pertamina tidak diberikan pemberitahuan yang pantas (proper notice) sehubungan proses arbitrase dan penunjukkan majelis arbitrase di Jenewa, Swiss berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: a. Pemberitahuan arbitrase telah dikirimkan kepada Pertamina pada tanggal 30 April 1998 dan Pertamina tidak pernah membantah bahwa Pertamina tidak menerima pemberitahuan tersebut. b. Sehubungan dengan pengangkatan para arbitrator, dalam JOC dan ESC telah pula diatur bahwa dalam hal para pihak gagal untuk menunjuk arbitrator tersebut akan ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal ICSID. Pertamina bahkan tidak mencoba untuk menunjuk arbitrator yang dikehendakinya dalam jangka waktu 30 hari. Oleh karena itu maka ICSID yang menentukan. c. Berdasarkan ketentuan Pasal 8.2 ESC, tidak diperlukan adanya persetujuan dari KBC dan Pertamina untuk secara bersama-sama menunjuk satu arbitrator dan KBC turut menunjuk arbitrator yang lainnya. Jadi sangat tidak masuk akal apabila Pertamina menyatakan dirinya menderita kerugian sehubungan dengan penunjukan arbitrator yang ditunjuk oleh KBC. d. Seandainya, Pertamina dalam pemeriksaan serta penunjukan Majelis Arbitrator di Jenewa, Swiss merasa tidak diberitahukan dengan pantas, hal tersebut pun bukanlah merupakan salah satu alasan untuk dapat
mengajukan
permohonan
pembatalan
putusan
arbitrase
internasional sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
86
Gatot Soemartono
[email protected]
6. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya memiliki kewenangan untuk memeriksa apakah alasan-alasan yang diajukan oleh Pertamina telah memenuhi syarat pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase. Dalam kaitan ini, KBC menolak dengan tegas dalil gugatan yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum.
Adanya
alasan
“pelanggaran
ketertiban
umum”
bukanlah
merupakan alasan bagi Pertamina untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase. “Pelanggaran ketertiban umum” hanya dapat diajukan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 UU Arbitrase. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya oleh KBC bahwa syaratsyarat untuk pembatalan putusan arbitrase hanyalah berdasarkan Pasal 70 UU Arbitrase, sehingga hal-hal yang dikemukakan selain yang tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase bukanlah hal-hal yang dimaksudkan untuk pembatalan putusan arbitrase. Karena itu, KBC menolak dengan tegas berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: a. Pelampauan batas wewenang sebagaimana dimaksudkan oleh Pertamina dalam gugatannya bukan merupakan salah satu alasan untuk membatalkan putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud oleh Pasal 70 UU Arbitrase. Adanya penggantian biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diharapkan yang harus ditanggung renteng oleh Pertamina, merupakan dua unsur baku yang dapat diajukan dalam gugatan ganti rugi, sehingga dalam hal ini, putusan Majelis Arbitrator yang memutus permasalahan ganti kerugian tersebut, jelas tidak melampaui wewenang mereka sebagai arbitrator. b. Penerapan hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure bukan Based on Gatot’s Research Only for Private Use
87
Gatot Soemartono
[email protected]
merupakan alasan yang dapat diajukan untuk membatalkan putusan arbitrase sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. c. Majelis arbitrase telah tepat menafsirkan ketentuan hukum yang menyatakan bahwa bilamana terjadi perselisihan di antara para pihak, berdasarkan JOC dan ESC akan diselesaikan dalam satu proses arbitrase, sebab klausula-klausula yang terdapat dalam JOC dan ESC memiliki hubungan erat, terlebih lagi JOC dan ESC ditandatangani pada hari yang sama. Hal ini dikarenakan dalam JOC secara tegas dinyatakan bahwa ESC merupakan satu kesatuan dari JOC yang ketentuan-ketentuan dalam ESC mengikat para pihak dan merupakan satu kesatuan dalam JOC. Begitu pula, dalam ESC juga dinyatakan bahwa JOC merupakan satu kesatuan dengan seluruh perjanjian yang dibuat oleh para pihak. d. Tindakan ICSID yang menunjuk arbitrator kedua adalah sudah tepat dan benar. Hal ini dikarenakan Pertamina tidak menunjuk arbitrator dalam jangka waktu 30 hari setelah adanya permintaan untuk memulai proses arbitrase, sebagaimana yang diatur dalam JOC dan ESC.
7. Klausula arbitrase dalam perjanjian kerja sama (JOC) dan perjanjian kontrak jual beli energi memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan dan tidak dapat dibatalkan. Di sini KBC menolak dengan tegas dalil-dalil gugatan yang menyatakan bahwa oleh karena ESC dan JOC tidak dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan Pemerintah Republik Indonesia, maka JOC dan ESC menjadi batal demi hukum dan klausula arbitrase yang terdapat dalam JOC dan ESC tidak dapat dijalankan. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pertamina tersebut jelas merupakan dalil yang tidak benar, tidak beralasan serta tidak berdasar hukum, sebab: a. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina dalam perkara a quo merupakan gugatan untuk mengajukan permohonan pembatalan Based on Gatot’s Research Only for Private Use
88
Gatot Soemartono
[email protected]
putusan
arbitrase
internasional
dan
bukan
gugatan
untuk
melaksanakan atau menunda pelaksanaan dari klausul arbitrase dalam JOC dan ESC, sehingga klausula-klausula dalam JOC dan ESC mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan. b. Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang digunakan oleh Pertamina bukanlah
merupakan
salah
satu
alasan
untuk
mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional. c. Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997 juncto Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 (Keppres) tidak menunjuk baik langsung maupun tidak langsung JOC dan ESC, apalagi untuk menyatakan mengenai pembatalannya.
