GANTI KERUGIAN ATAS TANAH ADAT UNTUK KEPENTINGAN TRANSMIGRASI DI KABUPATEN MERAUKE THE COMPENSATION LOSS ABOVE TRADITIONAL LAND FOR INTEREST TRANSMIGRATION IN MERAUKE REGENCY Theodorus Erro Yapo ,A. Suryaman M. Pide, Sri Susyanti Nur Bagian Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Theodorus Erro Yapo Jln. Gang Benkam 081354063954 Email :
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) bagaimana pelaksanaan ganti kerugianatas pengadaan tanah untuk kepentingan Transmigrasi.(2) bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah atas ganti kerugiantanah adat untuk kepentingan Transmigrasi (3) bagaimana implementasi hukum formal dengan hukum adat dalam pelaksanaan ganti kerugian tanah untuk kepentingan Transmigrasi.Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Merauke dengan metode; studi Dokumen, studi Pustaka dan Wawancara dengan responden yang masuk dalam populasi. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dari beberapa lokasi yang diklasifikasi dalam 4 wilayah peyebaran Pemukiman Transmigrasi. Data kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah adat dijual oleh pemilik tanah maupun juga oleh orang lain.Dokumen penyerahan tanah adat tertera para pemilik tanah adat yang menandatangani berita acara penyerahan tanah dan bentuk ganti kerugiannya. DANRAMIL, KAPOLSEKdan Departemen Transmigrasi juga turut menandatangani dokumen penyerahan tanah adat.Pemerintah membebaskan tanah melalui SK Bupati dan SK Gubernur dalam jumlah yang besar. Setelah puluhan tahun berlalu dengan melihat perkembangan yang terjadi di Wilayah Transmigrasi, masyarakat adat tidak mempunyai akses lagi atas tanah yang bukan milik mereka lagi.Masyarakat adat berharap adanya ganti kerugian yang layak.Departemen Transmigrasi mengatakan bahwa masalah ganti kerugian atas tanah Transmigrasi sudah final. Kata Kunci : Ganti Kerugian,Tanah Adat dan Transmigrasi ABSTRACT These Research aimed for bean cake (1) hat to execution the compensation loss above traditional land for Transmigration that finished applied with of laws which happen, (2) which distant the government all sort of refonsibilities above traditional land for Transmigration,(3)for to measure off which distant implementation the legal law in Society with the traditional right conection with execution the compensation loss above traditional land for Transmigration.These Research was performed in Merauke regency withmetodh; dokument studies,bibliography studies and interview with respondent which into population. Taking over the sampling which applied in randomly from several location which in four yurisdiction District spreading the Transmigration estabilished.The Research to point out that traditional land was sell by owner and by not. The Comandant of Region Militery and Leader Of Police Sektor and Transmigration Departement also that to signatoryin traditional land dokument.The Government dis’charge the land with Regent Invoice and Governor Invoice on Total for the greater. After many years ago with seen the growing up in Transmigration yurisdiction, the traditional community not have many asksesin the not more them land. The traditional community hope unbeliveble right conpensation loss above from land of that Transmigration. TheTransmigration Departerment sayed the compensation loss above the traditional land that finished. Key words : Compensation Loss, Traditional Land,Transmigration
PENDAHULUAN Tanah merupakan sesuatu yang vital bagi pertumbuhan kehidupan dan perkembangan pembangunan suatu daerah dan atau masyarakat adat dan juga bagi negara sebagai penyelenggara tertinggi sumber penghidupan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
Nasional. Untuk itu penataannya harus diatur sedemikian rupa sehingga
