Laporan Kasus
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol Sindrom Ketergantungan Kini Abstinen (F10.20)
Oleh : Novita Ningtyas, S.Ked
I1A010004
Dita Irmaya, S.Ked
I1A010010
Pembimbing dr. H. Yulizar Darwis, Sp.KJ, MM
UPF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unlam-RSUD Ulin Banjarmasin Juli, 2014
LAPORAN PEMERIKSAAN PSIKIATRIK
I.
IDENTITAS PASIEN Nama
:
Tn. AF
Usia
:
22 tahun
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jl. KS Tubun 1 Gg.Tentram RT.17 No.35
II.
Pendidikan
:
Paket C
Pekerjaan
:
-
Agama
:
Islam
Suku
:
Banjar
Bangsa
:
Indonesia
Status Perkawinan
:
Belum menikah
Berobat Tanggal
:
4 Juli 2014
RIWAYAT PSIKIATRIK Diperoleh dari autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien dan Ibu kandung pasien pada hari Selasa tanggal 8 Juli 2014, pukul 14.00 WITA. Anamnesis dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin Ruang Kenanga.
1
A.
KELUHAN UTAMA Mengamuk
B.
KELUHAN TAMBAHAN Pasien merasa tidak enak badan, depresi, ada bisikan dan tidak bersemangat, dan sulit tidur bila tidak mengonsumsi dekstrometorfan dan minuman beralkohol.
C.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Alloanamnesis:
Menurut Ibu Os, anak keduanya mengonsumsi alkohol dan dekstrometorfan sejak Aliyah. Sebelumnya Os tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh. Perilaku Os berubah semenjak kedua orangtuanya bercerai. Os dititipkan dengan neneknya, sementara kedua saudaranya dirawat oleh Ibu Os. Setelah itu, Os mulai bergaul dengan teman-teman yang kurang baik. Akibat pergaulan ini Os menjadi malas sekolah, suka minum alkohol, dan mengkonsumsi obat-obatan seperti dextro. Setiap kali Os mabuk, Os akan datang ke rumah Ibunya. Di rumah Ibunya Os akan mulai mengamuk dan marah-marah. Os juga tidak jarang akan memukulmukul dinding. Selain itu, Os akan berceramah seolah dirinya ustad dan menurut Ibu Os isi ceramahnya benar. Os juga sering meminta uang kepada ibunya dan jika tidak diberikan Os semakin mengamuk. Menurut Ibu Os, Os hanya bertingkah seperti ini jika sedang mabuk, jika tidak mabuk perilakunya normal seperti orang kebanyakan.
2
Ibu Os menyangkal adanya riwayat demam tinggi, kejang, dan trauma di kepala saat Os masih kecil. Ibu Os juga menyangkal bahwa Os terlihat gelisah atau cemas. Ibu Os menyangkal adanya perubahan suasana hati yang ekstrim pada Os, misal pada suatu saat pasien tertawa dan tiba-tiba menjadi sedih. Menurut Ibu Os hubungan dirnya dengan Os cukup baik, begitu pula dengan kedua saudaranya. Meskipun begitu, Os lebih akrab dengan ayahnya dibandingkan dengan Ibu Os. Autoanamnesis Menurut pengakuan Os, dirinya mulai mengonsumsi alkohol dan dekstro sejak usia 17 tahun. Os mengungkapkan dirinya terbawa oleh ajakan temantemannya. Selain itu, Os juga merasa tidak diperhatikan oleh ibunya, karena hanya dirinyalah yang ditinggal di tempat neneknya. Pertama kali Os mengaku hanya ingin coba-coba karena ajakan temannya yang mengatakan bahwa dengan meminum alkohol dan dekstro pikiran akan terasa nyaman, masalah menjadi hilang, dan dapat membangkitkan rasa percaya diri. Awalnya Os hanya meminum beberapa gelas alkohol dan sekarang menjadi beberapa botol. Os mengungkapkan bahwa dirinya sering mengoplos minuman alkohol tersebut. Dextro awalnya dikonsumsi Os sebanyak 20 biji dan terus bertambah tiap harinya. Selain dekstro Os juga pernah mengkonsumsi obat lain seperti inex. Saat pasien mabuk, Os diberitahu oleh keluargaanya tentang apa yang telah dilakukan Os, yaitu mengamuk, marah-marah, memukul dinding, bahkan berceramah. Menurut Os dirinya tidak sadar dengan apa yang telah dilakukannya.
