Laporan Kasus Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Multipel dan Penggunaan Zat Psikoaktif Lainnya Sindrom Ketergantungan Kini Abstinen+ Keadaan Putus Zat dengan Konvulsi (F19.20 + F19.31)
Oleh :
Irzal Rakhmadhani NIM I1A009020
Pembimbing Dr. H. Yulizar Darwis, Sp.KJ, MM UPF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unlam-RSUD Ulin Banjarmasin Mei, 2013
LAPORAN PEMERIKSAAN PSIKIATRIK
I.
IDENTITAS PASIEN Nama
:
Tn. A
Usia
:
27 tahun
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jalan Pekapuran Raya RT 15 Komplek Yatera, Banjarmasin
II.
Pendidikan
:
SD (Tidak tamat)
Pekerjaan
:
Pengumpul besi tua
Agama
:
Islam
Suku
:
Banjar
Bangsa
:
Indonesia
Status Perkawinan
:
Menikah
Berobat Tanggal
:
7 mei 2013
RIWAYAT PSIKIATRIK Diperoleh dari alloanamnesa dengan ibu Os pada hari Selasa tanggal 7 mei 2013, pukul 09.15 WITA dan autoanamnesa pada hari Selasa tanggal 7 mei 2013, pukul 09.30 WITA. Anamnesa dilakukan di Poli Jiwa RSUD Ulin Banjarmasin.
1
A.
KELUHAN UTAMA Ingin berhenti menggunakan dekstrometorfan (dekstro)
B.
KELUHAN TAMBAHAN Mual dan muntah bila tidak mengonsumsi dekstro
C.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Alloanamnesis: Menurut ibu Os, ketika berusia 22 tahun Os mulai bekerja sebagai pengumpul besi tua. Os biasa pergi ke daerah sungai dalam dan bekerja sepanjang hari. Os bekerja pada seorang juragan yang membeli besi kumpulan Os setiap hari. Juragan tersebut membawahi beberapa orang pengumpul besi tua termasuk Os. Os
bercerita
pada
ibunya
jika
dirinya
kemudian diajak
mengonsumsi dekstro oleh teman kerjanya agar merasa lebih semangat selama bekerja. Seluruh teman Os mengonsumsi obat tersebut sebelum bekerja. Ibu Os tidak pernah melihat Os mengonsumsi dekstro secara langsung. Menurut pengamatan ibu Os, Os menjadi lebih tekun dan tidak mudah capek saat bekerja. Ibu Os menyangkal jika Os pernah mengamuk atau bersikap kasar di rumah. Os tidak mudah tersinggung dan mudah marah. Os juga tidak pernah terlihat berbicara sendiri atau mengaku melihat bayangan. Os juga tidak pernah terlihat menyerang orang lain atau mencoba untuk bunuh diri. Ibu dan istri Os kemudian meminta Os untuk berhenti mengonsumsi dekstro karena menurut mereka hal itu tidak bermanfaat
2
bagi Os. Dua bulan yang lalu (Maret 2013) Os menuruti permintaan ibunya dan mencoba berhenti mengonsumsi dekstro. Menurut ibu Os, Os kemudian tampak kesakitan dan tidak dapat makan selama beberapa hari. Os berkeringat dingin dan tampak gelisah. Ibu Os menyangkal jika Os berbicara kacau atau mengamuk. Os tidak dapat bekerja saat itu. Setelah beberapa hari tidak mengonsumsi dekstro Os mengaku tidak tahan kepada ibunya dan kembali mengonsumsi dekstro. Durasi abstinen tidak diingat oleh ibu Os. Jumat 3 mei 2013, Ibu Os kembali mencoba membujuk Os. Os kemudian mengatakan akan berusaha berhenti mengonsumsi dekstro Setelah beberapa hari Os kembali tampak gelisah dan tidak dapat makan. Setiap mencoba makan Os akan merasa mual dan muntah. Menurut ibu Os, Os tampak berkeringat dingin dan kejang pada malam harinya. Os berkata pada ibunya jika tubuhnya sakit dan tulangnya seolah-olah patah. Ibu dan istri Os yang khawatir kemudian membawa Os ke mantri. Oleh mantri Os disarankan berobat ke Poli Jiwa RSUD Ulin Banjarmasin. Autoanamnesa Os bercerita jika dirinya mengonsumsi dekstro sejak 5 tahun yang lalu (2008). Awalnya ia diajak oleh teman bekerjanya dan mencoba beberapa buah saja. Os mengaku menjadi lebih bersemangat dan lebih mudah dalam bekerja setelah mengonsumsi dektro. Os mengaku tidak
3
memiki masalah lain sebelumya dan mengonsumsi dekstro sematamata hanya untuk memudahkannya dalam bekerja. Awalnya Os meminta tolong temannya untuk mendapatkan dekstro. Namun, Os mengaku saat ini ia dapat meperoleh obat itu sendiri tanpa bantuan teman-temannya. Os biasa membeli dekstro kepada seorang pengedar yang berada di sekitar wilayahnya bekerja. Sebelum bekerja Os akan mengonsumsi 2 - 3 butir dekstro. Awalnya Os hanya mengonsumsi dekstro 2 - 3 hari sekali. Os juga tidak mencampurkan dekstro dengan obat-obatan lainnya. Setelah beberapa bulan Os mengaku sering merasakan keinginan kuat atau dorongan yang memaksanya untuk menggunakan dekstro kembali. Os mengaku kesulitan dalam mengendalikan hal tersebut. Saat ini Os mengonsumsi dekstro setiap hari. Os mengaku jika saat ini ia perlu mengonsumsi dektro dalam jumlah banyak agar dapat merasa bersemangat. Saat ini Os terbiasa mengonsumsi 20-30 buah dekstro sekaligus. Sejak 5 bulan lalu (Desember 2012) Os mulai mengonsumsi alkohol. Os mengaku hanya minum alkohol saat bersama temannya (1-2 kali sebulan), Os biasa minum 2-3 botol alkohol hingga mabuk. Os tidak ingat jenis atau kadar alkohol yang diminumnya. Os juga mengaku pernah mengonsumsi sabu 1 kali namun tidak melanjutkannya. Tidak ada gejala yang muncul saat Os berhenti mengonsumsi sabu hingga saat ini.