Walaupun Keppres tersebut menyatakan untuk
menunda pelaksanaan proyek pembangunan listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Karaha, hal tersebut juga tidak menyebabkan klausula arbitrase dalam JOC dan ESC menjadi tidak dapat dilaksanakan atau menjadi batal. Hal ini telah secara tegas ditentukan dalam Pasal 10 huruf h UU Arbitrase yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”
c. Putusan atas Eksepsi KBC Eksepsi KBC yang isinya menyatakan ketidakwenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa dan mengadili perkara telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan sela-nya, pada 7 Mei 2002. Dengan demikian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan mengadili pekara ini, dan selanjutnya KBC mengajukan eksepsi-eksepsi lain. KBC sebelum menjawab pokok perkaranya, telah mengajukan eksepsi pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: 1. Gugatan pembatalan putusan arbitrase oleh Pertamina sama sekali tidak Based on Gatot’s Research Only for Private Use
89
Gatot Soemartono
[email protected]
memiliki dasar hukum untuk diajukan. Dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 ditentukan terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Di sini putusan arbitrase tidak memenuhi salah satu dari ketiga unsur atau alasan Pasal 70 tersebut, sedangkan uraian gugatan sama sekali tidak menguraikan alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase seperti dalam Pasal 70.
2. Gugatan a quo premature. Bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan
terhadap
putusan
arbitrase
yang
sudah
didaftarkan
di
Pengadilan. Dalam perkara a quo tidak menemukan adanya dalil atau fakta hukum yang membuktikan putusan arbitrase sudah didaftarkan di Pengadilan. Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, pendaftaran putusan arbitrase hanya dapat dilakukan oleh arbitrator atau kuasanya, dalam gugatan tidak diketemukan putusan arbitrase telah didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya. Pertamina bukan arbitrator yang memutus putusan arbitrase internasional, sehingga tidak berwenang mendaftarkan berdasarkan Pasal 67 (1) UU No. 30 tahun 1999 tersebut. Putusan arbitrase internasional yang dimohonkan pembatalan oleh Pertamina belum didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya sehingga permohonan pembatalan a quo yang dilakukan oleh Pertamina premature. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
90
Gatot Soemartono
[email protected]
3. Gugatan a quo kabur dan tidak jelas. Dalam gugatannya Pertamina mohon agar Majelis membatalkan, menyatakan batal, tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya putusan arbitrase Jenewa Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan sela tanggal 20 September
1999,
tetapi
dalam
positanya
mengemukakan
bahwa
perjanjian kerjasama dan perjanjian kontrak jual beli energi adalah batal demi hukum. Selain itu dalam posita tidak menguraikan alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional tersebut. Dalam gugatannya justru lebih banyak menguraikan dalil-dalil yang bertujuan untuk menyatakan serta memohonkan agar kedua kontrak dinyatakan batal atau batal demi hukum, akibatnya maksud gugatan a quo menjadi tidak jelas, apakah untuk membatalkan putusan arbitrase internasional atau menginginkan membatalkan perjanjian kerjasama dan perjanjian kontrak jual beli energi. Bahwa petitum tidak didukung oleh posita yang jelas tepat akurat dan benar mengakibatkan gugatan menjadi kabur dan tidak jelas.
4. Dengan mengajukan gugatan Pertamina telah mengajukan perbuatan licik. Dengan diajukan gugatan a quo Pertamina telah melakukan perbuatan licik, adanya itikad buruk terhadap KBC dengan maksud agar pokok sengketa diperiksa dan diadili kembali oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal berdasarkan ketentuan Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC disepakati untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan tempatnya di Jenewa, Swiss. Jika Pertamina berkehendak mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka Pertamina harus mengikuti persyaratan dalam Pasal 70 UU Arbitrase tanpa perlu mengajak Majelis Hakim memeriksa dan mengadili kembali pokok sengketa Pertamina dan KBC. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
91
Gatot Soemartono
[email protected]
Terhadap eksepsi KBC tersebut Pertamina di dalam repliknya pada pokoknya menyatakan : 1. Bahwa
gugatan
pembatalan
putusan
arbitrase
internasional
oleh
Pertamina memiliki dasar hukum diajukan di hadapan Pengadilan di Indonesia; 2. Gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional oleh Pertamina tidak prematur; 3. Tidak benar gugatan a quo kabur dan tidak jelas; 4. Pertamina tidak melakukan perbuatan licik.