3
Os mengatakan dirinya sadar bahwa kebiasaannya akan merugikan kesehatannya. Os tahu bahwa dirinya harus menghentikan kebiasaan ini namun ia tidak berhasil melakukannya. Os sempat mencoba untuk berhenti mengkonsumsi alkohol, akan tetapi gagal. Setiap kali, ingin mencoba Os selalu mendengar bisikan-bisikan. Selain itu, jika berhenti minum alkohol Os merasa sulit untuk tidur. Os menyangkal pernah melihat bayangan selama mengonsumsi dekstro/ alkohol atau saat berhenti menggunakannya. Os juga menyangkal adanya rasa gelisah maupun cemas.
D.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Os tidak pernah mengalami sakit yang berat hingga harus dirawat di
rumah sakit.
E.
RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI 1. Riwayat Prenatal Menurut Ibu Os, selama Os berada dalam kandungan, ibu Os tidak pernah mengalami masalah kesehatan yang serius. Ibu tidak mengalami muntah yang berlebihan. Ibu tidak mengonsumsi alkohol dan obat-obatan. Os lahir cukup bulan, spontan dan langsung menangis, tidak ada cacat bawaan. Os lahir dengan bantuan bidan. 2. Riwayat Masa Bayi (0-1,5 Tahun) Basic Trust vs Mistrust
4
Menurut Ibu Os, tumbuh kembang Os normal seperti bayi seusianya. Os diberikan ASI oleh ibunya sampai berumur 1 tahun. Selama masa ini Os jarang sakit. Os juga tidak memiliki masalah dalam makan, minum, maupun buang air. Os bukan termasuk anak yang rewel. Setelah usia 1 tahun Os mulai makan makanan keluarga. Frekuensi menyusui dikurangi perlahan-lahan. Os selalu diasuh oleh ibunya. Hubungan ayah dan ibu rukun. 3. Riwayat usia 1,5- 3 tahun Autonomy vs Shane and Doubt Riwayat tumbuh kembang Os baik seperti anak seusianya. Tidak ada keterlambatan dalam tumbuh kembangnya Os mulai berdiri pada usia 12 bulan. Orang tua Os tidak membatasi gerak-gerik Os secara berlebihan. Ibu Os mengaku hanya akan melarang Os jika Os melakukan sesuatu yang berbahaya seperti bermain dengan kabel listrik atau berusaha mengambil benda-benda tajam. 4. Riwayat usia 3 - 6 tahun Initiative vs Guilt Os suka bermain dengan mainan dan juga dengan teman sebayanya. Hubungan Os dengan saudaranya rukun dan tidak sering bertengkar. 5. Riwayat usia 6 – 12 tahun Industry vs Inferiority Os mulai bersekolah dan tidak pernah tinggal kelas. Namun, Os tumbuh menjadi anak yang pemalu dan mulai jarang bermain dengan teman-temannya. Os tidak pernah mengeluh tentang sifat gurunya kepada orang tuanya.
5
6. Riwayat usia 12 – 18 tahun Identity vs Role Diffusion Pada usia 15 tahun Ayah dan Ibu Os bercerai. Os dititipkan kepada neneknya, namun kedua saudaranya tinggal bersama Ibu Os. Semenjak kejadian ini Os sering bergaul dengan teman-teman yang kurang baik, sehingga ikut terbawa minum alkohol, mengkonsumsi dextro, inex, dan obat-obat lain. hinggan akhirnya Os putus sekolah. Os mengaku hubungannya dengan keluarga tidak terlalu dekat. Ayah dan Ibu Os mengetahui perilaku Os. 7. Riwayat Pendidikan Saat bersekolah prestasi Os biasa saja, dan pada saat kelas 2 Aliyah Os memutuskan untuk putus sekolah. Satu tahun kemudian Os berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di pesantren. Namun, setelah 1 tahun di pesantren Os kembali berhenti. Akhirnya Os mengikuti penyetaraan jenjang sekolah Paket C. Hubungan Os dengan teman-temannya di sekolah juga cuku baik. 8. Riwayat Pekerjaan Os tidak pernah bekerja dimanapun. 9. Riwayat Perkawinan Os belum menikah F.
RIWAYAT KELUARGA Os adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Tidak terdapat riwayat penyakit jiwa dalam keluarga. Genogram:
6
Herediter (-) Keterangan : Laki-laki
:
Pasien
:
Perempuan :
G.