4
Os mengatakan dirinya sadar jika kebiasannya akan merugikan kesehatannya. Os tahu jika dirinya harus menghentikan kebiasaan ini namun ia tidak berhasil melakukannya. Maret 2013 Os mengatakan jika dirinya sempat mencoba berhenti mengosumsi dekstro. Ia kemudian merasa sakit pada seluruh tubuhnya. Os tidak dapat makan sama sekali karena selalu muntah. Os yang tidak dapat bekerja selama beberapa hari kemudian kembali mengonsumsi dekstro. Setelah mengonsumi dekstro Os mengaku semua keluhankeluhan tadi menghilang dan ia dapat beraktivitas seperti biasa. Setelah dibujuk, Os kembali mencoba berhenti mengonsumsi dekstro. Os terakhir mengonsumsi obat-obat tersebut pada hari jumat (3 Mei 2013). Beberapa hari kemudian Os kembali merasa mual, sesak nafas dan gelisah. Os tidak dapat makan karena selalu muntah dan menjadi tidak bertenaga, Os menjadi tidak dapat bekerja sejak saat itu. Os juga merasa seluruh tubuhnya sakit dan seolah-olah tulang pinggangnya patah. Os mengaku dirinya menjadi gelisah sejak saat itu. Os mmenyangkal pernah melihat bayangan atau suara-suara aneh baik selama
mengonsumsi
dekstro/alkohol
atau
saat
berhenti
menggunakannya. D.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Saat berusia satu tahun Os pernah demam tinggi namun tidak sampai kejang. Riwayat trauma kepala disangkal. Riwayat malaria, penyakit metabolik dan penyakit hepar disangkal.
5
E.
RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI 1. Riwayat Prenatal Menurut Ibu Os, selama Os berada dalam kandungan, ibu Os tidak pernah mengalami masalah kesehatan yang serius. Ibu tidak mengalami muntah yang berlebihan. Ibu tidak mengonsumsi alkohol dan obat-obatan. Os lahir cukup bulan, spontan dan langsung menangis, tidak ada cacat bawaan. Os lahir dengan bantuan bidan. Setelah melahirkan ibu Os tidak menggunakan KB dan melahirkan 5 orang anak lagi. 2. Riwayat Masa Bayi (0-1.5 Tahun) Basic Trust vs Mistrust Menurut ibu Os, tumbuh kembang Os normal seperti bayi seusianya. Os diberikan ASI oleh ibunya sampai berumur 1 tahun. Setelah itu Os mulai makan makanan keluarga. Os diasuh oleh ibunya. Hubungan ayah dan ibu rukun. Saat berusia 1 tahun Os pernah mengalami demam tinggi namun Os tidak pernah kejang. 3. Riwayat usia 1,5- 3 tahun Autonomy vs Shame and Doubt Menurut Ibu Os, riwayat tumbuh kembang Os baik seperti anak seusianya. Tidak ada keterlambatan dalam tumbuh kembangnya, gizi cukup. 4. Riwayat usia 3 - 6 tahun Initiative vs Guilt Ayah Os termasuk tokoh agama yang disegani di daerahnya. Ayah Os mengajarkan agama kepada anak-anaknya namun tidak pernah bersikap keras. Os suka bermain dengan mainan dan juga dengan
6
teman sebayanya. Hubungan Os dengan saudara-saudaranya rukun dan tidak sering bertengkar. 5. Riwayat usia 6 – 12 tahun Industry vs Inferiority Os sudah bersekolah di Sekolah Dasar, saat sekolah prestasi Os biasa-biasa saja dan tidak pernah tinggal kelas. Pada kelas 6 SD Os berhenti bersekolah. Ibu Os tidak mengetahui alasan Os berhenti sekolah. Os menolak ketika diminta orang tuannya untuk melanjutkan sekolah atau masuk pesantren. 6. Riwayat usia 12 – 18 tahun Identity vs Role Diffusion Pasien bukan seseorang bukan pencuriga dan pendendam, tidak sombong, tidak perfeksionis. Os mengaku hubungannya dengan keluarga cukup dekat, tidak ada hal yang disembunyikan oleh Os kepada keluarganya. Namun Os mengaku jarang bergaul dengan orang-orang sekitarnya. Os lebih banyak berada di rumah saat saudara-saudara Os bersekolah. 7. Riwayat Pendidikan Os bersekolah sampai tingkat SD namun tidak tamat (berhenti kelas 6 SD). Saat bersekolah prestasi pasien biasa saja, dan tidak pernah tinggal kelas. Os juga selalu mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan dari sekolah. 8. Riwayat Pekerjaan Os bekerja sebagai pengumpul besi tua sejak tahun 2008. Sebelumnya Os hanya berada di rumah dan tidak bekerja. Sejak
7
mencoba berhenti mengonsumsi dekstro Os mengaku tidak dapat bekerja lagi. 9. Riwayat Perkawinan Os menikah 5 tahun yang lalu. Os dikaruniai 2 orang anak perempuan. Os mengaku pernah mengalami masalah keluarga. Istri Os tidak suka dengan kebiasaan Os mengonsumsi dektro dan mengancam melaporkan pengedar yang menjual dektro kepada Os ke polisi. F.