berguna bagimasyarakat adat dan bagi negara. Negara kemudian mengatur keperuntukan bagi sekalian orang dalamhal ini rakyat agar dapat dinikmati bersama-sama sebab tanah bersifat sosial sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA. Pada Pasal 3 UUPA menegaskan tentang pelaksanaan hakulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Sebagai landasan pokokhukumyang mengatur kekayaantersebut melalaui suatu perundang-undangan sebagaimana
diatur dalamUndang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) dan juga dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang telah dikenal dengan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). Pada tahun 1980 an pemerintah pusat merencanakan relokalisasi
masyarakat Indonesia terutama dari daerah-derah yang padat penduduknya
terutama; jawa, Madura dan Bali. Program tersebut dibiayai dengan dana Bank Dunia yang memberikan pinjaman terbesar dari negara-negara berkembang lainnya.(ELSAM, 1995)”. Guna mencapai tujuantersebut maka dibuat suatu landasan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam pasal 18 UUPA. Dalam pasal 18 UUPA ini pula ditekankan tentang pencabutan hak atas tanah dandengan memperhatikan ganti rugi atastanah yang haknya dicabut tersebut. Kemudian sebagai peraturan pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya Nomor 20 Tahun 1961 dankemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun1973 tentangAcara penetapaanGanti Rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya dan kemudian sebagai aturan pelaksanaanya terbit InstruksiPresiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang PelaksanaanPencabutanHak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya. Selanjutnya telah diganti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kemudian diganti lagi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kemudian pula diterbitkan lagi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. “Herbert Spencer mengatakan bahwa, yang paling kuatlah yang harus didahulukan dan berhak mendapatkan keadilan karena yang berhak untuk keadilan ialah mereka yang pertama memiliki nilai-nilai produktif dan kemakmuran. Sebagai penganut paham survival of the fittest (spesies yang kuat itulah yang mampu mempertahankan kelestariannya), menurutnya anggota-anggota masyarakat yang tidak produktif, supaya diletakkan pada posisi paling bawah (N.H.T.Siahaan, 2006, 45)” Hans Kelsen dalam bukunyatentang
Teori
Umum
Hukum
Dan Negara
mengatakan;“Ignorantia juris neminem excusat” yaitu “ketidaktahuan hukum tidak menjadi alasan pemaaf bagi seseorang”. Fakta bahwa seseorang individu tidak mengetahui bahwa hukum melekatkansuatu sanksi kepada perbuatannya atau kelalaiannya untuk berbuat sesuatu bukan merupakan alasan untuk tidak menjatuhkan sanksi kepadanya. (HansKelsen, 2007)”. Adapun tujuanyang dapat dicapaidari penelitianiniadalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan ganti kerugian atas tanah adat untuk
kepentingan transmigrasi itu sudah
dilakukan, untuk mengetahuibagaimana kebijakan atautanggungjawab pemerintah Daerah atas
gantikerugiantanah
adat
untuk
kepentingan
transmigrasi,
dan
untuk
mengetahuiapakahpemerintah dan masyarakat sudah mengimplementasikan hukum formal atau hukum Nasional dengan hukumadat sehubungan dengan pelaksanaan ganti kerugian atastanah adat untuk kepentingan transmigrasi.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Kabupaten Merauke merupakan daerah penerima program transmigrasi terbesar ditanah Papua. Tidaklah sangat mengherankan bahwa jika terdapat sekian ribuh hektartanah untuk kepentingan transmigrasi
diambil oleh negara sehingga menyebabkan masyarakat adat
kehilangan tanah adat mereka dan mengharapkan adanya ganti kerugian dengan nilai yang wajar.