RIWAYAT SITUASI SEKARANG Os tinggal bersama neneknya dalam sebuah rumah yang terletak di daerah padat penduduk. Hubungan Os dengan orang yang tinggal serumah baik. Orang tua dan saudara Os sering meminta Os berhenti mengkonsumsi alkohol dan dekstro namun Os mengaku tidak dapat melakukannya. Anggota keluarga mendukung usaha Os untuk berhenti mengoknsumsi alkohol dan dekstro dan berobat ke rumah sakit. Pergaulan warga di lingkungan rumah Os termasuk kurang baik. Ibu Os pernah melihat anak-anak muda mabuk dan mengonsumsi obatobatan terlarang di lingkungan mereka. Os juga sudah ikut terpengaruh dengan pergaulan di lingkungan tersebut. Bahkan, Os sekarang dirawat di RSUD Ulin akibat luka perkelahian dengan teman di lingkungannya tersebut.
7
H.. PERSEPSI PASIEN TENTANG DIRI DAN LINGKUNGANNYA Os sadar bahwa dirinya sakit dan ingin segera sembuh, Os sangat ingin bisa kembali beraktivitas secara normal dengan semangat dan percaya diri dalam bekerja tanpa harus mengonsumsi alkohol dan obat dekstro. Os mengaku beberapa kali ingin berhenti mengkonsumsi alkohol dan dekstro namun tidak pernah berhasil. Alasannya, setiap kali ingin berhenti Os selalu merasa cemas, sulit tidur, dan ada suara yang membisiki.
III. STATUS MENTAL A.
DESKRIPSI UMUM 1. Penampilan Os merupakan seorang pria, memakai kaos berwarna hijau, celana pendek selutut bewarna hitam dan tampak terawat. Os tampak berperawakan sedang. Os menjabat tangan pemeriksa dengan kuat saat bersalaman. Os dapat menyebutkan nama dan usianya dengan tepat. Os menyebutkan dirinya ditemani oleh ibunya. Os dapat menyebutkan alamat rumahnya dengan tepat dan dapat menunjukkan arah menuju kesana. Os dapat mengenali peran pemeriksa sebagai dokter muda dan dapat melakukan perhitungan pengurangan 100 dengan angka 3 sebanyak 5 kali. Os dapat menjelaskan pengertian ungkapan tangan panjang dan dapat menyebutkan nama presiden Indonesia saat ini serta ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan dengan tepat. Saat diminta
8
mengingat deretan angka 34512 Os dapat mengingat kembali angka tersebut 15 menit kemudian. Selama
diberi
pertanyaan
oleh
pemeriksa,
Os
dapat
mempertahankan kontak mata. Setiap kali diberi pertanyaan Os selalu mendengarkan dengan baik, Os bersikap kooperatif. 2. Kesadaran Jernih 3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor Normoaktif 4. Pembicaraan Koheren 5. Sikap terhadap Pemeriksa Kooperatif 6. Kontak Psikis Kontak ada, wajar, dan dapat dipertahankan. B.
MOOD DAN AFEK 1. Afek (mood)
:
Euthym
2. Ekspresi afektif
:
Stabil
3. Keserasian
:
Serasi
4. Empati
:
Dapat dirabarasakan
5. Pengendalian
:
Cukup
6. Arus Emosi
:
Cukup
7. Sungguh/tidak
:
Sungguh
9
8. Skala diferensiasi C.
:
Luas
:
Jernih
FUNGSI KOGNITIF 1. Kesadaran 2. Orientasi -
Waktu
:
Baik
-
Tempat
:
Baik
-
Orang
:
Baik
-
Situasional
:
Baik
:
Baik
Jangka pendek
:
Baik
Jangka panjang
:
Baik
Segera
:
Baik
3. Konsentrasi 4. Daya Ingat
5. Intelegensi dan Pengetahuan Umum : sesuai tingkat pendidikan 6. Pikiran abstrak D.
:
Baik
GANGGUAN PERSEPSI 1. Halusinasi : -
Auditorik
:
Ada
-
Visual
:
Tidak ada
-
Olfaktorik
:
Tidak ada
:
Tidak ada
2. Ilusi
3. Depersonalisasi dan derealisasi : Tidak ada
10
E.
PROSES PIKIR 1. Arus pikir a. Produktivitas
:
Spontan
b. Kontinuitas
:
Jawaban sesuai pertanyaan
c. Hendaya berbahasa
:
Tidak ada
2. Isi Pikir
F.
a. Preokupasi
:
Tidak ada
b. Gangguan pikiran
:
Tidak ada
PENGENDALIAN IMPULS Terkendali
G.