RIWAYAT KELUARGA Penderita adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Diketahui terdapat satu orang sepupu Os yang juga mengonsumsi obat-obatan terlarang. Genogram:
Keterangan: : Laki-laki : Perempuan : Meninggal : Melakukan penyalahgunaan zat
8
Catatan Kakak Os meninggal saat bayi sebelum Os lahir. Tidak diketahui jenis & frekuensi penyalahgunaan zat yang dilakukan sepupu Os.
G.
RIWAYAT SITUASI SEKARANG Os tinggal dengan orang tua, istri dan 2 orang anaknya dalam sebuah rumah yang terletak di daerah padat penduduk. Rumah Os berdekatan satu sama lainnya karena berada di komplek. Os jarang bergaul dengan warga lain karena bekerja. Pergaulan warga di lingkungan rumah Os termasuk kurang baik. Ibu Os pernah melihat anak-anak muda mabuk dan mengonsumsi obatobatan terlarang di lingkungan mereka. Walaupun Os jarang bergaul dengan warga sekitar, ibu & istri Os khawatir jika Os terpengaruh dengan lingkungan tersebut.
H.. PERSEPSI PASIEN TENTANG DIRI DAN LINGKUNGANNYA Os sadar bahwa dirinya sakit dan ingin segera sembuh, Os sangat ingin bisa kembali beraktivitas secara normal. Os mengaku beberapa kali ingin berhenti mengonsumsi dekstro namun tidak pernah berhasil. Apabila sudah sembuh Os berencana untuk belajar membuat meubel di daerah lain agar tidak perlu bergaul kembali dengan temantemannya saat ini.
9
III. STATUS MENTAL A.
DESKRIPSI UMUM 1. Penampilan Os merupakan seorang pria, memakai kaos berwarna hitam, celana jins hitam dan tampak terawat. Os tampak kurus. Berjalan sedikit membungkuk. Tampak kurang bertenaga dan dengan wajah terlihat gelisah. Os menjabat tangan pemeriksa dengan kuat saat bersalaman. Os dapat menyebutkan nama dan usianya dengan tepat. Os menyebutkan dirinya datang bersama ibu. Os dapat menyebutkan alamat rumaya dengan tepat dan daat meunjukan arah untuk menuju ke sana. Os dapat mengenali peran pemeriksa dan dapat melakukan perhitungan pengurangan 100 dengan angka 3 sebanyak 5 kali. Os dapat menjelaskan
pegertian
ungkapan
tangan
panjang
dan
dapat
menyebutkan nama presiden Indnesia saat ini dengan tepat. Saat diminta mengingat angka 34512 Os dapat mengingat kembali angka tersebut 15 menit kemudian. Selama diberi pertaanyaan oleh pemeriksa
Os kurang dapat
mempertahankan kontak mata. Os tampak gelisah dan sesekali memegang perutnya. Setiap kali diberi pertanyaan Os selalu mendengarkan dengan baik, Os bersikap kooperatif. Sesekali Os menggerak-gerakan tangan dan kakinyaa saat duduk. Pandangan Os berpindah-pindah antara pemeriksa dan objek lain
10
yang ada di ruang pemeriksaan. Sesekali Os menatap wajah ibunya sebelum menjawab pertanyaan pemeriksa. 2. Kesadaran Baik 3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor Hiperaktif 4. Pembicaraan Koheren 5. Sikap terhadap Pemeriksa Kooperatif 6. Kontak Psikis Kontak ada, tidak wajar dan tidak dapat dipertahankan.
B.
MOOD DAN AFEK 1. Afek (mood)
:
Hiperthym
2. Ekspresi afektif
:
Gelisah
3. Keserasian
:
Serasi
4. Empati
:
Dapat dirabarasakan.
5. Stabilitas
:
Stabil
6. Pengendalian
:
Cukup
7. Arus Emosi
:
Cukup
8. Sungguh/tidak
:
Sungguh
9. Skala diferensiasi
:
Luas
11
C.
FUNGSI KOGNITIF 1. Kesadaran
:
Baik
2. Orientasi -
Waktu
:
Baik
-
Tempat
:
Baik
-
Orang
:
Baik
-
Situasional
:
Baik
:
Baik
Jangka pendek
:
Baik
Jangka panjang
:
Baik
Segera
:
Baik
3. Konsentrasi 4. Daya Ingat
5. Intelegensi dan Pengetahuan Umum : sesuai tingkat pendidikan 6. Pikiran abstrak
D.
:
Baik
GANGGUAN PERSEPSI 1. Halusinasi : -
Auditorik
:
Tidak ada
-
Visual
:
Tidak ada
-
Olfaktorik
:
Tidak ada
-
Gustatorik
:
Tidak ada
2. Ilusi
: Tidak ada
3. Depersonalisasi dan derealisasi : Tidak ada
12
E.