Terhadap eksepsi KBC Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut : 1. Terhadap eksepsi yang menyatakan gugatan a quo diajukan tidak mempunyai dasar hukum. Majelis berpendapat bahwa berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi New York Convention 1958, berarti Indonesia sejak tahun 1958 hingga kini telah mengikatkan diri pada ketentuan hukum dari Konvensi New York tersebut, sehingga alasan pembatalan tersebut tidak saja berdasar Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tetapi telah pula didasarkan Konvensi New York 1958 seperti dalam Pasal VI jo Pasal V ayat (2) b Konvensi New York. 2. Selain itu kontrak JOC dan ESC berdasarkan Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC harus juga didasarkan pada ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules, karena itu permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional oleh Pertamina berdasarkan alasan UU arbitrase, Konvensi New York dan UNCITRAL Arbitration Rules. 3. Dalam bagian penjelasan Bagian Umum atas UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 dikatakan alasan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase antara lain berdasarkan alasan-alasan seperti pada Pasal 70. Dengan adanya penyebutan kata “antara lain”, bukan “yaitu” dapat diartikan UU ini Based on Gatot’s Research Only for Private Use
92
Gatot Soemartono
[email protected]
membolehkan menggunakan alasan-alasan selain yang diatur dalam Pasal 70 tersebut. 4. Terhadap eksepsi yang menyatakan gugatan prematur menurut Majelis gugatan a quo tidaklah prematur, karena seperti telah dipertimbangkan pada putusan No. 86/PDT.G/2002/PN/JKT.PST tanggal 7 Mei 2002 sehingga dengan mengambil alih putusan tersebut, maka eksepsi pada angka 2 telah tidak berjalan menurut hukum; 5. Eksepsi yang menyatakan gugatan kabur dan tidak jelas, setelah Majelis mempelajari seluruh materi gugatan telah ternyata bahwa antara bagian posita dan petitum telah diurakan secara jelas dan gamblang, sehingga dapat dimengerti maksud gugatan a quo adalah sebagai pembatalan putusan arbitrase internasional bukan membatalkan kontrak JOC dan ESC. 6. Bahwa diajukan gugatan a quo adalah telah tepat bukan sebagai perbuatan licik atau itikad buruk, karena upaya ini dalam rangka mempertahankan hak keperdataan Pertamina yang dalam gugatannya merasa dirugikan oleh putusan arbitrase internasional, sehingga karena itu Pertamina mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional seperti halnya dalam perkara a quo.
Atas dasar seluruh pertimbangan di atas, eksepsi KBC dinilai telah tidak beralasan hukum, karenanya harus ditolak.
d. Putusan Provisi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas gugatan Pertamina, pada tanggal 2 April 2002 Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan provisional yang isinya: 1. Mengabulkan gugatan provisi Pertamina; 2. memerintahkan kepada KBC atau siapapun yang dapat hak darinya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan Based on Gatot’s Research Only for Private Use
93
Gatot Soemartono
[email protected]
arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000, yang bersumber kepada perjanjian kerjasama (JOC) dan kontrak jual beli energi (ESC) kedua-duanya tanggal 28 Nopember 1994: dengan ketentuan KBC dikenakan uang paksa US$ 500.000,00 (lima ratus ribu US Dollar) setiap harinya jika perintah ini dilanggar, jumlah mana harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Pertamina; dan 3. menangguhkan putusan perihal biaya, sehingga putusan akhir.
Karena putusan provisi tersebut diucapkan sebelum memeriksa materi pokok perkara, maka terhadap putusan tersebut apakah tetap dipertahankan atau tidak, harus dipertimbangkan kembali dalam putusan pokok perkara a quo.
e. Pertimbangan dan Putusan dalam Pokok Perkara Karena gugatan Pertamina dibantah oleh KBC, sesuai hukum pembuktian kepada Pertamina dibebani untuk membuktikan gugatannya, sebaliknya kepada KBC dibebani pula untuk membuktikan dalil sangkalannya. Berdasarkan surat gugatan, jawaban, replik, duplik dan surat-surat bukti yang diajukan kedua belah pihak terdapat fakta yang tidak diperselisihkan dalam perkara ini, yaitu : 1. KBC dan Pertamina telah menandatangani Joint Operation Contract (JOC) yang dibuat pada tahun 1994, dan antara KBC dan Pertamina telah ditandatangani Energy Sales Contract (ESC) pada tahun 1994. 2. Dari kedua kontrak tersebut KBC telah mengajukan gugatan kepada Pertamina melalui majelis arbitrase di Jenewa, sehingga telah keluar putusan arbitrase internasional yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 dan putusan sela tanggal 30 September 1999.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
94
Gatot Soemartono
[email protected]
Di samping itu terdapat beberapa hal yang masih menjadi perselisihan, yaitu: 1) Menurut Pertamina a. Putusan arbitrase internasional tersebut telah bertentangan dengan Konvensi New York 1958 maupun UU No. 30 tahun 1999; b. Dalam perjanjian kerjasama (JOC) antara Pertamina dan KBC disepakati dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan ketentuan UNCITRAL dan terhadap kontrak tersebut berlaku hukum Indonesia; c. Dalam kontrak jual beli energi (ESC) antara Pertamina dan KBC, disepakati dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan ketentuan UNCITRAL dan dalam kontrak tersebut berlaku hukum Indonesia; d. Majelis Hakim Arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak mempergunakan hukum Indonesia, dalam pertimbangan majelis arbitrase Jenewa telah mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia yang seharusnya diberlakukan; e. Putusan
arbitrase
tanggal
18
Desember
2000
secara
keliru
menafsirkan ketentuan tentang force majeure. Menurut hukum Indonesia peristiwa force majeure membebaskan Pertamina dari kewajiban membayar penggantian biaya, kerugian atau bunga; f. Putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia dan dibuat berdasarkan tipu muslihat KBC, putusan tersebut bertentangan dengan Konvensi New York 1958 dan pengangkatan
arbitrator
tidak
diberitahukan
Pertamina
selaku
termohon eksekusi, sehingga putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
95
Gatot Soemartono
[email protected]
2) Menurut KBC a. Setelah putusan arbitrase internasional dijatuhkan tidak terdapat satupun surat atau dokumen yang diajukan diakui palsu atau dinyatakan palsu, tidak ada dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh KBC, tidak diambil dari tipu muslihat KBC dan alasan pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan, dan Pertamina telah pula menerima pembertitahuan secara patut untuk proses arbitrase, penunjukan Majelis Arbitrator sesuai yang ditentukan dalam JOC dan ESC; b. Klausula arbitrase dalam JOC dan ESC memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan dan tidak dapat dibatalkan.