H.
DAYA NILAI 1. Daya nilai sosial
: Baik
2. Uji Daya nilai
: Baik
3. Penilaian Realita
: Baik
TILIKAN Derajat 5 (Os mengetahui penyakitnya dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya (tilikan intelektual))
I.
TARAF DAPAT DIPERCAYA Dapat dipercaya
11
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT 1.
STATUS INTERNUS Keadaan umum
:
Pasien rapi dan terawat
Gizi
:
Baik
Tanda vital : TD = 120/90 mmHg N
= 82 kali/menit
RR = 20 kali/menit T
= 36,7oC
Kepala : Mata
:
Palpebra tidak edema, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya (+/+).
Telinga :
Bentuk normal, sekret tidak ada, serumen minimal.
Hidung :
Bentuk normal, tidak ada epistaksis, tidak ada tumor.
Mulut
Bentuk normal dan simetris, mukosa bibir tidak
:
kering dan tidak pucat, pembengkakan gusi tidak ada dan tidak mudah berdarah, lidah tidak tremor. Gigi geligi baik. Leher : Pulsasi vena jugularis tidak tampak, tekanan tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Thoraks : Inspeksi
:
Bentuk dan gerak simetris
12
Palpasi
:
Fremitus raba simetris
Perkusi -
Pulmo
:
Sonor
-
Cor
:
Batas jantung normal
Auskultasi -
Pulmo
:
Suara napas vesikuler
-
Cor
:
S1~ S2 tunggal
Abdomen Inspeksi
:
Cembung
Palpasi
:
Tidak nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
:
Timpani
Auskultasi
:
Bising usus (+) normal
Ekstemitas
:
Terdapat hambatan gerakan pada lengan sebelah kiri, tonus baik, tidak ada edema dan atropi, tremor (-).
2.
STATUS NEUROLOGIKUS N I – XII
:
Tidak ada kelainan
Gejala rangsang meningeal
:
Tidak ada
Gejala TIK meningkat
:
Tidak ada
Refleks fisiologis
:
Normal
Refleks patologis
:
Tidak ada
13
V.
IKHTISAR
PENEMUAN
BERMAKNA
(FORMULASI
DIAGNOSTIK) Anamnesis : -
Os mengonsumsi alkohol dan dekstrometorfan sejak usia 17 tahun. Jumlah alcohol yang dikonsumsi awalnya hanya beberapa gelas, sekarang sudah mencapai beberapa botol, terkadang Os dan temannya mengoplos minuman. Sementara itu, jumlah penggunaan awal dekstro 20 butir setiap 2-3 hari. Sekarang Os mengonsumsi 50-60 butir dekstrometorfan setiap hari.
-
Os pernah mengonsumsi inex dan NAPZA
-
Os sering mengamuk, marah-marah, memukul dinding, bahkan berceramah saat sedang mabuk
-
Os mengaku mendengar suara bisikan
Pemeriksaan Psikiatri :
Perilaku dan aktifitas psikomotor : normoaktif
Kontak : Ada, wajar, dan dapat dipertahankan
Pembicaraan
: Koheren
Afek
: Euthym
Ekspresi afektif
: Stabil
Penilaian realita
: baik
Tilikan
:5
14
VI. EVALUASI MULTIAKSIAL Aksis I
: Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Multipel dan Penggunaan Zat Psikoaktif Lainnya Sindrom Ketergantungan Kini Abstinen (F19.20) Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunan Alkohol
Sindrom
Ketergantungan
Kini
Abstinen
(F10.20) Aksis II
: None
Aksis III
: Cedera akibat perkelahian di lengan kiri
Aksis IV
: None
Aksis V
: GAF scale 80-71 (Pada skala penilaian fungsi secara global, ditemukan hendaya sementara pada fungsi sosial dan pekerjaan OS)
VII. DAFTAR MASALAH 1.
ORGANOBIOLOGIK Tidak ada
2.
PSIKOLOGIK Afek euthym, ekspresi stabil, kontak mata dapat dipertahankan, tilikan derajat 5. Os sadar harus berhenti namun tidak dapat melawan keinginan kuat untuk kembali mengonsumsi alcohol dan dekstro
3.
SOSIAL/KELUARGA Os tinggal bersama neneknya dan merasa dirinya diabaikan oleh kedua orangtuanya, karena hanya dirinya yang dititipkan.