PROSES PIKIR 1. Arus pikir a. Produktivitas
:
Spontan
b. Kontinuitas
:
Jawaban sesuai pertanyaan
c. Hendaya berbahasa
:
Tidak ada
Flight of idea
: tidak ada
Circumstantialy
: tidak ada
Inkoherensi
: tidak ada
Asosiasi longgar
: tidak ada
Jawaban irrelevant : tidak ada Blocking
: tidak ada
Retardasi
: tidak ada
Perseverasi
: tidak ada
Verbigerasi
: tidak ada
2. Isi Pikir a. Preokupasi
: Tidak ada
b. Gangguan pikiran
: Tidak ada
Over valued idea
: tidak ada
Fobia
: tidak ada
Obsesi
: tidak ada
Waham
: tidak ada
Konfabulasi
: tidak ada
Rasa bermusuhan
: tidak ada
13
Rasa rendah diri
: tidak ada
Hipokondri
: tidak ada
Kemiskinan isi pikir : tidak ada
F.
PENGENDALIAN IMPULS Terkendali
G.
H.
DAYA NILAI 1. Daya nilai sosial
: Baik
2. Uji Daya nilai
: Baik
3. Penilaian Realita
: Baik
TILIKAN Derajat 5, 1. Penyangkalan penuh dirinya sakit 2. Agak menyadari dirinya sakit dan membutuhkan bantuan tapi di saat yang sama menyangkal penyakitnya. 3. Sadar merasa sakit namun menyalahkan orang lain atau faktor eksternal 4. Sadar penyakitnya namun tidak mengetahui penyebabnya 5. Mengetahui
penyakitnya
dan
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya (tilikan intelektual)
14
6. Sadar tentang motif dan perasaan dalam dirinya dan hal yang perlu dilakukan yang dapat menyebabkan perubahan dasar perilakunya (tilikan emosional)
I.
TARAF DAPAT DIPERCAYA Dapat dipercaya
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT 1.
STATUS INTERNUS Keadaan umum
:
Tampak baik
Gizi
:
Baik
Tanda vital : TD = 110/80 mmHg N
= 84 kali/menit
RR = 18 kali/menit T
= 36,3 oC
Kepala : Mata
: Palpebra tidak edema, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga
: Bentuk normal, sekret tidak ada, serumen minimal
Hidung
: Bentuk normal, tidak ada epistaksis, tidak ada tumor, kotoran hidung minimal
15
Mulut
: Bentuk normal dan simetris, mukosa bibir tidak kering dan tidak pucat, pembengkakan gusi tidak ada dan tidak mudah berdarah, lidah tidak tremor. Gigi geligi baik.
Leher : Pulsasi vena jugularis tidak tampak, tekanan tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Thoraks : Inspeksi
:
Bentuk dan gerak simetris
Palpasi
:
Fremitus raba simetris
Perkusi -
Pulmo
:
Sonor
-
Cor
:
Batas jantung normal
Auskultasi -
Pulmo
:
Suara napas vesikuler
-
Cor
:
S1~ S2 tunggal
Abdomen Inspeksi
: cembung
Palpasi
: Tidak nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Ekstemitas : Pergerakan bebas, tonus baik, tidak ada edema dan atropi, tremor (-).
16
2.
V.
STATUS NEUROLOGIKUS N I – XII
:
Tidak ada kelainan
Gejala rangsang meningeal
:
Tidak ada
Gejala TIK meningkat
:
Tidak ada
Refleks fisiologis
:
Normal
Refleks patologis
:
Tidak ada
IKHTISAR
PENEMUAN
BERMAKNA
(FORMULASI
DIAGNOSTIK) Anamnesis :
Os mengonsumsi dekstrometorfan sejak pertengahan tahun 2008. Os mengonsumsi zat tersebut agar merasa bersemangat dalam bekerja.
Os mengonsumsi alkohol sejak Desember 2012. Os mengaku sempat mencoba sabu satu kali namun berhenti menggunakannya. Tidak ada gejala yang muncul saat Os tidak menggunakan sabu hingga saat ini.
Os sempat abstinen 2 bulan yang lalu namun kembali mengonsumsi zat tersebut karena mengeluh mual, muntah dan sakit pada seluruh badan. Gejala menghilang ketika konsumsi dekstro dilanjutkan.
Penggunaan dekstro terakhir pada hari Jumat, 3 Mei 2013. Os kemudian merasa mual, sesak nafas, muntah, tidak dapat makan dan sakit pada seluruh tubuhnya. Os sempat berkeringat dingin dan kejang.
Os pernah mengalami demam tinggi saat berusia 1 tahun namun tidak sampai kejang.
17
Os berhenti sekolah saat duduk di kelas 6 SD. Orang tua Os tidak mengetahui alasan Os berhenti sekolah. Os tidak mau menuruti permintaan orang tua untuk melanjutkan sekolah atau masuk ke pondok pesantren. Os kurang bergaul dengan masyarakat di sekitarnya dan lebih banyak berada di rumah sejak saat itu.
Jenis Zat
Awal Penggunaan
dekstrometorphan
5 tahun lalu (pertengahan 2008) 5 bulan lalu (desember 2012) 5 bulan lalu (desember 2012)
Sabu Alkohol
Cara Penggunaan Ditelan Dihisap Diminum
Frekuensi Setiap hari 1x 1-2x bulan
Jumlah konsumsi 20-30 butir -
/ 2-3 botol
Terakhir menggunakan 3 mei 2013 3 mei 2013
Pemeriksaan Psikiatri :
Perilaku dan aktifitas psikomotor :hiperaktif
Kontak: ada, tidak wajar, tidak dapat dipertahankan
Pembicaraan
: koheren
Afek
: euthym
Ekspresi afektif
: gelisah
Penilaian realita
: baik
Tilikan
:5
Taraf dapat dipercaya
: dapat dipercaya
Aksis I : dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diketahui Os memiliki riwayat penggunaan alkohol, dekstrometorphan dan sabu sejak lama. Jumlah dan frekuensi penggunaan bermakna sehingga gangguan akibat penggunaan
18
zat dapat ditegakkan.