Penelitian ini laksanakan dilembaga pemerintah yang melaksanakan program
transmigrasi dan juga lansung pada 3 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yakni UPT Semangga, UPT Tanah Miring dan UPT Sota, sebagi sampel dari seluruh UPT yang ada diseluruh Kabupaten Merauke sebelum ada pemekaran dari tiga (3 ) distrik
yang
disebutkandiatas. Penelitian akan dilaksanakan pada Minggu ke dua januari 2011 di UPT Semangga, UPT Tanah Miring, UPT Salor, Minggu ke tiga januari 2011 di UPT Sota dan para
responden dan LMA,
Minggu ke empat
januari 2011
di Kantor Pemerintah yang
bertanggungjawab ataspelaksanaan pemukimanTransmigrasi di Kabupaten Merauke yakni : Kantor Migrasi Pemukiman Dan Tenaga Kerja Kabupaten Merauke; Kantor Pertanahan Kabupaten Marauke.Minggu ke satu Pebruari 2011 di UPT Jagebob, Bupul dan Muting Tipe dan Jenis Penelitian Penelitian yuridis normatif adalah penelitian bahan pustaka atau data-data sekunder yang mencakup bahan hukum primer seperti perundang-undangan dan bahan hukum sekunder seperti makalah, bahan hasil-hasil seminar, hasil-hasil penelitian, buku-buku yang perkaitan dengan hasil penelitian ini dan lain sebagainya. Penelitian empiris–sosiologishokum adalahpenelitian terhadap data primer dilapangan langsung pada masyarakat tempat dimana penelitian ini dilaksanakan.Sifatdari penelitian ini adalahpenelitian deskriptif (descriptive research) yang dimaksudkan untuk mendiskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti yang biasa disebut taxonomic research. Penelitian diskriptif ini tidakmempersoalkan jalinan hubungan antara variabel yang ada. Olehsebab itutidak melakukan hipotesis dan tidak pula diadakan pengujian hipotesis. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian
ini adalah beberapa Unit Pemukiman
Transmigrasi
di
Kabupaten Merauke, Yakni: UPT Salor, UPT Semangga, UPT Tanah Miring, UPT Sota dan UPT Jagebob, UPT Bupul dan UPT Muting sebagimana yang telah disebutkan diatas. Populasi penelitian ini dilakukan dalam dua arah yakni :
pertama, pada Dinas Migrasi
Pemukiman Dan Tenaga Kerja ( Dulu disebut Kantor Transmigrasi an dirubah menjadi Kantor Pemukiman dan Perambah Hutan); kedua pada Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Salor, Kuper, Sota. Juga tokoh-tokoh adat, tokoh agama, akademisi danpara responden lainnya yang dapat memberikan masukan yang berarti dan memahami masalah dan dapat dipercaya.Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi tersebut diatas yang akan mewakili pula wilayah pemukiman transmigrasi yang belum dimasukkan didalam perencanaan penelitian ini.Dengan melihat sampel yang dikumpulkan darisejumlah responden dan atau pihak–pihak yang bertanggungjawab dengan masalah yang diteliti maka diharapkan pula bahwa data tersebut adalah akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kwalitas hasilpenelitian tersebut. Jenis Sumber Data Data diambil dari pihak–pihak atau responden yang terkait dengan masalah yang diteliti seperti, pejabat yang berwenang dan juga dari masyarakat yang langsung terkait dan atau terlibat dengan permasalahan itu sendiri.Adapun pejabatyang dimaksudseperti; Kepala
Kantor Migrasi Pemukiman Dan Tenaga Kerja, juga dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada umumnya dan LSM peduli Lingkungan, akademisi, kepala kampung dimana ada Unit Pemukiman
Transmigrasi
berada, tokoh Lembaga
Masyarakat Adat (LMA)
wilayah bersangkutan, tokoh Agama, dan beberapa Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT).
Data sekunder adalah data yang diambil daridokumen-dokumen dan atau
literature–literature yang sangat berkaitan dengan masalah yang diteliti yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, laporan hasil penelitian, makalah, surat kabar, keputusan PengadilanNegeri Merauke
yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht
vangewijsde).Data tertier adalah data hukum yang member penjelasan terhadapbahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti rancangan
undang-undang, kamus hukum, dan
ensiklopedia. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari buku-buku tentang ilmu hukum, peraturan-peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, laporan hasil-hasil penelitian, makalah-makalah, surat kabar yang sangat berhubungan erat dengan masalah yang diteliti. Informasi tertulis dari sumber-sumberyang disebutkan diatas sering disebut “bahan hukum (law material )”. Pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yangtidak dipublikasikan secara umum, tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu; seperti pengajar hukum, peneliti hukum, praktisi hukum dalam rangkah kajian hukum, pengembangan dan pembangunan hukum, serta praktek hukum. Dokumen hukum ini tidak disimpan diperpustakaan umum namun disimpan dilembaga-lembaga negara, lembaga penegak hukum, lembaga pendidikan tinggi hukum atau diperusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Wawancara dilakukan dengan mendatangi responden dan melakukan tanya jawab dengan pertanyaan–pertanyaan yang teratur sistematis dan terstruktur sehingga dapat memperoleh hasil yang diharapkan. Pewawancara secara langsung mengadakantanya jawab dengan para responden atau pemimpin yang berwenang pada sasaran penelitian dan atau populasi yang ditetapkan dalam penelitian ini.