15
VIII. PROGNOSIS Diagnosa penyakit
: Dubia ad bonam
Perjalanan Penyakit
: Dubia ad bonam
Ciri kepribadian
: Dubia ad malam
Stressor psikososial
: Dubia ad bonam
Usia saat menderita
: Dubia ad malam
Pola keluarga
: Dubia ad malam
Aktivitas pekerjaan
: Dubia ad bonam
Perkawinan
: Dubia ad bonam
Ekonomi
: Dubia ad bonam
Lingkungan sosial
: Dubia ad malam
Organobiologik
: Dubia ad bonam
Pengobatan psikiatrik
: Dubia ad bonam
Ketaatan berobat
: Dubia ad bonam
Kesimpulan
: Dubia ad bonam
IX. RENCANA TERAPI Psikofarmaka Po. Kalxetin 10 mg 2 X 1 Caps Clozaril 25 mg 1X 1 tab Haloperidol 1,5 mg 3x1 tab Psikoterapi
: support terhadap penderita dan keluarga.
Rehabilitasi
: Sesuai bakat dan minat Os
16
Usul pemeriksaan penunjang : Laboratorium darah dan urin (pemeriksaan NAPZA) X.
DISKUSI Berdasarkan hasil anamnesa serta pemeriksaan status mental, dan merujuk pada kriteria diagnostik dari PPDGJ III, penderita dalam kasus ini dapat didiagnosa sebagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol sindrom ketergantungan kini abstinen (F10.20) serta gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dengan sindrom ketergantungan kini abstinen (F19.20) Penyalahgunaan zat adalah suatu perilaku mengonsumsi atau menggunakan zat-zat tertentu yang dapat mengakibatkan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain. Menurut DSM, penyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang yang menghasilkan konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak bisa termasuk kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab utama seseorang (misalnya: sebagai pelajar, sebagai pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam situasi di mana penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur minuman dan penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang kali yang meningkat karena penggunaan obat. Memiliki masalah sosial atau interpersonal yang kerap muncul karena penggunaan zat (contoh: berkelahi karena mabuk) (1). Dalam DSM-IV-TR ketergantungan dan penyalahgunaan merupakan manifestasi fisik dan psikologis dari penyakit akibat penggunaan obat-
17
obatan yang menyebabkan ketergantungan atau disalahgunakan. Kedua hal tersebut merupakan masalah perilaku. Dengan kata lain, masalahnya bukan terletak pada obat-obatan tersebut, tapi pada cara orang yang memakai obatobatan tersebut. Bahan-bahan
yang
digunakan
dapat
disalahgunakan
atau
menyebabkan ketergantungan, jika bahan tersebut menjadi masalah dalam hidupnya. Seseorang dapat dikategorikan mengalami substance dependence / ketergantungan obat-obatan jika memenuhi 3 kriteria dari 7 kriteria berikut ini (2):
18
Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau penderitaan yang bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 3 (tiga) atau lebih hal-hal berikut yang terjadi pada tiap saat dalam periode 12 bulan: 1. Toleransi yang didefinisikan sebagai berikut : a. Peningkatan nyata jumlah kebutuhan zat untuk mendapatkan efek yang didamba atau mencapai intoksikasi. b. Penurunan efek yang nyata dengan penggunaan kontinyu jumlah yang sama dari zat. 2. Withdrawal, bermanifestasi sebagai salah satu dari: a. Sindroma withdrawal khas untuk zat penyebab (criteria A dan B dari gejala withdrawal zat). b. Zat yang sama atau sejenis digunakan untuk menghilangkan atau menghindari gejala-gejala withdrawal. 3. Zat yang dimaksud sering digunakan dalam jumlah yang besar atau melewati batas pemakaiannya. 4. Adanya hasrat menetap atau ketidakberhasilan mengurangi atau mengendalikan pemakaian zat 5. Adanya aktivitas yang menyita waktu untuk mendapatkan zat (misalnya mendatangi berbagai dokter atau sampai melakukan perjalan jauh), untuk menggunakan zat (merokok tiada sela) atau untuk pulih dari efekefeknya. 6. Kegiatan-kegiatan sosial yang tidak penting, pekerjaan atau rekreasi dilalaikan atau dikurangi karena penggunaan zat. 7. Penggunaan zat tetap berlanjut meskipun mengetahui bahwa problemproblem fisik dan fisiologis menetap atau berulang disebabkan oleh penggunaan zat tersebut.