Terdapat beberapa gejala yang mengarah pada
diagnostik sindrom ketergantungan yaitu:
Adanya keinginan yang kuat serta dorongan untuk menggunakan zat
Kesulitan untuk menghentikan penggunaan zat
Terdapat toleransi penggunaan zat setelah penggunaan jangka panjang
Menyadari kerugian yang ditimbulkan bagi kesehatan namun tetap menggunakan zat
Selain itu timbul gejala-gejala fisik (mual, muntah, sesak nafas, nyeri badan, berkeringat dingin dan kejang) yang menghilang saat konsumsi zat dilanjutkan. Hal ini menandakan diagnosis keadaan putus zat dapat ditegakkan. F19.2 + F 19.31 (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat, Sindrom Ketergantungan + Keadaan Putus Zat dengan Konvulsi) Aksis II : Berdasarkan anamnesis diketahui jika Os berhenti bersekolah saat duduk di kelas 6 SD. Os tidak mau menuruti perintah orang tua untuk melanjutkan sekolah atau melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Hal ini menunjukkan jika Os kurang memperdulikan perasaan orang lain dan cenderung tidak perduli terhadap kewajiban sosialnya sebagai anak. Penggunaan obat-obat terlarang juga menandakan ketidak pedulian Os terhadap norma sosial. Hal ini mengarah kepada tipe kepribadian disosial. Tipe Kepribadian Disosial
19
Aksis III : Dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan neurologis tidak ditemukan kelainan sehingga aksis III tidak ada diagnosis Aksis IV : Dari anamnesa diketahui jika alasan utama Os mengonsumsi obat-obatan dan alkohol adalah ajakan teman-teman dan agar dapat bekerja dengan semangat. Masalah Pekerjaan Aksis V : Pada skala penilaian fungsi secara global, ditemukan hendaya sementara pada fungsi sosial dan pekerjaan OS. GAF 80-71
VI. DIAGNOSTIK MULTIAKSIAL (7 Mei 2013) Menurut PPDGJ III Aksis I
: F19.2 + F 19.31 (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat, Sindrom Ketergantungan + Keadaan Putus Zat dengan Konvulsi)
Aksis II : Tipe Kepribadian Disosial Aksis III : None Aksis IV ; Masalah Pekerjaan Aksis V : GAF 80-71
VII. DAFTAR MASALAH 1.
ORGANOBIOLOGIK -
20
2.
PSIKOLOGIK
Afek hipethym, ekspresi gelisah, kontak mata tidak dapat dipertahankan, tilikan derajat 5. Os sadar harus berhenti namun tidak
dapat
melawan
keinginan
kuat
untuk
kembali
mengonsumsi dekstro.
3.
SOSIAL/KELUARGA
Os sempat bertengkar dengan istrinya karena istri Os mengancam akan melaporkan orang yang menjual dekstro kepada Os ke polisi. Os tinggal di lingkungan dimana konsumsi alkohol dan dekstrometorfan merupakan hal yang biasa.
VIII. PROGNOSIS Diagnosa penyakit
:
Bonam
Perjalanan penyakit
:
Malam
Ciri kepribadian
:
Malam
Stressor psikososial
:
Bonam
Usia saat menderita
:
Malam
Pola keluarga
:
Dubia at malam
Aktivitas pekerjaan
:
Malam
Perkawinan
:
Bonam
Ekonomi
:
Malam
Lingkungan sosial
:
Malam
21
Organobiologik
:
Bonam
Pengobatan psikiatrik
:
Bonam
Ketaatan berobat
:
Bonam
Kesimpulan
:
Dubia ad bonam
IX. RENCANA TERAPI Medikamentosa Po. Kalxetin 10 mg 2 x 1 caps Clozaril 20 mg 2 x 1 tab B Comp 1 x 1 tab Psikoterapi : Support terhadap penderita dan
keluarga, meminta pasien
berbicara pada orang terdekat apabila merasa gelisah. Keluarga diminta mendampingi dan menjaga Os agar tidak mengonsumsi dekstro dan alkohol lagi. Os diminta menjauhi pergaulan dengan teman kerjanya sekarang yang mengajak Os mengonsumsi dekstro dan alkohol. Os juga diminta sadar akan kesehatannya karena kebiasaannya ini dapat mengakibatkan dirinya sakit atau meninggal. Rehabilitasi : Sesuai bakat dan minat Os Usul pemeriksaan penunjang : Laboratorium darah dan urine (pemeriksaan NAPZA)
22
X.