Analisis Data Data yang diperoleh didalam penelitian dianalisa secara deskriptif kualitatif dan kemudian analisa kualitatif dimasukkan untuk dideskripsikan penegakan hukum terhadap ganti rugi atas tanah adat untuk kepentingan transmigrasi.
HASIL PENELITIAN Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian atas tanah adat Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup dalam satu wilayah dan saling mempengaruhi antar anggota dan antar kelompok serta mempunyai ikatan yang sangat kuat. Soerjono Soekanto menyebutnya Community, dan membagi masyarakat dalam dua kelompok menurut tempat atau wilayah yaitu:Masyarakat Pedesaandan Masyarakat Perkotaan.( Soerjono Soekanto, 2010).Beberapa catatan telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu tentang peyerahan tanah oleh beberapa oknum masyarakat adat baik pemilik tanah maupun yang bukan pemilik tanah adat dan ganti rugi yang diterima oleh masyarakat adat. Sebagaimana sudah ditetapkan melalui SK Gubernur Daerah Tingkat I Irian Jaya ketika itu dengan nomor: 96/GIJ/1984 menetapkan pembebasan tanah berdasarkan SK pertama Bupati Daerah Tingkat II Merauke nomor: 174/BUP/MRK/1982 dan SK kedua Bupati Daerah Tingkat II Kabupaten Merauke 256/BUP/MRK/85 seluas 28.000 ha berupa catatan tangan. Bupati Jacob Pattipi menegaskan tidak boleh ada aktifitas diatas lokasi yang dibebaskan. Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada musyawarah yang dilakukan oleh masyarakat adat tanpa dihadiri oleh pejabat pemerintah. Pelaksanaan musyawarah yang lazim terjadi adalah pertemuan atau musyawarah yang difasilitasi oleh pemerintah dimana pemerintah memberikan pengarahan dan sesudah itu meminta kepada masyarakat untuk setujuh atau tidak akan penyerahan tanah yang diinginkan oleh pemerintah pada akhir pertemuan. Tidak ada pertemuan yang sifatnya demokratis tanpa intervensi dari pihak pemerintah. Pertemuan pemberian pengarahan oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Transmigrasi kepada masyarakat pemilik hak adat atas tanah dianggap atau dipandang sebagai musyawarah. Jika itu yang menjadi pedoman maka pertemuan seperti itu tidak demokratis dan atau bukan musyawarah. Musyawarah seharusnya dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa ada kehadiran aparatur negara dan intervensi pihak manapun supaya pertemuan atau musyawarah yang dilaksanakan benar-benar demokratis karena mereka sendiri (masyarakat adat) yang pada akhirnya menyepakati sebagai hasil keputusan terakhir atas tanah mereka. Hasil dari musyawarah yang dilakukan secara adat itulah yang kemudian
disampaikan kepada Panitia Pengadaan tanah dalam musyawarah umum bersama dengan Pemerintah. Pada musyawarah adat keputusan diambil oleh pemilik hak adat dan masyarakat lain yang hadir adalah sebagai saksi atas keputusan itu dan keputusan tersebut sah sebab diadakan didepan tetua adat sebagai pemangku adat yang sah. Keputusan itulah yang kemudian diserahkan kepada pemerintah dalam hal ini Departemen Transmigrasi dan melanjutkan kepada Bupati dan Gubernur selanjutnya kepada para menteri terkait di Jakarta. Kenyataannya adalah bahwa pemerintah yang membuat musyawarah, dimana bersama masyarakat kemudian mengambil keputusan hal ini tidak demokratis. Kenyataan seperti ini telah terjadi memarjinalisasi hak-hak masyarakat adat Malind, Yei-Nan, Kanum dan MaroriMen’Gey. Hasil penelitian yang dilakukan wilayah Transmigrasi dan masyarakat adat tersebut mengindikasikan bahwa filosofi, pemahaman dan pengetahuan lokal masyarakat adat atas tanah dan hutan yang selama berabad-abad telah menjadi pegangan hidup, tanah dan hutan yang secara turun temurun menjadi sumber dan kekuatan hidup, media interaksi antara dunia manusia dan dunia