3) Putusan pokok perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas argumentasi Pertamina dan KBC dan perselisihan hukum tersebut maka Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut: a. Apakah majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak mempergunakan hukum Indonesia, putusannya bertentangan dengan ketertiban umum, berdasarkan tipu muslihat, dan keliru menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia, serta telah mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia; b. Apakah putusan arbitrase internasional yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 dan putusan sela tanggal 30 September 1999 telah bertentangan dengan Konvensi New York 1958 maupun UU No. 30 Tahun 1999, atau tidak.
Berdasarkan bukti-bukti dari putusan arbitrase tersebut, isinya adalah halhal mengenai telah terjadinya suatu kesepakatan yang menghasilkan dua kontrak kerjasama yaitu:
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
96
Gatot Soemartono
[email protected]
a. Joint
Operation
Contract
(JOC),
yang
menetapkan
Pertamina
bertanggung jawab untuk mengoperasikan proyek geo-termal dan KBC yang diberikan kuasa untuk mengembangkan proyek geo-termal (proyek Karaha Bodas). b. Energy Sales Contract (ESC), dalam kontrak ini PLN setuju untuk membeli dari Pertamina tenaga listrik yang diproduksi dan dipasok oleh Pembangkit Tenaga Listrik yang dibangun oleh KBC.
Dalam Pasal 20 JOC dan Pasal 12.1 ESC disebutkan “Perjanjian ini tunduk pada hukum dan peraturan Republik Indonesia”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa para pihak dalam kontrak tersebut telah menundukkan dan memilih hukum Indonesia. Karena Kontrak JOC dan ESC berlaku hukum Indonesia, upaya hukum dari Pertamina terhadap putusan arbitrase internasional untuk mengajukan suatu pembatalan putusan arbitrase adalah tepat untuk diajukan di pengadilan Indonesia dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : a. Karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 sejak tahun 1981 hingga kini maka Indonesia termasuk negara yang mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam Konvensi tersebut; b. Meskipun Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase mengatur mengenai alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk mengajukan pembatalan suatu putusan arbitrase internasional, akan tetapi karena Pasal V Konvensi New York 1958 menyatakan “bahwa terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak atas permohonan pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan tersebut, namun terhadap penolakan tersebut harus dapat dibuktikan halhal yang tercantum dalam Pasal V.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
97
Gatot Soemartono
[email protected]
Yang tercantum dalam Pasal V huruf b, d, dan e Konvensi New York 1958 ini adalah : a. Pihak yang diminta untuk melaksanakan keputusan tidak mendapat pemberitahuan yang wajar mengenai penunjukan para arbitrator; b. Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak; c. Putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak. Pasal V ayat 2 b Konvensi New York menyatakan bahwa pengakuan dan pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase dapat juga ditolak jika badan yang berwenang dari negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan dimohonkan menemukan bahwa pengakuan atau pelaksanaan putusan arbitrase akan bertentangan dengan kepentingan umum.
Apakah Majelis Hakim Arbitrase telah melampaui kewenangannya karena tidak mempergunakan hukum Indonesia, bertentangan dengan ketertiban umum, berdasarkan tipu muslihat, keliru menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia dan apakah dalam pertimbangan majelis arbitrase Jenewa telah mengesampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia?
Menjawab pertanyaan tersebut Majelis Hakim telah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Dengan berlakunya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981, akan berlaku secara resiprositas antara negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958, berarti negara Indonesia juga dapat melaksanakan putusan arbitrase karena Indonesia juga termasuk dalam negara yang meratifikasi Konvensi tersebut. 2. Pasal 12.1 ESC dan Pasal 20 JOC telah mengatur mengenai ketentuan “Perjanjian ini tunduk pada hukum dan peraturan Republik Indonesia”. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
98
Gatot Soemartono
[email protected]
Majelis Hakim berpendapat bahwa baik dalam perjanjian JOC maupun dalam perjanjian ESC telah menundukkan dan memilih hukum Indonesia. 3. Apakah majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya atau tidak, menurut pendapat Majelis Hakim jika dilihat dari Pasal V (1) Konvensi New York 1958 dapat disimpulkan bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan dapat ditolak setelah salah satu pihak menyatakan pada pihak yang berwenang dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri karena badan inilah yang akan melaksanakan eksekusi putusan arbitrase tersebut. 4. Dari apa yang menjadi pertimbangan di atas, majelis arbitrase telah melampaui
wewenangnya
karena
tidak
mempergunakan
hukum
Indonesia, sedangkan kontrak JOC dan ESC dengan tegas menyatakan bahwa mereka memilih hukum arbitrase Indonesia dan bukan hukum arbitrase Swiss dan Konvensi New York 1958 Pasal VI jo Pasal V (1) e memperbolehkan hal tersebut. 5. “Apakah pengakuan atau pelaksanaan itu bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak?” Dalam Pasal V ayat 2 huruf b Konvensi New York 1958 dinyatakan bahwa pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan jika putusan itu bertentangan dengan ketertiban umum negara itu.