DISKUSI Berdasarkan hasil anamnesa serta pemeriksaan status mental, dan merujuk pada kriteria diagnostik dari PPDGJ III, penderita dalam kasus ini dapat didiagnosa sebagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dengan sindrom ketergantungan + keadaan putus zat dengan konvulsi (F19.2 + F19.31). Penyalahgunaan
zat
adalah
suatu
perilaku
mengonsumsi
atau
menggunakan zat-zat tertentu yang dapat mengakibatkan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain. Menurut DSM, peyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang yang menghasilkan konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak bisa termasuk kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab utama seseorang (misalnya: sebagai pelajar, sebagai pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam situasi di mana penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur minuman dan penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang kali yang meningkat karena penggunaan obat. Memiliki masalah sosial atau interpersonal yang kerap muncul karena pengunaan zat (contoh: berkelahi karena mabuk) (1). Dalam DSM-IV-TR ketergantungan dan penyalahgunaan merupakan manifestasi fisik dan psikologis dari penyakit akibat penggunaan obatobatan yang menyebabkan ketergantungan atau disalahgunakan. Kedua hal tersebut merupakan masalah perilaku. Dengan kata lain, masalahnya bukan
23
terletak pada obat-obatan tersebut, tapi pada cara orang yang memakai obatobatan tersebut. Bahan-bahan yang digunakan dapat disalahgunakan atau menyebabkan ketergantungan, jika bahan tersebut menjadi masalah dalam hidupnya. Seseorang dapat dikategorikan mengalami substance dependence / ketergantungan obat-obatan jika memenuhi 3 kriteria dari 7 kriteria berikut ini (2): Suatu pola pengguanaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau penderitaan yang bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 3 (tiga) atau lebih halhal berikut yang terjadi pada tiap saat dalam periode 12 bulan: 1. Toleransi yang didefinisikan sebagai berikut: a. peningkatan nyata jumlah kebutuhan zat untuk mendapatkan efek yang didamba atau mencapai intoksikasi. b. Penurunan efek yang nyata dengan penggunaan kontinyu jumlah yang sama dari zat. 2. Withdrawal, bermanifestasi sebagai salah satu dari: a.
sindroma withdarwal khas untuk zat penyebab ( kriteria A dan B dari gejala withdrawal zat).
b.
Zat yang sama atau sejenis digunakan untuk menghilangkan atau menghindari gejala-gejala withdrawal.
3. Zat yang dimaksud sering digunakan dalam jumlah yang besar atau melewati batas pemakaiannya. 4. Adanya
hasrat
menetap
atau
ketidakberhasilan
mengurangi
atau
mengendalikan pemakaian zat. 5. Adanya aktifitas yang menyita waktu untuk mendapatkan zat (mis. mendatangi berbagai dokter atau sampai melakukan perjalan jauh), untuk menggunakan zat (merokok tiada sela) atau untuk pulih dari efek-efeknya. 6. Kegiatan-kegiatan sosial yang penting, pekerjaan atau rekreasi dilalaikan atau
24
dikurangi karena penggunaan zat. 7. Penggunaan zat tetap berlanjut meskipun mengetahui bahwa problem-problem fisik dan fisiologis menetap atau berulang disebabkan oleh penggunaan zat tersebut.
Santrock (1999) menyebutkan jenis ketergantungan menjadi 2 jenis, meliputi (3): a. Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang
ditandai
dengan stimulasi kognitif dan afektif yang mendorong konatif (perilaku). Stimulasi kognitif tampak pada individu yang selalu
membanyangkan,
memikirkan dan merencanakan untuk dapat menikmati zat tertentu. Stimulasi afektif adalah rangsangan emosi yang merasakan kepuasan yang pernah dialami merupakan hasil kombinasi dari
mengarahkan individu untuk sebelumnya. Kondisi konatif
stimulasi kognitif dan afektif. Dengan
demikian ketergantungan psikologis ditandai dengan ketergantungan pada aspek-aspek kognitif dan afektif. b. Katergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan kecenderungan putus zat. Kondisi ini seringkali tidak mampu dihambat atau dihalangi pecandu mau tidak mau harus memenuhinya. Dengan demikian orang yang mengalami ketergantungan secara fisiologis akan sulit dihentikan atau dilarang untuk mengkonsumsinya. Os termasuk dalam tipe ketergantungan ini, saat tidak mengonsumsi dekstro Os akan merasa mual, muntah dan gejala putus zat lainnya.
25