roh, semakin hari semakin terancam seiring dengan ketidak-berpihakkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pada masyarakat adat. Masyarakat adat terdesak oleh ”keperkasaan” konsep dan pemahaman negara atas tanah/hutan, serta korban ”pembangunan” yang bersifat sentral dan berorientasi profit, oleh pemerintah. Musyawarah sebagaimana yang dimaksud dalam Perpres 65 tahun 2006, BAB III Bagian kedua pasal 8 s/d pasal 11 adalah merupakan musyawarah yang dilakukan bersama dengan Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Gambaran masa lalu memberikan suatu nuansa yang sangat berbeda dimana masyarakat Papua secara umum dan khusus masyarakat adat di Kabupaten Merauke tidak dilibatkan secara aktif untuk menentukan masa depan pembangunan. Sistem sosial budaya dihancurkan dengan adanya Transmigrasi dan juga dengan pengadaan tanah untuk Transmigrasi itu sendiri. Masyarakat sesungguhnya tidak dilibatkan untuk menentukan sendiri apa yang menjadi hak mereka untuk diserahkan kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Transmigrasi. Muridan S. Widjoyo, CS menggambarkan bahwa sejak awal pemerintah Indonesia sudah membawa orang Papua kepada situasi dimana tidak dapat menentukan hak atas Tanah dan kepemilikan lainnya (Muridan S.Widjoyo ,CS. 2009)” Pembangunan permukiman penduduk transmigrasi, pembangunan prasarana jalan, pembangunan jalan Trans Irian, juga turut membantu perusakan
sosial budaya,religi
masyarakat Malind, Yei-Nan, Kanum dan Marori-Men’Gey dengan hutan dan tanahnya.
Tanah dan hutan di hampir sebagian masyarakat adat Papua dipandang sebagai satu kesatuan kosmis dengan manusia. Hampir semua lokasi penelitian mengindikasikan persepsi masyarakat adat bahwa Tanah adalah Ibu dan hutan adalah dapurkehidupan.Dengan demikian dalam pandangan masyarakat adat tanah dan hutan ditempatkan dalam perspektif sosial dan sakral.Perspektif sosial dan sakral ini lambat laun mulai bergeser ke arah perspektif ekonomis seiring dengan aktivitas pembangunan di masing-masing wilayah milik masyarakat adat Malind, Yei-Nan dan Kanum serta Marori-Men’Gey. Sesuatu yang sangat logis dan menjadi konsekuensi logis dari sebuah perubahan sosial masyarakat. Namun perubahan sosial ini tidak berjalan dalam prinsip-prinsip keadilan. Bentuk Ganti Rugi Ganti rugi atas tanah bagi kepentingan umum telah diatur melalui peraturan perundang-undangan yaitu dalam Perpres 65 Tahun 2006 dalam BAB III Panitia, Musyawarah, Dan Ganti Rugi, Bagian kedua Musyawarah Pasal 8 s/d Pasal 11 dan Bagian Ketiga Ganti Rugi Pasal 12 s/d Pasal 19.Ganti rugi dalam Peraturan Presiden No 65 Tahun 2006 Pasal 12 .Ganti rugi yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Transmigrasi dan Perambah Hutan adalah yang menyangkut dengan apa yang termuat didalam Pasal 12 ini yaitu huruf (a),(c) dan (d).Bentuk-bentuk ganti rugi berdasarkan Peraturan Presiden No 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 Pasal 13, (1) . Adapun ganti rugi yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini melalui Departemen Transmigrasi dan Perambah Hutan adalah dalam bentuk;Ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam jumlah nominal yang berkisar antara sepuluh juta rupiah hingga empat belas juta rupiah. Namun tidak semua lokasi pemukiman dibayarkan dalam bentuk uang dan bahkan tidak ada ganti rugi sama sekali.Barang dan atau benda yang diberikan sebagai ganti rugi adalah berupa; Chain Shaw, mesin diesel Kubota, Sapi, Sekop, Cangkul (Pacul) Parang . Pemukiman kembali dilakukan pada dua lokasi yakni: Kampung yang pertama adalah Kampung Salor (saror) dengan menjadikan kampung tersebut sebagai kampung Transmigrasi jadi tidak memindahkan masyarakat dari kampung itu ketempat pemukiman yang baru namun mereka atau masyarakat ini tetap tinggal pada tempat atau kampung tersebut. Ganti kerugian tanah peruntukan Transmigrasi menurut Departemen Transmigrasi di Jakarta yang kemudian diberikan keterangan dan atau penjelasan oleh seseorang yang bertanggung jawab atas data dokumen Transmigrasi di Departemen Transmigrasi Pemukiman dan Perambah Hutan Kabupaten Merauke mengatakan bahwa; “tidak diharapkan penyerahan bantuan dalam bentuk uang akan tetapi penggantian dalam bentuk barang”. Perpres 65 tahun