Majelis Hakim mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1999 yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri di Indonesia. Pasal 4 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung tersebut menyebutkan “bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri di Indonesia terbatas pada keputusan-keputusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum dalam seluruh sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia.” Majelis Hakim juga mengutip pendapat Erman Rajagukguk mengenai ketertiban umum yang kadang diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan Based on Gatot’s Research Only for Private Use
99
Gatot Soemartono
[email protected]
dan keamanan atau disamakan dengan “ketertiban hukum ” atau disamakan dengan “keadilan”. Dari hal tersebut, Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997 dan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia atas permintaan IMF bertujuan untuk menyelamatkan dan mengatasi beban negara yang sedang dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, sehingga jika proyek geo-termal tersebut tetap diteruskan maka hal itu akan semakin menyengsarakan perekonomian bangsa Indonesia. Berdasarkan Pasal V ayat 2 huruf b Konvensi New York 1958, sudah sepatutnya
terhadap
putusan
arbitrase
internasional
tersebut
harus
dinyatakan ditolak pengakuan dan pelaksanaannya karena tidak hanya bertentangan dengan ketertiban umum akan tetapi juga bertentangan dengan sendi-sendi asasi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah telah terjadi suatu kekeliruan mengenai penafsiran ketentuan force majeure menurut hukum Indonesia? Atas permasalahan tersebut, keadaan yang dinamakan force majeure atau keadaan memaksa dalam putusan Arbitrase asing dinyatakan konsekuensi hukum dari situasi ini tidak sama terhadap KBC. Di lain pihak, para pihak telah memaklumi bahwa keputusan Presiden untuk menunda proyek Karaha Bodas adalah “Government Related Event” sebagaimana didefinisikan di dalam ESC dan JOC Pasal 15.2 (e) yang menyatakan: “… kejadian-kejadian yang disebabkan oleh keadaan memaksa mencakup, tetapi tidak terbatas pada: … (e) setiap tindakan yang berhubungan dengan kontraktor saja”. Pernyataan yang sama pada Pasal 9.2 kata “kontraktor” diganti dengan “company “, dimana keduanya mengacu kepada KBC. Melalui kontrak tersebut dinyatakan bahwa Keputusan Presiden adalah keadaan memaksa bagi KBC
dan bukan bagi Pertamina dan PLN.
Konsekuensi hukumnya adalah bahwa KBC berhak untuk memakai Keputusan
Presiden
sebagai
alasan
untuk
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
tidak
melaksanakan 100
Gatot Soemartono
[email protected]
kewajibannya, sedangkan Pertamina dan PLN tidak berhak sejauh ini untuk melakukan hal yang sama, dan seterusnya. Berhubung Pertamina dan PLN tidak dapat memakai Keputusan Presiden sebagai alasan yang sah untuk tidak melakukan kewajiban mereka di bawah ESC dan JOC, maka tindakan tidak melakukan kewajiban tersebut adalah pelanggaran
kontrak
sehubungan
dengan
tanggung
jawab
mereka.
Konsekuensi akibat Keputusan Presiden yang menghalangi pelaksanaan kontrak adalah tanggungan Pertamina dan PLN. Selanjutnya berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1997 tanggal 20 September 1997 Pemerintah Indonesia telah menunda beberapa proyek termasuk
proyek
geo-termal
KBC,
dengan
pertimbangan
untuk
mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional pada umumnya. Dengan ditutupnya proyek KBC tersebut, Pertamina telah berusaha agar proyek tersebut dikecualikan, sehingga atas usahanya tersebut melalui Keppres No. 47 Tahun 1997 tanggal 1 November 1997, proyek KBC tersebut dapat diteruskan. Tetapi terhadap usaha yang baru dirintis oleh Pertamina tersebut, Pemerintah kembali mengeluarkan Keppres No. 5 Tahun 1998 tanggal 10 Januari 1998 yang isinya menangguhkan kembali proyek Karaha Bodas, sehingga sejak lahirnya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut telah menjadi jelas baik Pertamina, maupun KBC tidak dapat melaksanakan proyek tersebut. Dengan berhentinya proyek tersebut KBC dapat melaksanakan ketentuan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana Pasal 15 JOC dan 9 ESC tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa, majelis arbitrase di Jenewa menyatakan bahwa akibat Keputusan Presiden yang menghalangi pelaksanaan kontrak tersebut telah menjadi tanggungan Pertamina dan PLN. Sebaliknya majelis hakim menimbang bahwa suatu Keputusan Presiden, khususnya atas proyek-proyek pemerintah ataupun Badan Usaha Milik Based on Gatot’s Research Only for Private Use
101
Gatot Soemartono
[email protected]
Negara (BUMN) mempunyai daya laku dan legitimasi sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Sebagai akibat lahirnya Keppres yang menyatakan agar proyek KBC ditangguhkan, konsekuensinya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan mematuhi Keppres tersebut. Dengan demikian Keppres tersebut merupakan tindakan publik yang dibenarkan menurut hukum Indonesia, sehingga Pertamina tidak mempunyai kemampuan secara hukum (incapacity) untuk berbuat terhadap proyek yang ditangguhkan tersebut untuk dilanjutkan kembali. Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya Keppres tersebut adalah untuk mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional pada umumnya, berarti pula kepentingan publiklah yang harus diutamakan lebih dahulu, apalagi pada saat itu (tahun 1997) bangsa Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga dengan demikian kepentingan dan keteriban umumlah yang menurut hukum Indonesia yang harus diutamakan. Tetapi majelis arbitrase dalam pertimbangan hukumnya telah tidak mempertimbangkan keadaan seperti tersebut, dan telah mempertimbangkan secara sempit dengan mengacu kepada keadaan memaksa bagi KBC, seharusnya Majelis Arbitrator dengan memperhatikan secara luas terbitnya Keppres yang menangguhkan proyek Karaha tersebut yang nota bene berakibat Pertamina tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat, sehingga seharusnya pula dikategorikan sebagai keadaan memaksa. Atas dasar pertimbangan di atas Majelis berpendapat bahwa Majelis Arbitrator telah mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia. Walaupun majelis arbitrase mengakui hukum Indonesia berlaku terhadap sengketa yang timbul dari kontrak JOC dan ESC, akan tetapi arbitrator telah tidak menggunakan ketentuan hukum Indonesia khususnya tentang keadaan memaksa yang tidak dipertimbangkan bagi Pertamina, sedangkan telah ternyata kedua perjanjian JOC dan ESC secara tegas menggunakan hukum Based on Gatot’s Research Only for Private Use