Penyalahgunaan zat terbagi menjadi coba-coba, rekreasional, situasional dan ketergantungan. Pada awalnya Os masuk ke dalam kategori coba-coba saat dirinya diajak oleh teman kerjanya. Kemudian Os masuk ke dalam tingkatan situasional, Os hanya menggunakan deksto pada saat akan bekerja. Penggunaannya pun tidak dilakukan setiap hari. Setelah beberapa lama akhirnya Os masuk ke dalam tingkatan ketergantungan. Kriteria DSM-IV TR dan PPDSGJ III yang terpenuhi untuk menegakkan diagnosis ketergantungan adalah: 1. Adanya toleransi (dari 2-3 butir menjadi 20 butir per pemakaian) 2. Adanya gejala withdrawal/putus zat (mual, muntah, keringat dingin, sakit seluruh badan, kejang) yang menghilang setelah penggunaan zat dilanjutkan. 3. Adanya keinginan kuat menggunakan zat walaupun Os sadar dampaknya bagi kesehatan. Perjalanan penyakit dari Os dapat dilihat pada diagram Longitudinal History berikut : konsumsi DXM ↑ 20-30 butir +konsumsi alkohol
Aktif konsumsi DXM ↑ + konsumsi sabu +konsumsi alkohol
Abstinen Gejala Withdrawal
abstinen
Mulai konsumsi DXM (2-3 butir)
2008
12-2012
3-2013
5-2013
26
Dekstrometorfan adalah kandungan aktif yang biasa ditemukan pada obat-obat batuk. Obat ini sering disalahgunakan karena efek disosiatif yang dimilikinya. Obat ini hampir tidak memiliki efek psikoaktif pada dosis yang direkomendasikan. Saat digunakan melewati dosis terapeutiknya zat ini akan memiliki efek disosiatif yang kuat (4). Dekstrometorfan biasa diformulasikan dengan
parasetamol
untuk
menghilangkan
nyeri
dan
mencegah
penyalahgunaannya di pasaran. Namun dosis maksimal parasetamol (4000 mg) sering dilewati oleh para pecandu semata-mata untuk mendapatkan efek disosiatif dekstrometorfan. Hal ini berpotensi mengakibatkan kerusakan hepar akut atau kronis sehingga penyalahgunaan produk yang mengandung dektrometorfan dan parasetamol dapat berakibat fatal (5). Pada dosis tinggi dekstrometorfan diklasifikasikan ke dalam agen anestetik disosiatif dan halusinogen seperti ketamin dan pensiklidin (6). Dekstrometorfan termasuk ke dalam antagonis reseptor NMDA (N metil D aspartat). Pada dosis tinggi dekstrometorfan akan mengakibatkan efek euforia, peningkkatan mood, disosiasi pikiran dari tubuh dan peningkatan sensasi taktil (7,8). Umumnya dekstrometorfan tidak menimbulkan gejala putus zat, tetapi penurunan mendadak dosis dekstrometorfan pada kasus ketergantungan akan menimbulkan gejala fisiologis dan psikologis. Efek yang ditimbulkan serupa dengan efek withdrawal SSRI yaitu depresi, iritabilitas, sakit pada otot, perasaan tidak nyaman di perut serta kejang (9,10). Ketika digunakan pada dosis rendah (100-200 mg) dekstrometorfan menimbulkan efek euforia. Jika dosis ditingkatkan (sekitar 400 mg) euforia akan 27
semakin meningkat disertai halusinasi. Pada dosis tinggi (600 mg) penurunan kesadaran dapat muncul disertai gejala psikotik sementara dan penurunan respon sensoris (11,12). William E White dalam “The DXM FAQ” menglasifikasikan efek dosis tinggi dektrometorfan ke dalam 4 atau 5 plateu. Setiap plateu memiliki kisaran dosis (mg/kgbb) tertentu. Pembagian efeknya adalah sebagai berikut (13): Plateu pertama : 1,5-2,5 mg/kgBB menimbulkan efek tidak mudah capek, meningkatnya detak jantung, suhu tubuh, emosi, euforia dan hilangnya keseimbangan tubuh. Plateu kedua : 2,5-7,5 mg/kgBB menimbulkan efek yang sama dengan plateu pertama namun disertai intoksikasi, penurunan kesadaran, perasaan terlepas dari dunia dan halusinasi. Plateu ketiga : 7,5-15,0 mg/kgBB menimbulkan penurunan fungsi sensoris, kesulitan mengenali orang atau objek, kebutaan sementara, kesulitan memahami bahasa, halusinasi abstrak, penurunan waktu reaksi, kehilangan koordinasi motorik, gangguan memori jangka pendek dan perasaan terlahir kembali. Plateu keempat : 15,0 mg/kgBB atau lebih menimbulkan hilangnya kontrol terhadap tubuh, delusi, peningkatan denyut jantung, kebutaan total dan gejala plateu ketiga yang lebih berat
28
Plateau Sigma: 2.5-7.5 mg/kgBB setiap 3 jam selama 9-12 jam. Gejala psikotik disertai halusinasi visual dan akustik. Halusinasi biasanya bersifat tidak menyenangkan dan memaksa pecandu mengikuti perintah halusinasi tersebut. Penyalahgunaan alkohol merupakan gangguan terkait zat yang paling umum terjadi (14). Penyalahgunaan alkohol (alkoholisme) mengakibatkan berbagai manifestasi klinis, psikiatrik dan sosial. Manifestasi psikiatrik yang biasa timbul adalah (15): Depresi : semua bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Sebaliknya depresi juga dapat memicu seseorang untuk mengonsumsi alkohol untuk mengurangi gejala-gejala depresi. Ansietas : ansietas merupakan gejala mengonsumsi alkohol berlebihan sebagai usaha mengurangi gejala. Perubahan kepribadian : penurunan standar kepekaan sosial dan perawatan diri. Disfungsi seksual : impotensi dan masalah ejakulasi. Halusinasi : dapat berupa auditorik maupun visual, umumnya terjadi pada keadaaan putus zat. Menurut Jellinek progresifitas alkoholisme terbagi dalam 3 fase (16): 1. Fase dini ditandai dengan bertambahnya toleransi terhadap alkohol, amnesia, timbulnya rasa bersalah karena mengonsumsi alkohol dan terhadap perilaku yang diakibatkannya.