2006 Pasal 13 ayat (1) uruf a; oleh DEPTRANS mengharapkan diberikan dalam bentuk barang dan pemukiman kembali, Pasal 13 ayat (1) (b),(c). Ada kesan bahwa Departemen Transmigrasi tidak serius membayar ganti kerugian terhadap masyarakat pemilik tanah terutama dalam bentuk uang dan menjadi tidak jelas bahwa dalam bentuk barang hampir tidak nyata dalam keseluruhan tanah yang sudah diserahkan. Walaupun ada dalam dokumen peyerahan terdapat beberapa catatan penyerahan dalam bentuk barang dan uang serta pemukiman kembali. Sesungguhnya melalui Undang-Undang dan peraturan perundangundangan yang ada hukum sudah memberikan tempat dan ruang kepada setiap warga negara untuk mengimplementasikanya namun sangat sulit karena dipengaruhi oleh sosio budaya parah pelaku untuk mempraktekan hukum tersebut. Beberapa sampel tentang berita acara penyerahan tanah adat dengan jumlah areal yang dilepaskan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Merauke dapat dilihat pada tabel 1.Sebelum membicarakan secara khusus tentang tanggung jawab pemerintah dalam hal ganti kerugian terlebih dahulu kita membuat pembatasan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik dalam dua bagain yaitu pembuatan keputusan (decision making) dan pembuatan kebijakan (policy making)
Tanggung jawab Pemerintah Daerah (PEMDA) dalam bagian ini penulis khusus membicarakan tentang ganti kerugian atas tanah adat yang sudah diserahkan kepada Pemerintah melalui program Transmigrasi.Ganti kerugian yang diberikan kepada masyarakat adat disesuaikan dengan besaran areal yang diserahkan pada masing masing unit pemukiman Transmigrasi (UPT).Tanggung jawab pemerintah merupakan suatu tindakan proses kebijakan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan politik maupun ekonoomi dengan intervensi berbagai kepentimgan. Tanggung jawab pemerintah dilihat dari tujuan diadakannya pengadaan tanah dan mendatangkan Taransmigrasi adalah untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik dan sejahtera, dari hasil mereka memperoleh ganti kerugian
dan bentuk ganti kerugian yang masyarakat menerimanya. Ganti kerugian
merupakan pemenuhan kebutuhan phsikologis dari setiap masyarakat adat sehingga menjawab apa yang menjadi kegelisahan dengan tidak menentunya ganti kerugian yang tidak kunjung tiba, bagi tanah adat yang belum diterimakan ganti kerugian selama masa tertentu. Pelaksanaan tanggung jawab yang diharapkan dari Pemerintah Daerah adalah pelaksanaan Good Governance.Melalui Good Governance diharapkan adanya Partisipasi pelaksanaan
Akuntabilitas
dan
Transparasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah.Melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
Pasal 43 ayat ( 1 ): Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku . Hak-hak masyarakat meliputiHak ulayat masyarakat hukum adat dan Hak perorangan para warga masyarakat hukum adat. Pasal 43 ayat ( 3 ): Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang menurut kenyataannyamasih ada, dilakukan oleh Penguasa Adat masyarakat hokum adat yangt bersangkutan, menurut ketentuan hukum adat setempat. Dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tata cara dan berdasarkan peraturan perundangan.