102
Gatot Soemartono
[email protected]
Indonesia. Terhadap kelalaian majelis arbitrase tersebut, Majelis Hakim berwenang untuk memutus pembatalan atas putusan arbitrase di Jenewa, Swiss tersebut. KBC dalam jawabannya menyatakan bahwa gugatan a quo telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 70 Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999. Menurut Pertamina dalam mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase tersebut tidak saja berdasarkan ketentuan Pasal 70 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tetapi didasarkan pula kepada Konvensi New York 1958. Berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York tahun 1958. Dengan demikian Indonesia sejak tahun 1981 sampai sekarang telah mengikatkan diri kepada ketentuan-ketentuan hukum
yang tercantum dalam Konvensi New York sehingga gugatan
pembatalan putusan arbitrase internasional dapat didasarkan pada Konvensi New York 1958 tersebut, yang hal ini sejalan dengan alasan-alasan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase asing yang antara lain adalah alasan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 70. Karena itu dengan adanya penyebutan kata “antara lain” dapat ditafsirkan bahwa oleh UndangUndang ini untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan lain. Hal ini telah dilakukan Pertamina yaitu dengan mendasarkan kepada Konvensi New York. Atas dasar seluruh pertimbangan di atas, tanpa mempertimbangkan lebih lanjut surat-surat lainnya yang diajukan oleh para pihak maka putusan arbitrase yang diterapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desmber 2000 berikut putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di Jenewa tanggal 30 September 1999, harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya. Karena putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 200 berikut putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di Based on Gatot’s Research Only for Private Use
103
Gatot Soemartono
[email protected]
Jenewa tanggal 30 September 1999, dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya, maka menghukum kepada KBC untuk taat dan patuh pada putusan tersebut.
Terhadap tuntutan provisional, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa: 1) Atas tuntutan provisi yang diajukan oleh Pertamina, Majelis Hakim telah mempertimbangkannya yang dituangkan dalam putusan sela tanggal 1 april 2002, yang isinya antara lain mengabulkan tuntutan provisi dari Pertamina untuk seluruhnya, dan untuk mempersingkat putusan ini segala sesuatu yang termuat dalam putusan sela tersebut, selengkapnya dianggap telah tercantum dalam putusan ini dan Majelis Hakim tetap mempertahankan putusan provisi tersebut. 2) Terhadap tuntutan yang memohon agar putusan perkara ini dijalankan lebih
dulu
meskipun
ada
banding,
verzet
atau
kasasi,
Majelis
mempertimbangkan bahwa untuk menolak ataupun mengabulkan suatu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat 1 HR, harus memenuhi salah satu syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal tersebut di atas antara lain, yaitu: ada gugatan provisional yang dikabulkan. 3) Terhadap tuntutan provisional dari Pertamina oleh Majelis Hakim telah dikabulkan dengan putusan selanya tentang provisi, oleh karena itu adalah layak dan beralasan hukum tuntutan Pertamina agar putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada banding, verzet atau kasasi, patut untuk dikabulkan. 4) Karena gugatan Pertamina telah dikabulkan, maka KBC berada pada pihak yang dikalahkan dihukum untuk membayar biaya perkara ini.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
104
Gatot Soemartono
[email protected]
Mengingat akan pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan, dan hasil seluruh pemeriksaan Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut: 1. Dalam Eksepsi, menolak seluruh eksepsi KBC. 2. Dalam Provisi a. Mengabulkan gugatan provisional dari Pertamina untuk seluruhnya; b. Memerintahkan kepada KBC atau siapapun yang dapat hak daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000, yang bersumber pada perjanjian kerja sama (Joint Operation Contract) dan kontrak jual beli energy (Energy Sales Contract), keduanya dibuat pada 28 Nopember 1994, dengan ketentuan KBC dikenakan uang paksa US$ 500.000,0 (lima ratus ribu US Dollar) setiap harinya, jika perintah ini dilanggar, jumlah mana harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Pertamina
3. Dalam Pokok Perkara a. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum
putusan
arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di Jenewa tanggal 30 September 1999, dengan segala akibat hukumnya; b. Menghukum kepada KBC untuk taat dan patuh pada putusan tersebut; b. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada banding, verzet atau kasasi; c. menghukum KBC untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 539.000,- (lima ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah).