29
2. Fase krusial ditandai dengan hilangnya kendali terhadap kebiasaan mengonsumsi alkohol, perubahan kepribadian, kehilangan teman dan pekerjaan. 3. Fase kronis ditandai kebiasaan mengonsumsi alkohol di pagi hari, tremor serta halusinasi. Berbagai kondisi yang mandasari gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan memulangkan pasien, hasil yang diharapkan, sumber daya manusia yang akan memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini akan diuraikan beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah Gangguan penggunaan NAPZA (17): 1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan (privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial, pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan
30
perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka pendek. 2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat. 3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation dan Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan utama pengobatan. Model Minessota menggunakan program spesifik yang berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare, termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu. Fase perawatan rawat inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor 4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12 langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan
31
pendekatan perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap pasien adiksi. 5. Model Multi Disiplin, program ini merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien 6. Model Tradisional, tergantung pada kondisi setempat dan terinpirasi dari hal-hal praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali. Komponen dasar terdiri dari : medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal contoh : pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal. 7. Faith Based Model, sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak menggunakan farmakoterapi
Berdasarkan Kepmenkes RI No 420 tentang Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit, tindakan penanganan pada pasien dengan penyalahgunaan zat meliputi Gawat darurat NAPZA – Detoksifikasi – Rehabilitasi – Rawat jalan/Rumatan. Apabila kondisi pasien memungkinkan, pasien penyalahgunaan NAPZA dapat langsung menjalani rawat jalan/rumatan (17). Pada fase gawat darurat NAPZA, hal yang umumnya dilakukan adalah penanganan intoksikasi opioid, benzodiazepin dan amfetamin. Terkadang pasien datang dengan gejala intoksikasi alkohol dan halusinogen. Pada fase ini 32
diberikan terapi suportif pada pasien hingga keadaanya stabil. Untuk intoksikasi NAPZA lain seperti dekstrometorfan, fase gawat darurat NAPZA bertujuan untuk menangani kondisi akut termasuk gaduh gelisah. Pasien yang telah menunjukkan perbaikan setelah ditangani di unit gawat darurat dapat dilanjutkan dengan parawatan rawat inap atau detoksifikasi untuk kasus putus NAPZA atau berobat
jalan untuk kondisi yang sudah
memungkinkan untuk pulang. Pada fase rawat jalan, terapi yang digunakan umumnya berfungsi untuk penanganan simptomatis. Pada fase detoksifikasi, terapi simptomatis dilakukan di rumah sakit rawat inap. Detoksifikasi bertujuan untuk menghilangkan gejala putus zat. Lama fase ini berkisar 1-3 minggu tergantung jenis zat dan gejala pasien. Khusus untuk detoksifikasi heroin (opioida) selain simtomatis juga ada yang mempunyai pengalaman tapering off dengan metadon dan buprenorfin. Pada kasus ini Os mendapatkan terapi kalxetin (fluoxetin) 10 mg 2x1 cap. Kalxetin termasuk dalam antidepresan golongan SSRI. Pemberian SSRI akan meningkatkan kadar serotonin dalam otak sehingga dapat menurunkan kecemasan dan kegelisahan Os. Selain itu penggunaan SSRI dapat mengurangi gejala putus zat pada Os karena diduga dekstrometorfan memiliki efek seperti SSRI di otak. Penghentian dekstrometorfan mendadak akan menimbulkan gejala seperti mual, muntah, rasa tersengat listrik dan rasa sakit di otot yang serupa dengan gejala putus zat SSRI.
33
Clozaril (clozapin) termasuk dalam golongan antipsikotik atipikal. Obat ini diberikan karena pada penggunaan dekstrometorfan jangka panjang dapat muncul gejala psikotik seperti halusinasi akustik dan visual. Pada fase rehabilitasi dilakukan penyesuaian perilaku pasien agar tidak kembali menggunakan NAPZA. Fase rehabilitasi diawali dengan program jangka pendek (1-3bulan) dengan fokus penanganan masalah medis, psikologis dan perubahan perilaku. Apabila program ini sukses, fase rehabilitasi dilanjutkan dengan program jangka panjang (6 bulan-lebih) yang dilanjutkan dengan aftercare dengan terapi berbasis komunitas (17).
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Nevid, Jeffreys, Rhatus, Sphencer dan Greene, 2002. Psikologi Abnormal, Jakarta: penerbit Erlangga. 2. American Association, 2000. Diagnostic and statistical manual of mental disorders DSM-IV-TR. New York: American Psychiatric Pub 3. John W. Santrock, 1999. Psychology: Paperback, Student Edition of Textbook. Philadelphia: Mc Graw Hill 4. DEA, Drugs and Chemicals of Concern: Dextromethorphan. Retrieved May 9,
2013,
at
http://www.deadiversion.usdoj.gov/drugs_concern/
dextro_m/summary.htm 5. Cigna, acetaminophen and dextromethorphan. Retrieved May 9, 2013 at http://www.cigna.com/individualandfamilies/health-and-well-being/hw/ medications/acetaminophen-and-dextromethorphan-d03378a1.html 6. Anonymous.
Dextromethorphan.
Retrieved
May
9,
2013.
At
http://www.deadiversion.usdoj.gov/drugs_concern/dextro_m/dextro_m.ht m 7. Wrigley, H. 2006. Former Minot Man And Internet Chemical Company Sentenced For Selling Designer And Misbranded Drugs And Violating Federal Customs Laws. Dakota : US Attorney 8. Erowld.
DXM
Effect.
Retrieved
May
9,
2013.
At
http://www.erowid.org/chemicals/dxm/dxm_effects.shtml 9. Anonymous. DXM addiction, abuse and treatment. Retrieved May 9, 2013. At http://www.drugabusehelp.com/drugs/dxm/ 10. Anonymous. DXM abuse and addiction. Retrieved may 9, 2013. At http://www.info-drug-rehab.com/dxm.html 11. Bornstein, S; Czermak, M; Postel, J., (1968). "Apropos of a case of voluntary medicinal intoxication with dextromethorphan hydrobromide". Annales Medico-Psychologiques 1 (3): 447–451. PMID 5670018.
35
12. Dodds A, Revai E (1967). "Toxic psychosis due to dextromethorphan". Med J Aust 2: 231. Bornstein, S; Czermak, M; Postel, J., (1968). "Apropos of a case of voluntary medicinal intoxication with dextromethorphan hydrobromide". Annales Medico-Psychologiques 1 (3): 447–451. PMID 5670018. 13. White E.W. DXM FAQ. Retreived may 9, 2013 at http://www.erowid.org/ chemicals/dxm/faq/dxm_experience.shtml 14. Sadock BJ, 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 10th ed.. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins 15. Daives T dan Craig TKJ. 2009. ABC of Mental Health. Jakarta: EGC. 16. Joewana, Satya. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif. Jakarta: EGC. 17. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik. Indonesia Nomor 420/Menkes/Sk/Iii/2010 Tentang Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit.
36