19
Santrock (1999) menyebutkan jenis ketergantungan menjadi 2 jenis, meliputi (3): a. Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan stimulasi kognitif dan afektif yang mendorong konatif (perilaku). Stimulasi kognitif tampak pada individu yang selalu membayangkan, memikirkan, dan merencanakan untuk dapat menikmati zat tertentu. Stimulasi afektif adalah rangsangan emosi yang mengarahkankan individu untuk merasakan kepuasan yang pernah dialami sebelumnya. Kondisi konatif merupakan hasil kombinasi dari stimulasi kognitif dan afektif. Dengan
demikian,
ketergantungan
psikologis
ditandai
dengan
ketergantungan pada aspek-aspek kognitif dan afektif. Os termasuk dalam tipe ketergantungan ini, saat tidak mengonsumsi dekstro Os akan merasa depresi dan tidak bersemangat. b. Ketergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan kecendrungan putus zat. Kondisi ini seringkali tidak mampu dihambat atau dihalangi pecandu mau tidak mau harus memenuhinya. Dengan demikian orang yang mengalami ketergantungan secara fisiologis akan sulit dihentikan atau dilarang untuk mengonsumsinya. Penyalahgunaan zat terbagi menjadi coba-coba, rekreasional, situasional dan ketergantungan. Pada awalnya Os masuk ke dalam kategori coba-coba saat dirinya diajak oleh temannya. Kemudian Os masuk ke dalam tingkatan situasional, Os hanya menggunakan dekstro pada saat-saat tertentu saja. Penggunaannya pun tidak dilakukan setiap hari. Setelah beberapa lama
20
akhirnya Os masuk ke dalam tingkatan ketergantungan. Kriteria DSM-IV TR dan PPDSGJ III yang terpenuhi untuk menegakkan diagnosis ketergantungan adalah: 1. Adanya toleransi (dari 20 butir menjadi per pemakaian) 2. Adanya gejala withdrawal/ putus zat (depresi, merasa tidak bersemangat,
tidak
enak
badan)
yang
menghilang
setelah
penggunaan zat dilanjutkan. 3. Adanya keinginan kuat menggunakan zat walaupun Os sadar dampaknya bagi kesehatan. Dekstrometorfan adalah kandungan aktif yang biasa ditemukan pada obat-obat batuk. Obat ini sering disalahgunakan karena efek disosiatif yang dimilikinya. Obat ini hampir tidak memiliki efek psikoaktif pada dosis yang direkomendasikan. Saat digunakan melewati dosis terapeutiknya zat ini akan memiliki efek disosiatif yang kuat (4). Pada dosis tinggi dekstrometorfan diklasifikasikan ke dalam agen anestetik disosiatif dan halusinogen seperti ketamin dan pensiklidin (5). Dekstrometorfan termasuk antagonis reseptor NMDA (N metil D aspartat) pada dosis tinggi akan menyebabkan efek euphoria, peningkatan mood, disosiasi pikiran dari tubuh dan peningkatan sensasi taktil (6,7). Umumnya dektrometrofan tidak menimbulkan gejala putus zat, tetapi penurunan mendadak dosis dekstrometrofan pada kasus ketergantungan akan menimbulkan gejala fisiologis dan psikologis. Efek yang ditimbulkan serupa
21
dengan efek withdrawal SSRI yaitu depresi, iritabilitas, sakit pada otot, perasaan tidak nyaman diperut serta kejang (8,9). Ketika digunakan pada dosis rendah (100-200 mg) dekstrometorfan menimbulkan efek euphoria. Jika dosis ditingkatkan (sekitar 400 mg) euphoria akan semakin meningkat disertai halusinasi. Pada dosis tinggi (600 mg) penurunan kesadaran dapat muncul disertai gejala psikotik sementara dan penurunan respon sensoris (10,11) William E. White dalam “The DXM FAQ” mengelompokkan efek dosis tinggi dekstrometorfan ke dalam 4 atau 5 plateu. Setiap plateu memiliki kisaran dosis (mg/kgbb) tertentu. Pembagian efeknya adalah sebagai berikut (12): Plateu pertama : 1,5-2,5 mg/kgBB menimbulkan efek tidak mudah capek, meningkatnya detak jantung, suhu tubuh, emosi, euphoria, dan hilangnya keseimbangan tubuh. Plateu kedua : 2,5-7,5 mg/kgBB menimbulkan efek yang sama dengan plateu pertama namun disertai intoksikasi, penurunan kesadaran, perasaan terlepas dari dunia dan halusinasi. Pleteu ketiga : 2,5-7,5 mg/kgBB menimbulkan penurunan fungsi sensoris kesulitan mengenali orang atau objek, kebutan sementara, kesulitan memahami bahasa, halusinasi abstrak, penurunan waktu reaksi, kehilangan koordinasi motorik, gangguan memori jangka pendek dan perasaan terlahir kembali.