Dengan
demikian
maka
Pemerintah
Daerah
wajib
menghormati
dan
menyelenggarakan peruntukan yang sah dan melindungi kepentingan semua pihak agar menjamin kesejahteraan dalam system hokum yang berlaku di Papua. Harmonisasi Hukum Formal Dan Hukum Adat Secara logika ganti kerugian adalah suatu akibat dari pada suatu proses transsaksi yang dilakukan oleh dua subjek hukum dalam hal tetentu. Transsaksi menyebabkan seseorang atau subjek hukum dikenai akibat hukum sehingga subjek hukum harus mejalani proses dari perbuatan hukum itu. Melatarbelakangi itu pula bahwa ganti kerugian harus dilakukan karena adanya proses pengadaan tanah. Penulis berpendapat bahwa hal yang selalu berpengaruh dalam sistem hukum pada tingkat penyelenggara negara, masyarakat dan atau individu terhadap hukum formal (positif) maupun hukum adat yang saling mempengaruhi adalah; kemampuan, kekuatan dan kuasaan.Kemampuan lebih sebagai alat pendukung finansial agar sistem hukum dapat terlaksana dengan baik; kekuatan adalah alat sebagai daya tekan atau ”daya dobrak” dan kuasa sebagai penyelenggaran atau eksekutor sistem hukum terhadap pelaksanaan hukum formal maupun hukum adat.Pelaksanaan ganti kerugian tanah adat selalu berlaku sistem hukum seperti ini yang mengakibatkan tidak tercapainya harmonisasi dan pelaksanaan ganti kerugian yang berkeadilan dan bermanfaat.Mencermati dua pandangan faham sosiologis dan faham positivis menekankan perbedaan posisi pemerintah dan masyarakat adat yang masing masing mempunyai kekuasaan pada tatarannya. Implementasi Hukum Nasional dan Hukum Adat Ganti rugi, kepentingan umum dan hak-hak atas tanah perlu dihubungkan dengan apa yang dimuat dalam Palas 18 UUPA dengan menggantikan ganti kerugian yang jelas berdasarkan dengan Undang-Undang. Jaminan terhadap hak milik dan pembatasan akan hak milik yang kemudian digunakan untuk kepentingan umum dijamin oleh negara
melalui
undang-undang seperti yang termuat didalam Pasal 570 KUH Perdata,: “ Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”
Dengan ketentuan tersebut maka pemerintah dapat mengambil tanah-tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum termasuk didalamnya seperti pengambilan tanah untuk kepentingan Transmigrasi. Peraturan Menteri dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975 maupun Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 jelas-jelas suatu hal yang bertentangan dengan sikap umum pencabutan hak diseluruh dunia yangmensyaratkan suatu undang-undang yang mengaturnya( pencabutan hak yang diatur dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) karena disini terjadi pengurangan hak-hak asasi manusia. Jika hak asasi ini dibayangkan sebagai suatu hakyang memiliki dimensi moral, makahukum yang bertentangan sebagai hak asasi manusiamengakibatkan ia kehilangankekuatan moral disamping kehilangan ide keadilan sebagai suatu yang amat sensitif dalamgagasan Rule of Law. “Hak-hak asasi manusia yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.39 Tahun 1999 menjelaskan pencabutan hak milik suatu benda demi kepentinganumum hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera setelah pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Apabila suatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diperdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain (Adrian Sutedi, 2009,)”.