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
105
Gatot Soemartono
[email protected]
3. Proses Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam rapat Majelis Mahkamah Agung (MA) yang diadakan pada hari Senin, 8 Maret 2004 dengan dihadiri oleh Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung sebagai ketua sidang, Paulus E. Lotulung dan Marianna Sutadi sebagai hakim-hakim anggota, diputuskan untuk mengabulkan permohonan banding KBC. Putusan MA tersebut diucapkan oleh ketua sidang pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh kedua hakim anggota tersebut, serta Shirley P. Widodo, S.H., sebagai panitera pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.
a. Pertimbangan Putusan secara Formal Sebelum memutuskan dalam tingkat kasasi, MA mendapati bahwa tergugat (dalam hal ini adalah KBC) berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 6 September 2002 mengajukan permohonan banding pada 9 September 2002 atas putusan pengadilan negeri yang diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada 27 Agustus 2002 (yang dihadiri oleh kuasa penggugat, kuasa tergugat dan kuasa turut tergugat). Hal itu dapat dilihat dalam
akte
permohonan
82/Srt.Pdt.Kas/2002/PN.JKT.PST.Jo
Nomor:
banding
Nomor:
86/PDT.G/2002PN.JKS.PST
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian disusul dengan memori banding yang memuat alasan-alasan yang diterima oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 23 September 2002. Setelah itu Pertamina, yang pada tanggal 25 September 2002 telah diberitahu tentang memori banding oleh KBC, mengajukan jawaban memori banding yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 7 Oktober 2002. Mengenai tambahan memori banding yang diajukan oleh KBC, mengingat tambahan memori banding tersebut baru diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 25 Based on Gatot’s Research Only for Private Use
106
Gatot Soemartono
[email protected]
Oktober 2002, sedangkan permohonan banding telah diajukan pada tanggal 9 September 2002, maka tambahan memori banding tersebut telah melewati tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 sehingga tambahan memori banding tersebut harus dikesampingkan. Mempertimbangkan bahwa permohonan banding a quo beserta alasanalasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-Undang, karena itu permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima
b. Isi Permohonan Kasasi KBC mengajukan keberatan-keberatan dalam memori banding yang pada pokoknya menyatakan bahwa: a. berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa terhadap putusan (pembatalan) dari pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Oleh karena itu, upaya hukum yang diajukan oleh KBC terhadap putusan dengan mengajukan banding kepada Mahkamah Agung sudah tepat dan telah sesuai dengan UU Arbitrase; b. karena dalam UU Arbitrase tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu pengajuan banding dan memori banding, maka KBC mendasarkan ketentuan hukum acara pada Pasal 47 UndangUndang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah agung yang menyatakan bahwa pengajuan memori banding oleh pemohon banding wajib disampaikan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. KBC telah Based on Gatot’s Research Only for Private Use
107
Gatot Soemartono
[email protected]
menyatakan banding atas putusan tersebut pada tanggal 9 September 2002, terhadap Putusan Sela I pada tanggal 16 April 2002, serta terhadap Putusan Sela II pada tanggal 21 Mei 2002. Di sini KBC telah mendaftarkan permohonan banding di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagai tenggang waktu yang diperbolehkan menurut Undang-Undang; c. berdasarkan
pertimbangan
hukum
judex
factie,
Putusan
No.86/PDT.G/2002/PN.JKS.PST. tanggal 27 Agustus 2002 adalah keliru dan tidak berdasarkan fakta dan tidak adil. Di samping itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak berwenang untuk memeriksa gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional tanggal 18 Desember 2000 yang diputuskan di Jenewa, Swiss; Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui batas wewenang; Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
c. Argumentasi Hukum dari Putusan MA Mahkamah Agung sebelum membuat putusannya, telah menyampaikan beberapa pertimbangan hukum yang isinya mendukung argumentasi KBC, yaitu: a. Termohon Kasasi (Pertamina) menurut hukum tidak dapat mengajukan pembatalan
terhadap
Putusan
Arbitrase
Internasional
dengan
menggunakan format “gugatan” melainkan harus dengan menggunakan format “permohonan”. Hal ini mengingat berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase, keberatan atau permohonan banding yang diajukan terhadap putusan harus diajukan langsung ke Mahkamah Agung. Based on Gatot’s Research Only for Private Use
108
Gatot Soemartono
[email protected]
b. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang baik secara kompetensi absolute maupun secara kompetensi relatif untuk mengadili perkara a quo, karena dalam Penjelasan Pasal 70 UndangUndang
Arbitrase
secara
tegas
dinyatakan
bahwa
permohonan
pembatalan hanya dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Kemudian Pasal 67 ayat (1) UndangUndang Arbitrase, yang merupakan satu-satunya pasal yang mengatur mengenai pendaftaran atas putusan Arbitrase Internasional dalam Undang-Undang Arbitrase, juga secara tegas diatur bahwa yang berwenang untuk melakukan pendaftaran terhadap Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia adalah arbiter atau kuasanya. c. Judex facti telah mengabaikan ketentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Arbitrase yang jelas-jelas telah menyatakan bahwa pembatalan
terhadap
menggunakan
format
suatu
putusan
“permohonan”
arbitrase serta
diajukan
terlebih
dahulu
dengan harus
memenuhi persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Arbitrase. Dengan diabaikannya ketentuan UndangUndang (UU Arbitrase) oleh judex facti dalam mengeluarkan putusan, jelas telah membuktikan kelalaian yang diajukan oleh judex facti dalam memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh undang-undang. d. Dari segi kompetensi absolut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara ini, karena pembatalan putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilakukan oleh Pengadilan Swiss. Berdasarkan Pasal VI jo Pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958 Pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah hanya Pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dibuat.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
109
Gatot Soemartono
[email protected]
e. Dari segi kompetensi relatif, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak berwenang untuk mengadili perkara ini, karena berdasarkan ketentuan dalam Pasal 72 dan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase, di mana Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara a quo adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon (in casu tempat tinggal KBC). Oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan (kompetensi) untuk menerima dan memeriksa gugatan pambatalan Putusan Arbitrase Internasional a quo, sebab wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak meliputi tempat tinggal Pemohon Kasasi/tergugat (KBC). f. Gugatan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh Pertamina tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan, karena berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, jelas ditentukan bahwa suatu putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di Pengadilan. Dalam perkara a quo, Pertamina sama sekali tidak dapat mengajukan satu bukti pun yang dapat membuktikan bahwa putusan Arbitrase Internasional tersebut sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Oleh karena Putusan Arbitrase Internasional belum didaftarkan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka sebenarnya Putusan Arbitrase Internasional belum didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya.