22
Pleteu keempat : 15,0 mg/kgBB atau lebih menimbulkan hilangnya kontrol terhadap tubuh, delusi, peningkatan denyut jantung, kebutaan total, dan gejala pleteu ketiga yang lebih berat. Pleteu sigma : 2,5-7,5 mg/kgBB setiap 3 jam selama 9-12 jam. Gejala psikotik disertai halusinasi visual dan akustik. Halusinasi biasanya bersifat tidak menyenangkan dan memaksa pecandu mengikuti perintah halusinasi tersebut. Penyalahgunaan alkohol merupakan gangguan terkait zat yang paling umum terjadi (13). Penyalahgunaan alkohol (alkoholisme) mengakibatkan berbagai manifestasi klinis, psikiatri, dan sosial. Manifestasi psikiatrik yang bisa timbul adalah (14) :
Depresi : semua bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Sebaliknya depresi juga dapat memicu seseorang untuk mengonsumsi alkohol untuk mengurangi gejala-gejala depresi.
Ansietas : ansietas merupakan gejala mengonsumsi alkohol berlebihan sebagai usaha mengurangi gejala.
Perubahan kepribadian : penurunan standar kepekaan sosial dan perawatan diri.
Disfungsi seksual : impotensi dan masalah ejakulasi.
Halusinasi : dapat berupa auditorik maupun visual, umumnya terjadi pada keadaan putus zat. Menurut Jellinek progresifitas alkoholisme terbagi dalam 3 fase (15) :
23
1. Fase dini ditandai dengan bertambahnya toleransi terhadap alkohol, amnesia, timbulnya rasa bersalah karena mengonsumsi alcohol dan terhadap perilaku yang diakibatkannya. 2. Fase krusial ditandai dengan hilngnya kendali terhadap kebiasaan mengonsumsi alkohol, perubahan kepribadian, kehilangan teman dan pekerjaan. 3. Fase kronis ditandai kebisaan mengonsumsi alkohol di pagi hari, tremor serta halusinasi. Berbagai kondisi yang mendasari ganggan penggunaan NAPZA akan memengaruhi jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan memulangkan pasien, hasil yang akan memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini akan diuraikan beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah gangguan penggunaan NAPZA (16). 1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan sosial/ komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan
24
(privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial, pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka pendek. 2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat. 3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation dan Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan utama pengobatan. Model Minessota menggunakan program spesifik yang berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare, termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu. Fase perawatan rawat inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor.
25
4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program
12
langkah
merupakan
pelengkap
program
TC
yang
menggunakan pendekatan perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap pasien adiksi. 5. Model Multi Disiplin, program ini merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien 6. Model Tradisional, tergantung pada kondisi setempat dan terinspirasi dari hal-hal praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali. Komponen dasar terdiri dari : medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal contoh : pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal. 7. Faith Based Model, sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak menggunakan farmakoterapi. Berdasarkan Kepmenkes RI No 420 tentang Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA berbasis rumah sakit, tindakan penanganan pada pasien dengan penyalahgunaan zat meliputi Gawat darurat NAPZA – Detoksifikasi – Rehabilitasi – Rawat jalan/rumatan (16). Pada fase gawat darurat NAPZA , hal yang umumnya dilakukan adalah penanganan intoksikasi opiod, benzodiazepin, dan amfetamin. Terkadang pasien datang dengan gejala intoksikasi alkohol dan halusinogen. Pada fase ini diberikan
26