KESIMPULAN DAN SARAN Ganti Kerugiantelah dilakukan namun tidak semua tanah adat dilakukan pemberian ganti kerugian. Ada beberapa lokasi Trasmigrasi, tanah adat diserahkan tanpa meminta ganti kerugian oleh pemilik tanah
kepada Pemerintah Daerah dalan hal ini diwakili oleh
Departemen Transmigrasi.Ganti kerugian sudah dilakukan dengan memberikan sejumlah uang yang sesuai dengan permintaan pemilik tanah adat, walaupun yang lain diserahkan oleh bukan pemilik tanah adat yang juga kemudian menerima ganti kerugian yang bukan haknya. Ganti kerugian lain juga diberikan dalam bentuk barang sesuai Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.Pemukiman Kembali dilakukan pada dua lokasi Transmigrasi, namun bukan seperti yang diinginkan oleh Undang-Undang namun masyarakat kampong tersebut tetap dimukimkan pada tempatnya yang terdahulu. Jadi dapat dikatakan tidak ada pelaksanaan pemukiman kembali yang jelas. Setiap Dokumen pernyataan penyerahan tanah adat selalu ditandatangani oleh DanramilL sebagai pimpinan Komando Rayon Militer
dikecamatandanKapolsek sebagai
Kepala Kepolisian Sektor di kecamatan. Panitia yangterlibat dalampenyerahan tanah adat tersebut dari instansi yang terkait pada umumnya kelompok suku tertentu saja. Hal ini memungkinkan adanya kompromi dalam menentukan segala sesuatu yangberhubungan dengan proses pelaksanaan musyawarah dan atau ganti kerugian atastanah. Dapat terjadi bahwa dominasipejabat dari satusuku tertentu dapatmenciptakan suatu beritaacara fiktif ganti kerugian atas penyerahantanah adat. Pejabat satu sukutertentu ada pada instansi terkait yang bertanggung jawab atas pengadaan tanah untukTransmigrasi di Kabupaten Merauke seperti Depatermen Transmigrasi dan Pemukiman dan Perambah Hutan, Kantor Pertanahan, Camatsebagai Kepala Kecamatan.Harus ada pengakuan orang lain terhadap tanah-tanah adat masyarakat Malind,Musyawarah harus dilakukan dalam hubungannya dengan pengadaan tanah dang ganti kerugian,Pemerintah Daerah Perlu bertanggung jawab atas tanah-tanah yang belum ada gantikerugian, dan Perlu adanya penyuluhan hukum tentang Hukum Pertanahan Nasional
(formal) sebab masyarakat umumnya belum mengetahui Undang-Undang dan
peraturan perundang-undangan yang ada. DAFTAR PUSTAKA Sutedi, Adrian.(2009). Tinjauan Hukum Pertanahan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. ELSAM.(1995). Atas Nama Pembangunan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta. Kelsen, Hans.(2007). Teori Umum Hukum Dan Negara, BeeMedia Indonesia, Jakarta. Muridan S.Widjoyo,CS.(2009). Papua Road Map. Negotiating thePast,Improving the Present and Securing the Future,Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),Jakarta. N.H.T. Siahaan .(2006). Hukum Lingkungan, Pancuran Alam , Jakarta Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahaan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Republik Indonesia, Undan-Undang Nomor 39 Tahun 2010 tentang Hak Asasi Manusia Soekanto, Soejono.(1986). Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit. Jakarta: Ul Press. LAMPIRAN Tabel 1.Bentuk Ganti Rugi Tanah Adat Dari Beberapa Lokasi Transmigrasi (sampel) No
Lokasi
Tanggal
Uang
barang
Luas
keterangan
1.
Semangga
2.
Kuper
3.
Muting XXIIIc/D/1 Muting XXIIIc/D/2 Jagebob XXIVc
4. 5.
6.
Jagebob XXIVa
7.
Sota
8.
9.
Penyerahan 20 April 1965 13 Nopember 1976 21 Maret 1994 22 Agustus 1995 23 Mei 1995
23 Mei 1995
Tanah -
-
-
-
-
27.400 Ha
Rp.7.500.000,-
-
Rp.7.500.000,-
-
Rp.14.000.000,-
-
1600 Ha 1600 Ha 3.200 Ha
Rp.1.440.000,-
-
-
-
3000 Ha 1.600 Ha
15 Maret 1997 Bupul XX 12 Agustus Rp.10.000.000.IIIb 1997 Bupul XII Kuper 13 Maret 2000
-
616 Ha
Tanpa rugi Tanpa rugi
ganti ganti
Ganti rugi uang Ganti rugi uang Ganti rugi dalam bentuk uang Ganti rugi dalam bentuk uang Tanpa ganti rugi Ganti rugi dalam bentuk uang Diberikan uang untuk pesta adat Rp 4.500.000,-
Sumber diolah dari Dokumen Departemen Transmigrasi Kabupaten Merauke, berita acara pelepasan tanah adat.