Untuk memperkuat argumentasinya, Majelis MA lebih jauh menyatakan bahwa keberatan-keberatan di atas dapat dibenarkan, karena judex facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan, yaitu: a. Bahwa gugatan Pertamina pada pokoknya adalah gugatan pembatalan putusan arbitrase yang diputuskan di Jenewa, Swiss pada tanggal 18 Desember 2000 (Final Award In An Arbitration Procedure Under The UNCITRAL Arbitration Rules); Based on Gatot’s Research Only for Private Use
110
Gatot Soemartono
[email protected]
b. Bahwa menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, seperti halnya putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya oleh Pertamina adalah Putusan Arbitrase Internasional; c. Bahwa mengenai Arbitrase Internasional, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 hanya mengaturnya dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 yang selain mengatur syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya suatu putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, juga mengatur prosedur permohonan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut; d. Bahwa Pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 (Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign arbitral Award) yang disahkan dan dinyatakan berlaku dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 berbunyi: “Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if … (e) “The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authorty of the country in which, or under the law of which, that award was made”. e. Bahwa kuasa hukum Pertamina telah mengajukan permohonan banding terhadap putusan arbitrase yang disengketakan kepada Mahkamah Agung
Swiss
sesuai
dengan
Undang-Undang
Hukum
Perdata
Internasional Negara Swiss.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
111
Gatot Soemartono
[email protected]
Catatan: Untuk butir e di atas, Mahkamah Agung mengacu pada asas nebis in idem yang menyatakan bahwa untuk suatu perkara yang sama tidak dapat diperiksa dan diadili untuk kedua kalinya.76 Atas dasar pertimbangan-pertimbangan butir a – e tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang dilakukan oleh Pertamina.
d. Isi Putusan MA Setelah melakukan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, tanpa perlu mempertimbangkan
keberatan-keberatan
lainnya,
Mahkamah
Agung
berpendapat bahwa telah terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan banding dari KBC dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27 agustus 2002 No.86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Di samping itu, Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini. Mahkamah Agung setelah mempertimbangkan bahwa Pertamina adalah pihak yang kalah, maka Pertamina dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan. Sebelum membuat putusan, MA telah memperhatikan Pasal-pasal dari Undang-Undang No. 30 tahun 1999, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 serta Pasal-pasal lain dari undang-undang yang bersangkutan.
76
Tentang pengajuan kasus tersebut di Swiss, koordinator pengacara Pertamina membantah bahwa putusan arbitrase UNCITRAL telah diperiksa dan ditolak oleh Mahkamah Agung Swiss. Menurutnya, upaya mengajukan pembatalan putusan ke pengadilan di Jenewa terlambat dilakukan sehingga tidak sempat diperiksa dan diputuskan. Menurutnya, Mahkamah Agung RI telah salah ketika menyatakan berlakunya asas nebis in idem dalam kasus ini. Asas tersebut, yang menyatakan untuk suatu perkara yang sama tidak dapat diperiksa dan diadili untuk kedua kalinya, tidak berlaku di sini, karena kasus ini belum pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Swiss.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
112
Gatot Soemartono
[email protected]
Isi putusan dari MA dibedakan menjadi 2, yaitu: a. Putusan “mengadili” yang isinya adalah: 1) Mengabulkan permohonan banding dari pemohon banding Karaha Bodas Company (KBC) tersebut. 2) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27 Agustus 2002 No.86PDT.G/2002?PN.JKS.PST.77
b. Putusan “mengadili sendiri” yang isinya adalah: 1) Dalam eksepsi: mengabulkan eksepsi tergugat, yaitu: KBC. 2) Dalam provisi dan pokok perkara: menyatakan PN Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan Penggugat. 3) Menghukum Pertamina untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ini ditetapkan sebesar Rp500,000,- (lima ratus ribu rupiah).
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, telah selesailah uraian seluruh rangkaian penyelesaian kasus Karaha Bodas, khususnya yang melibatkan Pertamina dan Karaha Bodas Company (KBC).78 (Sebagaimana diketahui dalam penelitian ini tidak dibahas secara khusus keterlibatan PLN dan Pemerintah.)
77
Menurut Mulyana, pakar arbitrase dan konsultan di MKK, dalam wawancara dengan penulis melalui telepon dan korespondesi melalui e-mail, putusan MA tersebut telah tepat di dalam penerapan hukumnya. Menurutnya arbitrator dan kuasa hukum KBC tidak pernah mendaftarkan putusan arbitrase UNCITRAL di PN Jakarta Pusat, karena itu bagaimana putusan yang tidak pernah didaftarkan tersebut dapat dibatalkan. 78 Dalam wawancara dengan penulis, Simson Panjaitan sebagai koordinator pengacara Pertamina mengatakan bahwa saat ini Pertamina sedang menyiapkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas kasus Karaha Bodas. PK saat ini sedang disusun oleh Pertamina dengan bantuan kantor pengacara Sudargo Gautama, dan akan diajukan kepada Mahkamah Agung RI untuk membatalkan putusan tersebut.
Based on Gatot’s Research Only for Private Use
113