terapi suportif pada pasien hingga keadaannya stabil. Untuk intoksikasi NAPZA lain seperti dekstrometrofan, fase gawat darurat NAPZA bertujuan untuk menangani kondisi akut termasuk gaduh gelisah. Pasien yang telah menunjukkan perbaikan setelah ditangani di unit gawat darurat dapat dilanjutkan dengan perawatan rawat inap atau detoksifikasi untuk kasus putus NAPZA atau berobat jalan untuk suatu kondisi yang sudah memungkinkan untuk pulang. Pada fase rawat jalan, terapi yang digunakan umumnya berfungsi untuk penanganan simptomatis dilakukan di rumah sakit rawat inap. Detoksifikasi bertujuan untuk menghilangkan gejala putus zat. Lama fase ini berkisar 1-3 minggu tergantung jenis zat dan gejala pasien. Khusus untuk detoksifikasi heroin (opioid) selain simptomatis juga ada yang mempunyai pengalaman tapering off dengan metadon dan buprenorpin. Pada kasus ini, Os mendapatkan terapi kalxetin (fluxetin) 10 mg 2x1 cap. Kalxetin termasuk dalam antidepresan golongan SSRI. Pemberian SSRI akan meningkatkan kadar serotonin dalam otak sehingga dapat menurunkan kecemasan dan kegelisahan Os. Selain itu penggunaan SSRI dapat mengurangi gejala putus zat pada Os karena diduga dekstrometorfan mendadak akan menimbulkan gejala seperti mual, muntah, rasa tersengat listrik dan rasa sakit di otot yang serupa dengan gejala putus zat SSRI. Clozaril (clozapin) termasuk dalam golongan antipsikotik atipikal. Obat ini diberikan karena pada penggunaan dekstrometorfan jangka panjang dapat muncul gejala psikotik seperti halusinasi akustik dan visual. Selain itu penggunaan
27
antipsikosis dosis rendah dapat mengatasi gejala depresi yang biasa muncul pada keadaan putus zat. Vitamin B kompleks diberikan karena pada penyalahgunaan alkohol sering terjadi gangguan penyerapan vitamin B. Pada fase rehabilitasi dilakukan penyesuaian perilaku pasien agar tidak kembali menggunakan NAPZA. Fase rehabilitasi diawali dengan program jangka pendek (1-3 bulan) dengan fokus penanganan masalah medis, psokologis dan perubahan perilaku. Apabila program ini sukses, fase rehabilitasi dilanjutkan dengan aftercare dengan terapi berbasis komunitas (16).
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Nevid, Jeffreys, Rhatus, Sphencer dan Greene, 2002. Psikologi Abnormal, Jakarta: penerbit Erlangga. 2. American Association, 2000. Diagnostic and statisticl manual of mental disorder DSM-IV-TR. New York: American Psychiatric Pub. 3. John W. Santrock, 1999. Psychology: Paperback, Student Edition of Textbook. Philadelphia: Mc Graw Hill. 4. DEA, Drugs and Chemichal of Concern: Dextromethorphan. Retrieved Maret 27, 2014, at http:www.deadiversion.usdoj.gov/drugs_concern/dextro_m/summary.htm 5. Anonymous. Dextromethorphan. Retrieved Maret 27, 2014. At http://www.deadiverson.usdoj.gov/drugs_concern/dextro_m/dextro_m.htm l 6. Wrigley, H. 2006. Former Minot Man And Internet Chemical Company Sentenced For Selling Designer And Misbranded Drugs And Violating Federal Custom Laws. Dakota : Us Attorney 7. Erowld. DXM Effect. Retrieved Maret http://www.erowid.org/chemicals/dxm_effects.shtml
27,
2014.
At
8. Anonymous. DXM addiction, abuse and treatment. Retrieved Maret 27, 2014. At http://www.drugsbusehelp.com/drugs/dxm/ 9. Anonymous. DXM addiction, abuse and treatment. Retrieved Maret 27, 2014. At http://www.info-drug-rehab-rehab.com/dxm.html 10. Bornstein, S; Czermak, M; Postel, J., (1968). “Apropos of a case of voluntary medicinal intoxication with dextromethorphan hydrobromide”. Annales Medico-Psychologiques 1 (3): 447-451. PMID 5670018. 11. Dodds A, Revai E (1967). “Toxic psychosis due to dextromethorphan” Med J Aust 2: 231. Bornstein, S; Czermak, M; Postel, J., (1968). “Apropos of a case of voluntary medicinal intoxication with dextromethorphan hydrobromide”. Annales Medico-Psychologicues 1 (3); 447-451. PMID 5670018 12. White E.W. DXM FAQ. Retreived Maret 27, 2014 http://www.erowid.org/chemicals/dxm/faq/dxm_experience.shtml
at
29
13. Sadock BJ, 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 10th ed. Phildelpia: Lippincott Williams and Wilkins 14. Daives T and Craig TKJ. 2009. ABC of Mental Health. Jakarta: EGC. 15. Joewana, Satya. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif. Jakarta: EGC. 16. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik. Indonesia Nomer 420/Menkes/Sk/Iii/2010 Tentang Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA berbasis Rumah Sakit.
30